Anda di halaman 1dari 55

PENGGUNAAN DATA BATIMETRI UNTUK KEPERLUAN

PENENTUAN RUTE PEMASANGAN PIPA BAWAH LAUT


(STUDI KASUS: PIPA GAS PT. PGN DI PERAIRAN TANJUNG PRIOK)

TUGAS AKHIR SARJANA

Karya ilmiah yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNIK
pada Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika

Oleh
Fauzan Azmi Lubis
15109053

PROGRAM STUDI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2014
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS AKHIR SARJANA

Tugas Akhir Sarjana dengan judul “Penggunaan Data Batimetri untuk Keperluan
Penentuan Rute Pemasangan Pipa Bawah Laut (Studi Kasus: Pipa Gas PT. PGN di
Perairan Tanjung Priok)” adalah benar dibuat saya sendiri dan belum pernah dibuat
dan diserahkan sebelumnya, baik sebagian ataupun seluruhnya, baik oleh saya ataupun
orang lain, baik di ITB maupun di institusi pendidikan lainnya.

Bandung, 11 Maret 2014


Penulis,

Fauzan Azmi Lubis


NIM. 15109053

Diperiksa dan disetujui oleh,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Eka Djunarsjah, MT. Dr. Ir. Dwi Wisayantono, MT.
NIP. 19670727 199403 1 006 NIP. 19641008 199403 1 002

Disahkan oleh,
Ketua Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Institut Teknologi Bandung

Dr. Ir. Kosasih Prijatna, M.Sc.


NIP. 19600702 198810 1 001
Abstrak

Survei batimetri merupakan suatu proses pengukuran kedalaman dasar laut dimana
dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, salah satunya adalah untuk penentuan
rute pemasangan pipa bawah laut. Rute pipa bawah laut dibutuhkan untuk informasi
dalam pemasangan pipa bawah laut sebagai sarana transportasi yang efektif dan efisien
untuk pendistribusian minyak bumi dan gas.

Dalam survei batimetri ini data yang diperoleh meliputi data kedalaman dan posisi titik
fiks perum di Perairan Tanjung Priok serta data pengamatan pasut di Pulau Damar.
Pengolahan data diawali dengan melakukan pengolahan data kedalaman yang
bereferensi terhadap data pasut Pulau Damar. Hasilnya berupa peta batimetri atau
kontur kedalaman. Kemudian dengan menggunakan peta batimetri tersebut dibuat
desain rute pipa bawah laut yang diperoleh dari data kontur kedalaman dan data
kemiringan (slope). Desain rute pipa tersebut dibuat secara konvensional (manual)
pada ArcGIS melalui beberapa kombinasi rute pipa. Rute pipa tersebut harus
memenuhi tiga kriteria pemilihan rute pipa bawah laut, yaitu: rute pipa yang akan
ditentukan harus aman; memudahkan proses pemasangan pipa; dan mempunyai rute
terpendek. Dari kombinasi rute pipa dipilih desain rute pipa bawah laut terbaik yang
memenuhi kriteria di atas.

Berdasarkan hasil pengolahan data, rencana rute pipa yang telah memenuhi kriteria
pemilihan rute pipa bawah laut dapat dilihat dari data batimetri dan data
kemiringannya. Rencana rute pipa bawah laut terbaik dalam survei ini merupakan rute
pipa yang mendekati tengah koridor survei, dengan rute terpendek memiliki panjang
rute 23.899 km.

Kata kunci: batimetri, kemiringan (slope), pasut, pipa bawah laut, rute

i
Abstract

Bathymetric survey is a measurement process of the seabed depth which can be utilized
for various purposes, one of them is to the determination the route of the underwater
pipeline installation. The Information of underwater pipeline route is needed for the
underwater pipeline installation as a utilities of effective and efficient transportation
for distribution of oil and gas.

In this bathymetric survey, the collected data including the depth data at every
positions points in Tanjung Priok and tide observation data in Damar Islands. Data
processing starts from processing of the depth data, which referenced to tide data of
Damar Islands. The result of this process is bathymetric chart or depth contours. Then
the design of underwater pipeline route is made from bathymetric chart, which are
obtained from depth contours and slope data. The design of pipeline route is manually
made in ArcGIS through some combination of pipeline route. The pipeline route must
be fulfill three criterias of the underwater pipeline route selection, namely: pipeline
route which will be determined must be safe; make the process of pipeline installation
easier; and have the shorthest route. The best design of underwater pipeline route is
chosen from some combination of pipeline route which have fulfill of those criterias
above.

Based on the results of data processing, the plan of pipeline route which have fulfill
the criteria of underwater pipeline route selection which can be seen from bathymetric
and slope data. The best plan of underwater pipeline route in this survey is the pipeline
route which closed to the middle of corridor survey, with the shortest route is 23.899
km.

Key words: bathymetric, slope, tide, underwater pipeline, route

ii
Prakata

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang
berjudul “Penggunaan Data Batimetri untuk Keperluan Rute Pemasangan Pipa
Bawah Laut (Studi Kasus: Pipa Gas PT. PGN di Perairan Tanjung Priok)”.

Penulis dengan segala hormat dan kerendahan hati juga ingin menyampaikan terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu
penulis selama proses pengerjaan tugas akhir ini, yaitu:

1. Bapak Alm. Drs. Hafisusahir Lubis dan Ibu Masrina Daulay, selaku orang tua
penulis yang memberikan segenap dukungan serta do’anya yang tiada henti
untuk kelancaran pelaksanaan tugas akhir ini hingga selesai. Dikhususkan
kepada Almarhum yang telah mendahului penulis, semoga Almarhum bahagia
di sisi- Nya.

2. dr. Juli Yanthi Lubis, Sri Hafwina Lubis, ST., dan Fina Wulandari Lubis, SE.,
selaku kakak-kakak penulis yang selalu memberikan bantuan dan dukungan
kepada penulis selama pengerjaan tugas akhir hingga selesai.

3. Bapak Dr. Ir. Eka Djunarsjah, MT., selaku dosen pembimbing I yang telah
banyak memberikan arahan, bimbingan, dukungan dan berbagi pengalaman
kepada penulis selama mengerjakan tugas akhir.

4. Bapak Dr. Ir. Dwi Wisayantono, MT., selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama mengerjakan
tugas akhir.

5. Bapak Ir. M.Yamin dan Bapak Dr. Ir. Agung Budi Harto, M.Sc., selaku penguji
sidang tugas akhir yang telah memberikan banyak saran, kritik, dan masukan
kepada penulis.

iii
6. Bapak Dr. Ir. Bambang Edhi L.S.,M.Sc., selaku dosen wali yang telah
memberikan banyak kemudahan selama bimbingan perkuliahan kepada
penulis.

7. Bapak Dr. Ir. Kosasih Prijatna, M.Sc selaku Ketua Program Studi Teknik
Geodesi dan Geomatika ITB.

8. Para staf pengajar Teknik Geodesi dan Geomatika yang telah bersedia
memberikan ilmunya kepada penulis selama perkuliahan di ITB.

9. Para staf Tata Usaha Prodi Teknik Geodesi dan Geomatika, khususnya Bapak
Dudung Suhendar, yang membantu penulis dalam mengurus administrasi dan
persiapan seminar maupun sidang tugas akhir.

10. Mikhael Mangopo, M. Syafril Radifanur, Eko Aprianto Suwono, Bayu Aulia
Rahman, Tashadda Fadhlur Razzaq dan Rahman Adhitiaputra, selaku teman-
teman penulis yang telah bersedia diajak diskusi selama pengerjaan tugas
akhir.

11. M. Akbar Wibowo, Andri Daniel Parapat, Alexander Simamora, dan Boris
Turnip, selaku teman seperjuangan tugas akhir dibawah bimbingan Pak Eka,
yang telah memberikan motivasi dan kenangan selama pengerjaan tugas akhir.

12. Kepada teman dan sahabat, terutama teman-teman Ikatan Mahasiswa Geodesi
(IMG) 2009; khususnya Eko Prasetyo, Fikri Juliadi, Rizky Adryatma, M.
Rachman Hakim, Fridho Finantheo; teman-teman keamanan “Varunastra”;
dan lain-lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas dukungan,
bantuan dan kenangan selama perkuliahan hingga selesai.

Bandung, Februari 2014

Penulis,

Fauzan Azmi Lubis

iv
Daftar Isi

Abstrak .......................................................................................................................... i
Abstract ........................................................................................................................ ii
Prakata ........................................................................................................................ iii
Daftar Isi ...................................................................................................................... v
Daftar Gambar ........................................................................................................... vii
Daftar Tabel .............................................................................................................. viii
Bab 1 Pendahuluan ..................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.4 Ruang Lingkup.......................................................................................... 2
1.5 Metodologi ................................................................................................ 3
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................... 5
Bab 2 Metode dan Data .............................................................................................. 6
2.1 Survei Batimetri ........................................................................................ 6
2.1.1 Survei Batimetri Menurut Ketentuan Special Publication No.44
International Hydrographic Organization (S.44-IHO) ................... 7
2.1.2 Penentuan Tinggi Muka Laut .......................................................... 8
2.1.3 Penentuan Kedalaman Metode Akustik .......................................... 9
2.1.4 Reduksi Kedalaman Ukuran .......................................................... 11
2.1.5 Penentuan Posisi Horizontal Titik Fiks Perum .............................. 15
2.2 Persyaratan Teknis Penentuan Rute Pipa Bawah Laut ........................... 17
2.2.1 Rute Pipa Bawah Laut ................................................................... 17
2.2.2 Kriteria Pemilihan Rute Pipa Bawah Laut .................................... 19
2.3 Penentuan Rute Pipa Bawah Laut ........................................................... 20
2.3.1 Sumber Data dan Lokasi Survei .................................................... 21
2.3.2 Pengolahan Data Pasang Surut ...................................................... 23
2.3.3 Pengolahan Data Batimetri ............................................................ 25
2.3.4 Pembuatan Peta Batimetri ............................................................. 27
v
2.3.5 Pembuatan Desain Rute Pipa Bawah Laut .................................... 28
Bab 3 Hasil dan Pembahasan ................................................................................... 29
3.1 Hasil ....................................................................................................... 29
3.1.1 Hasil Pengolahan Data Pasang Surut ............................................ 29
3.1.2 Hasil Pengolahan Data Batimetri .................................................. 30
3.1.3 Hasil Pembuatan Peta Batimetri .................................................... 32
3.1.4 Hasil Pembuatan Desain Rute Pipa ............................................... 33
3.2 Pembahasan............................................................................................. 36
3.2.1 Lajur Survei ................................................................................... 36
3.2.2 Visualisasi Dasar Laut Berdasarkan Kemiringan .......................... 37
3.2.3 Rencana Rute Pipa Berdasarkan Kriteria Pemilihan Rute Pipa
Bawah Laut .................................................................................... 38
Bab 4 Kesimpulan dan Saran ................................................................................... 41
4.1 Kesimpulan ............................................................................................. 41
4.2 Saran ....................................................................................................... 41
Daftar Pustaka ............................................................................................................ 43
Lampiran A: Peta Batimetri Perairan Tanjung Priok.................................................... I
Lampiran B: Peta Rencana Rute Pipa Bawah Laut .................................................... II

vi
Daftar Gambar

Gambar 1.1 Diagram Alir Metodologi .................................................................... 4

Gambar 2.1 Kedudukan Relatif Tinggi Muka Laut ................................................. 9

Gambar 2.2 Lajur Perum Tegak Lurus Terhadap Arah Garis Pantai .................... 10

Gambar 2.3 Pengukuran Kedalaman Metode Akustik .......................................... 11

Gambar 2.4 Konsep Penentuan Koreksi Pasut ...................................................... 13

Gambar 2.5 Sistem DGPS ..................................................................................... 16

Gambar 2.6 Lokasi Survei Batimetri di Perairan Tanjung Priok ........................... 22

Gambar 2.7 Grafik Pengamatan Pasang Surut di Pulau Damar ............................ 23

Gambar 2.8 Gambaran Kedudukan Kedalaman Laut ............................................ 25

Gambar 3.1 Track Plot Jalur Survei Batimetri ...................................................... 32

Gambar 3.2 Klasifikasi Kemiringan ...................................................................... 34

Gambar 3.3 Rencana Rute Pipa Bawah Laut ......................................................... 35

Gambar 3.4 Lajur Survei Tidak Sesuai Rencana ................................................... 36

Gambar 3.5 Visualisasi Dasar Laut dan Jalur Pipa Berdasarkan Kemiringan....... 37

Gambar 3.6 Rencana Rute Pipa Memenuhi Kriteria Rute Pipa Bawah Laut ........ 39

vii
Daftar Tabel

Tabel 2.1 Koordinat Kabel dan Pipa Bawah Laut di Perairan Tanjung Priok ....... 22

Tabel 2.2 Contoh Data Pengamatan Pasang Surut di Pulau Damar ...................... 24

Tabel 2.3 Data Posisi dan Kedalaman Sebelum Dikoreksi ................................... 27

Tabel 2.4 Kriteria Kemiringan (Slope) .................................................................. 28

Tabel 3.1 Contoh Pengolahan Data Pasut Metode Doodson ................................. 29

Tabel 3.2 Data Koreksi Kedalaman (Chart Datum) .............................................. 30

Tabel 3.3 Contoh Pengolahan Data Batimetri Setelah Dikoreksi .......................... 31

Tabel 3.4 Perbandingan Panjang Rute Pipa Bawah Laut ...................................... 39

viii
Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Wilayah lautan Indonesia memiliki potensi sumber daya yang harus dapat
dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin untuk menunjang perekonomian
Indonesia. Salah satu potensi sumber daya alamnya yaitu minyak bumi dan gas.
Apabila keadaan ini dikaitkan perkembangan industri minyak dan gas di Indonesia
yang semakin hari semakin mengalami peningkatan, maka permintaan akan minyak
bumi dan gas juga mengalami peningkatan. Oleh karena itu pemerintah harus
membangun suatu sistem untuk pendistribusian minyak bumi dan gas secara efektif.
Sistem tersebut berupa sarana transportasi yang efektif dan efisien untuk menunjang
kelancaran pendistribusian minyak bumi dan gas.

Kebutuhan akan sarana transportasi ini memerlukan informasi dan teknologi yang
dapat diandalkan dalam bidang kelautan. Pembangunan pipa bawah laut merupakan
salah satu sarana transportasi yang efektif dan efisien untuk pendistribusian minyak
bumi dan gas di laut. Dalam kegiatan pembangunan pipa bawah laut membutuhkan
berbagai informasi yang akan mendukung proses pemasangan pipa bawah laut
tersebut. Informasi yang dibutuhkan dalam pemasangan pipa bawah laut adalah:
1. Informasi kedalaman dasar laut di sepanjang koridor rencana survei rencana
rute pipa bawah laut, berupa topografi bawah laut.
2. Informasi pasang surut di sekitar area survei sebagai referensi kedalaman.
3. Informasi arah dan kecepatan arus laut di sepanjang area survei rencana rute
pipa.
4. Informasi tentang jenis atau struktur batuan dan tanah di sepanjang koridor
rencana rute pipa bawah laut.

1
5. Informasi tentang infrastruktur yang sudah terpasang sebelumnya di area
survei seperti pipa dan kabel bawah laut.

Informasi-informasi diatas digunakan untuk keperluan penentuan rute pemasangan


pipa bawah laut, sehingga diharapkan hasil yang didapatkan berupa informasi
pemilihan rute pipa bawah laut. Informasi pemilihan rute pipa bawah laut tersebut
digunakan untuk rencana pembangunan dan pemasangan pipa bawah laut di suatu
wilayah, sehingga diharapkan pembangunan pipa bawah laut tersebut menunjang
kelancaran disribusi minyak bumi dan gas dari suatu daerah ke daerah lain secara
efektif dan efisien.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah yang akan dibahas dalam penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini
adalah bagaimana data batimetri dapat digunakan untuk mendapatkan rute
pemasangan pipa bawah laut terbaik yang sesuai dengan tiga kriteria penentuan rute
pipa bawah laut, yaitu: rute pipa yang akan ditentukan sedapat mungkin harus aman,
memudahkan proses pemasangan pipa, dan mempunyai rute terpendek.

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini adalah:
1. Melakukan analisis terhadap pemanfataan data batimetri dalam kaitannya
terhadap penentuan rute pemasangan pipa bawah laut untuk mengetahui
gambaran permukaan dasar laut yang akan dilalui oleh pipa tersebut.
2. Membuat perencanaan rute pemasangan pipa bawah laut yang sesuai dengan
tiga kriteria penentuan rute pipa bawah laut di atas.

1.4 Ruang Lingkup


Ruang lingkup penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini dibatasi pada:
1. Informasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah informasi batimetri atau
kedalaman dasar laut di sepanjang rute pemasangan pipa bawah laut dan
informasi pasang surut sebagai referensi kedalaman.

2
2. Sumber dan informasi data untuk penentuan rute pemasangan pipa bawah laut
ini didapatkan melalui pekerjaan survei jalur pipa bawah laut milik PT. PGN
(Perusahaan Gas Negara) di Perairan Tanjung Priok.
3. Menentukan dan menganalisis rute pemasangan pipa bawah laut dengan hanya
memperhatikan tiga kriteria penentuan rute pipa bawah laut. Selain itu dalam
penentuan rute pipa tersebut tidak dikaitkan dengan syarat-syarat teknis
peletakan dan pemendaman pipa bawah laut.

1.5 Metodologi
Metodologi yang akan dilakukan dalam penelitian tugas akhir ini adalah:
1. Studi literatur mengenai survei batimetri, syarat teknis penentuan rute
pemasangan pipa bawah laut, dan kriteria penentuan rute pipa bawah laut.
2. Melakukan pengumpulan data dari batimetri perairan Tanjung Priok, Data ini
diperoleh dari survei jalur pipa milik PT. PGN (Perusahaan Gas Negara), yaitu
data batimetri Perairan Tanjung Priok dan data pasut Pulau Damar.
3. Pengolahan data pasut Pulau Damar dan data batimetri Perairan Tanjung Priok.
4. Hasil pengolahan data awal berupa peta kontur kedalaman atau batimetri yang
mengacu pada data batimetri Perairan Tanjung Priok yang bereferensi terhadap
data pasut Pulau Damar.
5. Kemudian berdasarkan data kemiringan, dibuat peta kemiringan yang
bereferensi dari peta batimetri atau kontur kedalaman.
6. Pembuatan desain rute pipa bawah laut. Desain rute pipa bawah laut tersebut
dibuat berdasarkan peta kemiringan dan kriteria rute pipa bawah laut.
7. Melakukan analisis terhadap hasil desain rute pipa bawah laut.

Metodologi tersebut kemudian direpresentasikan dalam bentuk diagram alir seperti


yang tertera pada Gambar 1.1.

3
Mulai

Studi Literatur

Data Batimetri Data Pasang


Perairan Surut Pulau
Tanjung Priok Damar

Pengolahan Data
Batimetri

Peta
Batimetri

Data Kemiringan

Peta
Kemiringan

Desain
Kriteria Rute
Rute Pipa
Pipa Bawah Laut Bawah Laut

Analisis

Selesai

Gambar 1.1 Diagram Alir Metodologi

4
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan,
batasan atau ruang lingkup, metodologi dan sistematika penulisan.

Bab 2 Metode dan Data


Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori dasar yang menunjang dan berkaitan dengan
survei batimetri, persyaratan teknis penentuan rute pipa bawah laut, serta metode dan
tahapan proses pengolahan data batimetri dan penentuan rute pipa bawah laut.

Bab 3 Hasil dan Pembahasan


Pada bab ini akan ditampilkan hasil pengukuran dalam survei batimetri di perairan
Tanjung Priok yang disajikan dalam bentuk desain perencanaan rute pipa yang akan
dipasang di Perairan Tanjung Priok. Selain itu dalam bab ini akan dibahas dan
dianalisis dari hasil rute pipa yang telah ditentukan agar sesuai dengan kriteria rute
pipa bawah laut sehingga didapatkan rute pipa bawah laut terbaik.

Bab 4 Kesimpulan dan Saran


Pada bab ini akan disampaikan kesimpulan dan saran mengenai keseluruhan
pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan.

5
Bab 2

Metode dan Data

2.1 Survei Batimetri


Survei batimetri, atau sering disebut dengan istilah pemeruman, merupakan suatu
proses pengukuran kedalaman yang ditujukan untuk memperoleh gambaran atau
model bentuk dari permukaan atau topografi dasar perairan. Kegiatan survei batimetri
tersebut meliputi proses pengukuran, pengolahan, dan penggambaran atau visualisasi
kedalaman. Visualisasi dari kedalaman tersebut digambarkan dalam bentuk garis-garis
kontur kedalaman. Garis-garis kontur kedalaman diperoleh dengan melakukan
interpolasi pada titik-titik pengukuran kedalaman yang tersebar pada lokasi yang akan
dikaji, sehingga akan didapatkan suatu model kedalaman laut. Titik-titik kedalaman
yang diukur dan berada pada lajur-lajur pengukuran kedalaman disebut sebagai lajur
perum. Selain kedalaman, diperlukan juga informasi dari posisi kedalaman tersebut.

Selain informasi tentang kedalaman beserta posisinya, informasi yang dibutuhkan


dalam survei batimetri yaitu pasang surut air laut untuk mengetahui dinamika atau
perubahan permukaan laut. Dengan demikian pada survei batimetri atau pengukuran
kedalaman perlu dilakukan tiga kegiatan sekaligus pada waktu yang bersamaan yaitu
pengukuran kedalaman, pengukuran posisi dari kedalaman, dan pengukuran pasang
surut air laut. Dari ketiga kegiatan tersebut akan didapatkan suatu informasi kedalaman
laut terhadap suatu bidang yang dapat dijadikan suatu referensi kedalaman. Salah satu
referensi kedalaman yang dijadikan acuan untuk menentukan kedalaman laut yaitu
chart datum.

6
2.1.1 Survei Batimetri Menurut Ketentuan Special Publication No.44 International
Hydrographic Organization (S.44-IHO)
Survei hidrografi dalam hal ini survei batimetri dilakukan berlandaskan kepada
ketentuan teknik dari rekomendasi special publication No. 44 (S.44-IHO). S.44-IHO
merupakan standar internasional untuk survei hidrografi yang memberikan spesifikasi
minimum dalam pengumpulan data yang akurat dan tepat untuk keselamatan navigasi
para pelaut. Ketentuan yang ada pada S.44-IHO meskipun dibuat untuk keselamatan
navigasi para pelaut akan tetapi dapat digunakan sebagai acuan dalam memandu bagi
pengumpulan data dan perhitungan faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada
pelaksanaan survei batimetri.

Beberapa ketentuan teknik survei hidrografi yang terkait dengan survei batimetri
dalam S.44-IHO yaitu:

1. Skala Survei dan Kerapatan Pemeruman

Pada dasarnya skala survei digunakan untuk menentukan ketelitian minimum


dari peta batimetri yang dihasilkan. Selain itu penentuan skala survei harus
disesuaikan dengan keanekaragaman topografi bawah laut beserta garis
pantainya, waktu serta tujuan diadakannya survei tersebut.

2. Penentuan Posisi

Penentuan posisi pada survei harus direferensikan terhadap sistem koordinat


geosentrik dengan datum World Geodetic System 84 (WGS-84).

3. Pengukuran Kedalaman

Kedalaman yang diukur harus memperhatikan chart datum, yaitu dengan


memperhitungkan tinggi pasang surut. Ketelitian kedalaman air diartikan
sebagai ketelitian kedalaman yang disurutkan. Dalam menetapkan ketelitian
kedalaman, setiap kesalahan harus diketahui nilainya. Semua kesalahan harus
diperhitungkan sehingga diperoleh nilai kedalaman yang bebas dari kesalahan.

7
4. Pengamatan Pasang Surut

Pelaksanaan pengamatan pasang surut dimaksudkan untuk mereduksi


pengaruh pasang surut pada saat pemeruman dan sebagai bahasan mengenai
data ramalan pasang surut yang dilakukan tidak kurang dari 29 hari. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan data batimetri yang akurat dan dapat
digunakan pada masa mendatang.

2.1.2 Penentuan Tinggi Muka Laut


Kedudukan muka laut yang akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan
kedalaman laut akan selalu berubah-ubah setiap waktu, sehingga tinggi muka laut pun
akan berbeda-beda juga. Berikut ini merupakan beberapa istilah dalam tinggi muka
laut yang dijadikan referensi kedalaman.

1. Muka Laut Sesaat

Muka Laut Sesaat merupakan kedudukan tinggi muka laut pada saat dilakukan
pengukuran. Muka Laut Sesaat digunakan sebagai bidang acuan pada saat
pengukuran kedalaman laut.

2. Muka Laut Rata-Rata

Muka Laut Rata-rata atau Mean Sea Level (MSL) merupakan kedudukan rata-
rata tinggi muka laut yang diamati dalam periode waktu tertentu. Muka Laut
Rata-rata ditentukan dari pengamatan pasang surut dalam kurun waktu
tertentu. Tujuan dari penentuan Muka Laut Rata-rata adalah sebagai acuan
kedalaman sebelum chart datum ditentukan.

3. Chart Datum

Chart datum merupakan kedudukan tinggi muka laut yang menjadi dasar dari
pengukuran kedalaman yang ditampilkan pada peta laut. Chart datum
ditetapkan dari pengamatan pasut. Dari pengamatan pasut ditemukan MSL,
setelah itu dipilih suatu chart datum dengan Zo sebagai jarak vertikal ke MSL.

Chart datum dipilih pada kedudukan serendah mungkin dalam arti lebih rendah
dari tinggi rata-rata permukaan air laut terendah, yang disebut juga dengan

8
Lowest-Low-Water (LLW). Namun, chart datum tidak berarti menjadi bidang
permukaan air laut terendah yang mungkin terjadi, sebab, masih ada tinggi air
terendah yang mungkin terjadi, yang diistilahkan dengan Lowest Astronomical
Tides (LAT).

4. Datum Perum (Sounding Datum)

Datum perum merupakan kedudukan muka laut yang diproyeksikan dalam bidang
datar, dimana bidang datar ini tegak lurus terhadap bidang muka laut. Datum perum
ini digunakan sebagai bidang referensi kedalaman ukuran dalam satu periode survei
batimetri. Bidang ini digunakan sebelum didapatkan bidang referensi kedalaman yang
definitif, yaitu chart datum.

Beberapa istilah kedudukan tinggi muka laut yang dijadikan referensi kedalaman
diilustrasikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kedudukan Relatif Tinggi Muka Laut


(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005)

2.1.3 Penentuan Kedalaman Metode Akustik


Kegiatan penentuan kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili
seluruh daerah yang akan dipetakan. Titik-titik yang mewakili kedalaman tersebut
merupakan titik-titik sampel. Selain dilakukan pengukuran kedalaman pada titik-titik
sampel tersebut juga dilakukan pengukuran untuk penentuan posisi dari titik-titik
sampel tersebut. Titik-titik tempat dilakukannya pengukuran untuk penentuan posisi

9
dan kedalaman disebut titik fiks perum. Pada saat pengukuran setiap titik fiks perum
dilakukan pencatatan waktu untuk reduksi hasil pengukuran. Hal ini erat hubungannya
dengan perubahan kedalaman akibat naik turunannya permukaan air laut, yang disebut
juga dengan pasang surut air laut.

Dalam kegiatan pengukuran kedalaman juga dilakukan pembuatan profil-profil


pengukuran kedalaman, biasanya dalam bentuk lajur perum. Desain jalur perum harus
memperhatikan bentuk dan topografi pantai di sekitar perairan yang akan disurvei.
Dalam lajur desain perum yang dipilih biasanya tegak lurus terhadap kecenderungan
arah garis pantai, seperti yang terlihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Lajur Perum Tegak Lurus Terhadap Arah Garis Pantai

Penentuan kedalaman dengan gelombang akustik menggunakan echosounder atau


perum gema. Perum gema digunakan untuk menghasilkan profil kedalaman kontinu
di sepanjang lajur perum dengan ketelitian yang cukup baik. Perum gema
menggunakan prinsip pengukuran jarak dengan memanfaatkan gelombang akustik
yang dipancarkan dari transduser, seperti yang terlihat pada Gambar 2.3. Gelombang
akustik yang dipancarkan oleh transduser tersebut merambat pada medium air
sehingga menyentuh dasar perairan dan dipantulkan kembali ke transduser.

10
Gambar 2.3 Pengukuran Kedalaman Metode Akustik
(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005)

Secara teoritis pengukuran kedalaman dihitung dengan persamaan (2.1), dengan


menghitung selang waktu pada saat gelombang dipancarkan dan diterima kembali (∆t),
sehingga jarak dari dasar laut relatif terhadap transduser adalah:

1
𝑑𝑢 = 2 𝑣∆𝑡 (2.1)

dengan du adalah kedalaman hasil ukuran dan v adalah kecepatan gelombang akustik
pada medium air.

Hasil pengukuran kedalaman akan direkam sekaligus ditampilkan pada kertas


echogram atau direkam dan ditampilkan dalam bentuk digital dengan menggunakan
perangkat lunak navigasi yang dirancang khusus untuk merekam posisi dan
kedalaman.

2.1.4 Reduksi Kedalaman Ukuran


Kedalaman yang dicantumkan pada peta laut adalah kedalaman dasar laut terhadap
bidang chart datum. Informasi kedalaman pada peta laut berguna untuk keperluan
navigasi atau pelayaran. Pada saat ini pengggunaan bukan hanya sekedar memberikan
informasi kedalaman laut saja, akan tetapi memberikan informasi kelautan lainnya,
seperti sumber daya laut, wisata laut, seta informasi lanjutan dari peta topografi.

11
Kedalaman ukuran banyak mengandung kesalahan, yang disebabkan oleh metode
pengukuran, keterbatasan alat, kondisi air laut, maupun operator dari alatnya sendiri.
Beberapa kesalahan dapat dikoreksi langsung setelah didentifikasi penyebab
kesalahannya, antara lain kesalahan akibat pengaruh pasang surut laut dan draft
transduser. Akan tetapi ada beberapa kesalahan lainnya yang sulit untuk ditentukan
penyebabnya secara langsung, sehingga harus diperkecil kesalahannya dengan
menggunakan beberapa asumsi pendekatan, antara lain kesalahan akibat perubahan
kecepatan perambatan gelombang suara di air laut, sedangkan beberapa kesalahan
yang tidak dapat dikoreksi karena tidak diketahui penyebab kesalahannya, akibat
kesulitan dalam penentuan maupun tidak tercatat, antara lain kesalahan dalam
pembacaan rambu pasut.

Kesalahan pada pengukuran kedalaman dapat diberikan beberapa koreksi seperti di


bawah ini.

1. Koreksi Draft Transduser

Pengukuran kedalaman laut dengan menggunakan echosounder (perum gema) diukur


dari permukaaan transduser. Transduser merupakan bagian dari alat perum gema yang
mengubah energi listrik menjadi energi mekanik (untuk membangkitkan gelombang
suara) dan sebaliknya. Dalam pengukuran kedalaman, posisi transduser tidak
diletakkan tepat pada permukaaan laut dikarenakan pada saat perahu bergerak terjadi
gelembung udara akibat turbulensi air laut di permukaan karena pergerakan transduser.
Akibatnya gelombang akustik yang dikirim ke dasar laut dipantulkan kembali oleh
gelembung udara sebelum masuk ke dalam laut. Jadi posisi transduser harus terendam
dari permukaan laut (tergantung jenis kapal yang digunakan). Kedalaman yang
diperoleh bukan dari permukaan air laut, melainkan dari transduser. Jadi koreksi
kedalaman yang disebabkan letak transduser yang ada di bawah permukaan air disebut
koreksi draft transduser.

Koreksi draft transduser didapat pada saat mengukur bagian transduser yang terendam
dari permukaan laut pada saat kapal sedang berhenti. Besar koreksi ini sama terhadap
setiap setiap hasil ukuran kedalaman selama kedudukan transduser tidak berubah. Pada
beberapa alat koreksi ini dapat dilakukan langsung pada saat pengukuran sehingga

12
kedalaman ukuran yang didapat sudah terkoreksi oleh kesalahan kedudukan transduser
terhadap permukaan laut.

2. Koreksi Pasang Surut Laut

Pasang Surut (Pasut) laut merupakan perubahan tinggi muka laut yang disebabkan oleh
gaya tarik menarik antara benda-benda langit, khususnya bulan dan matahari. Faktor-
faktor lain yang dapat mempengaruhi perubahan tinggi muka air laut seperti arus dan
gelombang laut, curah hujan atau penguapan, serta curah hujan. Pengukuran
kedalaman laut yang dilakukan pada kapal, perahu atau transportasi laut lainnya akan
terpengaruh oleh pasut laut, seperti yang terlihat pada Gambar 2.4. Kedalaman laut
pada peta merupakan kedalaman terhadap chart datum sehingga dibutuhkan koreksi
pasut, yaitu jarak antara tinggi muka laut sesaat dengan chart datum.

Gambar 2.4 Konsep Penentuan Koreksi Pasut

Koreksi pasut dihitung dari data pengamatan pasut berupa tanggal dan waktu
pengamatan, dan tinggi muka air laut yang diukur berdasarkan tinggi nol dari alat
pengamatan tinggi air laut dalam periode waktu tertentu.

Persamaan dalam menghitung tinggi muka laut rata-rata adalah sebagai berikut:

∑𝑛
𝑗=1 𝑇𝑗
𝑇𝑀𝑆𝐿 = (2.2)
𝑛

13
dengan:
TMSL : Tinggi Mean Sea Level (MSL / Muka Laut Rata-rata)
Tj : Tinggi muka laut pada pengamatan pasut

Persamaan dalam menghitung tinggi chart datum (TCD) adalah sebagai berikut:

𝑇𝐶𝐷 = 𝑇𝑀𝑆𝐿 − 𝑍o (2.3)

dengan:
TMSL : Tinggi Mean Sea Level (MSL / Muka Laut Rata-rata)
Zo : Beda tinggi MSL dengan chart datum

Koreksi Pasut (KP) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

𝐾𝑃𝑗 = 𝑇𝑗 − 𝑇𝐶𝐷 (2.4)

dengan:
KPj : Koreksi pasut pada waktu pengamatan
Tj : Tinggi muka laut pada pengamatan pasut
TCD : Tinggi chart datum

3. Koreksi Barcheck

Kesalahan lain yang juga terdapat pada pengukuran kedalaman adalah kesalahan
perubahan kecepatan perambatan gelombang dari transuder ke dasar laut dan kembali
lagi ke transduser. Untuk mendapatkan koreksi yang mendekati kesalahan tersebut
maka dapat dilakukan pengukuran barcheck.

Barcheck adalah alat yang digunakan untuk melakukan kalibrasi alat perum gema.
Cara kalibrasi ini sangat membantu untuk mendapatkan ukuran kedalaman yang benar
dari akibat beberapa sumber kesalahan sekaligus, utamanya akibat ketidakhomogenan
medium rambat yg mengakibatkan tidak konstannya kecepatan gelombang suara.
Barcheck harus dilakukan sebelum dan sesudah kegiatan pengukuran kedalaman.

14
Prinsip metode barcheck adalah membandingkan kedalaman satu titik yang telah
ditentukan dan diketahui kedalamannya dibawah permukaan laut dengan kedalam titik
tersebut dari hasil pengukuran dengan alat perum gaya yang bersangkutan. Selisih nilai
kedalaman hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya tersebut adalah besarnya
kesalahan alat yang merupakan kombinasi dari dua kesalahan alat.

Titik yang telah diketahui kedalamannya direpresentasikan dalam bentuk suatu benda
yang terbuat dari bahan baja. Pada pelaksanaannya, batang atau piringan baja tersebut
digantungkan menggunakan rantai atau kawat baja, dan diletakkan tepat dibawah
transduser alat perum gema yang bersangkutan. Setelah dipasang sedemikian rupa,
kemudian dilakukan pengukuran dengan menggunakan alat perum gema pada saat
kapal dalam keadaan berhenti untuk mengetahui berapa kedalaman batang atau
piringan yang telah ditentukan sebelumnya.

2.1.5 Penentuan Posisi Horizontal Titik Fiks Perum


Penentuan posisi horizontal titik fiks perum dalam survei batimetri menggunakan
sistem DGPS (Differential Global Positioning System). Sistem DGPS adalah akronim
yang sudah umum digunakan untuk sistem penentuan posisi real-time secara
diferensial menggunakan data pseudorange (Abidin, 2007). Dalam realisasi keadaan
real-time-nya, monitor stasion harus mengirimkan koreksi diferensial ke pengguna
secara real-time menggunakan sistem komunikasi data tertentu, seperti yang terlihat
pada Gambar 2.5.

15
Gambar 2.5 Sistem DGPS
(Abidin, 2007)

Koreksi diferensial dapat berupa koreksi pseudorange maupun koreksi koordinat.


Pada umumnya koreksi yang digunakan adalah koreksi pseudorange. Koreksi
koordinat jarang digunakan dikarenakan koreksi koordinat menuntut bahwa stasiun
referensi pengirim koreksi serta pengamat mengamati set satelit yang sama, dimana
hal ini pada umumnya tidak selalu dapat direalisasikan dalam operasional di lapangan.
Ketelitian posisi pada sistem DGPS adalah sekitar 1 sampai 3 meter. Dengan ketelitian
tersebut maka sistem DGPS digunakan dalam survei kelautan, termasuk survei
batimetri.

Dalam penentuan posisi, manfaat sistem GPS dalam survei batimetri untuk
menentukan posisi kapal survei dan posisi data kedalaman yang akan dilakukan
pengukuran, yaitu posisi titik fiks perum. Titik fiks perum adalah titik-titik yang
mewakili kedalaman di sepanjang jalur pengukuran kedalaman yang akan ditentukan
posisi dan kedalamannya. Dalam survei batimetri posisi titik fiks perum diwakili oleh
transduser. Hal paling penting yang harus diperhatikan pada waktu pemasangan antena
GPS pada kapal adalah antena tersebut harus diusahakan membentuk garis lurus dalam
arah vertikal dengan transduser. Antena GPS tersebut biasanya ditempatkan pada pusat
gaya berat kapal untuk menghindari terjadinya cycle-slip dan mengurangi terjadinya
gerakan relatif antena akibat gelombang laut yang membuat kapal survei bergoyang
untuk mengoptimalkan data posisi yang didapatkan.

16
2.2 Persyaratan Teknis Penentuan Rute Pipa Bawah Laut
2.2.1 Rute Pipa Bawah Laut
Untuk penentuan rute pipa bawah laut terdapat suatu badan yang bergerak dengan
tujuan keselamatan hidup di lingkungan laut dan lepas pantai yaitu DNV (Det Norske
Veritas). DNV mengeluarkan klarifikasi dan sertifikasi serta menjamin kualitas kapal,
satuan-satuan lepas pantai yang bergerak, bangunan-bangunan lepas pantai yang tetap,
fasilitas-fasilitas dan sistem-sistem, serta melaksanakan riset dalam rangka
mendukung pekerjaan-pekerjaan tersebut (Yanto, 2007).

Pada proses penentuan rute untuk pemasangan dan pemendaman pipa gas bawah laut,
hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain:

1. Lokasi

Rute yang akan digunakan untuk pemasangan pipa sangat ditentukan oleh
banyak faktor yang dapat mempengaruhi kondisinya. Beberapa faktor yang
perlu diperhatikan pada saat pemasangan pipa adalah:

a. Lalu lintas kapal.


b. Aktifitas penangkapan ikan.
c. Instalasi lepas pantai.
d. Perpipaan dan kabel dasar laut yang sudah ada.
e. Kondisi dasar laut yang tidak stabil.
f. Penurunan dasar laut.
g. Dasar laut yang tidak rata.
h. Aliran air di dasar laut.
i. Aktivitas seismik.
j. Halangan atau rintangan.
k. Area penimbunan sampah, amunisi dan sebagainya.
l. Aktivitas penambangan.
m. Area latihan militer.
n. Site arkeologi purbakala.
o. Terbukanya terhadap kerusakan lingkungan.
p. Endapan-endapan karang.

17
2. Survei Rute Perpipaan

Survei yang bertujuan untuk pemasangan pipa bawah laut harus dilakukan
secara detail agar memberikan data yang cukup bagi aktivitas-aktivitas yang
terkait dengan desain dan instalasi pipa. Koridor pelaksanaan survei harus
mempunyai cakupan yang luas untuk mendapatkan informasi yang memadai
tentang pemasangan, keselamatan instalasi dan operasional dalam sistem
pemasangan pipa.

Survei yang dilakukan memiliki keakuratan yang bervariasi sepanjang rute


survei yang direncanakan. Kondisi topografi serta banyaknya rintangan yang
terdapat pada area survei membuat survei yang dilaksanakan memiliki
keakuratan yang berbeda. Pada area survei yang terdapat persilangan instalasi-
instalasi yang ada seperti kabel listrik serta pipa bawah laut harus dilaksanakan
secara akurat dan detail. Hasil survei yang ditampilkan pada peta-peta rute
yang akurat harus dapat memperlihatkan lokasi pipa dan hubungan fasilitas
yang ada dengan sifat-sifat permukaan dan anomali dasar laut.

3. Topografi Dasar Laut

Bentuk-bentuk topografi dasar laut dapat mempengaruhi instalasi dan stabilitas


pemasangan pipa adalah sebagai berikut:

a. Rintangan dalam bentuk singkapan batuan, batu guling besar, dan


sebagainya yang memerlukan operasi-operasi peralatan atau
pemindahan sebelum dilakukannya instalasi pemasangan pipa bawah
laut.

b. Bentuk topografi yang berisi gelombang pasir, lembah-lembah atau


longsoran dalam bentuk pola endapan atau pengikisan, dan lereng-
lereng yang tidak stabil.

18
2.2.2 Kriteria Pemilihan Rute Pipa Bawah Laut
Pemilihan rute merupakan faktor yang paling penting ketika mendesain pipa bawah
laut. Hal ini akan menentukan daerah-daerah dimana dapat dilewati atau tidak oleh
pipa bawah laut tersebut. Dalam pemilihan rute, hal yang perlu diperhatikan adalah
kriteria dalam pemilihan rute pipa bawah laut. Adapun kriteria dalam pemilihan pipa
bawah laut adalah sebagai berikut:

1. Memilih rute yang aman

Hal paling penting dan pertama kali yang harus dipikirkan dalam pemilihan
rute pipa adalah keamanannya. Pemilihan rute yang paling aman adalah rute
dengan dampak dan resiko yang paling minimum baik selama pemasangan
berlangsung sampai pipa telah dioperasikan. Pemilihan rute yang paling aman
harus memperhatikan keadaan dasar laut meliputi: profil dan sifat dari tanah
dan pasir dari dasar laut apakah datar, bervariasi atau curam. Dalam pemilihan
rute yang aman juga harus memperhatikan bahaya di dasar laut seperti batu,
karang, tumbuhan laut, sarana atau fasilitas yang ada di laut (seperti jaringan
pipa dan kabel bawah laut, rig, dan lain-lain).

Selain itu dalam pemilihan rute pipa yang aman harus memperhatikan beberapa
pertimbangan seperti stabilitas pipa bawah laut, beban hidrodinamis harus
dinilai untuk memeriksa apakah pipa akan stabil dan tidak akan bergerak di
dasar laut sebagai hasil dari gerakan arus dan gelombang.

2. Memilih rute yang mudah untuk pemasangan pipa

Memilih rute pipa bawah laut yang mudah dalam pemasangan merupakan salah
satu kriteria dalam pemilihan rute pipa. Pemilihan rute yang mudah harus
menghindarkan dari hambatan yang akan terjadi pada saat pemasangan pipa
dan toleransi untuk peletakan pipa. Salah satu hal yang diperlukan dalam
memilih rute yang paling mudah yaitu melihat keadaan serta seberapa besarnya
nilai slope (kemiringan) dasar laut dalam kaitannya dalam mudah atau sulitnya
pemasangan pipa bawah laut.

19
3. Memillih rute terpendek

Idealnya rute terpendek merupakan suatu garis lurus dari suatu tempat ke
tempat lainnya. Namun hal itu akan sulit terjadi disebabkan hal-hal berikut:

a. Geohazard risk, seperti aktifitas seismik, scarp, lumpur, seabed slopes,


bangkai kapal, seabed undulation, dan lain sebagainya.
b. Adanya fasilitas lain yang telah dipasang sebelumnya seperti platform,
jalur pipa bawah laut lainnya, kabel, wellhead, struktur bawah laut, dan
lain sebagainya.
c. Adanya area yang menyebabkan tidak bisanya dilakukan pemasangan
pipa, seperti batas internasional, area penangkapan ikan, jalur pelayaran
kapal, terdapat sisa-sisa hasil pengerukan, situs arkeologi, area militer,
dan lain sebagainya.
d. Adanya batasan dalam melakukan pemasangan, seperti pada metode
pemasangan, toleransi pemasangan pipa kurang, kelengkungan
minimum pipa, dan lain sebagainya.
e. Pertimbangan lingkungan sekitar, contohnya kedalaman perairan.

Dengan memilih rute pipa bawah laut yang terpendek maka akan
meminimalisasi biaya yang akan dikeluarkan untuk pemasangan pipa dan
mengefektifkan penggunaan pipa bawah laut dalam hal pendistribusian dari
satu tempat ke tempat lainnya.

Apabila telah memenuhi ketiga kriteria di atas, maka akan didapatkan hasil berupa rute
pipa bawah laut terbaik.

2.3 Penentuan Rute Pipa Bawah Laut


Sebelum melakukan penentuan rute pipa bawah laut, dibutuhkan data yang nantinya
akan digunakan untuk mendesain rute pipa. Untuk mendapatkan data tersebut
dilakukan beberapa survei diantaranya survei geodetik, survei hidrografi, survei
geologi atau geofisika, dan survei oseanografi. Data yang digunakan untuk penentuan
rute pipa bawah laut berisi informasi sebagai berikut:

20
a. Informasi lokasi pemasangan pipa.
b. Informasi posisi dan kedalaman daerah rencana rute pipa.
c. Informasi arus di sepanjang daerah rencana rute pipa.
d. Informasi pasang surut pada daerah rencana rute pipa.
e. Informasi seismik di sepanjang daerah rencana rute pipa.

Dalam penelitian tugas akhir ini data yang digunakan adalah data batimetri atau
kedalaman dimana terdapat data pasut yang digunakan terdapat data pasut sebagai data
koreksi untuk kedalaman ukuran. Hasil dan analisis pengamatan pasut menghasilkan
tinggi muka laut yang diwakili oleh Mean Sea Level dan chart datum yang akan
digunakan sebagai data untuk mengkoreksi hasil ukuran kedalaman. Hasil ukuran
kedalaman yang telah dikoreksi akan disajikan dalam bentuk peta batimetri. Kemudian
dari peta batimetri dibuat desain rencana rute pipa bawah laut.

2.3.1 Sumber Data dan Lokasi Survei


Pelaksanaan tugas akhir ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer berupa data posisi dan kedalaman titik-titik fiks perum
sepanjang jalur survei serta data pasang surut di Pulau Damar. Data ini diperoleh dari
survei Perairan Tanjung Priok dengan skala survei 1:1000 dengan rute pipa yang
direncanakan pada survei tersebut melewati alur pelayaran Pelabuhan Tanjung Priok.
Area survei ini berada pada koordinat (697801.631; 9343417.458) meter sampai
dengan (719614.051; 9332430.431) meter. Secara spesifik area survei pada daerah
yang diarsir (ditandai dengan garis berwarna biru) seperti pada Gambar 2.6.

21
Gambar 2.6 Lokasi Survei Batimetri di Perairan Tanjung Priok

Survei batimetri di Perairan Tanjung Priok dilakukan sepanjang dua jalur yaitu jalur
utama dan jalur silang. Jalur utama survei dilakukan setiap interval 20 m dengan lebar
koridor 500 m, untuk interval 20 m didapatkan jumlah jalur 26 dan panjang setiap jalur
survei adalah 27 km. Sedangkan jalur silang setiap 200 m dengan jumlah jalur 136
dengan panjang 0,5 km. Total panjang jalur sejauh 770 km.

Sedangkan data sekunder berupa data koordinat kabel dan pipa bawah laut di Perairan
Tanjung Priok (Dzihrina, 2008). Data koordinat kabel dan pipa bawah laut tersebut
dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Koordinat Kabel dan Pipa Bawah Laut di Perairan Tanjung Priok

X Y Keterangan
700182.622 9341121.102 Jasuarus Cable System, Jakarta-Perth
702290.755 9339765.062
704354.141 9339642.332
SEA-ME-WE 2/S2.1 Cable, Jakarta-Colombo
706377.908 9339641.929
SEA-ME-WE 2/S1 Cable, Jakarta-Colombo
707677.264 9339641.501
SEA-ME-WE 3/ S3 Cable, Jakarta-Colombo
709152.534 9339641.447
J-S Cable, Jakarta-Surabaya
Asia Pacific Cable Network (APCN), Jakarta-Singapore-
710639.359 9339641.318 Malaysia

22
2.3.2 Pengolahan Data Pasang Surut
Pengamatan pasang surut (pasut) digunakan sebagai koreksi untuk keperluan
pengolahan data batimetri atau kedalaman. Setelah diamati kemudian dilakukan
pengolahan data pasut dengan tujuan untuk memperoleh nilai tinggi Mean Sea Level
(MSL) dan chart datum yang akan digunakan sebagai referensi kedalaman pada peta
batimetri yang akan digunakan untuk penentuan rute pipa.

Data pasut yang diperoleh dari pengamatan di Pulau Damar merupakan data pasut
selama 30 hari dari tanggal 14 Mei sampai dengan 13 Juni 2006 dengan interval
pengamatan setiap 1 jam. Grafik pengamatan pasang surut dari tanggal 14 Mei- 13
Juni 2006 dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Completed Tidal Data in Damar Island


240 14-05-
2006
15-05-
2006
16-05-
220 2006
17-05-
2006
18-05-
200 2006
Height of Tide (cm)

19-05-
2006
20-05-
180 2006
21-05-
2006
22-05-
2006
160 23-05-
2006
24-05-
2006
140 25-05-
2006
26-05-
2006
27-05-
120 2006
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Time (Hours)

Gambar 2.7 Grafik Pengamatan Pasang Surut di Pulau Damar

Adapun data pengamatan pasut yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah data pasut
dari tanggal 24-30 Mei 2006, seperti yang terlihat pada Tabel 2.2.

23
Tabel 2.2 Contoh Data Pengamatan Pasang Surut di Pulau Damar

Time\Date 24-05-2006 25-05-2006 26-05-2006 27-05-2006 28-05-2006 29-05-2006 30-05-2006


0 206 209 221 220 225 230 224
1 185 205 203 209 213 218 222
2 185 193 195 193 203 210 214
3 176 180 184 182 189 191 190
4 168 170 173 163 175 173 189
5 166 160 150 148 167 163 178
6 169 160 141 138 146 149 162
7 169 164 141 131 135 130 149
8 168 169 141 133 132 126 135
9 165 169 140 134 131 124 133
10 165 170 145 137 134 128 135
11 165 172 150 143 141 133 138
12 165 173 155 145 148 142 146
13 168 175 161 158 154 154 149
14 173 178 167 166 163 159 164
15 173 183 173 177 170 166 175
16 180 191 183 187 181 179 179
17 192 205 192 200 191 189 189
18 208 214 215 213 200 195 199
19 218 227 220 224 209 205 209
20 222 235 230 229 217 211 216
21 223 237 235 234 230 219 222
22 223 232 238 239 235 225 228
23 223 231 233 235 236 226 225

Pengolahan data pasut menggunakan metode analisis pasut Doodson. Berdasarkan


metode Doodson, proses pengolahan data pasut menggunakan faktor-faktor Doodson
yang menggunakan data selama 39 data pengamatan atau 39 jam. Persamaan dalam
perhitungan dengan menggunakan metode analisis pasut Doodson adalah sebagai
berikut:

∑( 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑥 𝐵𝑎𝑐𝑎𝑎𝑛 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖) ∑( 𝐹 𝑥 𝑇)


𝑆𝑜 = ∑(𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟)
= ∑𝐹
(2.5)

𝐾𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑃𝑎𝑠𝑢𝑡 = 𝐻(𝑡) − 𝑆𝑜 + 𝑍𝑜 (2.6)

dengan:
H(t) : Tinggi pasut terhadap waktu t
So : Muka Air Laut Rata-rata sementara
Zo : Elevasi Muka Air Laut Rata-rata

24
Dalam metode Doodson didapatkan nilai MSL sementara yang merupakan datum
perum sebelum didapatkan bidang referensi kedalaman yang definitif, yaitu chart
datum. Sedangkan untuk mendapatkan nilai chart datum dan melakukan koreksi pasut
pada data kedalaman hasil ukuran kedalaman menggunakan persamaan (2.3) dan (2.4).

2.3.3 Pengolahan Data Batimetri


Data batimetri atau data kedalaman yang dicari adalah data kedalaman yang telah
dikoreksi dari kesalahan-kesalahan pada saat pengukuran. Data kedalaman yang telah
dikoreksi ini dapat digunakan sebagai data untuk membuat peta batimetri. Pada
pengukuran kedalaman ini secara bersamaan juga dilakukan penentuan posisi dari
titik-titik fiks perum, sehingga data yang didapatkan pada survei batimetri berupa data
posisi dan kedalaman. Gambar 2.8 merupakan gambaran kedudukan kedalaman laut.

Gambar 2.8 Gambaran Kedudukan Kedalaman Laut


(Djunarsjah, 2005)

Secara umum proses pengolahan data batimetri menggunakan persamaan sebagai


berikut:

d = 𝑑𝑢 − 𝑘 (2.7)

25
dengan:
d : Kedalaman laut pada peta
du : Kedalaman laut ukuran
k : Koreksi kedalaman laut (chart datum)

Pada umumnya terdapat dua kesalahan yang menyertai kegiatan survei batimetri yaitu
kesalahan cepat rambat gelombang akustik di laut dan kesalahan sarat transduser. Oleh
karena itu dilakukan koreksi kedalaman terhadap cepat rambat gelombang akustik
dengan menggunakan koreksi barcheck. Sedangkan kesalahan sarat ransduser
dikoreksi untuk sinkronisasi titik nol perum pada kertas echogram. Selisih nilai bacaan
dari echosounder setelah dikoreksi kedua kesalahan di atas kemudian dimasukkan
kedalam perangkat lunak navigasi untuk pengkoreksian secara otomatis. Kedua
kesalahan di atas dapat dikalibrasi sebelum proses pengukuran dilakukan sehingga
hasil bacaan yang keluar dari perangkat lunak navigasi merupakan kedalaman ukuran
yang telah terkoreksi dua kesalahan di atas.

Jadi dalam pengolahan data setelah pengukuran hanya menggunakan data pasang surut
untuk mengkoreksi data kedalaman ukuran. Data pengamatan pasut yang digunakan
harus sesuai dengan waktu pada saat pengukuran kedalaman dilakukan, hal ini
disebabkan perbedaan kedalaman atau tinggi permukaan laut merupakan fungsi dari
waktu. Kedalaman yang dicari dalam proses pengolahan data ini merupakan
kedalaman yang mengacu pada chart datum. Contoh data kedalaman ukuran sebelum
dikoreksi dengan koreksi pasut dapat dilihat pada Tabel 2.3.

26
Tabel 2.3 Data Posisi dan Kedalaman Sebelum Dikoreksi

Koordinat
Tanggal Waktu Kedalaman
Easting Northing
5/24/2006 22:26:04 697946.84 9343585.25 27.3
5/24/2006 22:26:09 697956.55 9343572.25 27.3
5/24/2006 22:26:15 697966.34 9343559.56 27.2
5/24/2006 22:26:20 697976.73 9343547.23 27.2
5/24/2006 22:26:25 697987.43 9343535.65 27.3
5/24/2006 22:26:30 697998.73 9343525.00 27.2
5/24/2006 22:26:36 698010.64 9343515.49 27.1
5/24/2006 22:26:41 698022.88 9343507.33 27.3
5/24/2006 22:26:46 698034.58 9343500.62 27.2
5/24/2006 22:26:51 698046.74 9343494.34 27.2
5/24/2006 22:26:57 698058.66 9343488.12 27.1
5/24/2006 22:27:02 698070.52 9343481.27 27.0
5/24/2006 22:27:07 698081.50 9343473.61 26.9
5/24/2006 22:27:12 698091.89 9343464.81 26.9
5/24/2006 22:27:18 698101.60 9343455.06 27.0
5/24/2006 22:27:23 698110.16 9343444.60 26.9
5/24/2006 22:27:28 698118.47 9343433.83 27.0
5/24/2006 22:27:33 698126.73 9343422.52 27.1
5/24/2006 22:27:39 698134.78 9343411.11 26.9
5/24/2006 22:27:44 698143.27 9343399.55 26.9
5/24/2006 22:27:49 698152.23 9343388.23 27.0

Data kedalaman yang diolah dalam tugas akhir ini adalah data kedalaman di Perairan
Tanjung Priok selama 5 hari dari tanggal 24 Mei - 30 Mei 2006. Secara umum data
kedalaman dikoreksi dengan pasut menggunakan persamaan (2.7). Hasil akhir yang
diperoleh adalah kedalaman yang mengacu pada chart datum.

2.3.4 Pembuatan Peta Batimetri


Data titik-titik fiks perum yang mempunyai nilai posisi dalam bentuk koordinat (X,Y)
dan nilai kedalaman (d) yang telah dikoreksi akan dilakukan pembuatan kontur
kedalaman atau peta batimetri dengan metode interpolasi menggunakan perangkat
lunak ArcGIS 10.1. Tujuan pembuatan peta batimetri ini adalah untuk mengetahui
gambaran topografi bawah laut berdasarkan aspek batimetri atau kedalamannya
sebagai informasi pemilihan rute untuk pemasangan pipa bawah laut. Pemilihan rute

27
ini berdasarkan syarat teknis dan kriteria pemilihan rute pipa bawah laut. Dalam
pembuatan peta kontur kedalaman pada perangkat lunak ArcGIS 10.1 digunakan tools
analisis spasial dengan metode Kriging.

2.3.5 Pembuatan Desain Rute Pipa Bawah Laut


Informasi kontur kedalaman yang didapatkan pada peta batimetri dijadikan acuan
untuk penentuan rute pipa bawah laut. Selain melihat kontur kedalaman, dalam
penelitian tugas akhir ini digunakan data pendukung yaitu data kemiringan (slope).
Data kemiringan (slope) akan menentukan kelandaian atau kecuraman dari wilayah
survei di Perairan Tanjung Priok dan berguna untuk informasi peletakan pipa bawah
laut.

Adapun pembuatan data kemiringan (slope) diperoleh setelah melakukan studi


literatur dari buku “Teknologi dan Perencanaan Sistem Perpipaan” (Raswari, 1986)
seperti pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Kriteria Kemiringan (Slope)

Kemiringan
Kelas Kategori
(slope)
0  –  1 % 1 Datar
>1 % –  2% 2 Agak Datar
3% - 8% 3 Variasi
9 % - 28 % 4 Agak Curam
29 % - 60 % 5 Curam

Kemudian dari data kontur kedalaman data kemiringan (slope) digabungkan dengan
kriteria pemilihan rute pipa bawah laut untuk mendapatkan rute pipa bawah laut
terbaik.

28
Bab 3

Hasil dan Pembahasan

3.1 Hasil
Hasil dari tahapan penentuan rute pipa bawah laut akan dipaparkan secara berurutan
sesuai dengan tahapan pengolahan data yang dilakukan.

3.1.1 Hasil Pengolahan Data Pasang Surut


Berikut ini merupakan contoh hasil pengolahan data pasut dengan metode Doodson,
seperti yang terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Contoh Pengolahan Data Pasut Metode Doodson

Ma y 15 - 16, 2006
Tinggi
Ja m Fa ktor Nila i Ke te ra nga n
(me te r)
0 223 1 223 S (TxF) =5552 m
1 210 0 0 S.F = 30
2 205 1 205 So = 185.1 = 185 m
3 192 0 0 Koreksi Pasut (KP)
4 184 0 0 = H (t) - 125 m
5 180 1 180
6 168 0 0
7 155 1 155
8 143 1 143
9 143 0 0
10 147 2 294
11 150 0 0
12 152 1 152
13 157 1 157
14 165 0 0
15 172 2 344
16 182 1 182
17 192 1 192
18 202 2 404
19 213 0 0
20 223 2 446
21 226 1 226
22 227 1 227
23 230 2 460
24 225 0 0
25 220 1 220
26 210 1 210
27 201 0 0
28 190 2 380
29 182 0 0
30 165 1 165
31 150 1 150
32 140 0 0
33 137 1 137
34 138 0 0
35 139 0 0
36 143 1 143
37 147 0 0
38 157 1 157

29
Berdasarkan perhitungan data pasut metode Doodson dari tanggal 15 Mei - 13 Juni
2006 dengan menggunakan persamaan (2.5), nilai MSL sementara (So) yang diperoleh
adalah sebesar 186 cm, sedangkan nilai Zo diperoleh dari data pasut yang dikeluarkan
oleh JANHIDROS 2005 sebesar 60 cm. Dengan menggunakan persamaan (2.6) maka
diperoleh koreksi pasut atau tinggi chart datum dari nol palem sebesar 126 cm.

Nilai tinggi chart datum yang dipakai untuk koreksi kedalaman dari tanggal 24 Mei -
30 Mei 2006. Adapun koreksi kedalaman (chart datum) pada tanggal tersebut seperti
terlihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Data Koreksi Kedalaman (Chart Datum)

Time\Date 24-05-2006 25-05-2006 26-05-2006 27-05-2006 28-05-2006 29-05-2006 30-05-2006


0 80 83 95 94 99 104 98
1 59 79 77 83 87 92 96
2 59 67 69 67 77 84 88
3 50 54 58 56 63 65 64
4 42 44 47 37 49 47 63
5 40 34 24 22 41 37 52
6 43 34 15 12 20 23 36
7 43 38 15 5 9 4 23
8 42 43 15 7 6 0 9
9 39 43 14 8 5 -2 7
10 39 44 19 11 8 2 9
11 39 46 24 17 15 7 12
12 39 47 29 19 22 16 20
13 42 49 35 32 28 28 23
14 47 52 41 40 37 33 38
15 47 57 47 51 44 40 49
16 54 65 57 61 55 53 53
17 66 79 66 74 65 63 63
18 82 88 89 87 74 69 73
19 92 101 94 98 83 79 83
20 96 109 104 103 91 85 90
21 97 111 109 108 104 93 96
22 97 106 112 113 109 99 102
23 97 105 107 109 110 100 99

3.1.2 Hasil Pengolahan Data Batimetri


Pada data pengukuran survei batimetri, data fiks perum atau kedalaman diambil setiap
5 detik sedangkan dalam pengamatan pasut, data yang diamati setiap interval 1 jam,
sehingga untuk mengoreksi data kedalaman menggunakan interpolasi dengan data
tinggi pasut. Dalam hal ini, digunakan interpolasi data pasut dari setiap interval per
jam menjadi interval per menit.

30
Secara umum pengkoreksian data kedalaman terhadap data pasut menggunakan
persamaan (2.7). Kemudian pengolahan data ini dilakukan dalam bentuk tabel
sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah kedalaman yang mengacu pada chart
datum. Data kedalaman yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini adalah data
kedalaman di Perairan Tanjung Priok selama 5 hari dari tanggal 24 Mei - 30 Mei 2006.
Contoh pengolahan data kedalaman setelah dikoreksi dengan koreksi pasut adalah
seperti yang terlihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Contoh Pengolahan Data Batimetri Setelah Dikoreksi

Koordinat Koreksi Kedalaman


Tanggal Waktu Kedalaman Chart Setelah
Easting Northing Datum dikoreksi
5/24/2006 22:26:04 697946.84 9343585.25 27.3 0.797 26.504
5/24/2006 22:26:09 697956.55 9343572.25 27.3 0.797 26.504
5/24/2006 22:26:15 697966.34 9343559.56 27.2 0.797 26.404
5/24/2006 22:26:20 697976.73 9343547.23 27.2 0.797 26.404
5/24/2006 22:26:25 697987.43 9343535.65 27.3 0.797 26.504
5/24/2006 22:26:30 697998.73 9343525.00 27.2 0.797 26.404
5/24/2006 22:26:36 698010.64 9343515.49 27.1 0.797 26.304
5/24/2006 22:26:41 698022.88 9343507.33 27.3 0.797 26.504
5/24/2006 22:26:46 698034.58 9343500.62 27.2 0.797 26.404
5/24/2006 22:26:51 698046.74 9343494.34 27.2 0.797 26.404
5/24/2006 22:26:57 698058.66 9343488.12 27.1 0.797 26.304
5/24/2006 22:27:02 698070.52 9343481.27 27.0 0.793 26.207
5/24/2006 22:27:07 698081.50 9343473.61 26.9 0.793 26.107
5/24/2006 22:27:12 698091.89 9343464.81 26.9 0.793 26.107
5/24/2006 22:27:18 698101.60 9343455.06 27.0 0.793 26.207
5/24/2006 22:27:23 698110.16 9343444.60 26.9 0.793 26.107
5/24/2006 22:27:28 698118.47 9343433.83 27.0 0.793 26.207
5/24/2006 22:27:33 698126.73 9343422.52 27.1 0.793 26.307
5/24/2006 22:27:39 698134.78 9343411.11 26.9 0.793 26.107
5/24/2006 22:27:44 698143.27 9343399.55 26.9 0.793 26.107
5/24/2006 22:27:49 698152.23 9343388.23 27.0 0.793 26.207

31
3.1.3 Hasil Pembuatan Peta Batimetri
Pembuatan peta batimetri pada penelitian tugas akhir menggunakan perangkat lunak
ArcGIS 10.1. Pada perangkat lunak ArcGIS 10.1 ini digunakan tools analisis spasial
dengan metode Kriging. Adapun tahapan pembuatan peta batimetri dengan metode
Kriging adalah sebagai berikut:

1. Input data posisi (X,Y) dan data kedalaman (d) yang telah terkoreksi dalam
bentuk format excel.

2. Import data tersebut kedalam perangkat lunak ArcGIS, maka akan terbentuk
lajur utama dan lajur silang pada survei batimetri yang telah dilaksanakan,
seperti yang terlihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Track Plot Jalur Survei Batimetri

3. Export data kedalaman (d) dengan tujuan untuk membentuk layer dengan nilai
kedalaman.

4. Kemudian dari data kedalaman tersebut akan dibuat kontur kedalaman derngan
metode interpolasi pada perangkat lunak ArcGIS. Dalam penelitian tugas akhir

32
ini menggunakan tools analisis spasial Kriging untuk melakukan interpolasi
data point menjadi raster surface dengan metode interpolasi Kriging.

5. Kontur kedalaman yang telah dinterpolasi kemudian dipotong sesuai lajur


survei batasan area 500 m x 27 km dengan menggunakan tools intersect pada
ArcGIS sehingga didapatkan lajur survei yang didalamnya terdapat data
kedalaman.

Adapun hasil tampilan dari pembuatan peta batimetri dengan menggunakan perangkat
lunak ArcGIS seperti yang terlihat pada Lampiran A.

3.1.4 Hasil Pembuatan Desain Rute Pipa


Selain menggunakan data kontur kedalaman, pembuatan desain rute pipa ini
menggunakan data sekunder sebagai data pendukung dalam proses analisis spasial
pada perangkat lunak ArcGIS yaitu data kemiringan (slope). Adapun tahapan
pembuatan desain rute pipa adalah sebagai berikut:

1. Peta kontur kedalaman dalam bentuk raster kemudian diolah lagi menjadi data
kemiringan dengan menggunakan tools analisis spasial slope.

2. Untuk membuat klasifikasi kemiringan yang diinginkan dalam bentuk kelas


kemiringan, digunakan tools analisis spasial reclassify untuk membuat interval
kemiringan dan kelas yang sesuai dengan kriteria kemiringan (slope) pada
Tabel 2.4. Tampilan pengklasifikasian kemiringan seperti yang terlihat pada
Gambar 3.2.

33
Gambar 3.2 Klasifikasi Kemiringan

3. Hasil dari reclassify merupakan peta kemiringan (slope) dengan format raster
sehingga perlu diubah menjadi data vektor dengan tools analisis spasial raster
to polygon.

4. Kemudian tentukan titik awal dan titik akhir sebelum membuat rute yang
diinginkan, dalam hal ini titik awal adalah KP. 133 (697801.63;9343417.46)
dan titik akhir adalah KP. 157 (718211.09;9334893.44), Kemudian buat layer
titik awal, titik akhir dan koordinat kabel dan pipa bawah laut dalam bentuk
shapefile.

5. Tentukan rencana rute pipa bawah laut dari titik awal sampai titik akhir
kemudian buat rencana rute pipa. Pembuatan rencana rute pipa bawah laut
dilakukan secara manual pada ArcGIS dengan membuat layer baru yaitu layer
rencana jalur pipa. Kemudian dari beberapa kombinasi rencana jalur pipa yang
dibuat, dipilih tiga rencana rute pipa bawah laut yang terbaik. Pemilihan
tersebut dipertimbangkan berdasarkan kriteria pemilihan rute pipa bawah laut.
Ketiga rencana rute pipa yang telah dipilih tersebut dapat dilihat pada Gambar
3.3.

34
Gambar 3.3 Rencana Rute Pipa Bawah Laut

35
3.2 Pembahasan

3.2.1 Lajur Survei

Gambar 3.4 Lajur Survei Tidak Sesuai Rencana

Dari contoh track plot lajur yang terlihat Gambar 3.4 terlihat ada beberapa lajur yang
memotong jalur lain yang disebelahnya, hal ini bisa terjadi di lapangan. Penyebabnya
misalkan untuk menghindari tabrakan dengan kapal lain, kapal survei melakukan
manuver sehingga keluar dari lajur yang telah ditentukan. Selain itu ketidaksesuaian
dengan lajur yang direncanakan juga disebabkan gelombang laut yang tinggi, objek
lain yang berbentuk karang atau sejenisnya, dan lain sebagainya sehingga kapal survei
keluar dari lajurnya.

Dampak yang ditimbulkan dari ketidaksesuaian lajur survei dengan rencana


sebelumnya antara lain adanya data kedalaman atau titk-titik fiks perum yang tidak
terekam sehingga kehilangan informasi pada area yang direncanakan. Untuk
mengatasi hal tersebut perlu dilengkapi dengan data tambahan seperti data
magnetometer, side scan sonar dan sub bottom profiling untuk memperlihatkan
penampakan dan posisi objek dari dasar laut.

36
3.2.2 Visualisasi Dasar Laut Berdasarkan Kemiringan
Wilayah survei dari segi penampakan dasar laut bila ditinjau dari faktor kontur
kedalaman dan kemiringannya menunjukkan bahwa wilayah survei tersebut relatif
datar (didominasi warna hijau), seperti yang terlihat pada Gambar 3.5. Kondisi ini
menyebabkan tidak banyak ditemuinya kendala jika melakukan proses peletakan pipa
bawah laut jika ditinjau dari aspek penampakan dasar lautnya.

Gambar 3.5 Visualisasi Dasar Laut dan Jalur Pipa Berdasarkan Kemiringan

Dari gambar di atas juga ditunjukkan rencana rute pipa bawah laut dibelokkan ke
bagian tepi koridor survei untuk menghindari wilayah yang mempunyai kontur
bervariasi (warna kuning), mengingat pertimbangan dari adanya kriteria dari rute pipa
bawah laut tersebut. Hal ini disebabkan untuk mengurangi dampak atau kerugian dari
segi keamanan dan kemudahannya. Dampak lainnya adalah panjang dari rute pipa itu
akan mengalami pertambahan bergantung kepada seberapa jauh pergeserannya.

37
3.2.3 Rencana Rute Pipa Berdasarkan Kriteria Pemilihan Rute Pipa Bawah Laut
Berdasarkan kriteria pemilihan rute pipa bawah laut maka harus dilakukan
penyesuaian rencana rute pipa bawah laut. Dilihat dari kriteria pertama yaitu memilih
rute yang aman, maka rencana jalur pipa harus melihat kondisi di lingkungan sekitar,
seperti adanya beberapa jalur dan kabel bawah laut yang terpasang sebelumnya di
wilayah survei tersebut, maka diusahakan rute pipa yang direncanakan tidak
bersinggungan dan bahkan menghindari jalur dan kabel bawah laut yang telah ada,
seperti yang terlihat pada Gambar 3.5 sebelumnya. Selain itu juga rute yang aman
dapat juga dilihat dari kondisi dasar laut. Kondisi dasar laut dapat dilihat dengan
menggunakan alat sub bottom profiling untuk melihat sampel dasar laut. Namun
mengingat dalam penelitian tugas akhir hanya menggunakan data kedalaman, maka
rencana rute harus diusahakan melewati area dengan kedalaman yang relatif datar atau
landai.

Kemudian untuk kriteria kedua yaitu memilih rute yang mudah, dalam hal ini yang
dilihat dari kemudahan dalam pemasangan pipa bawah laut. Mengingat pipa akan sulit
dipasang pada daerah yang mempunyai kemiringan (slope) yang tidak rata atau
bervariasi dan curam, sehingga dilakukan pemilihan area pada rencana jalur pipa.
Pemilihan ini dilakukan untuk menghindari kemiringan yang curam atau terjal tetapi
tetap memperhatikan syarat teknis peletakan pipa bawah laut.

Adapun rute pipa yang memenuhi kriteria aman dan mudah seperti yang terlihat pada
Gambar 3.6. Rencana rute tersebut melewati area yang memiliki kontur dan slope yang
relatif datar (warna hijau) dan menghindari area yang bervariasi bahkan curam (warna
kuning dan merah).

38
Gambar 3.6 Rencana Rute Pipa Memenuhi Kriteria Rute Pipa Bawah Laut

Sedangkan kriteria ketiga yaitu memilih rute terpendek juga harus memperhatikan
kedua kriteria yang telah disebutkan di atas. Selain itu juga perlu dipertimbangkan
jarak dan faktor ekonomis untuk meminimalkan biaya pemasangan pipa bawah laut.
Dengan menggunakan tools measure pada ArcGIS dihitung jarak kumulatif dari ketiga
kombinasi rute pipa bawah laut yang telah dibuat seperti pada Gambar 3.3. Dari ketiga
kombinasi kemudian didapatkan perbandingan jarak rute, seperti yang terlihat pada
Tabel 3.4. Rute pipa bawah laut yang memiliki rute terpendek yaitu rencana jalur pipa
3 (warna biru) yang memiliki panjang rute 23.889 km.

Tabel 3.4 Perbandingan Panjang Rute Pipa Bawah Laut

Nama Panjang Rute (km)


Rencana Jalur Pipa 1 24.125
Rencana Jalur Pipa 2 23.993
Rencana Jalur Pipa 3 23.899

39
Menurut tiga kriteria pemilihan rute pipa bawah laut, rencana jalur pipa 3 (warna biru)
telah memenuhi kriteria, sehingga didapatkan kesimpulan bahwa rute pipa bawah laut
terbaik merupakan rute pipa bawah laut yang rutenya mendekati tengah koridor survei.
Adapun tampilan rencana rute pipa bawah laut terbaik tersebut seperti yang terlihat
pada Lampiran B.

40
Bab 4

Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dalam penelitian tugas akhir ini adalah:

1) Data batimetri dan data data kemiringan (slope) dapat dimanfaatkan untuk
penentuan rute pipa bawah laut.

2) Data kemiringan (slope) dapat dibuat dari data kontur kedalaman. Data
kemiringan tersebut dimanfaatkan untuk penentuan kategori zona kemiringan
(datar, bervariasi, atau curam) dalam proses pemilihan rute pipa dengan
memperhatikan kriteria pemilihan rute pemasangan pipa bawah laut.

3) Berdasarkan hasil dan survei batimetri di Perairan Tanjung Priok diperoleh:

a) Dari ketiga kombinasi rencana jalur pipa, rencana jalur pipa 3 yang
telah memenuhi kriteria pemilihan rute pipa bawah laut.
b) Rencana rute pipa bawah laut terpendek memiliki panjang rute 23.899
km.

c) Rute pipa bawah laut terbaik merupakan rute pipa yang mendekati
tengah koridor survei.

4.2 Saran

Saran dalam penelitian tugas akhir ini adalah:


1) Untuk mendapatkan akurasi serta kelengkapan data untuk pembuatan rute pipa
bawah laut, selain data batimetri dibutuhkan data tambahan dari survei lain
untuk mendukung survei batimetri, seperti survei magnetometer, side scan

41
sonar, dan sub bottom profiling. Side scan sonar digunakan untuk
mendapatkan surface (bentuk) dasar laut dan mendeteksi keberadaan kabel dan
pipa bawah laut lainnya, magnetometer digunakan untuk mendeteksi objek-
objek lain yang ada di dasar laut, dan sub bottom profiling digunakan untuk
pengambilan sampel dan mengetahui gambaran kondisi dasar laut.

2) Data batimetri beserta data tambahan atau data pendukung yang telah
disebutkan diatas dapat digunakan untuk penentuan rute pipa bawah laut
dengan tools pada perangkat lunak ArcGIS dengan menggunakan metode
distance function dan path function. Distance function digunakan untuk
mendapatkan jarak terdekat dari satu tempat ke tempat lainnya dari perhitungan
kombinasi jarak yang didapatkan, sedangkan path function dapat digunakan
untuk penentuan jalur rekomendasi, yang merupakan hasil dari perhitungan
kombinasi perhitungan akumulasi berbagai peluang jalur untuk pada akhirnya
menghasilkan sebuah jalur dengan rute terpendek.

3) Dalam pembangunan pipa bawah laut, sebaiknya rencana rute pipa bawah laut
dilengkapi dengan data pipa bawah laut itu sendiri yang dibutuhkan untuk
instalasi dan konstruksi pipa tersebut seperti dari ukuran penampang pipa,
elastisitas pipa, sistem penyangga pipa, syarat peletakan atau pemendaman
pipa, dan sebagainya.

42
Daftar Pustaka

Abidin, H. Z. (2007). Penentuan Posisi GPS dan Aplikasinya. PT. Pradnya Paramita,
Jakarta.

DNV. (1996). DNV Pipeline Rules for Submarine Pipeline System. Det Norske
Veritas, Veritasveien, Norway.

Dzihrina, D. (2008). Tugas Akhir: Visualisasi Jalur Kabel dan Pipa Bawah Laut
Indonesia. ITB, Bandung.

ESRI. (2010). ArcGIS Desktop 10.1 Guide Book. ESRI, New York.

IHO. (1998). Special Publication 44. International Hydrography Bureau, Monaco.

Poerbandono & Djunarsjah, E. (2005). Survei Hidrografi. PT. Refika Aditama,


Bandung.

Rahman, B. A. (2013). Tugas Akhir: Penentuan Jalur Pemasangan Kabel Listrik


Bawah Laut dengan Analisis Spasial dan Interpretasi Citra Side Scan Sonar.
ITB, Bandung.

Raswari. (1986). Teknologi dan Perencanaan Sistem Perpipaan. UI Press, Jakarta.

Suhandri, H. F. (2006). Tugas Akhir: Survei Perencanaan Kabel Listrik Bawah Laut
(Studi Kasus: Kepulauan Seribu DKI Jakarta). ITB, Bandung.

Yanto, H. (2007). Tugas Akhir: Pemanfaatan Informasi Batimetri untuk Keperluan


Peletakan Pipa Bawah Laut. ITB, Bandung.

43
Lampiran A: Peta Batimetri Perairan

Tanjung Priok

I
Lampiran B: Peta Rencana Rute Pipa Bawah

Laut

II

Anda mungkin juga menyukai