Anda di halaman 1dari 2

Ikhlas adalah amaliyah hati yang tingkatannya sangat tinggi.

Ikhlas ini berkaitan dengan amaliyah dzohir


manusia. Berbeda dengan sabar, yang mana sabar adalah sifat menerima atas suatu ketetapan, ketentuan
dan sesuatu yag mengenai dirinya.

Ikhlas justru sebaliknya, yaitu baru akan terlihat setelah terjadinya suatu amal. Orang yang ikhlas dalam
beramal adalah mereka yang merasa seakan-akan tidak melakukan amal itu. Jika di analogikan, ikhlas itu
bekerja tanpa minta upah.

Bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi, beramal karena mengharap surga itu masih belum termasuk
ikhlas, sebab dalam amalnya masih mengharap sesuatu, yaitu surga.

Namun bukan berarti beramal karena mengharap surga dan takut neraka itu tidak baik. Menurut Imam Al
Ghozali, beramal karena mengharap surga itu hukumnya sah dan bagus serta berfaidah diterimanya suatu
amal.

Baca: Contoh Kultum Singkat Tentang Sabar

Manusia Hanya Diperintah Menyembah Allah Dengan Ikhlas

Disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Bayyinah ayat 5:

‫الزكَاة َ ۚ َو َٰذَلِكَ ِدينُ ْالقَيِ َم ِة‬ َ ‫ِصينَ لَهُ الدِينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال‬
َ ‫ص ََلة َ َويُؤْ تُوا‬ َ َ ‫َو َما أُمِ ُروا إِ َّل ِليَ ْعبُدُوا‬
ِ ‫َّللا ُم ْخل‬

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan Ikhlas menaatinya semata-mata karena
(menjalankan) agama”.

Dari keterangan ayat diatas menunjukkan bahwa betapa tingginya derajat sifat ikhlas. Dengan ikhlas, semua
orang dengan profesinya masing-masing telah menjadi seorang sufi (orang yang bersih hatinya).

Jika ia adalah seorang pedagang maka akan menjadi pedagang yang baik dan jujur. Jika ia adalah seorang
petani maka akan menjadi petani yang baik. Jika ia adalah seorang pejabat maka akan menjadi pejabat yang
baik, dst.

Semua Manusia Akan Rusak Kecuali yang Memiliki Sifat Ikhlas

Imam Ghozali Rohimahullah berkata:

“‫”الناس كلهم هلك إّل العالمون والعالمون كلهم هلك إّل العاملون والعاملون كلهم هلك إّل المخلصون والمخلصون على خطر عظيم‬

Semua manusia akan rusak, kecuali manusia yang berilmu. Semua manusia berilmu akan rusak, kecuali yang
mengamalkan ilmunya. Semua manusia berilmu yang mengamalkan ilmunya akan rusak, kecuali yang ikhlas.
Dan orang-orang yang ikhlas pun masih dalam keadaan kekhawatiran yang besar.

Dari ungkapan diatas menunjukkan bahwa semua ilmu dan amal akan sia-sia jika didalamnya tidak ada sifat
ikhlas. Ilmu dan amal itu tidak dapat dibanggakan. Bagaimana mau dibanggakan, sedangka yang ikhlas saja
masih dalam keadaan khawatir yang besar.

Definisi Ikhlas Menurut Imam Al Ghozali

Menurut Imam Al Ghozali, sifat ikhlas mempunyai prinsip, hakikat dan kesempurnaa. Prinsip ikhlas yaitu niat,
karena didalam niat itu sendiri ada sebuah keikhlasan.

Sedangkan hakikat ikhlas yaitu kemurnian suatu niat dari kotoran-kotoran yang mencampurinya. Dan
kesempurnaan ikhlas adalah sebuah kejujuran.

Itulah definisi atau pembagian ikhlas secara singkat oleh Imam Al Ghozali untuk materi kultum singkat tentang
ikhlas. Dalam keterangan yang lebih panjang beliau masih menjelaskan lagi dari masing-masing pembagian
tersebut.
Disebut dalam Nahjul Balaghah bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, ada kaum yang menyembah Allah karena
mengharapkan pahala. Inilah ibadah pedagang. Ada kaum yang menyembah Allah karena takut. Inilah ibadah
budak. Ada juga kaum yang menyembah Allah karena bersyukur kepada-Nya. Inilah ibadah orang merdeka.
Menurut az-Zuhri, melalui hadis ini Ali bin Abi Thalib berbicara mengenai tipe-tipe orang beribadah
berdasarkan tingkatan keikhlasannya.

Az-Zuhri menjelaskan bahwa ikhlas tergambarkan dengan sangat indah dalam doa Iftitah. Kita berjanji setiap
salat, “sesungguhnya salatku, pengorbananku, hidupku, dan matiku lillahi Rabbil ‘Alamin.” Jadi, ikhlas ialah
“mengerjakan segala sesuatu “lillah”. Menurut al-Ghazali ada tiga makna lillah; karena Allah (lam yang berarti
sebab) dan untuk Allah (lam berarti tujuan), dan kepunyaan Allah (lam berarti milik). Makna-makna ini,
menurut al-Ghazali, menunjukan tingkatan keikhlasan itu sendiri. Kepunyaan Allah adalah tingkat ikhlas yang
paling tinggi.

Pertama, ikhlas karena Allah. Bila kita memberikan bantuan kepada orang yang kesusahan, karena kita
mengetahui bahwa Allah memerintahkannya, kita beramal karena Allah. Bila kita menghentikan bantuan
kepada orang itu, karena ternyata orang itu tidak berterima kasih bahkan menjelek-jelekkan kita di mana-
mana, kita tidak ikhlas. Amal kita dipengaruhi oleh reaksi orang lain kepada kita.

Kita bersemangat beramal, ketika orang-orang menghargai kita, memuji kita, atau paling tidak memperhatikan
kita. Kita kehilangan gairah berjuang, ketika orang-orang mencemooh kita, menjauhi kita, atau bahkan
mengganggu kita. Inilah tingkatan ikhlas yang pertama, sebuah tingkatan yang masih dalam tahapan ikhlas
namun tetap memosisikan manusia pada kemanusiannya.

Kedua, ikhlas untuk Allah. Tahapan ikhlas dalam pengertian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: kalau kita
beribadah kepada Allah sekedar untuk mendapatkan pahala sebenarnya ibadah itu diperuntukkan untuk diri
kita sendiri. Karena itu, kalau kita mengharap pahala dengan sendirinya pahala itu untuk kepentingan kita,
padahal ibadah yang ikhlas itu untuk Allah semata-mata.

Misalnya, kalau kita beramal untuk menghindari siksaan Allah, maka sebenarnya yang dibela adalah diri kita
sendiri dan bukan mencari keridhaan Allah. Kalau kita beribadah kepada Allah hanya untuk mendapatkan
kenikmatan surga beserta isi-isinya yang penuh dengan bidadari cantik jelita, fasilitas gedung yang megah,
makanan yang terjamin enak, bergizi dan segar, sebenarnya ibadah kita itu ditujukan bukan untuk Allah, tapi
untuk kepentingan kita sendiri, untuk ego kita yang masuk terkungkung dengan semangat mencari
keuntungan untuk diri sendiri dalam beribadah, semangat untuk mengumpulkan kas pahala yang kemudian
digunakan untuk membeli kunci surga. Memang amal kita pada tataran seperti ini sudah karena Allah tapi
belum untuk Allah.

Ibadah untuk Allah lahir dari rasa syukur, rasa terima kasih, rasa berutang budi kepada-Nya. Yang mendorong
sang hamba untuk mengabdi kepada Allah bukan lagi keinginan akan pahala atau ketakutan akan siksa, tetapi
cinta kepada-Nya. Inilah makna ikhlas untuk Allah (lillah).

Ketiga, ikhlas kepunyaan Allah. Pada tahapan ini, ada hadis menarik dari Nabi yang berbicara tentang
mengikhlaskan amal dengan tingkatan kepunyaan Allah ini. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia,
siapa yang berjumpa dengan Allah sambil menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan
mengikhlaskan ucapan tersebut dengan tidak bercampur dengan yang lain itu, maka dia masuk surga.”
Kemudian Ali bin Abi Thalib bertanya, “ya Rasulullah bagaimana ikhlas yang tidak bercampur dengan yang
lain itu.” Rasul SAW menjelaskan, “Betul, yang mencampuri keikhlasan itu adalah kerakusan terhadap dunia
dan mengumpul-ngumpulkannya.”

Artinya, ikhlas kepunyaan Allah ini ialah ikhlas yang menghindarkan diri kita dari keterikatan hati dengan hal-
hal yang berbau materi. Materi memang harus dimiliki karena tidak mungkin kita masuk surga tanpa ada
ongkos materi yang memadai. Tidak mungkin kita bisa masuk surga tanpa duit untuk sedekah, zakat, infak
dan lain-lain. Pada tahap ini, ikhlas berarti terhindarnya hati dari segala tujuan selain Allah dan terlepas dari
kepentingan pribadi kita. Semua itu dimuarakan pada kepentingan milik Allah.

Anda mungkin juga menyukai