Anda di halaman 1dari 2

Praktik pernikahan sebelum islam

Perkawinan bangsa arab masa pra islam masih kental sekali menampakkan nuansa
patriarkhi dalam pengaturannya. berbagai bentuk perkawinan yang ada lebih
menempatkan perempuan sebagai objek yang harus tunduk dan mengikuti
kehendak laki-laki (suami) daripada teman hidup yang bakal memberikan keturunan
kepadanya. Perempuan tidak mempunyai hak dalam menentukan perkawinan. Yang
menentukan adahal ayah, kakak-kakak laki-lakinya, atau sadara laki-lakinya yang
lain dari pihak keluarganya. Mereka tidak memertimbangkan apakah peremuan tadi
janda atau gadis, sudah tua ataupun masih dibawah umur dan tanpa
mempertimbangkan hal lain dari sang perempuan. Pihak perempuan itu sendiri
harus menerima tanpa dimintai pertimbangan apalagi persetujuan. (soorma,1996:33)

Bentuk perkawinan yang memdominasi pada masa in adalah perkawinan yang


bersifat kontraktual. Konsep perkawinan sebagai sebuah akad yang sakral yang
tidak bernilai ibadah yang berdasaerkan syariat islam tetapi digunakan untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu sesuai kesepakatan tradisi tersebut. Bisa dilihat
dalam beberapa contoh perkawinan berikut.

Perkawinan al-daizan, yaitu bentuk perkawinan yang menetapkan apabila suami dari
seoran perempuan meninggal dunia, anak laki-laki tertua berhak untuk
mengawininya. Bahkan anak teesebut memiliki hak untuk mengawinkannya dengan
orang dan melarang menikah sampai dia meninggal. Jika perempuan itu meninggal
maka ia yang akan mewarisi hartanya. Atau perempuan itu boleh membebaskan diri
dengan syarat membayar uang tebusan yang disepakati (engineer,1994:32) bentuk
perkawinan ini juga disebut dengan pernikahan al-mukti yaitu anak yang mengawini
ibu tirinya setelah ayahnya meninggal atau bercerai dari bapaknya.
(Hasyim;2001:147) jelas pernikahan ini bertentangan dengan Al-quran seperti
disebutkan dalam surah An-Nisa’,4:22. Selain melarang pernikahan itu juga
dijelaskan terperinci bahwa wanita-wanitayang muhrim dilarang untuk dinikahi.

Ada juga pernikahan Zawwaj al-badal (saling bertukar istri). Seorang laki-laki
meminta agar laki-laki lain melepaskan istrinya untuk diperisetri dan istrinya di peristi
laki-laki lain tersebut. Ini terjadi tanpa maskawin (engineer,1994,33). Bentuk ini
memiliki kesamaan dengan perkawinan Zawwaj al-sighar yaitu perkawinan yang
pengantin laki-lakinya memberikan anak atau saudara perempuannya untuk
dinikahkan dengan laki-laki yang akan mengawinkannya dengan saudara
peremouan laki-laki tersebut tanpa mahar.

Bentuk perkawinan yang lain adalah zawwaj al-istibda’, yakni seorang suami akan
meminta isterinya untuk bersetubuh dengan laki-laki yang dianggap mempunyai
kekuatan dan kelebihan, agar isteri tersebut bisa hamil dan mengandung anaknya.
Anak yang lahir nantinya dianggap sebagai suatu hadiah dari orang tersebut.
(engineer,1994:34)

Bentuk perkawinan yang lain adalah seseorang laki-laki yang menikahi tawanan
perang perempuan, diebut nikah al-zainah. Perempuan itu tidak dapat menolak
karena selain ia tahanan laki-laki tersebut mempunyai hak penuh. Tidak ada
maskawin dan khutbah nikah dalam hal ini. Jika ia melahirkan ia dapat dibebaskan
ataupun tetap menjadi budak, itu semua tergantung laki-laki tersebut.

Anda mungkin juga menyukai