Anda di halaman 1dari 38

Part 1: 2013

Pagi itu Miska senang sekali. Hari pertama ia menjadi anak kelas 11. Seragam putih
abu abu yang membaluti tubuhnya begitu pas dan cocok untuk dirinya yang anggun.
Langkahnya menyusuri trotoar seolah bagai menari, meliukkan kaki dan tangannya yang
selaras. Tiiinn...tiiin.. Suara klakson motor dari belakang mengagetkannya, rupanya Mella.
Sahabat yang selalu mendampingi. Memang sudah ada janji kalau Mella ingin
menjemputnya.

"Tumben seneng amat, Non" sapa Mella kemudian, yang disapa cuma mesem.

"Lah, kamu tumben nggak telat?" Tanya Miska sembari menaikkan badannya di
motor kesayangan Mella.

"Senangnya ya, kita udah kelas 11. Nggak terasa deh" pinta Mella. Miska hanya
mengangguk.

Duapuluh menit berlalu, akhirnya mereka sampai tenpat tujuan. Ya, SMA Bhakti
Mulia. Merupakan SMA favorit di kota mereka tinggal. Masih ada sekitar lima menit bel
masuk akan berbunyi. Waktu lima menit ia gunakan untuk memfotokopi berkas berkas osis,
karena mereka anggota osis. Saat tiba di koperasi, mereka melihat sosok cowok yang tak
mereka kenal. Postur tinggi, tampan, kulitnya putih. Seketika sepasang mata mereka masing
masing beradu dengan mata cowok tersebut. Langkah semakin canggung.

"Haii.." sapa cowok itu, yang disapa hanya tersenyum. Siapa lagi kalau bukan Miska
dan Mella. Karena hanya mereka bertiga pengunjung koperasi pagi itu.

"Mau beli apa?" Tanya cowok itu lagi.

"Mm....itu," jawab Mella gaguk sembari menunjuk arah mesin fotokopi.

"Oh, fotokopi.. yasudah, saya duluan yaa," pinta cowok itu.

Mereka lagi lagi hanya bisa mengangguk. Beberapa saat kemudian, Mella
menyerahkan berkas yang akan dicopi kepada penjaga koperasi. Sesaat kemudian, Miska
ingin mencuri pandang barang sebentar kepada cowok yang menyapanya barusan. Ia sedikit
menoleh ke belakang. Blaiikk! Miska melihat cowok tersebut sedang berbicara.
Namun aneh, disebelahnya tidak ada siapa-siapa. Ia mengucek maya sebentar, lalu
melihatnya lagi. Bener, cowok tersebut memang sedang berbicara. Tiba-tiba bulu kuduk
Miska berdiri. Merinding seketika. Namun ia belum berani bercerita kepada sahabatnya.
Part 2: 2013

Pagi tadi saat berada di koperasi, ia melihat cowok yang menyapanya dan Mella,
sedang terlihat asik seperti mengobrol, namun ia tak melihat siapa yang diajaknya mengobrol.
Miska merinding, ia merasakan hawa yang aneh. Bulu kuduknya tak henti berdiri. Hingga
Mella selesai memfotokopi berkas, ia masih saja merinding.

"Kenape lu Mis? Kayak orang linglung begitu, sakit?" Tanya Mella sembari
menggamit lengan Miska untuk beranjak ke kelas, berhubung bel masuk sudah berbunyi.
Miska masih saja diam, belum berani menceritakan pada Mella.

Saat semua sudah duduk rapi di dalam kelas, pak Dodit segera masuk. Beliau masuk
dengan tegap seperti biasanya. Pak Didit ini adalah guru matematika sekaligus wakil kepsek
bidang kesiswaan.

"Anak-anak, kita kedatangan murid baru. Nak, silakan masuk.." pinta pak Dodit di
depan kelas, beliau menyuruh orang yang dimaksud anak baru untuk memasuki kelas.

Ruangan kelas mulai riuh. Kebiasaan jika mendapat anak baru. Ada yang mengintip,
ada yang berbisik, ada pula yang cuit cuit. Semua asik dengan sendirinya. Miska dan Mella
hanya diam tanpa menanggapi apa-apa. Akan tetapi, ia dikejutkan oleh anak baru yang
dimaksud Pak Dodit tadi, anak itu yang tadi pagi menyapa mereka saat di koperasi. Miska
dan Mella saling tatap.

"Nak, perkenalkan dirimu nak.." ucap pak Dodit pada anak baru tersebut.

"Ehm.. perkenalkan nama saya Dhika Mahesa Purnama. Bisa dipanggil Dhika,
terimakasih.." ucapnya pelan namun tegas, berwibawa. Suaranya.. ah, membuat para cewek
dikelas berbinar binar. Lantas anak baru yang mengaku bernama Dhika menebar senyuman
dan sontak matanya terpaku saat melihat mereka. Ia melambaikan tangan pelan pada Miska
dan Mella, mereka hanya menjawab dengan senyum.
Saat itu, kebetulan di samping Misa ada satu bangku yang belum ditempati, Dhika memilih
duduk di samping Miska.

"Haii, ketemu lagi. Nggak nyangka kita sekelas ya," pintanya lembut pada Miska
sembari menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan, Miska membalas uluran tangannya.

"Ee.. eh, ii.. iya.. tadi kamu ke koperasi ngapain?" Tanya Miska.
"Aku beli lks, aku kan belum dapet, sama alat tulis.." pinta Dhika riang. Sesaat hati
Miska tiba tiba aneh. Bergetar saat melihat senyum dan tatapan mata Dhika. Wajahnya
memerah.

"Kamu tadi fotokopi apa?" Dhika kembali bertanya. Yang ditanya gelagapan.

"Emhh.. itu, berkas osis. Daripada nunggu bel dikelas, mending buat fotokopi dulu,
soalnya mau reor, jadi agak banyak tugas di osis.." jelas Miska panjang lebar.

"Miska...! Jangan ngobrol sendiri, walaupun nilaimu bagus, jangan menyepelekan.


Kamu dapat saingan baru, Dhika pindahan sekolah favorit dari kota samping, justru lebih
baik dari sekolah ini, jadi perhatikan saat bapak menerangkan," tegur pak Dodit panjang
lebar, pak Dodit memang selalu berbicara panjang saat menegur siswa, disangkutpautkan
dengan yang lain, maklum, waka kesiswaan.

"Kalau kalian mau mengobrol, silakan nanti saat istirahat. Siapa tahu kalian berjodoh,
bapak malah senang." Pinta pak Dodit disertai dengan ocehan teman temannya sekelas.

Wajah Miska kembali merah semu. Ia malu. Sesaat kemudian mereka saling
tertunduk. Akan tetapi mencuri pandang satu sama lain. Lantas Miska dan Dhika saling
senyum.

Bel pulang sekolah berbunyi. Bergegas semua siswa berhamburan dari kelasnya
masing masing. Begitupun di kelas Miska. Hari itu, Mella sedang ada rapat sie nya.
Sedangkan Miska sebagai pengurus harian osis, tidak ada kegiatan apapun waktu itu.

"Tunggu ya, Non. Aye bentar kok rapatnya. Paling 30 menit selese," pinya Mella.

"Yup, tak tunggu depan gerbang yah," ucap Miska sembari jalan. Mella mengangguk.

Saat hampir sampai di depan gerbang, Miska melihat Dhika yang sedang mondar
mandir di tengah lalu lalangnya para siswa.

"Hh..hhaii.." sapa Miska. Ia agak sedikit gugup.


"Hallo, Miska.. mau pulang?" Tanyanya riang. Ia selalu menunjukkan senyum yang
mematikan itu, membuat Miska kembali kikuk.

"Kok, tahu namaku?" Tanya Miska basa basi.

"Hlahh, tadi pak guru negur namamu Miska, jadi aku tahu.." jawabnya.
"Ohh, iya ding. Aku lupa, hhe.." pinta Miska.

"Hloh, kok malah duduk, nggak pulang?" Tanya Dhika lagi.

"Ehh, anun nunggu Mella, sedang rapat di sie nya.." jelas Miska.

"Ohh, begitu.."

"Lah, kanu nunggu siapa?" Tanya Miska penasaran.

"Aku nunggu temen," jawabnya tegas dan tenang.

Namun, hal itu justru membuat bingung Miska. Kata 'teman' yang diucapkannya
membuat Misa semakin tak mengerti. 'Bukannya, ia anak baru? Apa sudah punya temab
disini? Lagian yang belum pulang hanya anak osis sie bela negara dan anak seni tari, apa dia
punya tem salah satu dari mereka?' tanya Mis dalam hati. Ia tak berani mengungkapkan.
25menit lebih telah berlalu. Kini hanya ada mereka berdua di depan gerbang. Mereka sama
sama mengobrol dengab asik. Penghuni sekolah sudah pada pulang, kecuali yang ekstra.
Tiba tiba Dhika terlonjak kegirangan,

"Mis.. itu temenku udah datang," seru Dhika kegirangan.

"Yang mana?" Tanya Miska penasaran. Ia sapu seluruh pandangan ke arah sekolah.
Tak ada siapa siapa.

"Itu, jalan kesini" pinta Dhika sembari menunjuk ke arah timur.

Miska segera melihat orang yang disebut teman oleh Dhika, ia sapu pandangan ke
arah timur. Dan, Blaiikk!! Betapa kagetnya dia. Sosok yang disebutnya teman ternyata
seorang cewek. Badannya tinggi, bajunya... bajunya putih terusan. Rambutnya panjang
terurai. Dan semakin dekat ke arah mereka, Miska semakin jelas melihatnya. Wajahnya,
pucat pasi seolah tak ada aliran darah. Sorot matanya tajam. Dan.. ah, tidak!! Kakinya tidak
menginjak tanah. Ia berjalan mengambang. Sosok apaan ini? Kepala Miska seolah mulai
berputar putar.

"Dia, temanku sejak kecil Miska, dia sangat baik.." jelas Dhika. Namun,
penjelasannya terasa kabur di telinga Miska. Tubuh Miska seolah ringan tak berasa. Semua
berputar putar, dan... Bruukk!! Miska limbung terjatuh.
Part 3: 2013

Miska melihat sosok aneh dalam hidupnya yang dianggap sebagai 'teman' dari Dhika.
Karena terkejut, ia tak mampu kuasai dirinya sendiri dan Miska akhirnya pingsan.

"Aku... aku ada dimana ini?" Tanya Miska sesaat setelah siuman.

"Tenang Miska, kamu ada di uks" jawab seorang cowok. Dia adalah Rangga, ketua
osis. Di samping Rangga duduk seorang cewek yang tak asing bagi Miska, dialah Mella.

"Tadi kami menemukan kamu di depan pintu gerbang, kamu pingsan. Ada apa? Lagi
nggak enak badan jangan dipaksa berangkat atuh, Non..." jelas Mella sembari menghampiri
tempat Miska berbaring. Miska seketika memeluk Mella erat sembari menangis.

"Mell, Dhika Mell.. Dhika," rintih Miska.

"Ada apa dengan anak pindahan itu Mis?" Tanya Mella kemudian.

"Dia aneh, berteman dengan makhluk yang tak seperti kita. Dia.. dia aneh Mell.."
rintih Miska lagi.

"Serius Mis.. jadi kamu.. pingsan, berarti kamu?" Tanya Mella setengah tak percaya.
Miska mengangguk. Lantas Mella segera menghamburkan pelukannya kembali.

"Kalian ngomong apa sih?" Tanya Rangga.

"Nggak papa, Ngga. Lain kali aku ceritain. Biar Miska tenang dulu," pinta Mella
sejenak.

"Yasudah kalau begitu, yang mau anter Miska siapa nih?" Tanya Rangga kemudian.

"Kamu lah, Ngga. Kamu kan pacarnya, gimana sih.." sergak Mella. Ya benar, Rangga
adalah pacar Miska sejak kelas 10.

"Beb, mau dianter siapa?" Tanya Rangga pada Miska.

"Mella, aja" jawab Miska singkat.

Pagi harinya, Miska amat lesu. Menyusuri jalan tak seriang biasanya. Rasa lemas
seolah masih menguasai dirinya. Tiin..Tiinn... Suara klakson dari belakang memekikkan
telinga Miska. Ia menoleh.
"Haii, Mis.." Betapa kagetnya ia saat tahu siapa yang menyapanya. Dhika. Namun
Miska mencoba untuk tenang.

"Eehh.. hh..haii Dhik.."

"Kemarin lagi nggak enak badan ya, untung ada temenmu kemarin yang nolong, aku
sempat khawatir.." jelas Dhika.

"Emh. I..iiya, anu, lagi sedikit pusing, iya.. pusing. Hehe" Miska kikuk.

"Yuk bareng aja, udah mau bel loh ini, aku bonceng" tawar Dhika.

"Ehh, enggak, makasih. Udah janjian sama Mella" Miska menolak.

"Ooh, begitu. Yaudah aku duluan yah" pinta Dhika. Miska hanya mengangguk
tersenyum.

Sayang sekali, sekarang ia hanya bida menatap punggung Dhika dari jauh, anaknya
keren, sopan, baik, pinter juga. Sayangnya, ada yang tidak beres.

Tiinn...

Suara klakson panjang kini dari Mella.

"Kalo jalan jangan melamun, Non.." gurau Mella.

"Kamu ini, ngagetin aja" jawab Miska sekenanya. Laku mereka melaju. Dan tak lama
sampai di tempat tujuan.

Bel istirahat berbunyi. Para siswa berhamburan keluar. Ada yang ke kantin, koperasi,
lapangan, dan perpustakaan. Namun Miska masih saja duduk dibangku. Dia ogah ogahan
keluar kelas.

"Mis.. kantin yuk," ajak Mella. Miska hanya diam. Mella tahu maksudnya kalau
Miska tak menyetujui.

"Ehh Mis, apa ke perpus aja yuk, ngisi waktu kosong," ajak Mella lagi.
Miska sebenarnya masih males, tetapi daripada hanya bengong di kelas, mending di buat ke
perpus lebih baik, pikirnya. Lastas ia menerima tawaran Mella.
Di perpus, tak sengaja ia melihat Dhika sedang asik membaca buku di sudut ruangan
yang kurang begitu enak untuk digunakan membaca. Mella yang tadinya penasaran dengan
anak pindahan itu, mengajak Miska untuk menghampirinya. Miska pun menyetujui, mereka
berjalan ke arah Dhika. Suara srat sret srat sret dari sepatu mereka membuyarkan keasikan
Dhika dalam membaca. Dhika menengok ke arah sumber suara.

"Ehh, hai.. kalian juga disini.." sapa Dhika yang disapa hanya tersenyum sembari
ingin bergabung dengan Dhika. Miska kemudian menarik kursi yang ada di sampingnya.
Sementara Mella menarik kursi yang berada tepat di depan Dhika.
Dan anehnya, Mella seolah tak kuat menariknya. Begitu berat.

"Ehh.. jangan," sergah Dhika secepatnya. Mella seketika terpaku, susah bergerak, dan
tetiba tubuhnya seolah menjadi berat untuk dikuasai. Dan, Bruukk!! Mella terjatuh tepat di
depan kursi yang akan ditariknya. Seluruh ruangan perpus menjadi riuh manakala Mella
pingsan.

Mereka akhirnya menghampiri tubuh Mella, sebagian ada yang membantu


mengangkat ke uks. Miska dan Dhika ikut membantu. Namun Dhika hanya membantu
sampai depan perpus. Ia langsung kembali ke arah sudut ruangan tadi. Miska sempat melirik
sebentar ke arah Dhika. Aneh, Dhika seolah berbicara sendiri di depan kursi yang ingin
ditarik Mella. Sungguh membingungkan.
Part 4: 2013

Tubuh Mella limbung di perpustakaan, tepatnya persis depan bangku yang tadinya
berhadapan dengan Dhika. Semua pengunjug perpustakaan onar dibuatnya.
Miska sempat mencuri pandang ke arah Dhika sesaat setelah Dhika membantu mengangkat
Mella hingga depan pintu perpustaan. Miska melihat dengan mata kepala sendiri bahwa
Dhika benar-benar sedang berbicara dengan kursi didepannya. Sungguh aneh.

"Ini, sangat aneh" ucap Mekka sesaat setelah siuman, kini ia masih terbaring di
tempat tidur.

"Aneh bagaimana Mell?" Tanya Agil. Pacar Mella, anggota basket SMA Bhakti
Mulia.

"Sudahlah Mell, kamu belum sembuh betul, jangan mengada yang enggak enggak
dulu. Pikirkan kondisimu dulu, Mell.." sewot Miska lembut.

"Tapi, Mis.. ini nggak bisa dibiarkan," sembur Mella.

"Kalian ini ngomong apaan sih?" Tanya Agil penasaran. Memang ia sama sekali tak
mengerti.

"Tentang Dhika, beb.." jawab Mella pelan.

"Ada apa dengan anak pindahan itu?" Sembur Agil kemudian. Miska hanya terdiam.

"Dia aneh. Mungkin jiwanya sedikit terganggu. Sampai harus berteman dengan
makhluk halus.." jelas Mella, kekasih Agil.

"Hah.. aku nggak paham. Berteman dengan makhluk halus? Maksudnya..." Agil
memotong pembicaraannya. Lidahnya kelu. Tenggorokannya mulai kering. Mereka bertiga
saling tatap tak percaya.

"Oke, pasti kamu juga belum percaya karena belum mengalami sendiri, mau bukti?"
Tantang Mella.

"Baik, caranya?" Agil kembali bertanya.


"Siang nanti setelah pulang sekolah, amati gerak gerik Dhika dari kejauhan. Biasanya
dia sering pulang telat, setelah semua penghuni sekolah sepi. Kamu awasi dia dari jauh. Lihat
gerak geriknya." Jelas Miska kepada Agil.

"Nah, betul itu." Mella nimbrung sembari tersenyum penuh arti.

"Oke," jawab Agil singkat.

"Tapi sebaiknya jangan sendiri deh, Gil.. aku telfon aa Rangga dulu," Miska
melanjutkan. Ia lantas merogoh ponselnya dan memencet nomor seseorang.

'Ya beb, ada apa?' Suara Rangga dari seberang.

"Bisa ke uks sebentar nggak, A'? Mau minta tolong," pinta Miska.

'Siap, lima menit sampai,' jawab Rangga.

"Heii, ada apa?" Sapa Rangga dari depan pintu.

"Ini, mau minta bantu kamu, Ngga," ucap Mella.

"Hloh, Mell.. tumben kamu bisa sakit?" Gurau Rangga.

"Yosh.. kamu ini, bukan sakit biasa tau!" Kesal Mella.

"A' Rangga, aa nanti ada acara nggak pulang sekolah?" Timpal Miska kemudian.

"Nggak ada, mau ajak jalan yah? Mau deh.." lagi-lagi Rangga menggurau. Ketua Osis
ini memang humoris, tapi tak kalah tampan juga.

"Ihh, enggak. Aku mau pulang, itu.. si Agil yang mau ajakin jalan, hehe. " Miska
membalas bergurau.

"Lahh, kok aku yang disalahin. Awalnya gimana sekarang gimana" Agil cemberut.

"Haha.. canda, Gil.." Miska membalasnya.

"Ini hlo, Ngga. Nanti kamu mau temenin Agil nyelidikin si Dhika kan?" Tanya Mella
pelan.

"Kenapa dengan anak baru itu? Bikin onar?" Tanya Rangga.


"Bukan Dhika nya yang bikin onar, tapi 'temen'nya. Aneh sekali dengan temennya,"
jelas Mella.

"Aneh gimana?" Tanya Rangga penasaran.

"Kemarin Miska yang dibuat pingsan, sekarang aku. Apa nggak aneh itu?" Sergah
Mella.

"Oh, jadi itu. Aku harus gimana nih?" Rangga menimpali.

"Ntar lu ikut gue aja, Ngga. Gampang. Gue yang atur," pinta Agil.

"Oke, sip.." jawab Rangga.

"Buat kalian, selamat membuktikan yaa" Mella kembali meyakinkan.

Bel pulang sekolah berbunyi. Para siswa segera berhamburan keluar kelas. Semua
riuh, ramai. Banyak mobil jemputan berlalu lalang. Sepeda motor berjalan kesana kemari.
Dua pasang mata telah mengamati pintu gerbang dengan seksama. Dua pasang mata itu milik
Rangga dan Agil. Mereka mengamati sosok yang sedang mondar mandir di depan pintu
gerbang. Dia adalah Dhika, yang menjadi objek pengamatan.

Rangga dan Agil mengamati dari jarak 20 meter. Berlindung di belakang kelas paling
ujung. Lima belas menit telah berlalu. Kini mereka berdua sudah mulai jenuh. Apalagi
sekolah sudah sepi sekali. Mereka berdua memutuskan untuk segera pulang.
Namun saat mereka ingin berjalan pulang, mereka melihat Dhika dari kejauhan yang tampak
kegirangan seolah tengah menyambut datannya seseorang.

Mereka akhirnya melihat sosok yang datang. Orangnya cewek, rambutnya panjang.
Rangga dan Agil penasaran dengan siapa orang itu, apakah sekolah ditempat yang sama atau
tidak, mereka akhirnya berjalan maju. Berlindung di bawah pohon akasia. Dan sekitar 10
meter dari gerbang sekolah.

Dari situ, mereka bisa melihat dengan jelas siapa yang datang.
Seorang cewek, dengan baju putih terusan. Wajahnya pucat pasi tanoa ekspresi, seolah tak
ada aliran darah. Rambutnya panjang dibiarkan terurai. Dan... kakinya tidak menginjak tanah!
Astaga!
Mereka berdua tercengang. Saling tatap sama lain seolah tak percaya. Matanya saling
berpandangan. Karena mereka sama sama lelaki, maka tak mungkib sampai jatuh pingsan
seperti yang dialami Miska maupun Mella.

"Kita punya misi baru," bisik Rangga pada Agil kemudian setelah mereka berdua
percaya perkataan Mella.
Part 5: 2013

Setelah Rangga dan Agil mengetahui dengan mata kepala mereka, mereka akhirnya
yakin dengan apa yang diceritakan oleh kekasihnya masing-masing. Sosok cewek yang
dianggap sebagai 'teman' Dhika memang ada dan bukan termasuk jenis manusia. Mereka
bergidik. Hingga susah melangkahkan kaki untuk pulang.

Paginya, Rangga, Miska dan Mella bertemu di ruang Osis. Tak lupa juga Agil,
walaupun dia tidak menjadi anggota Osis, tetapi mereka berempat sudah bersepakat untuk
berkumpul di ruang Osis pagi itu.

"Sekarang, gue udah percaya apa yang kalian bicarakan," Rangga membuka
pembicaraan.

"Nah.. bener kan? Ada yang pingsan?" Celetuk Mella.

"Enggak lah, paling itu si Agil yang hampir jatuh, saking kagetnya. Untung gue tahan,
jadi kami nggak ketahuan," jelas Rangga.

"Abis, gue nggak percaya sih, Ngga" gerutu Agil.

"Sudah sudah, sekarang apa yang musti kita lakukan? Sebelum ada yang lain pada
tahu. Kasihan juga sama Dhika," Miska menimpali.

"Jadi, kamu gitu beb?" Rangga nimbrung. Agak sedikit sensitif mendengar perkataan
Miska.

"Bukaan, A'. Maksudnya, apa yang musti kita lakuin, bukankah Dhika juga manusia
seperti kita, wajib dong.. kita menolong," jelas Miska.

"Tunggu Mis, aku malah jadi khawatir, jangan jangan si Dhika bukan bangsa kita
lagi," celetuk Agil.

"Husst.. jaga omonganmu yank, gimanapun.. Miska bener Ngga, kita jangan main ego
dulu deh. Yuk, bahas rencana kita apa nih?" Mella nimbrung. Sejenak semuanya terdiam.

"Bagaimana kalau kita nanya ke teman, dimana alamat rumah Dhika?" Kembali
Rangga membuka pembicaraan.
"Aduh, siapa yang tahu alamat Dhika coba? Kan belum ada yang akrab, apalagi dia
anak baru, belum ada yang berani ngomong sama dia juga, kecuali pacar lu tuh," Agil sewot.

"Aku ada ide," Mella angkat bicara.

"Paan Mell?" Rangga bertanya.

"Bu Hana, bagaimana?" Celetuk Miska.

"Ide pintar." Mella menimpali.

"Emang ada apa dengan Bu Hana?" Tanya Agil.

"Haduh, punya otak diputer dikit kali yank. Dia kan guru bp, pastinya punya arsip
alamat semua siswa dong.." pinta Mella.

"Yup, setuju. Segera kesana sebelum bel yuk," ajak Rangga.


Mereka berempat menuju ke ruang bp.

Sesampainya di ruang bp, mereka benar bertemu dengan bu Hana. Segera beliau
mempersilakan mereka duduk.

"Tumben kalian pagi-pagi kesini? Ada keperluan apa? Kok ada Agil juga?" Semprot
bu Hana.

"Iya bu, Agil nggak mau Mella kabur bu, hehe.." protes Agil sekenanya. Lantas
mereka tertawa sejenak. Tak lama, Miska melirik Rangga, dan dia tahu apa yang dimaksud
sekenanya.

"Maaf bu, sebelumnya kedatangan kami kesini ingin meminta bantuan dari ibu,"
Rangga memulai percakapan.

"Apa yang bisa ibu bantu?" Tanya bu Hana.

"Boleh kami meminta alamat rumah Dhika bu?" Tanya Miska.

"Benar bu, kami sangat membutuhkan" Mella nimbrung.

"Hlooh, tumben kalian meminta alamat cowok. Apa Rangga sama Agil nggak marah
nih?" Gurau bu Hana.

"Kalau untuk kepentingan, kami nggak masalah bu, hehe" sergah Rangga.
"Kenapa nggak Kalian tanya langsung saja sama orangnya?" Kembali bu Hana
bertanya.

"Nah, itu masalahnya Bu. Kalau orangnya normal sih, kami berani meminta
langsung," Mella menimpali.

"Hloh, tidak normal bagaimana memangnya?" Bu Hana mengkerutkan dahi.


Segera Rangga menceritakan hal yang dialami oleh mereka. Sesontak kemudian bu Hana
kaget.

"Ya sudah, kalian tenang.. biar ibu ambilkan buku arsip siswa dulu ya.." pinta bu
Hana.

Setelah mengambil buku arsip siswa. Bu Hana membuka lembar demi lembar buku
itu. Dan kini sudah sampai pada huruf D. Sesaat kemudian, bu Hana menemukan nama Dhika
terpampang.

Lantas Bu Hana membacakan alamat rumah Dhika dengan lengkap.


"Jln. Abiyasa nomor 5, gg. II, GK IV, Salatiga," jelas bu Hana. Mereka mencatat alamat itu
baik-baik.
Sesaat kemudian, bu Hana tidak sengaja melihat foto Dhika. Dan..
"Astaghfirullah..." seru bu Hana ketakutan.
"Ada apa bu?" Tanya Rangga penasaran.
"It..itu.. anu... anu.. foto.. foto Dhika nak," pinta Bu Hana ketakutan, sembari menjauhkan
buku arsip dari hadapan beliau.
"Ada apa dengan fotonya bu?" Tanya Agil tenang.
"Fotonya... seolah melotot penuh marah ke saya," jelas bu Hana smbari menutup wajah
dengan kedua tangannya.
Lantas mereka bergegas melihat foto Dhika, aneh... bukan foto Dhika yang terpampang,
tetapi seolah foto bayangan cewek yang dianggap Dhija sebagai teman. Mereka seketika
terkaget. Tidak percaya. Hening. Saling menatap. Tubuh mereka seolah dingin, susah
bergerak.
Tiba tiba, lampu dan ac mati seketika. Tiupan angin kencang menutup pintu ruang bp dengan
dahsyatnya. Jedeeerrr!!
Mella dan Miska menjerit ketakutan.
Tetiba, Miska dan Rangga yang kebetulan menghadap ke arah jendela ruangan, mereka
melihat sosok cewek rambut panjang, pucat pasi, tengah melotot penuh amarah ke arah
Rangga dan Miska.
"Kyyyaa... Aa'..." Miska semakin menjerit. Rangga ketakutan. Mereka berdua saling berpeluk
erat. Akan tetapi, baik Agil, Mella dan Bu Hana tidak melihat sosok itu. Ya, hanya Rangga
dan Miska saja.
Ada apa dibalik semua ini?
.
Bersambung~~

-Sosok Bermuka Pucat-


Part 6
With: Inaya, Abiyasa, Acil
.
Saat mereka berada diruang bp bersama bu Hana, mereka mengalami hal yang aneh setelah
angin berhembus kian kencangnya hingga menutup pintu ruang bp dengan keras. Ditambah
pintu tak bisa dibuka, terkunci tiba tiba dari luar.
Disamping itu, Miska dan Rangga melihat sosok yang sering bersama Dhika melotot ke arah
mereka. Mereka ketakutan hingga refleksnya mereka saling berpeluk erat.
.
"Tolong...siapa saja yang di luar, buka pintunya.. buka," teriak Mella sekencang-kencangnya.
Agil berusaha mendobrak pintu, namun apalah daya, pintu tetap saja membisu.
Mereka saling berteriak minta tolong. Tak lama, bunyi cekrekk..krekk dari luar, seolah ada
seseorang yang membukanya.
Semuanya lantas terdiam, mengunci mulut mereka masing masing, sembari menutup mata
mereka. Berharap tidak melihat sesuatupun.
Dan tiba-tiba...
"Hei.. kalian ngapain tidak masuk kelas?" Teguran dari luar.
Mereka berlima segera membuka mata. Ternyata Pak Dodit.
Mereka kembali bernapas lega.
"Kalian ini kenapa? Kok malah pada bengong, bu Hana.. ada apa ini?" Tanya pak Dodit
kebingungan.
Masih saja mereka memilih membungkam mulut.
"Anuu.. pak, tadi ada angin.. tiba tiba pintu tertutup, ya takut.." bu Hana angkat bicara.
"Kenapa tidak dibuka?" Tanya pak Dodit.
"Anu pak, saya.." ucapan Agil dipotong Mella.
"Baru mau buka pak, tapi sudah bapak yang buka. Hehe," Mella nimbrung. Nampaknya dia
tidak ingin pak Dodit mengetahui. Semua mengangguk.
"Yasudah.. kalian kembali ke kelas.." perintah pak Dodit.
Sesegera mereka berempat berhamburan keluar ruangan, menuju ke kelas.
Hanya tertinggal pak Dodit dan Bu Hana saja.
"Anu pak, tanya.. tadi bapak mendengar tertawaan saya dan anak anak tidak?" Bu Hana
memancing, memastikan apakah pak Dodit mendengar teriakannya.
"Tidak, lagian bu.. kalo ada anak pagi pagi minta bantu, jangan dilayani.. mereka bolos kan
ujungnya," pinta pak Dodit. Bu Hana mengangguk.
Dalam hati bu Hana bertanya 'kok aneh?' Sembari mengusap kedua bahu dengan tepalak
tangannya. Kembali merinding.
.
Sampainya di kelas, Miska dan Mella segera mengetuk pintu kelas. Namun, guru mapel
pertama belum masuk. Miska dan Mella kembali duduk.
Miska menyapu pandangan ke bangku Dhika, tas Dhika ada, namun orangnya tidak ditempat.
Tak lama muncullah Dhika dari balik pintu.
Melihat Miska tengah menatapnya, Dhika menebar senyum ke arah Miska. Miska kembali
kikuk.
Tak lama, Dhika duduk dibangkunya. Miska sama sekali tak berani melihatnya.
"Mis, gue kebelet nih.. ke belakang dulu yah, bentar gue.." izin Mella. Miska mengangguk.
.
"Hloh Mis, si Mella mau kemana?" Tanya seorang cowok dengan lembut dari arah samping
Miska.
"Ehh.. umm.. toilet, kebelet, hehe" jawab Miska kikuk.
"Ooh.. kamu akrab ya, sama Mella.." Dhika nimbrung.
"Heem.. dari smp Dhik," jawab Miska singkat.
"Enak yaa, kayak kamu.. temen banyak," lagi lagi Dhika nimbrung. Kali ini ia mendekatkan
kursinya ke arah Miska. Miska semakin canggung.
"Kamu juga Dhik, kamu kan pinter, baik, banyak yang mau berteman pastinya" jawab Miska
sekenanya. Seolah ia melupakan apa yang terjadi pada Dhika.
"Memang Miska mau berteman sama aku?" Kembali Dhika bertanya.
Deg! Pertanyaan apaan ini, wajah Miska mendadak merah.
"Emm.. ya, ya maulah.." pinta Miska kikuk.
"Hehe, kamu lucu Mis, saya senang bisa ketemu orang seperti kamu disini," jelas Dhika.
Miska menoleh kearah Dhika, ucapan Dhika benar-benar tulus adanya. Mereka saling
bertatap mata lekat-lekat.
"Kenapa Mis?" Tanya Dhika lagi.
"Eh.. enggak, nggak papa," ujar Miska sembari memalingkan wajah.
"Oh ya, nanti istirahat boleh temenin aku ke kantin kan?" Pinta Dhika.
"Mella juga kan?" Tanya Miska.
"Tentu dong, yang penting ada kamu nya, hehe" gurau Dhika. Miska hanya tersenyum.
.
Tanpa disadari mereka asik mengobrol, teman teman sekelas memperhatikan mereka. Sesaat
kemudian terdengar riuh teriakan cia-cie dari teman sekelas. Miska mulai canggung. Ia
menundukkan kepalanya. Malu.
Tetapi ada sesuatu yang sepertinya mengganggu pandangan Miska.
'Bukannya Mella belum balik yah, kok ada yang duduk?' Tanya Miska dalam hati.
Sesaat ia menoleh ke arah bangku Mella. Dan ternyata...
Sosok cewek yang tadi pagi berada di belakang jendela tepat muncul di hadapannya. Cewek
itu melotot penuh amarah ke arah Miska. Wajahnya pucat pasi menyeramkan. Seolah benar
benar marah kepada Miska.
Sontak Miska terkaget. Bengong sejenak. Tak mampu bergerak. Lantas saat beberapa detik
kemudian, dia menjerit tak karuan. Tubuhnya spontan terjatuh saat ia berusaha membalikkan
padanya, terjatuh tepat di depan Dhika. Beruntung Dhika bertindak cepat menangkap tubuh
Miska, sehingga tidak sampai terpelanting ke lantai.
Ada apa ini? Kenapa teman sekelas Miska tidak melihatnya? Kenapa?
Kenapa Dhika begitu baik pada Miska?
.
Bersambung~~

-Sosok Bermuka Pucat-


Part 7
.
(Maaf baru update)
Pemeran daru TS : Miska, Mella, Rangga, Dodit
Pemeran dari teman HCI : Agil, Hana, Evita, Andrew, Fian
With: Inaya, Abiyasa, Acil
.
.
Miska kaget melihat sosok wanita berbaju putih terusan tengah duduk di bangku Mella. Ia
sempat tak bisa menguasai diri. Tak bisa menyeimbangkan tubuhnya saat berbalik,
sekonyong konyong Miska terjatuh di depan Dhika. Dengan sigap Dhika menangkapnya.
Lantas ia refleks memegang lengan Dhika erat, saking takutnya.
.
.
"Tolong pergi, jangan ganggu aku.. pergi.." teriak Miska sembari diikuti isakan.
"Miska.. Mis.. kamu kenapa?" Tanya Dhika lembut. Ia seolah tak melihat apa yang dilihat
Miska. Entah benar tak melihat atau hanya berpura pura, namun nampaknya ekspresi Dhika
benar benar sedang kebingungan melihat reaksi Miska.
Sementara, Mella yang tengah balik dari toilet bergegas berjalan ke belakang Miska.
"Mis.. kamu kenapa? Ini gue, Mella.." ucap Mella sembari menepuk bahu Miska pelan.
Sesontak Miska kemudian berhambur memeluk Mella erat.
"Aku takut Mell.. takut.." isakan Miska semakin menjadi.
Teman sekelas turut mengerubunginya. Mereka lebih mengira Miska sedang berhalusinasi.
"Sudah Mis.. tenanglah, semua akan kembali baik kok," sergah Mella pelan sembari menatap
Dhika tajan seolah bertanya sesuatu. Namun Dhika hanya menggeleng sembari
mengernyitkan dahi.
Tiba tiba, guru mapel pertama masuk kelas. Semua siswa lantas mematut diri di bangku
masing masing. Termasuk Miska. Namun, Miska masih terlihat gemetaran.
.
.
Teet.. Teet..
Bel istirahat berbunyi. Para siswa segera berhamburan keluar. Namun ada sebagian yang
masih asik duduk dibangkunya. Seperti Miska dan Mella.
"Kalau tidak enak badan, mending ke uks Mis.." sergah Dhika dari samping. Diikuti dengan
anggukan Mella seketika.
Namun Miska hanya menggeleng pelan.
"Apa aku telfonin Rangga?" Tanya Mella.
"Nggak usah, aku baik baik saja kok," jawab Miska pelan.
"Beneran?" Mella meyakinkan.
Miska lagi lagi hanya mengangguk.
"Kalau gitu, yuk ke kantin, aku traktir bakso deh kalian," ajak Dhika bersemangat.
Mella dan Miska tersentak. Mereka lantas saling berpandangan. Mau menolak tidak enak,
tapi...
.
"Oke deh, yuk Mis.. nggak baik nolak rezeki. Jarang jarang Dhika traktir hlo," gurau Mella.
Sebenarnya ia ragu, namun itu dia lakukan agar Miska kembali semangat.
"Yuk Mis.. bukannya tadi udah janji mau nemenin," timpal Dhika.
Tanpa pikir panjang, Miska pun mengangguk. Lantas mereka berjalan menuju kantin.
.
.
Sampainya di kantin, mereka memilih duduk di bagian tengah. Selain mendapat udara dari
luar, juga sesekali bisa melihat pandangan luar. Mella dan Dhika menunggu Miska yang
tengah memesan bakso. Mereka sudah menyepakati untuk Miska yang memesan. Sengaja.
Dan antrian cukup panjang.
"Dhik.. " sapa Mella.
"Hhmm.. ya?" Timpal Dhika.
"Kamu kok cepet akrab sama Miska?" Tanya Mella.
"Bukannya sama kamu juga Mell, atau mungkin karena Miska duduk disampingku kali,
hehe" jawab Dhika sembari menyeringai manis.
"Emm.. tapi jangan macem macem hlo, Miska ada yang punya," gurau Mella. Dhika hanya
tersenyum tipis tanpa menjawab apapun.
"Eh, Dhik.. boleh nanya?"
"Tentang apa Mell?"
"Err.. waktu di perpus dulu, aku.." tiba tiba Mella berhenti manakala pandangan matanya
menangkap sosok yang kurang enak dilihat. Sosok yang selama ini menghantuinya dengan
Miska. Wanita pucat berbaju putih terusan dengan rambut panjang terurai, kini tengah
bersanding di samping siswi yang berjalan menuju toilet.
"Mell.. hoi, kenapa?" Tanya Dhika sembari menggoyangkan telapak tangannya ke arah mata
Mella.
"Emmh, nggak.. di perpus kamu suka baca apa?" Mella mempelesetkan pertanyaan yang
semestinya ingin bertanya soal kursi berat dulu. Mella masih merinding.
"Oh.. ya, seputar cara otak atik komputer, aku suka.. kalo kamu?" Tanya Dhika balik.
"Aku sukanya baca buk.."
.
.
"Kyyaaaaaa... aaaaaaaa..."
Ucapan Mella terpotong manakala mendengar teriakan yang sangat keras dari arah toilet
putri.
Sesegera banyak siswa yang berhamburan ke arah sumber suara. Begitupun Mella dan Dhika.
Belum terlalu lama kerumunan sudah begitu banyak.
"Ada apa ini, ada apa?" Suara teguran pak Andrew, guru BK yang kebetulan lewat. Dengan
cepat pak Andrew melihat apa yang dikerubungi siswa, Mella pun membuntuti pak Andrew
dari belakang.
Dan betapa kagetnya pak Andrew dan Mella melihat seorang siswi limbung di dalam bak
toilet yang penuh air. Mella tambah terkaget manakala siswi yang limbung tersebut adalah
siswi yang tengah disandingi sosok wanita pucat tadi. Mella semakin bergidik. Siswi tersebut
tak sadarkan diri.
"Ayo siapa saja, bantu.. angkat ke uks" pinta pak Andrew. Segera pak Andrew dan tiga siswa
mengangkatnya. Namun, saat pak Andrew memegang kepala, tiba tiba siswi tersebut
menyemburkan darah segar dari mulutnya hingga mengenai baju dinas pak Andrew.
Anehnya, bersamaan dengan memuntahkan darah segar, mata siswi tersebut membelalak ke
atas.
"Ayo, cepat angkat.." seru pak Andrew.
.
.
Sampainya di uks, siswi tersebut dibaringkan.
"Bu.. bu Evita, ada anak yang pingsan," seru pak Andrew pada bu Evita.
Bu Evita segera bergegas mengecek siapa yang sakit. Bu Evita adalah pembina tim medis uks
sekaligus guru biologi.
"Kok keadaannya seperti ini pak?" Tanya bu Evita kaget. Pak Andrew hanya terdiam, tidak
tahu harus jawab apa.
"Fian, fian.. tolong bawa alat medis kesini," teriak bu Evita pada Fian. Tim medis penjaga
uks hari itu.
"Ini bu," pinta Fian sesaat kemudian setelah diperintah. Fian pun sontak terkaget melihat
temannya yang terkulai lemah.
"Dia teman sekelas saya bu " ucap Fian kemudian.
Dan tiba tiba siswi tersebut memuntahkan darah kembali diikuti dengan kejang. Sesaat
kemudian kejangnya berhenti sebelum ditangani tim medis. Dan....
.
.
"Inalillahi wa ina ilaihi rojiun" seru bu Evita.
Semua orang di uks membelalak.
"Denyutnya sudah tidak terasa, anak ini meninggal.." bu Evita berucap lemas.
Semua orang di uks melongo tak percaya.
.
Bersambung~~

-Sosok Bermuka Pucat-


Part 8
With: Abiyasa, Inaya, Acil
.
.
Siswi yang limbung di bak toilet adalah siswi yang Mella lihat tengah disanding oleh sosok
wanita pucat yang menghantuinya. Saat siswi tersebut dibawa ke uks, beberapa saat
kemudian siswi tersebut dikabarkan meninggal dengan keadaan yang mengerikan. Siswi
meninggal dengan keadaan mata membelalak dan bau anyir dari bekas darah segar yang
keluar dari mulutnya. Mella yang mendengar kabar tersebut setengah tidak percaya. Ia sangat
yakin, kematian siswi itu ada hubungannya dengan makhluk yang selama ini menghantuinya.
Sepanjang perjalanan pulang sekolah, Mella menceritakan apa yang dilihatnya serta apa yang
terjadi pada siang itu kepada Miska. Awalnya Miska terkaget, namun Ia tetap percaya apa
yang dibicarakan Mella kepadanya.
"Kita harus menyelidiki, harus Mis.." ujar Mella mantap.
.
.
Keesokan harinya, gerbang sekolah ramai oleh para pencari warta akibat kematian misterius
salah satu siswi di sekolah mereka.
Hingga bel masuk berbunyi, kericuhan di luar masih saja belum berakhir.
Pagi itu, Miska teringat akan apa ucapan Mella kemarin. Menelusuri apa yang terjadi
sebenarnya. Saat ia tengah duduk di bangku, sebentar-sebentar ia melirik ke arah Dhika. Ia
akan melancarkan aksinya hari itu juga.
Lantas, sesobek kertas Miska lempar ke arah Dhika tepat diatas meja.
'Dhik.. pulang sekolah nanti ada acara?' Bunyi tulisan dari kertas Miska.
'Enggak ada Mis, gimana?' Dhika menjawab. Tentunya masih di kertas itu.
'Boleh aku main ke rumahmu?' Miska bertanya.
'Tentu saja. Sama siapa Mis?' Balas Dhika.
'Cuma aku. Mella ada kegiatan,' Tulis Miska.
'Siap Nona,' balasan Dhika sembari menutup percakapan itu.
Miska mulai tidak fokus dengan pelajaran yang didapatnya kali itu. Ia tak sabar
menyelidikinya. Ia akan melancarkan aksinya tanpa sepengetahuan Mella maupun Rangga,
kekasihnya.
.
.
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi.
Seperti biasa, kelas riuh akan suara para siswa untuk berebutan keluar kelas.
"Mell, kamu pulang duluan ya, aku ada acara sama Dhika." Pinta Miska.
"Dhika? Ngapain Mis? Jangan macem macem Mis.." ujar Mella khawatir.
"Enggak, tenang aja. Semua bakal beres. Oke. Aku duluan ya, bye.." sergah Miska sembari
berjalan ke arah gerbang sekolah. Mella masih melongo tak percaya.
.
.
Miska kini sudah berada tepat disamping Dhika. Ia segera menaiki motor kesayangan Dhika
dan melaju meninggalkan sekolah.
Disamping itu, Mella masih tidak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya dari
Miska.
"Oey Beb, ngapain matung tengah jalan?" Tepuk Agil dari belakang.
"Tumben nggak bareng Miska. Miska mana?" Rangga yang saat itu disamping Agil ikut
nimbrung. Mella hanya terdiam, tak bisa menjawab apapun.
"Mell.. Miska dimana?" Rangga kembali bertanya.
"Eem.. anu, ada urusan katanya." Pinta Mella pelan.
"Urusan? Bukannya kita nggak ada rapat penting hari ini?" Rangga kembali meyakinkan.
"Nggak tau. Sama Dhika," kembali Mella menjelaskan.
"Apa? Dhika? Anak baru misterius itu?" Rangga seraya tak percaya. Namun Mella
mengangguk.
"Dasar, kep*r*t! Mau apa dia? Seenaknya! Pergi kemana mereka?" Rangga mulai emosi.
"Nggak tau," jawab Mella singkat.
"Maunya apa tuh anak! Biar kukejar, arah mana?" Tanya Rangga kemudian.
"Sana," ujar Mella sembari menunjuk ke arah utara.
"Ngga.. gue ikut lo!" Pinta Agil kemudian.
"Eh, gue juga ikutan.." Mella ikut nimbrung. Mereka bertiga bergegas ke arah tempat parkir.
.
.
"Kita mau kerumahku kan Mis?" Tanya Dhika. Ia masih asik mengendarai motornya.
"Eem.. nggak perlu di rumahmu juga sih, aku cuma pengen nanya nanya kok. Ke tempat lain
juga bisa," Miska menimpali.
"Mau nanya apa sih? Serius amat.. kita ke taman tempat aku biada nongkrong mau? Asik
disana.." Dhika mengusulkan.
"Boleh, yuk.." jawab Miska sekenanya.
Lima belas menit kemudian, Miska dan Dhika sampai di tempat tujuan. Miska lumayan
menikmati susana. Taman yang indah. Begitu indah. Penuh dengan bunga. Walau
disampingnya terdapat hutan dengan pohon pohon yang menjulang tinggi, namun itu tak
memperburuk suasana.
"Gimana, suka nggak mis?" Tanya Dhika kemudian.
Miska mengangguk tersenyum. Ia seolah lupa akan tujuan utamanya.
"Yuk, duduk di sebelah sana," ujar Dhika. Miska lantas mengikutinya dengan tenang.
"Nah, sekarang kamu mau nanya apa?" Tanya Dhika sembari menyamankan duduknya.
Tersontak Miska kemudian ingat akan tujuannya menginterogasi Dhika.
Ia lantas menyusul untuk duduk disamping Dhika sembari menghembuskan napas pelan
untuk bersiap mulai bicara.
Tiba tiba ...
.
.
Saat Miska memandang jauh ke depan, ia melihat sosok wanita berbaju putih terusan dengan
rambut terurai panjang tengah menuju ke arah mereka duduk.
Dekat. Dan semakin dekat dengan mereka. Mata Miska membelalak.
Lantas dengan spontan dia menarik tangan Dhika.
"Dhika, ayo lari..." teriak Miska.
"Mis.. ada apa? Kenapa?" Tanya Dhika yang terus mengikuti Miska. Lari dan terus berlari.
Miska tidak sempat menjawab pertanyaan Dhika. Ia terus membawa Dhika berlari hingga tak
sadar ia masuk ke hutan samping taman tersebut.
Namun, tetap saja Miska berlari menggandeng tangan Dhika di belakangnya. Setelah agak
lama mereka berlari, dan sudah terlalu jauh mereka menempuh jarak memasuki hutan, Miska
memperlambat larinya.
"Maaf Dhik.. Refleks, aku takut banget sama makhluk itu.." pinta Miska pelan.
Hening. Tak ada jawaban.
"Dhik..." kembali Miska menegur.
Tetap hening. Tak ada jawaban.
Lantas, Miska menoleh kebelakang. Miska kembali tersontak kaget. Seluruh tubuhnya seolah
tak ada daya. Dan.....
.
.
"Aaaaaaaaa..." sesaat kemudian Miska menjerit. Ia tak percaya atas apa yang baru dia alami.
Tangan yang dia gandeng tersebut ternyata bukanlah tangan Dhika. Bukan. Yang digandeng
Miska hanyalah sepotong tangan tanpa bahu dan tanpa ada makhluk yang memilikinya.
Ditambah lagi, tangan tersebut terlihat menyeramkan, tak ada kulit yang menyelimuti, hanya
darah bertetesan yang membaluti potongan tangan tersebut.
Sekonyong konyog Miska langsung melempar apa yang telah ia gandeng. Ia terus berlari
menjauh. Berlari dan berlari sembari menangis tersedu. Amat sangat takut. Ditambah hari
yang semakin sore dan suasana disekeliling Miska semakin gelap.
Langkah Miska semakin melemah.
"Siapapun, tolong aku..." rintihnya sembari diikuti tangis yang semakin menjadi.
.
Bersambung~~~

-Sosok Bermuka Pucat-


Part 9
(Maaf baru apdet yaa)
.
.
"Tolong aku, siapa saja... tolong," suara Miska melemah. Ia semakin tidak tahan untuk
berlari. Hari sudah semakin sore dan hutan semakin mencekam dirinya. Sepi dan gelap.
Namun, ia tetap terus berjalan. Tanpa tujuan. Bingung.
.
Kaki Miska semakin lemah. Tubuh mulai lemas. Energi terkuras gegara berlarian. Tiba tiba...
bruuukkk...
"Auuwh..." serunya.
Kaki Miska terjerat ranting yang menyebabkan ia jatuh tersandung. Ia bukan langsung berdiri
namun justru air mata yang terus mengalir.
"Mella.. Rangga, tolong aku..." rintih Miska pelan layaknya berbisik.
.
"Nak..." terdengar suara seseorang dari belakang Miska. Ia menoleh. Sekonyong konyong ia
terkaget karena ada nenek tua dibelakangnya.
"Jangan takut nak... kamu mau kemana?" Tanya nenek itu.
"Mmm...mmmau, mau.. pp..pulang nek," pinta Miska gemetaran.
"Kenapa kesini, tempat ini tidak baik untukmu... pergilah ke arah utara sana, nanti kau akan
temukan jalan raya," ucap nenek itu sembari menudingkan suatu arah.
Miska hanya terdiam. Ia tak mampu menjawab. Seolah terpaku. Melongo. Ya, Miska masih
melongo tak percaya. Nenek itu... nenek yang menghampiri Miska..
Tak mempunyai telinga! Astaga...
Sesontak kemudian Miska tersadar dan ia sekonyong konyong berusaha untuk berdiri dan
berlari ke arah yang ditunjukkan nenek tak bertelinga tersebut.
Tubuh Miska seolah ringan. Ia serasa tak kuasa menahan takutnya. Ia sempoyongan. Namun
ia tetap harus berlari. Jauh. Menjauh dari hutan tempatnya berpijak saat itu.
.
.
"Ngga.. kita mau cari dimana?" Teriak Agil pada Rangga. Masih mengendarai motornya
masing-masing.
Rangga masih terlihat bingung. Ia sedari tadi belum menemukan jejak Miska dan Dhika.
Sekejab ia terkesiap akan suatu alamat. Ya, alamat rumah Dhika.
"Jalan Abiyasa, berangkat sekarang." Pinta Rangga mantap kepada Agil. Lantas mereka
bertiga melaju kencang menuju jalan Abiyasa.
.
Sesampainya di jalan Abiyasa, hari semakin sore dan malam hampir tiba. Pemandangan
seolah terlihat gelap. Hanya sinar sinar lampu jalan yang menerangi.
"Ngga.. ini udah di jalan abiyasa, ke arah mana?" Tanya Mella.
Mereka bertiga terlihat bingung. Jalan abiyasa dipenuhi dengan banyak gang. Dan gang
tersebut diberi nama abiyasa. Hanya angka angka romawi yang membedakan.
"Siapa yang membawa catatan alamat rumah Dhika?" Tanya Rangga.
Sesegera Agil membuka ponselnya.
"Jaln abiyasa GK IV Gg. II" Agil membacakan alamat Dhika.
"Kita menuju ke Gang abiyasa II"
Mereka bergegas tancap gas menuju ke Gang II. Gang di jalan itu tersusun rapi, gang ganjil
sebelah kiri dan gang genap sebelah kanan. Mereka sudag sampai di jalan menuju gang 4,
satu gang lagi dan gang sebelah kanan itulah yang mereka cari.
Setelah beberapa menit kemudian, sampailah di gang 3. Tinggal satu gang di sebelah kanan,
itu gang 2.
Namun semakin lurus, jalan abiyasa semakin jelek, tak beraspal lagi. Apalagi lampu hanya
sampai di gang 3. Seterusnya masih gelap.
"Kok, jadi gelap begini sih?" Mella merinding.
"Sudah.. tenanglah, mungkin yang di gang 2 kelompok rumah yang masih baru, jadi belum
ada saluran listrik yang sampai, lagian Dhika kan pindahan dari kota sebelah.." Agil berusaha
menenangkan kekasihnya, walau dia merinding juga. Sementara Rangga sudah melaju
didapan.
"Woy, ini ada gang" pekik Rangga.
Mereka lantas terpaku di depan gang tersebut. Aneh. Jalannya menurun. Banyak bebatuan
dan masih dalam bentuk tanah. Seperti gang yang tak berpenghuni.
"Ayo, kita telusuri. Dikit lagi," Agil berseru.
Segera mereka bertiga meluncur. Penuh hati-hati.
"Kok nggak ada tempat tinggalnya?" Rangga bingung.
"Mungkin agak jauh dari gang rumahnya, Ngga.." Agil berseru. Kini ia berada di depan
bersama Mella.
"Kita uda jauh menuruni jalan ini hloo," Mella nimbrung.
"Balik aja yuk, gelap banget nih," Rangga sewot.
"Tapi, Ngga... kita.." Agil yang berada di depan mulai cemas.
Seketika mereka bertiga mulai khawatir. Iya. Mereka berada di jalan menurun terus.
Bagaimana mereka akan balik keatas? Jalanan terjal dan licin.
Tiba tiba..
Jduuk.. prrakk..
"Aowh," teriak Rangga seketika. Ia terkaget dan buru buru mengerem motornya.
"Gila.. nabrak apaan nih gue, untung ngga jatuh.." pekik Rangga yang dibelakang.
Sesegera Rangga turun. Ia mengamati apa yang baru ia tabrak sesaat menggunakan lampu
smartphone nya. Dan, seketika...
.
"Aa...anjr*t, woey.. sini kalian.." teriak Rangga. Segera Agil menghentikan motornya. Ia
menghampiri Rangga. Begitupun Mella.
Lantas mereka bertiga terperangah.
Ya, benda yang ditabrak Rangga adalah seonggok batu nisan. Mereka bertiga merinding
ketakutan.
.
"Balik aja yuk, serem nih.." pinta Mella.
Rangga dan Agil lantas mengangguk setuju.
Mereka memutuskan untuk berbalik.
.
.
Segera mereka tancap gas untuk menaiki jalan menuju pintu gang. Dengan sangat hati hati.
Akan tetapi, suasana justru tidak mendukung. Gerimis mengguyur tiba tiba, membuat jalan
semakin licin.
"Hati hati kalian ya.." seru Rangga yang sudah di depan.
"Yoi.." pekik Agil.
Tiba tiba,
Djuuk, prrrakk...
"Waaa..."
"Aaaaa...."
Motor Agil terpeleset ke bawah, terus ke bawah dan tak bida dikendalikan.
"Kalian.." pekik Rangga. Namun seketika,
"Waaaa.. ." Rangga ikut menjerit. Karena ia hilang kendali menengok ke belakang, motornya
kini menggelincir ke bawah.
"Aaaaaaaa... "
"Waaaaaa.... toloooong,"
"Tolong. ..."
Pekik mereka bertiga. Motor mereka semakin berjalan mundur tak terkendali. Mereka panik.
Takut. Dan...
Bruuuk...brruukk..greeeeng..greeeeeng..
Motor dan mereka bertiga jatuh ke jurang samping jalan terjal itu.
.
Bersambung~~
-Sosok Bermuka Pucat-
Part 10
.
.
(Flashback kematian siswi SMA Bhakti Mulia beberapa hari yang lalu)
Sehari setelah kematian seorang siswi dengan cara misterius, SMA Bhakti Mulia gempar
akan berita-berita yang tayang di koran maupun televisi. Kepala sekolah yang selalu
dikerubungi para pencari warta kini tengah bingung. Para guru pun turut memperbincangkan
tiada henti.
Reshella.. Reshella.. Reshella.. Ya, itulah nama siswi yang meninggal kemarin siang. Ia
dikenal sosok yang pendiam dan acuh tak acuh. Dia duduk di bangku 10 mipa 2. Orangnya
selalu menyendiri.
Kabarnya ia memiliki seorang kekasih dari anak kelas 13 bahasa 3. Ronny namanya. Namun
semenjak kematian Reshella, Ronny tak pernah muncul di sekolah.
.
.
Hari ini adalah hari yang ketiga setelah kematian Reshella. Para pencari warta sudah agak
senggang yang datang ke pintu gerbang. Namun, tidak untuk para guru. Mereka masih asik
memperbincangkan kematian Reshella yang tiba tiba dan begitu misterius.
Bu evita, pembina medis uks SMA Bhakti Mulia masih terus berpikir bagaimana kematian itu
bisa terjadi. Padahal ia telah memeriksa mayat Reshella sebelum dibawa ke rumah sakit, dan
dia tak menemukan satupun riwayat penyakit yang diderita almarhum.
Bu Evita curiga bahws kematian Reshella bukan kematian Reshella bukan kematian biasa,
namun ada sesuatu dibaliknya.
Bu Evita masih terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada Reshella hingga maut
menjeratnya.
.
.
Siang itu, uks kosong akan pasien. Hanya ada bu Evita dan Fian, tim medis yang bertugas
saat itu. Bu Evita masih asik berkutat dengan tugas tugas siswa yang belum dinilainya.
"Bu, saya izin ke kelas dulu. Ada ulangan hari ini bu," pinta Fian.
"Baik, cari tim pengganti ya," pinta bu Evita.
"Baik bu," ucap Fian sembari keluar dari uks.
Akan tetapi, bu Evita masih serius berkutat dengan kertas kertas.
.
Tetiba,
Jdooor... terdengar suara pintu uks yang ditutup dengan kasarnya.
"Siapa itu?" Tanya bu Evita. Ia masih terduduk tenang.
"Saya.....Bu...." suara seorang cewek menggema di ruangan. Bu Evita lantas terdiam,
menghentikan aktifitasnya. Suara yang aneh, pikirnya. Lantas ia berjalan menuju ruang luar.
'Tak ada siapa siapa' ucapnya dalam hati.
'Kok pintu terkunci?' Bu Evita mulai tidak tenang.
Tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang menepuk bahunya dari belakang.
"Haa...siapa itu?!" Teriak bu Evita sembari berbalik.
Tak ada siapa-siapa.
Lantas ia berjalan pelan menuju arah pintu keluar.
Tiba tiba, seperti ada seseorang yang berjalan dengan cepat di depan bu Evita yang akhirnya
membuat bu Evita terjatuh, seolah tersandung.
"Aduh..hentikan, siapa kamu. Keluar!!" Bentak bu Evita sembari berdiri.
Tetiba....
Bu Evita melihat ke arah pintu uks, dan...
Bu Evita terperangah. Ada tulisan aneh di kaca pintu uks yang membuat bu Evita merinding,
dan lebih anehnya lagi tulisan tersebut terbuat dari goresan darah segar, namun begitu sulit
untuk dibaca.
Tetapi, dengan memberanikan diri, bu Evita menerka dan mengeja maksud dari tulisan yang
aneh tersebut.
"Ohh..." bu Evita terkaget setelah tahu apa makna tulisan itu.
'Bu.. Tolong Saya..' bunyi tulisan dengan goresan darah di kaca pintu uks.
Segera bu Evita berjalan mendekati pintu. Namun...
"Kyya... jangan ganggu saya," teriak bu Evita manakala seperti ada seseorang yang menepuk
kedua bahunya dari belakang.
Bu Evita lantas berbalik ke belakang, dan ia terkaget. Tubuhnya terpaku. Ia tak percaya
dengan apa yang dilihatnya...
Kursi tempat ia duduk kini bergerak perlahan lahan, bolpoin yang ia pegang menari nari
sendiri diatas kertas di mejanya.
Bu Evita mulai gemetaran. Keringat dinginnya bercucuran lebih banyak dari sebelumnya.
Saat bu Evita mencoba berlari untuk mendobrak pintu sembari terus mengamati bangku
tempat ia terduduk, ia lantas terperangah kembali saat matanya tertuju di dinding uks.
Ia melihat sosok Reshella yang menempel di ternit uks. Reshella yang kini kotor dan penuh
lumuran darah dengan pakaian seragam yang masih dikenakannya waktu terakhir kali
sekolah.
.
"Kyyaaaaaaaa...... Tolooooooooong......!" Jerit bu Evita sekeras-kerasnya sembari terduduk
lemah di lantai dan menutup matanya dengan kedua tangan.
.
.
Jdooor!!
"Bu Evita.. bu... Ada apa?!" Spontan suara seseorang dari luar mengagetkan bu Evita.
Ya, Ronny. Tim medis pengganti yang hari hari kemarin tidak muncul setelah kematian
Reshella kekasihnya.
.
"Ron...Ronny... sssii...ssiiiapa.. yang bb..buka pintu tadi?" Tanya bu Evita gemetaran.
"Saya bu. Saya jadi tim pengganti Fian, tapi saat saya kesini kok pintu terkunci. Saya kira uks
ditutup. Tapi saat saya ingin balik ke kelas, saya mendengar jeritan. Spontan saya mendobrak
pintu. Ternyata ada ibu, kenapa pintunya di kunci bu?" Jelas Ronny panjang lebar.
Bu Evita masih terdiam. Belum kuasa menjawab pertanyaan Ronny.
.
"Ronn, sepertinya uks di kunci dulu hari ini. Ibu mau ke ruang guru dulu, mungkin sedikit
lelah. Oh ya, ini kuncinya.." pinta bu Evita sembari merogoh kantong bajunya dan
menyerahkan sebuah kunci ke Ronny.
Mereka lantas keluar dari uks dan Ronny menguncinya.
.
"Yasudah bu, kalau begitu saya permisi. Mau balik ke kelas," ucap Ronny.
"Eh, tunggu Ronn.. Ada yang mau ibu tanyakan sama kamu.." pinta bu Evita pelan. Sembari
mereka berjalan menjauhi uks.
"Tentang apa bu?" Kembali Ronny bertanya.
"Kenapa semenjak kematian Reshella, kamu baru masuk sekolah sekarang?" Tanya bu Evita
tanpa basa basi.
Ronny terdiam. Mulutnya terkunci. Ia tak mampu menjawab pertanyaan bu Evita.
"Apa ada sesuatu terjadi pada kamu, Ronn?" Bu Evita memancing.
Lantas Ronny mendongak. Ekspresinya terlihat seperti seseorang yang ketakutan.
"Ceritanya panjang bu..." pinta Ronny lemah.
"Boleh ibu dengar ceritanya, Nak?" Pancing bu Evita.
Lantas Ronny mengangguk. Mereka kemudian memutuskan untuk berjalan ke arah ruang
kantor guru.
Apa yang dialami Ronny sebenarnya?
.
.
Bersambung~~

-Sosok Bermuka Pucat-


Part 11
(Maaf baru bisa update ^_^ )
.
.
(Flashback #2 kematian siswi SMA Bhakti Mulia beberapa hari yang lalu)
*Reshella POV*
Hari-hari yang kulalui selalu penuh dengan rentetan sepi. Rasanya dunia ini begitu
mengasingkanku. Aku mungkin salah satu dari banyak orang yang memiliki sifat introvert.
Ya, aku lebih menyukai diriku yang seperti ini. Hanya ada hitam dan putih warna dalam hari-
hariku.
Kini aku menginjak kelas 10. Awal aku memasuki jenjang SMA. Ini bukan kemauanku. Aku
tak ingin bersekolah di tempat para orang centhil ini. Rasanya, melihat mereka dengan baju
identitas SMA ini dan berjalan dengan angkuhnya seolah jijik dimataku.
Namun, ada sesuatu yang membuat aku tertarik masuk ke sekolah ini. Ronny. Ya, dia adalah
sesuatu itu. Kalau tidak karena Ronny mendesakku, tak mungkinlah aku masuk di sekolah
para centhil ini.
Baru beberapa hari disini, aku sudah mulai bosan. Kupikir dengan masuk ke sekolah favorit
bisa sedikit membuatku nyaman. Nyaman dengan aku yang ingin selalu sendiri. Tapi apa,
mereka selalu cerewet mengajakku kesana kemari. Yah, apa boleh buat, aku pasti selalu
menolak tawaran tawaran itu. Dan akhirnya mereka sedikit demi sedikit menjauhiku. Hah,
senang sekali.
.
Saat kuceritakan hal itu kepada Ronny, dia justru marah padaku. Salahku apa?
Aku yang hanya ingin sendiri dan hanya ingin dia selalu ada untukku, tetapi berbeda
kenyataannya. Kupikir, setelah aku masuk ke SMAnya, dia selalu menemaniku setiap saat.
Namun, itu diluar dugaan.
Yang ia lakukan, tidak lagi seperti dulu. Dia mulai berbeda. Aku jadi sedih.
.
'Say, udah berangkat?' Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel bututku. Oh, Ronny rupanya.
Masih peduli juga denganku.
'Belum, mau otw' ku jawab dengan singkat juga.
'Aku jemput mau?' Pesan darinya masuk.
Cih, basa basi macam apa itu. Bukannya kalau mau menjemput selalu langsung datang ke
rumah, tanpa perlu menawarkan.
'Gak usah.' Ku jawab dengan singkat pula.
Jujur, aku masih sakit dengan kemarahannya hanya gara gara sikapku pada orang lain. Dia
anggap aku aneh. Apa hanya alasannya saja mengatakan itu?
Aku selalu menolak ajakan banyak teman, karena aku hanya ingin bersama dia dimanapun.
Tapi, dia justru bersikap seperti itu. Ah, rasanya muak sudah.
.
.
Teeet... teeet...
Bel tanda masuk kelas berbunyi. Aku segera berlari menuju kelas. Jarak gerbang sekolah
dengan kelasku lumayan jauh.
"Shella... shella.. tunggu," terdengar suara seseorang memanggilku. Aku menoleh. Ronny
rupanya.
"Tunggu sebentar, aku mau bicara." Pinta Ronny.
"Udah bel, nanti aja." Jawabku ketus penuh kekesalan.
"Sebentar, kamu kenapa akhir akhir ini jadi begitu sih?" Tanya Ronny.
"Hah? Aku? Justru kamu itu yang kenapa!" Bentakku.
"Salah aku apa, aku hanya ingin kamu berteman dengan yang lain, itu aja." Jelas Ronny.
"Aku nggak mau. Kamu nggak perlu atur aku."
"Aku perlu atur kamu, kamu pacarku," pinta Ronny
"Oh, jadi pacar berhak mengatur semuanya? Kalau gitu kita putus aja sampai sini," bentakku
kemudian. Entah kenapa, tiba tiba kata itu terlintas di benakku dan kuucapkan begitu saja.
"Apa? Nggak bisa!" Bentak Ronny.
"Sudahlah, aku udah males sama kamu. Bye," ucapku sekenanya sembari berlari menuju
kelas.
Namun nampaknya Ronny tak bereaksi apapun. Ia terdiam. Tak memanggilku lagi.
.
.
Teeet..
Bel istirahat berbunyi. Rasanya males sekali untuk pergi ke kantin walau perutku sudah
keroncongan. Aku sekejap teringat akan perkataanku tadi pagi. Meemutuskan Ronny. Yah,
buat apa aku berharap kepada orang yang tak bisa mengerti aku lagi. Bosan.
Saat teman teman keluar kelas, aku memilih untuk diam dikelas. Rasa malas masih
menguasaiku. Ah, tapi panggilan alam ini, tak bisa kutahan barang sebentar saja. Aku
memutuskan untuk pergi ke toilet dengan segera.
.
.
Entah kenapa, saat aku berjalan menuju toilet, seolah ada seseorang yang mengikutiku. Aku
tak tahu siapa. Aku mencoba cuek. Toh tadi aku tak mengajak siapapun.
Aku memilih toilet paling pojok. Saat kubuka pintu, tiba tiba seperti ada seseorang yang
menarik bajuku dari belakang.
Kutengokkan kepalaku kearah belakang, dan ternyata.....
.
Aku hanya bisa terdiam, mulutku menganga seolah tak percaya apa yang aku lihat. Tubuhku
kaku. Aku tak bisa bergerak maupun menjerit. Di depan wajahku persis, ada sosok yang
mengerikan tengaj menatap tajam mataku. Sosok yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Wajahnya pucat pasi tanpa ekspresi. Ada goresan goresan darah di bagian kerutan matanya.
Dan matanya... tidak, aku takut. Tatapannya dingin. Hembusan angin disekitarku sangat
dingin. Aku ingin teriak, aku takut. Tapi aku tak ada daya.
Tiba tiba...
Ia seolah memdorongku hingga aku terjatuh mendobrak pintu toilet. Padahal sosok yang
mengerikan tadi tak bergerak sedikitpun.
Aneh. Ini aneh. Aku tetiba tak bisa mengendalikan tubuhku. Badanku.... badanku ringan
sekali.
Dan aku, tidak. Ini kenapa, badanku bergerak tak teratur. Membanting banting tubuh sendiri,
sebentar sebentar melayang dan menjatuhkanku ke lantai dengan cepat. Membentur
benturkan kepalaku ke dinding. Sakiiit. Sakiiit sekali. tapi aku tak bisa berkata apa apa. Aku
hanya bisa melihat sosok mengerikan itu seolah kabur dari pandanganku begitu cepat.
Dan, tidak.. dia mendekatiku.
Aku masih tetap tak bisa bergerak, tubuhku sakit sekali .
Tiba tiba, kudengar suara samar samar didalam ruangan toilet ini. Suara yang tak pernah
kudengar sebelumnya.
"Kupinjam...jam...jam...tubuhmu..mu..mu..." suara itu terngiang ditelingaku.
Dan...
"Aaaaaaaaaa..kyaaaaaaaaaa...."
.
.
*Ronny POV*
Aku berjalan mengikuti bu Evita. Entah kenapa firasatku sangat tidak enak. Apa yang dialami
bu Evita barusan? Apakah sama dengan apa yang kualami? Dibenakku hanya terdapat
beberapa pertanyaan yang semakin membuatku pening.
"Ron..." terdengar suara seseorang yang memanggilku dari belakang. Aku menoleh.
Dan...
.
.
"Aaaaaa. .. tidddaaaaak!!!"

~bersambung

-Sosok Bermuka Pucat-


Part 12
(Maaf Telat ^_^ )
.
.
*Ronny POV*
"Aaaaaa....Tidaaaaaaak!!" Aku spontan terkaget melihat sosok yang berdiri di depanku.
"Oey, Ron.. lu kenapa? Ini aku" pinta seorang yang berada tepat di depanku. Lantas kuusap
mataku berkali kali. Oh, benar. Bukan Reshella ternyata. Mungkin karena aku tadi
memikirkan, jadi terbawa bayangan itu ke pandanganku.
"Gile, ngagetin aja lu. Tapi suara lu tadi cewek oey," semprotku sekenanya. Ya, orang yang
tengah menyapaku tadi ternyata Agil. Adik kelasku dan sekaligus satu tim basket.
"Elu tuh, mana ada suara gue jadi cewek. Jangan bercanda." Pintanya.
"Eh iya, sorry. Da ape?" Tanyaku langsung.
"Eh, tuh uks kenapa tutup?" Tanya Agil.
"Elah, bu Evita yang nyuruh tutup. Nggak tau kenapa. Mau bolos lagi? Tiduran?" Tebakku
sekenanya.
"Oey, enak aje. Gue sakit nyong. Parah nih, dikira bolos." Pinta Agil.
Kulihat seluruh badannya, nampak tak ada yang terluka. Namun dia bilang parah. Tapi
memang dilihat dari wajahnya kelihatan pucat, mungkin memang beneran sakit.
"Huesh.. alesan lo. Mana badanmu nggada yang luka kok bilang parah. Hati lo kali parah,"
semprotku pada Agil.
"Huu, dibilang ngga percaya. Yaudah lah, gue balik dulu. Tuh, bu Evita dah ninggalin lu,
bye.." pinta Agil seraya berbalik membelakangiku.
"Yoi Broh, cepet sembuh," ujarku sembari menyusul bu Evita.
.
.
Tiba di kantor, aku hanya bisa diam menunggu bu Evita angkat bicara.
Beliau menyodorkan satu kursi kearahku, menandakan aku disuruh duduk.
"Ron, ibu mau bertanya suatu hal," seru bu Evita membuka percakapan.
"Tentang kematian Reshella ya bu?" Aku menebak kemana arah pembicaraan kami. Bu Evita
mengangguk pelan.
"Apa ada suatu hal yang menganggumu setelah kematiannya?" Bu Evita menembakku
dengan pertanyaan terberat. Ini yang sebenarnya aku hindari. Aku terdiam. Bingung kata kata
apa yang harus aku jawab.
"Ceritakan pada ibu kalau ada apa apa nak," sergah bu Evita kemudian.
Aku jadi berpikir, apakah bu Evita mengalami apa yang sering ku alami akhir akhir ini?
Beribu pertanyaan di benal membuatku sangat bingung. Sesaat kutatap bu Evita, beliau
kelihatan sungguh sungguh.
"Saya mengalami hal aneh semenjak kematiannya, Bu" aku lantas membuka percakapan.
"Ceritakan nak, jangan takut. Ibu akan coba mengerti," sergah bu Evita.
.
.
Segera aku mulai membicarakan apa yang kualami. Bu Evita majukan kursi tempat ia
terduduk untuk sedikit mendekat ke arahku. Saat aku akan bercerita, tiba tiba di depan ruang
tamu kantor banyak para guru. Ramai berkerumunan, baik guru laki laki ataupun perempuan.
Tak lama, banyak para siswa yang datang ke kerumunan.
"Ada apa itu Ron?" Tanya bu Evita penasaran.
"Kurang tahu, bu. Mungkin siswa pingsan bu," jawabku sekenanya. Memang disekolah ini
sering sekali terdapat siswa yang tiba tiba pingsan mendadak.
"Yuk dilihat sebentar," pinta bu Evita mengajakku.
Aku pun bergegas mengikuti bu Evita.
.
.
Sampai di kerumunan, aku dan bu Evita mencoba mencari tahu sumber kerumunan itu.
Dan ternyata hanya sebuah televisi yang menayangkan berita. Ah, aku mulai cuek.
.
Namun, kulihat bu Evita terperangah melihat berita di tv.
"Tidakk..?" Seru bu Evita keras.
Aku penasaran. Lantas segera kulongokkan kepalaku ke arah tv.
Dan...
Berita mengenai tiga orang siswa kecelakaan dan masuk jurang Jl. Abiyasa.
Tidak, itu seperti muka Rangga. Ketua osis periode ini tengah digotong warga untuk
dimasukkan ambulance. Ada seorang cewek, namun entah aku tak bisa lihat jelas. Banyak
sekali darah di tubuh dan wajahnya.
Dan... tidak mungkin! Apa aku ini mimpi?
Tidak! Itu..... itu ada Agil.
Agil yang barusan berbicara denganku? Agil... iya itu Agil..
Tidak mungkin. Tubuhnya sangat mengenaskan sekali.
Badannya di blur. Aku tak bisa lihat jelas. Yang pasti dia yang sangat terluka parah.
Apa? Tidak! Reporter bilang yang bernama Agil tidak bisa terselamatkan?
Tidak mungkin!
.
.
"Bu... itu... itu...," aku gelagapan. Aku tak kuasa menanyakan pada bu Evita.
Banyak dari guru wanita yang menjerit histeris dan menangis. Termasuk bu Evita.
"Mereka murid sini, Ron.." bu Evita terisak.
"Bu... itu.. itu ada Agil?" Tanyaku gemetaran.
"Agil... Agil... tak terselamatkan" lagi lagi bu Evita menangis.
Aku terbengong. Apakah tadi...?
Aku mulai lemas.
'Agil, maafkan aku. Inikah yang kamu maksud sakit parah?' Tanyaku dalam hati.
"Bu Evita, ibu tadi mendengat saya menjerit kaget tidak?" Tanyaku memastikan.
Bu Evita menggeleng.
"Maksudmu apa Ron?" Bu Evita justru balik bertanya.
"Oh, yasudah bu. Tidak ada apa apa," pintaku singkat.
.
Aku mengerti. Ternyata tadi...
'Agil.. maaf, mungkin ini maksud kamu untuk balik? Cepat sembuh ya Gil, tenang disana,
aku akan segera menjengukmu hari ini juga. Maaf aku tadi tidak paham. Maaf agil.
Terimakasih sudah menjadi teman terbaik di tim kita. Kami pasti merindukanmu' rintihku
dalam hati. Tak terasa air mataku mengalir.
Aku menangis.
.
~bersambung

Anda mungkin juga menyukai