Anda di halaman 1dari 2

MATERI UJIAN PRAKTIK KELAS XII

ASPEK MEMBACA
SUAMIKU MANTANKU
“Pokoknya kamu nggak boleh pacaran, mama nggak mau kamu kayak sepupumu itu kamu sudah mama
didik dengan pendidikan agama yang kuat, jangan bikin malu keluarga.”
“Tapi ma,aku nggak akan kaya si Syifa. Aku nggak sama ma dia. Aku sudah dewasa,kalau aku pacaran
aku akan jaga diri baik-baik ma,lagian kan Syifa tinggal di Jakarta ma,sedangkan aku? Cuma di sini ma,” bujuk
Nela pada mamanya.
“Bagi mama kamu belum dewasa, mama nggak peduli kamu ada dimana saja. Kamu harus konsentrasi
sama sekolah mu dan mama nggak ingin ngeliat prestasi mu turun,kamu tuh SMA aja masih bentar lagi,” sahut
mama.
”Tapi ma,” kata Nela.
”Udah lah pokoknya nggak ada tapi-tapian,” bentak mama Nela.
”Mama kok gitu sih!!! Apa mama nggak sayang ma Nela?”
”Justru karena mama sayang ma kamu nak,jadi mama ingin kamu menjadi remaja yang berprestasi tanpa
memikirkan hal yang seperti itu.”
”Tauk ma, capek dengerin omelannya mama.”
Hari pertama masuk sekolah telah dimulai,para siswa baru bergegas masuk ke kelas mereka masing-
masing,Nela juga termasuk salah satu dari sekian banyak siswa baru itu.
”Kelas ku yang mana ya? Bingung banget nih!”
”Nela,Nela, cari kelas ya?” tanya diva.
”Iya nih Div,bingung.”
”Kamu Cuma mondar-mandir sih,ya udah bingung. Itu lo kelas mu”. (sambil menunjuk sebuah kelas yang
bertuliskan X-2).

Darmon
Karya Harris Effendi Thahar
Dari suara dan sopan santunnya menyapa, saya cukup simpati. Tetapi melihat tampangnya, pakaiannya, dan
bungkus rokok yang sekilas saya lihat di kantung kemejanya, saya kurang berkenan.
"Saya Darmon, teman anak Bapak, Maya, yang mengantar malam-malam sehabis demo tempo hari."
"Oh, ya? Saya tidak ingat kamu waktu itu. Tetapi, saya pikir Maya masih belum pulang dari kampus.
Mau menunggu?" tawar saya tanpa sengaja dan saya berharap dia cepat-cepat pergi. Tetapi, tampaknya
dia lebih lihai dari yang saya duga.
"Tidak apa-apa Pak, kebetulan saya sudah lama ingin ketemu Bapak, Ngomong-ngomong soal sikap pemerintah
terhadap gerakan reformasi oleh mahasiswa."
"Oh, apa tidak salah? Saya kan bukan pejabat, cuma pegawai negeri biasa," kilah saya sambil terus menyiram
pot-pot bonsai kesayangan saya di teras.
"Justru itu, Pak. Kalau Bapak seorang pejabat atau bekas pejabat, pasti Bapak terlibat KKN dan
tidak suka dengan saya karena saya salah seorang dari mahasiswa yang ikut mendemo pejabat teras
di daerah ini."
Entah bagaimana, saya merasa tersanjung dan mulai simpati pada anak muda itu, meski dalam hati bercampur
rasa was-was kalau-kalau dia ternyata pacar Maya. Lebih jauh lagi, rasanya, Maya tak pantas pacaran
dengannya. Setidaknya, menurut keinginan saya, pacar Maya, yang sekarang baru sembilan belas usianya itu,
haruslah tampan dan kelihatan punya wawasan luas. Ini Darmon, seperti yang diperkenalkannya tadi, kelihatan
tidak intelek dan lebih mirip kernet bus kota. Ia begitu saja mengikuti langkah kaki saya memilih tanaman-
tanaman kecil saya yang patut disemprot air karena kelihatan kering. Sepertinya Darmon tidak begitu tertarik
dengan tanaman, malah mencecar saya dengan pertanyaanpertanyaan sekitar politik dalam negeri.

Lanjut……..
"Ngomong-ngomong, kamu jurusan apa?"
"Pertanian. Budi Daya Pertanian," jawabnya datar.
Saya terkesima dan telanjur menduga ia belajar sosial politik, mulai kurang simpati karena dia justru tidak tertarik
dengan hobi saya.
"Ngomong-ngomong, kamu tahu tidak, nama latin bonsai yang ini?"
"Oh, pohon asem ini? Kalau tidak salah, Tamaridus indica."
"Kalau yang ini?" uji saya lebih jauh, kalau memang ia mahasiswa fakultas pertanian.
"Ini jenis Ficus, Pak. Ini sefamili dengan karet. Tepatnya yang ini Ficus benyamina."
"Kok kamu kelihatan tidak tertarik?"
"Bukan itu soalnya, Pak saya pikir, ini kesenangan orang yang sudah mapan seperti Bapak.

GEMA “INDONESIA RAYA” DI TANAH CINA


Hoirotus Sya’baniyah Firliyanti

…………………………..
“Kak Ahsan! Kak Hendra! Ayo, semangat! You can do it!”, pekikku lancang. Mereka menoleh, diikuti
seluruh tatapan aneh dari seluruh suporter di stadion ini. Namun siapa sangka, mereka berdua tersenyum padaku
dan memberikan satu anggukan pasti. Begitu juga dengan suporter Tim Merah Putih yang kembali tenggelam
dalam gemuruh semangat. Aku tersenyum lega. Sepertinya teriakanku menjadi percikan api kecil yang lantas
membakar semangat besar. Tak lama, bunyi decit sepatu kembali menggema beriringan dengan pukulan keras dari
para pemain, menandakan putaran kedua telah dimulai.
***
Waktu terus berlalu, hingga kini putaran ketiga tengah berlangsung. Kak Ahsan dan Kak Hendra masih
tetap bermain lincah dan cekatan dalam menangkis umpan lawan. Hatiku optimis bahwa sebentar lagi jerih payah
mereka akan terbayar. Segala perjuangan dan usaha keras Tim Merah Putih akan segera tergantikan dengan
senyum kemenangan. Aku yakin itu!
Nampaknya prediksi awalku tentang takdir, salah. Karena saat ini dewi fortuna lebih memihak pada
Indonesia. Ketika skor pertandingan telah sampai pada angkan 20-20, gerakan gesit Kak Ahsan berhasil
membendung serangan Mathias Boe dan dengan lincahnya Kak Hendra memberikan satu pukulan keras yang tak
mampu Carsten Mogensen antisipasi. Seketika suasana menjadi senyap, rasanya tak ada satupun di antara kami
yang bernafas. Hingga suara peluit memekik panjang, menggema dalam stadion berdinding kokoh ini.
Semua bersorak, meloncat kegirangan atas kemenangan yang berhasil diraih Tim Merah Putih setelah
terpungkur puluhan tahun. Aku tertunduk, hanyut dalam tangis bahagia setelah sebelumnya ekor mataku melihat
Kak Ahsan dan Kak Hendra bersujud syukur. Tanganku semakin erat menggenggam kepingan bulat ini saat lagu
Indonesia Raya menggema di Stadion Tianhe. Hatiku semakin bergemuruh hingga tak mampu berkata-kata saat
Kak Ahsan dan Kak Hendra berlari ke arahku. “ Kita berhasil! Indonesia berhasil!!”, teriaknya sembari
mengangkat kedua tanganku hingga tanpa sengaja menampilkan wujud asli kepingan bulat yang sedari tadi aku
genggam. Itu, sebuah medali emas untuk Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai