Anda di halaman 1dari 6

UJI ORGANOLEPTIK DAGING SAPI

Daging sampel yang digunakan untuk uji organoleptik dan uji pH diambil dari pasar Krian
yang berjumlah sepuluh sampel. Berdasarkan uji organoleptik yang sudah dilakukan didapatkan
hasil seperti terlihat pada (Tabel ). Daging yang baik secara umum adalah daging yang mempunyai
warna cerah, tidak pucat dan mengkilat, tidak ada bau asam, apalagi busuk, konsistensinya liat
serta apabila dipegang tidak lekat di tangan dan masih terasa kebasahan. Evaluasi terhadap kualitas
dan kesehatan daging dapat dilakukan secara subjektif dan objektif. Penilaian secara subjektif
meliputi penilaian terhadap warna, bau, keempukan dan cita rasa, sedangkan penilaian objektif
dapat dilakukan dengan bantuan alat-alat laboratoris atau dengan standar perbandingan penilaian
objektif meliputi penilaian terhadap pH, kepualaman dan komposisi kimia daging (Arka, 1994).

Tabel. Hasil uji organoleptic sampel daging sapi

No Sampel Warna Bau Konsistensi


1 Daging 1 Merah terang Aromatis Kenyal
2 Daging 2 Merah gelap Aromatis Kenyal
3 Daging 3 Merah terang Aromatis Kenyal
4 Daging 4 Merah terang Aromatis Kenyal
5 Daging 5 Merah pucat Aromatis Kenyal
6 Daging 6 Merah terang Aromatis Kenyal
7 Daging 7 Merah gelap Aromatis Kenyal
8 Daging 8 Merah gelap Aromatis Kenyal
9 Daging 9 Merah terang Aromatis Kenyal
10 Daging 10 Merah terang Aromatis Kenyal
Hasil uji terhadap warna daging menunjukan bahwa daging berwarna merah terang, merah
gelap, dan merah pucat. Warna merah pada daging disebabkan pigmen daging yaitu myoglobin
(struktur kimianya mengandung inti Fe2+ yang akan mengalami oksigenasi menjadi
oksimyoglobin yang berwarna merah cerah). Daging bila kontak dengan udara luar yang
berlangsung lama akan menyebabkan perubahan oksimyoglobin menjadi metmyoglobin (MMb)
dan warna daging berubah menjadi coklat. Apabila metmyoglobin terkontaminasi dengan bakteri,
maka daging akan berubah warna menjadi hijau hal tersebut terjadi karena terbentuknya
sulfmyoglobin dan cholemyoglobin, akibat oksidasi dan denaturasi dengan cepat berubah menjadi
porpirrin dengan warna kuning sampai coklat atau tidak berwarna. Banyak faktor yang
mempengaruhi warna daging termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat
aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen.

Hasil uji untuk bau menunjukkan semua daging mempunyai bau yang aromatis. Bau daging
disebabkan oleh fraksi yang mudah menguap dimana pada jaringan otot yang masih hidup
mengandung adenosin-5-trifosfat yang dikonfersi setelah penyembelihan menjadi inosin-5-
monofosfat. Daging yang masih segar berbau seperti darah segar. Ciri-ciri bau daging yang baik
secara spesifik yaitu tidak ada bau menyengat, tidak berbau amis, dan tidak berbau busuk. Bau
daging bisa juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, suhu, cara penyimpanan, peralatan yang
digunakan, dan kemasan yang digunakan. Cara penanganan daging yang higienis yaitu dengan
memantau asal daging yang berasal dari ternak yang sehat dengan pengawasan dari dokter hewan,
suhu penyimpanan untuk daging segar 2 – 4oC, peralatan yang digunakan terjaga kebersihan dan
sanitasinya, kemasan yang digunakan tidak terbuat dari bahan yang mencemari daging. Kualitas
daging yang baik dengan kesehatan daging yang memadai dan boleh beredar di masyarakat
sebaiknya mempunyai keasaman antara 5,3 – 5,8 , tidak terdapat tenunan pengikat, kepualamannya
bernilai 3, beban kuman maksimum 0,5 juta/gr, sedangkan untuk coliform maksimum 100/gr
daging.

Hasil uji untuk konsistensi pada semua sampel menunjukkan bahwa sampel memiliki
konsistensi yang kenyal. Ada dua tekstur otot yaitu tekstur kasar dengan ikatan - ikatan serabut
yang besar, dan tekstur halus dengan ikatan - ikatan serabut yang kecil. Konsistensi daging
biasanya dinyatakan dengan: liat, lembek, berair (firmness-softness-juiciness). Konsistensi daging
ditentukan oleh banyaksedikitnya jaringan ikat yang menyusun otot tersebut. Daging yang segar
terasa liat sedangkan yang mulai membusuk terasa berair.
UJI PH DAGING

Tabel. Hasil Uji pH sampel daging sapi

No. Sampel daging pH


1 Daging 1 5,8
2 Daging 2 6,1
3 Daging 3 6,4
4 Daging 4 6,4
5 Daging 5 6,1
6 Daging 6 6,2
7 Daging 7 6,1
8 Daging 8 6,4
9 Daging 9 5,8
10 Daging 10 5,8

Hasil uji pH yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel . Nilai pH merupakan salah satu
criteria dalam penentuan kualitas daging, khususnya di Rumah Potong Hewan (RPH). Setelah
pemotongan hewan (hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks
di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran darah ke
jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang terjadi dan
merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian (36 jam pertama setelah
kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam
glikolisis anaerob ini, selain dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam
laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai pH
jaringan otot (Feiner,2006).

Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut daging) saat hewan
hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah hewan disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH
daging) akan menurun akibat adanya akumulasi asam laktat. Penurunan nilai pH pada otot hewan
yang sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu
dari nilai pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai 5,6
– 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai
pH akhir (ultimate pH value) adalah nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan
(kematian). Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal ini disebabkan
karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif
berkerja. Penurunan nilai pH yang bertahap dalam daging dan relatif konstan disebabkan adanyan
zat-zat buffer di dalam daging yang berperan dalam melepas dan menangkap ion H+ dalam daging.
Zat buffer dalam daging antara lain garam-garam dari senyawa asam laktat dan protein daging.

Secara umum, pola penurunan nilai pH otot ada 3 (tiga), yaitu pola penurunan nilai pH normal
seperti yang dijelaskan di atas. Pola penurunan pH yang lain adalah pola dark firm and dry (DFD)
dan pola pale soft and exudative (PSE). Pola penurunan nilai pH normal dapat dikatakan sebagai
penurunan nilai pH yang lambat, nilai pH PSE dikatakan sebagai pola penuruan pH yang cepat,
sedangkan nilai pH DFD dikatakan sebagai pola penurunan yang lambat dan tidak lengkap. Pada
pola nilai pH DFD, nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan
dan tetap relatif tinggi; mencapai pH akhir sekitar 6,5-6,8 atau nilai pH akhir dicapai di atas 6,2.
Sedangkan pola nilai pH PSE, nilai pH menurun relatif cepat sampai sekitar 5,4-5,5 pada jam-jam
pertama setelah pemotongan dan mencapai nilai pH akhir 5,3–5,6.
Arka, 1994. Ilmu Pengetahuan Daging dan Teknologinya. Universitas Udayana. Denpasar.

Feiner, G. 2006. Meat products Handbook: Practical Science and Technology. Woodhead
Publishing Limited. Cambridge.

Anda mungkin juga menyukai