Anda di halaman 1dari 15

1

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesa. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, Mei 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................


DAFTAR ISI .....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
i.i Latar Belakang .......................................................................................
i.ii Rumusan Masalah ..................................................................................
i.iii Tujuan ...................................................................................................
i.v Manfaat .................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Carok ...................................................................................
2.1 Tujuan Melakukan Carok ......................................................................
2.3 Penyebab Eksistensi Budaya Carok ......................................................
2.4 Celurit Sebagai Simbol .........................................................................
2.5 Contoh Kasus ........................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................
3.2 Saran .....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
LAMPIRAN ......................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai
dan standar budaya sendiri. Di Indonesia masih banyak perilaku-perilaku yang
mencerminkan Etnosentrisme. Contoh Etnosentrisme yang terjadi di Indonesia
salah satunya adalah Budaya Carok di Madura. Carok merupakan tradisi bertarung
yang sering terjadi di Madura yang disebabkan karena alasan tertentu yang
berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok atau antar klan
dengan menggunakan senjata (biasanya celurit).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Carok?
2. Apa tujuan seseorang melakukan Carok?
3. Apa penyebab eksistensi Carok?
4. Apa yang menjadi simbol kebudayaan Carok?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan penelitian ini adalah”Untuk
mengetahui apa pengertian, tujuan dan penyebab eksistensi carok

1.4 Manfaat
Agar pembaca, masyarakat dan penulis khususnya mengetahui bahwa carok
bukanlah jalan yang baik untuk menyelesaikan suatu masalah

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Carok


Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang
lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah demi
kehormatan. Ungkapan etnografi yang menyatakan, etambang pote mata lebih
bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati
berkalang tanah) yang menjadi motivasi Carok. (Mien, 2007)
Carok yaitu suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena adanya
penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam, pada umumnya cekurit yang
dilakukan oleh orang laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah melakukan
pelecehan terhadap harga diri (baik secara idividu sebagai suami maupun secara
kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga). Terutama harga diri (martabat)
yang kaitannya dengan masalah kehormatan istri sehingga timbul perasaan malu
(maloh) saat terjadi pelecehan. (Wiyata, 2002:184)
Budaya Carok dan Celurit Menurut Zulkarnain, dkk. (2003: 75) Carok
dalam bahasa Kawikuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau
dua keluarga besar. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak
oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita.
Semua kasus Carok diawali oleh konflik, meskipun konflik tersebut dilatar
belakangi oleh permasalahan berbeda (masalah perempuan, kasus lainnya tuduhan
mencuri, perebutan warisan, pembalasan dendam), semuanya mengacu pada akar
yang sama, yaitu perasaan malo karena pelecehan harga diri (martabat). Untuk
memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melekukan Carok, yang ternyata
selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial. Apapun cara Carok yang
dilakukan, semua pelaku Carok yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan
perasaan lega, puas, dan bangga. Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya
dengan perasaan malo yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan, kedua hal ini
merupakan faktor pemicu utama orang Madura melakukan Carok, selain faktor
lainnya (A. Latief, 2002).

5
Dalam realitas sosial kehidupan Madura, tindakan mengganggu istri orang
atau perselingkuhan merupakan bentuk pelecehan harga diri paling menyakitkan
bagi laki-laki orang Madura, dan biasanya tidak ada cara untuk menebusnya
kecuali dengan membunuh (Carok) orang yang mengganggunya. Kaitannya
dengan ini, seorang penyair Madura, Imron (Dalam Wiyata, 2006:173),
menemukan ungkapan yang berbunyi, “saya kawin dinikahkan oleh penghulu,
disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka
siapa saja yang mengganggu istri saya, berarti menghina agama saya sekaligus
menginjak-injak kepala saya.” Dari ungkapan ini sudah jelas, bahwa martabat dan
kehormatan istri merupakan manifestasi dari martabat dan kehormatan suami,
karena istri adalah landasan kematian. (Wiyata, 2006: 170-174)
Jika dicermati lebih dalam lagi dari apa yang dipaparkan di atas, pada
dasarnya mengandung makna bagaimana orang Madura memandang institusi
perkawinan, secara khusus, dan bentuk pelecehan harga diri yang lain secara
umum, sebagai bentuk maskulinitas. Orang Madura memandang institusi
perkawinan sebagai manifestasi kelaki-lakian (maskulinitas). Maksudnya, seorang
laki-laki baru akan menemukan dirinya sebagai seorang laki-laki apabila telah
menikah.
Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai aghaja’
nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau
mempermainkan nyawa. Dalam kehidupan sosial di antara hak-hak dan kewajiban
itu, boleh jadi hak-hak dan kewajiban masyarakat, misalnya dalam konteks Carok,
perlindungan terhadap perempuan (istri), menjadi bagian dari kewajiban
masyarakat, sehingga tindakan mengganggu kehormatan mereka selalu dimaknai
sebagai tindakan arosak atoran (merusak tatanan sosial). Tindakan mengganggu
kehormatan istri, selain dianggap tindakan yang melecehkan harga diri suaminya,
juga dianggap merusak tatanan sosial. Oleh karena itu, menurut pandangan orang
Madura, pelakunya tidak bisa diampuni dan harus dibunuh. Jika terjadi
permasalahan berupa gangguan terhadap istri, ada dua alternatif yang akan
dilakukan oleh seorang suami.

6
2.2 Tujuan Melakukan Carok
Carok senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap orang
yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri, yang
membuat lelaki Madura malo (malu) dan tada’ tajina (direndahkan martabatnya).
Carok telah menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban carok, tidak dikubur di
pemakaman umum melainkan di halaman rumah. Pakaiannya yang berlumur
darah disimpan di almari khusus agar pengalaman traumatik terus berkobar guna
mewariskan balas dendam.

Sedangkan keberadaan celurit punya makna filosofi di mata orang


Madura, ini bisa dilihat dari bentuknya yang seperti tanda tanya, itu menunjukkan
bahwa orang Madura selalu tidak puas terhadap fenomena yang terjadi di
sekitarnya. Kebiasaan orang Madura ketika membawa celurit selalu diletakkan di
pinggang samping kiri, karena menurut orang Madura tradisi seperti itu sebagai
upaya pembelaan harga diri laki-laki di Madura, dan sebagai pelengkap karena
tulang rusuknya laki-laki kurang satu. Makanya orang Madura menggunakan
celurit untuk melengkapi tulang rusuknya yang kurang satu. Celurit untuk
membela istri, harta, dan tahta ketika digangu orang lain, dan orang laki-laki
Madura belum lengkap tanpa celurit. Keberadaan orang Madura sebagai orang
tegalan yang tandus dan gersang, membuat mereka merasa kecil dan rendah hati
sebagai orang yang jauh dari pusat kekuasaan Singasari pada waktu itu.

2.3 Penyebab Eksistensi Budaya Carok


1. Alam yang gersang.
Teror eceran berbentuk carok merajalela akibat alam gersang,
kemiskinan, dan ledakan demografis. Pelembagaan kekerasan carok terkait
erat dengan mentalitas egolatri (pemujaan martabat secara berlebihan)
sebagai akibat tidak langsung dari keterpurukan ekologis (ecological
scarcity).
2. Persetujuan sosial melalui ungkapan-ungakpan.

7
Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan
pembenaran kultur tradisi carok. Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya :
Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan
carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok,
oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, perempuan mati
karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik
berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]).
3. Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita.
Carok refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai
perlindungan secara berlebihan terhadap kaum perempuan sebagaimana
tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan taneyan lanjang.
Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai sebagai perendahan
martabat seluruh warga kampong meji.
4. Upaya meraih status sosial.
Carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih
status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat dengan unsur-unsur religio-
magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia hitam, poligami, dan sangat
menjunjung tinggi kehormatan harga diri.
5. Taneyan lanjang (halaman memanjang), memberikan proteksi khusus
terhadap anak perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual.
Semua tamu laki-laki hanya diterima di surau yang terletak di ujung
halaman bagian Barat. Martabat istri perwujudan dari kehormatan kaum laki-
laki karena istri dianggap sebagai bantalla pate (alas kematian). Mengganggu
istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura.
6. Blater di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo.
Tradisi remo (arisan kaum blater) merupakan institusi budaya
pendukung dan pelestari eksistensi carok. Remo berfungsi ganda, sebagai
tempat transaksi ekonomi, sekaligus penguatan status sosial.

8
2.4 Celurit Sebagai Simbol Carok
Pada saat kerajaan Madura dipimpin oleh Prabu Cakraningrat (abad ke-12
M) dan di bawah pemerintahan Joko Tole (abad ke-14 M), celurit belum dikenal
oleh masyarakat Madura. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo,
putra dari Bindara Saud, putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ditemukan
catatan sejarah yang menyebutkan istilah senjata celurit dan budaya carok. Senjata
yang seringkali digunakan dalam perang dan duel satu lawan satu selalu pedang,
keris atau tombak. (Zulakrnain, dkk. 2003: 63). Pada masa-masa tersebut juga
masih belum dikenal istilah carok.

Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18 M. Pada


masa ini, dikenal seorang tokoh Madura yang bernama Pak Sakerah.
(Abdurachman, 1979: 74). Pak Sakerah diangkat menjadi mandor tebu di Bangil,
Pasuruan oleh Belanda. Yang menjadi ciri khas dari Pak Sakerah adalah
senjatanya yang berbentuk arit besar yang kemudian dikenal sebagai celurit
(Madura : Are’), dimana dalam setiap kesempatan, beliau selalu membawanya
setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja.

Kemunculan celurit menurut kisah Pak Sakerah ini terdapat kesesuaian


dengan hasil penelitian De Jonge yang dikutip oleh (A. Latief Wiyata, 2002: 64).
De Jonge mengutip laporan seorang asisten residen di Bangkalan, Brest van
Kempen, yang menyatakan bahwa antara tahun 1847 - 1849, keamanan di pulau
Madura sangat memprihatinkan mengingat hampir setiap hari terjadi kasus
pembunuhan.

2.5 Contoh Kasus:


SUMENEP-Dipicu persoalan cemburu lantaran istrinya digoda pria lain beberapa
tahun lalu, empat warga pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa
timur, kembali saling bacok (carok), Kamis (11/1/2018) sekira pukul 14.00 Wib.

9
Peristiwa carok satu lawan tiga kali ini, terjadi di jalan Desa Bilis bilis,
Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Sumenep.

Mereka adalah Wahyudi, Mat Saini, Ainur Rahman, dan Andi, warga Kecamatan
Arjasa, Pulau Kangean, Sumenep.

“Modus operandinya ya dendam lama, yakni istri Wahyudi digoda Ainur Rahman
dan Matsaini. Namun pada Th 2008 malah Wahyudi yang dibacok Ainur Rahman
dan Matsaini,” kata Kasubag Humas Polres Sumenep AKP Abd. Mukit, Jum’at
(12/1/2017).

Tidak berhenti disitu, Wahyudi yang menjadi korban pembacokan Ainur Rahman
dan Matsaini tahun 2008, balas membacok Ainur Rahman, tahun 2010.

Namun pada Kamis (11/1/2018) sekira jam 14.00 wib. carok itu kembali terjadi.
Wahyudi, yang melakukan pembacokan terhadap Ainur Rahman tahun 2010,
dikejar oleh Mat Saini, Ainur Rahman dan Andi, dan terjadilah carok satu lawan
tiga, di Desa Bilis bilis.

Meski dalam carok satu lawan tiga tersebut sempat dilerai oleh Moh. Saleh, tiga
korban tetap mengalami luka cukup serius pada tubuhnya.

Wahyudi (30), warga Desa Duko, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, mengalami
luka robek pada pergelangan tangan kanan, bagian punggung belakang, luka
robek pada lengan atas tangan kiri, luka robek pada kepala samping kiri, robek
pada pelipis kiri.

Selain itu, Wahyudi mengalami luka robek pada lengan kanan bagian samping
dalam dibawah siku, robek di leher samping kanan, daun telinga kanan, robek
pada leher bagian belakang.

10
“Tidak hanya itu, Wahyudi mengalami luka robek pada perut bawah kanan
samping garis tengah tubuh isi perut keluar. Korban saat ini kritis di Puskesmas,”
paparnya.

Sedangkan Mat saini (35), warga Desa Sumber Nangka, menderita luka robek
pada dada kiri bagian bawah, diatas tulang iga melayang, robek pada dada kiri
samping garis tengah tubuh sebagian lemak bawah kulit keluar, robek pada
pergelangan tangan kiri bagian depan melingkar hampir putus.

Mat Saini juga mengalami luka robek pada pelipis kanan tepat disamping alis
mata kanan depan daun telinga bagian atas kedalaman sampai tulang tengkorak,
tulang tengkorak pecah, robek pada kepala bagian belakang sebelah kiri
disamping garis tengah kepala.

“Dia juga kritis di Puskesmas,” paparnya.

Sedangkan Ainur Rahman (27), warga Desa Sumber Nangka, menderita luka
robek pada dada kiri dari garis tengah tubuh sampai kebawah dibawah ketiak kiri
kedalaman sampai otot.

Selain itu, Ainur Rahman juga mengalami luka robek pada dada samping kiri
dibawah luka pertama kedalaman sampai otot. Ainur Rahman juga kritis di
Puskesmas.

Sementara Mohammad Saleh (37), warga Desa Sumber Nangka, orang yang
sempat melerai carok satu lawan tiga itu, mengalami luka robek pada jari pertama
jari kanan bagian belakang mengenai pembuluh darah arteri ke tulang, robek jari
kedua tangan kanan bagian belakang sampai ke samping luar.

11
“ Ia (Mohammad Saleh red) hanya menjalani rawat jalan. Sedangkan Andi, salah
satu pelaku pengeroyokan, melarikan diri dan masih dilakukan pengejaran,”
pungkas Mukit. (Udiens)

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kebudayaan carok adalah kebudayaan yang telah menjadi ciri khas atau
sudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Madura. Masyarakat Madura
terkenal dengan kepribadian mereka yang sangat menjunjung tinggi harga diri.
Carok disebabkan karena tejadinya Alam yang gersang, Persetujuan
social, Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita, Upaya meraih status social,
batas wilayah, Tradisi remo. Carok disimbolkan dengan celurit karena celurit
memiliki kesan yang sangat menakutkan dan kerapkali dilibatkan pada banyak
tindakan kriminalitas yang terjadi di Indonesia.

3.2 Saran
Carok merupakan salah satu budaya Indonesia yang masih dilakukan di
masyarakat Madura. Menurut pendapat kami, dengan menghadapi sebuah budaya
yang sudah melekat di masyarakat tersebut, yang harus dilakukan oleh masyarakat
Madura tersebut adalah melakukan penimbangan kembali nilai budaya
Madura dan mencocokannya dengan norma – norma yang berkembang di masa
sekarang ini, karena jika tidak maka orang akan memandang masyarakat Madura
itu memiliki budaya negatif. Selain itu, memang ada budaya yang bersifat negatif
yang mulai harus ditinggalkan.

13
DAFTAR PUSTAKA
http://dekipancapradila123.blogspot.com/2016/11/makalah-tentang-
etnosentrisme.html
http://mjdailys.blogspot.com/2017/05/makalah-budaya-carok-madura.html
http://www.memoonline.co.id/read/389/20180112/082723/cemburu-istrinya-
digoda-empat-warga-kangean-carok/

14
LAMPIRAN

15

Anda mungkin juga menyukai