Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH BUDAYA ADAT MADURA

TRADISI CAROK

DisusunOleh :

Irvan Wahyu (2019110106)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITASMADURA
2020

1
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kita panjatkan pada keharibaan Sang Ilahi Rabbi, yakni Allah
Adza Wajalla, ygang senantiasa selalu dan selalu melimpah luahkan karunia rahmat-NYA
setiap detik dan setiap saat, dimana waktu dan dimana tempat, subhanallah Maha Agung
Allah serta Maha Tinggi Allah, dengan rahmat dan hidayah-NYA kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini “Hukum Adat Madura” yang insyaAllah terselesaikan
dengan baik dan benar.

Kami menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa makalah ini tentunya InsyaAllah


penuh akan kekurangan dan perlu penyempurnaan lagi. Untuk itu, kami sangat begitu
mengharapkan dengan segala penuh kerendahan hati mengharap kritikan dan masukan
untuk memotivasi terhadap kami agar kami untuk tahap berikutnya yang InsyaAllah lebih
baik lagi dalam pembuatan makalah tersebut.

Pamekasan, 06 Juli 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................2


DAFTAR ISI ...........................................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ........................................................4
B. RUMUSAN MASALAH ....................................................5
C. TUJUAN PENULISAN.......................................................5
BAB II: PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN CAROK………….....................................6
B. TUJUAN CAROK...............................................................8
C. PENYEBAB CAROK ………………......…………………9
D. PRASYARAT CAROK......................................................12
E. TATA CARA PELAKSANAAAN CAROK..…...............13
F. CELURIT SEBAGAI SIMBOL CAROK .........................14

BAB III: PENUTUP


A. KESIMPULAN...................................................................15
B. SARAN ..............................................................................16

DAFTAR PUSAKA………….....…………………………………………...……..17

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan, identitas

budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual maupun komunal etnik Madura

dalam berperilaku dan berkehidupan masyarakat Madura memegang teguh Carok,

Carok adalah pemulihan harga diri ketika diinjak injak oleh orang lain, yang

berhubungan dengan harta, tahta, tanah, dan, wanita. Intinya adalah demi

kehormatan. Dalam ungkapan Madura Lebbi Bagus Pote Tollang atembang Pote

Mata. (Lebih baik mati, dari pada hidup menanggung malu).

Penelitian tentang carok, antara tradisi atau kriminalitas sangat menarik untuk

dikaji setidak tidaknya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: pertama bahwa

tradisi Carok memiliki konotasi dan persepektif yang negatif bagi masyarakat luas.

Carok diartikan pembunuhan sebagai upaya balas dendam, akan tetapi Carok

memiliki makna yang berbeda bagi masyarakat Madura karena berkaitan dengan

pemulihan harga diri. Berdasarkan adanya benturan makna atas Carok tersebut

maka hal ini menarik untuk diangkat sebagai tulisan dalam penelitian ini. (Singgih,

2008)

Carok merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa pada masyarakat

Madura. Penyelesaian tersebut merupakan penyelesaian dengan menggunakan jalur

kekerasaan. Penyelesaian dengan jalan kekerasaan ini sering kali menutup

kemungkinan penyelesaian sengketa secara damai. Dalam kaitan ini tampak bahwa

4
sengketa masyarakat diakhiri dengan memunculkan sengketa yang lain. Penulis

tertarik untuk mengungkap fenomena Carok sebagai salah satu upaya penyelesaian

sengketa yang berbenturan dengan aturan Hukum Negara di Indonesia. Dalam

realitasnya, prilaku dan pola kelompok etnik Madura tampak sering dikesankan atas

dasar prasangka subjektif oleh orang luar Madura. Kesan demikian muncul dari

suatu pencitraan yang tidak tepat, baik berkonotasi positif maupun negatif.

Prasangka subjektif itulah yang seringkali melahirkan persepsi dan pola pandang

yang keliru sehingga menimbulkan keputusan individual secara sepihak yang

ternyata keliru karena subjektifitasnya. (Singgih, 2008).

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas rumasan masalah penelitian ini adalah “Apakah

itu carok, tradisi atau kriminalitas?”

C. TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan penelitian ini adalah”Untuk mengetahui

apakah carok bisa disebut sebagai tradisi atau bahkan kriminalitas”.

D. MANFAAT

Agar pembaca, masyarakat dan penulis khususnya mengetahui bahwa carok

bukanlah jalan yang baik untuk menyelesaikan suatu masalah.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Carok

Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain,

yang berhubungan dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah demi

kehormatan. Ungkapan etnografi yang menyatakan, etambang pote mata lebih

bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati

berkalang tanah) yang menjadi motivasi Carok. (Mien, 2007)

Carok yaitu suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena adanya

penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam, pada umumnya cekurit yang

dilakukan oleh orang laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah melakukan

pelecehan terhadap harga diri (baik secara idividu sebagai suami maupun secara

kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga). Terutama harga diri (martabat)

yang kaitannya dengan masalah kehormatan istri sehingga timbul perasaan malu

(maloh) saat terjadi pelecehan. (Wiyata, 2002:184)

Budaya Carok dan Celurit Menurut Zulkarnain, dkk. (2003: 75) Carok dalam

bahasa Kawikuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua

keluarga besar. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh

orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita.

Semua kasus Carok diawali oleh konflik, meskipun konflik tersebut dilatar

belakangi oleh permasalahan berbeda (masalah perempuan, kasus lainnya tuduhan

mencuri, perebutan warisan, pembalasan dendam), semuanya mengacu pada akar

6
yang sama, yaitu perasaan malo karena pelecehan harga diri (martabat). Untuk

memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melekukan Carok, yang ternyata

selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial. Apapun cara Carok yang

dilakukan, semua pelaku Carok yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan

perasaan lega, puas, dan bangga. Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya

dengan perasaan malo yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan, kedua hal ini

merupakan faktor pemicu utama orang Madura melakukan Carok, selain faktor

lainnya (A. Latief, 2002).

Dalam realitas sosial kehidupan Madura, tindakan mengganggu istri orang

atau perselingkuhan merupakan bentuk pelecehan harga diri paling menyakitkan

bagi laki-laki orang Madura, dan biasanya tidak ada cara untuk menebusnya kecuali

dengan membunuh (Carok) orang yang mengganggunya. Kaitannya dengan ini,

seorang penyair Madura, Imron (Dalam Wiyata, 2006:173), menemukan ungkapan

yang berbunyi, “saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang

banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka siapa saja yang

mengganggu istri saya, berarti menghina agama saya sekaligus menginjak-injak

kepala saya.” Dari ungkapan ini sudah jelas, bahwa martabat dan kehormatan istri

merupakan manifestasi dari martabat dan kehormatan suami, karena istri adalah

landasan kematian. (Wiyata, 2006: 170-174)

Jika dicermati lebih dalam lagi dari apa yang dipaparkan di atas, pada

dasarnya mengandung makna bagaimana orang Madura memandang institusi

perkawinan, secara khusus, dan bentuk pelecehan harga diri yang lain secara

umum, sebagai bentuk maskulinitas. Orang Madura memandang institusi

7
perkawinan sebagai manifestasi kelaki-lakian (maskulinitas). Maksudnya, seorang

laki-laki baru akan menemukan dirinya sebagai seorang laki-laki apabila telah

menikah.

Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai aghaja’

nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau

mempermainkan nyawa. Dalam kehidupan sosial di antara hak-hak dan kewajiban

itu, boleh jadi hak-hak dan kewajiban masyarakat, misalnya dalam konteks Carok,

perlindungan terhadap perempuan (istri), menjadi bagian dari kewajiban

masyarakat, sehingga tindakan mengganggu kehormatan mereka selalu dimaknai

sebagai tindakan arosak atoran (merusak tatanan sosial). Tindakan mengganggu

kehormatan istri, selain dianggap tindakan yang melecehkan harga diri suaminya,

juga dianggap merusak tatanan sosial. Oleh karena itu, menurut pandangan orang

Madura, pelakunya tidak bisa diampuni dan harus dibunuh. Jika terjadi

permasalahan berupa gangguan terhadap istri, ada dua alternatif yang akan

dilakukan oleh seorang suami.

B. Tujuan Carok

Carok senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap orang yang

melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri, yang membuat

lelaki Madura malo (malu) dan tada’ tajina (direndahkan martabatnya). Carok telah

menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban carok, tidak dikubur di pemakaman

umum melainkan di halaman rumah. Pakaiannya yang berlumur darah disimpan di

almari khusus agar pengalaman traumatik terus berkobar guna mewariskan balas

dendam Zulkarnain, dkk. (2003: 80)

8
Sasaran utama carok balasan adalah pemenang carok sebelumnya atau

kerabat dekat (taretan dalem) sebagai representasi musuh. Pilihan sasaran jatuh pada

orang yang dianggap kuat secara fisik maupun ekonomi agar keluarga musuh tidak

mampu melakukan carok balasan. Sedangkan keberadaan celurit punya makna

filosofi di mata orang Madura, ini bisa dilihat dari bentuknya yang seperti tanda

tanya, itu menunjukkan bahwa orang Madura selalu tidak puas terhadap fenomena

yang terjadi di sekitarnya. Kebiasaan orang Madura ketika membawa celurit selalu

diletakkan di pinggang samping kiri, karena menurut orang Madura tradisi seperti

itu sebagai upaya pembelaan harga diri laki-laki di Madura, dan sebagai pelengkap

karena tulang rusuknya laki-laki kurang satu. Makanya orang Madura menggunakan

celurit untuk melengkapi tulang rusuknya yang kurang satu. Celurit untuk membela

istri, harta, dan tahta ketika digangu orang lain, dan orang laki-laki Madura belum

lengkap tanpa celurit. Keberadaan orang Madura sebagai orang tegalan yang tandus

dan gersang, membuat mereka merasa kecil dan rendah hati sebagai orang yang

jauh dari pusat kekuasaan Singasari pada waktu itu.

C. Penyebab Carok

Eksistensi Carok Menurut Fakhruddin, dkk. (1991: 132-133). Adapun yang

menjadi eksistensi budaya carok sebagai berikut:

1. Alam yang gersang. Teror eceran berbentuk carok merajalela akibat alam

gersang, kemiskinan, dan ledakan demografis. Pelembagaan kekerasan

carok terkait erat dengan mentalitas egolatri (pemujaan martabat secara

berlebihan) sebagai akibat tidak langsung dari keterpurukan ekologis

(ecological scarcity). Lingkungan sosial mengondisikan lelaki Madura

9
merasa tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan. Konsekuensinya

senjata tajam jadi atribut ke mana kaum lelaki bepergian yang ditunjukkan

dengan kebiasaan ”nyekep”. Senjata tajam dianggap sebagai kancana

sholawat (teman shalawat).

2. Persetujuan sosial melalui ungkapan-ungakpan. Ungkapan-ungkapan

Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur tradisi

carok. Ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya: Mon lo’ bangal acarok

ja’ ngako oreng Madure (Jika tidak berani melakukan carok jangan

mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’

mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena

melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik

berputih tulang [mati] daripada berputih mata (menanggung malu).

3. Proteksi berlebihan terhadap kaum wanita. Carok refleksi monopoli

kekuasaan laki-laki. Ini ditandai perlindungan secara berlebihan terhadap

kaum perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong

meji dan taneyan lanjang. Solidaritas internal antar penghuni kampong

meji sangat kuat sedangkan dalam lingkup sosial lebih luas solidaritas

cenderung rendah. Pelecehan atas salah satu anggota komunitas dimaknai

sebagai perendahan martabat seluruh warga kampong meji.

4. Taneyan lanjang (halaman memanjang), memberikan proteksi khusus

terhadap anak perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua

tamu laki-laki hanya diterima di surau yang terletak di ujung halaman

bagian Barat. Martabat istri perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki

10
karena istri dianggap sebagai bantalla pate (alas kematian). Mengganggu

istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura.

5. Upaya meraih status sosial. Carok oleh sebagian pelakunya dipandang

sebagai alat untuk meraih status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat

dengan unsur-unsur religio-magis, kekebalan, bela diri, kekerasan, dunia

hitam, poligami, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan harga diri.

Blater, memiliki peran sentral sebagai pemimpin informal di pedesaan.

Figur blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae) sebagai

sosok pemimpin informal di Madura Bahkan banyak di antara mereka

yang menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan

menaruh hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat asal-

usulnya yang kelam. Tidak seperti figur kyai yang disegani dan dihormati

karena kemampuannya dalam keagamaan. Yang menarik di sini, juga

terdapatnya figur kyai yang mempunyai latar belakang blater atau

sebaliknya (Wiyata, 2002).

6. Blater di Madura juga kerap dihubungkan dengan remo. Tradisi remo

(arisan kaum blater) merupakan institusi budaya pendukung dan pelestari

eksistensi carok. Remo berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi

ekonomi, sekaligus penguatan status sosial. Juga merupakan sarana untuk

membangun jaringan sosial di kalangan bromocorah. Remo bisa

mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam tempo semalam.

Lemahnya hukum. Kebiasaan para pemenang carok untuk nabang

(memperoleh keringanan hukum melalui rekayasa peradilan) dengan

11
menyuap polisi, hakim, dan jaksa juga turut berperan melembagakan

kekerasan di Madura.

Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip

rente ekonomi dengan memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu

sebab memberantas carok ibarat menegakkan benang basah.

D. Prasyarat Carok

Persiapan untuk melakukan carok, termasuk memenuhi 3 syarat utama, yaitu

kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. (Wiyata, 2002: 45). Untuk lebih jelasnya

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

kesiapan diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa

penguasaan teknik bela diri. Prasyarat mental, pengertiannya lebih terkait

dengan apakah orang tersebut punya nyali, angko (pemberani), ataupun juga

jago.

2. Tampeng sereng, menyangkut kepemilikan kekuatan yang diperoleh secara

non-fisik, seperti membentengi diri sehingga kebal terhadap serangan

musuh. Untuk maksud ini, pelaku carok meminta bantuan seorang “kiai”,

yang akan melakukan “pengisian” mantra-mantra ke badan pelaku carok.

Aktifitas berkunjung ke seorang ”kiai” ini disebut nyabis

3. . Prasyarat ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam konteks ini,

carok mempunyai dimensi ekonomi, karena carok membutuhkan banyak

biaya. Biaya diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental

12
dengan menebus mantra-mantra yang diperlukan, dan membeli celurit

dengan kualitas nomor satu, dan juga diperlukan sebagai persiapan untuk

menyelenggarakan kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku carok yang

kemungkinan terbunuh (selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari

sejak kematian). Selain itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga (istri dan

anak) yang kemungkinan ditinggal mati atau ditinggal masuk penjara. Untuk

pelaku carok yang masih hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu

merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada

oknum-oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau

mengganti terdakwa carok dengan orang lain.

E. Tata Cara Pelaksanaan Carok

Carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu), atau

nyelep (menikam musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok

banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Semenjak dekade 1970-an carok lebih

banyak dilakukan dengan cara nyelep. Dengan adanya kebiasaan melakukan carok

dengan cara nyelep maka etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi

brutalisme dan egoisme.

Menurut Fakhruddin, dkk. (1991: 86), meskipun semua pelaku carok langsug

menyerahkan diri kepada aparat kepolisian, hal ini bukan berarti suatu tindakan

jantan (berani bertanggungjawab atas tindakannya) melainkan suatu upaya untuk

mendapatkan perlindungan dari aparat kepolisian terhadap serangan balasan

keluarga musuhnya. Dan hal itu kemudian tidak mencerminkan kejantanan sama

sekali ketika proses rekayasa peradilan dilakukan melalui praktek nabang.

13
F. Celurit Sebagai Simbol Carok

Celurit dengan kualitas khusus biasanya dibuat atas dasar pesanan, tidak

diperjual belikan secara bebas di pasaran, kecuali celurit yang memang ditujukan

sebagai hiasan. Hal ini terkait karena para pengrajin celurit tidak mau karyanya

disalah-gunakan oleh orang yang memakainya. (Soedjatmoko dan Bambang Triono,

2005: 64). Akan tetapi, di beberapa pasar desa (ibu kota kecamatan), setiap hari

pasaran juga terdapat beberapa pedagang yang secara khusus menjual hasil usaha

kerajinan tersebut

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Carok adalah tindakan pembalasan dendam yang disebabkan oleh pelecehan

harga diri seseorang terhadap orang lain. Tindakan pembalasan dendam ini

dilakukan dengan adu duel (menggunakan senjata celurit) hingga ada korban yang

mati, satu lawan satu dan antara laki-laki. Bisa saja dilakukan secara massal (Carok

massal), namun jarang terjadi. Motivasi Carok adalah pelecehan harga diri terutama

masalah perempuan, istri dan anggota keluarga, mempertahankan martabat,

perebutan harta warisan dan pembalasan dendam karena kakak kandungnya

dibunuh.

Carok adalah solusi bagi masyarakat Madura dalam menyelesaikan konflik,

karena sejarah yang sudah berabad-abad lamanya membentuk mereka untuk tidak

meyakini dan mempercayai pengadilan atau hukum yang berlaku. Carok mungkin

bukan peredam konflik. Tetapi salah satu unsur Carok yaitu remo, dapat menjadi

peredam konflik karena merupakan tempat berkumpulnya para jagoan desa.

Pada zaman sekarang carok bagi masyarakat Madura bukanlah dianggap sebagai

perbedaan yang perlu dinilai negatif atau dipertentangkan mengingat carok sendiri

adalah merupakan bukan penyelesaian sengketa yang mutlak dalam arti masih

dilakukannya penyelesaian secara damai sebagai antisipasi terjadinya carok tersebut

yakni dengan jalan melibatkan ulama atau tokoh agama setempat yang menjadi

15
panutan dalam masyarakat sebagai pihak ketiga dalam upaya menyelesaikan

permasalahan tersebut.

B. Saran

Carok merupakan kekurang mampuan sebagian masyarakat Madura dalam

mengekspresikan budi bahasa, karena mereka lebih mengedepankan perilaku-

perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh,

sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah

mencapai rekonsiliasi. Carok hanya akan mengakibatkan masalah-masalah baru

yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang karena masalah yang sepele.

Tradisi seperti ini hendaknya dihapuskan karena hanya akan mengakibatkan nyawa

melayang dengan sia-sia.

16
DAFTAR PUSTAKA

A. Latief Wiyata,”Carok; Konflik Kekerasaan dan Harga Diri Orang Madura”, LKIS,
Yogyakarta, 2002.

Fakhruddin, dkk. 1991. Senjata Tradisional Lampung. Departemen Pendidikan Dan


Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional,
Bagian Proyek Inventarisasi Dan Pembendaharaan Nilai-Nilai Budaya Daerah Lampung

Mien Ahmad Rifai,”Manusia Madura”,Pilar Media, Yogyakarta, 2007.

Sidik Doedireja, Kriminalitas (Bogor: Pelita, 1955).

Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005, “Clurit dan Memudarnya Makna Carok”, dalam
www.liputan6.com

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka,
1978). Zaiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1985).

Zulakrnain, dkk. 2003. Sejarah Sumenep. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Sumenep

Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005, “Clurit dan Memudarnya Makna Carok”, dalam
www.liputan6.com

17

Anda mungkin juga menyukai