TRADISI CAROK
DisusunOleh :
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITASMADURA
2020
1
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kita panjatkan pada keharibaan Sang Ilahi Rabbi, yakni Allah
Adza Wajalla, ygang senantiasa selalu dan selalu melimpah luahkan karunia rahmat-NYA
setiap detik dan setiap saat, dimana waktu dan dimana tempat, subhanallah Maha Agung
Allah serta Maha Tinggi Allah, dengan rahmat dan hidayah-NYA kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini “Hukum Adat Madura” yang insyaAllah terselesaikan
dengan baik dan benar.
Penulis
2
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSAKA………….....…………………………………………...……..17
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan, identitas
budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual maupun komunal etnik Madura
Carok adalah pemulihan harga diri ketika diinjak injak oleh orang lain, yang
berhubungan dengan harta, tahta, tanah, dan, wanita. Intinya adalah demi
kehormatan. Dalam ungkapan Madura Lebbi Bagus Pote Tollang atembang Pote
Penelitian tentang carok, antara tradisi atau kriminalitas sangat menarik untuk
dikaji setidak tidaknya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: pertama bahwa
tradisi Carok memiliki konotasi dan persepektif yang negatif bagi masyarakat luas.
Carok diartikan pembunuhan sebagai upaya balas dendam, akan tetapi Carok
memiliki makna yang berbeda bagi masyarakat Madura karena berkaitan dengan
pemulihan harga diri. Berdasarkan adanya benturan makna atas Carok tersebut
maka hal ini menarik untuk diangkat sebagai tulisan dalam penelitian ini. (Singgih,
2008)
kemungkinan penyelesaian sengketa secara damai. Dalam kaitan ini tampak bahwa
4
sengketa masyarakat diakhiri dengan memunculkan sengketa yang lain. Penulis
tertarik untuk mengungkap fenomena Carok sebagai salah satu upaya penyelesaian
realitasnya, prilaku dan pola kelompok etnik Madura tampak sering dikesankan atas
dasar prasangka subjektif oleh orang luar Madura. Kesan demikian muncul dari
suatu pencitraan yang tidak tepat, baik berkonotasi positif maupun negatif.
Prasangka subjektif itulah yang seringkali melahirkan persepsi dan pola pandang
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas rumasan masalah penelitian ini adalah “Apakah
C. TUJUAN
D. MANFAAT
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Carok
Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain,
yang berhubungan dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah demi
bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati
dilakukan oleh orang laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah melakukan
pelecehan terhadap harga diri (baik secara idividu sebagai suami maupun secara
kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga). Terutama harga diri (martabat)
yang kaitannya dengan masalah kehormatan istri sehingga timbul perasaan malu
Budaya Carok dan Celurit Menurut Zulkarnain, dkk. (2003: 75) Carok dalam
bahasa Kawikuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua
keluarga besar. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh
Semua kasus Carok diawali oleh konflik, meskipun konflik tersebut dilatar
6
yang sama, yaitu perasaan malo karena pelecehan harga diri (martabat). Untuk
memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melekukan Carok, yang ternyata
selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial. Apapun cara Carok yang
perasaan lega, puas, dan bangga. Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya
dengan perasaan malo yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan, kedua hal ini
merupakan faktor pemicu utama orang Madura melakukan Carok, selain faktor
bagi laki-laki orang Madura, dan biasanya tidak ada cara untuk menebusnya kecuali
yang berbunyi, “saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang
banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka siapa saja yang
kepala saya.” Dari ungkapan ini sudah jelas, bahwa martabat dan kehormatan istri
merupakan manifestasi dari martabat dan kehormatan suami, karena istri adalah
Jika dicermati lebih dalam lagi dari apa yang dipaparkan di atas, pada
perkawinan, secara khusus, dan bentuk pelecehan harga diri yang lain secara
7
perkawinan sebagai manifestasi kelaki-lakian (maskulinitas). Maksudnya, seorang
laki-laki baru akan menemukan dirinya sebagai seorang laki-laki apabila telah
menikah.
itu, boleh jadi hak-hak dan kewajiban masyarakat, misalnya dalam konteks Carok,
kehormatan istri, selain dianggap tindakan yang melecehkan harga diri suaminya,
juga dianggap merusak tatanan sosial. Oleh karena itu, menurut pandangan orang
Madura, pelakunya tidak bisa diampuni dan harus dibunuh. Jika terjadi
permasalahan berupa gangguan terhadap istri, ada dua alternatif yang akan
B. Tujuan Carok
Carok senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap orang yang
melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri, yang membuat
lelaki Madura malo (malu) dan tada’ tajina (direndahkan martabatnya). Carok telah
almari khusus agar pengalaman traumatik terus berkobar guna mewariskan balas
8
Sasaran utama carok balasan adalah pemenang carok sebelumnya atau
kerabat dekat (taretan dalem) sebagai representasi musuh. Pilihan sasaran jatuh pada
orang yang dianggap kuat secara fisik maupun ekonomi agar keluarga musuh tidak
filosofi di mata orang Madura, ini bisa dilihat dari bentuknya yang seperti tanda
tanya, itu menunjukkan bahwa orang Madura selalu tidak puas terhadap fenomena
yang terjadi di sekitarnya. Kebiasaan orang Madura ketika membawa celurit selalu
diletakkan di pinggang samping kiri, karena menurut orang Madura tradisi seperti
itu sebagai upaya pembelaan harga diri laki-laki di Madura, dan sebagai pelengkap
karena tulang rusuknya laki-laki kurang satu. Makanya orang Madura menggunakan
celurit untuk melengkapi tulang rusuknya yang kurang satu. Celurit untuk membela
istri, harta, dan tahta ketika digangu orang lain, dan orang laki-laki Madura belum
lengkap tanpa celurit. Keberadaan orang Madura sebagai orang tegalan yang tandus
dan gersang, membuat mereka merasa kecil dan rendah hati sebagai orang yang
C. Penyebab Carok
1. Alam yang gersang. Teror eceran berbentuk carok merajalela akibat alam
9
merasa tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan. Konsekuensinya
senjata tajam jadi atribut ke mana kaum lelaki bepergian yang ditunjukkan
ja’ ngako oreng Madure (Jika tidak berani melakukan carok jangan
mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’
meji sangat kuat sedangkan dalam lingkup sosial lebih luas solidaritas
10
karena istri dianggap sebagai bantalla pate (alas kematian). Mengganggu
sebagai alat untuk meraih status sosial di dunia blater. Kultur blater dekat
Figur blater sejajar posisinya dengan figur kyai (Madura : keyae) sebagai
yang menjadi kepala desa. Tentu saja, masyarakat cenderung takut, bukan
menaruh hormat, kepada kepala desa bekas blater itu, mengingat asal-
usulnya yang kelam. Tidak seperti figur kyai yang disegani dan dihormati
11
menyuap polisi, hakim, dan jaksa juga turut berperan melembagakan
kekerasan di Madura.
Carok telah menjadi komoditas hukum bagi mafia peradilan guna mengutip
rente ekonomi dengan memperdagangkan kriminalitas dan kekerasan. Ini salah satu
D. Prasyarat Carok
kadigdajan, tampeng sereng, dan banda. (Wiyata, 2002: 45). Untuk lebih jelasnya
kesiapan diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa
dengan apakah orang tersebut punya nyali, angko (pemberani), ataupun juga
jago.
musuh. Untuk maksud ini, pelaku carok meminta bantuan seorang “kiai”,
12
dengan menebus mantra-mantra yang diperlukan, dan membeli celurit
dengan kualitas nomor satu, dan juga diperlukan sebagai persiapan untuk
kemungkinan terbunuh (selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari
sejak kematian). Selain itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga (istri dan
anak) yang kemungkinan ditinggal mati atau ditinggal masuk penjara. Untuk
pelaku carok yang masih hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu
Carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu), atau
banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Semenjak dekade 1970-an carok lebih
banyak dilakukan dengan cara nyelep. Dengan adanya kebiasaan melakukan carok
dengan cara nyelep maka etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi
Menurut Fakhruddin, dkk. (1991: 86), meskipun semua pelaku carok langsug
menyerahkan diri kepada aparat kepolisian, hal ini bukan berarti suatu tindakan
keluarga musuhnya. Dan hal itu kemudian tidak mencerminkan kejantanan sama
13
F. Celurit Sebagai Simbol Carok
Celurit dengan kualitas khusus biasanya dibuat atas dasar pesanan, tidak
diperjual belikan secara bebas di pasaran, kecuali celurit yang memang ditujukan
sebagai hiasan. Hal ini terkait karena para pengrajin celurit tidak mau karyanya
2005: 64). Akan tetapi, di beberapa pasar desa (ibu kota kecamatan), setiap hari
pasaran juga terdapat beberapa pedagang yang secara khusus menjual hasil usaha
kerajinan tersebut
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
harga diri seseorang terhadap orang lain. Tindakan pembalasan dendam ini
dilakukan dengan adu duel (menggunakan senjata celurit) hingga ada korban yang
mati, satu lawan satu dan antara laki-laki. Bisa saja dilakukan secara massal (Carok
massal), namun jarang terjadi. Motivasi Carok adalah pelecehan harga diri terutama
dibunuh.
karena sejarah yang sudah berabad-abad lamanya membentuk mereka untuk tidak
meyakini dan mempercayai pengadilan atau hukum yang berlaku. Carok mungkin
bukan peredam konflik. Tetapi salah satu unsur Carok yaitu remo, dapat menjadi
Pada zaman sekarang carok bagi masyarakat Madura bukanlah dianggap sebagai
perbedaan yang perlu dinilai negatif atau dipertentangkan mengingat carok sendiri
adalah merupakan bukan penyelesaian sengketa yang mutlak dalam arti masih
yakni dengan jalan melibatkan ulama atau tokoh agama setempat yang menjadi
15
panutan dalam masyarakat sebagai pihak ketiga dalam upaya menyelesaikan
permasalahan tersebut.
B. Saran
perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh,
sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah
Tradisi seperti ini hendaknya dihapuskan karena hanya akan mengakibatkan nyawa
16
DAFTAR PUSTAKA
A. Latief Wiyata,”Carok; Konflik Kekerasaan dan Harga Diri Orang Madura”, LKIS,
Yogyakarta, 2002.
Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005, “Clurit dan Memudarnya Makna Carok”, dalam
www.liputan6.com
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka,
1978). Zaiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1985).
Zulakrnain, dkk. 2003. Sejarah Sumenep. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Sumenep
Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005, “Clurit dan Memudarnya Makna Carok”, dalam
www.liputan6.com
17