Anda di halaman 1dari 115

i

MEMAHAMI SHALAT KHUSYU‘


BUKAN RELAKSASI BUKAN MEDITASI

TANGGAPAN TERHADAP BUKU


PELATIHAN SHALAT KHUSYU‘
Shalat sebagai meditasi tertinggi dalam Islam
Karya Abu Sangkan

OLEH

Dr. Muhammad Amin A. Samad

CANBERRA

April, 2009
ii
iii

DAFTAR ISI

Halaman
Daftar isi ………………………………..………… iii
Ucapan terima kasih ……………………………….. v
Sistem transliterasi ………………………………… vi
Pengantar ……………………..…………………… vii
1. Pendahuluan ……………………………………… 1
2. Kandungan buku ………………………………… 2
3. Apakah khusyu’ itu ……………………………… 2
4. Roh (Ruh) termasuk rahasia Allah .......................... 12
5. Arti wajh (wajah) dalam al-Qur’ān ....................... 14
6. Keterangan tentang ayat 45-46 surah al-Baqarah .. 20
7. Arti kata s.abr dalam al-Qur’ān .............................. 25
8. Penggunaan ism al-fā‘il, (active participle, nomen
agentis), dan ism al-maf‘ūl (passive participle,
nomen patientis) dalam al-Qur’ān .......................... 28
9. Sebab turunnya ayat 183 dari surah al-Baqarah.... 33
10. Arti kata t.uma’nīnah dalam al-Qur’ān ……… 36
11. Apakah waktu duduk iftirasy tempat untuk ....
berkonsultasi dengan Allah? .................................. 44
12. Bacaan dan doa sebebelum, waktu sedang dan
sesudah berwudhu’ .............................................. 47
13. Apakah kita harus menghilangkan rasa takut
dalam mengerjakan shalat? .................................... 56
14. Apakah yoga itu? ................................................ 60
15. Ceramah Ustadh ‘Amr Khālid tentang Khusyu‘
dalam Shalat ………………………………… 80
16. Ketenangan jiwa oleh Mīkhā’īl Na‘īmah
(1889-1988) ………………………………… 91
Kesimpulan .............................................................. 93
iv

Kata Penutup ……………………………………. 96


Lampiran A. Mantra …………………………… 97
Lampiran B. Sya’ir Mīkhā’īl Na‘īmah, not dan lagunya .. 100
Bibliografi ………………………………………… 102
Pengarang ……………………………………… 106
v

UCAPAN TERIMA KASIH

Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt, Yang dengan


hidayat dan tawfiq-Nya dan atas bantuan material serta spritual dari
kawan-kawan dari masyarakat Islam Indonesia di Melbourne - terutama
dari Bapak Muhammed Edwars, Presiden Indonesian Muslim
Community of Victoria, Bapak Dwarka Dass (Dawood bin Abdullah),
yang membantu dan teman-teman lainnya - akhirnya buku kecil ini
dapat terbit. Kepada mereka, saya ucapkan banyak terima kasih,
semoga bantuan tersebut mendapat pahala dari Allah Swt, dan semoga
mereka tetap mendapat hidayah Allah, mendapat rezki yang murah
dan berkah, umur panjang, serta kebahagiaan dunia-akhirat.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada Sdr. Ahmad Zaky,


Direktur percetakan Pustaka Alvabet, beserta seluruh rekan-rekan,
karena berkat kerja-samanya, naskah ini bisa dikodifikasikan dalam
bentuk buku. Tak lupa juga, kepada kawan-kawan yang telah
memberikan dorongan untuk menerbitkan buku kecil ini setelah
membaca draftnya saya sangat berterima kasih. Semoga karya ini bisa
membawa manfaat bagi kita semua. Amin
vi

SISTEM TRANSLITERASI
Transliterasi dari tulisan/kata dalam bahasa Arab yang digunakan dalam
buku ini adalah gabungan dari sistem Library of Congress di Amerika Serikat dan
Islamic Studies, McGill University di Montreal, Kanada. Perbedaannya dengan
transliterasi Indonesia terutama pada 8 huruf, misalnya = th [ts], = sh [sy],
= s. [sh] dan = z. [zh]. Kata yang lazim di pakai seperti hadits, khusyu', shalat
dan zhalim ditulis dalam transliterasi Indonesia. Adapun nama Arab dapat juga
digunakan juga sistem transliterasi Indonesia apabila itu yang lebih umum dipakai.
Kata misalnya dapat dipakai madzhab atau mdhhab, tetapi kata lebih
banyak dipakai uma’nnah dari pada thuma'ninah. Untuk membedakan antara
huruf alif dan huruf hamzah dengan huruf ‫‘( ع‬ain), bilamana diperlukan, untuk
huruf ‫ ع‬digunakan tanda ‘, sedang untuk huruf alif atau hamzah digunakan
tanda ’, seperti kata ditulis dengan ‘ulamā’. Namun karena kata ini sudah
menjadi bahasa Indonesia, maka dapat ditulis biasa saja, seperti ulama.

a. Huruf mati:
= a atau ’ = b = t = th [ts] = j
= h. = kh = d = dh [dz] = r
= z =s = sh [sy] = s. [sh] = d. [dh]
= t. [th] = z. [zh] = ‘ = gh =f
= q = k = l = m = n
= h = w = y [atau i] = ’ (seperti alif)

b. Huruf hidup:
Pendek: Panjang:
Fath.ah --َ--- : = a ‫ = ـا‬ā
Kasrah --ِ--- : = i ‫ = ـي‬ī
D.ammah--ُ--- : = u ‫ = ـو‬ū
vii

Pengantar

Setiap tahun, saya berusaha berkunjung dari kediaman saya di Canberra ke


Melbourne, tempat saya menjelesaikan dissertasi pada Universitas Melbourne tentang
Ibn Qutaybah (w. 276H/889M) dan sumbangannya terhadap tafsir al-Qur’ān. Kota ini
adalah salah satu kota yang sangat berkesan dihati saya, selain Kairo dan Montreal. Di
kota ini, saya banyak menimba ilmu dan menemukan banyak kawan sejati yang selalu
membantu saya, terutama dalam belajar, tanpa mengharapkan imbalan selain pahala
dari Allah Swt. Sebagai tanda penghargaan atas jasa-jasa mereka, sekaligus untuk kian
mempererat hubungan persaudaraan - disamping untuk mendapat kawan baru - saya
mengunjungi mereka sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Kunjungan ini juga
dimaksudkan agar tidak seperti kata pepatah: “kacang lupa akan kulitnya,” dan
memegang pepatah Arab, “Berkunjunglah sewaktu-waktu agar cinta
bertambah.” Apalagi, diantara mereka, setelah waktu berjalan begitu lama, sudah
banyak yang sakit-sakitan. Ini menambah dorongan saya untuk berkunjung ke sana.
Seperti biasa, setiap kali berkunjung ke Melbourne, saya selalu mendapatkana
sesuatu yang baru. Pada kunjungan saya yang terakhir tahun lalu (2008) saya disodori
oleh seorang kawan buku Pelatihan Shalat Khusyu’ karangan Abu Sangkan, yang
kabarnya beliau baru saja kembali dari kunjungannya ke Melbourne. Buku itu sangat
menarik bagi saya karena saya menemukan banyak hal baru, lalu saya pinjam dari
perpustakaan Mesjid Westall yang dibangun masyarakat Indonesia di Clayton South.
Saya jadi teringat pepatah Mesir yang mengatakan “setiap yang baru itu
enak (menarik)”.
Tetapi, setelah halaman demi halaman saya baca, saya menemukan banyak
hal yang tidak sesuai dengan apa yang telah saya pelajari, apalagi hal ini menyangkut
masalah terpenting dalam ibadah, yaitu shalat khusyu’. Ini mengingatkan saya pada
hadits Nabi yang panjang dari Jābir bin Abdullah, yang isinya antara lain,

…dan hal yang seburuk-buruknya adalah yang


diada-adakan, dan setiap yang diada-dakan adalah bid’ah,
dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan
membawa masuk Neraka… (HR al-Nasā’ī)
viii

Para ulama berpendapat, bahwa bid‘ah yang dimaksud dalam hadits ini adalah
yang menyangkut ibadah, misalnya shalat dengan ruku’ dua kali atau sujud sekali saja.
Adapun hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, sekalipun banyak
yang bid‘ah, tetapi masuk kategori bid‘ah yang dibolehkan, tidak termasuk bid’ah yang
diharamkan. Para ulama membagi bid‘ah kepada 5 bagian, seperti halnya segala
sesuatu masuk kedalam salah satu darikategori yang 5 itu, yaitu: wajib, sunnah, mubah
(dibolehkan), makruh dan haram. Dalam hal shalat kita harus lebih berhati-hati, jangan
sampai kita mengejar bid‘ah yang kita anggap wajib atau minimalnya sunnah, ternyata
termasuk bid‘ah yang makruh, apalagi haram. Na‘ūdhu billāh min dhālik.
Dalam kehidupan kita, banyak sekali hal yang kita sangka sebagai suatu
“kebetulan”, justru kerap terjadi berturut-turut. Hal ini menyebabkan kita berpikir, apakah
ini semua melulu kebetulan, atau memang sengaja ditakdirkan oleh Allah Yang Maha
Mengetahui supaya kita menyadarinya dan berbuat sesuatu dari kumpulan kebetulan
itu. Buku kecil yang “kebetulan” ada ditangan anda ini termasuk hasil dari sekian banyak
“kebetulan” itu.
Ketika saya berkunjung ke Makassar tahun lalu (2008) saya menemukan di
antara tumpukan buku pelajaran agama di sekolah yang tidak dipakai lagi, Buku
Kegiatan Amaliyah Ramadhan untuk SD/MI oleh Departement Agama Kantor Wilayah
Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2001. Adik saya, Syamsudduha, adalah guru
agama S.D.; almarhum suaminya, Drs. Alwi Mattebba, juga guru agama di PGA.; adik
saya yang satu lagi, Dra. Badriyah, juga guru agama, tapi saya tidak sempat bertanya
siapakah di antara mereka yang pernah memakai buku tersebut disekolah.
Dalam kunjungan saya ke Sydney, sembari mengunjungi adik saya yang
bungsu, Syamsiah, saya ke toko buku di Lakemba – wilayah yang sebagian besar
penghuninya beragama Islam, terutama orang Arab dari Lebanon, “kampung Arab”nya
Sydney, dimana imam mesjidnya, Syeikh Tajuddin al-Hilali, sering diwawancarai di TV
Australia - “kebetulan” saya menemukan buku terkenal yang sudah lama saya idamkan,
yaitu Fiqh Islam yang isinya perbandingan hukum Islam, terdiri dari 11 julid (kira-kira 14
000 halaman), karangan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaylī. “Kebetulan” juga adik saya
membawa mobil, dan “kebetulan” keponakan saya Ervan ikut, sehingga ia bertugas
membawa buku-buku yang berat itu itu ke mobil. Belum selesai sampai di situ,
“kebetulan” pula saya melihat kaset-kaset kumpulan ceramah Ustādz ‘Amr Khālid
tentang ibadah, diantaranya menyangkut shalat khusyu’, dan “kebetulan” sedang diobral
(seharga kaset kosong), sehingga tidak ada alasan bagi saya untuk tidak membelinya
(kecuali jika saya sudah sok pintar dan merasa tidak perlu diceramahi, a‘ūdhu billāh!).
Buku-buku dan kaset ini semua menjadi bahan bacaan saya dalam menulis buku ini.
ix

Ini baru “kebetulan” pendahuluan. “Kebetulan” berikutnya, saya ke Melbourne


setelah Pak Abu Sangkan, penulis Pelatihan Shalat Khusyu’ tersebut, sudah pergi, jadi
tidak perlu ada dialog yang kemungkinan dapat menyinggung perasaan, dan saya tidak
harus mengambil sikap, karena belum membaca buku karangan beliau. Kalau saya
datang sebelum beliau datang, mungkin buku beliau belum ada diperpustakaan Mesjid
Westall.
Syair yang berjudul T.uma’nīnah karangan Mīkhā’īl Na‘īmah pada akhir buku ini
saya cantumkan karena sangat mengesankan. “Kebetulan” saya menemukan kumpulan
syair yang sudah saya terjemahkan, diantaranya syair ini. Isinya adalah contoh sikap
orang yang bertawakkal kepada Allah, percaya kepada qada’ dan qadar (salah-satu
rukun iman), sekalipun beliau kemungkinan besar beragama Kristen mengingat
namanya dan asalnya dari Lebanon, dimana jumlah orang Kristen hampir sama dengan
jumlah orang Islam di sana. (Masing-masing menganggap merekalah yang mayoritas,
tetapi kenyataannya menurut konstitusi mereka, yang menjadi presiden harus orang
Kristen Maronit, sedang perdana menterinya orang Islam Sunni).
Kritik membangun dan feed-back dari pembaca akan saya tanggapi dengan
segala senang hati. Banyak hal yang Anda ketahui, saya tidak tahu. Karena itu, kita
perlu banyak saling belajar dan memberi masukan untuk mendapatkan yang lebih baik.
“Tak ada gading yang tak retak”, begitulah kata pepatah. Orang Inggris mengatakan
“Nothing is perfect” dan “To err in human.” Dan mungkin, “retak” itu tampak oleh
pembaca tetapi tidak tampak oleh saya. Semoga pada penerbitan berikutnya (insya
Allah) buku ini dapat diperbaiki kekurangan dan kesalahannya. Selamat membaca buku
ini dapat diperbaiki kekurangan dan kesalahannya. Selamat membaca buku kecil yang
“kebetulan” di tangan Anda, semoga amal ibadah kita selalu diterima Allah S.w.t. Amin!

Canberra, April, 2009


Penulis
M. Amin Abdul-Samad
1

1. Pendahuluan

Buku Pelatihan Shalat Khusyu’ karya Abu Sangkan, dalam waktu


kurang dari empat tahun, sudah dicetak 13 kali, rata-rata tiga kali setahun. Ini
menunjukkan, buku tersebut sangat laku dan populer di Indonesia. Artinya,
umat Islam Indonesia sangat peduli dan menaruh perhatian terhadap shalat.
Mereka ingin agar mereka dapat melakukan shalat secara khusyu‘. Tentu, ini
suatu hal yang sangat menggembirakan. Siapa bilang bangsa Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam dan menjadi komunitas Muslim
terbesar didunia ini, tidak perduli dengan shalat, apalagi shalat khusyu’
(khushū‘)?
Sekalipun buku karya Abu Sangkan ini sangat populer di Indonesia,
bukan berarti luput dari kesalahan dan kekhilafan, karena penulisnya adalah
seorang manusia juga yang tidak luput dari kekhilafan. Maka dari itu, sebagai
bentuk masukan dan kritik terhadap buku tersebut, saya ingin menyampaikan
beberapa hal yang tidak sesuai dengan pendapat para ulama terdahulu dan
pemahaman saya dari apa yang telah saya pelajari. Saya tidak suka
menyalahkan orang, terutama dalam hal yang meragukan, karena kemungkinan
yang dianggap salah itulah yang benar, sehingga saya termasuk golongan orang
yang jāhil murakkab (complex ignorant), yaitu “tidak tahu bahwa ia tidak tahu.”
Adapun hal yang diyakini kebenarannya, selain dari yang benar itu kita
yakini salahnya, sekalipun manifestasinya berbeda-beda. Sebagai contoh yang
sederahana: kita yakin pada angka 5, dan yakin ditambah dengan 5, kita yakin
bahwa jumlahnya sama dengan 10. Tapi ini juga sama dengan 4 + 6, 3 + 7,
bahkan 15 – 5. Selain dari jumlah 10 adalah salah. Apabila kita tidak yakin
akan angka-angka itu, hasilnyapun tidak kita yakini.
Dalam tulisan ini, seandainya saya membenarkan yang benar dan
menyalahkan yang salah, itu semua dari Allah SWT yang Maha Mengetahui.
Sebaliknya, seandainya saya sampai menyalahkan yang benar dan
membenarkan yang salah, saya berlindung kepada Allah, dan itu semuanya dari
kesalahan saya, atau dari bisikan Setan yang terkutuk, dan saya memohon
2

ampunan Allah. Yang saya tekankan di sini bukanlah membenarkan dan


menyalahkan, melainkan menyatakan perbedaan pemahaman saya dengan
penulis Pelatihan, semoga bermanfaat bagi pembaca, sehingga menambah
luasnya cakrawala pemahaman kita tentang agama kita. Di Australia pendapat
yang berbeda dihargai, karena suatu waktu “diperlukan” sebagai suatu
alternatif. Bahkan di pemerintahan Australia pun partai yang kalah menjadi
partai “opposisi” yang kerjanya antara lain memengeritik polisi pemerintah
yang dianggapnya salah atau kurang baik.

2. Kandungan Buku

Buku Pelatihan shalat Khusyu' karya Abu Sangkan berisi 136 halaman.
Meskipun judulnya demikian, tetapi sebagian besar isinya adalah persiapan
untuk shalat khusyu, antara lain tentang shalat sebagai perjalanan ruhani (7
halaman), shalat merupakan pertemuan hamba dengan Allah (17 halaman),
mencoba konsentrasi (7 halaman), uma’nnah (11 halaman), wudu (4
halaman), dan persiapan untuk latihan relaksasi dan olah raga spiritual (4
halaman) - seluruhnya 70 halaman.
Pada halaman berikutnya barulah diterangkan tentang wudu', dengan
berdzikir yaitu dengan mengingat Allah Swt sambil membasuh anggota wudu’
(8 halaman). Sayang, dalam pembahasan tersebut tidak disebutkan bacaan-
bacaan ketika membasuh anggota-anggota wudu’, padahal bacaan ini juga
penting untuk persiapan menjalankan shalat khusyu’. Sesudah itu barulah
masuk ke topik buku, yaitu latihan shalat khusyu’ (29 halaman), yang berarti
kurang dari 1/5 dari isi buku.

3. Apakah Khusyu‘ itu?

Pada halaman 3 dari buku tersebut dikatakan,


“Sejak kita mulai belajar shalat di masa kecil, kita tidak
diajarkan bagaimana meraih rasa khusyu’, karena sang guru
3

telah menetapkan itu sebagai hal yang tidak mungkin.”1


Pada kalimat bagian pertama ada benarnya –jangankan tentang cara
meraaih raa khusyu', bahkan detail tentang wudu' dan shalat pun tidak diajarkan
kepada mereka - karena pada anak kecil yang sangat dipentingkan adalah
kebiasaan melakukan shalat, dan selebihnya paling dikatakan kepada mereka
bahwa dalam shalat mereka menghadap langsung pada Maha Pencipta. Anak
kecil suka mengkhayal, itu adalah normal. Kalau mereka sudah dapat
melakukan wudu dan shalat dengan betul, apalagi kalau mereka dapat membaca
surah Fatihah, sudah hal luar biasa, jadi jangan menyalahkan guru ngaji kita
waktu kecil. Adapun bagian kedua dari kalimat itu bahwa kita tidak pernah
diajarkan begaimana supaya khusyu’ dalam shalat karena hal itu tidak mungkin
–dan karena itu terbitlah buku Pelatihan Shalat Khusyu’) saya anggap suatu hal
yang dilebih-lebihkan, karena:
1. Allah yang berfirman:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,


(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya…
(Qur’an 23:1-2),
Merujuk ayat di atas, tidak masuk akal sang guru mengatakan bahwa
khusyu’ itu tidak mungkin dicapai. Dan tidak mungkin tidak pernah
ada sama sekali seorang guru atau ulama yang menerangkan cara-cara
shalat khusyu’, karena dalil yang mendasari terecpainya shalat khusyu'
sangat kuat, yakni firma Tuhan (al-Qur'an). Lagi pula, tidak mungkin
Nabi s.a.w. tidak menerangkan cara-cara shalat khusyu’ kepada
sahabat - jika shalat khusyu’ perlu diterangkan caranya lantaran susah
dilakukan - sebab tanpa keterangan Nabi, shalat khusyu’ itu takkan
tercapai.
2. Jika Nabi s.a.w. menyampaikan cara-cara melakukan shalat secara
khusyu’, tentulah hal itu pasti sampai kepada kita, karena tidak
mungkin para ulama menyembunyikannya dan tidak mewariskan
kepada kita. Dan ternyata memang ada, sebagiannya sudah disebutkan

1
Abu Sangkan, Pelatihan Shalat Khusyu': Shalat Sebagai Meditasi Tertinggi dalam
Islam, hlm. 3
4

dalam buku Pelatihan Shalat Khusyu’, tetapi tidak mendetail. Penulis


buku tersebut, Abu Sangkan, mengatakan:

“Nabi Muhammad menyarankan, agar setiap melakukan


gerakan shalat kita dianjurkan bersikap rileks (t.uma’nīnah)
sehingga kita bisa mengisitrahatkan tubuh, serta dapat
mempertemukan tubuh dengan vibrasi hati yang telah
diterangi nur Ilahi.”2

Jadi menurutnya, supaya shalat menjadi khusyu’ Nabi s.a.w.


menganjurkan agar kita rileks pada setiap gerakan sehingga kita dapat
mengistirahatkan tubuh dan dapat mempertemukannya dengan vibrasi
hati yang telah diterangi chaya yang berasal dari Allah. Dengan kata
lain, tegas Abu Sangkan Nabi mengajarkan bahwa, syarat shalat
khusyu’ adalah tubuh (seluruhnya?) harus releks sehingga beristirahat.
Dan inilah arti dari kata t.uma’nīnah yang difahaminya. Pemahaman
tersebut berbeda dengan yang saya fahami dari hadits Nabi, baik dari
arti kata t.uma’nīnah itu sendiri, maupun saat t.uma’nīnah itu harus ada;
akan saya terangkan di bagian lain.
Tanpa rileks vibrasi hati yang telah diterangi dengan nur Ilahi
tidak akan bertemu dengan tubuh. Mungkin maksudnya, hati menyadari
apa yang diperbuat tubuh dan diucapkan oleh lidah waktu shalat.
Tetapi mungkin pula lebih dari itu, karena hati harus diterangi nur Ilahi,
dan karenanya harus ada vibrasi (getaran) pada hati. “Vibrasi hati“
dalam bahasa Arab adalah dhabdhabatu’l-qalb . Istilah ini
tidak saya ketemukan baik dalam hadits Nabi maupun dalam Qur’ān.
Yang ada dalam Qur’ān adalah , “orang yang ragu-ragu“, yang
hanya ada dalam satu ayat, yaitu tentang orang munafiq,

Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang


demikian (imanatau kafir): tidak masuk kepada golongan

2
Ibid., hlm. 81
5

ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada


golongan itu (orang-orang kafir)...
(Q. 4:143)
Kembali kepada masalah khusyu’, timbul banyak pertanyaan: apakah
arti khusyu’ itu? Apakah shalat yang diterima hanya yang khusyu’? Kalau “ya,”
apakah shalat yang khusu’nya kurang, juga diterima? Bagaimana shalat Nabi
s.a.w., apakah selalu khusyu’? Yang pasti, shalatnya selalu diterima Allah,
karena beliau adalah teladan kita dalam berbagai hal, tentu cara shalatnya juga
merupakan teladan. Jika dikatakan selalu khusyu’, apakah termasuk juga ketika
beliau shalat sembari membawa dipundak beliau cucu beliau Umāmah, putri
Zainab? Dalam sebuah hadits disebutkan sebagai berikut:

.
... dari Abu Qatadah al-Ansari bahwa Rasulullah
s.a.w. shalat sambil membawa Umamah putri Zaynab
putri Rasulullah dan putri Abu’l-‘Ās. ibn Rabi’ah ibn
‘Abd Syams (dipundak beliau); kalau beliau sujud
beliau meletakkannya, dan kalau beliau berdiri
beliau membawanya (dipunggung ).
(HR Bukhari)
Hadits yang hampir sama dari Abū Qatādah diriwayatkan juga oleh
Imam Mālik3, Imam Muslim,4 Imam al-Nasā’ī,5 Ibn Khuzaymah,6 dan Ibn al-
Mundhir.7

3
Imam Mālik, al- Muwat.t.a’, juz 2, hlm.18.
4
Imam Muslim S.ah.īh. Muslim, juz 2, hlm. 150.
5
Imam al-Nasā’ī, Sunan al-Nasā’ī, juz 4, hlm. 44.
6
Ibn Khuzaymah, S.ah.īh. Ibn Khuzaymah, juz 3, hlm. 404.
6

Pada hadits lain diriwayatkan pula bahwa Mu‘ādh (Mu'adz) bin Jabal
menyampaikan kepada Nabi bahwa seorang ma’mum waktu maghrib manakala
ia menjadi imam, berhenti jadi ma’mum lalu shalat sendiri. Nabi memanggil
orang tersebut, lantas ditanya mengapa ia berbuat dimikian. Jawabnya, karena
Mu‘ādh membaca ayat yang panjang-panjang, sedang hari sudah hampir
malam, sementara ia harus pergi menyirami pohon kurmanya. Alasan ini
diterima Nabi, bahkan Mu‘ādh sendiri dinasihati beliau agar tidak membaca
ayat panjang-panjang. Beliau tidak menyuruh sahabat Nabi tersebut mengulang
atau mengqada shalatnya, yang berarti shalatnya dianggap sah. Hadits-hadits itu
bunyinya sebagai berikut:

… Anas bin Mālik berkata, “Mu‘ādh bin Jabal


sedang mengimami kaumnya, maka datanglah H.arām
yang akan menyirami pohon kurmanya lalu masuk ke mesjid
dan ikut shalat. Ketika dilihatnya Mu‘ādh shalatnya panjang ia
teruskan shalatnya dengan shalat sendiri lalu cepat-cepat pergi
menyiram pohon kurmanya. Setelah Mu‘ādh selesai shalat ia
diberitahu, ‘H.arām telah masuk mesjid dan ketika melihat shalat
Anda panjang ia teruskan shalatnya dengan shalat sendiri lalu ia

7
Ibn al-Mundhir, Al-Awsat., juz 5, hlm. 190.
7

cepat-cepat pergi menyiram pohon kurmanya.’Berkatalah


Mu‘ādh, ‘Sesungguhnya dia itu munafiq, masa dia mempercepat
shalatnya hanya karena mau menyiram pohon kurmanya.’
Berkatalah (Anas bin Mālik), “Maka datanglah H.arām kepada
Nabi di mana Mu‘ādh bersama beliau, dan berkata, ‘O Nabi
Allah, saya (waktu itu) mau menyiram pohon kurmaku, lalu saya
masuk ke mesjid untuk shalat bersama jama‘ah. Ketika Mu‘ādh
memperpanjang shalatnya saya teruskan shalat saya dengan
shalat sendiri dan cepat-cepat pergi menyiram pohon kurma
saya, lalu ia mengira bahwa saya munafiq.’Maka berpalinglah
Nabi s.a.w. kepada Mu‘ādh dan bersabda,‘Apakah engkau
tukang fitnah, apakah engkau tukang fitnah, jangan
memperpanjang shalat dengan mereka, Bacalah
dan sepertinya’”
(HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya)

…Jabir bin Abdullah menceriterakan bahwa


Mu‘ādh bin Jabal r.a. shalat bersama Nabi s.a.w.,
lalu datanglah kaumnya, maka ia shalat bersama
(mengimami) mereka, dan dibacanya surah al-Baqarah.
Maka berkatalah ia (Jabir) bahwa ada seseorang
yang meneruskan shalatnya dengan shalat sendiri yang
ringan, maka sampailah berita itu kepada Mu‘ādh,
dan berkatalah bahwa ia itu munafiq. Berita itu
sampai kepada orang itu, lalu ia mendatangi Nabi
8

s.a.w. dan berkata, “O Rasulullah, kami adalah kaum


yang bekerja dengan tangan menyiram sendiri dengan
air (tanaman kami) dengan alat penyiram kami,
dan kemarin Mu‘ādh mengimami kami dengan
membaca surah al-Baqarah, maka saya teruskan
shalat saya dengan shalat sendiri, lalu ia mengira
bahwa saya munafiq.” Berkatalah Nabi s.aw.,
“O Mu‘ādh, apakah engkau tukang fitnah,
(tiga kali), bacalah ,
dan sepertinya.”
(HR Bukhari dalam Saheh-nya)

… Abdullah ibnBuraydah berkata, “Saya


dengar dari ayahku Buraydah mengatakan
bahwa Mu‘ādh bin Jabal berkata bahwa ia shalat
mengimami para sahabatnya dan membaca ,
maka bangkitlah seseorang lalu meneruskan shalatnya dengan
shalat sendiri sebelum ia (Mu‘ādh) selesai shalat lalu pergi. Maka
berkatalah kepadanya dengan kata yang pedas, lalu orang itu
mendatangi Nabi s.a.w. dan menyampaikan penyesalannya
kepada beliau. Lalu ia berkata, “Sebenarnya (waktu itu) saya
bekerja di kebun korma dan saya kuatir (kehabnisan) air.”
Maka berkatalah Rasulullah (kepada Mu‘ādh),
“Shalatlah (waktu mengimami orang) dengan
membaca dan surah-
surah (pendek) seperti itu.”
9

(HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya).

Apakah shalat macam ini, shalat yang dilakukan seperti memburu


waktu dengan mengingat tanamannya untuk disirami sebelum hari gelap, masih
termasuk khusyu’? Padahal kurang konsentrasi? Tetapi Nabi menganggapnya
sah. Pertanyaan sah-tidaknya shalat tanpa khusyu’ sudah dijawab sendiri oleh
Abu Sangkan dalam bukunya tersebut, sebagai berikut:
…. Kita tidak dituntut untuk bisa khusyu’ [dalam
shalat], meredam marah, berahlak [sic.] mulia. Kita hanya
perlu datang kepada Allah [dalam shalat] dengan apa
adanya, tidak perlu merekayasa dengan “gaya teater”
yang penuh kepura-puraan. Inilah kita!...8

Ini berarti, shalat tanpa khusyu’ sah-sah saja, sudah diterima Allah, sehingga
khusyu’ itu diperlukan hanya untuk meningkatkan nilai shalat kita.
Apakah khusyu’ itu? Menurut al-Rāghib al-As.fahānī (w.ca. 423 H/1034
M) dalam bukunya Mufradāt Alfādh al-Qur’ān, khusyu’ adalah
(kerendahan, kepatuhan, humbleness, submissiveness), yang keba-nyakan
digunakan untuk kepatuhan anggota badan, sedang kata d.arā‘ah kebanyakan
digunakan untuk kepatuhan hati (nurani).9 Adapun arti khusyu’ dalam al-
Qur’ān, al-Dāmaghānī )w. 478 H/1085 M) dan Ibn al-Jawzī (w. 597 H/1207 M)
menyebut empat menurut para ahli tafsir, yaitu:
1. (kerendahan diri, kepatuhan, humbleness, submissive-ness, and
self-abasement), seperti dalam al-Qur’ān:
“…dan merendahlah semua suara
kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali
bisikan saja.” Q. 20:108) . “banyak muka pada
hari itu tunduk terhina” (Q. 88:2), dan .
“(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk
tunduk kebawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka

8
Abu Sangkan, Pelatihan Shalat Khusyu', hlm. 22-23.
9
Al-Rāghib al-As.fahānī, Mufradāt Alfā z. al-Qur’ān, hlm. 283
10

dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan
sejahtera” (Q 68:43). Jadi, khusyu’ dalam shalat adalah kita merendahkan
diri dan patuh kepada-Nya, dengan pandangan tunduk kebawah.
2. َ (persaan takut, fear), seperti:
“Maka Kami
memperkenankan do’anya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan
kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-
perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan
cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (takut) kepada
Kami.” (Q.21:90). Jadi, khusyu‘ dalam shalat adalah kita merasa takut
kepada-Nya.
3. (kerendahan hati, humility, modesty, humbleness), seperti dalam al-
Qur’ān: “Dan mintalah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’
(rendah hati).” Q. 2:45). Jadi, khusyu’ dalam shalat menurut pengertian
ini, adalah merendahkan diri kepada-Nya.
4. (ketenangan anggota badan) dan ditambah oleh al-Dāmaghānī
(dan melemparkan pandangan ke tempat sujud),
seperti: “(yaitu) orang-orang yang khusyuk
(tenang) dalam shalatnya.” (Q. 23:2). Khusyu’ dalam shalat, menurut
10

ayat ini dan penafsiran para ahli tafsir, adalah tenang dan diamnya anggota
badan, tidak bergerak - yang difahami juga oleh Abu Sangkan sebagai
relaksasi anggota badan - ditambah dengan memusatkan pandangan ke
arah tempat sujud, agar dapat berkonsentrasi dan pikiran tidak mengawang-
awang.
Khusyu‘ dalam shalat menurut Ibn ‘Abbās (w. 67 H/678 M) adalah
takut dan diam,” sedang menurut Qatādah adalah “perasaan takut (dalam hati)
dan menundukkan pandangan”. Al-Awzā‘ī ketika ditanya tentang khusyu‘

10
Al-Dāmaghānī, Qāmūs al-Qur’ān, s.v. khushū‘, hlm. 158-159, dan Ibn al-Jawzī, al-
Wujūh wa ’l-Naz.ā’ir, s.v. khushū‘, hlm. 276-277.
11

dalam shalat, menjawab: “menundukkan pandangan, merendahkan diri, dan


melunakkan hati (sedih)”. Adapun Muslim ibn Yassār, Imam Syafi‘ī, Ish.āq ibn
Rāh.awayh (w. 238 H/852 M), Abū Thawr (w. 240 H/854-5 M) dan ahli ra’y
mereka mengatakan bahwa khusyu‘ dalam shalat adalah “memandang ke
tempat sujud”. Pendapat umum para ulama di atas berbeda dengan pendapat
Imam Mālik yang membolehkan orang shalat memandang ke depan, seperti
yang terdapat pada gambar pada halaman 2 dari buku Pelatihan Shalat Khusyu’
di mana nampak seseorang yang sedang bertakbir ihram, mengangkat
tangannya, tetapi pandangannya ke depan, bukan kearah tempat sujud.
Pendapat Imam Malik ini banyak ditentang banyak ulama, bahkan memandang
ketempat sujud itu mereka anggap sebagai salah satu sunnat dalam shalat. Ibn
Sīrīn mengatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. (waktu shalat) mengangkat
pandangan beliau ke langit, lalu beliau disuruh khusyu‘, maka beliau
menundukkan pandangan ketempat sujud.11
Kendati dikatakan bahwa mayoritas penduduk Marokko mengikuti
madzhab Imam Malik, menurut pengamatan saya selama sebulan di sana
kebanyakan mereka tidak mengikuti pendapat beliau dalam hal ini. Juga
kebanyakan dari mereka melipat tangan waktu shalat, menyalahi madzhab
beliau di mana tangan itu diluruskan kebawah waktu berdiri dalam shalat
kecuali waktu mengerjakan shalat sunnat. Bagi madzhhab ini, dalam shalat yang
wajib adalah makruh melipat tangan pada dada kecuali jika tidak ada maksud
untuk disandarkan dan diistirahatkan pada dada.12
Khusyu‘ dalam shalat menurut definisi madzhab (madhhab) adalah
sebagai berikut:
a. Hanafi
Definisi khusyu’ dalam madzhab Hanafi tidak diketemukan, hanya
disebutkan bahwa untuk mendapatkan khusyu’ orang yang shalat
harus mengarahkan pandangannya ketempat sujudnya.
b. Maliki:

11
Ibn al-Mundhir, al-Awsa, juz 5, hlm. 190-191.
12
Wahbah al-Zahayl, al-Fiqh al-Islā m wa Adillatuh, juz 2, hlm. 874.
12

Khusyu’ adalah menghadirkan [dalam pikiran


atau hati] kebesaran Allah Yang Maha Tinggi dan
keagungan-Nya, dan bahwa sesungguhnya tidak
ada yang disembah dan dituju selain-Nya.
Menurut mazhab Maliki khusyu’ itu pada dasarnya wajib. Adapun
menghadirkan dalam hati dalam shalat bahwa perintah Allah
sedang dipatuhi dengan melaksanakan shalat itu hukumnya sunnat
dan no. 3 dari 48 sunnat dalam shalat pada mazhab ini.
c. Syafi‘i:

Khusyu’ dalam shalat adalah kehadiran


hati dan ketenangan anggota badan.
Khusyu‘ dan mengikuti bacaan (tadabbur) adalah sunnat dalam
shalat, dan al-Zuhaylī menempatkan khusyu no. 32 dari sunnat
dalam shalat menurut mazhab Syafi’i. Untuk lebih membantu
mendapatkan khusyu’ hendaklah memasuki shalat dengan bergairah
dan mengosongkan pikiran dari urusan dunia.
c. Hambali:

Khusyu’ adalah suatu pengertian dalam jiwa


dinampakkan dengan tenangnya anggota badan.
Mazhab Hambali juga menganggap khusyu’ salah satu dari sekian
banyak sunnat dalam shalat (kira-kira 72); al-Zuhaylī menempat-
kannya no. 44.13

4. Ruh termasuk Rahasia Allah.


Pada halaman 12 dari buku Pelatihan terdapat terjemahan ayat 85 dari
surah al-Isrā’. Ayat itu berbunyi, sebb.

13
Al-Fiqh al-Islā mī wa Adillatuh, juz 11, hlm. 913, 921, 932, 939.
13

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh.


Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklahkamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
(Q. 17:85)14
Menurut pengertian ayat ini, ruh itu adalah salah satu dari rahasia
Tuhan yang tidak diketahui manusia, karena seluruh pengetahuan yang
diberikan oleh Tuhan sangat sedikit. Pengertian ini juga sesuai dengan
terjemahan bahasa Inggeris, seperti di bawah ini:
And they ask you
(O Muhammad) concerning
the Ruh (spirit). Say: “The Ruh (the spirit)
is one of the things, the knowledge of which
is only with my Lord. And of knowledge
you (mankind) have been
given only a little.
(Q. 17:85)15
Namun Abu Sangkan, dalam bukunya tersebut, menterjemahkan
sepotong dari ayat itu sebagai berikut:
…Tidaklah kalian mengetahui
tentang ruh kecuali hanya sedikit.
Ini berarti manusia ada pengetahuannya sedikit tentang ruh. Pengertian ini
berbeda dengan pengertian penterjemah al-Qur’ān lainnya yang menganggap
bahwa ruh itu urusan Tuhan, dan salah satu dari rahasia Tuhan, is one of the
things, the knowledge of which is only with my Lord (salah satu dari hal-hal
yang diketahui hanya oleh Allah). Terjemahan Abu Sangkan mungkin
dimaksudkan bahwa beliau ada pengetahuan tentang ruh, dan dikaitkan dengan
shalat khusyu’.

14
Terjemahan Departemen Agama R.I.
15
Terjemahan Kementerian Urusan Agama, Arab Saudi.
14

Jadi apa arti rūh. pada ayat di atas ? Al-Dāmaghānī menyebutkan enam
arti rūh. dalam al-Qur‘ān, yaitu: rahmat, malaikat, Malaikat Jibril, wahyu, Nabi
Isa dan kehidupan yang ada pada makhluq yang mempunyai ruh. Sebagai
contoh untuk arti yang terakhir, ia menyebutkan ayat yang tersebut di atas .16
Seementara itu, al-As.fahānī menyebut ruh sebagai suatu yang menyebabkan
sesuatu hidup, bergerak, mencari kemanfaatan dan menghindari kemudaratan.
Sebagai contohnya, ia juga menyebutkan ayat di atas. Kemudian ia
memberikan arti lain seperti yang diberikan oleh al-Dāmaghānī di atas.

5. Arti Wajh (Wajah) dalam al-Qur’ān


Surah al-An‘ām ayat 79, oleh Departemen Agama R.I. diterjemah-kan
sebagai berikut:

Sesungguhnya aku menghadapkan


diriku kepada Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah
termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.17
(Q. 6:79)
Adapun terjemahan yang diberikan oleh Kementerian Urusan Agama di
Arab Saudi, adalah sebagai berikut:

Verily, I have turned my face towards Him


Who has created the heavens and the earth Hanifa
(Islamic Monotheism, i.e., worshipping none but
Allah Alone) and I am not of al-Mushrikun (i.e.,
the idolaters, polytheists, disbelievers in the

16
Al-Dāmaghānī,Qāmūs al-Qur’ān, hlm. 213.
17
Terjemahan Departemen Agama R.I.
15

Oneness of Allah, pagans).18


(Q. 6:79)

Sementara itu, Abu Sangkan menterjemahkan ayat tersebut sebagai


berikut:

Aku hadapkan wajahku kepada


wajah Zat Yang Menciptakan langit dan
bumi selurus-lurusnya dan ruhku tidak
terhambat oleh benda-benda (syirk).19

Di sini kata h.anīfan (cenderung kepada agama yang benar, yaitu agama
monoteisme) diterjemahkan dengan “selurus-lurusnya”, sedang “dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”20,
diterjemahkan dengan “dan ruhku tidak terhambat oleh benda-benda (syirk), di
mana kata aku diterjemahkan dengan ruhku untuk menekankan ruh (roh) dalam
menjalankan shalat. Tetapi, barangkali Abu Sangkan lupa, jasad juga tidak
boleh dilupakan, karena manusia terdiri dari ruh dan jasad, keduanya
bertanggung jawab pada Hari Kemudian. Kata aku dan ruhku jelas sangat
berbeda. Kata aku termasuk di dalamnya ruh dan jasadku, sedang kata ruhku,
tidak termasuk di dalamnya jasadku. Dalam menyembah Allah, tidak hanya ruh
atau jasad saja yang menyembah, tetapi keduanya. Di akhirat, orang yang tidak
menyembah Allah berdosa dan akan disiksa Allah sesuai janji-Nya, bukan
hanya ruhnya, tetapi juga jasadnya, karena pada hari kebangkitan, jasad juga
dibangkitkan, dan masing-masing anggota jasad mengakui perbuatannya,
seperti yang diungkapkan dalam ayat al-Qur’ān di bawah ini:

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah


kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki
mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.
(Q. 36:65)

18
Terjemahan Departemen Agama R.I.
19
Pelatihan Shalat Khusyu', hlm. 16.
20
Terjemahan Departemen Agama R.I.
16

Banyak ayat-ayat al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa jasad juga


dibangkitkan dan mendapat siksaan di akhirat bagi orang kafir, di antaranya,

Sesungguhnya orang-orang
yang kafir kepada ayat-ayat Kami,
kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam
neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit
mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka
merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Q. 4:56)

Disamping itu, ayat ini juga menunjukkan bahwa sejak 15 abad silam, Allah
telah menyatakan bahwa kulit adalah alat perasa yang merasakan dingin dan
panas, termasuk siksaan dalam neraka.
Pada halaman berbeda, Abu Sangkan menterjemahkan kembali ayat
tersebut di atas , sebagai berikut:
Kuhadapkan muka dan jiwaku kepada
Zat yang menciptakan langit dan bumi dengan
keadaan tunduk dan menyerahkan diri dan aku
bukanlah dari golongan kaum musyrikin.21
(Q. 6:79)
Di sini kata wajhī (lit. “mukaku”) diterjemahkan dengan “muka dan
jiwaku”. Terjemahan Departement Agama dengan “diriku” lebih tepat, karena
dalam bahasa Arab kata wajh (wajah, muka) kadangkala dimaksudkan
keseluruhan badan, bukan muka saja. Kawan sekamar saya dulu bernama
Abduh dari Yaman, yang bekerja sebagai penjual obat di Apotik Al-Kalali
(milik Ahmad al-Kalali asal Indonesia-Yaman) di Khamis Musyait, Arab Saudi,
pernah mengatakan bahwa si Anu itu (seorang dokter asal Pakistan), karena
sudah banyak ditolong dan sudah kaya, seharusnya memberikan ra’s ghanam

21
Pelatihan Shalat Khusyu', hlm. 23.
17

(lit. sekepala kambing) yang dalam bahasa Indonesia seekor kambing.


Maksudnya adalah satu kambing utuh, bukan kepalanya atau ekornya saja.
Maka dari itu, penggunaan kata wajh untuk Allah tidak diterjemahkan. Ibn al-
Jawzī menyebutkan bahwa didalam al-Qur’ān ada 6 arti dari kata wajh (wajah),
sebagai berikut:
1. Al-Wajh, muka, wajah, seperti dalam al-Qur’ān,

… pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih


berseri, dan ada pula muka yang hitam suram. Adapun
orang-orang yang hitam mukanya (kepada mereka dikatakan):
“Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena
itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.”22
(Q. 3:106)

2. Al-Dīn, agama, seperti dalam al-Qur’ān,

Dan siapakah yang lebih


baik agamanya daripada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan
ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?
Dan Allah mengambil Ibrahim
menjadi kesayanganNya.23
(Q. 4:125)
Di sini Ibn al-Jawzī mengatakan (lit. “menyerah-kan
wajahnya” artinya “ikhlas dalam menjalankan agamanya”).

22
Terjemahan Departemen Agama R.I.
23
Ibid.
18

3. ِAl-Awwal, permulaan, awal, seperti dalam al-Qur’ān,

Segolongan (lain) dari ahli


kitab berkata (kepada sesamanya),
“Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu
beriman kepada apa yang diturunkan
kepada orang-orang yang beriman (sahabat-
sahabat rasul) pada permulaan siang dan
ingkarilah ia pada akhirnya, supaya
mereka (orang-orang mukmin)
kembali kepada kekafiran).”24
(Q. 3:72)
4. Al-H.aqīqah, hakikat, yang sebenarnya, seperti dalam al-Qur’ān,

Itu lebih dekat untuk (menjadikan para


saksi) mengemukakan persaksiannya menurut
apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan
mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya
(kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah.
Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah
(perintah-Nya). Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang fasik.25
(Q. 5:108)

24
Ibid.
25
Ibid.
19

5. Al-‘Ilm, ilmu, pengetahuan, menurut pendapat Muh.ammad b. Qāsim al-


Nah.wī, seperti dalam al-Qur’ān,

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan


barat, maka kemana pun kamu menghadap disitulah
wajah (kiblat) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.26
(Q. 2:115)

Menurut Muh.ammad bin Qāsim al-Nah.wī, ayat di atas berarti,


kemana pun kita menghadap dalam shalat (bagi orang yang menghadap
arah Kiblat secara keliru), Allah mengetahuinya. Menurut al-abar,
ayat ini turun setelah sesuatu kaum shalat pada arah kiblat yang tidak
tepat karena mereka tidak tahu. Al-Is.fahānī memberikan penafsiran
wajhullāh pada ayat tersebut di atas dengan
“menghadap Allah Yang Maha Tinggi dengan amal-amal saleh.”27
6. Al-Dhāt, zat Allah, sehingga kata wajh tidak diterjemahkan, seperti:

Sesungguhnya kami memberi


makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih.28
(Q. 76:9)

26
Ibid.
27
Al-Mufradāt li-Alfāz. al-Qur’ān, hlm. 856
28
Terjemahan Departemen Agama R.I.
20

Di sini Ibn al-Jawzī mengatakan bahwa “wajah


Allah” artinya “Allah”. Sampai sekarang orang Arab masih
menggunakan ucapan liwajhillāh untuk menunjukkan keikhlasan dan
kesungguhannya dalam melakukan sesuatu, mengundang, memberi dan
seterusnya.29

6. Keterangan tentang Ayat


45-46 Surah al-Baqarah

Pada halaman 23 dari buku Pelatihan Shalat Klhusyu' dan halaman


berikutnya, untuk menekankan pertemuan Allah dengan orang yang tengah
melakukan shalat, Abu Sangkan menggunakan ayat sebagai berikut:

Dan mintalah pertolongan


(kepada Allah) dengan sabar dan
shalat. Dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyuk', (yaitu) orang-orang yang
meyakini bawa mereka akan menemui
Tuhannya dan bahwa mereka
akan kembali kepada-Nya.30
(Q. 2:45-46)
(Dalam ayat ini al-T.abarī menafsirkan al-khāshi‘īn sebagai (“orang-
orang yang merendahkan diri kepada Allah”).
Pada halaman sebelumnya, yaitu halaman 22 Abu Sangkan
menterjemahkan ayat di atas sebagai berikut:

29
Ibn al-Jawzī, Nuzhat al-A‘yun al-Nawāz.ir, hlm. 617-618
30
Terjemahan Departemen Agama R.I.
21

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai


penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh amat berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu’ (yaitu) orang–orang yang meyakini,
bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan
bahwa mereka kembali kepadaNya.31
(Q. 2:46)
Di sini, kelihatan lagi perbedaan antara kedua terjemahan di atas. Pada
terjemahan Departemen Agama, kita disuruh Allah minta tolong (kepada-Nya)
dengan bersabar dan menjalankan shalat, (dalam terjemahan bahasa Inggris,
“seek help in patience and prayer”) dan inilah yang lebih dekat dengan lafal
ayat. Sementara pada terjemahan Abu Sangkan, kita disuruh menjadikan sabar
dan shalat sebagai penolong kita. Itu adalah penafsiran dan bukan terjemahan
ayat. Yang menjadi masalah, penggunaan kata kerja ista‘āna yang berarti
“meminta pertolongan”, sama penggunaannya dengan kata kerja ista‘ādha yang
artinya “meminta perlindungan”. Kepada siapa? Dipakailah kata bantu bi
dan kalau kepada Tuhan, menjadi billāh. Kalau dikatakan “mintalah
pertolongan kepada Allah” bahasa Arabnya ista‘in billāh; bentuk jamaknya
adalah ista‘āinū billāh. Ini dapat diketemukan pada al-Qur’ān sebagai berikut:

Musa berkata kepada kaumnya,


“Mohonlah pertolongan kepada Allah
dan bersabarlah; sesunguhnya bumi (ini)
kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-
hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik
adalah bagi orang-orang
yang bertakwa”
(Q. 7:128)

31
Pelatihan Shalat Khussyu', hlm. 22.
22

Kalau dikatakan “mintalah perlindungan kepada Allah (dari setan)”


bahasa Arabnya ista‘idh billāh, dan ini terdapat pada al-Qur’ān sebagai berikut:
1. “Apabila kamu membaca
Al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari
setan yang terkutuk” (Q. 16:98).
2. “Dan jika kamu
ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.
7:200); (lihat juga Q. 41:36). Lalu bagaimanakah menterjemah-kan
, tidak mungkin diterjemahkan dengan “mintalah
pertolongan kepada kesabaran dan shalat”, mekipun ada kata bi
sebelum kata s.abr dan s.alāt. Posisi bi di sini bukan berarti kepada
melainkan dengan (sebagai alat) yang berarti melalui, yang oleh al-
Zamakhsharī dinamakan seperti dalam ucapan (“saya
menulis dengan pena”). Adapun tempat meminta pertolongan adalah
32

Allah, sekalipun nama-Nya tidak disebutkan dalam ayat itu.


Penterjemah dari Departement Agama menambahkan dalam kurung
“kepada Allah” seberti tersebut di atas. Dengan kata lain, mintalah
pertolongan kepada Allah dengan melakukan kesabaran dan mendirikan
shalat.

Ibn Kathīr (Katsir) dalam menafsirkan ayat tadi (Q. 2:46) mengatakan
bahwa Allah menyuruh hamba-Nya menggunakan sabar dan shalat untuk
memperoleh kebaikan dunia-akhirat. Ia mengutip Muqātil bin H.ayyān yang
mengatakan, “Amalkan kesabaran dan shalat wajib untuk akhirat. Adapun
kesabaran di sini, menurut mereka [ahli tafsir] adalah puasa.” Dikatakanoleh Ibn
Kathir bahwa Mujahid (w. 103 H/722 M) juga berpendapat demikian. Al-
Qurubī (w. 671 H/1273 M) dan ulama yang lain mengatakan, itulah sebabnya
bulan Ramadan dikatakan “bulan kesabaran” sebagaimana termaktub dalam
literatur hadits. Pendapat yang lain mengatakan bahwa sabar pada ayat tersebut
berarti “menghindari kejahatan”. Itulah sebabnya “sabar” disebutkan bersama
dengan amal-amal ibadah yang lain, terutama “shalat.” Ibn Abī H.ātim juga

32
Al-Zamakhsharī, al-Kashshā f, Juz 1, hlm. 139.
23

menyampaikan bahwa ‘Umar bin Khattāb r.a. pernah berkata, “Ada dua macam
kesabaran: kesabaran yang baik adalah waktu mendapat mala-petaka, dan
kesabaran yang lebih baik adalah menghindari larangan-larangan Allah.”
Dikatakan pula oleh Ibn Kathīr bahwa al-H.asan al-Bas.rī (w. 110 H/728 M)
pernah juga berkata seperti itu.33
Perbedaan yang lain antara hasil terjemahan yang dibuat oleh
Departemen Agama dan Abu Sangkan terhadap Qur’an 2 (surah al-Baqarah)
ayat 45-46 adalah dalam lafal mulāqū rabbihim. Kendati keduanya sama-sama
dengan menggunakan kata akan, yaitu “mereka akan menemui Tuhan-nya”,
tetapi ada perbedaan pada kata ilayhi rāji‘ūn, Departemen Agama
menterjemahkan dengan “mereka akan kembali kepada-Nya”, sedang
terjemahan Abu Sangkan “mereka kembali kepada-Nya,” tanpa menggunakan
kata akan. Barangkali, dengan begitu, Abu Sangkan memaksudkan
pengertiannya yang lebih luas, yakni kita semua sedang dalam perjalanan
menuju akhirat, karena dunia hanya sekedar tempat singgah untuk beramal baik
sebanyak-banyaknya, sebagai bekal hidup untuk di akhirat kelak. Untuk
menguatkan pendapatnya, ayat ini dia gunakan sebagai dalil bahwa “orang yang
khusyu’ adalah orang yang mempunyai kesadaran ruhani (dzann) bahwa dirinya
sedang bertemu dengan Tuhannya.” Kata dzann yang artinya “keyakinan”
dalam ayat ini, diartikannya “kesadaran ruhani”, lalu ayat di atas ditafsirkan
“yang (sedang) meyakini bertemu dengan Tuhannya dan kepada-Nya mereka
kembali”. Di sini kata “akan” pada kata kerja “bertemu” dan “kembali” tidak
ada, karena yang dimaksudkannya adalah sedang dan bukan akan bertemu
dengan Tuhannya diwaktu shalat. Betul, waktu shalat kita menghadap Tuhan,
tetapi bukan dengan menggunakan ayat di atas sebagai dalil, karena ayat
tersebut menunjukkan masa depan di akhirat, tempat manusia akan kembali.
Untuk menegaskan pendapatnya dan menyalahkan penafsiran para ulama
terdahulu, yang mengatakan bahwa ayat mulāqū rabbihim (bertemu dengan
Tuhannya) adalah di Hari Kiamat, dikatakan-nya:
Maka bagi orang yang
mengartikan bahwa kembali atau
bertemu dengan Allah yang dimaksud adalah
nanti di akhirat saja, sangatlah tidak masuk akal,
karena jika pendapatnya demikian akan muncul

33
Ibn Kathīr, Tafsīr Ibn Kathīr.
24

pertanyaan: Jadi selama ini ketika kita shalat


menghadap kepada siapa? Di manakah
Allah saat kita menyembah-Nya?34
Pertanyaan ini akan menimbulkan pertanyaan lain, “Di manakah Allah
saat kita tidak menyembah-Nya? Pertanyaan selanjutnya, “Di manakah
Allah?” Pertanyaan tersebut sudah salah, karena kita semua tahu Allah tidak
terikat ruang dan waktu. Allah melihat dan mengetahui segala gerak-gerik kita.
Dan salah jika kita menjawabnya dengan mengatakan “Allah ada di mana-
mana”, karena ini adalah pendapat orang yang beraliran pantheisme yang
mengatakan bahwa Tuhan dan alam raya adalah satu (identical), dan segala
benda yang berwujud terbatas adalah bagian dari rupa Tuhan.
“... for the pantheist,
God and the world are identical,
and all finite existents are parts, ‘modes’
of appearances of God.”35
“Menurut penganut
Pantheisme Tuhan dan dunia
adalah identik, dan semua yang
wujudnya terbatas adalah bagian,
‘mode’ dari penampakan
diri Tuhan.”
Yang penting bagi kita adalah meyakini Allah selalu mengetahui gerak-
gerik kita, baik waktu kita sedang mengabdi dan menghadap kepada-Nya dalam
shalat, ataupun di kala kita sedang mendurhakai-Nya. Kalaupun kita tidak
bertemu Allah dalam shalat, kita melaksanakan shalat sebaik mungkin seperti
yang dicontohkan oleh Nabi s.a.w.. Pesan beliau adalah menyembah Allah
sebaik dan sesempurna mungkin, seakan-akan kita melihat-Nya, dan inilah
tingkat yang paling tinggi. Kalaupun kita belum sanggup mencapai tingkatan
ini, kita cukup menyakini bahwa Ia melihat kita, dan karena itu kita lakukan
ibadah kita sebaik mungkin.

34
Pelatihan Shalat Khusy', hlm. 24.
35
Ian T. Ramsey, “Pantheism”, Collier’s Encyclopedia, p. 935.
25

Adapun pernyataan Tuhan bahwa Ia dekat dan mengabulkan


permintaan orang-orang yang meminta kepada-Nya, sebagaimana terdapat pada
surah al-Baqarah ayat 186, adalah kata kiasan dengan menggunakan bahasa
yang dapat dipahami oleh manusia. Karena itu kata “dekat” dimaksudkan
“dekat dengan sepengetahuan-Nya.” Demikian pula yang dinyatakan dalam
surah al-Baqarah ayat 115, bahwa kemana pun kita menghadap di sanalah
(wajah) Allah (lihat arti wajh Allah pada ayat tersebut), bukan berarti Allah ada
di mana-mana yang berarti juga Ia terikat oleh ruang. Maka dari, itu ayat itu
ditasfirkan dengan pemahaman yang agak berbeda: Menghadap Tuhan dalam
shalat dengan menghadap Kiblat, apabila arah Kiblat tidak diketahui benar
sehingga arahnya keliru, shalatnya masih sah, karena Tuhan tahu niat kita.
Adapun pengertian bahwa “Allah istawa pada arasy-Nya”, itu adalah rahasia
Ilahi, baik kata istawa, maupun kata arasy (singgasana) Tuhan, (7:54; 10:3;
12:100; 13:2; 20:5; 25:59; 32:4; 57:4) dan bahwa singgasana-Nya berada di atas
air (Q. 11:7), juga merupakan hal di luar jangkauan akal manusia yang sangat
terbatas.

7. Arti Kata S.abr dalam al-Qur’ān

Menurut al-Rāghib al-As.fahānī, kata s.abr pada dasarnya berarti


“menahan dalam kesempitan,” seperti pada ungkapan (lit. “saya
menyabarkan binatang itu”) yang berarti “saya menahan binatang itu tanpa
(memberi) makanan,” dan (lit. “saya menya-barkan si Anu”) yang
berarti “saya membuntutinya sampai ia tidak dapat mengelak.” S.abr adalah
“menahan diri dari apa yang diperlukan menurut pikiran atau hukum atau
keduanya”. Kata ini umum, namanya dapat berbeda-beda sesuai dengan
keadaannya. Apabila menahan diri dari suatu musibah, hanya disebut s.abr,
lawannya adalah “kegelisahan”, “ketidak sabaran”, “kesedihan”, “ketidak
tenangan,” “kekuatiran.” Apabila dalam keadaan berperang kata ini berarti
“keberanian,” lawan dari “kekecutan (hati).” Apabila dalam
menghadapi malapetaka yang sangat menyedihkan, maka disebut
“berlapang dada”, lawan dari “kemarahan,” “ketidak-puasan,” “ketidak-
26

senangan,” “kesedihan,” dan “ketergangguan.” Apabila dalam menahan diri dari


berbicara disebut “diam”, “kerahasiaan", lawan dari kata
“keterbukaan.” 36

Ibn al-Jawzī memberi definisi s.abr yang agak berbeda dengan definisi
diberikan oleh al-Rāghib al-As.fahānī di atas , yaitu
“menahan diri dari apa yang diinginkan”. Setiap sesuatu yang menahan sesuatu
yang lain disebutkan telah “menyabarkannya,” dan sesuatu yang terlarang yang
dikatakan , adalah binatang yang dijadikan sasaran lemparan tombak
sampai mati. Dikatakan juga bahwa orang yang bersabar atas musibah adalah
orang yang sabar, karena ia menahan dirinya dari perasaan sedih, khawatir, dan
menyesal. Ibn al-Jawzī menyebutkan tiga arti dari s.abr (sabar) dalam al-Qur’ān,
sebagai berikut:
1. Sabar itu sendiri , dan inilah arti yang paling umum dalam al-
Qur’ān, misalnya,
“[…orang-orang bertaqwa] (yaitu) orang-orang yang bersabar, yang
benar, yang tetap ta’at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah),dan
yang memohon ampun diwaktu sahur.” (Q. 3:17). (Lihat juga Q. 14:21 dan
Q. 38: 44).
2. Puasa , seperti ayat Dan mintalah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar (berpuasa) dan shalat. (Q.
2:45)
3. Kenekatan, keberanian, , seperti contoh yang diberikan oleh al-Farrā’,
yaitu:
“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan
siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api
neraka!” (Q. 2:175)

Al-As.ma‘ī menceriterakan bahwa seseorang bersumpah (dengan nama


Allah) tetapi berbohong kepada seorang Badwi, maka berkatalah orang

36
Al-Mufradā t, hlm. 474.
27

Badwi itu kepadanya, yang maksudnya ِ‫اهلل‬


“Alangkah nekatnya engkau terhadap Allah!”37
Beberapa penafsiran tentang maksud “meminta pertolongan (kepada
Allah) dengan sabar dan shalat” dalam ayat di atas,
antara lain:
a. Sabar dalam melakukan kewajiban agama dan memperbanyak shalat untuk
membersihkan diri dari dosa-dosa.
b. Sabar dalam membela Nabi Muhammad s.a.w.
c. Sabar dalam berpuasa dan mendirikan shalat; puasa dinamakan “kesabaran”,
karena dalam berpuasa orang menahan diri dari makan, minum dan
kecabulan. (Pendapat Mujāhid).
d. Sabar dalam apa saja yang dialami, sekalipun mendapat hal-hal yang tidak
disenangi (pengalaman pahit). (Pendapat Abū Ish.āq al-Zajjāj, w. 310 H/922
M)
e. Ada tiga macam macam kesabaran:Pertama: sabar dalam menghadapi
musibah. Kedua, sabar dalam ketaatan (kepada Allah), dan ini lebih berat
dari yang pertama, pahalanya lebih banyak, dan inilah yang dimaksud
dalam ayat tersebut. Dan ketiga, sabar dalam menghindari maksiat, dan ini
lebih berat dari yang pertama dan kedua.
f. Sabar adalah ketaatan secara batin, sedang shalat adalah ketaatan secara lahir.
Allah menyebutkan dalam ayat ini kesabaran secara batin dan kesabaran
secara lahir, yaitu shalat. Tidak ada ketaatan yang paling berat buat badan
melebihi shalat, karena didalamnya tergabung bermacam-macam ketaatan:
kerendahan hati, pemusatan perhatian, ketenangan, bertasbih dan membaca;
apabila ini dapat dilakukan dengan mudah, maka amal ibadah yang lain
akan lebih mudah. Dan tidak ada kepatuhan batin yang lebih berat terhadap
badan melebihi kesabaran. Karena itu, Allah memerintahkan untuk bersabar
dan mendirikan shalat.
Adapun arti ayat “Dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'.” (Q.

37
Ibn al-Jawzī, Nuzhat al-A‘yun al-Nawāz.ir, hlm. 387-388.
28

2:45), adalah bahwa (a) meminta pertolongan (kepada Allah) adalah berat; (b)
melakukan shalat adalah berat, kecuali bagi orang yang khusyu’, merendahkan
diri.38
Ayat ini diturunkan untuk menyabarkan orang-orang Islam atas
serangan dan ejekan orang-orang musyrik Makkah manakala mereka shalat
menghadap Ka’bah setelah mereka memindahkan arah kiblat dari Jerusalem ke
Ka’bah di Masjidil Haram. Orang-orang musyrik Mekkah mengatakan:
“Muhammad akan kembali kepada agama kita sebagaimana ia kembali ke kiblat
kita.” Karena itu, pengikut beliau disuruh meminta perlindungan-Nya dengn
bersabar dan mendirikan shalat. “Posisi sabar pada iman,” kata ‘Ali bin Abi
Talib r.a., “adalah seperti posisi kepala pada badan, tidak ada faedah badan
tanpa kepala.”39

8. Penggunaan Ism al-Fā‘il


(Active Participle, Nomen Agentis)
dan Ism al-Maf‘ūl (Passive Participle,
Nomen Patientis) dalam al-Qur’ān.

Dalil yang lain yang digunakan Abu Sangkan untuk menekankan


bahwa kita bisa bertemu dengan Allah dalam shalat yaitu firman Allah dalam
Surah Al Insyiqāq ayat 6,” yaitu,

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah


bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhan-mu,

38
Al-Samarqandī, Bah.r al-'Ulūm, bab 45, juz 1, hlm. 49.
39
Abū yyān, Tafsīr Bah.r al-Muh.īt., juz 2, hlm. 86.
29

maka pasti kamu akan menemui-Nya.40


(Q. 84:6)

Abu Sangkan menterjemahkan ayat ini sama dengan terjemahan


Departemen Agama, di mana kata famulāqīh diterjemahkan dengan “maka pasti
kamu akan menemui-Nya” yang menunjukkan masa yang akan datang. Namun,
dalam penjelasan di bukunya tersebut, Pelatihan Shalat Khusyu', halaman 26,
Abu Sangkan mengarahkan pemahamannya terhadap ayat tersebut pada masa
sekarang (yang sedang berlaku) yaitu kemungkinan menemui Tuhan saat
shalat, karena seseorang yang telah bekerja dengan sungguh-sungguh termasuk
dalam shalatnya menuju Tuhan, maka waktu shalat Tuhan menemuinya. Lantas,
jika penafsiran ayat tersebut demikian, bagaimana dengan orang yang berdoa
sungguh-sungguh, berpuasa sungguh-sungguh, naik haji dengan sungguh-
sungguh, Tuhan juga akan menemuinya? Kalau begitu, apakah pengertiannya
menjadi umum bahwa setiap amal (bukan shalat saja) yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh Tuhan akan menemui pelakunya waktu ia sedang
melakukannya (seperti halnya waktu shalat)? Marilah kita simak keterangan
ahli tafsir.
Yang saya temui adalah bahwa ayat di atas adalah salah satu dari
banyaknya ayat-ayat yang menggunakan kata mulāqī (“menemui”) Tuhan, yang
akan terjadi pada masa yang akan datang, pada Hari Kiamat. Al-Rāghib al-
As.fahānī (w. 502/1109) dalam bukunya Mufradāt Alfāz. al-Qur‘ān mengatakan
sebb.:

Dan (ungkapan) menemui Allah Yang Maha Kuasa


dan Maha Mulia adalah expressi tentang Hari Kiamat dan
tentang kembalinya (semua makhluq) kepada-Nya.41

Inilah ungkapan al-Qur’an, bahwa “menemui Allah” maksudnya “akan


menemui Hari Kiamat saat semua makhluq kembali kepada Nya”. Al-Asfahānī
memberi banyak contoh dalam al-Qur‘ān, termasuk ayat yang tersebut di atas,
antara lain sebagai berikut:

40
Terjemahan Departemen Agama R.I.
41
Al-Rāghib al-As.fahānī Mufradāt Alfāz. al-Qur‘ān, hlm. 745.
30

1. “Dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan


42
menemui-Nya.” (Q. 2:223)
2.
…“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan
menemui Allah berkata: ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit
dapat mengalahkan golongan yng banyak dengan izin Allah. Dan Allah
beserta orang-orang yang sabar.”43 (Q. 2:249)

Penggunaan , active participle (nomen agentis), seperti kata


(penzalim, sedang menzalimi), demikian juga (passive participle,
nomen patientis), seperti kata (terzalim, sedang dizalimi), dapat
menunjukkan sifat pelaku, yaitu penzalim dan yang diperlakukan, yaitu
terzalim dalam contoh di atas , tetapi juga dapat berarti perbuatan itu sedang
berlaku, yaitu perbuatan orang yang sedang menzalimi atau perbuatan yang
menimpa orang yang sedang dizalimi dalam contoh di atas . Disamping itu
penggunaan ismu ’l-fā‘il dan ismu ’l-maf‘ūl dapat juga menunjukkan kejadian
yang akan datang yang ditekankan, dipastikan, dan yang sudah direncanakan
semula, bukan berlaku masa sekarang. Contohnya dalam al-Qur’ān banyak
sekali, antara lain:
1. “(yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘innā lillāhi wa
innā ilayhi rāji‘ūn’ (‘sesungguhnya kami adalah milik Allah dan
kepada-Nya-lah kami kembali’)”44 (Q. 2:156).
2. “dan orang-orang
yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang
takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali
kepada Tuhan mereka.” (Q. 23:60).45

42
Terjemahan Departemen Agama R.I.
43
Ibid.
44
Ibid.
45
Ibid.
31

Di sini nampak bahwa tidak ada penterjemah menerjemahkan rāji‘ūn


dengan “sedang kembali”, melainkan “akan kembali”. Kalaupun ada yang
menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan “are returning” dan bukan
“shall return”, itupun tidak salah, karena tidak menunjukkan masa sekarang,
melainkan masa yang akan datang yang diyakini, ditetapkan dan dipastikan
datangnya. Seperti dalam bahasa Arab, penggunaan present continuous tense,
selain menunjukkn peristiwa yang sedang berlaku, dapat juga menunjukkan
peristiwa yang sudah diniatkan dan diyakini akan berlaku. Orang-orang
Palestina yang bertekad bulat untuk kembali ke kampung halaman mereka yang
mereka terpaksa tinggalkan mengekspresikan keinginan mereka untuk kembali
pada suatu ketika dengan mengatakan Nah.nu rāji‘ūn dan Nah.nu ‘ā’idūn yang
berarti “Kami akan (dengan bertekad bulat untuk) kembali” Untuk contoh
dalam bahasa Inggris, dapat diperhatikan percakapan seperti di bawah ini:
A. “I am leaving” (Saya sedang/berniat untuk pergi)
B. “Now?” (Sekarang?)
A. “No, next week” (Bukan, minggu depan).
Si A sudah berniat untuk dan akan pergi minggu depan, tiket pesawat (bis, k.a.)
sudah dibeli, utang piutang sudah diselesaikan, sebentar lagi akan
diperpisahkan, dll.
Demikian juga kata (mulāqī) yang (active participle,
nomen agentis) dari kata (“menemui”) didalam al-Qur’ān menunjuk-kan
pertemuan yang pasti akan terjadi di masa yang akan datang, misalnya.

Katakanlah, “Sesungguhnya kematian


yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya
kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu
akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui
yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”46

46
Ibid.
32

(Q. 62:8)

Say (to them): “Verily, the death


fom which you flee, will surely meet you,
then you will be sent back to (Allah), the All-
Knower of the unseen and the seen, and
He will tell you what you used to do.47
(Q. 62:8)

Adapun contoh (passive participle, nomen patientis), yang


artinya berlaku untuk masa yang akan datang yang sudah dipastikan juga
banyak sekali terdapat dalam al-Qur’ān, antara lain:
1. “Dan buatlah
bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan
janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang
zalim itu; seasungguhnuya mereka itu akan ditenggelamkan.” (Q.
11:37) Ini adalah perintah Allah kepada Nabi Nuh untuk membuat
bahtera sebelum banjir datang manakala kaumnya yang tidak percaya
kepadanya akan tengelam. Perintah untuk membuat bahtera dan
larangan untuk membicarakan tentang orang-orang zalim itu serta janji
untuk menenggelamkan mereka terulang lagi pada surah al-Mu’minūm
(23) ayat 27. Kata (“akan ditenggelamkan”) digunakan juga pada
surah al-Dukhkhān (44) ayat 24 sebagai janji Allah kepada Nabi Musa
bersama kaumnya untuk menenggelamkan tentara Fir‘aun yang
mengejar mereka.
2. ‫أَلَا‬Tidakkah
orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan
pada suatu hari yang besar (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam?" (Q. 83:4-6)
3. “Mereka berkata, ‘Apakah
betul, apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang

47
Terjemahan Kementerian Urusan Agama Arab Saudi.
33

belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan


dibangkitkan?’” (Q. 23:82). Ayat yang bunyinya hampir sama adalah
Surah Banī Isrā’īl (17) ayat 49, Surah al-S.āffāt (37) ayat 16, dan Surah
al-Wāqi‘ah (56), ayat 47.

Kesimpulan:
Kata “menghadap Allah” dalam shalat tidak sama dengan “menemui”
Allah dalam shalat. Menghadap Allah tidak harus berada dihadapan-Nya,
sedang istilah “menemui Allah” digunakan dalam al-Qur’an hanyalah expressi
untuk “menemui Hari Kiamat, tempat kembali”. Nabi kita Muhammd s.a.w.
mengajarkan kita menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya, sekurang-
kurangnya meyakini bahwa Ia sedang melihat kita saat kita menyembah-Nya.

9. Sebab Turunnya Ayat 183


dari Surah al-Baqarah

Pada halaman 33 dari buku Pelatihan Shalat Khusyu' ini terdapat judul
“Mengapa shalat khusyu sulit didapatkan?” Kemudian dikutip ayat al-Qur’an,
”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu” (Q. 2:185). Jika keduanya dihubungkan, seakan-akan berarti bahwa
melakukan shalat khusyu’ itu sukar, sedang Allah tidak menghendaki kesukaran
bagi kita, melainkan kemudahan, maka tidak perlu ada khusyu’ yang sukar itu
ketika melakukan shalat. Ini bukanlah yang dimaksud oleh Abu Sangkan,
penulis buku tersebut. Mungkin maksudnya, dengan mengikuti apa yang
terdapat dalam buku Pelatihan itu, apa yang dianggap “sulit” sebenarnya “tidak
sulit”, atau menjadi “tidak sulit”, karena Allah tidak menghendaki kesukaran
bagi kita, seperti yang dikatakan oleh Abu Sangkan dalam bukunya tersebut,
“Khusyu’ bukanlah sesuatu yang rumit tetapi bukan juga sesuatu yang
gampang.”48
Ayat 185 di atas sebenarnya diturunkan untuk memberikan keringanan
dalam melakukan puasa. Dikatakan oleh para ahli tafsir, ayat itu diturunkan
untuk meringankan bagi mereka yang lemah, sakit dan dalam perjalanan,
diizinkan tidak berpuasa dan meng-qada’ puasa guna melengkapi jumah puasa

48
Pelatihan Shalat Khusyu', hlm. 42.
34

mereka sebulan atau membayar fidyah. Keringanan tersebut ditambah dengan


dibolehkannya untuk makan dan minum serta hubungan suami-isteri sampai
fajar. Pada awalnya, menurut Mu‘ādh bin Jabal, sebelum diganti dengan bulan
Ramadan, puasa diwajibkan selama tiga hari sebulan dan pada hari ‘Āshūrā’ (10
Muharram), dan tidak ada makan sahur. Orang yang tidur diwaktu malam pada
jam berapa pun, apabila ia bangun ia sudah mulai berpuasa. Seorang sahabat
yang sedang berpuasa bernama Qays bin S.armah setelah pulang dari kerjanya di
kebun kurmanya, tertidur sebelum berbuka karena isterinya belum selesai
menyiapkan makanannya untuk berbuka, terpaksa berpuasa terus hingga hari
berikutnya. Ia sangat capek sampai ia tidak sadarkan diri saat tengah hari. Lain
lagi dengan ‘Umar ibn al-Khattab. Ia menggauli isterinya, padahal isterinya
mengatakan bahwa ia sudah pernah tidur, yang berarti ia sudah harus mulai
berpuasa. Untuk memudahkan puasa yang berat ini, Allah memberi keringanan
dengan membolehkan ummat Islam kala itu untuk makan-minum dan
mendatangi isteri sampai dekat fajar.49

Arti ayat di atas kemudian menjadi lebih umum dengan pernyataan


Nabi s.a.w. sebagai berikut:

... dari Anas bin Malik Nabi s.a.w.


bersabda: “Permudahlah, dan
jangan mempersusah, berilah kabar
gembira dan jangan membuat
orang berpaling.”
(HR Bukhari)

49
Al-Qurt.ubī, Tafsīr al-Qurt. ubī , juz 2, hlm. 314.
35

١٥٤
… dari Anas bin Malik
r.a. Nabi s.a.w. bersabda:
“Permudahlah, jangan mempersusah,
ringankanlah, dan jangan membuat
orang perpaling.”
(HR Bukhari dan Muslim)

٥
… dari ‘Ā’isyah r.a.
beliau berkata bahwa apabila
Rasulullah s.a.w. diharuskan memilih
dua hal beliau selalu memilih yang lebih
mudah dari keduanya selama bukan perbuatan
dosa, beliau adalah orang yang paling menjauh
dari berbuat dosa, dan Rasulullah s.a.w. tidak
pernah melakukan pemembalasan dendam
terhadap seseorang untuk dirinya mengenai
sesuatu apapun, kecuali pelanggaran atas
36

larangan Allah, maka beliau membalas


dendam untuk Allah.
(HR Bukhari dan Malik)

10. Arti Kata’ t.uma’nīnah dalam al-Qur’ān

Pada halaman 51 dari buku Pelatihan diceriterakan tentang t.uma’nīnah,


sebagai suatu tehnik relaksasi dalam shalat. Disebutkan suatu hadits di mana
Nabi s.a.w. menyuruh seseorang mengulang shalatnya karena belum dianggap
melakukan shalat (tidak sah) karena tidak ada uma’nīnah ketika selesai ruku’
dan sujud dan antara kedua sujud.
Dengan menterjemahan surah al-Baqarah ayat 46: “Jadikanlah sabar
dan shalat sebagai penolongmu” (Q. 2:46), yang tidak sesuai dengan
terjemahan Departement Agama: “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan shalat” seperti tersebut di atas , Abu Sangkan menyebutkan
9 cara untuk memasuki shalat dalam bentuk praktek, yaitu: (1) Heningkan
pikiran agar rileks; usahakan tubuh Anda tidak tegang…; (2) Biarkan tubuh
meluruh, agak dilemaskan, atau bersikap serileks mungkin…; (3) Rasakan
getaran kalbu yang bening dan sambungkan rasa itu kepada Allah, dan kalau
sudah tersambung, suasana sangat hening dan tenang, serta terasa getarannya
menyelimuti segala apa yang ada pada diri Anda…; (4) Bangkitkan kesadaran
diri, bahwa Anda sedang berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa, Yang
meliputi Segala Sesuatu, Yang Mahahidup, Yang Mahasuci, Yang
Mahaagung…; (5) Berniatlah dengan sengaja dan sadar sehingga muncul
getaran rasa yang sangat halus dan kuat menarik rohani meluncur kehadirat-
Nya. Pada saat itulah ucapkan takbir “Allahu Akbar”…; (6) Rasakan keadaan
berserah yang masih menyelimuti getran jiwa Anda, dan mulailah perlahan-
lahan 'membaca' setiap ayat dengan tartil…; (7) Setelah rukuk, Anda berdiri
kembali perlahan sambil mengucapkan pujian kepada Zat Yang Maha
Mendengar…; (8) Kemudian secara perlahan sambil tetap berdzikir: “Allahu
Akbar”, bersujudlah serendah-rendahnya…; (9) Selanjutnya, lakukanlah shalat
seperti di atas dengan pelan-pelan, thumaninah pada setiap gerakan…50

50
Pelatihan Shalat Khusyu', hlm. 58-59.
37

Pertanyaan yang kemudian muncul, pakah pernah diajarkan Nabi cara-


cara itu? Kalau ya, bagaimana bunyi haditsnya? Kalau tidak, apakah ini bukan
suatu yang dibikin sendiri yang tidak diajarkan Nabi, atau penafsiran sendiri
tentang ajaran Islam dalam hal memasuki shalat? Inikah yang dimaksud
meditasi tertinggi dalam Islam? Bukankah yang tidak dianggap sahnya oleh
Nabi seperti yang tersebut dalam hadits di atas adalah shalat yang tidak ada
t.uma’nīnahnya pada tempat tertentu, bukan pada shalat seluruhnya, mulai dari
takbiratul ihram sampai mengucapkan salam?
Apakah uma’nnah itu? Dalam al-Qur’ān disebutkan dalam ayat-ayat
sebagai berikut (arti kata yang menunjukkan t.uma’nīnah ditulis dengan huruf
tebal).

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan


hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allahlah hati menjadi tenteram.”51
(Q. 13:28)
“Those who beleive, and those whose
hearts find rest in the remembranceof Allah,
verily, in the remembrance of
Allah do hearts find rest.”52
(ََQ. 13:28).

51
Terjemahan Departemen Agama R.I.
52
Terjemahan Kementerian Urusan Islam, Arab Saudi .
38

Dan di antara manusia ada


orang yang menyembah Allah dengan
berada di tepi ,maka jika ia memperoleh
kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu,
dan jika ia ditimpa oleh suatu bencara,
berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia
di dunia dan di akhirat. Yang demikian
itu adalah kerugian yang nyata.
(Q. 22:11)
And among mankind is he who
worships Allah as it were upon the edge
(i.e. in doubt): if good befalls him, he is content
therewith; but if a trial befalls him, he turns back
on his face (i.e. reverts to disbelief after embracing
Islam). He loses both this world and the
Hereafter. That is the evident loss.
(Q.22:11)

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah


kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya…
(Q. 89:27-28)
O you the one on (complete) rest and
satisfaction. Come back to your Lord,--well-pleased
(yourself) and well-plesing (to Him)
(Q. 89:27-28)

Sesungguhnya orang-orang yang tidak


mengharapkan (tidak percya akan) pertemuan dengan
39

Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia


serta merasa tenteram dengan kehidupan itu...
(Q. 10:7)
Verily, those who hope not for their
meeting with Us, but are pleased and satisfied
with the life of the present world,…
(Q. 10:7)

Maka apabila kamu telah menyelesaikan


salat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa)…
(Q. 4:103)
When you have finished as-salat (the
congregational prayer), remember Allah
standing, sitting down, and lying down
on your sides, but whenYou are free
from danger, perform as-salat…
(Q.4:103)
(Ayat di atas menerangkan shalat dalam keadaan perang, dan apabila merasa
aman shalat dilakukan seperti biasa.)

Mereka berkata: “Kami ingin memakan


hidangan itu supaya tenteram hati kami,
dan supaya kami yakin bahwa kamu telah
berkata benar kepada kami, dan kami
menjadi orang-orang yang
menyaksikan hidangan itu.“
40

(Q. 5:113)
They said: “We wish to eat thereof and to
satisfy our hearts (to be stronger in Faith), and
to know that you have indeed told us the truth
and that we ourselves be its witnesses.”
(Q. 5:113)
(Pengikut Nabi Isa a.s. minta kepada beliau agar Allah mengirimkan kepada
mereka hidangan dari langit agar bertambah keimanan mereka).

Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan


itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu,
dan agar tenteram hatimu karenanya…
(Q. 3:126)
Allah made it not but as a message of good news
for you and as an assurance to your hearts…
(Q. 3:126)

Baran siapa yang kafir kepada Allah sesudah


dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…
(Q. 16:106)
Whoever disbelieved in Allah after his belief, except him
who is forced thereto, and whose heart is at rest with Faith…
(Q. 16:106)
41

Katakanlah: “Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang


berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan
dari langit kepada mereka satu malaikat menjadi rasul.”
(Q. 17: 95)
(Di sini malaikat yang berjalan di bumi dengan mutama’in
diterjemahkan dengan berjalan “sebagai penghuni bumi’)
Say: “If there were on the erth, angels walking about
in peace and security, We should certainly have sent down
for them from the heaven an angel as a Messenger.”
(Q. 17:95)

Dari ayat-ayat tersebut di atas kata t.uma’innah dan cabang (derivative)-


nya diartikan dengan tenteram (find rest), tetap dalam keadaannya (is content),
tenang (rest and satisfaction), merasa tenteram (satisfied), merasa aman (free
from danger), tenteram (satisfy), tenteram (an assurance), tenang (at rest),
sebagai penghuni bumi (in peace and security). Saya tidak/belum menemukan
penterjemah yang menggunakan kata relax atau relaxation. Dalam Arabic-
English Dictionary oleh Hans Wehr kata t.uma’nīnah diterjemahkan dengan
calm, repose, serenity, peace, peacefulness, tranquillity; reassurance, peace of
mind, composure, calmness, equanimity; trust, confidence, tidak diketemukan
kata relax (rileks) dan relaxation (relaksasi). Kata relax menurut English-
Indonesian Dictionary oleh John M. Echols dan Hasan Shadily adalah: (kk.
transitif) 1. mengendurkan (spt. otot), 2. mengurangi (spt. tekanan); (kk.
intransitive): bersenang-senang, beristirahat, bersantai-santai. Relax! Nothing
is wrong. “Tenanglah! Tidak ada apa-apa.” Kata relax di sini berarti
“menghilangkan kekuatiran”. Kata relaxation berarti: istirahat, persantaian,
pengendoran (spt. otot, disiplin militer). Karena itu, menurut pendapat saya,
adalah tidak tepat menterjemahkan kata t.uma’nīnah dengan relax (releks) dan
relaxation (relaksasi), atau menganggapnya “sebuah teknik relaksasi dalam
shalat” seperti yang terdapat pada buku Pelatihan Shalat Khusyu' halaman 15.
Sebagaimana yang diajarkan Nabi menurut hadits yang disebutkan pada
halaman 53 dan 54 dari buku tersebut, t.uma’nnah harus ada antara pada waktu
ruku’ dan i’tidal (berdiri dari ruku’), pada waktu sujud (yang pertama dan yang
kedua), dan pada waktu duduk di antara dua sujud. Secara umum, harus ada
ketenangan (calmness), istirahat (repose, tidak bergerak) antara gerakan-
42

gerakan dalam shalat, tidak seperti gerakan mesin. Apabila kita membaca
bacaan sunnat di antara kedua gerakan dalam shalat, dengan sendirinya kita
berhenti sejenak dalam setiap gerakan shalat, misalnya waktu ruku’ ada yang
dibaca, waktu in’tidal ada bacaannya, juga waktu sujud dan duduk di antara
kedua sujud, semuanya ada yang dibaca dengan tenang (tidak bergerak), karena
bacaan-bacaan itu adalah ucapan yang diarahkan kepada Tuhan, karena kita
berbicara langsung dengan Allah Swt. Di sinilah pentingnya mengerti apa yang
dibaca itu agar tidak seperti mantra karena tidak dimengerti artinya.
T.uma’nīnah adalah salah satu rukun shalat menurut mazhab Maliki,
Hambali, dan sebagian pengikut Syafi‘i (sebagian lain menganggapnya syarat
dari rukun shalat). Adapun menurut madzhab Hanafi hukumnya wajib
berdasarkan perintah Nabi untuk melakukannya kepada seseorang yang
shalatnya tidak sah, yaitu hadits yang HR Abu Hurayrah, sebagai berikut:

… dari Abu Hyrayrah bahwa


Rasulullah s.a.w. masuk ke mesjid,
kemudian masuklah seorang laki-laki,
lalu ia memberi salawat dan salam kepada
Nabi s.a.w. maka beliau membalas (salamnya),
lalu beliau berkata, “Kembalilah shalat, karena Anda
43

belum shalat,” lalu ia kembali seperti shalat sebelumnya.


Kemudian datanglah ia dan memberi salam kepada Nabi s.a.w.,
lalu beliau berkata, “Kembalilah shalat, karena Anda belum
shalat” tiga kali, lalu berkatalah (orang itu), “Demi (Allah)
Yang mengutus Anda dengan sebenarnya, saya tidak dapat
(shalat) lebih baik dari itu, maka ajarilah saya.” Maka
berkatalah beliau, “Apabila Anda berdiri untuk shalat
bertakbirlah, lalu bacalah ayat-ayat Qur’ān yang
mudah bagi Anda, lalu ruku’lah sampai istirahat
dalam ruku’ itu, lalu bangkit sehingga berdiri
lurus, lalu sujudlah sampai istirahat dalam
sujud, lalu perbuatlah demikian
dalam shalat seluruhnya.”
(HR Bukhari dan Muslim)

Secara umum mereka sepakat bahwa t.uma’nīnah itu harus ada dalam shalat
berdasarkan hadits tersebut di atas.
Apakah t.uma’nīnah itu dalam shalat? Keempat mazhab memberikan
definisi yang hampir sama, sebagai berikut:
a. Hanafi:

Mendiamkan anggota badan (lamanya) sekedar bertasbih


waktu ruku’, sujud, dan bangkit dari keduanya.
b. Maliki:

Berdiamnya anggota badan sebentar pada semua rukun shalat.


c. Syafi’i:

Diam sesudah gerakan atau diam di antara


dua gerakan, sehingga ada pemisahan misalnya
antara bangkit dan membengkokkan badan. Paling
kurang anggota badan itu diam, misalnya waktu
44

ruku’ dari membengkokkan anggota badan.


d. Hambali:

Diam (tidak bergerak) sekalipun sedikit.


Tempat di mana t.uma’nīnah itu harus ada untuk sahnya shalat adalah: di waktu
ruku’, i‘tidal (berdiri dari ruku‘), sujud dan duduk di antara dua sujud.53

11. Apakah waktu Duduk Iftirāsy Tempat


untuk Berkonsultasi dengan Allah?

Dalam buku Pelatihan Shalat Khusyu', Abu Sangkan mengatakan:

Pada saat duduk (iftirasy) sebenarnya


beliau [Nabi] sedang melakukan dialog untuk
menyelesaikan persoalan yang dirasa rumit untuk
dipecahkan. Pada saat itulah beliau menunggu jawaban
atas kesulitan yang beliau alami. Mengapa kita tidak
mengambil pelajaran dari cara beliau dengan menjadi-
kan shalat sebagai alat untuk berkomunikasi dan
memohon pertolongan kepada Allah, serta
tempat mengistirahatkan jiwa dan fisik.54

Saya ingin mendapat keterangan lebih lanjut dan sumber informasi di


mana dinyatakan bahwa Nabi saat duduk iftirasy (yaitu duduk antara dua sujud
dan duduk sesudah tasyahhud awwal) sedang melakukan dialog dengan Tuhan
dan menunggu jawaban Tuhan atas kesulitan beliau yang beliau alami. Yang
saya ketahui adalah bahwa Nabi kalau menghadapi sesuatu masalah berat beliau
terus shalat, seperti disebutkan dalam hadits di bawah ini:

53
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islā mī wa Adillatuhū, juz 2, hlm. 861-862.
54
Pelatihan Shalat Khusyu', hlm. 56.
45

Nabi s.a.w. dalam menghadapi


masalah yang berat (menyusahkan), beliau
mencari perlindungan dengan shalat.
(HR al-Biqā‘ī)
(Hadits yang sama bunyinya terdapat pada
Sunan Abū Dāwūd, hadits no. 1319)

Shalat memang kebahagiaan beliau. Waktu senang pun beliau sudah


banyak mengerjakan shalat, apalagi dalam mengalami kesulitan. Kita harus
mencontoh beliau, mencari perlindungan dari Allah dengan mengerjakan shalat.
Banyak orang yang apabila menghadapi masalah berat atau sedang stres
menghibur diri dan mencari pelarian dengan makan enak-enak sekalipun tidak
lapar, sehingga mereka menjadi gemuk. Ini berarti tidak semua orang gemuk itu
senang. Ada juga yang mencari pelarian dengan merokok dan minum minuman
keras, terutama di negeri Barat di mana minuman keras mengambil peranan
dikala orang sangat senang dan berpesta atau sangat susah sampai mabuk-
mabuk untuk melupakan problem yang tengah mereka hadapi. Abu Nawas (Abū
Nuwās, w. 199/815), penyair Arab yang terkenal di zaman Abbasiah, sebelum
bertobat, suka minum minuman keras, dalam salah satu sya’irnya (konon
sampai 10799 baris) mengatakan, “berilah saya minum sampai Anda melihat
saya mengira ayam jantan itu seekor keledai.” *
Pernyataan bahwa “shalat adalah meditasi tertinggi dalam Islam” adalah
tidak tepat, karena shalat adalah ibadah yang berbentuk berbicara dengan Allah
dari awal waktu membaca Fatihah, mulai dalam bentuk ketiga (“Dia”), yaitu
Al-h.amdu lillāhi rabbil ‘ālamīn “segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian
alam” dan diakhiri dengan bentuk orang kedua (“Engkau”), yaitu innaka
h.amīdun majīd (“sesungguhnya Engkau maha Terpuji dan Maha Agung”). Isi
komunikasi dengan Allah itu berupa pujian, syukur, doa minta petunjuk, dan
lain-lain, tetapi tidak menunggu jawaban dari Allah. Dalam shalat kita
mengabdi, mengakui bahwa Dia adalah Tuhan kita dengan segala sifat
kesempurnaan-Nya, sedang kita adalah hamba-Nya yang sedang mematuhi
salah-satu perintah-Nya, yaitu shalat. Adapun meditasi adalah “mendengarkan”
seperti yang disebutkan oleh Erich Schiffmann, sebagai berikut:.

Meditation means
listening, and the meditative
46

mind is the “listening-to-Infinite-Mind”


mind.... It’s about you and your specific
mind listening to, being guided
by, and communing with
Infinite Mind, God.55
Meditasi artinya mendengarkan,
dan pikirian yang mendengarkan adalah
pikirian “yang mendengarkan Pikiran Yang tak
Terbatas”.... Ia adalah tentang Anda dan pikiran Anda
yang tertentu yang sedang mendengarkan kepada, diberi
petunjuk oleh, dan berhubungan erat dengan
Pikirian Yang tak Terbatas, Tuhan.
(Keterangan tentang yoga dan meditasi akan diberikan kemudian).
Tetapi bahwa Nabi waktu duduk iftirasy menunggu jawaban Tuhan atas
kesulitan yang beliau alami, lalu beliau bermeditasi (dalam shalat) sambil
menunggu untuk “mendengarkan” (ilham atau wahyu) dari Allah adalah hal
yang asing dan baru. Yang saya ketahui pada waktu shalat kita sibuk dengan
bacaan dengan gerakan lidah dan didengar oleh telinga kita sendiri, ditambah
dengan hati yang menghayati sekaligus mengikuti bacaan kita, sehingga hati
terkonsentrasi mengikuti bacaan, ditambah ingatan kita akan gerakan yang
akan, sedang dan sudah kita lakukan.
Apakah Nabi berlama-lama duduk iftirasy karena sedang menunggu
jawaban Tuhan atas persoalan beliau? Di sinikah tempatnya mengajukan
problem kita kepada Tuhan dan menunggu jawaban-Nya? Bagaimana kalau
jawaban Tuhan tidak kunjung datang, apakah harus ditunggu lebih lama lagi
sampai datang? Di sinikah tempatnya kita berkonsultasi dengan Tuhan? Kenapa
bukan diluar shalat, dan apakah tidak cukup dengan doa dan permintaan kita
untuk mendapatkan hidayat-Nya kepada jalan yang lurus? Apakah tidak cukup
dengan Shalat Istikhārah kalau kita mengkonsultasikan kepada Tuhan segala
masalah yang kita hadapi? Itu pun doanya sesudah shalat, bukan di waktu
Shalat Istikhārah. Kalau betul Nabi menjadikan duduk iftirasy untuk
berkonsultasi dengan Tuhan serta menunggu jawaban-Nya, dan kalau memang

55
Erich Schiffmann, Yoga, hlm. 306.
47

itu yang beliau ajarkan, tentu kita juga mengikutinya. Tetapi, bagaimana kalau
beliau tidak melakukannya, kemudian kita melakukannya, apakah ini tidak
menyalahi ajaran beliau? Mungkin pendapat ini berdasarkan hasil terjemahan
Abu Sangkan terhadap ayat dengan terjemahan
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,” sedang Departemen
Agama menterjemahkannya dengan “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan shalat (Q. 2:46), seperti disebut di atas.
Lalu, bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (Q. 29:45),
bukankah shalat telah menolong menghindari pelakunya dari perbuatan keji
dan mungkar? Ayat ini diterangkan oleh Ibn Kathr dalam tafsirnya, sebagai
berikut: “Shalat mempunyai tiga sifat: 1) ikhlas, yang mendorong pelaku shalat
untuk berbuat baik; (2) rasa takut yang menghalangi pelaku shalat dari berbuat
jahat; dan (3) ingat akan Allah, yaitu Qur’an (yang dibaca waktu shalat) yang
mengandung perintah dan larangan Allah. Kesimpulannya: kita minta tolong
kepada Allah dengan melakukan kesabaran dan mendirikan shalat, dan shalat
adalah alat yang digunakan Tuhan untuk mencegah kita dari berbuat keji dan
mungkar.

12. Bacaan dan Doa Sebelum, Waktu


Sedang dan Sesudah Berwudhu’.

Pada halaman 64 dari buku Pelatihan Shalat Khusyu' diterangkan


proses wudhu’ dari segi spirituilnya, misalnya, memulai wudu’ dengan menbaca
bismillah, dan seterusnya. Tetapi penjelasan itu tidak mendetail, karena yang
dipentingkan sang penulis adalah membaca bismillah pada waktu mulai
beruwudu dan adanya getaran rasa tenang dan getaran kesambungan/ingat Allah
serta berdoa sesudah berwudu. Adapun detailnya adalah sebagai berikut:

a. Bacaan dan doa sebelum wudu’


Membaca bismillah, salah satu di antaranya sebb.:
1. (bismillāh), artinya, “dengan nama Allah”
48

2. (bismillāhir rah.mānir rah.īm), artinya, “dengan nama


Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. Menurut suatu
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad
s.a.w. bersabda,

)
… Rasulullah s.a.w. bersabda: “Setiap ucapan atau
perbuatan penting tidak dimulai dengan menyebut
[nama] Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung
maka ia terputus [kesempurnaannya]
(Musnad Ahmad, 17:397)
3. (bismillāhil ‘adzīm wal h.amdu lilāhi
‘alā dīnil islām), artinya, “atas nama Allah Yang Maha Agung dan pujian
untuk Allah atas agama Islam”. (Bacaan ini berdasarkan hadits Nabi riwyat
al-Tabrānī dari Abu Hurairah). Ada beberapa hadits Nabi tentang
pentingnya membaca h.amdalah (pujian kepada Allah Swt, yaitu al-hamdu
lillāh), antara lain sebagai berikut:

٥ ٦
… dari Abu Hurairah Pesuruh Allah s.a.w. bersabda:
“Setiap perbuatan penting tidak dimulai dengan pujian
[kepada Allah] akan terputus [kesempurnaannya].”
(Sunan Ibn Majah 6:5)
(Hadits yang isinya hampir sama diriwayatkan juga oleh
al-Nasā’ī dalam al-Sunan al- Kubrā, 6:127).

Menurut madzhab Hambali membaca bismillah sebelum berwudu’


adalah wajib berdasarkan atas hadits Nabi sebagai berikut:
49

٤
… dari Abu Hurairah Pesuruh Allah s.a.w. bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudu’, dan
Tidak ada wudu’ bagi orang yang tidak menyebut
Nama Allah Swt padanya.”
(Sunan Abu Da’ud, 1:141)

Menurut Rabī‘ah hadits tersebut di atas dimaksudkan bagi orang yang


berwudu’ tanpa niat. Para jumhur ulama berpendapat bahwa maksud hadits
diatas adalah wudu’ tanpa membaca bismillah menyebabkan wudu’ tidak
sempurna, bukan tidak sah.56
Hal yang sama adalah hadits Nabi yang mengatakan:

٤
… dari Abu Hurayrah, Pesuruh Allah bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga
dengan mesjid kecuali di mesjid.”
(Sunan al-Dāraqut.nī, 4: 239)

Maksudnya adalah tidak ada shalat yang lebih baik bagi orang yang
tinggal dekat mesjid kecuali di mesjid; sama halnya dengan ungkapan
(“tidak ada pemuda selain ‘Ali”), maksudnya adalah tidak ada pemuda sehebat
Ali, bukan berarti bahwa hanya Alilah yang pemuda.

Para fuqaha’ berpendapat bahwa membaca bismillah pada waktu


memulai berwudu’ hukumnya adalah sunnat berdasarkan hadits sebagai berikut:

56
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī, juz 1, hlm. 394
50

… dari Abu Hurayrah, Pesuruh Allah s.a.w.


bersabda:“Barangsiapa berwudu' dan menyebut
nama Allah, maka seluruh badannya menjadi bersih,
dan barangsiapa tidak menyebut nama Allah,
maka hanya anggota badannya yang kena
air wudu' yang menjadi bersih.”
(HR al-Dāraqut.nī)
(Hadits yang sama bunyinya diriwayatkan juga oleh al-Bayhaqī).57

b. Bacaan dan doa waktu sedang berwudu’


Bacaan dan doa waktu sedang berwudu’ tidak diketemukan dalam hadits
seperti yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi. Meskipun begitu
madzhab Hanafi dan Maliki menganggap terpuji membacanya, dan
sebagian ulama dari madhhab Syafi‘ī membolehkannya. Kita muat dalam
buku kecil ini bacaan dan doa tersebut dengan harapan membantu kita
dalam melakukan wudu’ dengan penuh kesadaran dan khidmat sebelum
melaksanakan shalat. Bagi yang susah membacanya dalam bahasa Arab
cukup dengan membaca artinya.
Adapun bacaan itu menurut al-Zuhaylī dan Buku Kegiatan Amaliyah
Ramadhan untuk SD/MI oleh Departement Agama Kantor Wilayah
Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2001 adalah sebagai berikkut:
1. Waktu memulai wudu’

“Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkanlah rumah-tanggaku,


Berkatilah rezekiku, puaskanlah hatiku dengan apa yang
Engkau telah rezkikan kepadaku, janganlah Engkau
mengujiku dengan [nikmat] yang Engkau tarik
kembali dariku”

57
Muhammad al-Ghazālī, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl
al- h.adīth, hlm. 65.
51

Doa ini dibaca oleh Nabi waktu mulai berwudu menurut riwayat al-
Tirmidzi dari Abu Hurairah.
2. Waktu membasuh telapak tangan

“Ya Allah, peliharalah tanganku dari segala


Kedurhakaan kepada-Mu

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Mah


Penyayang, Segala puji bagi Allah yang
menjadikan air itu bersih (suci).”
3. Pada saat berkumur-kumur atau membersihkan gigi:

“Ya Allah, bantulah aku dalam membaca Qur’an, berdzikir


(mengingat) kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan
beribadah dengan baik kepada-Mu.”

“Ya Allah, berikanlah kepadaku minuman dari


tempat air Nabi-Mu Muhammad s.a.w.
yang tidak ada dahaga sesudahnya.”
4. Pada waktu membersihkan lubang hidung/mengisap air

Ya Allah, karuniailah kepadaku dengan


(mencium) bau sorga dan hindarilah aku
dari (mencium) bau neraka.
5. Pada waktu mulai membasuh muka:

Ya Allah, putih bersihkanlah wajahku pada hari di mana


Engkah memutihkan dan menghitamkan wajah (manusia).
52

[Ket.: Doa ini berkenaan dengan ayat-ayat Qur’ān, sebagai berikut:

Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri,
dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang
yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan),
“Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena
itu rasakanlah azab yang disebabkan kekafiranmu itu.”
Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya,
maka mereka berada di dalam rahmat Allah
(surga); mereka kekal didalamnya.
(Q. 3:106-107)]

6. Pada waktu membasuh kedua tangan:


Waktu membasuh tangan kanan:

Ya Allah, berikanlah kitab catatanku dengan tangan


kananku dan perhitungkanlah aku dengan
perhitungan yang mudah.
[Ket.: Doa ini berkenaan dengan ayat al-Qur’ān, sebagai berikut:

Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah


kanannya,maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan
yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya
(yang sama-sama beriman) dengan gembira.
(Q. 84:7-9)]

Waktu membasuh tangan kiri:


53

Ya Allah, janganlah Engkau berikan kitab catatanku dengan


tangan kiriku dan janganlah dari belakang punggungku.
[Ket.: Doa ini berkenaan dengan ayat-ayat Qur’ān, sebagai berikut:

Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari


sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya
kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku
tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku.
(Q. 69: 25-26)

Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang,


maka dia akan berteriak, “Celakalah aku.” Dan dia akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
(Q. 84: 10-12)].
7. Pada saat mengusap kepala:

Ya Allah, haramkanlah rambutku dan


tubuhku disentuh api neraka.
8. Pada waktu menyapu kedua telinga:
َ
Ya Allah, jadikanlah aku dari orang-orang yang
mendengarkan firman-Mu dan mengikutinya
dengan sebaik-baiknya.
[Ket.: Doa ini berkenaan dengan ayat Qur’ān, sebagai berikut:
54

Dan orang-orang yang menjauhi thaghut


(yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada
Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah
berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya
[yaitu ajaran al-Qur’ān]. Mereka itulah orang-orang
yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.
(Q. 39:17-18)]
9. Pada saat membasuh kedua kaki:

Ya Allah, tetapkanlah kakiku di atas jalan yang


benar pada hari kaki tergelincir.
[Ket.: Doa ini berkenaan dengan ayat Qur’ān, sebagai berikut:

Tatkala mereka nampak oleh


Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut
dan tentaranya) berdo’a: “Ya Tuhan kami,
tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan
kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah
kami terhadap orang-orang kafir.”
(Q. 2:250).
)Doa ini dibaca oleh T.ālūt dan tentaranya ketika melihat Jālūt dan
tentaranya, dan doa mereka terkabul dan menang dalam peperangan antara
kedua bala tentara itu(.

Tidak ada do’a mereka selain ucapan:


“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami
55

dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan


dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami,
dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
(Q. 3:147)
(Doa ini dibaca oleh pengikut nabi-nabi terdahulu
dalam menghadapi musuh-musuh mereka)].

[Kata s.irāt. arti asalnya adalah “jalan” seperti yang diterjemahkan di


atas. Artinya yang lain adalah titian yang terbentang di atas neraka yang
harus ditempuh oleh setiap orang pada Hari Kiamat. Banyak hadits
menyebutkan hal itu. Orang yang pertama akan menempuhnya adalah Nabi
Muhammad s.a.w., dan ummat yang pertama akan menempuhnya adalah
ummat beliau, ummat Islam.58 Doa di atas dimaksudkan agar kaki kita
tetap di atas titian itu dan jangan sampai tergelincir dan jatuh kedalam
neraka].
Dengan membaca dan menghayati bacaan doa-doa tersebut di atas,
sekalipun terjemahannya saja, diharapkan akan menimbulkan atau
menambah kekhusyu‘an kita dalam shalat.

c. Bacaan dan doa sesudah berwudu’

“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah Yang Maha
Esa, tidak ada sekutu bagi-NYa, dan saya bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba-Nya dan pesuruh-Nya.”

Membaca syahadat ini menurut hadits riwayat Muslim, Abu Da’ud dan
Ibnu Majah dari ‘Umar bahwa Nabi s.a.w. bersabda bahwa barangsiapa
membacanya sesudah berwudu’ dengan sempurna, Allah akan membuka
pintu sorga yang delapan itu untuk dimasukinya menurut pilihannya.

58
Bukhari, Sahih Bukhari, juz3, hlm.287, dan juz 22, hlm. 447; Muslim, Sahih Muslim,
juz 1, hlm. 425; Abu Da’ud, Sunan Abu Da’ud, juz 12, hlm. 370; Tirmidhi, Sunan al-
Tirmidhi, juz 10, hlm. 147; dan Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz 12, hlm. 334.
56

“Maha suci Engkau Ya Allah, dan pujian kepada-Mu saya


bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan selain Engkau, saya
binta ampun dan bertobat kepada-Mu. Ya Allah, jadikanlah
aku termasuk orang yang bertaubat dan jadikanlah
aku termasuk orang yang ber-suci.“
(H.R. Ahmad dan Abu Da’ud)59

13. Apakah Kita Harus Menghilangkan


Rasa Takut dalam Mengerjakan Shalat?

Dalam buku Pelatihan Shalat Khusyu' disebutkan:

Ubahlah pikiran lama kita tentang rasa takut kepada Allah,


tetapi jadikanlah shalat sebagai sarana berkomunikasi yang
akrab, santai dan nyaman, sebagaimana orang-orang
melakukan yoga untuk mencari ketenangan
dan kedamaian jiwa.60
Kalau kita merubah pikiran lama tentang persaan takut kepada Allah
saat shalat, berarti kita menghilangkannya dan menggantinya dengan yang lain,
yaitu dengan menjadikan shalat sebagai sarana berkomunikasi yang akrab
(dengan Tuhan), santai dan nyaman, berarti kita menghilangkan perasaan yang
seharusnya ada waktu shalat seperti yang disebutkan dalam Tafsir Ibn Katsir di
atas perihal tiga sifat dalam shalat: ikhlas, rasa takut dan ingat pada Allah.
Tidak usah jauh jauh! Menghadap penguasa saja, seperti presiden, kita tidak
santai dan releks, takut kalau ada kesalahan dalam perkataan, perbuatan, gerak
gerik, dan lain-lain. Apalagi menghadap Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta
langit dan bumi dan segala makhluknya, dapatkah kita releks dan santai?

59
Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī, juz 1, hlm. 408-409; Buku Kegiatan Amaliyah Ramadhan,
hlm. 3-5.
60
Pelatihan Shalat Khusyu', hlm. 66.
57

Sahabat Nabi sendiri, yaitu ayah dari Mut.arrif menyaksikan Nabi menangis
waktu sedang shalat, seperti yang disampaikannya dalam hadits di bawah ini:

…dari Mutarrif, dari ayahnya ia berkata,”Saya melihat


Rasulullah s.a.w. sedang shalat dan ada desis di dada beliau,
seperti desis penggilingan tangan dari tangis beliau s.a.w.”
(HR Abū Da’ūd)

...dari Mutarrif dari ayahnya ia berkata“Saya datangi Nabi


s.a.w. waktu beliau sedang shalat dan di dada beliau ada desis
seperti desis cerek (yang mendidih) dari tangis beliau.“
(HR al-Nasā’ī)
Apakah Nabi waktu menangis dalam shalat juga releks dan santai? Ada
seorang famili saya, pensiunan Departement Agama, yang shalat jamaahnya
hampir tidak putus, termasuk shalat Subuh, pernah saya dengar menangis
waktu sedang shalat Tahajjud. Begitu pun yang terjadi pada AG (Anre Gurutta,
lit.“guru besar kita”, seperti gelar “kyai” di Jawa) H. Muhammad As‘ad (1907-
1952), pendiri pesantren al-Madrasah al-‘Arabiyah al-Islamiyah (MAI) di
Sengkang (Sulawesi Selatan), yang kemudian setelah beliau wafat diganti
namanya menjadi al-Madrasah al-As‘adiyah (MA). Setiap beliau mengimani
shalat jamaah di mesjid, saat membaca takbiratul ihram (Allahu Akbar), tangan
dan kepala beliau selalu gemetar. Ini saya saksikan sendiri berkali-kali antara
tahun 1951dan 1952 , karena saya kerap menjadi ma’mum beliau sebelum saya
belajar di pesantren al-Madrasah al-As‘adiyah.
58

AGH. Muhammad As‘ad lahir di Mekkah, kemudian datang ke


Sulawesi Selatan pada tahun 1928. Beliau adalah seorang h.āfiz. (hafal Qur’an)
dan guru dari para ulama terkemuka di Sulawesi Selatan. di antara murid beliau
yang terkenal yaitu: (a) AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle (1900-1996) - belajar
pada beliau selama 6 tahun (1930-1935) - adalah pendiri pesantren Madrasah
Tarbiyah Islamiyah di Mangkoso tahun 1938 (Kab. Barru), pesantren DDI
(Darud Da’wah wal-Irsyad) di Ujung Lare tahun 1957 (Kab. Pare-Pare),
pesantren Manāhil al-‘Ulūm di Kaballang tahun 1978 (Kab. Pinrang), dan
lembaga pendidikan Islam DDI pada tahun 1947. Pada tahun 1955-1963, AGH.
Abd. Rahman Ambo Dalle pernah diculik oleh DI/TII; (b) AGH. Daud Ismail
(1908-2006) - belajar pada beliau selama 12 tahun (1930-1942) - adalah pendiri
Yayasan Perguruan Islam Beowe pada tahun 1961 di Beowe (Kab. Soppeng);
dan (c) AGH. Muhammad Yunus Martan (1914-1986) - belajar pada beliau
selama 9 tahun (1935-1944) - yang lantas menjadi tenaga pengajar di MAI, dan
menjadi pemimpin tunggal Perguruan As’adiyah pada tahun 1961; putra beliau
AGH. M. Rafii Yunus Martan, M.A. Ph.D. (l. 1941), yang pada tahun 2007
masih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar As‘adiyah yang menangani al-
Madrasah al-As‘adiyah sampai sekitar bulan Oktober 2012.61
Tentu saja, kekhususan AGH Muhammad As’ad dalah shalat
sebagaimana disebut di atas merupakan teladan dari seorang ulama besar,
pewaris ajaran Nabi s.a.w., yang sedapat mungkin perlu kita tiru. Menurut
‘Abdullah ibn ‘Abbās kata khusyu’ yang berarti “gemetar” adalah dalam bahasa
kabilah Tamīm.62
Terus terang, saya sendiri tidak dapat releks dan santai dalam
melakukan ibadah shalat menghadap Tuhan, apalagi menjadi imam dalam shalat
berjemaah. Kalau di luar shalat, tatkala membaca doa, misalnya, saya dapat
melakukannya dengan tenang. Apabila menghadap duta besar di kantornya,
setelah mengisi buku tamu dan diantar kekamar duta besar tersebut, saya tidak
dapat releks, tetapi kalau bertemu dengan beliau diluar kantor sekaligus bukan
jam kantor, santai saja, karena pertemuan itu tidak resmi. Apalagi menghadap
Allah diwaktu shalat. Kesimpulannya: menghadap Allah dalam shalat, perasaan

61
Faried F. Saenong, “In Search of Barakka’ and Authenticity” hlm. 10-11; H.
Muhammad Ruslan, M.A. ed. et al., Ulama Sulawesi Selatan, hlm. 19-22; 140-141;
248-256; 259-260; 320-324.
62
Ibn ‘Abbās, Kitāb Gharīb al-Qur’ā n, hlm. 64.
59

takut dan kuatir itu ada, bukan seperti menghadapi sahabat kental di mana kita
dapat releks dan santai - tapi hati-hati juga, jangan sampai salah ngomong dan
melukai perasaannya. Suatu lolucon bahasa Arab yang isinya mengagumi
seseorang, setelah saya terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ternyata
dianggap menghina.
Perlu saya sampaikan di sini suatu kejadian luar biasa seputar shalat.
Pada malam kedelapan bulan Ramadhan (tahunnya tidak disebutkan), Perdana
Menteri Palestina, Isma‘il Haniyyah, menjadi imam dalam shalat tarawih di
Mesjid bagian Barat di perkemahan pantai di bagian barat kota Ghaza. Kala itu,
kota Ghaza sudah setahun lebih diblokade Israel. Dalam shalatnya, beliau
membaca surah al-A‘rāf (7), lalu sampai pada ayat 128 dan 129, yang bunyinya
sebb.:

Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan


kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan
Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-
hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.” Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh Fir’aun)
sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang.”
Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan
musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi-(Nya),
maka Allah akan melihat bagaimana perbuataanmu.”
(Q. 7: 128-129).

Saat itulah, sang Perdana Menteri menangis, diikuti para makmum.


Bacaan al-Qur’ān itu menceritakan kaum Musa yang ditindas oleh Fir‘aun. Dan
justru kini, ironisnya, kaum Nabi Musa itulah yang menindas orang Islam di
Ghaza dengan memblokade kota itu.
Lantas bagaimana dengan shalat yang dikatakan oleh Nabi adalah
tempat beliau beristirahat? Maksudnya, dengan konsentrasi mengabdi kepada
Allah dalam shalat, beliau beristirahat dari dan melupakan masalah-masalah
60

yang dihadapi di luar shalat. Ini berarti, beliau tidak membawa-bawa masalah
di luar shalat pada waktu shalat, apalagi menunggu solusi masalah tersebut dari
Allah pada waktu duduk iftirasy.
Nah, pada konteks inilah Abu Sangkan, penulis Pelatihan Shalat
Khusyu', mengajarkan kepada kita bahwa shalat mirip dengan yoga, untuk
mencari ketenangan dan kedamaian.

14. Apakah Yoga itu?

Apakah Yoga itu? Yoga berasal dari bahasa Sanskerta yang kata kerjanya
adalah yuj, yang artinya “mengontrol” (to control), “memasang kuk (to yoke)”,
dan “menyatukan” (to unite). Dikatakan bahwa yoga mempunyai 38 arti, antara
lain, “penggabungan” (joining), “penyatuan”, “kesatuan” (uniting, union), dan
“cara” (mode, manner, means).Yoga berkenaan dengan disiplin mental dan
fisik yang berasal dari India. Orang yang mempraktekkan yoga dinamakan
yogi. (Yogi perempuan dinamakan yogini).
Menurut The New Hutchinson 20th Century Encyclopedia (1980),
Yoga (Sanskrit, union). A system of Hindu philosophy,
characterized by belief in personal deity with whom it is possible
to attain mystical and ecstatic union by the practice of hypnosis and
complicated and prolonged system of mortification of the senses, e.g.,
by abstract meditation, induced apathy, rigidity of posture, ascetic
practices, concentration of mind on one particular point, etc….
Yoga (bah. Sanskerta, penyatuan): Suatu system filsafat Hindu,
yang cirinya adalah kepercayaan kepada dewa peribadi yang
dengannya dapat dicapai penyatuan secara mistik dan estatik
melalui praktek hipnotis dan sistem yang rumit dan panjang
dalam membunuh perasaan, misalnya dengan meditasi
yang abstrak, kelesuan yang dirangsang, postur (sikap
badan) yang kaku, praktek asetik (pertapa), konsentrasi
pikiran pada suatu point (titik), dan sterusnya...

The Hutchinson Softback Encyclopedia (1991), menerangkan yoga lebih


mendetail, sebagai berikut:
61

Yoga (Sanskrit, union) Hindu philosophic system attributed to


Patanjali,
who lived about 150 BC at Gonda, Uttar Pradesh, India. He preached
mystical union with a personal deity by the practice of self-hypnosis
and a rising above the senses by abstract meditation, adoption of
special postures, and ascetic practices. As practised in the West, yoga
is more a system of induced relaxation and mental and physical
exercises.Yoga (bah. Sanskerta, penyatuan) adalah suatu system
filsafat Hindu yang dihubungkan dengan Patanjali, yang hidup kira-
kira pada tahun 150 sebelum Masehi di Gonda, Uttar Pradesh, India.
Ia mengajarkan penyatuan secara mistik dengan seorang dewa
pribadi dengan praktek menghipnotis diri (self-hypnotis) dan
mengangkat diri di atas perasaan dengan cara meditasi yang
abstrak, melakukan sikap badan yang tertentu, dan praktek-
prtaktek pertapa. Seperti yang dipraktekkan di dunia Barat,
yoga lebih (mengarah kepada) suatu system relaksasi yang
dirangsang dan latihan-latihan mental dan fisik.

Patanjali dikatakan memberi definisi tentang yoga sebagai citta-vritti-


nirodha, “suppression of the fluctiations of the mind,” “penekanan dari
fluktuasi (ketidak-tetapan) pikiran.”63 Ia dianggap sebagai pendiri filsafat yoga
secara formal. Yoga yang menjadi ajarannya adalah Raja Yoga, salah satu
cabang dari yoga, yaitu suatu sistem mental untuk mengontrol pikiran. Cabang
yoga yang lain adalah Dharma Yoga (yoga amalan, berbuat baik tanpa
mengharapkan imbalan), Jnana Yoga, (yoga pengetahuan), Bhakti Yoga (yoga
ibadah, penyembahan terhadap dewa perseorangan), dan Hatha Yoga (yoga
pembersihan pikiran, dan pembersihan energi yang vital, “yoga of purification
of mind, i.e., ha, and of prana - the masculine vital energi, - i.e., tha”). Karena
istilah hatha yoga ini lebih bersifat jalan spiritual, maka diperdebatkan apakah
yoga ini masih bersifat latihan badan (exercise). Tetapi di Barat, yoga ini
terkenal sebagai suatu aturan hidup latihan jasmani semata-mata, dan telah
memisahkan diri dari tujuan asalnya.64
Orang Hindu percaya bahwa salah satu jalan untuk mendekatkan diri
ke Moksha dan membersihkan diri dari dosa adalah mandi di Sungai Ganga

63
Stephen Cross, The Elements of Hinduism, hlm. 51.
64
http://www.wikipedia.org/wiki/Yoga.
62

yang suci dan meminum airnya.65 Adapun jalan kecil yang dapat ditempuh
oleh orang Hindu untuk mencapai Moksha (surga) ada empat, yaitu:
1. The Path of Love/Devotion, yaitu cinta dan pengabdian dengan memilih
dewa atau dewi tertentu, lalu mempersembahkan hidup untuk
menyembahnya; dewa atau dewi yang disembah inilah sesuatu yang
paling penting baginya.
2. The Path of Knowledge, yaitu pengetahuan dengan mempelajari agama
Hindu dengan saksama dari seorang guru sebagai penunjuk jalan.
3. The Path of Right Action/Doing Your Best, yaitu perbuatan yang benar
(amal saleh), melakukan kewajiban (dharma) dengan sebaik-baiknya
tanpa mengharapkan imbalan. Banyak orang Hindu menganggap bahwa
jalan inilah yang paling baik untuk orang biasa.
4. The Path of Yoga/Meditation, yaitu Anda memusatkan pikiran sekuat-
kuatnya, sehingga Anda melupakan segala sesuatu di sekeliling Anda.
Jalan ini hanya dapat dilakukan apabila pikiran Anda bebas dari
pekerjaan, rumah, atau keluarga dan lain-lain yang dapat Anda
kuatirkan.66
Dalam agama Islam dikatakan bahwa orang yang mendekatkan diri
kepada Allah, Allah juga lebih mendekatkan diri kepadanya, seperti dalam
hadits sebagai berikut:

65
Anita Ganeri, What do we know about Hinduism, hlm. 14.
66
Sue Penney, Hinduism, hlm. 24-25; Anita Ganeri, What do we know about Hinduism,
hlm. 14, 15.
63

... dari Abu Hurayrah


Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Allah Azza wa Jalla berfirman:
‘Aku menurut persangkaan hamba-Ku,
dan Aku bersamanya ketika ia ingat kepada-Ku
(menyebut nama-Ku); kalau ia ingat kepada-Ku (menyebut
nama-Ku) pada dirinya sendiri, maka Aku ingat kepadanya
(menyebut namanya) pada diri-Ku, kalau ia ingat kepada-Ku
(menyebut nama-Ku) pada khalayak ramai, maka Aku
ingat kpadanya (menyebut namanya) pada khalayak
ramai yang lebih baik; apabila ia mendekat kepada-
Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya se-
hasta, apabila ia mendekat kepada-Ku sehasta,
maka Aku mendekat kepadanya sedepa,
dan apabila ia datang kepada-Ku
berjalan kaki, maka Aku datang
kepadanya berjalan cepat.’”67
(HR al-Tirmidhi)
Ahli tafsir menafsirkan hadits qudsi ini bahwa barangsiapa
mendekatkan diri kepada Allah dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya, maka Ia cepat-cepat akan melimpahkan ampunan dan rahmat-
Nya kepadanya. Sa‘īd ibn Jubayr (w. 714), salah seorang ahli fikih dari tabi‘īn
(generasi sesudah sahabat), dalam menafsirkan ayat
“Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu…”
(Q. 2:152) mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah “Ingatlah kepada-
Ku dengan mematuhi perintah-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu dengan
ampunan-Ku.”68

67
Sunan al-Tirmidī, juz 12, hlm. 33
68
Tirmidhī, Sunan al-Tirmidhī, juz 12, hlm. 33
64

Dalam agama Kristen disebutkan dalam Perjanjian Lama bahwa orang


yang mencari Tuhan akan menemukan-Nya, sebagai berikut:

Dan baru di-sana


engkau mencari TUHAN,
Allahmu, dan menemukanNya,
asal engkau menanyakan Dia dengan
segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu.
(Ulangan 4:29)

Dalam Perjanjian Baru disebutkan,

Mintalah, maka
akan diberikan kepadamu;
carilah, maka kamu akan mendapat;
ketoklah, maka pintu akan
dibukakan bagimu.
(Matius 7:7)

Yoga diperkenalkan kepada masyarakat Amerika pada akhir abad ke 19


oleh Swami Vivekananda, pendiri Vedanta Society. Diperkirakan bahwa ada 30
juta orang Amerika dan 5 juta orang Eropa yang melakukan semacam hatha
yoga, tetapi dinegeri asalnya di anak/bagian benua India (Indian subcontinent)
masih dipraktekkan sesuai dengan tradisi asalnya. Yoga dikatakan
menenangkan sistem saraf dan membuat keseimbangan antara badan (body),
pikiran (mind) dan ruh (spirit). Pelaksana yoga menganggap, yoga menghalangi
datangnya penyakit tertentu dengan membiarkan enerji pada titik yang paling
tinggi terbuka dan enerji kehidupan (prana) mengalir. Yoga ini biasanya
dilakukan sekali seminggu dalam waktu kira-kira 45 menit dalam suatu kelas.
Yoga telah digunakan untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi stres dan
memperbaiki koordinasi, fleksibilitas, konsentrasi, tidur dan pencernaan.
Menurut Gary Craftsow, penulis Yoga for Transformation, banyak posisi yoga
yang tidak cocok untuk setiap orang. Loren Fishman, M.D., Assisten Professor
klinik dari ilmu kedokteran Universitas Columbia di kota New York berkata:

Yoga is marketed as such an innocuous thing.


65

But without care, injuries can absolutely happen.


Yoga dipasarkan sebagai suatu hal yang tidak
berbahaya. Tetapi tanpa berhati-hati
cedera benar-benar dapat terjadi.

Akhir-akhir ini dilaporkan semakin banyak cedera terjadi sebagai akibat dari
yoga. Karena itu orang harus berhati-hati.69
Dengan kata lain, yoga pada asalnya adalah suatu usaha untuk
menyatukan diri dengan dewa dalam agama Hindu. Caranya: menghipnotis diri
dan menghilangkan perasaan dengan meditasi, sikap badan tertentu dan
bertapa. Di Barat yang tidak beragama Hindu, usaha untuk menyatu dengan
seorang dewa ditiadakan, dan yoga dijadikan sebagai suatu sistem relaksasi
dan latihan mental serta fisik untuk mencapai ketenangan jiwa. Inilah yang
dimaksud oleh Abu Sangkan dalam bukunya tersebut, yaitu orang Islam
memperoleh relaksasi dengan shalat, sebagaimana orang Barat mendapat
relaksasi dengan yoga.
Oleh karena kata “yoga” pada asalnya berarti “penyatuan dengan
dewa”, dan mengandung elemen spiritual dari agama Hindu, pada tahun 2008
di Malaysia yang agama resminya Islam dan di Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, majlis ulamanya melarang praktek yoga
tersebut untuk orang Islam. Pada hari Minggu, 25 Januari 2009, kira-kira 700
orang ulama bertemu di Padang Panjang mengeluarkan fatwa bahwa praktek
yoga itu haram bagi orang Islam disebabkan oleh elemen agama Hindu pada
yoga itu. Ulama di Mesir dan Singapura juga melarangnya dengan alasan yang
serupa. Fatwa ini ditentang oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Abdullah
Badawi, yang menganggap bahwa fatwa itu keterlaluan; orang Islam dapat
melakukan yoga asal tidak membaca mantera yang ada hubungnnya dengan
ritual Hindu.70
Demikian pula pendapat ulama di India, termasuk ulama dari Darul
Ulum di Deoband. Mereka berpendapat bahwa tidak ada larangan bagi ummat
Islam untuk melakukan yoga. Adapun nyanyian mantra seperti om yang

69
http://en.wikipedia.org/wiki/Yoga_as_exercise_or_alternative_med...
70
http://www.guardian.co.uk /commentisfree/belief/2009/jan/27/istan
66

mempunyai konotasi agama tidak perlu dalam yoga, dan orang Islam dapat
menggantinya dengan membaca ayat-ayat Qur’ān atau hal-hal yang
berhubungan dengan Allah. Maulana Abdul Khaliq Madrasi, utusan wakil
Rektor Darul Ulum, menyampaikan kepada harian The Indian Express, sebagai
berikut:
Yoga is a form of exercise. If some words,
which are supposed to be chanted while performing
it, have religious connotations, the Muslims need not
utter those. They can instead recite verses from
the Quran or praise Allah or remain silent.

Yoga adalah semacam latihan. Jika


beberapa kata yang seharusnya dinyanyikan
mempunyai konotasi agama, orang-orang Islam tidak
perlu mengucapkannya. Sebagai gantinya mereka
dapat membaca ayat-ayat dari al-Qur’ān
atau memuji Allah atau tinggal diam.71

Senada dengan itu, di Indonesia, yoga yang banyak dilakukan


adalah yoga therapy sebagai obat alternatif untuk bermacam-macam penyakit,
mulai dari sakit kepala sampai kanker, seperti penyakit gula, kegemukan,
tekanan darah tinggi, sakit punggung, depressi, asma, dan lain-lain.
Lalu, mengapa majelis ulama di Malaysia dan Indonesia mengeluarkan
fatwa melarangnya untuk orang-orang Islam? Bukankan yoga bermanfaat
untuk kesehatan sebagai suatu latihan jasmani dan rohani? Fatwa ini adalah
suatu tindakan prefentif, agar supaya orang Islam tidak terjebak ke dalam ritual
agama Hindu. Tidak semua yoga untuk semua orang. Ada sikap tubuh yang
tidak mudah dipraktekkan, dan ada keyakinan yang tidak harus diyakini oleh
orang Islam, misalnya adanya mantra, mungkin tidak diharuskan membacanya,
tapi mungkin direkomendasikan, dan mungkin saja dikatakan asal dibaca, tidak
perlu diketahui artinya, supaya yoga yang dipraktekkan itu sempurna, “satu
paket” yang tidak boleh dipisahkan. Bagi orng yang tidak hati-hati dapat saja
terjebak. Apa sih susahnya mengatakan om?

71
http://www.indianexpress.com/news/deoband-intervenes-muslims...
67

Dalam suatu hadits disebutkan:

…dari ‘Āmir ia berkata: “Saya dengar


al-Nu‘mān bin Bashīr berkata: ‘Saya dengar
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Halal itu jelas dan
haram itu jelas, dan di antaranya ada hal-hal yang
diragukan, tidak diketahui orang banyak. Barangsiapa
memelihara diri dari hal-hal yang diragukan itu maka ia telah
membebaskan dirinya (dari berbuat dosa) untuk agamanya dan
nama baiknya, dan barangsiapa yang jatuh pada syubhat (hal-hal
yang diragukan), maka (keadaannya) seperti seorang penggembala
yang menggembala di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir ter-
pelosok ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai
daerah terlarang, dan ketahuilah daerah terlarang Allah di
bumi-Nya adalah larangan- larangan-Nya. Ketahuilah
bahwa sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal
daging, apabila ia sehat, maka seluruh tubuh
menjadi sehat,tapi apabila ia rusak,
maka seluruh tubuh menjadi rusak;
ketahuilah, itu adalah hati.”’”
(HR Bukhari dan Muslim)
Apakah yoga dan meditasi termasuk dalam hal yang diragukan ini?
Ribuan tahun yang silam, tatkala yoga masih belum berkembang, praktek yang
mula-mula dilakukan adalah meditasi, yaitu memusatkan pikiran. Dengan
memusatkan pikiran orang-orang zaman dahulu dapat menemukan cara baru
68

untuk mendapat inspirasi. Mereka menemukan bahwa dengan melakukan


relaksasi sendiri secara sadar, dan mengalami kesadaran sendiri secara nyata
serta dengan mendengarkan secara mental dalam hati tanpa memikirkan
suasana sekarang sedapat mungkin, mereka dapat mengalami sifat yang lebih
mendalam dari Kesadaran itu. Mereka menemukan bahwa cara yang paling
langsung untuk mengalami secara langsung arti Tuhan dan Diri Sendiri adalah
dengan meditasi. Sikap badan yang diketemukan kemudian adalah saluran
untuk mencapai pikiran meditasi yang terarah.72
Meditasi merupakan cara untuk menjalin secara sadar hubungan dan
ikatan erat antara Anda dengan Pikiran yang tak Terbatas (Infinite Mind).
Hasilnya, hubungan non-verbal dengannya dalam bentuk ilham secara spontan
sesuai dengan keadaan di mana Anda menemukan diri sendiri. Yoga yang
artinya “penyatuan” (union, joining), adalah usaha untuk menyatukan pikiran
Anda yang spesifik dengan Pikiran yang tak Terbatas dengan mendengarkan
untuk memperoleh petunjuk, sehingga Anda mengalami penyatuan Anda
dengan Yang tak Terbatas itu. Dengan demikian, Anda akan menyadari hanya
satu Pikiran yang menyatakan dirinya sebagai Anda sendiri. Inilah meditasi
dalam agama Hindu secara singkat.73 Adapun di negeri Barat meditasi telah
banyak menolong orang-orang yang menderita bermacam-macam penyakit,
seperti meredakan stress, tekanan darah tinggi dan suatu proses perbaikan
spiritual.74
Menurut Neville Drury, sudah menjadi kesalah-fahaman yang umum
bahwa meditasi adalah semacam introversi yang passif, suatu bentuk
pemusatan pikiran terhadap diri sendiri yang aman tetapi tidak memberi effek.
Meditasi sebenarnya lain dari itu, karena sebagai suatu tehnik untuk
mengontrol pikiran, ia mempunyai faedah yang positif terhadap kesehatan.
Orang-orang yang mempraktekkan meditasi secara sistematik dan teratur
percaya bahwa meditasi menambah ketenangan diri, meningkatkan efisiensi
dalam bekerja serta mengurangi ketegangan mental dan emosi yang negatif.
Dengan begitu, banyak penyakit yang berhubungan dengan stress dapat

72
Erich Schiffman, Yoga, hlm. 305.
73
Erich Schiffman, Yoga, hlm. 305.
74
Kenneth R. Pelletier, Mind as Healer, Mind as Slayer, hlm. 197-8; 217; 224.
69

dihilangkan atau dikurangi melalui meditasi, termasuk pening kepala, tekanan


darah tinggi dan kejang waktu menstruasi.75
Namun, sangat mungkin bahwa yoga dan meditasi termasuk dalam
kategori syubhat (diragukan), mengingat adanya elemen-elemen agama Hindu
itu. Ada suatu kaedah fikih yang mengatakan,

Menghindari kemudharatan lebih diutamakan


dari pada menarik kemaslahatan.

Kita mengejar manfaat dari yoga, tetapi kita juga berusaha untuk
menghindari segi negatifnya seperti membaca mantranya atau melakukan sikap
badan yang mungkin membahayakan, semisal jungkir-balik. Apabila terasa ada
keraguan, lebih baik ditinggalkan, karena ada lagi kaedah usul fikih yang
mengatakan:

Tinggalkanlah yang meragukanmu


kepada yang tidak meragukanmu.

Tujuan yang dicita-citakan oleh para yogi bermacam-macam dan


bertingkat-tingkat, mulai dari memperoleh perbaikan kesehatan jasmani dan
relaksasi. Bagi mereka yang tidak beragama Hindu, cita-cita mereka berhenti
sampai di sini saja. Bagi mereka yang beragama Hindu dan bermazhab Advita
Vedanta dan Shivaism (Syiwaisme), cita-cita mereka adalah untuk mancapai
Moksha (Moksya, surganya orang Hindu) tempat manusia lepas dari
penderitaan di dunia dan lingkaran (siklus) lahir dan mati yang disebut
samsara. Kata samsara secara harfiyah berarti “a passage through a
succession of states” (suatu jalan lintasan melalui rangkaian keadaan). Pada
tahap ini identitas dengan “Brahmana yang Maha Agung” direalisasikan.
Dalam kitab Mahabharata disebutkan, tujuan yoga adalah untuk memasuki
alam Brahman atau Atman (Tuhan Yang Satu) yang meliputi segala sesuatu.
Bagi penganut madzhab bhakti Vishnuisme (Wisynuisme), cit-cita mereka

75
Drury, The Healing Power, p. 110.
70

adalah untuk menikmati hubungan yang kekal dengan Vishnu (Wisynu), yaitu
dewa yang memelihara alam.76
Agama Islam tidak mengenal lingkaran lahir dan mati (samsara), juga
tidak mengenal reinkarnasi yang terdapat dalam agama Hindu dan Buddha,
yaitu perpindahan roh orang mati kepada tubuh lain, tergantung keadaannya
pada waktu hidup di dunia; orang jahat, misalnya, dapat lahir kembali sebagai
binatang. Sebagai contoh, ada suatu cerita bahwa ada seorang janda bermimpi
berbicara dengan suaminya dan menanyakan keadaannya. Si suami menjawab:
“Pemandangan indah sekali!”
“Tentu enak tinggal di surga,” kata janda itu.
“Siapa bilang saya di surga?” kata sang suami, “saya adalah seekor
sapi jantan di padang rumput Montana.”
Orang yang meninggal dunia menurut agama Islam tidak akan kembali
lagi ke dunia ini, tetapi ruhnya tinggal di alam kubur yang disebut alam
barzakh, sambil menunggu datangnya Hari Kiamat. Karena itu, tidak ada
second chance kembali ke dunia untuk berbuat baik bagi orang yang sudah
meninggal. Allah berfirman:

(Demikianlah keadaan
orang-orangkafir itu), hingga apabila
datang kematian kepada seseorang dari
mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah
aku (kedunia), agar aku berbuat amal yang saleh
terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali
tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan
yang diucapkannya saja. Dan dihadapan
mereka ada dinding sampai hari

76
http://e.wikipedia.org/wiki/Hinduism.
71

mereka dibangkitkan.
(Q. 23:99-100)

Orang kafir diwaktu menghadapi sakratul maut meminta kepada Allah


untuk ditunda kematiannya dan diperpanjang umurnya agar ia dapat beriman
dan berbuat baik di dunia, tetapi Allah menolak permintaannya. Ia sekarang
menghadapi kehidupan yang baru di alam kubur yang membatasi antara dunia
dan akhirat. Ini keadaan orang kafir yang menghadapi maut, permintaannya
untuk kembali ke dunia ditolak, apalagi kalau sudah pindah ke alam kubur,
alam barzakh (lit. “dinding, pemisah”, bahasa Ingggris “barrier, partition,
dividing space”) yang memisahkan antara alam dunia dan alam akhirat. Ini
adalah salah-satu perbedaan yang menyolok antara agama Islam dan agama
Hindu, di mana dalam agama Hindu ada kesempatan untuk kembali ke dunia
guna memperbaiki kesalahan, sekalipun menderita dan sengsara dalam
samsara. Jika agama Hindu yang benar, kita masih diberi kesempatan kembali
ke dunia untuk menjadi orang baik. Sementara jika agama Islam yang benar,
tidak ada lagi kesempatan itu, dan tinggal penyesalan di akhirat kelak. Risiko
tidak beriman atau meninggalkan agama Islam jauh lebih berat.
Kalau dikatakan ayat Qur‘ān di atas berkenaan dengan permintaan
orang kafir untuk penundaan kematian - bukan permintaan untuk hidup
kembali ke dunia sesudah mati - maka hadits di bawah ini mengenai orang
yang beriman yang sudah mati:
72

...T.alh.ah ibn H.arrāsh berkata:


“Saya dengar Jābir ibn ‘Abdullah berkata:
‘Pesuruh Allah s.a.w. melihat kepadaku dan berkata:
“Mengapa engkau tampak gelisah?” Saya berkata:
“O Pesuruh Allah, ayahku terbunuh dan meninggalkan utang
dan tanggungan keluarga”. Maka beliau berkata: “Maukah engkau
kuberitahu? Allah sama sekali tidak pernah berbicara kepada se-
seorang melainkan di belakang tirai, dan sesungguhnya Dia telah
berbicara kepada ayahmu secara langsung, dan berfirman:
‘O hambaku, mintalah Kuberi,’ maka ia berkata: ‘Kuminta
agar saya dikembalikan ke dunia agar saya gugur lagi
untuk-Mu,’ maka Allah berfirman, ‘Telah Kuputuskan
bahwa mereka (orang yang sudah mati) tidak akan
kembali (ke dunia).’ Ia berkata: ‘O Tuhanku, beri-
tahukanlah (keadaanku) kepada orang-orang
yang kutinggalkan’, maka turunlah ayat:

Ayat tersebut lengkapnya sebagai berikut:

Janganlah kamu mengira


bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah itu mati: bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rezki, mereka dalam keadaan gembira disebabkan
karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang
73

hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum


menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati
dengan ni’mat dan karunia yang besar dari Allah, dan
bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang beriman.
(Q. 3:169-171)

Ayat di atas menunjukkan pahala orang yang mati syahid dalam


membela agama Islam, mereka menikmati hidup dalam alam barzakh. Pada
ayat lain disebutkan penyesalan orang-orang kafir di akhirat dan dengan sia-sia
meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia untuk beramal baik,
sebagai berikut:

Dan (alangkah ngerinya),


jika sekiranya kamu melihat ketika
orang-orang yang berdosa itu menundukkan
kepalanya di hadapan Tuhannya, (maka mereka
berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat
dan mendengar, maka kembalikanlah kami
(ke dunia), kami akan mengerjakan amal
saleh, sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang yakin.”
(Q. 32:12)

Jika kita bandingkan antara shalatnya orang Islam dengan yoganya


orang Hindu, ternyata ada persamaan. Kalau dalam yoga dapat dicapai
relaksasi dan kesehatan yang terpelihara, shalat adalah salah satu cara untuk
mengingat Allah yang disebut dhikrullah yang dapat menimbulkan ketenangan
jiwa, dan tidak terombang-ambing oleh gelombang kehidupan. Orang Islam
yang ta’at dalam ibadahnya, termasuk shalat akan dijanjikan kepadanya surga
74

dan bertemu dengan Allah. Drury mengatakan, dalam menghadapi hidup


secara meditatif tidak terbatas kepada suatu aliran kepercayaan atau agama
tertentu, karena secara historis, meditasi dalam bentuk yang berbeda-beda
terdapat dalam agama Hindu, Buddha, Kristen dan praktek orang-orang Sufi.77
Mengenai faedah shalat dari segi kesehatan, seorang ahli kedokteran
Timur dan akupunktur bernama Prof. Dr H.M. Hembing Wijayakusuma dalam
bukunya, Hikmah Shalat untuk Pengobatan dan Kesehatan, menyebutkan 12
daerah akupuntur pada telapak tangan, 24 pada muka, 8 pada lengan, 24 pada
kepala dan 13 pada kaki, semuanya tersentuh dan terpijit ketika kita membasuh
daerah ini dengan air saat kita berwudu’ dan saat mengerjakan shalat.
Disebutkannya pendapat Prof. Der Vanschereben bahwa gerakan shalat dalam
agama Islam adalah suatu jalan untuk menjadi sehat. Juga pendapat Prof. Dr.
Kohlrausch dan Prof. Dr. Leube yang mengatakan bahwa gerakan dalam
shalatnya orang Islam dapat mengurangi dan menghalangi terjadinya penyakit
jantung. Dikatakannya bahwa duduk tasyahhud dapat menyembuhkan penyakit
tanpa operasi.
Setiap gerakan shalat mempunyai pengaruh pada bagian-bagian tubuh,
misalnya terhadap kaki, otak, lambung rongga dada, leher, pangkal paha dan
lain-lain. Berdiri, ruku’, sujud, duduk tasyahhud, sangat bermanfaat untuk
kesehatan, bahkan gerakan salam akhir, yaitu menoleh ke kanan dan ke kiri
bermanfaat besar membantu menguatkan otot-otot leher dan kepala. Pada waktu
berdiri “seluruh saraf menjadi satu titik pusat pda otak, jantung, paru-paru,
pinggang, dan tulang punggung lurus dan bekerja secara normal, kedua kaki
yang tegak lurus pada posisi akupuntur...” Waktu ruku’ saraf-saraf di otak,
punggung dan lain-lain tertarik dan terkendurkan, sangat baik untuk
menghindari penyakit yang menyerang ruas tulang belakang. Waktu sujud
dengan meletakkan tangan di depan lutut, otot-otot berkontraksi, pembuluh
darah dan urat-urat getah bening menjadi terpijat dan terurut, dinding-dinding
pembuluh darah terhindar dari mengerut. Waktu duduk tasyahhud pusat-pusat

77
Drury, The Healing Power, hlm. 110.
75

daerah otak ruas tulang punggung yang paling atas, otot-otot bahu, mata dan
lain-lain yang ada pada ujung kaki terpijat.78
Adapun manfaat shalat Tahajjud, Mohammad Sholeh, seorang dosen
IAIN Surabaya membuat penelitian dengan disertasinya yang berjudul
“Pengaruh Sholat Tahajjud terhadap Peningkatan Perubahan Response
Ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi”
Dengan disertasi tersebut, ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu
kedokteran pada program Pasca Sarjana Universitas Surabaya pada tahun
2007. Dikatakannya bahwa apabila kita melakukan shalat Tahajjud secara
rutin, tepat gerakannya, khusu', dan ikhlas, niscaya akan terbebas dari infeksi
dan kanker.79
Di antara keistimewaan shalatnya orang Islam, adalah sebb.
a. Sikap badan dan gerakannya tidak ada yang berbahaya, dan dapat dilakukan
oleh setiap orang yang sehat. (Bagi orang yang sakit, cukup bergerak
dengan isyarat dan bacaan di dalam hati. Bagi perempuan yang datang
bulan, ditunggu sampai bersih dari haid).
b. Shalat adalah suatu ibadah, kepatuhan kepada Allah, dan yang
melakukannya mendapat pahala.
c. Shalat dapat dilakukan setiap waktu dan tempat yang bersih, kecuali waktu
matahari sedang terbit, sedang berada di zenith (puncak yang tertinggi
dicakrawala), dan waktu sedang terbenam. Shalat ini adalah shalat
mutlak, tidak terikat oleh shalat lima waktu. Jumlah raka’atnya sedikitnya
satu raka’at sampai tidak terbatas. Apabila waktu mulai masuk shalat
tidak diniatkan berapa raka’atnya, maka sewaktu-waktu shalat itu dapat
dihentikan. Shalat-shalat yang lain di antaranya adalah Shalat Malam,
Shalat Duha, Shalat Hajat, Shalat Tobat, Shalat Tasbih, dan Shalat
Gerhana.
Apabila suatu waktu, dan ini tidak mustahil, shalat ini terasa sangat
bermanfaat, seperti yoga dengan diketemukannya faedah-faedah shalat,

78
http://mustdhani.blogspot.com/2008/11/shalat-untuk-pengobatan- dan-kesehatan.
html
79
http://blog-artikel-menarik.blogspot.com/2008/01/shalat- tahajjud-meninggkatkan-
kekebalan.html
76

sehingga menjadi populer dinegeri Timur dan Barat, misalnya, kemudian


mereka mempraktekkan gerakannya. Sebagai ganti membaca Fatihah, orang
Buddha membaca “Om mani padme hum” atau orang Hindu membaca “Om
Sakti Sakti Om”, atau orang Kristen membaca “Our father who art in
Heaven”, lalu meditasi dalam yoga diganti dengan tadabbur atau
murāqabahnya orang sufi, lantas bagaimana kira-kira pendapat para “ulama”
agama Hindu, apakah mereka membolehkan penganut agama Hindu
melakukannya? Om dalam agama Hindu adalah seruan yang menunjukkan
nama dari Yang Maha Kuasa, diucapkan pada upacara khidmat dalam berdoa
kepada dewa Brahma.80 Om (oum) diucapkan pada waktu memulai
sembahyang, dan di bubuhkan pada permulaan dan pada akhir buku. Dalam
bahasa Sanskerta, ia terdiri dari tiga suku-kata (mungkin maksudnya tiga bunyi
suara, yaitu A, U dan M) yang menggambarkan Trimurti atau Trinitas dewa-
dewa [Brahma, Wisynu dan Syiwa (Siwa)].81 Adapun kata Sakti atau Syakti
adalah enerji betina dari dewa Hindu Syiwa, yang disembah dalam berbagai
bentuknya. Ia adalah Devi (yang artinya dalam bahasa Sanskerta adalah
“dewi”) Syakti, isteri dewa Syiwa.82
Agama Hindu memperbolehkan penganutnya menyembah bermacam-
macam dewa dengan bermacam-macam cara. Yang penting adalah
menyembah Tuhan dengan cara sendiri-sendiri yang dianggapnya benar. Bagi
mereka, agama laksana sebuah gunung di mana banyak jalan yang dapat
ditempuh untuk sampai di puncaknya. Ada yang sampai dengan mudah, ada
pula yang sampai dengan susah payah, tergantung kepada kemampuan
perseorangan. Yang penting sampai di puncaknya, tanpa memperdulikan
bagaimana caranya untuk sampai di sana.83 Adapun menurut agama Islam,
jalan satu-satunya untuk sampai di puncak gunung itu adalah jalannya agama
Islam. Jalan yang lain, seperti jalan Nabi Isa a.s., (yang berlaku sampai
datangnya Nabi Muhammad s.a.w.), jalan Nabi Musa a.s (yang berlaku sampai
datangnya Nabi Isa a.s.)., dan para nabi sebelumnya, sudah tidak berlaku lagi.
Allah berfirman:

80
Funk & Wagnalls. Standard Dictionary, 1974, s.v. Om.
81
Webster’s. Popular Encyclopedia, s.v. Om.
82
Funk & Wagnalls. Standard Dictionary, 1974, s.v. Shakti dan Devi.
83
Sue Penney, Hinduism, hlm. 11.
77

;
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya
(dengan membawa) petunjuk (al-Qur’an) dan
agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas
segala agama, walaupun orang-orang
musyrik tidak menyukai.
(Q. 9:33; 61:9)

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan


Membawa Petunjuk dan agama yang hak agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama.
Dan cukuplah Allah sebagai saksi.
(Q. 48:28)

Sesusngguhnya agama (yang diridhai)


di sisi Allah hanyalah Islam.
(Q. 3:19)

Barangsiapa mencari
agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) dari padanya, dan dia
di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi. (Q. 3:85)

Menurut Mujāhid dan al-Suddī (w. 127 H./745 M), ayat ini turun
berkenaan dengan al-H.ārith bin Suwayd yang menjadi murtad bersama dengan
12 orang lainnya dan bergabung dengan orang-orang kafir di Mekkah. Setelah
78

ayat ini turun, saudaranya yang bernama al-H.alās ibn Suwayd al-Ans.ārī,
mengirim berita kepada al-H.ārith agar bertobat. Ibn ‘Abbas yang juga
meriwayatkan berita ini mengatakan bahwa setelah ayat ini turun al-H.ārith
bertobat dan menjadi Muslim kembali.84 Karena itu, kata al-Zamakhsharī, tidak
didapati suatu agama yang lain yang menyerupai Islam sebagai agama yang
benar. .85

Pada hari ini telahKu-sempurnakan


untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu… (Q. 5:3)

Menurut ayat-ayat di atas, jalan untuk mencapai ke “puncak gunung”


tadi hanya satu, sedang yang lain sudah tidak dapat ditempuh lagi. Jadi, kalau
ada saudara kita yang tidak seagama mengatakan, orang-orang Islam itu
eksklusif, mau benar sendiri, mengaku agamanya sendiri yang benar, jangan
salahkan mereka, salahkan agama mereka dan kitab suci mereka. Nabi Isa pun,
menurut Injil, pernah mengatakan bahwa jalan untuk keselamatan hanya
melalui beliau.
Jesus answered:
“I am the way, the truth, and the
life. None comes to the Father except
through me.”(John 14:6)
Kata Yesus kepadanya:
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.
Tidak ada seorang pun yang datang kepada
Bapa, kalau tidak melalui aku.”
(Yohannes 14:6)

84
Al-Qurt.ubī, Tafsīr al-Qur t.ubī, juz 4, hlm. 128.
85
Al-Zamakhsharī, al-Kashsh ā f, juz 1, hlm. 139.
79

Dalam menghadapi orang-orang yang tidak seagama dengan kita,


secara umum, adalah kurang bijaksana mengatakan kepada mereka, agama
Islam itulah yang benar dan agama merekalah yang salah (sekalipun itulah
yang diajarkan Islam), karena ini kemungkinan besar menyinggung perasaan
mereka, lalu menganggap orang Islam dan agama Islam itu sok benar sendiri.
Allah memberikan contoh dengan menggunakan indikasi dan kiasan, seperti
yang bersebut di bawah ini:

٢٤
Katakanlah: Siapakah Yang memberi
rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?
“ Katakanlah: “Allah, dan sesungguhnya kami
atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada
dalam kebenaran atau dalam kesesatan
yang nyata. ” (Q. 34:24)

Dalam ayat ini, Allah menyuruh Nabi Muhammad s.a.w. untuk


bertanya kepada orang-orang musyrik Mekkah, siapakah yang memberi mereka
rezeki dari langit dan bumi dengan menurunkan hujan yang menyebabkan
tanaman mereka tumbuh untuk makanan mereka dan ternak mereka...? Apabila
mereka mengatakan mereka tidak tahu, lalu Nabi disuruh mengatakan kepada
mereka bahwa Allah (yang memberi rezeki). Kemudian Nabi disuruh Allah
berkata kepada mereka secara kiasan, “Sesungguhnya kami atau kalian dalam
kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata,” yang maksudnya, “Sesungguhnya
kami yang dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata, atau kalian dalam
kebenaran atau kesesatan yang nyata, karena salah-satu di antara kita ada yang
dalam kebenaran dan yang lain dalam kesesatan yang nyata.” ‘Ikrimah (w. 110
H /729 M) dan Ziyād ibn Ab Maryam mengatakan, arti ayat di atas adalah:
“Sesungguhnya kami dalam kebenaran dan kalian dalam kesesatan yang nyata”
seperti yang dimengerti dari kiasan ini, serupa berkata kepada seseorang yang
berbohong, “Salah-satu di antara kita yang berbohong,” lebih halus ketimbang
80

mengatakan secara langsung, “Anda bohong.”86 Al-Zamakhsharī memberi


contoh yang hampir sama, yaitu, “Allah tahu siapa yang benar di antara kita,
dan salah-satu di antara kita berbohong.”87
Sebenarnya, jalan keselamatan adalah melalui para nabi yang diutus
Allah pada zaman mereka masing-masing, dan merekalah yang harus diikuti
sampai nabi berikutnya yang menggantikan mereka datang, kemungkinan
menggantikan syari’at yang lama dengan yang baru bila dianggap tidak sesuai
lagi dengan zamannya. Sesudah Nabi Muhammad s.a.w. datang, agama yang
dibawa beliau itulah yang harus diikuti. Para nabi itulah penunjuk jalan untuk
sampai ke “puncak gunung”, ke jalan yang benar yang diridhai Allah Swt.

Lantas, bagaimana kira-kira fatwa ulama kita tentang orang yang


bukan Islam melakukan gerakan shalat seperti shalatnya orang Islam, tetapi
mengganti bacaan didalamnya dengan bacaan sendiri menurut agama mereka?
Apakah para ulama kita akan membuat fatwa seperti fatwa mereka terhadap
yoga? Mungkin jawaban yang lebih bijaksana adalah seperti jawaban Buya
Hamka saat ditanya, “Bagaimanakah caranya shalat di bulan?” Lalu beliau
menjawab, “Pergilah ke bulan dulu baru saya berikan jawabannya.” Kita
tunggu saja!

15. Ceramah Ustadh ‘Amr Khālid


tentang Khusyu‘ dalam Shalat

Sebagai keterangan tambahan untuk tulisan ini perlu rasanya


disampaikan di sini sedikit ceramah dan ajaran seorang dā‘ī dan penceramah
yang terkenal dari Mesir yaitu Ustadh ‘Amr Khālid tentang shalat dengan
khusyu’ dan usaha untuk melakukannya, sekalipun banyak hal-hal yang tidak
baru bagi sebagian orang. Berikut antara lain isi ceramah tersebut:
- (Pahala) shalat seorang hamba Allah hanyalah apa yang mereka sadari
dalam melakukannya , kadang-kadang hanya sepersepuluhnya.

86
Al-Qurt.ubī, Tafsīr al-Qur t.ubī, juz 12, hlm. 173; juz 14, hlm. 198. Tafsīr Ibn Kathīr,
juz 6, hlm. 517.
87
Al-Zamakhsharī, al-Kashshāf, juz 5, hlm. 357.
81

- Orang yang tidak kusyu’ dalam shalat, shalatnya terasa berat dilakukan. Allah
berfirman, ...dan sesungguhnya yang
demikian itu [yaitu shalat] sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyuk,...” (Q. 2:45)
- Nilai shalat: shalat adalah jalan utama untuk mengenal Allah. Tanpa
shalat Anda tidak akan mengenal Allah, padahal mengenal Allah adalah
rahasia wujud. Mengapa kita diciptakan Allah? Untuk mengenal dan
mengabdi kepada-Nya. Allah berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (Q. 51:56).
- Kasihan Anda kalau hidup di dunia ini tanpa mengenal Allah. Cukuplah
kemuliaan bagi Anda bahwa Anda mempunyai Rabb [Tuhan Yang ditaati,
Memiliki dan Memelihara], dan cukuplah kebanggaan Anda bahwa Anda
adalah hamba-Nya. Ibn Taymiyyah (w. 728 H/1328 M) pernah berkata:
“Kasihan penduduk dunia, meninggalkan dunia tetapi tidak merasakan
yang paling nikmat padanya.” Ketika ditanya, apakah yang paling nikmat di
dunia, beliau menjawab, “Cinta Allah, ”
- Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari seorang sahabat
disuruh mengulang shalatnya sampai tiga kali, karena shalatnya belum
dianggap sah. Lalu beliau mengajarnya bahwa harus ada t.uma’nīnah pada
waktu ruku’, berdiri dari ruku’, sujud, duduk sesudah sujud, dan waktu
sujud berikutnya.
- Dalam hadits lain Nabi s.a.w. pernah mengatakan bahwa orang yang yang
tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, adalah mencuri [mencuri
waktu] dalam shalat.
- Ketika Nabi s.a.w. ditanya tentang orang yang mengalihkan perhatiannya
dalam shalat, beliau menjawab, itu adalah pencurian yang dilakukan setan
terhadap orang yang sedang melakukan shalat tersebut.
- Dalam suatu hadits disebutkan bahwa orang yang mengalihkan perhatiannya
dalam shalat, seolah-olah Allah berkata kepadanya, “Apakah ada Tuhan
selain Aku, apakah ada yang lebih baik daripada Aku, yang lebih pemurah
daripada Aku?”
82

- Dalam hadits lain disebutkan bahwa Allah menghadapkan perhatian-Nya


terhadap hamba-Nya yang sedang shalat, selama ia tidak memalingkan
perhatiannya, dan apabila ia demikian, maka Allah juga berpaling
daripadanya. [Ket. Disampaikan oleh Nabi s.a.w. bahwa ini adalah salah
satu pesan Allah kepada Nabi Yahya a.s. untuk disampaikan kepada
ummatnya Bani Isra’il].88
- Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang shalat tetapi tidak
menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya dilipat seperti
melipat pakaian compang-camping, lalu pakaian itu dilemparkan ke
mukanya sembari berkata, “Semoga Allah melalaikanmu seperti engkau
melalaikanku.”
- Ada orang yang shalat, tapi hanya dihitung (pahalanya) sepertiganya, atau
seperempatnya, atau seperenamnya, atau seperdelapannya, atau
sepersepuluhnya.
- Ketika Abū T.alh.ah sedang melakukan shalat dikebunnya, dilihatnya seekor
burung yang akan keluar dari kebunnya, sehingga perhatiannya tertuju
kesana sampai burung itu keluar. Pergilah beliau kepada Nabi s.a.w. dan
berkata sambil menangis: “Karena saya memperhatikan burung itu dalam
kebun sampai saya lupa sudah berapa (raka’at) saya shalat. O, Pesuruh
Allah, kebun itu menjadi sedekah di jalan Allah.”
- Imam Abu Hamid al-Ghazali )w. 504 H/1111 M) pernah mengatakan bahwa
ada orang yang sujud (dalam shalat) menganggap bahwa ia dengan sujud
itu telah mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Tinggi. Demi Allah,
kalau dosa dalam sujud ini disebarkan kepada penduduk negerinya, niscaya
mereka semua akan binasa. Ketika ditanya sebabnya, beliau mengatakan,
ketika bersujud hatinya sibuk dengan kemaksiatan, hawa nafsu dan cinta
dunia.
- Ketika ayat yang melarang orang mendekati shalat ketika berada dalam
keadaan mabuk (tidak sadar), sampai ia mengetahui apa yang dibacanya
“Wahai orang
yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sehingga kamu

88
Ibn al-Mundhir, al-Awsat.
83

mengetahui apa yang kammu baca…” ternyata ada orang yang lebih parah
dari pada mabuk.
- Allah menyuruh kita bukan hanya sekedar melakukan shalat, tapi mendirikan
shalat, yaitu (“dirikanlah shalat”), bukan dengan perintah
(“shalatlah”), karena tidak setiap orang yang shalat telah mendirikan
shalat, yaitu menyempurnakan shalat . Orang yang sekedar shalat
saja ( dicela Allah dengan firman-Nya
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu)
orang-orang yang lalai dalam shalatnya” (Q. 107:4-5). [Ket. Ibn Qutaybah
(w. 276 H/889 M) dalam menerangkan arti (lit. “mendirikan
shalat”) mengatakan (“tetap melakukannya pada waktunya”);89
adapun al-Rāgib al-As.fahānī (w. ca. 425 H/1034 M) dalam menerangkan
ayat “mendirikan shalat” (Q. 5:55) mengatakan artinya
adalah (“tetap melakukannya dan memeliharanya”)].90
- Nabi menyuruh Bilal untuk adzan untuk shalat agar beliau beristirahat
dengannnya, bukannya beristirahat dari padanya.
- Anas r.a. menceriterakan bahwa beliau suatu waktu masuk ke mesjid dan
melihat sesuatu yang disangkanya sebatang pohon, ternyata Nabi s.a.w.
sedang shalat, lalu berdirilah disamping beliau (sebagai ma’mum). Nabi
membaca surah al-Baqarah, dan Anas mengharap agar beliau sujud
(maksudnya ruku’) setelah membaca seratus ayat, ternyata beliau baca
terus, dan Anas mengharap beliau ruku’ setelah selesai membaca surah al-
Baqarah. Ternyata Nabi baca terus surah Al Imran, dan Anas mengharap
beliau sujud setelah membaca seratus ayat, ternyata Nabi baca terus. Anas
mengharap Nabi ruku’ setelah selesai membaca surah Al ‘Imran. Ternyata
Nabi membaca surah al-Nisā’, dan mengharap Nabi ruku’ setelah membaca
seratus, ayat. Ternyata Nabi baca terus sampai akhir surah, sehingga timbul
pikirannya untuk meninggalkan Nabi shalat sendirian. Apabila Nabi
membaca ayat yang berkaitan dengan surga, beliau memohon surga kepada
Allah. Apabila beliau membaca ayat yang berkaitan dengan neraka, beliau

89
Ibn Qutaybah, Tafsīr Gharīb al-Qur’ā n, hlm. 31.
90
Al-Rāghib al-Is,.fahānī, Mufradāt, p. 690.
84

diam lalu berdoa agar dijauhkan dari neraka. Kemudian Nabi ruku’ yang
lamanya hampir seperti lama berdirinya, di mana beliau banyak berdoa,
sedang lamanya berdiri beliau dari ruku’ hampir sama waktu ruku’. Lalu
Nabi sujud di mana lamanya hampir sama lamanya saat beliau berdiri dari
ruku’ di mana beliau memperbanyak doa.
[Ket. 1. Doa-doa yang Nabi s.a.w. baca waktu shalat, baik waktu ruku’,
i‘tidal dan sujud dapat dilihat dalam buku-buku pedoman shalat; 2. Shalat
Nabi yang panjang waktu shalat sendirian, tidaklah bertentangan dengan
perintah beliau untuk memperpendek shalat waktu shalat berjama’ah; 3.
Urutan bacaan Nabi, dari surah al-Baqarah, lalu surah Āl ‘Imrān, kemudian
surah al-Nisā’ memberikan indikasi bahwa urutan surah yang ada dalam al-
Qur’ān sekarang, sedikitnya ketiga surah yang tersebut di atas, adalah dari
Nabi sendiri, bukan dari sahabat].
- Rabī‘ah ibn Ka‘b menceriterakan bahwa beliau melayani Nabi di waktu siang
dan tidur di (dekat) pintu rumah beliau. Didengarnya Nabi mengucapkan
berkali-kali (“maha suci Tuhanku”) sampai ia tertidur. Ketika
bangun didengarnya Nabi masih mengucapkannya berulang-ulang. Pada
suatu hari Nabi memanggilnya dan menyuruhnya meminta sesuatu kepada
beliau. Ia minta ditunda untuk memikirkan apa yang akan dimintanya,
sambil berkata kepada dirinya “Jangan sekali-kali engkau meminta sesuatu
yang duniawi.” Maka berkatalah Rabī‘ah, “Wahai Pesuruh Allah, saya
meminta agar saya menyertaimu di surga.” “Apakah ada lagi selain itu?”
tanya Nabi. Rabī‘ah menjawab, “Tidak, demi Allah Yang mengutus engkau
dengan kebenaran, saya tidak menghendaki selain dari itu.” Nabi berkata,
“Usahakanlah untuk memperbanyak sujud.” [maksudnya shalat].
- Di antara orang-orang yang shalatnya khusyu’ adalah Sufyan al-Tsauri
(Sufyān al-Thawrī, w. 161 H/778 M). Kalau Anda dapat melihatnya shalat
sekarang, Anda akan mengira bahwa ia akan meninggal sekarang juga,
karena amat khusyu’nya.
- Abdullah Ibn al-Zubayr ibn ‘Awwām (2-72 H/624-692 M), ketika
diberitahu bahwa telapak kakinya yang kena kanker harus dipotong,
menolak untuk diberi obat bius atau dipegang, tapi berpesan untuk
melakukannya waktu ia sedang sujud dalam shalat.
85

- Aِl-Hasan ibn Ali (3-50 H/625-671 M) apabila mulai masuk shalat kelihatan
sangat bersusah payah, merendahkan diri dan mukanya berubah (pucat).
Ketika ditanya mengapa demikian, jawabnya karena beliau sedang
menghadap Allah.
- Ali ibn Abi Talib (w. 40 H/661 M) ketika berwudu’ gemetar. Ketika ditanya,
“O, Amirul Muminin, mengapa Anda gemetar?” beliau menjawab:
“Sekarang saya sedang membawa amanah (yaitu tugas-tugas keagamaan)
yang pernah ditawarkan Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
tapi semua menolak, sedang saya mengambilnya. [Ayat yang dimaksud Ali
r.a., adalah:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat


(tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh.“
(Q. 33:72)]
- Ketika Hatim ditanya bagaimana cara untuk menjdi khusyu’ dalam shalat,
jawab beliau: “Saya berdiri bertakbir sambil membayangkan Ka‘bah di
hadapanku, titian pada telapak kakiku, surga di kananku, neraka di kiriku,
Malakul Maut di belakangku, Nabi sedang memper-hatikan shalatku, dan
saya mengira inilah shalatku yang terakhir, maka saya bertakbir dengan
membesarkan Allah, membaca ayat-ayat al-Qur’ān sambil memikirkan
artinya, ruku’ dengan segala kerendahan, sujud dengan khusyu’, membuat
shalatku karena takut kepada Allah dan mengharap rahmat-Nya, lalu
memberi salam. Kemudian saya bertanya-tanya kepada diriku sendiri,
apakah shalatku ini diterima atau tidak.”
- Ketika ayat di bawah ini turun, yaitu:
86

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang


yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada
mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas
mereka, lalu hati mereka menjadi keras.
Dan kebanyakan di antara mereka
adalah orang-orang yang fasik.
(Q. 57:16)
berkatalah Ibn Mas‘ūd: “Jarak waktu antara turunnya ayat ini dengan
masuknya kami ke dalam agama Islam hanyalah empat tahun. Karena itu
Allah mencela kami atas kurangnya kekhusyu’an kami, maka kami pada
menangis atas celaan Tuhan kepada kami.”
- Cara untuk khusyu’ dalam shalat adalah mengosongkan dan membersihkan
hati kita dari urusan dunia. Konsentrasi hanya kepada Allah dengan segala
kerendahan dan kepatuhan di hadapan-Nya. Nabi waktu shalat yang
dilihatnya (dengan mata hati) hanyalah Allah, karena itu shalat adalah
kebahagiaannya.
- Cara yang kedua untuk menjadi khusyu’ dalam shalat adalah dengan
mengerti gerakan-gerakan lahiriah dalam shalat, karena setiap gerakan
lahiriah ada refleksinya dalam hati. Contohnya: wudhu adalah
membersihkan jasmani dan rohani. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Nabi, apabila seorang hamba Allah berwudhu dan berkumur-kumur, maka
keluarlah dosa-dosanya dari mulutnya; apabila ia membasuh mukanya
dengan air, maka keluarlah dosa-dosanya dari tepi kedua matanya; apabila
ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dosa-dosanya dari
tangannya, sampai keluar dari bawah kuku jari-jarinya; apabila ia
membasuh kepalanya, maka keluarlah dosa-dosanya dari bawah kedua
telinganya; dan apabila ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dosa-
dosanya dari kakinya, sampai di bawah kuku kakinya. (HR ibn Majah). Ini
adalah pendahuluan untuk memasuki shalat dengan khusyu’. Jangan
87

sampai hanya aurat yang lahir saja yang ditutup, sedangkan di dalam (hati)
telanjang karena penuh dengn dosa dan maksiat. [Ket.: Dosa yang
dimaksud di sini adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar seperti berjudi
dan minum minuman keras hanya dapat diampuni Allah dengan bertobat].
- Ketika Anda menghadap kiblat, sedang hati Anda membelakanginya, itu
adalah aib. Kemudian Anda berniat untuk mendirikan shalat dan bertakbir,
“Allahu Akbar”, Allah Maha Besar, yang berarti tidak ada yang lebih besar
dari pada Allah, lebih besar dari pada dunia dan segala isinya. Jika hati
Anda masih memikirkan selain-Nya, maka Dia menyaksikan atas
kebohongan hati Anda.
- Anda mengangkat tangan waktu bertakbir berarti Anda telah meninggalkan
urusan dunia.
- Anda berdiri [tidak boleh duduk bagi yang sanggup berdiri] dihadapan
Allah, mata diarahkan ke tempat sujud, jangan sampai pandangan itu
diangkat. Dalam keadaan seperti inilah manusia menghadap Allah, seperti
yang disebutkan dalam ayat “…(yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (Q. 83:6)
- Tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri menunjukkan adab yang paling
tinggi terhadap Allah.
- Ingatlah bahwa Allah memperhatikan shalat kita. Kalau kita mengalihkan
pandangan atau pikiran kita terhadap yang lain selain Allah, seolah-olah
Allah berkata, “Apakah ada yang lain yang lebih baik dari pada Aku?”
- Dalam sebuah hadts qudsi, Allah berfirman bahwa apabila hamba-Nya
yang sedang shalat itu membaca “Segala puji bagi Allah,
Tuhan semesta alam,” maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-
Ku.” Ketika ia membaca “Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang,” maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah mengagungkan-
Ku.” Ketika ia membaca “Yang menguasai hari pembalasan,”
maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku ”…
- Apakah dikala Anda memuji Allah dan Allah menyatakan bahwa Anda
telah memuji-Nya, pikiran Anda kearah lain? Rasakanlah kebesaran Allah
ketika Anda mengucapkan “Tuhan semesta alam.” Rasakanlah
88

rahmat Allah ketika Anda membaca “Maha Pemurah lagi Maha


Penyayang,”
- Sesudah imam membaca Fatihah ucapkanlah āmīn, karena menurut hadits,
barangsiapa yang bacaan āmīnnya bersamaan dengan bacaan āmīn para
malaikat, dosanya akan diampuni Allah.
- Kala membaca ayat-ayat al-Qur’an diwaktu shalat, ada tiga macam orang:
(1) Orang yang menggerakkan lidahnya, tetapi hatinya lalai, tidak
memperhatikan yang dibacanya, pikiriannya melayang-layang ke tempat
lain. (2) Orang yang menggerakkan lidahnya, sedang hatinya
mendengarkan bacaan itu, seolah-olah didengarnya dari bacaan orang lain.
Mereka itu termasuk golongan yang disebut as.h.ābu ’l-yamīn [yaitu
golongan kanan, yaitu penduduk surga, lihat Qur’an 56:27, 90 dan 91;
74:39]. (3) Orang yang hatinya lebih dahulu merasakan makna bacaannya,
sedang lidahnya “menterjemahkan” perasaan itu dengan ucapannya.
- Saat ruku’ sadarilah bahwa kalau bukan karena Allah, Anda tidak akan
membungkukkan punggung. Dan di waktu berdiri dari ruku’ pujilah Allah
[Yang membuat punggung Anda sehat/selamat] dengan mengucapkan
(“O Tuhan kami, puji-pujian untuk-Mu”).
- Ketika sujud, kita meletakkan kepala kita pada tanah yang dianggap paling
rendah, tapi asal mula manusia. Waktu sujud itu tubuh kita yang berasal
dari tanah kita kembalikan ke tanah. Ini menunjukkan kerendahan hati kita
kepda Allah dan kepatuhan kepada-Nya. Bacalah subh.āna rabbiya’l-a‘lā
(“mahasuci Allah, Tuhanku yang Maha Tinggi”) tiga kali agar supaya
tertanam dalam hati bahwa Dialah yang Maha Tinggi. Pada waktu sujud
itulah kita paling dekat dengan Allah seperti yang disebutkan dalam suatu
hadits.
- Setelah bangkit dari sujud, sujudlah sekali lagi untuk menguatkan
kehinaan/kerendahan Anda yang Anda lakukan pada sujud yang pertama
seraya mengulang bacaan pada sujud yang pertama.
- Dalam membaca tah.iyyat rasakanlah kerendahan, kelemahan sekaligus
kekurangan Anda, rasakanlah keagungan dan kebesaran Allah.
89

- Sesudah membaca tah.iyyat ucapkanlah salam kepada Nabi, dan pada waktu
itu juga Nabi menjawab salam Anda, sebagaimana yang disebutkan dalam
sebuah hadits bahwa salam yang disampaikan kepada beliau sampai dan
beliau menjawab salam itu. Jangan sampai pikiran Anda melayang-langan
ketika mengucapkan salam itu.
- Sesudah itu ucapkanlah salam kepada diri sendiri dengan mengucapkan
assalāmu ‘alaynā (“semoga keselamatan ada pada kami”).
- Selanjutnya, ucapkanlah salam kepada hamba-hamba Allah yang saleh,
dengan mengucapkan wa ‘alā ‘ibādillāhi’s.-s.ālih.īn (“dan kepada hamba-
hamba Allah yang saleh”). Orang-orang saleh itu sangat kita perlukan,
karena kita tidak dapat hidup sendiri, kita perlu orang lain, yaitu mereka.
- Sambil mengucapkan syahadat, yaitu penyaksian bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan Muhammad pesuruh Allah, angkat dan luruskanlah
telunjuk Anda. Menurut kebiasaan, dalam memberikan kesaksian dilakukan
dengan lisan atau tulisan, mulut yang berbicara atau tangan yang menulis.
Dalam tasyahhud keduanya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah
dan Muhammad pesuruh Allah.
- Kita akhiri shalat kita dengan menoleh kekanan sambil memberi salam
kepada para malaikat yang ada di sebelah kanan kita, lalu menoleh kekiri
dan memberi salam kepada para malaikat yang ada di sebelah kiri kita.
- Setelah selesai shalat bacalah,

Saya minta ampun kepada Allah Yang Maha


Agung Yang tidak ada tuhan selain-Nya, Yang Hidup
Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)
dan saya bertobat kepada-Nya.
Maksudnya, setelah kita menyelesaikan shalat, kita minta ampun dan
bertobat kepada-Nya atas kekurangan yang kita lakukan dalam shalat.
- Kemudian bacalah,

Ya Allah, tolonglah aku dalam mengingat-Mu,


bersyukur kepada-Mu dan menyembah-Mu
90

dengan sebaik-baiknya.
Doa ini maksudnya, minta pertolongan Allah agar shalat berikutnya
menjadi lebih baik.
[Ket.: Doa ini adalah pesan Nabi kepada Mu‘ādh bin Jabal, seperti
berikut:

… Mu‘ādh bin Jabal menceriterakan bahwa Rasulullah


s.a.w. memegang tangannya dan berkata kepadanya, “O Mu‘ādh,
demi Allah, saya sungguh cinta padamu,demi Allah saya sungguh
cinta padamu,“ lalu berkata, “Saya berpesan kepadamu O Mu‘ādh,
jangan sekali-kali tinggalkan mengucapkan setiap selesai shalat,
(HR Abu Dawud)]
- Lalu bacalah bacaan orang-orang yang masuk surga. Ketika Allah
memasukkan mereka kedalam surga sambil memberi salam kepada mereka,
yaitu, “Wahai penduduk surga, keselamatan atas kalian,” mereka berkata,

Ya Allah, Engkau Maha Sejahtera


dan dari-Mu kesejahteraan, Maha Suci
Engkau, wahai Tuhan Yang memiliki
Kebesaran dan kemuliaan (karunia)
Inilah beberapa hal yang dapat saya petik dari ceramah Ustadz ‘Amr
Khālid yang berjudul (“Khusyu’ dalam Shalat”) salah-satu dari
silsilah ceramah beliau yang berkenaan dengan ibadah. Semoga ceramah beliau
khususnya dan tulisan ini umumnya berfaedah bagi pembaca, amin!!!
91

16. Ketenangan Jiwa


oleh
Mīkhā’īl Na‘īmah (1889-1988)

Agama Islam mengajarkan bahwa dengan berdhikir (mengingat Allah


dan menyebut nama-Nya) hati kita menjadi tenang. Kenapa? Karena kita telah
menyerahkan urusan kita kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya, tentunya
setelah berusaha semaksimal mungkin. Kita percaya dan menerima qada dan
qadar-Nya. Seorang penulis dan penyair dari Lebanon bernama Mīkhā’īl
Na‘īmah yang dengan kepercayaannya kepada qada dan qadar telah
mengungkapkan ketenangan jiwanya dalam sya’irnya yang berjudul al-
T.uma’nīnah. Ia telah menulis 99 buku dan menguasai tiga bahasa: Arab, Inggris
dan Rusia. Hatinya menjadi tenang setelah membentengi dirinya dengan
“bersekutu dengan qada dan bersahabat dengan takdir” yang telah ditentukan
Allah kepadanya. Pada baris terakhir dari syairnya ia mengatakan,

Sedang sekutuku adalah qada’ * dan temanku adalah qadar.


Allah memberinya umur yang panjang, 99 tahun. Terjemahan bebas dari syair
tersebut adalah sebagai berikut:

Ketenanga Jiwa

1. Atap rumahku (dari) besi, rumahku dari batu,


Datanglah angin ribut, merataplah O pohon,
Bergeraklah O awan, bawalah hujan lebat,
Menggunturlah O guntur, tak ku takut bahaya,
Atap rumahku (dari) besi, rumahku dari batu.
2. Dari lampu kecilku, kurentang pandanganku,
Dikala malam panjang, kegelapan membentang,
Fajarpun telah lenyap, siangpun telah lalu,
Menghilanglah O bintang, padamlah O rembulan,
Dari lampu kecilku, kurentang pandanganku.
92

3. Pintu hatiku benteng, dari cemas dan duka,


Seranglah susah duka, pagi maupun petang,
Majulah O bencana, dengan mala petaka,
Ramai-ramai serbulah, O bencana manusia,
Pintu hatiku benteng, dari cemas dan duka.
4. Sekutuku nasibku, sahabatku taqdirku,
Taklukkanlah hatiku, wahai mara bahaya
Galilah kubur O maut, sekeliling rumahku,
Aku tak takut azab, aku tak takut ced(e)ra,
Sekutuku nasibku, sahabatku taqdirku.
93

Kesimpulan
Khusyu‘ dalam shalat adalah melakukannya dengan khidmat dan
kerendahan diri, menghayati sekaligus menghadirkan dalam pikiran gerakan-
gerakan yang kita lakukan sebagai pengabdian kepada Allah, seperti
menundukkan kepala dan menundukkan pandangan ketempat sujud, - bukan
sebagai gerakan robot - dan mengikuti apa kita baca (tadabbur) – bukan
sebagai membaca mantra yang sering kita tidak tahu artinya. Maka dari itu,
sangat penting untuk mengerti bacaan-bacaan kita. Waktu kita ruku’, kita
mengakui keagungan-Nya dengan perbuatan dan pernyataan dari bacaan
kita. Demikian juga waktu sujud, kita merendahkan diri dengan serendah-
rendahnya dan meletakkan kepala kita sujud ke tanah sambil mengakui-Nya
sebagai Allah Yang Maha Tinggi, melalui bacaan yang kita baca waktu sujud.
Ketika kita membaca al-Fatihah misalnya, kita berbicara kepada Allah dengan
memuji-Nya, mengakui keagungan-Nya, dan meminta hidayat daripada-Nya.
Begitu juga bacaan-bacaan lainnya waktu ruku‘, sujud dan membaca tahiyyat.
Sekalipun khusyu‘ tidak termasuk keharusan untuk sahnya shalat, tetapi
ia termasuk salah satu dari sekian banyak sunnah dalam shalat untuk
menambah kualitas shalat kita. Bacaan-bacaan yang kita baca sebelum,
sewaktu, dan sesudah mengambil air wudu’ sangat membantu untuk memasuki
shalat dengan khusyu‘.
T.uma’nīnah adalah diamnya anggota badan pada lima tempat: ruku’,
i‘tidāl (berdiri dari ruku‘), sujud pertama, duduk sesudah sujud pertama
dan sujud kedua. Tanpa t.uma’nīnah ini shalat kita tidak sah. Apabila
kita membaca bacaan-bacaan tertentu pada kelima tempat ini dengan
pelan-pelan dan merasa yakin bahwa lamanya sudah cukup, berarti
kita sudah melakukan t.uma’nīnah. Kalau kita sujud lebih lama lagi, dari
segi kesehatan lebih baik.
Kalau dalam t.uma’nīnah anggota badan harus diam pada 5 tempat
tersebut di atas, maka dalam khusyu’ anggota badan harus diam selain waktu
berpindah posisi, di mana gerak itu harus ada. Jadi, secara umum, khusyu'
mengharuskan diamnya anggota badan mulai dari memulai sampai
menyelesaikan shalat. Orang yang banyak melakukan gerakan yang tidak
perlu di mana ia harus diam - seperti menggaruk-garuk kepala, mengancing
baju, mengantongi kembali pena yang jatuh waktu ruku’ dan lain-lain -
menunjukkan bahwa ia tidak/kurang khusyu’.
94

Yoga adalah semacam “shalat” bagi orang Hindu dan mantra adalah
semacam “Fatihah”nya dan bacaan-bacaan lain di dalamnya. Sikap badan
dalam yoga selain bermanfaat untuk kesehatan dapat juga membuat cedera,
laksana pisau bermata dua. Sebaliknya, setiap gerakan dalam shalat mudah
dilakukan, bermanfaat untuk kesehatan dan tidak pernah membuat cedera.
Allah sengaja membuatnya mudah dilakukan untuk setiap orang yang sehat,
supaya tidak ada alasan baginya untuk tidak shalat. Adapun orang yang sakit,
kalau badannya sama sekali tidak dapat bergerak, cukup dengan isyarat,
dengan hati dan lidahnya. Jika ia tidak dapat menggerakkan lidahnya, cukup
dengan hati. Tampaknya lebih mudah, tetapi sebenarnya ia lebih susah karena
ia harus ingat selalu di mana posisinya dalam shalat: sedang berdirikah, sedang
dudukkah dan pada rakaat berapa ia berada, disamping mengingat
bacaannya.
Faedah shalat dari segi rohani sudah bukan hal yang baru lagi. Kita
sama-sama pernah mengalami dan merasakannya. Adapun faedahnya dari
segi jasmani sudah mulai bermunculan, diketemukan oleh para dokter dibidang
mereka masing-masing. Dr. Hembing Wijayakusuma, misalnya, ahli pengobatan
tradisional Timur dan Barat termasuk accupunctur mengatakan faedah shalat
dari segi kesehatan, mulai dari berdiri sampai memberi salam. Demikian juga
Dr. Mohammad Sholeh telah menemukan bahwa shalat thajjud dapat
meningkatkan ketahanan tubuh imunologik dan dapat dijadikan suatu
pertahanan terhadap serangan kanker. Maka dari itu bukan hal yang mustahil
di masa mendatang apabila faedah-faedah shalat dari segi kesehatan
diketemukan terus sehingga ia dapat menyaingi popularitasnya yoga di negeri
Barat. Karena memang, dari segi apapun, shalat memiliki kelebihan ketimbang
yoga. Dari segi postur (sikap badan), misalnya, postur pada shalat jauh lebih
baik dari pada postur pada yoga, sebab shalat adalah ciptaan Allah, dibuat
sebagai suatu cara untuk menyembah-Nya, termasuk perintah untuk menghadap
kiblat, yaitu Ka‘bah. Sedangkan yoga adalah ciptaan manusia, untuk
memperlancar hubungan dengan dewa/dewi melalui meditasi, yang konon
diciptakan Patanjali dari India, yang hidup kira-kira tahun 150 sebelum Masehi.
Belum lagi jika dilihat dari segi bacaan-bacaan dalam shalat yang umumnya
diambil dari ayat-ayat suci al-Qur'an (firman Allah), tentu tak dapat
dibandingkan dengan mantra dalam yoga yang dibikin manusia.
Pada konteks inilah, berlaku rumus bahwa setiap yang diharamkan
dalam Islam selalu ada penggantinya. Minuman keras diharamkan, sebagai
penggantinya adalah, air susu, air jus, air madu dan lain-lain. Daging babi
haram, maka penggantinya adalah, daging sapi, daging kambing, dan lain-
95

lain. Kalau yoga juga dianggap haram untuk orang Islam oleh sebagian ulama,
terutama majlis ulama di Indonesia, Malaysia, Mesir dan Singapura, lalu apa
penggantinya? Shalat itulah, dan banyak sekali macamnya, termasuk shalat
sunnah yang tidak ada hubungannya dengan shalat lima waktu, seperti shalat
Duha, shalat Tahajjud, shalat Tasbih dan shalat Mutlak. Shalat Mutlak ini dapat
dilakukan kapan saja – selain waktu yang tidak dibolehkan shalat, yaitu waktu
matahari sedang terbit, sedang berada dipuncak cakrawala (zenith) dan waktu
sedang tenggelam. Kalau tidak diniatkan berapa rakaatnya, dapat dilakukan
seberapapun rakaatnya, dan berhenti kapan saja, sekalipun hanya satu rakaat.
Ustadz ‘Amr Khālid dalam ceramahnya tentang khusyu’ dalam shalat
menekankan perlunya konsentrasi dan meninggalkan urusan dunia sejak waktu
mulai mengangkat tangan saat takbiratul-ihram, mengikuti dalam hati bacaan-
bacaan yang dibaca dan mengerti gerakan-garakan lahiriah dalam shalat.
Setiap gerakan lahiriah ada refleksinya dalam hati. Waktu kita mengucapkan
syahadat, naik saksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, pernyataan itu
dikuatkan dengan perbuatan, yaitu gerakan telunjuk yang diluruskan. Dalam
kehidupan sehari-hari biasanya pernyataan kita biasanya cukup dengan lisan
atau tulisan.
Ustadz ‘Amr Khālid memberikan contoh orang-orang yang shalatnya
khusyu, seperti Sufyan al-Tsauri (Sufyān al-Thawrī) dan H.ātim. Karena
khusyu’nya Sufyan al-Tsawri orang yang melihatnya mengira ia segera akan
meninggal dunia. Begitu pun H.ātim yang dalam shalatnya membayangkan
Ka‘bah di hadapannya, titian pada telapan kakinya, surga di sebelah
kanannya, neraka di sebelah kirinya, Malakul Maut (malaikat yang tugasnya
mencabut nyawa makhluk hidup) di belakangnya, Nabi memperhatikan
shalatnya, dan ia menganggap inilah shalatnya yang terakhir. Setelah selesai
melakukan shalat, ia masih bertanya-tanya apakah shalatnya ini diterima Allah.
Kita juga bertanya-tanya, apakah dalam melakukan shalat khusyu’ ini
Sufyan al-Tsauri dan Hatim, berada dalam keadaan releks sebagaimana yang
diajarkan dalam buku Pelatihan Shalat Khusyu' karya Abu Sangkan tersebut?
Mengapa AGH. Muhammad As‘ad, pendiri pesantren tertua di Sulawesi Selatan
dan guru para ulama-besar di daerah itu, masih juga tidak rileks karena tangan
dan kepala beliau selalu gemetar setiap memasuki shalat? Dapatkah orang
yang gemetar menghadapi sesuatu juga releks? Wallahu a‘lam!!!
96

Kata Penutup

Alhamdu lillah, segala puji bagi Allah, salam dan salawat atas
junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w., kepada sahabat dan keluarga beliau,
demikian juga para pengikut beliau yang menjunjung tinggi ajaran dan
bimbingan beliau, amin.
Selesai sudah Anda membaca buku kecil ini, dan jika di dalamnya
Anda merasa telah mendapat suatu informasi tentang shalat khusyu’ menurut
apa yang diajarkan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah, dan kerap
disampaikan pada pengajian dan ceramah agama, saya, sebagai penulis, sudah
merasa bahagia dan telah mencapai tujuan yang dicita-citakan, lebih-lebih jika
Anda mengamalkannya. Jika demikian, alangkah baiknya jika Anda beri juga
kesempatan kepada orang lain untuk membacanya.
Sebaliknya, jika Anda merasa buku kecil ini kurang memuaskan,
semoga Anda masih juga mendapat pahala dari Allah lantaran membacanya,
karena Anda telah berusaha menambah ilmu, kendati yang dibaca kurang
memuaskan. Itu tidak mengurangi kegembiraan penulis, dan menjadi suatu
kehormatan karena Anda masih sempat membacanya. Semoga jerih payah
menulisnya mendapat pahala dari Allah SWT, karena mengikuti perintah Allah,
“…maka berlomba-lombalah kamu (dalam
berbuat) kebaikan.” (Q. 2:148 dan 5:48). Semoga amal ibadah kita diterima
Allah dan shalat kita bertambah khusyu’, sehingga hubungan kita lebih dekat
dengan Allah dan dengan hamba-hamba-Nya yang saleh.
Ketika Nabi Ibrahim a.s. selesai mendirikan Ka‘bah dengan anaknya
Ismā‘īl, mereka berdoa, dan doa itu pula penulis baca setelah selesai menulis
buku kecil ini sebagai bentuk persembahan:
‫ر‬
"Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami
(amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
” (Q. 2:127)

.
97

Lampiran A

MANTRA

Kata mantra berasal dari bahasa Sanskerta: man, “berpikir” (atau


manas, “pikiran”) dan akhiran tra, “alat” atau “proteksi”. Kata mantra berarti
secara harfiah, “alat pikiran” (instrument of thought).

Mantra adalah suara, suku kata, kata, atau sejumlah kata yang dapat
membuat suatu perubahan (transformasi). Macamnya banyak, tergantung
kepada madzhab dan filsafat yang ada hubungannya dengan mantra. Tujuannya
bermacam-macam, termasuk suatu upacara agama untuk menumpuk harta,
menghindari bahaya dan membasmi musuh.

Mantra yang sudah menjadi bagian penting dari tradisi agama Hindu
dan sudah menjadi praktek tradisi dalam agama Buddha, Sikh dan Janinisme
berasal dri tradisi Veda di India. Pada tradisi spirituil di Timur mantra dapat
digunakan untuk memelihara pikiran dari keinginan mendasar dari naluri atau
kecondongan kepada materialisme dengan memusatkan pikiran kepada suatu
idée spirituil, sepert “Saya adalah suatu manifestasi dari kesadaran ilahi.”

Dalam agama Hindu suara yang timbul dari mantra yang dibaca
berulang-ulang getarannya dapat membangunkan tenaga hidup spirituil, yaitu
Kundalini, bahkan dapat merangsang cakra (“chakra”). Cakra adalah
“lingkungan yang berbutar dari aktivitas bioenergetik yang memancar dari saraf
ganglia yang utama yang bercabang dari tulang punggung.” 91 Untuk
menghitung mantra digunakan malas, yaitu tali tasbih yang berisi 108 butir
manik-manik yang digantung di leher, misalnya membaca mantra Om (Aum)
Syanti, Syanti, Syanti (“Om Damai, Damai, Damai). Dalam agama Buddha
Tibet mantra yang paling populer adalah Om (Aum) Mani Padme Hum (Hung)
yang mempunyai arti simbolik yang bertingkat-tingkat dan banyak dibaca orang
Tibet pada jam-jam kerja mereka.92

91
http://en.wikipedia.org/wiki/chakra.
92
http://en.wikipedia.org/wiki/Mantra
98

Menurut agama Buddha faedah membaca mantra yang disebut


Compassion Buddha, yaitu Om mani padme hum, tidak ada batasnya, seperti
cakrawala yang tidak berbatas. Dharma (amal saleh) yang paling murni adalah
hidup bebas dari ketergantungan kepada dunia dan hanya hidup untuk
menyanyikan mantra yang terdiri dari enam suku kata ini. Orang yang
membaca mantra ini sepuluh kali malas (10 x 108 = 1 080) dalam sehari, lalu
pergi mandi di kali atau laut dan lain-lain, maka air yang disentuhnya mendapat
berkat dan membersihkan miliaran dari miliaran makhluk hidup dalam air
tersebut. Setiap tahun telah menjadi tradisi orang Buddha untuk mengadakan
Compassion Buddha retreat (tempat terasing di mana mantra Compassion
Buddha di nyanyikan) di Tibet, Nepal, India dan Ladkh, saat mantra Om mani
padme hum dibaca 100 juta kali.93

Adapun arti dari mantra om mani padme hum disampaikan oleh Tenzin
Gyatso, yaitu Dalai Lama XIV dalam ceramahnya pada Kalmuck Mongolian
Buddhist Center, New Jersey di Amerika Serikat tanpa disebutkan tanggalnya.
Isinya antara lain sebagai berikut:

Dalam membaca mantra OM MANI PADME HUM seharusnya


dipikirkan artinya. 0M (AUM) terdiri dari tiga huruf, yaitu A, U dan M. Ketiga
huruf ini adalah lambang dari tubuh, ucapan dan pikirian yang tidak jernih dari
orang yang membacanya disamping lambang dari tubuh, ucapan dan pikirian
yang jernih dari Buddha. Dalam agama Buddha tidak ada orang yang bebas dari
kekhilafan dan memiliki segala sifat yang baik.

Untuk menjernihkan tubuh, ucapan dan pikirian yang tidak jernih


adalah dengan melalui jalan kecil yang ditunjukkan oleh empat suku-kata
berikutnya, yaitu MA-NI PAD-ME. MANI yang berarti “batu permata” dan
melambangkan unsur cara – keinginan yang bersifat altruistik (mementingkan
kepentingan orang lain), untuk mendapat pencerahan, perasaan kasihan dan
cinta. Seperti halnya batu permata dapat menghapuskan kemiskinan begitu juga
pikiran yang altruistik dapat menghapuskan kemelaratan dalam siklus

93
Lama Zopa Rimpoche, The Benefits of Chanting om mani padme hum.
http://www.fpmt.org/teachings/lzr /ommanibenefits.asp.
99

kehidupan [maksudnya: lahir – mati – lahir kembali – mati kembali dan


seterusnya sampai mencapai Nirwana] dan kedamaian/ketenangan dalam hidup
sendiri. Sebagaimana batu permata dapat memenuhi keinginan makhluk hidup,
keinginan yang altruistik untuk mendapat pencerahan dapat memenuhi
keinginan makhluk hidup.

PADME yang berarti “teratai” melambangkan kebijaksanaan.


Sebagaimana teratai tumbuh pada lumpur tetapi tidak ternoda oleh cacat
lumpur, begitu pula kebijaksanaan dapat menempatkan Anda pada situasi yang
tidak ada kontradiksi, di mana kontradiksi ini ada jika Anda tidak memiliki
kebijaksanaan. Ada kebijaksanaan yang menyadari hal-hal yang tidak
permanen, bahwa orang tidak berada dalam kehidupan yang dapat memenuhi
segala kebutuhannya, juga kebijaksanaan yang menyadari tidak adanya
perbedaan dari kesatuan lahiriah antara subjek dan objek, dan kebijaksanaan
menyadari tidak adanya kehidupan yang sifatnya permanen. Sekalipun
kebijaksanaan itu banyak macamnya, kebijaksanaan yang paling penting adalah
menjadari adanya kehampaan itu.

Kesucian (kejernihan) harus dicapai dengan kesatuan cara dan


kebijaksanaan dilambangkan dengan suku-kata terakhir HUM yang
menunjukkan tidak adanya pembagian antara keduanya. Keenam suku-kata OM
MA-NI PAD-ME HUM menujukkan bahwa bersandarkan kepada praktek
kesatuan yang tak terbagi antara cara dan kebijaksanaan, Anda dapat merobah
tubuh, ucapan dan pikiran Anda yang tidak jernih menjadi tubuh, ucapan dan
pikiran Buddha yang jernih.94

94
http://www.dharmaweb.org/index.php/On_the_meaning_of_Om_MANI_PADME_HU
M,_by_Tenzin_Gyats
100

Lampiran B
Sya‘ir Mīkhā’īl Na‘īmah, Not dan Lagunya

Saqfu baytī h.adīd * ruknu baytī h.ajar


Fa‘s.ifī yā riyāh. * wa’ntah.ib yā shajar
Wa’sbah.ī yā ghuyūm * wa’ht.ilī bil mat.ar
Wa’qs.ifī yā ru‘ūd * lastu akhshā khat.ar
Saqfu baytī h.adīd * ruknu baytī h.ajar

Min sirājid. d.a’īl * astamid dul bas.ar


Kullamal-laylu t.āl * waz.-z.alāmu’ntashar
Wa idhal fajru māt * wan-nahāru ‘ntah.ar
Fa’khtafī yā nujūm * wa’nt.tafī yā qamar
Min sirājid. d.a’īl * astamid dul bas.ar

Bābu qalbī h.as.īn * min s.unūfi’l-kadar


Fahjumī yā humūm * fi’l-masā was-sah.ar
Wa’zh.afī yā nuh.ūs * bish-shaqā wa’d.-d.ajar
Wa’nzilī bi’l-ulūf * yā khut.ūt.a’l-bashar

Bābu qalbī h.as.īn * min s.unūfi’l-kadar


Wa h.alīfi’l-qad.ā * wa rafīqī’l qadar
101

Fa’qdah.ī yā shurūr * h.awla qalbīsh-sharar


Wa’h.firī yā manūn * h.awla baytī’l -h.ufar
Lastu akhshā’l-‘adhāb *lastu akhsha’d.d.arar
Wa h.alīfi’l-qad.ā * wa rafīqī’l qadar

Keterangan
1. Dalam membaca syair di atas, apabila suku kata dalam huruf tebal ditekan
membacanya, maka akan terjadilah irama yang seperti berikut: --.- -.- *
-.- -.- .
2. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia dapat juga dibaca menurut irama
sebagai berikut:
-.-.-.- * -.-.-.- misalnya
Atap rumahku besi (“dari” tidak dibaca)
Rumahku dari batu
Datanglah angin ribut
Merataplah O pohon, dan seterusnya.
3. Bagi yang dapat membaca not musik dan ingin menyanyikannya dalam
bahasa Indonesia, dapat mencobanya dengan menyesuaikan iramanya.
4. Bagi mereka yang sedang mempelajari bahasa Arab, diharapkan sya’ir ini
dapat juga menolong mereka untuk menambah perbendaharaan kata-kata
bahasa Arab mereka.

[tempelkan not lagu]


102

Bibliografi
A. Buku
Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 1984.
Buku Kegiatan Amaliyah Ramadhan untuk SD/MI oleh Departement Agama
Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2001
Collier’s Encyclopedia. 24 vols. London and New York: P.F. Collier, Inc.,1989.
Cross, Stephen. The Elements of Hinduism. Brisbane: Element Books Ltd.,
1994.
Drury, Nevill. The Healing Power: A Handbook of Alternative Medicine and
Natural Health. French’s Forest, NSW: The Australia & New Zealand
Book Co. Ltd., 1981.
Echols, John M. and Shadily, Hassan. An English-IndonesianDictionary. Ithaca
and London: Cornell University Press, 1975.
Funk & Wagnalls. Standard Dictionary of the English Language. New York:
Funk & Wagnalls, 1974.
Ganeri, Anita. What Do We Know about Hinduism? Hove, East Sussex:
Macdoland Young Books, 1995.
Holy Bible: New International Version. East Brunswick, N.J.: International
Bible Society, 1984.
The New Hutchinson 20th Century Encuclopedia (ed. E.M. Horsley.
Hutchinson, Australia, 1977.
The Hutchinson Softback Encyclopedia (Unabridged). Oxford: Helicon
Publishing Ltd, 1992.
Interpretation of the Meanings of the Noble Qur’an in the English Language.
Riyadh: Ministry of Islamic Affairs, Endowments, Da‘wah and
Guidance, n.d.
Pelletier, Kenneth R. Mind as Healer, Mind as Slayer. London: George Allen &
Unwin, 1978.
Penney, Sue. Hinduism. Oxford: Heinemann Library, 1997.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama R.I., 2004.
Ruslan, H. Muhammad M.A. ed. et al., Ulama Sulawesi Selatan; Biografi
Pendidikan & Dakwah. Makassar: Komisi Informasi dan Komunikasi
MUI, 1428 H/207 M.
Schuffmann, Erisch. Yoga: The Spirit and Practice of Moving Into Stillness.
New York: Pocket Books, 1996.
103

Webster. Popular Encyclopedia. London: Random Century Group, 1991.


Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. Edited by J. Milton
Cowan. 3rd ed. Ithaca (N.Y.): Spoken Language Services, 1976.

B. CD
Program Maktabah Syāmilah

١٣٠٢ ٧٠١)
104

C. Internet
http://blog-artikel-menarik.blogspot.com/2008/01/shalat-tahajjud-
meninggkatkan-kekebalan.html
http://en.wikipedia.org/wiki/chakra
http://en.wikipedia.org/
http://e.wikipedia.org/wiki/Hinduism
http://en.wikipedia.org/wiki/Mantra
http://en.wikipedia.org/wiki/Yoga_as_exercise_or_alternative_med....
http://www.fpmt.org/teachings/lzr/ommanibenefits.asp).
http://www.guardian.co.uk /commentisfree/belief/2009/jan/27/istan
http://www.indianexpress.com/news/deoband-intervenes-muslims...
http://mustdhani.blogspot.com/2008/11/shalat-untuk-pengobatan-dan-
kesehatan.html
http://www.dharmaweb.org/index.php/On_the_meaning_of_
Om_MANI_PADME_HUM,_by_Tenzin_Gyats
D. Kaset
[ ]
Kaset Ceramah Ustadz ‘Amr Khālid tentang Khusyu‘ dalam Shalat (tanpa
tanggal)
105

E. Makalah
Saenong, Faried F. “In Search of Barakka’ and Authenticity: Global Network
of Pesantren and ‘Ulamā’ in South Sulawesi (Indonesia).” Makalah yang
disampaikan dalam Konferensi Internasional SSRC “Inter-Asia
Connection,” Dubai (21 Peb. 2008).
106

Pengarang
Dr. Muhammad Amin A. Samad (lebih dikenal dengan Amin Samad)
lahir di Sengkang, Sulawesi Selatan pada tahun 1938. Ia memperoleh gelar
Ph.D. dari University of Melbourne, Australia (tempat ia pernah membantu
dosen dn mahasiswa mempelajari tata bahasa Bugis pada Departemen
Linguistik selama beberapa bulan), M.A. dari Institute of Islamic Studies,
McGill University, Montreal, Kanada (di mana ia pernah menjadi dosen
pembantu dalam bahasa Arab selama setahun), Diploma dari Ma‘had al-Dirāsāt
al-Islāmiyyah (Institut Studi Islam), dan Lc. dari Cairo University, Kairo, Mesir.
Ia mengajar bahasa Arab dan studi Islam pada Lac la Biche Muslim Association
di Lac la Biche, Alberta, Canada, dan bekerja sebagai Sekretaris dan Pembantu
Imam pada al-Rasheed Mosque, Edmonton, Alberta, Canada.
Dari tahun 1969 sampai 1973, lelaki yang karib dipanggil Amin Samad
ini mengajar bahasa Inggris di (al-Madrasah al-Mutawassit.ah,
SMP) di (al-Khad.rā’), (Sabt Tanūmah), dan (Khamīs
Musha t.) dekat kota (Abhā) di derah (‘Asīr), Arabia Selatan, Arab Saudi.
Dari tahun 1996 sampai 1998, ia pernah menjadi asisten professor pada
Universitas Islam Antarabangsa Malaysia (International Islamic University
Mayasia) di Petaling Jaya (sebelum pindah kampus ke Gombak, Kuala
Lumpur), Slangor, Malaysia, dalam mata kuliah Sciences of the Qur’ān (ilmu-
ilmu al-Qur’ān), Sciences of the Hadīth (ilmu-ilmu Hadits) dan Sīrah (Riwayat
Hidup Nabi Muhammad s.a.w.).
Pada thun 2004, Amin Samad melawat ke Eropa (Prancis, Spanyol, Italia,
Monako, dan Swis), Maroko, Malta, Mesir, Turki, Kanada dan Amerika Serikat.
Karena lawatan ini sangat berkesan baginya, ia berharap bias segera
menyelesaikan tulisannya mengenai perjalanan panjang tersebut dan bentuk
buku, dan dapat membagi kesan-kesannya itu kepada para pembaca. Kini, ia
menetap di Canberra, Australia.

Anda mungkin juga menyukai