Referat Pioderma
Referat Pioderma
Disusun oleh:
Ananda Sekarni Fauzia
Pembimbing:
dr. Didi Supriadi Kartasasmita, SpKK
i
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………... i
DAFTAR ISI…………………………………………………………..……… ii
BAB I
PENDAHULUAN …………………………………………………………….. 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………................ 2
2.1. Definisi ……………...……….…………………….……………………. 2
2.1. Epidemiologi………...……….………….………………….…………… 2
2.1. Etiologi dan pathogenesis…….………………….………………………. 2
2.1. Faktor predisposisi…………….……………….………………………… 2
2.1. Klasifikasi……...……………….………………………………………... 3
2.1. Pengobatan Umum …………….………………………………………... 3
2.1. Pemeriksaan…….……………….………………………………………. 5
2.1. Bentuk Pioderma………………….……………………………………... 5
BAB III
KESIMPULAN…………………………………………………………………. 22
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus, atau oleh kedua-duanya (Djuanda, 2010).
2.2 Etiologi
Sebenarnya infeksi kulit dapat pula disebabkan oleh kuman negative-Gram,
misalnya Pseudomonas aerugunosa, Proteus vulgaris, Proteus mirabilis,
Escherichia coli dan Klebsiella. Penyebab yang umum ialah kuman positif-
Gram yaitu Streptococcus B hemolyticus dan Staphylococcus aureus (Djuanda,
2010).
2.3 Epidemiologi
Pioderma merupakan penyakit yang paling sering dijumpai. Penyakit
ini berhubungan erat dengan keadaan social ekonomi. Tidak ada ras tertentu
yang cenderung terkena pioderma. Pioderma dapat menyerang laki-laki
maupun perempuan pada semua usia (Djuanda, 2010).
2
2.5 Klasifikasi
Pioderma Primer
Infeksi terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu,
penyebabnya biasanya satu macam mikroorganisme.
Pioderma Sekunder
Pada kulit telah ada penyakit kulit yang lain. Gambaran klinisnya tak
khas dan mengikuti penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit disertai
pioderma sekunder disebut impetigenisata, contohnya: dermatitis
impetigenisata, scabies impetigenisata. Tanda impetigenisata ialah jika
terdapat pus, kustul, bula purulen, krusta berwarna kuning kehijauan,
pembesaran kelenjar getah bening regional, leukositosis, dapat pula
disertai demam (Djuanda, 2010).
•Impetigo
•Ektima
Superfisial •Folikulitis
•Furukulosis
•Karbunkel
•Erisipelas
•Selulitis
Profunda •Flegmon
•Abses multipel kelenjar keringat
•Hidraadenitis
3
- Penisilin G prokain, dosisnya 1,2 juta/hari i.m, obat ini sudah
tidak dipakai lagi karena dianggap tidak praktis dan
pemakaiannya sering menimbulkan syok anafilaktik
- Ampisillin, dosis 4×500 mg, ante cunam
- Amoksisilin, dosisnya sama dengan ampisilin, dipakai post-
cunam dan absorbsinya lebih cepat sehingga kadar dalam plasma
lebih tinggi.
- Golongan obat penisilin resisten-penisillinase, contohnya adalah
oksasillin, kloksasillin, dikloksasillin, flukloksasillin. Dosis
3×250 mg/hari ante-cunam. Kelebihan obat ini adalah juga
berkashiat pada Staphylococcus yang telah membentuk
penisilinase.
b. Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin, 3×500 mg/hari. Klindamisin diabsorbsi lebih
banyak karenanya dosisnya lebih kecil yaitu 4×150 mg/hari/os, pada
infeksi berat dosisnya 4×300-450 mg/hari. Linkomisin agar tidak
dipakai lagi dan digantikan oleh Klindamisin karena potensial
antibakterinya lebih besar dan efek sampingnya lebih sedikit dan
tidak terlalu terhambat oleh adanya makanan dalam lambung.
c. Eritromisin
Dosis 4×500 mg/hari/os. Efektivitasnya kurang dibandingkan
Linkomisin/klindamisin dan obat golongan penisilin resisten-
penisillinase. Cepat menyebabkan resistensi dan kadang terjadi tak
enak di lambung.
d. Sefalosporin
Bila terjadi pioderma berat yang dengat obat diatas tidak
menunjukan hasil maka dipakailah Sefalosporin. Ada empat
generasi yang berkhasiat untuk kuman gram positif yaitu generasi I
juga generasi IV. Contohnya adalah sefadoksil dari generasi I
dengan dosis dewasa, 2×500 mg atau 2×1000 mg/hari
Topikal
4
Bermacam obat topical dapat digunakan untuk pioderma, contohnya
basitrasin, neomisin, mupirosin. Neomisin berkhasiat juga untuk bakteri
gram negative, Neomisin dituliskan sering mengalami sensitisasi,
sedangkan teramisin dan kloramfenikol sebenarnya tidak terlalu efektif
namun sering dipakai karenanya harganya murah. Obat-obatan ini
biasanya berbentuk salep atau krim.
Selain itu juga baik agar diberikan kompres terbuka contohnya, larutan
permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 1 o/oo dan yodium povidon
7,5 % yang dilarutkan 10 kali (Djuanda, 2010).
2.7 Pemeriksaan
Pada pemeriksaan laboratorik (darah tepi) terdapat leukositosis. Pada kasus
yang kronis dan sukar sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada
kemungkinan penyebabnya bukan stafilokokus melainkan kuman negative-
Gram. Hasil tes resistensi hanya bersifat menyokong, invivo tidak selalu sesuai
dengan in vitro. Terdapat leukositosis pada pemeriksaan lab. Pada kasus yang
sulit sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada kemungkinan
penyebabnya buka kedua bakteri penyebab pioderma yang sering terjadi
(Djuanda, 2010).
1. IMPETIGO
5
Terdapat 2 bentuk impetigo krustosa dan impetigo bulosa (Djuanda, 2010).
a) Impetigo krustosa
6
berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan akan tampak erosi di bawahnya.
Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah.
Terapi antibiotik yang disarankan jika lesi banyak dan disertai gejala konstitusi
(demam,dll) adalah dengan diberikan antibiotic sistemik, misalnya penisilin,
kloksasilin, atau sefalosporin. Untuk antibiotik topikal dapat menggunakan
polimiksin, neomisin, dan basitrasin (Siregar, 2005).
o Impetigo bulosa
7
o Impetigo neonatorum
Penyakit ini merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonates.
Kelainan kulit serupa impetigo bulosa hanya likasinya menyeluruh, dapat
disertai demam.
Diagnosa banding dengan sifilis congenital. Pada penyakit ini bula juga
terdapat ditelapak tangan dan kaki, terdapat pula snuffle nose, saddle nose, dan
pseudo paralisis parrot. Antibiotic harus diberika secara sistemik. Topical dapat
diberikan bedak salisil 2%.
8
Bila tidak ditangani, infeksi yang invasif daat berkomplikasi menjadi selulitis,
limfangitis, dan bakteremia dengan resultan osteomielitis, septik artritis,
pneumonitis, dan septikemi. Exfoliatin yang diproduksi dapat menyebabkan
scalded skin syndrome pada bayi dan dewasa dengan imunokompromis atau
yang memiliki fungsi renal buruk.
Menurut Fredberg (2010), pengobatan lokal dengan musiprosin salep atau krim
dan pembersihan krusta serta menjaga kebersihan sudah cukup untuk kasus
yang ringan. Akan tetapi, pada kasus berat, penggunaan antibiotik sistemik
dibutuhkan unutk hasil yang optimal. Bila dilakukan isolasi bakteri,
penggunaaan antibiotik sistemik lebih rasional. Pada orang dewasa dengan lesi
luas atau lesi bula, dikloksasilin 250-500 mg peroral 4x1 atau eritromisin250-
500 mg peroral 4x1 bila alergi dengan penisilin, harus diberikan. Pengobatan
diberikan selama 5 hingga 7 hari (10 hari bila treptokokus terisolasi). Selain
itu, single dose azitromisin oral 500 mg pada hari pertama, 250 mg pada hari
selanjutnya selama 4 hari sama efektifnya dengan penggunaan dikloksasilin.
Bila resisten terhadap eritromisin (biasanya pada impetigo anak),
koamoksiklav 25mg/kg 3x1, cefalexin 40-50 mg/kg perhari, cefaclor 20mg/kg
3x1, cefaprozil 20mg/kg perhari, atau klindamisin 15 mg/kg 3-4x1 dapat
diberikan selama 10 hari sebagai terapi alternatif.
2. FOLIKULITIS
9
Folikulitis superfisialis: terbatad di dalam epidermis.
Gejala klinis : Pustul kecil berbentuk kubah dan mudah pecah pada
infundibulum (ostium) dari folikel rambut, sering pada kepala anak dan
pada area yang berjanggut, aksia, ekstremitas, dan bokong pada dewasa.
10
Terapi antibiotik yang disarankan ialah antibiotic sistemik jika luas : eritromisi
3x250 mg selama 7 – 14 hari ; atau penisilin 600.000 – 1,5 juta IU intramuscular
selama 7 – 14 hari. Antibiotic topical, isalnya kemicetin 2% ; jika eksudasi kompres
PK 1/5.000 (Siregar, 2005). Pengobatan lokal dengan kompres hangat salin serta
krim musiprosin cukup untuk mengontrol infeksi (Fredberg, 2003).
3. FURUNKEL/KARBUNKEL
Furunkel ialah pembentukan abses akut pada multipel folikel rambut., Karbunkel
ialah abses dalam pada kumpulan furunkel yang terasa nyeri. Biasanya disebabkan
oleh Staphylococcus aureus. Keluhan yang muncul adalah nyeri, dengan kelainan
berupa nodus eritem berbentuk kerucut dengan pustule ditengahnya. Kemudian
melunak menjadi abses berisi pus dan jaringan nekrotik lalu memecah membentuk
fistel.
11
Predileksi adalah tempat yang banyak friksi, misalnya aksila dan bokong.
Pengobatan jika hanya sedikit furunkel, cukup dengan antibiotic topical, jika
banyak perlu gabungan dengan antibiotic sistemik. Jika terjadi furunkulosis atau
karbunkel berulang-ulang cari faktor predisposisi, misalnya diabetes mellitus
(Djuanda, 2010).
12
karbunkel adalah eritromisin 4x250 mg selama 7 - 14 hari ; penisilin 600.000 IU
selama 5 - 10 hari. Antibiotik yang masih sensitif memberi hasil yang memuaskan
seperti sefalosporin atau golongan kuinolon. Basitrasin topikal juga efektif untuk
pengobatan furunkel (Siregar, 2005).
4. EKTIMA
13
5. PIONIKIA
6. ERISIPELAS
14
tempat predileksinya tungkai bawah. kelainan yang utama adalah eritema merah
cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi dengan tanda radang akut. Dapat
disertai edem, vesikel dan bula. Terdapat leukosistosis. Jika sering residif ditempat
yang sama dapat terjadi limfedema (Djuanda, 2010).
15
Terapi awal diberikan benzylpenicillin selama 2 hingga beberapa hari kemudian
diberikan penisilin V selama 7-14 hari (Gawkrodger, 2003). Terapi antibiotik yang
diberikan adalah penisilin 0,6 - 1,5 mega unit selama 5 - 10 hari, sefalosporin 4 x
400 mg selama 5 hari memberi hasil yang baik (Siregar, 2010).
7. SELULITIS
Inflamasi kulit ini berada lebih dalam daripada erisipelas. Jaringan subkutan terlibat
dan areanya lebih meninggi dan bengkak serta eritemanya lebih tidak tegas daripada
erisipelas (Hunter, 2003). Kadang pada perabaan teraba krepitasi pada selulitis dan
terasa lebih keras daripada erisipelas (Fredberg, 2003). Selulitis sering diakibatkan
adanya trauma sebelumnya dan sering terjadi edema hipostatik. Streptokokus,
stafilokokus dan organisme lain bisa menjadi penyebab. Pengobatannya berupa
elevasi, rawat inap dan antibiotik sistemik (Hunter, 2003).
16
doxycycline 200 mg per oral pada hari pertamaa lalu dilanjutkan dengan 100 mg
per oral (GETIA, 2013).
8. FLEGMON
Selulitis yang mengalami supurasi. Terapi sama dengan selulitis hanya saja
ditambah dengan insisi (Djuanda, 2010).
9. ULKUS PIOGENIK
Berbentuk ulkus, gambaran klinisnya tidak khas dengan disertai pus diatasnya.
Dibedakan dengan ulkus lain yang disebabkan oleh kuman gram negative sehingga
perlu dilakukan kultur (Djuanda, 2010).
17
10. ABSES MULTIPEL KELENJAR KERINGAT
11. HIDRADENITIS
Hidradenitis adalah kelainan kronis berat dari kelenjar apokrin. Banyak papul,
pustul, kista, sinus dan jaringan parut terdapat pada aksila, selangkangan dan daerah
perianal. Kondisi ini mungkin berbarengan dengan akne konglobata. Penyebabnya
belum diketahui tetapi kelainan folikel mungkin penyebabnya. Peningkatan
androgen ditemukan pada beberapa wanita. Hal ini mungkin bukan merupakan
suatu imonodefisiensi atau suatu infeksi primer dari kelebjar apokrin, walaupun
stafilokokus aureus, streptokokus anaerob dan bacterioides spp. Sering ditemukan.
Sebuah grup peneliti mengatakan patogen utama penyebabnya adalah streptococcus
milleri.
Pengobatannya sama seperti akne vulgaris. Antibiotik sistemik membantu lesi awal
untuk berkurang namuntidak efektif untuk lesi abses kronik. Insisi dan drainase
abses dan injeksi intralesi dengan tiamnisolon 5-10 mg/mL dapat mengurangi
insidensi pembentukan scar dan sinus. Klindamisin topikal dapat mencegah
pembentukan lesi baru. Antiandrogen sistemik bisa membantu beberapa wanita.
Kasus yang berat membutuhkan operasi plastik untuk membuang area yang
terjangkit (Hunter, 2003).
.
18
12. S4 (STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME)
S4 pertama kali oleh Ritter von Rittershain, sehingga sering disebut penyakit Ritter.
S.S.S.S ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri yang
khas ialah terdapatnya epidermolisis. Penyakit ini terutama terdapat pada anak
dibawah 5 tahun, pria lebih banyak dari wanita. Etiologinya ialah Staphylococcus
aureus grup II faga 52, 55 dan/atau faga 71. Sumber infeksi penyakit ini ialah
infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga. Eksotoksin yang dikeluarkan
bersifat epidermolitik (epidermolin, eksofoliatin) yang beredar di seluruh tubuh
sampai pada epidermis dan menyebabkan kerusakan. Pada kulit tidak selalu
ditemukan kuman penyebab. Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk
mengekskresikan eksofoliatin, pada bayi diduga fungsi ginjal belum sempurna
sehingga penyakit ini terjadi pada golongan usia tersebut (Djuanda, 2010).
19
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi disaluran nafas bagian
atas. Kelainan kulit yang pertama timbul adalah eritema, yang timbul mendadak
pada muka, leher, ketiak dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam.
Dalam waktu 1-2 hari akan muncul bula-bula berdinding kendur, tanda nikolsky
positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan
lembaran-lembaran kulit sehingga tanpak daerah erosif. Akibat epidermolisis
tersebut gambarannya mirip dengan kambustio. Daerah-daerah tersebut akan
mongering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi. Penyembuhan penyakit
akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai sikatriks. Meskipun dapat sembuh
spontan, dapat pula terjadi komplikasi seperti selulitis, pneumonia dan septicemia.
Jika terdapat infeksi ditempat lain maka dapat dilakukan pemeriksaan bakteriologi.
Juga dilihat tipe kuman karena tidak semua Satphylococcus aureus dapat
menyebabkan penyakit ini, hanya tipe tertentu. Pada kulit tidak ditemukan kuman
penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin (Djuanda, 2010).
20
Pada pemeriksaan histopatologi akan terdapat gambaran yang khas yaitu terlihat
lepuh intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum, meskipun ruang lepuh
sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sisanya tampaknya utuh tanpa
disertai nekrosis sel. Penyakit ini mirip N.E.T (Nekrolisis Epidermal Toksik,
bahkan pada awalnya disebut N.E.T sebelum dilaporkan oleh Ritter). Perbedaannya
S4 umumnya menyerang anak-anak dibawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit
didaerah muka, leher, dan lipat paha, mukosa umumnya tidak diserang dan angka
kematian lebih rendah (meskipun begitu penyakit ini adalah pioderma penyebab
kematian paling mungkin). Kedua penyakit ini sulit dibedakan sehingga ada
baiknya dilakukan pemeriksaan histopatologi secara frozen section agar hasilnya
cepat diketahui, karena prinsip pengobatan keduanya berbeda. Perbedaan terletak
pada celah, S4 di stratum granulosum, N.E.T di sub epidermal. Perbedaan lain pada
N.E.T terdapat nekrosis disekitar celah dan terdapat sel radang (Djuanda, 2010).
Kematian dapat terjadi terutama pada bayi berusia kurang dari 1 tahun dengan
prevalensi sekitar 1-10%. Penyebab utama kematian adalah tidak adanya
keseimbangan cairan dan elektrolit juga karena sepsis (Djuanda, 2010).
Pilihan obat pada penyakit Stafilokokus Scalded Skin Syndrom adalah derivat
penicilin misalnya nafcilin. Alternaif lain adalah generasi pertama sefalosporin.
Tetapi jika pasien alergi dengan penisilin dapat diberikan golongan makrolid atau
aminoglikosid. Vancomycin juga dapat menjadi salah satu pilihan apabila pasien
tidak berespon pada nafcilin (King, 2014).
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi. dkk. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VI. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
Fredberg, I. 2003. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 6th Ed. New
York: Mc Grawhill
Guideline for the Empirical Treatment of Infections in Adults. 2013. Diunduh dari
http://www.ruh.nhs.uk/about/policies/documents/clinical_policies/blue_clinic
al/Blue_796.pdf 13 Agustus 2018.
Hunter, J., Savin, J., Dahl, M. 2003. Clinical Dermatology 3rd Ed. Minessota:
Blackwell
King, R.W. Staphylococca scalded skin syndrome medication. 2016. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1073117-medication#1 13 Agustus
2018.
R.S. Siregar. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta : EGC
23