BAB I
PENDAHULUAN
disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat
kejang tipe apapun secara klinis. Tiap individu yang mengalami epilepsi
munculnya kejang terjadi secara mendadak, tidak disertai demam berulang dan
tidak dapat diprediksi. Kejang yang menahun dan berulang dapat berakibat fatal,
oleh karena itu sasaran terapi utamanya adalah pengendalian penuh atas kejang
(OAE) untuk mengontrol kejang (Brodie dan French, 2000). Terapi pilihan
alkohol atau kurang tidur), stimulasi nervus vagus dan pembedahan (Gidal dan
Garnett, 2005). Terapi dimulai saat pasien mengalami kejang berulang dengan
1
HUBUNGAN KEPATUHAN PENGOBATAN ANTIEPILEPSI TERHADAP FREKUENSI DAN KEPARAHAN
KEJANG PASIEN PEDIATRIK 2
DI RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
SHEILA NABILA FIRDHA
Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
(Gidal dan Garnett, 2005; Lawthorn dan Smith, 2001). Pengobatan epilepsi
dengan OAE bersifat individual dan khas, berbeda dengan terapi terhadap
penyakit lainnya. Sifat khas ini diwarnai oleh jangka waktu pengobatan yang lama
terjadinya interaksi dan efek samping obat, toksisitas dan faktor lain yang dapat
serangan yang tidak kunjung hilang setelah meminum obat, harga obat yang
mahal, kewajiban pasien untuk kontrol secara teratur dan adanya efek samping
terapi pada penyakit epilepsi memerlukan waktu yang tidak sebentar dan
pada 58% pasien anak-anak yang baru terdiagnosis epilepsi dan hanya 42% pasien
mendekati kepatuhan yang sempurna (Modi dkk., 2011 b). Alasan dari
HUBUNGAN KEPATUHAN PENGOBATAN ANTIEPILEPSI TERHADAP FREKUENSI DAN KEPARAHAN
KEJANG PASIEN PEDIATRIK 3
DI RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
SHEILA NABILA FIRDHA
Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
ketidakpatuhan sangat spesifik dan bervariasi pada tiap pasien. Tingkat kepatuhan
pengobatan pada anak-anak ini sangat dipengaruhi oleh peran orang tua dan
dukungan dokter dalam merawat pasien. Beberapa orang tua pasien kemungkinan
pada efek samping yang didapat dari pengobatan (Modi dkk., 2008).
tentang kepatuhan ini dapat menimbulkan perubahan atau peningkatan dosis obat
yang sebenarnya tidak perlu dilakukan (Koumoutsos dkk., 2007). Peran tenaga
pengatasan akan efek samping yang mungkin terjadi, serta edukasi orang tua dan
masih jarang dilakukan. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti
Yogyakarta.
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan :
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
3. Bagi dokter
E. Tinjauan Pustaka
1. Definisi epilepsi
Epilepsi secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu
ada sesuatu dari luar badan seseorang yang menimpa orang tersebut sehingga
yang berulang dan reversibel. Serangan kejang yang merupakan gejala atau
manifestasi klinik utama epilepsi disebabkan oleh berbagai hal, yang dapat
Secara prinsip, serangan terjadi berulang kali dengan pola yang sama, tanpa
yang mencetuskan lepas muatan listrik abnormal serta jalur-jalur yang dilalui
oleh lepas muatan listrik tersebut atau bagian disekitar jalur tersebut, sehingga
dalam manifestasi klinis ini, maka cukup sulit membedakan jenis epilepsi
secara klinis. Bangkitan epilepsi tidak selalu bersifat eksitasi atau kejang
2. Klasifikasi epilepsi
informasi tentang epilepsi dan bermanfaat untuk menentukan terapi yang tepat
terdiri dari 3 kategori utama yaitu kejang parsial, kejang umum dan kejang
Kejang ini terjadi pada salah satu atau lebih lokasi yang spesifik
pada otak. Dalam beberapa kasus, kejang parsial dapat menyebar luas di
Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian otak
sulit dibedakan dengan kejang umum. Hal ini karena kejang parsial
b. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi
pada daerah otak yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial.
Oleh karena itu, kejang ini memiliki efek yang lebih serius pada pasien.
sangat singkat sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang dijumpai dan
deficit.
diikuti dengan tanda gejala motorik yang jelas. Kejang ini diperantarai
Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Fase
tonik beberapa menit disusul gerakan klonik yang sinkron dari otot-
keluar air liur, inkontinensi urin dan atau menggigit lidah. Segera
3) Kejang atonik
yang terkulai.
4) Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat,
Biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur, pasien mengalami
Kejang kemungkinan terjadi secara tonik atau klonik saja. Pada kejang
detik, tetapi kejang ini tidak berkembang menjadi klonik atau jerking
tonik.
oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang
adanya perbedaan fungsi dan hubungan saraf pada sistem saraf pusat di
3. Etiologi epilepsi
normal dan stabilitas saraf, dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Ada
ribuan kondisi medis yang dapat menyebabkan epilepsi, dari adanya mutasi
genetik hingga luka trauma pada otak (Rogers dan Cavazos, 2008). Etiologi
kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis terapi yang tepat bagi pasien.
akibat dari berbagai proses patologi sehingga berdampak pada otak. Epilepsi
bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat timbul karena
suatu penyakit. Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat
(Harsono, 1999).
yaitu:
sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Dalam jenis ini, tidak
HUBUNGAN KEPATUHAN PENGOBATAN ANTIEPILEPSI TERHADAP FREKUENSI DAN KEPARAHAN
KEJANG PASIEN PEDIATRIK 13
DI RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
SHEILA NABILA FIRDHA
Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
tinggi pada anak-anak (Berg, 2006). Diduga bahwa serangan terjadi karena
yang diketahui pada onset kejang parsial (Rogers dan Cavazos, 2008).
b. Epilepsi sekunder
dari adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan
bawaan sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan
otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Gangguan ini
4. Patogenesis epilepsi
lebih dominan daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi gangguan fungsi
menguatnya sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
paling dikenal adalah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Dalam
depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik
(Shih, 2007).
HUBUNGAN KEPATUHAN PENGOBATAN ANTIEPILEPSI TERHADAP FREKUENSI DAN KEPARAHAN
KEJANG PASIEN PEDIATRIK 15
DI RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
SHEILA NABILA FIRDHA
Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
oleh ion K dari ekstraseluler ke intraseluler dan kurang untuk ion Ca, Na dan
Cl. Perbedaan konsentrasi yang dibuat ini yang akan menimbulkan potensial
membran.
a. Perubahan distribusi, jumlah, tipe dan kandungan kanal ion pada membran
oleh ion Ca dan Na dari ruang ekstrasel ke intrasel. Influks dari Ca ini
terkait di dalam sel. Sifat khas dari epilepsi ialah terjadinya penghentian
d. Anak dengan kejang demam kompleks memiliki risiko epilepsi yang lebih
trisiklik;
f. Perubahan hormonal;
5. Diagnosis epilepsi
diagnosis epilepsi.
2007). Namun gangguan fungsi otak tidak selalu tercermin dalam rekaman
EEG. Kenyataannya didapat bahwa gambaran EEG normal dapat terjadi pada
anak dengan kelainan otak yang jelas dan sebaliknya, gambaran EEG
abnormal dapat dijumpai pada anak normal dan sehat, rekaman EEG yang
EEG abnormal paling sering ditemukan pada kejang parsial kompleks dan
ringan dan tidak khas dapat dijumpai pada 15% populasi normal (Pedley dkk.,
1995).
HUBUNGAN KEPATUHAN PENGOBATAN ANTIEPILEPSI TERHADAP FREKUENSI DAN KEPARAHAN
KEJANG PASIEN PEDIATRIK 18
DI RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
SHEILA NABILA FIRDHA
Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
mungkin CP), kadar prolaktin serum dapat meningkat. Kadar prolaktin serum
yang didapat 10 – 20 menit dari kejang tonik klonik dapat berguna dalam
2005).
6. Pengobatan epilepsi
a. Diagnosa
kriptogenik
d. Elektroensefalogram
e. Umur
f. Tipe kejang
h. Jenis epilepsi
k. Harapan penderita
yang khusus. Penentuan diagnosis epilepsi yang tepat akan membantu dalam
dan Cavazos, 2008). Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neurologi Ikatan Dokter
a. Kejang parsial dan kejang umum tonik klonik, termasuk kejang berulang
Apabila kejang tetap tidak dapat dikendalikan (suboptimal) maka dosis dapat
efek samping obat yang tidak dapat diterima. Ketika efek samping terjadi
sebelum kendali kejang dicapai, maka obat sebelumnya diganti atau ditambah
dengan obat antiepilepsi (OAE) lain sebagai politerapi (Sander dkk., 2009).
kejang tertentu yang sesuai dengan mekanisme aksi obat tersebut. Obat
lini pertama.
tersebut masih sedikit. Selain itu, ada obat yang diciptakan sebagai terapi
(Topiramat).
d. Mengikat kanal Ca
Zonisamid.
(Brodie dan Dichter, 1996; Gidal dan Garnett, 2005; Lawthorn dan Smith,
2001).
HUBUNGAN KEPATUHAN PENGOBATAN ANTIEPILEPSI TERHADAP FREKUENSI DAN KEPARAHAN
KEJANG PASIEN PEDIATRIK 22
DI RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
SHEILA NABILA FIRDHA
Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Pedoman pemilihan OAE dapat dilihat pada Tabel III dan IV berikut:
Tabel IV. Pemilihan OAE yang Disarankan ILAE untuk Pasien Pediatrik
General
Tipe Kejang Parsial
Absense Tonik-klonik
Lini pertama - - Oxcarbazepine
Carbamazepin, Carbamazepin,
Ethosuximide, Fenobarbital, Fenobarbital,
Alternatif Lamotrigin, Fenitoin, Fenitoin,
Asam Valproat Topiramat, Topiramat,
Asam Valproat Valproat
(Wells, 2009)
8. Kepatuhan
a. Pendahuluan
makan, dan atau perubahan pola hidup) sesuai dengan petunjuk dan saran
medis yang telah disepakati oleh dokter (Quittner dkk., 2008). Beberapa
sesuai dosis (terlalu banyak atau terlalu sedikit), gagal dalam mengikuti
jadwal minum obat, tidak minum obat sesuai jangka waktu tertentu atau
kronis sangat bergantung pada jenis penyakit, kerumitan regimen dan alat
teratur sesuai resep dapat berakibat terjadinya resistensi obat, reaksi obat,
kejang yang persisten) (Bassili dkk., 2002; Cramer dkk., 2002; Jones dkk.,
pada alat ukur yang digunakan. Tingkat kepatuhan pada penyakit epilepsi
Contohnya pada TDM, kadar obat dalam darah dapat berubah sesuai
obat dianggap sebagai alat pengukur kepatuhan yang paling akurat dan
HUBUNGAN KEPATUHAN PENGOBATAN ANTIEPILEPSI TERHADAP FREKUENSI DAN KEPARAHAN
KEJANG PASIEN PEDIATRIK 25
DI RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
SHEILA NABILA FIRDHA
Universitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
dalam perawatan kesehatan rutin (Jones dkk., 2006; Modi dkk., 2011a).
Metode yang lebih bermanfaat secara klinis dan relatif akurat menilai
kepatuhan dan frekuensi kejang, karena data yang dihasilkan menjadi tidak
berbeda signifikan antara pasien yang bebas kejang dan yang tidak
pertama yang dikembangkan oleh Modi dkk. (2010) dan dapat digunakan
pengobatan, serta batasan akan pengobatan yang ada pada populasi pasien
validitas telah diujikan pada pasien epilepsi anak di Cincinnati pada tahun
Skala ini merupakan salah satu skala yang yang paling penting dalam
9. Keparahan kejang
sebagai alat ukur dianggap tidak dapat mencerminkan efek pengobatan yang
secara potensial dapat bermanfaat. Hal ini penting bagi pasien epilepsi
refraktori, yang mana tidak mungkin terjadi pencapaian remisi kejang dan
terhadap peningkatan kualitas hidup (Carpay & Arts, 1996; Todorova dkk.,
2013).
ditujukan untuk pasien pediatrik hingga umur 16 tahun. Instrumen ini terdiri