Anda di halaman 1dari 8

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

Nama: Russal Reindy Neonufa dan Varel Maureen


Kelas/Semester: A/4
Mata Kuliah: Etika
Dosen Pengampu: Robert P. Borong, Ph.D.

PERCERAIAN: Pandangan Etika Kristen

Pendahuluan
Dalam kehidupan, setiap manusia tentu tidak dapat terlepas dari relasi dengan
sesama. Status sebagai makhluk sosial secara tidak langsung membuat manusia
membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupan. Dalam keadaan tersebutlah,
terbangun relasi di antara sesama manusia. Terdapat berbagai macam relasi, antara lain
relasi dalam ranah pekerjaan, pertemanan, ataupun relasi dalam ranah perkawinan.
Perkawinan merupakan salah satu bentuk relasi yang dibangun oleh manusia. Bagi
sebagian masyarakat Indonesia, pernikahan tidak hanya sebagai bentuk relasi, tetapi
juga menjadi suatu kewajiban yang perlu dilakukan. Tidak dapat dipungkiri, pemikiran
ini tidak terlepas dari doktrin atau ajaran agama yang mengajarkan mengenai
perkawinan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2015, negara Indonesia telah
melangsungkan pernikahan sebanyak 1.958.394 kali. Jumlah ini terbilang cukup banyak
jika dilihat dari jumlah masyarakat Indonesia. Namun, jumlah ini terbilang menurun
bila dibandingkan dengan jumlah pernikahan yang telah berlangsung pada tiga tahun
terakhir yakni dari tahun 2012 sampai 2014. Hemat kami, salah satu penyebab
menurunnya jumlah pernikahan di Indonesia ialah tingginya angka perceraian di
Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa pada tahun 2015 terdapat 347.256
kasus perceraian. Jumlah ini meningkat dari jumlah perceraian sejak tahun 2012.
Melalui data tersebut, kelompok akan mencoba menganalisis permasalahan perceraian
tersebut dengan teori dari beberapa tokoh, dan pada bagian akhir, kelompok akan
menyampaikan pandangan kelompok atas kasus tersebut.

Contoh Kasus Perceraian


Doni adalah seorang pengusaha kecil salah satu kota besar di Indonesia. Sebagai
seorang pengusaha kecil, pendapatan yang dihasilkannya pun tidak tetap dan

1
cenderung minimalis. Dia memiliki seorang istri yang telah dinikahinya sejak 10 tahun
yang lalu. Istrinya bekerja sebagai seorang ibu rumah tangga. Awalnya kehidupan
mereka harmonis sampai akhirnya mulai ada perselisihan akibat masalah ekonomi. Istri
Doni menuntutnya untuk mencari pekerjaan lain karena pendapatannya saat ini terasa
kurang untuk membiayai kehidupan mereka. Mereka juga sering berhutang kemana-
mana dan sulit untuk melunasi hutang tersebut.
Selain karena masalah ekonomi, perselisihan mereka juga diakibatkan oleh
kecurigaan Doni terhadap sikap istrinya yang berubah drastis. Belakangan ini, istrinya
jadi sering mengeluh dan marah. Bahkan, tak jarang istrinya keluar sendirian dengan
alasan ingin menenangkan diri. Selain itu, istri Doni juga sering sibuk dengan
handphone-nya sampai lupa mengerjakan pekerjaan rumah. Hal ini menimbulkan
kecurigaan yang semakin besar bagi Doni. Akhirnya, pada suatu waktu Doni berencana
untuk mencari tahu isi handphone istrinya tanpa sepengetahuan istrinya.
Suatu ketika, sang istri meninggalkan handphone-nya di kamar saat sedang
memasak. Melihat hal ini, Doni mengambil kesempatan untuk pergi ke kamar dengan
alasan ingin berbaring sejenak. Setibanya di kamar, Doni langsung memeriksa isi
handphone tersebut dan kecurigaannya pun terjawab. Istrinya terbukti melakukan
perselingkuhan dengan seorang pengusaha kaya melalui percakapan mereka di media
sosial. Parahnya, dalam percakapan tersebut sempat membicarakan mengenai aksi
perzinahan yang telah mereka lakukan. Mengetahui hal ini, Doni sangat marah dan
akhirnya ia memutuskan untuk menceraikan istrinya. Dia beranggapan bahwa mungkin
karena pengusaha kaya itu lebih mampu untuk memuaskan istrinya melalui
kemapanannya sehingga istrinya memilih untuk berselingkuh. Akhirnya, proses
perceraian pun berlangsung dan Doni bersama sang istri resmi bercerai.

Definisi Perceraian
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan beberapa definisi terhadap
perceraian. Perceraian dapat berarti perpisahan atau perpecahan dalam berbagai hal.
Dalam tulisan ini, perceraian yang dimaksud berkaitan dengan perpisahan atau
perpecahan antara suami dan istri. Perceraian merupakan hal yang lazim di konteks
kita sebagai warga negara Indonesia. Bahkan tidak jarang, perceraian dianggap sebagai
trend. Kasus-kasus perceraian tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat biasa tapi

2
juga terjadi di kalangan orang-orang penting. Hal ini menyebabkan tidak jarang, kasus
perceraian sering diekspos menjadi perhatian publik (Borrong 2006, 7).
Kasus perceraian merupakan hal yang lazim sejak dulu kala di lingkungan
masyarakat Yunani. Bahkan konon dalam undang-undang Yunani kuno, seorang laki-
laki dapat mengakhiri pernikahannya kapan saja. Tidak jauh berbeda dengan hal
tersebut, di kalangan masyarakat Romawi purba, hidup dengan pasangan hidup terlalu
lama dianggap memiliki selera rendahan. Hal ini membuat mereka memilih untuk
menikah beberapa kali. Pada akhirnya, kejadian-kejadian seperti ini menjadikan
tindakan perceraian sebagai sesuatu yang sepele. Pernikahan dianggap sebagai kontrak
sosial yang bisa diakhiri kapan saja oleh kedua pihak ketika mereka merasa tidak lagi
cocok (Borrong 2006, 68).

Penyebab Perceraian
Secara umum, alasan-alasan terjadinya perceraian sangat bervariasi. Menurut
Robert Borrong, ada tiga alasan yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian.
1. Pendidikan
Penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa dari keseluruhan pasangan
yang bercerai, 55% di antaranya berasal dari kalangan masyarakat berpendidikan
rendah. Sedangkan di Indonesia, angka perceraian di kalangan masyarakat
berpendidikan rendah banyak ditemukan di desa-desa (Borrong 2006, 68).
2. Pekerjaan/pendapatan
Pendapatan atau pekerjaan merupakan salah satu pemicu perceraian yang sering
terjadi di Indonesia. Masalah ekonomi sering menjadi alasan seseorang ingin bercerai.
Penelitian di Amerika Serikat juga memunjukkan bahwa perceraian lebih sering terjadi
di kalangan pasangan dengan pendapatan rendah daripada pasangan dengan
pendapatan yang cukup (Borrong 2006, 69).
3. Perkawinan dini
Sama halnya dengan alasan yang lain, perkawinan dini juga merupakan alasan
perceraian yang lazim ditemukan di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kedewasaan
emosional pasangan muda. Dilihat dari segi emosional, pasangan muda ini memiliki
emosi yang masih sangat labil dalam menghadapi tantangan rumah tangga. Selain
disebabkan oleh faktor psikologis, faktor pendidikan dan pekerjaan juga ikut
berpengaruh disini. Perkawinan dini cenderung diikuti dengan pendidikan yang

3
minimalis serta pendapatan yang rendah. Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat,
perempuan muda yang menikah pada usia 18-19 tahun, cenderung mengalami
kegagalan dalam hubungan. Demikian halnya juga dengan pria yang menikah pada usia
terlalu muda (Borrong 2006, 69).
Selain itu, Sri S. Sikindar Basha, seorang hakim sipil senior di Rayachoti, India,
menungkapkan bahwa teori mengenai perceraian atau penyebab suatu percerain
adalah dua pembagian, yaitu: salah dan tidak salah. Salah atau fault yang dimaksud
merupakan teori dimana seorang dari pasangan suami istri (pasutri) menggugat cerai
karena adanya kesalahan yang diperbuat oleh pasangannya. Apapun dapat dijadikan
alasan bagi penggugat apabila yang dilakukan pasangan memang benar adanya sebagai
kesalahan. Di sisi lain, teori no fault mengungkapkan bahwa terjadinya sebuah
perceraian juga tidak selalu berdasarkan apa kesalahan yang diperbuat, tetapi juga
apakah temperamen seorang dari pasutri itu dapat disesuaikan atau dapat ditoleransi
oleh pasangannya, bagaimana hubungan keduanya. (Basha, 1-9)

Pandangan Alkitab
PERJANJIAN LAMA
Ulangan 24:1-4 merupakan bagian dalam kitab Perjanjian Lama yang secara jelas
diberi judul oleh LAI “Tentang Perceraian”. John Stott memberikan pemahaman kembali
kepada pembaca bukunya yang berjudul “Isu-isu Global” bahwa sebenarnya ada tiga hal
yang perlu diperhatikan. Pertama, kemungkinan, pada bagian tersebut, ingin
mengungkapkan bahwa adanya perlindungan kepada perempuan yang disakiti oleh
mantan suami atau mantan suaminya berlaku kejam terhadap dirinya. Meskipun
demikian, hal itu tidak berarti bahwa perceraian diizinkan (Stevanus 2018, 141).
Kedua, perceraian karena hal yang tidak senonoh kurang jelas dipahami.
Penafsiran Rabi Shammai hanya memahami tidak senonoh dalam artian yang sempit,
sebagai contoh, perzinahan. Hal yang sering terjadi pada abad-abad awal adalah ketika
seorang suami berhak untuk menyerahkan surat cerai kepada istrinya, sebagai bukti
legal untuk menceraikan istrinya, sekaligus izin bagi perempuan untuk menikah
kembali. Ketiga, pemahaman budaya kuno mengenai perceraian juga dapat diartikan
bahwa dapat menikah kembali jika sudah bercerai. Hal yeng perlu diperhatikan dalam
bagian kitab Ulangan 24:14 adalah bahwa bagian kitab ini tidak dapat dijadikan dasar

4
oleh seseorang untuk menceraikan pasangannya, melainkan untuk melindungi hak-hak
perempuan (Stevanus 2018, 141-142).
PERJANJIAN BARU
Matius 5:32 dan Matius 19:9 tertulis mengenai perceraian dan zinah. Apapun
alasan seseorang bercerai, ia juga berzinah. Hal tersebut tidak berarti bahwa
perzinahan adalah masalah yang harus dijadikan alasan untuk bercerai. Pada kedua
ayat dari kitab Matius tersebut dikatakan sedemikian rumit bahwa Yesus
mengungkapkan bahwa sebenarnya perceraian itu tidak dikehendaki Allah untuk
terjadi dalam kehidupan manusia. Alasan ekonomi atau rasa kesepian seorang dari
suatu pasangan tetap juga bukan alasan untuk seseorang bercerai dengan pasangannya
(Winarto 2013, 71-72).

Analisis Kasus
Secara umum, kasus perceraian yang dialami oleh Doni merupakan kasus
perceraian yang diakibatkan oleh masalah ekonomi dan perzinahan. Pertama, kami
menyimpulkan bahwa kasus ini diakibatkan oleh masalah ekonomi karena hal ini
sangat jelas ditunjukkan oleh sikap emosional sang istri. Ketika awal mula kehidupan
keluarga mereka, masalah ini tidak terlalu dipersoalkan karena mungkin kebutuhan
mereka masih dapat terpenuhi. Akan tetapi, setelah beberapa tahun, kebutuhan
keluarga mereka pastilah akan semakin bertambah. Apabila peningkatan kebutuhan ini
tidak diimbangi dengan pendapatan Doni, maka wajar ketika hal ini akhirnya menjadi
masalah. Apalagi dalam keluarga itu, hanya Doni yang memiliki pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
Kedua, kami melihat bahwa terjadinya perceraian antara Doni dan istrinya
dipicu oleh sikap istrinya yang melakukan perselingkuhan dan perzinahan. Menurut
kami, hal ini merupakan penyebab yang sangat fatal dan paling memicu terjadinya
perceraian. Hal ini dapat dilihat dari ekspresi Doni ketika mengetahui perselingkuhan
dan perzinahan yang dilakukan istrinya. Ia merasa sangat marah dan kemarahan ini
membuat dia mengambil sikap untuk menceraikan istrinya.
Melihat kedua alasan ini, sepertinya perceraian yang terjadi disetujui oleh kedua
pihak, baik Doni maupun istrinya. Istri Doni merasa sangat tidak puas dengan
kehidupan keluarganya karena mereka selalu berkekurangan. Selain itu, ia juga
mungkin saja merasa malu karena mereka selalu berhutang namun sulit untuk melunasi

5
hutang tersebut. Sebaliknya, Doni merasa ingin bercerai karena ia sangat kecewa
dengan sikap sang istri. Kemudian, ia juga pasti akan sangat malu apabila sikap istrinya
diketahui oleh masyarakat sekitar.
Apabila dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Borrong, maka kasus
perceraian ini digolongkan dalam kasus yang diakibatkan oleh faktor pendapatan.
Faktor pendapatan inilah yang mungkin berimbas kepada sikap perselingkuhan dan
perzinahan yang dilakukan oleh istrinya. Hal ini membuktikan bahwa faktor
pendapatan sangat berpengaruh terhadap keharmonisan rumah tangga. Kemudian jika
dilihat dari teori Sri S. Sikindar Basha, kasus ini digolongkan dalam teori fault. Hal ini
disebabkan karena Kasus perceraian ini dipicu oleh suatu permasalahan. Permasalahan
tersebut masuk ke dalam kategori perzinahan. Kategori ini dimaksudkan ketika seorang
dari suatu pasangan melakukan hubungan dengan orang yang bukan pasangannya
secara sah.
Apabila ditinjau dari segi etika biblis, tindakan perceraian merupakan tindakan
yang berdosa. Matius 19:9 mengatakan, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa
menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia
berbuat zinah.” Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa tindakan perceraian
yang dilakukan dengan alasan lain – selain karena pasangannya melakukan perzinahan
– adalah dosa. Hal ini tidak serta-merta memberikan kebebasan kepada seseorang
untuk melakukan perceraian tanpa pertimbangan karena pada dasarnya perceraian
merupakan hal yang dibenci oleh Allah. Maleakhi 2:16 mengatakan bahwa “Sebab Aku
membenci perceraian, Firman Tuhan, Allah Israel--juga orang yang menutupi
pakaiannya dengan kekerasan, Firman Tuhan semesta alam. Maka jagalah dirimu dan
janganlah berkhianat!”
Kasus perceraian yang terjadi di atas merupakan kasus yang dipicu oleh
tindakan perzinahan. Hal ini secara etika Kristen dapat dibenarkan apabila setelah
melakukan perzinahan, sang suami tidak lagi kawin dengan perempuan lain. Apabila
Doni kawin lagi dengan perempuan lain, maka ia akan berdosa karena melakukan
perzinahan juga.

Konklusi dan Refleksi


Terjadinya perceraian atau berpisahnya pasangan rumah tangga dipicu oleh
beberapa hal, antara lain: pendidikan, yang mana dipengaruhi oleh pengetahuan yang

6
dimiliki masyarakat mengenai pernikahan dan kehidupan keluarga;
pekerjaan/pendapatan, bagaimana pendapatan yang diperoleh suatu keluarga dalam
menghidupi kehidupan sekeluarga; perkawinan dini, yang juga dipengaruhi oleh
pendidikan dan pendapatan; serta perzinahan, yang mana terjadi hubungan antara
seorang dari pasutri dengan orang lain yang bukan pasangannya secara sah. Hal
tersebut kurang sesuai dengan perkataan-perkataan Yesus mengenai perceraian. Secara
etika Kristen, perceraian merupakan hal yang salah. Akan tetapi, masih ada toleransi
yang dapat diberikan untuk pelaku kasus perceraian.
Sebenarnya tanggapan atas kasus perceraian dapat terbilang relatif. Dalam
beberapa kasus, perceraian tetaplah sebuah kesalahan namun di kasus lain ia bisa saja
dibenarkan. Apabila melihat kasus di atas, perceraian yang dilakukan bisa saja
dibenarkan karena faktor perzinahan yang dilakukan oleh istrinya. Akan tetapi, kita
tidak dapat sepenuhnya menyalahkan sang istri karena ia juga cukup mendapat tekanan
dalam kehidupan mereka yang selalu berkekurangan. Hal ini perlu kita refleksikan
bersama secara lebih mendalam.
Permasalahan di atas memang berat, namun rasa percaya antara satu sama lain
kiranya dapat mempengaruhi hubungan pasutri. Jika rasa percaya terhadap satu sama
lain kurang, dapat memicu adanya permasalahan-permasalahan yang berujung
perceraian. Meski tidak dipungkiri bahwa pasangan yang percaya terhadap satu sama
lain ada juga yang berujung pada perceraian, jika rasa percaya itu luntur. Pasutri
sebagai keluarga juga sebaiknya membangun kepercayaan dan saling mendukung, juga
terbuka. Hal tersebut mungkin sulit dilakukan, namun dapat menjadi hal yang baik jika
diusahakan dalam kehidupan berkeluarga.

Daftar Acuan
Basha, Sri S. Sikinder. Divorce under fault and no fault theory. Diunduh dari Website
Districts Ecourts https://districts.ecourts.gov.in/sites/default/files/2-
Divorce%20Theory%20-%20by%20Sri%20Sikinder%20Basha.pdf (diakses 16
April 2019)
Borrong, Robert P. 2006. Etika seksual kontemporer. Bandung: Ink Media.
Stevanus, Kalis. 2018. Sikap etis gereja terhadap perceraian dan pernikahan kembali.
Diunduh dari Website Garuda Ristekdikti
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=820176&val=1295

7
2&title=Sikap%20Etis%20Gereja%20Terhadap%20Perceraian%20dan%20Pern
ikahan%20Kembali (diakses 16 April 2019)
Winarto, Amos. 2013. Kau bukan seperti yang dulu lagi: Sebuah refleksi teologis-etis
perceraian. JTA Vol. 15, no.4 (Maret): 65-73.

Anda mungkin juga menyukai