[3.1] Umum
Gelombang adalah suatu manifestasi dari gaya-gaya yang bekerja pada fluida yang
cenderung merubah bentuknya melawan tarikan gaya gravitasi dan tegangan permukaan.
Keadaan ini terjadi dalam berbagai bentuk dan ukuran, tergantung pada besarnya gaya
yang bekerja terhadap air (US Army Corps of Engineer, 1984).
Puncak a
H x
Lembah η(x,t)
Periode gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh dua puncak gelombang yang
berurutan untuk melewati satu titik yang sama. Saat gelombang berpindah sejauh L dalam
waktu satu periode T, kecepatan gelombang, disebut celerity C, didefinisikan dengan
rumus C = L/T. Ketika gelombang merambat dengan celerity C, partikel air yang
menyusun gelombang tidak bergerak sesuai dengan arah gelombang (Dean dan Dalrymple,
2002).
∇. u = 0 (3.1)
atau
∇ .∇ φ = 0 (3.2)
Persamaan (3.2) dapat ditulis kembali dalam bentuk persamaan Laplace menjadi
∂ 2φ ∂ 2φ ∂ 2φ (3.3)
∇ 2φ = + + =0
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
Jika ditinjau dalam bidang dua dimensi x dan z, persamaan Laplace di atas menjadi
∂w ∂u
- =0 (3.4)
∂x ∂z
atau dalam bentuk persamaan stream function
∂ 2ψ ∂ 2ψ (3.5)
∇ 2ψ = + =0
∂x 2 ∂z 2
Persamaan (3.3) sampai (3.5) dikenal sebagai persamaan Laplace yang merupakan
persamaan pengatur BVP (Boundary Value Problem) dalam penurunan teori-teori
gelombang sesuai dengan syarat batas yang ada (Dean dan Dalrymple, 2002).
Penyelesaian persamaan (3.4) dan (3.5) memerlukan nilai syarat batas tertentu untuk
menghasilkan solusi yang bersifat khusus (unique solution), sesuai dengan solusi
penyederhanaan tertentu yang akan menghasilkan teori gelombang yang berbeda. Syarat
batas yang dimaksud adalah:
L KFSBC
z DFSBC
η(x, t)
H x
Lembah
BBC
Gambar 3.2 Permasalahan nilai batas untuk gelombang periodik (Dean dan Dalrymple, 2002).
(i) Syarat batas kinematis (kinematic free surface boundary condition, KFSBC)
∂φ ∂η ∂φ ∂η
= + ; pada z = η(x,t) (3.6)
∂z ∂t ∂x ∂x
(ii) Syarat batas dinamis (dynamic free surface boundary condition, DFSBC)
∂φ 1 2
- + (u + w 2 ) + gz = C (t ) ; pada z = η(x, t) (3.7)
∂t 2
dimana, u = ∂ф/∂x dan w = ∂ф/∂z.
III-2
2. Syarat batas dasar perairan (the bottom boundary condition, BBC)
Syarat batas dasar perairan (pada z = -h) termasuk dalam tipe syarat batas
kinematis.
dh
u +w = 0 (3.8a)
dx
w dh
=- (3.8b)
u dx
Persamaan (3.8b) menyatakan bahwa arah kecepatan partikel air tangensial
terhadap dasar perairan. Untuk dasar perairan yang datar, syarat batasnya menjadi:
∂φ
w =- = 0 ; pada z = -h
∂z
Kondisi ini menggambarkan bahwa kecepatan partikel fluida tegak lurus dengan
dasar perairan impermeabel dan diam adalah nol.
Solusi tepat (exact solution) dari persamaan di sub-bab persamaan pengatur diatas sulit
ditentukan karena syarat batas dipermukaan memiliki suku-suku tak linier serta kondisi
awal dipermukaan, z = η(x, t) tidak diketahui. Oleh karenanya dilakukan penyederhanaan
dengan melinierkan suku-suku tak linier. Pelinieran dilakukan dengan membuat asumsi
bahwa tinggi gelombang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan panjang gelombang L
dan kedalaman h, jadi H<<L,h. Berdasarkan asumsi ini maka teori gelombangnya disebut
dengan teori gelombang linier.
Sekarang dengan asumsi bahwa H<<L,h tersebut maka nilai suku-suku tak linier pada
syarat batas kecil dan dapat diabaikan serta syarat batas dipermukaan dapat diterapkan di
z = 0, bukan di z = η lagi.
III-3
Dari syarat batas dinamis, dengan membuat rata-rata η = 0 maka C(t) = 0 sehingga
1 ∂φ
η = ; pada z = 0 (3.14)
g ∂t
atau
H
η= cos (kx - σt ) (3.15)
2
Sementara itu dari syarat batas kinematis serta dengan memperhatikan persamaan (3.8)
dan (3.10) didapat persamaan baru yang disebut persamaan dispersi, yaitu
σ 2 = gk tanh kh (3.16)
2
⎛ 2π ⎞ 2π
⎜ ⎟ =g tanh kh (3.17)
⎝ T ⎠ L
atau
L2 g (3.18)
C2 = 2
= tanh kh
T k
Pada laut dalam, kh besar dan tanh 2πh/L = 1.0, sehingga L = Lo = gT2/2π, dimana
subskrip nol menunjukkan kondisi laut dalam. Secara umum dapat dituiskan secara berikut
L = Lo tanh kh (3.19)
Jadi panjang gelombang berkurang dengan berkurangnya kedalaman dengan periode yang
konstan.
Kecepatan dan percepatan partikel air diturunkan dari potensial kecepatan Ф. Kecepatan
partikel merupakan turunan pertama potensial kecepatan Ф terhadap x dan z untuk
masing-masing kecepatan arah horizontal x dan arah vertikal z. Sementara percepatan
merupakan turunan pertama dari kecepatan terhadap waktu.
III-4
Kecepatan partikel air arah vertikal w adalah
∂φ H 2 sinh k (h + z )
w =- = σ sin(kx - σt ) (3.23)
∂z 2 sinh kh
dan percepatan partikel air arah vertikal adalah
∂w H sinh k (h + z )
= - σ2 cos (kx - σt ) (3.24)
∂t 2 sinh kh
Kecepatan dan percepatan merupakan fungsi dari posisi sehingga terdapat beda fase
sebesar 90o. kecepatan horizontal akan mempunyai nilai yang ekstrim pada saat posisi
fasenya (kx-σt) = 0, π, … atau dibawah puncak dan lembah gelombang. Sementara
percepatan mempunyai nilai ekstrim pada saat π/2, 3π/2, … atau pada waktu elevasi
muka air adalah nol.
η H
h
w U
u
Teori gelombang cnoidal valid untuk perairan yang relatif dangkal. Untuk menurunkan
gelombang dengan tinggi gelombang tertentu, asumsi-asumsi penyederhanaan yang
digunakan pada teori gelombang linear (H<<L) dan (H<<h) tidak lagi dapat digunakan.
Untuk perairan dangkal, asumsi bahwa H<<h tidak lagi valid.
Di perairan dangkal, skala vertikal dan horisontal merupakan orde-orde besaran yang
berbeda. Supaya lebih jelas, variabel-variabel yang ada dirubah menjadi tidak berdimensi
dengan mengunakan skala panjang arah horixontal (L), skala panjang vertikal (H), skala
kecepatan ( gh ):
x z η ψ
X= Z= N= Ψ = (3.25)
L h h h gh
q p pB
Q = P= PB =
h gh ρgh ρgh
III-5
Permasalahan nilai batas secara lengkap dinyatakan dalam bentuk variabel-variabel tidak
berdimensi adalah:
2
⎛h⎞
Persamaan pengatur: Ψ ZZ + ⎜ ⎟ Ψ XX = 0 (3.26)
⎝L⎠
BBC: Ψ =0 pada z = -1 (3.27)
KFSBC: Ψ =q pada z + N (3.28)
1 ⎡ 2 ⎛ h ⎞ 2⎤
2
DFSBC: ⎢ Z ⎜ ⎟ Ψ Z ⎥ + N = PB
Ψ + pada z + N (3.29)
2 ⎣⎢ ⎝L⎠ ⎦⎥
Kondisi-kondisi lain N=0 (3.30)
⎛ 1⎞ H
N (0 ) − N ⎜ ⎟ = (3.31)
⎝2⎠ h
Permasalahan nilai batas terdiri dari sejumlah persamaan partial differential yang tidak
linear. Pendekatan dasar yang digunakan untuk menyelesaikan gelombang dengan
amplitudo tertentu adalah perturbation method.
Gelombang dengan bentuk yang permanen dapat digambarkan dengan tiga variabel bebas,
H, L, dan h, sehingga dua besaran bebas tidak berdimensi dapat diturunkan: (H/L) dan
(H/h). Salah satu rasio ini sering dipiih sebagai parameter perturbasi dalam teori
gelombang dengan amplitudo tertentu. Dalam penurunan teori gelombang cnoidal ini,
besaran yang kedua diambil sebagai parameter perturbasi:
H
∈= (3.32)
h
Solusi untuk teori gelombang cnoidal mengandung integral elliptic dan fungsi elliptic
Jacobi yang muncul dari pemilihan κ sebagai parameter pembantu dan dari solusi
beberapa persamaan differensial nonlinear tertentu.
Solusi-solusi yang dimaksud terdiri dari solusi orde pertama dan solusi orde kedua. Untuk
perhitungan dalam tugas akhir ini persamaan yang digunakan merupakan solusi orde kedua
dari teori gelombang cnoidal.
⎡ 2
⎤
( ) 1⎛z +h⎞
u = gh ⎢ B 00 + B10 cn 2 q + B 20 cn 4 q − ⎜
2⎝ h ⎠
( 2 4
⎟ B 01 + B11cn q + B 21cn q ⎥ ) (3.33)
⎣⎢ ⎥⎦
⎡⎛ z + h ⎞ 3
⎤
w = gh
4 Kh csd
L
⎢⎜ ( B
⎟ 10 + 2B 20 cn 2
)
q −
1⎛z +h⎞
⎜ ( 2
)
⎟ B11 + 2B 21cn q ⎥ (3.34)
⎣⎢⎝ h ⎠ 6⎝ h ⎠ ⎦⎥
III-6
∂u ⎧⎪⎡ 1⎛ z +h⎞
2
⎤ 4K ⎡ 1⎛z +h⎞
2
⎤ 8K 2 ⎫⎪
= gh ⎨⎢B10 − ⎜ ⎟ B11 ⎥ csd + ⎢B 20 − ⎜ ⎟ B 21 ⎥ cn q csd ⎬ ` (3.35)
∂t ⎪⎩⎢⎣ 2⎝ h ⎠ ⎦⎥ T ⎣⎢ 2⎝ h ⎠ ⎦⎥ T ⎪⎭
4 Kh ⎧⎪ 8K ⎡ ⎤
3
∂w 2 ⎛ z +h⎞ 1⎛ z +h⎞
= gh ⎨ csd ⎢⎜ ⎟B 20 − ⎜ ⎟ B 21 ⎥ (3.36)
∂t L ⎪⎩ T ⎢⎣⎝ h ⎠ 6⎝ h ⎠ ⎥⎦
⎡⎛ z + h ⎞ 3
⎤ ⎫
+ ⎢⎜
h
( 2
) 1⎛ z +h⎞
⎟ B10 2B 20 cn q − ⎜
6 h
( 2
)(
⎟ B11 + 2B 21cn q ⎥ snq dnq − cnq dnq + κ snq cnq
2
)⎪⎬
⎣⎢⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎥⎦ ⎪⎭
Dimana,
⎛ λ − µ − 2λ 2 + 2 µ 2 ⎞
B 00 =∈ (λ − µ )+ ∈2 ⎜⎜ ⎟
⎟ (3.37)
⎝ 4 ⎠
⎛ 1 − 6λ + 2 µ ⎞
B10 =∈ + ∈2 ⎜ ⎟ (3.38)
⎝ 4 ⎠
2
B 20 = − ∈ (3.39)
3λ 2
B 01 = ∈ (3.40)
2
B11 = 3 ∈2 (1 − λ ) (3.41)
9
B 21 = − ∈2 (3.42)
2
κ' = 1− κ 2 (3.43)
κ' 2
λ= 2 (3.44)
κ
E
µ= (3.45)
κK
⎡⎛ x ⎞ ⎛ t ⎞⎤ K
q = 2K ⎢⎜ ⎟ − ⎜ ⎟⎥ = (kx − ωt ) (3.46)
⎣⎝ L ⎠ ⎝ T ⎠⎦ π
K dan E merupakan integral elliptic lengkap bentuk pertama dan kedua; snq, cnq, dan dnq
merupakan fungsi elliptic Jacobi, dan
Gelombang dibangkitkan di laut lepas dan bergerak menuju pantai dengan dorongan gaya
angin. Selama perjalanannya menuju pantai, karakteristik gelombang berubah seiring
dengan berkurangnya kedalaman, dan akibatnya arah dan tingginya juga berubah.
Keadaan ini penting untuk diperhitungkan dalam perencanaan jaringan pipa di lepas
pantai karena banyak juga bagian pipa yang dipasang di daerah pantai.
Pembagian daerah laut disekitar pantai dapat dijelaskan dengan menggunakan definisi
berikut yang selanjutnya akan digunakan dalam pembahasan analisa transformasi
gelombang (Dean and Dalrymple, 2002):
III-7
1) Perairan dalam – dimana rasio antara kedalaman terhadap panjang gelombang (h/L)
lebih dari 0,5.
2) Perairan intermediat – dimana nilai h/L terletak antara 0,05 dan 0,5.
3) Perairan dangkal – dimana nilai h/L kurang dari 0,05.
4) Breaker zone – daerah di sekitar pantai dimana gelombang mulai melepaskan
energinya dan pecah.
5) Surf zone – daerah di sekitar pantai dimana gelombang telah pecah dan membentuk
kembali gelombang-gelombang yang lebih kecil.
6) Swash zone – daerah di sekitar pantai dimana gelombang telah mencapai daratan,
bergerak naik membasahi daratan, kemudian turun lagi ke arah laut, demikian
seterusnya berulang-ulang.
7) Shoaling – terjadi saat gelombang mulai memasuki daerah yang lebih dangkal dimana
partikel air yang membentuk gelombang mulai bergesekan dengan dasar laut.
Kecepatan dan panjang gelombang berkurang, dan karenanya energi gelombang per
luas daerah bertambah. Namun periode gelombang tetap konstan di daerah ini.
Dari persamaan dispersi, Dean dan Dalrymple (2002) menurunkan persamaan panjang
dan kecepatan gelombang dengan langkah-langkah berikut:
σ 2 = gk tanh(kh ) (3.48)
2π 2π
Dimana didefinisikan juga bahwa σ = dan k = . Penurunan lebih lanjut
T L
diterapkan dengan mengkombinasikan kedua persamaan ini kedalam persamaan
dispersi, yang kemudian menghasilkan persamaan panjang dan kecepatan gelombang
sebagai berikut:
III-8
gT 2
L= tanh(kh ) (3.49)
2π
g
C= tanh(kh ) (3.50)
k
Diperairan dangkal, nilai kh sangat kecil dan karenanya nilai tanh(kh) akan mendekati
0. Lebih lanjut, jika kita lihat dari persamaan diatas, ketika gelombang mencapai
daerah yang lebih dangkal, panjang dan kecepatan gelombang akan berkurang karena
relatif tidak ada perubahan pada periode gelombang sepanjang penjalarannya.
Untuk pantai dengan variasi kedalaman sepanjang sumbu y pada setiap variable adalah
nol, yaitu dimana kontur kedalaman lautnya lurus dan sejajar, kita dapatkan
ky
y
α
kx k
d (k sin α )
=0
dx
atau
k sin α = konstan. (3.51)
Karena itu, proyeksi jumlah gelombang sepanjang pantai adalah konstan. Jika
persamaan diatas kita bagi dengan σ dalam kondisi steady state,
sin α
= konstan (3.52)
C
III-9
Bagian yang konstan sebelumnya telah dievaluasi di laut dalam, menghasilkan hukum
Snellius:
sin α sin α 0
= (3.53)
C C0
Persamaan ini berasal dari optika geometri yang menghubungkan perubahan arah
penjalaran dengan perubahan kecepatan gelombang. Sejak semula kita ketahui bahwa
gelombang bergerak lebih lambat pada perairan yang lebih dangkal, karenanya hukum
Snellius menyatakan bahwa untuk pantai dengan kontur yang lurus dan sejajar, arah
gelombang α berkurang saat gelombang mulai menggumpal (shoal), sehingga
gelombang cenderung akan bergerak tegak lurus terhadap garis pantai
Efek lainnya dari perubahan panjang gelombang di laut dangkal adalah bertambahnya
tinggi gelombang. Keadaan ini merupakan akibat dari konservasi energi dan penurunan
kecepatan grup gelombang yang bersesuaian dengan penurunan kecepatan gelombang
C. Pertambahan tinggi gelombang karena keadaan ini disebut dengan shoaling (Dean
dan Dalrymple 2002).
Ketika gelombang mulai menyentuh dasar laut (saat kedalamannya kurang dari
setengah panjang gelombang), energi yang sebelumnya terdistribusi merata
disepanjang setengah daerah panjang gelombang, kini tertekan dan harus berpindah
ke tempat yang lain. Energi kemudian bergerak keatas menuju daerah yang memiliki
tahanan lebih sedikit, menyebabkan gelombang menjadi lebih tinggi. Inilah dampak
yang pertama ketika gelombang mulai menyentuh dasar laut.
Akibat yang lain saat gelombang mulai menyentuh dasar laut adalah kecepatannya
mulai berkurang. Dan, karena bagian gelombang yang paling bawah menyentuh dasar
laut lebih awal, maka bagian inilah yang lebih dahulu berkurang kecepatannya.
Partikel air yang paling bawah tak bisa lagi menyelesaikan gerakan melingkarnya,
karena itu orbit gerakannya menjadi lebih panjang dan cenderung membentuk ellips.
Walaupun demikian, partikel air yang berada diatas tetap maju dan bergerak lebih
cepat dari partikel air dibawahnya.
III-10
Rumusan yang tepat untuk menghitung perubahan tinggi gelombang sebagai akibat
dari fenomena shoaling dan refraksi adalah
H = H0 Kr Ks, (3.54)
Cg 0
Ks = , (3.55)
Cg
dan Kr adalah koefisien refraksi, dimana untuk pantai dengan kontur yang lurus dan
sejajar hanya merupakan hubungan antara sudut datang dan sudut belok galombang,
cos α 0
Kr = (3.56)
cos α
1⎛ 2kh ⎞
sedangkan kecepatan grup, Cg = ⎜⎜1 + ⎟ C.
2 ⎝ sinh(2kh ) ⎟⎠
Dimana diketahui tinggi gelombang di laut dalam Ho, kecepatan grup gelombang Cg,
dan sudut datang gelombang α0.
Ketika gelombang pecah, kecepatan grupnya sama dengan kecepatan gelombang, dan
kecepatan gelombang saat pecah dapat didekati dengan persamaan berikut
berdasarkan teori geombang soliter (Galvin dan Schweppe, 1980):
Cb = 8,02 H b (3.57)
tinggi gelombang pada kedalaman berikutnya dapat dihitung jika persamaan ini
digunakan melengkapi hukum Snellius (Dean dan Dalrymple 2002).
III-11
[3.6].3 Gelombang Pecah
Di laut dalam, gelombang pecah karena tambahan energi yang berlebihan dari
luar, terutama dari angin. Secara teoritis Stokes (1880) memperkirakan bahwa
gelombang akan tetap stabil hanya jika kecepatan pada puncak gelombang sama
dengan kecepatan gelombangnya. Jika tinggi gelombang menjadi sangat tinggi
hingga kecepatan partikel air di puncaknya melebihi kecepatan gelombangnya
sendiri, gelombang menjadi tidak stabil dan pecah. Stokes menjelaskan
penemuannya bahwa gelombang mulai tidak stabil dan pecah jika sudut ketajaman
puncaknya lebih kecil dari 120o. Berdasarkan hasil temuan Stokes ini, Michell
(1893) menemukan batasan kemiringan untuk gelombang di laut dalam
Ho
= 0.142 (3.58)
Lo
Kriteria gelombang pecah pertama kali diberikan oleh McCowan (1894) yang
menetapkan bahwa gelombang akan pecah ketika tingginya sama dengan suatu
fraksi tertentu dari kedalamannya
H b = κ hb (3.59)
dimana κ = 0.78 dan subscript b menandai keadaan saat pecah (breaking). Weggel
(1972) kemudian menurunkan hubungan empiris antara hb/Hb terhadap kemiringan
pantai m untuk berbagai kecuraman. Hasil temuannya dapat didekati secara
analitis dengan persamaan berikut
Hb
κ = b(m ) - a(m ) (3.60)
gT 2
dimana a dan b adalah fungsi kelandaian pantai m, nilai a dan b dapat didekati
dengan persamaan
III-12
[3.6].4 Penghitungan Gelombang Pecah (William R. Dally, 1980)
Saat gelombang mulai pecah, ia akan melepaskan sejumlah energi. Kecepatan transfer
energi dalam gelombang disebut dengan flux energi ECg, dan untuk teori gelombang
linier keadaan ini didefinisikan sebagai keadaan ketika kerja sedang diberikan fluida
pada satu sisi dari bagian vertikal pada fluida pada sisi yang lain.
∂ ECg Κ
∂x
=-
h'
[ EC (x ) - EC ]
g gs (3.63)
dimana К adalah koefisien tak berdimensi dan h’ adalah kedalaman muka air tenang.
Dengan menerapkan teori gelombang linier dan dengan asumsi bahwa kontur dasar
lautnya datar, integrasi selanjutnya akan memberikan
⎡ Κ ⎤
(H2 – Hs2)2 = (H2 – Hs2)1exp ⎢ − ∆x ⎥ . (3.64)
⎣ h' ⎦
Model diatas dapat diterapkan untuk kontur dasar laut dengan kedalaman dan
kemiringan yang bervariasi dengan melakukan pendekatan terhadap konturnya melalui
profil dasar laut yang meningkat. Data laboratorium Horikawa diambil untuk
menghitung tinggi gelombang stabil dan faktor К.
Di daerah sekitar pantai, tahanan friksi yang diberikan dasar laut dapat memberikan
penurunan yang signifikan terhadap tinggi gelombang. Rata-rata kecepatan pelepasan
energi per luas daerah akibat friksi di dasar laut dapat digambarkan dengan
1T
T ∫
E LOSS = τ B uB dt (3.65)
0
f
τB = ρ uB uB (3.66)
2
dan uB adalah kecepatan partikel air didasar laut, dimana untuk laut dangkal dapat
dihitung dengan persamaan
H g
uB = cos σt (3.67)
2 h
III-13
dan integrasi lebih lanjut memberikan
3
ρ f H3 ⎛g⎞ 2
E LOSS = ⎜ ⎟ (3.69)
12π ⎝h⎠
Persamaan (3.64) dan (3.69) kini dapat kita ubah menjadi suatu model persamaan
elemen hingga yang dapat diterapkan untuk perairan dangkal.
Sekarang perhatikan untuk sebuah tangga yang menggambarkan profil dasar laut pada
gambar 3.9. Jika tinggi gelombang, kedalaman muka air tenang, dan beda elevasi
muka air rata-rata diketahui di awal elemen tangga (dimana kedalaman rata-rata juga
diketahui), bentuk elemen hingga dari persamaan (3.64),
⎛ Κ∆x ⎞
HBI = (H 2
I - HSI2 ) exp⎜⎜ − ⎟⎟ + HSI2 (3.70)
⎝ hI ⎠
diterapkan untuk menghitung tinggi gelombang setelah pecah, HBI, di ujung elemen
tangga. Tinggi gelombang rata-rata sepanjang elemen digunakan untuk menghitung
“kehilangan” akibat tahanan friksi di dasar,
H I + HBI
HAVI = (3.71)
2
Tinggi gelombang diujung elemen setelah gelombang pecah dan pengurangan akibat
tahanan friksi (HBFI) didapat dengan menerapkan persamaan (3.69) dan pertimbangan
terhadap flux energi, menjadi
HI+1,h’I+1
HI,h’I HAVI
∆x
HBI,HBFI
HBI-1,HBFI-1
2 f HAVI3 ∆x
HBFI = HBI2 - (3.72)
3π hI2
III-14
Jika gelombang tidak pecah diawal elemen tangga, hanya tahanan friksi dasar yang
berpengaruh terhadap penurunan tinggi gelombang sepanjang elemen (HBI = HI).
Aplikasi hukum Snellius mengenai refraksi gelombang dan rumusan Dean mengenai
shoaling kemudian dapat diterapkan untuk menghitung tinggi gelombang di awal
elemen tangga berikutnya
III-15