Anda di halaman 1dari 24

2.1.

Pantai
Pantai merupakan tempat pertemuan daratan dan lautan dimana terjadi

proses-proses dinamis seperti gelombang, pasang surut, angin, dan lainnya yang
berlangsung secara terus-menerus sehingga secara konstan memungkinkan
terjadinya perubahan (Bird, 1984). Perubahan yang terjadi tergantung pada
gelombang individu, perbedaan pasang surut, waktu, dan juga parameter utama
gelombang terhadap morfologi pantai. Menurut Bird (1984), pantai masih
dipengaruhi oleh laut dan darat, dimana pengaruh laut terhadap pantai dapat
berupa gelombang, arus, pasang, angin, bathimetri dan adanya karang, pasokan
dan jenis sedimen dari sungai dan vegetasi. Sedangkan pengaruh darat terhadap
pantai berupa morfologi (kemiringan atau topografi) dan litologi (batuan
penyusun).
Morfologi pantai dan dasar laut dekat pantai (CHL, 2008; Komar, 1998)
diklasifikasikan dalam empat kelompok berikut:
1. Backshore, merupakan bagian dari pantai yang tidak terendam air laut kecuali
bila terjadi gelombang badai.
2. Foreshore, yaitu bagian pantai yang dibatasi oleh muka pantai (beach face)
hingga pasang terendah.
3. Inshore merupakan daerah yang lebih luas sebagai daerah subtidal yang
memanjang ke daerah gelombang pecah sampai batas kemiringan tertentu.
4. Offshore yaitu bagian laut yang terjauh dari pantai (lepas pantai).
Triatmodjo (1999) secara garis besar membagi pantai menjadi dua, yaitu:
1. Pantai berpasir
Pantai jenis ini mempunyai karakteristik berupa kemiringan 1: 20 sampai
dengan 1: 50, pada umumnya menghadap ke samudra Indonesia (seperti pantai
selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan pantai barat Sumatera). Pada kondisi
gelombang biasa (tidak ada badai), pantai ada dalam keadaan kesimbangan
dinamis dimana sejumlah besar pasir bergerak pada profil pantai tetapi angkutan
netto pada lokasi yang ditinjau sangat kecil. Pada kondisi badai dimana
gelombang besar dan elevasi muka air diam lebih tinggi karena adanya set-up
gelombang dan angin, pantai dapat mengalami erosi.
2. Pantai berlumpur

Pantai jenis ini mempunyai karakteristik berupa sebagian besar berada di


daerah pantai dimana banyak sungai yang mengangkut sedimen suspensi
bermuara di daerah tersebut dan gelombang yang relatif kecil (seperti pantai utara
Jawa dan timur Sumatera). Pantai ini mempunyai kemiringan yang sangat kecil
sampai dengan 1: 5000. Sedimen suspensi menyebar pada suatu daerah perairan
yang luas sehingga membentuk pantai yang luas, datar dan dangkal yang
merupakan daerah rawa terendam air saat pasang. Karena gelombang yang kecil
maka sedimen suspensi tidak terbawa ke laut lepas.

Gambar 2.1. Klasifikasi morfologi pantai (CHL, 2008)


2.4.

Parameter Hidro-Oseanografi

2.4.1. Pasang Surut


Pasang surut merupakan fenomena alam di lautan secara periodik, selalu
bergerak naik dan turun sesuai dengan siklus pasang. Permukaan air laut perlahan
akan naik sampai pada ketinggian maksimum (pasang tinggi); kemudian turun
sampai ketinggian minimum (pasang rendah) (Gross, 1993). Tinggi rendahnya

permukaan laut diukur dari paras tertentu (biasanya pada tingkat air rendah pada
pasang bulan penuh atau purnama biasa) dinamakan datum (Ali dkk, 1994).
Proses naik turunnya paras laut (sea level) secara berkala diakibatkan gaya
tarik benda-benda angkasa, terutama matahari dan bulan, terhadap massa air bumi.
Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari matahari, tetapi karena jarak bulan ke
bumi lebih dekat dari pada jarak matahari ke bumi, maka pengaruh gaya tarik
bulan terhadap bumi lebih besar dari pada pengaruh gaya tarik matahari.
Akibatnya, kondisi fisik perairan laut berbeda-beda karena kekhasan fenomena ini
(Ali dkk, 1994).
Beberapa teori pasang surut, antara lain teori keseimbangan pasang surut
oleh Goerge H. Darwin pada tahun 1898 (Dean dan Dalrymple, 2002) dan teori
pasang surut modern pertama diberikan oleh Newton (Dean dan Dalrymple,

2002), berdasarkan hukum gravitasi sesuai persamaan,

F=

G m1 m2
r

, dimana r

adalah jarak antara titik pusat dari massa m1 dan m2, dan G adalah konstanta
11 2
2
gravitasi ( 6.6 x 10 m N /kg ) .

Sesuai konsep Newton, sistem bumi-bulan dan sistem bumi-matahari dihitung


menggunakan persamaan diatas untuk menjelaskan fenomena pasang surut ini.
Pasang surut di berbagai dunia, termasuk di Indonesia, dibedakan menjadi
(Ongkosongo dan Suyarso, 1989):
1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide), yaitu dalam satu hari
terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi hampir
sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur. Periode
pasang surut rata-rata 12 jam 24 menit. Perairan Selat Malaka sampai
Laut Andaman merupakan perairan dengan jenis pasang surut ini.
2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide), yaitu dalam satu hari terjadi
satu kali pasang dan satu kali surut dengan periode pasang surut 24 jam
50 menit, contohnya perairan Selat Karimata.
3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing
semi diurnal), yaitu dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali
7

surut, tetapi periodenya berbeda. Pasang surut ini terdapat di perairan


Indonesia bagian Timur.
4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing
diurnal), yaitu dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali
air surut, tetapi kadangkala untuk waktu tertentu terjadi dua kali pasang
dan dua kali surut dengan periode yang sangat berbeda. Pasang surut
jenis ini terdapat di perairan utara Dangkalan Sunda.
Tipe pasang surut diatas dapat ditentukan dengan menghitung bilangan
Formzahl dengan membagi antara jumlah komponen K1 dan O1 dengan jumlah
komponen M2 dan S2 (Ongkosongo dan Suyarso, 1989).
Secara umum, ada beberapa unsur sebagai komponen astronomi dalam
analisa pasang surut. Simbol tersebut mencerminkan tipe dari pasang surut pada
suatu perairan. Kategori pasang surut berdasarkan komponen astronomi
digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu semidiurnal, diurnal dan longer (Tabel
2.1) (Dean dan Dalrymple, 2002).
Tabel 2.1. Komponen penting pasang surut secara astronomi
(Dean dan Dalrymple, 2002)
Tipe
Semidiurnal

Diurnal
Longer

Simbol

Periode
Amplitudo
(jam matahari)
relatif

M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1
Mf

12.42
12.00
12.66
11.97
23.93
25.82
24.07
327.86

100.0
46.6
19.1
12.7
58.4
41.5
19.3
17.2

Deskripsi
Pasang surut dipengaruhi bulan
Pasang surut dipengaruhi matahari
Variasi bulanan jarak bulan
Perubahan deklinasi matahari dan bulan
Unsur matahari-bulan
Unsur harian bulan
Unsur harian matahari
Unsur bulan, dua minggu sekali

2.4.2. Gelombang
2.4.2.1.Pembangkit Gelombang
Gerakan berombak permukaan air akibat tiupan angin diatasnya (Bascom,
1959 dalam Bird, 1984) maupun tenaga tektonik dan gaya gravitasi (Carter, 1993)
dinamakan gelombang. Gerakan massa air ke atas membawa sedimen dasar dan
8

menyebabkan turbulensi atau pengadukan sedimen, kemudian terbawa arus


sepanjang pantai, menimbulkan arus transpor sedimen dalam arah tegak lurus dan
sejajar pantai (Triatmodjo, 1999).
Tiga faktor penentu karakteristik gelombang yang dibangkitkan angin
(Davis, 1993) yaitu : (1) lama angin bertiup (durasi angin), (2) kecepatan angin
dan (3) fetch (jarak yang ditempuh oleh angin dari arah pembangkit gelombang
atau daerah pembangkitan gelombang). Durasi angin berbanding lurus dengan
energi yang dihasilkan dalam pembangkitan gelombang. Fetch merepresentasikan
gelombang yang bergerak keluar dari daerah pembangkitan gelombang hanya
memperoleh sedikit tambahan energi. Faktor lain yang mempengaruhi
karakteristik gelombang adalah lebar fetch, kedalaman air, kekasaran dasar,
maupun stabilitas atmosfer (Yuwono, 1984).
Gelombang yang dibangkitkan oleh angin dan pasang surut penting dalam
studi teknik pantai (Triatmodjo, 1999) karena menimbulkan energi yang berperan
dalam proses pembentukan pantai, arus dan transpor sedimen dalam arah tegak
lurus dan sepanjang pantai, serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada
bangunan pantai. Gelombang merupakan salah satu faktor utama dalam penentuan
geometri dan komposisi pantai serta menentukan proses perencanaan dan desain
pembangunan pelabuhan, terusan (waterway), struktur pantai, alur pelayaran,
proteksi pantai dan kegiatan pantai lainnya (CHL, 2008; CERC 1984).
2.4.2.2.Teori Gelombang Amplitudo Kecil
Kompleksitas bentuk gelombang di alam sulit digambarkan secara
matematis (CHL, 2008) akibat perambatan yang tidak linier, tiga dimensi dan
bentuk acak (suatu deret gelombang mempunyai tinggi dan periode yang
berbeda). Teori gelombang yang ada hanya menggambarkan bentuk gelombang
yang sederhana dan merupakan pendekatan gelombang alam. Beberapa teori
gelombang dengan tingkat kekomplekan dan ketelitian untuk menggambarkan
gelombang di alam, diantaranya teori Airy, Stokes, Gerstner, Mich, Knoidal dan
tunggal.

Teori gelombang amplitudo kecil pertama kali ditemukan oleh Airy (1894)
(CHL, 2008). Teori ini digunakan untuk menurunkan persamaan gelombang
dengan mengasumsikan bahwa :
a. Zat cair homogen dan tidak termampatkan, sehinggga rapat massa konstan
b. Tegangan permukaan diabaikan
c. Gaya Coriolis diabaikan
d. Tekanan pada permukaan air seragam dan konstan
e. Zat cair adalah ideal, sehingga berlaku aliran rotasi
f. Dasar laut horisontal, tetap dan impermeabel sehingga kecepatan vertikal di
dasar = 0
g. Amplitudo gelombang kecil terhadap panjang gelombang dan kedalaman air
h. Gerakan gelombang berbentuk silinder dan tegak lurus arah penjalaran
gelombang sehingga gelombang adalah dua dimensi.
2.4.2.3.Transformasi Gelombang
Gelombang yang menjalar menuju perairan pantai akan mengalami
perubahan ketinggian gelombang akibat pendangkalan (wave shoaling), refraksi,
difraksi, atau proses refleksi/pantulan sebelum akhirnya gelombang tersebut pecah
(wave breaking) (Pratikto et al 1997, Triatmodjo 1999). Jika suatu muka barisan
gelombang datang membentuk sudut kemiringan terhadap pantai yang
mempunyai kemiringan dasar landai dengan kontur kedalaman sejajar pantai,
maka muka gelombang akan berubah arah dan cenderung menjadi sejajar dengan
garis pantai atau mengalami pembiasan (refraksi) (Carter, 1993). Arah perambatan
perlahan berubah dengan berkurangnya kedalaman (shoaling), sehingga muka
gelombang cenderung sejajar dengan kedalaman disebabkan perubahan bilangan
gelombang akibat perubahan kecepatan fasa gelombang. Bila pantai landai,
kemungkinan gelombang tidak pecah tetapi mengalami pemantulan gelombang
(refleksi). Arah perambatan dapat berubah dan mengalami pelentuan (difraksi),
ketika gelombang melewati perairan dengan kedalaman air yang konstan, seperti
saat gelombang menuju pulau atau pemecah gelombang. Refraksi dan
pendangkalan gelombang (wave shoaling) menentukan ketinggian gelombang

10

pada kedalaman tertentu serta distribusi energi gelombang sepanjang pantai.


Perubahan arah gelombang sebagai hasil refraksi akan menghasilkan daerah
energi gelombang konvergen (penguncupan) atau divergen (penyebaran) yang
berpengaruh pada struktur pantai (CERC 1984).
Pendangkalan menyebabkan perubahan tinggi dan panjang gelombang
(Sorensen, 2006) akibat adanya gesekan dengan dasar laut (CERC, 1984). Saat
kontur dasar laut sejajar dengan garis pantai, maka terjadi efek pendangkalan
murni; sedangkan kontur dasar laut berbelok-belok menyebabkan efek
pendangkalan sekaligus refraksi (Pratikto dkk, 1997). Perubahan tinggi dan
panjang gelombang dianalisa dengan asumsi energi gelombang konstan sehingga
kehilangan energi diabaikan. Besar energi fluks gelombang di laut dalam ditulis:
1
P 0= E 0 C 0
2

(2.24)

Pada laut dangkal, energi fluks gelombang untuk tiap unit lebar crest ditulis:
P=E C g=nEC

(2.25)

Asumsi energi konstan,

P0=P

, maka:

1
E C =nEC
2 0 0

Dimana

(2.26)

g H 02
E 0=
8

dan

E=

g H2
8 , maka:

2
1 C 0 g H 0 nCg H 2
H 2 1
=

=
2
8
8
H0
2

4 d
1
L
n= 1+
Dengan
2
4 d
sinh
L

dan

C
2 d
=tanh
C0
L

( )

( )

C0
C0
H

=
C
H0
2 nC

( ) ( )( )( ) ( )
1
n

(2.27)

(2.28)

(2.29)

11

Besar koefisien pendangkalan (shoaling) dihitung menggunakan persamaan:


Ksh=

1
4 d
2 d
L
tanh
1+
L
4 d
sinh
L

( )

( )

(2.30)

Perubahan kedalaman yang terjadi selama perambatan gelombang


menyebabkan perubahan karakteristik gelombang, disebut refraksi (Sorensen,
2006; CERC, 1984). Asumsi yang digunakan dalam kajian refraksi secara analitis
adalah kontur dasar laut yang dilintasi oleh setiap garis ortogonal gelombang
untuk berbagai arah gelombang (angin) adalah sejajar, berdasarkan persamaan:
sin 1=

C1
sin 0
C0

(2.31)

Sudut datang gelombang pada tiap kedalaman di daerah pantai dapat


dihitung menggunakan perumusan diatas apabila arah gelombang di laut dalam
diketahui. Koefisien refraksi (Kr) dihitung dengan persamaan:
Kr=

cos 0
cos 1

(2.32)

Tinggi gelombang pada kedalaman tertentu dihitung menggunakan


persamaan:
H=Ksh Kr H 0

(2.33)

dengan:
d = kedalaman air (m)
L = panjang gelombang (m)

12

g = percepatan gravitasi (m/detik2)


1
0

= sudut datang gelombang di perairan pantai,


= sudut datang gelombang di laut dalam,

C = cepat rambat gelombang (m/detik2),


C1 = cepat rambat gelombang di daerah pantai (m/detik2),
Co = cepat rambat gelombang di laut dalam (m/detik2),
H = tinggi gelombang dititik yang ditinjau (m),
Ho = tinggi gelombang di laut dalam (m),
Ksh=

( HH )
0

= koefisien shoaling, dan

Kr = koefisien refraksi.
Tiga bentuk gelombang pecah pada kemiringan pantai (Sorensen, 1991),
yaitu spilling, plunging, dan surging. Pluging terjadi karena seluruh puncak
gelombang melewati kecepatan gelombang. Gelombang pecah dalam bentuk
pluging umumnya gelombang panjang (swell). Spilling merupakan bentuk pecah
gelombang dengan muka gelombang (front wave) sudah pecah sebelum sampai ke
pantai, sedangkan gelombang yang belum pecah dan mendekati garis pantai serta
sempat mendaki kaki pantai disebut surging. Tipe lain gelombang pecah antara
pluging dan surfing adalah collapsing. Selain kemiringan pantai dan kecuraman
gelombang, gelombang pecah juga dipengaruhi arah dan kecepatan angin lokal.
Angin kearah pantai akan menyebabkan gelombang memecah pada kedalaman
yang lebih besar dan berbentuk spilling; sebaliknya, angin lepas pantai
mengakibatkan gelombang pecah pada kedalaman yang lebih kecil dan berbentuk
pluging.

13

Gambar 2.3. Tipe gelombang pecah (Kamphuis, 2000)


Tinggi gelombang pecah dihitung menggunakan persamaan (CERC,
1984):
Hb
=
H0

1
H
3.3 0
L0

( )

1
3

(2.34)

Kedalaman air dimana gelombang pecah terjadi, dihitung dengan


persamaan:
db=

Hb
aHb
b
2
gT

( )

(2.35)

Dengan
a=43.75 ( 1e19 m )

(2.36)

1.56
( 1+ e19.5 m )

(2.37)

b=

14

dimana,
Hb = tinggi gelombang pecah (m),
H0

= tinggi gelombang di laut dalam (m),

Lo = panjang gelombang di laut dalam (m),


db = kedalaman air pada saat gelombang pecah (m),
m = kemiringan dasar laut,
g = percepatan gravitasi (9.8 m/detik2), dan
T = periode gelombang (detik).
2.4.3. Arus di Dekat Pantai
Penjalaran gelombang menuju pantai membawa energi dan momentum
sesuai arah penjalaran gelombang. Transpor massa dan momentum menimbulkan
arus di daerah dekat pantai. Daerah yang dilintasi gelombang meliputi offshore
zone, surf zone, dan swash zone. Karakteristik gelombang di surf zone dan swash
zone sangat penting dalam analisa proses pantai. Arus di surf zone dan swash zone
sangat tergantung pada arah datang gelombang (CHL, 2008; CERC 1984).
Aspek penting gelombang di dekat pantai adalah terbentuknya arus
menyusuri pantai (longshore current) dan arus tegak lurus pantai (rip current atau
cross-shore velocity) yang mempengaruhi pergerakan material sepanjang pantai
penyebab erosi maupun sedimentasi di pantai. Gelombang mengalami refraksi
(King, 1976) menimbulkan arus di perairan pantai, dibuktikan adanya daerah
bergelombang tinggi bergantian dengan daerah bergelombang rendah, terutama
pada relief lepas pantai (lebih komplek) dan garis pantai berlekuk serta gelombang
datang memiliki puncak yang panjang. Arus di perairan pantai dapat disebabkan
oleh angin, aliran sungai ataupun pasang surut, tetapi lebih dominan berupa aliran
menyusur pantai (Sorensen, 1991).
Apabila garis puncak gelombang sejajar dengan garis pantai, maka akan
terjadi arus dominan di pantai berupa sirkulasi sel dengan rip current yang menuju
ke laut. Kejadian ekstrim lainnya bila gelombang pecah dengan membentuk sudut

15

terhadap garis pantai (b > 5), akan menimbulkan arus sejajar pantai di sepanjang
pantai. Pada umumnya berupa kombinasi dua kondisi tersebut (Triatmodjo, 1999).
2.2.

Perubahan Garis Pantai

2.2.1. Definisi dan Karakteristik Sedimen Pantai


Sedimen merupakan sekumpulan rombakan material (batuan, mineral dan
bahan organik) yang mempunyai ukuran butir tertentu (Pethick, 1984). Sedimen
pantai berasal dari hasil erosi sungai, tebing pantai dan batuan dasar laut, dan
sebagian besar justru berasal dari sungai yang bermuara di sekitar pantai dan
memberikan suplai relatif besar (90%) terhadap transpor sedimen dipantai.
Sumber sedimen tersebut sebagian besar dihasilkan dari pelapukan batuan
didaratan (Siebold dan Berger, 1993). Barnes (1969), membedakan sedimen
menjadi sedimen yang bersumber dari limpasan sungai yang jenisnya banyak
mempengaruhi pembentukan morfologi pantai di sekitar muara sungai (disebut
sediment of inlets) dan sedimen yang bersumber dari darat yang terangkut ke laut
oleh angin dan drainase atau penguraian sisa-sisa organisme (pyroclastic
sediment). Berdasarkan ukuran butirnya, sedimen diklasifikasikan menjadi
lempung, lanau, pasir, kerikil, koral (pebble), cobble, dan batu (boulder) (CERC
1984; Dyer 1986; Davis 1993; CHL 2008). Klasifikasi ini didasarkan Skala
Wentworth.
Krumbeim (1934) dalam Dyer (1986) mengembangkan skala Wentworth

menggunakan unit phi ( ) untuk mempermudah klasifikasi jika contoh sedimen


mengandung partikel berukuran kecil dalam jumlah besar. Skala phi didasarkan

pada logaritma negatif berbasis dua

log 2 d

(d adalah diameter partikel

(mm), tanda negatif digunakan agar partikel dengan diameter <1 mm memiliki
nilai phi positif). Konversi unit phi menjadi milimeter (mm) menggunakan
persamaan

D 2

(CHL, 2008).

16

Ukuran partikel menunjukkan keberadaan partikel dari jenis yang berbeda,


daya tahan (resistensi) partikel terhadap proses pelapukan (weathering) erosi atau
abrasi. Selain itu ukuran partikel juga menunjukkan proses pengangkutan dan
pengendapan material, misalnya kemampuan angin atau air untuk memindahkan
partikel (Friedman dan Sanders 1978). Ukuran partikel sangat penting dalam
menentukan tingkat pengangkutan sedimen ukuran tertentu dan tempat sedimen
tersebut terakumulasi di laut (Gross, 1993).
Parameter statistik ukuran butir rata-rata (mean grain size), standar
deviasi, keruncingan (skewness) dan kurtosis sering digunakan dalam menentukan
lingkungan sedimentasi dan arah transpor sedimen (Folk, 1974; Dyer, 1986).
Besar butir rata-rata merupakan fungsi ukuran butir dari populasi sedimen dan
nilai terbesar butir (50% halus dan sebaliknya kasar). Standar deviasi adalah
metode pemilahan keseragaman distribusi ukuran butir, tipe pengendapan,
karakteristik arus pengendapan, serta lamanya waktu pengendapan dari populasi
sedimen. Skewness mencirikan dominasi ukuran butir populasi sedimen (simetri,
condong ke arah sedimen berbutir kasar atau condong ke arah berbutir halus),
sehingga dapat mengetahui dinamika sedimentasi (Folk, 1974). Nilai skewness
positif menunjukkan populasi sedimen condong berbutir halus. Sebaliknya
skewness negatif menunjukkan populasi sedimen condong berbutir kasar.
Sedimen dengan ukuran lebih halus akan lebih mudah berpindah dan
cenderung lebih cepat daripada ukuran kasar (Dyer, 1986). Fraksi halus terangkut
dalam bentuk suspensi dan fraksi kasar terangkut pada atau dekat dasar laut.
Partikel yang lebih besar akan tenggelam lebih cepat dibandingkan yang
berukuran kecil.

2.2.2. Transportasi Sedimen Pantai


Transpor sedimen di daerah pantai disebabkan oleh gelombang, arus dan
pasang surut, sedangkan suhu dan salinitas lebih berpengaruh pada kecepatan
endap kohesif (Sorensen, 2006). Sedimen yang berasal dari dasar perairan dan
mudah bergerak, memungkinkan sedimen tergerus oleh gelombang dan berpindah

17

searah pergerakan arus. Sedimen yang terbawa arus merupakan tipe bed load
(menggelinding, menggeser di laut), sedangkan sedimen berupa lempung dan
lumpur merupakan tipe suspended load (bercampur membentuk suspensi karena
ukuran partikel yang sangat kecil).
Ada dua tipe transpor sedimen di perairan pantai (CHL, 2008) yaitu
transpor tegak lurus pantai (cross-shore transport) dan transpor menyusur pantai
(longshore transport) yang mempunyai arah rata-rata sejajar garis pantai.
Ada tiga faktor utama yang mengontrol sebaran sedimen di daerah pantai,
yaitu sumber sedimen, tingkat energi gelombang dan kemiringan pantai. Sebaran
sedimen sepanjang profil pantai dihasilkan oleh variasi tegak lurus pantai terhadap
ukuran sedimen. Gelombang datang pertama mengalami pecah pada daerah
offshore bar, tanpa banyak energi disipasi akibat turbulen. Gelombang kemudian
terbentuk kembali dan pecah untuk kali kedua, plunging pada muka pantai dimana
banyak energi yang hilang.
Awal pergerakan sedimen akibat pengaruh gelombang direpresentasikan
oleh paramater Shield, dimana sedimen mulai bergerak jika lebih besar dari
parameter

kritis

Shield,

yang

dinyatakan

dengan

persamaan

u*

s 1 g d s 1 g d
2

. Parameter kritis Shield dapat ditentukan dengan


bantuan gambar 2.2.

Gambar 2.2. Diagram Shield (c sebagai fungsi S*) (Liu, 2001)


18

2.2.2.1.Transportasi Sedimen Tegak Lurus Pantai


Konsep dasar transportasi sedimen tegak lurus pantai mirip dengan konsep
keseimbangan pantai (Inman dan Patricia, 1991). Konsep ini telah banyak
digunakan dalam penelitian geologi (Fenneman, 1902 dalam Inman dan Patricia,
1991) atau profil dalam periode waktu singkat untuk mengetahui keseimbangan
dengan parameter utama kondisi gelombang (Jhonson, 1919 dalam Inman dan
Patricia, 1991). Model perubahan garis pantai dibangun berdasarkan profil
periode panjang (disebut profil translasional) dan periode pendek (disebut profil
keseimbangan).
Profil dalam periode pendek merupakan profil keseimbangan pantai,
sebagai respon pantai terhadap perubahan harian kondisi gelombang sebagai
asosiasi dengan badai dan perubahan iklim (Evan, 1940 dalam Inman dan
Patricia, 1991). Kesimbangan profil pantai ditunjukkan dengan bentuk pantai
bervariasi sesuai kedalaman sebagai fungsi dari jarak dan amplitudo terhadap

garis pantai, seperti persamaan

2
h A x 3

(Bruun (1954) dan Dean (1977) dalam

Liu, 2001), (x2/3) keseimbangan pantai, A parameter bentuk dengan kontrol

A 0.41 d 50
klasifikasi profil mengikuti ketentuan: 1)

A 0.23 d 50

A 0.23 d 50

0.32

untuk 0.4 d50 < 10, 3)

A 0.46 d 50

0.94

untuk d50 < 0.4, 2)


0.28

untuk 10 d50 < 40, 4)

0.11

untuk 40 d50 (Moore (1982) dan Kraus (1992) dalam Liu, 2001).
Profil dalam periode panjang (profil translasional) diteliti lebih intensif,
diantaranya Krumbein (1944) dalam Liu (2001) yang meneliti hubungan energi
gelombang dengan kemiringan dan ukuran sedimen pantai Half Moon, California.
Persamaan matematis sebagai kesimpulan bahwa gelombang soliter yang

19

h A xm

mengalami pendangkalan dapat menghasilkan kestabilan profil,

dimana h

kedalaman, A konstanta proporsionalitas, x jarak dari pantai, dan nilai

m2 .
5

2.2.2.2.Transportasi Sedimen Menyusur Pantai


Ketika gelombang mendekati pantai dengan sudut tertentu, arus menyusur
pantai akan dibangkitkan. Gelombang dan arus kemungkinan memindahkan
sedimen sepanjang pantai. Transportasi sedimen menyusur pantai akan sering
menjadi faktor dominan dalam imbangan sedimen, dan untuk itulah menyebabkan
erosi atau akresi pantai. Arah transportasi sedimen menyusur pantai diketahui dari
perubahan garis pantai dalam periode lama di sekitar bangunan struktur pantai
karena merupakan akumulasi updrift struktur pantai dan erosi downdrift
(Kuriyama and Hikari, 2007).
Transportasi sedimen sejajar garis pantai, mempunyai dua kemungkinan
(Qrt )

arah pergerakan, yaitu kanan

(Qlt )

atau kiri

relatif terhadap pengamat yang

berdiri ke arah laut. Untuk penyajian laju transportasi sedimen menyusuri pantai,
Qn (Qrt Qlt )

perlu membedakan antara net transport rate,

dengan gross

Q g (Qrt Qlt )

transport rate

pada lokasi pantai tertentu. Arah distribusi tahunan

energi gelombang dapat menyebabkan laju angkutan dominan bergerak dalam


Q g Qn
satu arah sehingga
> . Energi gelombang tahunan juga terdistribusi dalam

segala arah sehingga diperkirakan sedimen yang terangkut setiap arah dengan
Qg

Qn

volume yang sama. Nilai

digunakan untuk prediksi erosi pantai,

untuk

20

(Qrt )

prediksi laju pendangkalan dalam inlet terkontrol; sedangkan nilai

dan

(Qlt )

dimanfaatkan sebagai pertimbangan dalam desain jetty (Sorensen 1991;


CHL 2008).
Transportasi sedimen menyusur pantai merupakan penyebab utama
terjadinya perubahan garis pantai, karena pengaruh transportasi sedimen
menyusur pantai menyebabkan sedimen dapat terangkut jauh (Triatmodjo, 1999).
Gelombang badai dapat terjadi dalam waktu singkat dan menyebabkan erosi
pantai, selanjutnya gelombang biasa yang terjadi sehari-hari akan membentuk
kembali pantai yang sebelumnya tererosi (pantai kembali stabil), sebaliknya
akibat pengaruh transportasi sedimen sepanjang pantai, sedimen dapat terangkut
sampai jauh dan menyebabkan perubahan garis pantai.
2.2.3. Perubahan Garis Pantai
Pada umumnya perubahan garis pantai yang terjadi adalah perubahan
maju (akresi) dan perubahan mundur (abrasi). Garis pantai dikatakan mengalami
akresi bila ada petunjuk mengenai terjadinya pengendapan atau deposisi secara
kontinyu dan/atau mengalami pengangkatan atau emerge. Sedangkan garis pantai
dikatakan mundur jika proses abrasi dan/atau penenggelaman atau subemerge
masih terus berlangsung (Bird, 1984).
Abrasi pantai (Triatmodjo, 1999) terjadi bila suatu pantai yang ditinjau
mengalami kehilangan atau pengurangan sedimen artinya sedimen yang terangkut
lebih besar daripada yang diendapkan, dimana efektifitas dari abrasi tergantung
pada energi gelombang dan ketersediaan material yang rentan (daya resistensinya
rendah) serta kemiringan pantai. Pada pantai yang terjadi pecahan gelombang,
massa air bergerak menuju pantai dan bila gelombang pecah, banyak massa udara
yang terperangkap sehingga akan mempunyai daya erosif yang besar (Pratikto et
al., 1997).

21

2.3.

Metode Empirical Orthogonal Function (EOF)


Empirical Orthogonal Function (EOF) adalah salah satu teknik dalam

statistika untuk memetakan data observasi menjadi suatu bentuk fungsi yang
diekstraksi dari data itu sendiri. Metode EOF dapat mencari sejumlah kecil
variabel independen yang dapat memberikan sebanyak mungkin informasi tetapi
tidak berlebihan. Analisis EOF dapat digunakan untuk eksplorasi variabilitas data
secara objektif dan untuk menganalisa hubungan antara variabel (Ritphring dan
Tanaka, 2007).
2.3.1. Konsep Dasar EOF
Tujuan aplikasi metode EOF untuk analisa perubahan morfologi pantai
pada dasarnya adalah untuk mendeskripsikan perubahan yang terjadi antara
beberapa profil atau garis pantai yang berbeda melalui suatu fungsi terkecil, yang
biasa disebut dengan eigenfunction. Keuntungan utama dari penggunaan metode
EOF adalah eigenfunction pertama terpilih sebagai kemungkinan terbesar varians
data. Urutan eigenfunction berikutnya dipilih dari salah satunya, yang
mereprentasikan kemungkinan jumlah terbesar dari perbedaan tersebut (Dean dan
Dalrymple, 2002).
Selanjutnya Dean dan Dalrymple (2002) juga menyatakan bahwa untuk kondisi
suatu profil yang stabil, dimana profil dimulai dari suatu ketinggian di pantai
melintas batas air laut, kemudian menuju suatu kedalaman tertentu di dasar laut,
merupakan hasil suatu survey k, dimana pada pada setiap survey, pengukuran
dilakukan pada lokasi i yang sama sepanjang profil tersebut. Elevasi yang terjadi
pada pengukuran tersebut dilambangkan dengan

hi

Metode EOF ini

didasarkan pada asumsi bahwa elevasi ini merupakan jumlah dari hasil kali antara
eigenfunction dan konstanta.
N

hi = Cn e n
k

n=1

(2.1)

pada posisi profil ke-i dan survey ke-k

22

en

dimana

menyatakan berbagai nilai eigenfunction ke-n di lokasi ke-i pada

Cn

suatu profil. Sementara

menyatakan koefisien dari survey ke-k dan

eigenfunction ke-n. (pada posisi ini analogi persamaan tersebut mendekati analogi
analisis Fourier, dimana eigenfunction adalah berbentuk sinus dan kosinus).
Salah satu karakter dari eigenfunction adalah masing-masing berdiri
sendiri dan tidak saling bergantung satu dengan yang lainnya (orthogonal),
dimana :
I

e n em =nm
i

i=1

(2.2)

nm=1

Dimana

jika n = m, dan

nm=0

jika n m.

Untuk memperoleh nilai dari

Cn

mengurangi mean square error pada

hi

kesalahan (error)

yang tidak diketahui, kita harus


oleh sebuah eigenfunction; faktor

didefenisikan sebagai:

i =hi Cn e n
k

n=1

(2.3)

Pengurangan tersebut diselesaikan dalam kuadrat terkecil dengan mengurangi


jumlah pangkat dari tingkat kesalahan (error) pada profil tersebut:
I

2i

Meminimalkan
I

i=1

dengan memperhatikan

Cm

2 h i C n e n e m =0
i=1

n=1

, atau :

(2.4)

Dengan menggunakan hubungan orthogonal, diperoleh


I

C m = hi e m
k

i=1

(2.5)

23

Cm

Persamaan ini memungkin untuk menentukan

dari setiap survey yang

dilakukan setelah mengetahui eigenfunction-nya. Total perubahan mean-square


dari data profil
2=

, yang didefenisikan sebagai :

1
1
h2i =

IK k=1 i=1
IK k=1 i=1
k

)(

C n e n C m em
n=1

m=1

(2.6)

Dimana setelah penggunaan properti ortogonal eigenfunction secara berulang


2
dilakukan, dapat ditulis :
K

1
C2
IK k=1 n=1 n

(2.7)

Dimana jumlah pangkat dari koefisien C sama dengan jumlah pangkat dari
perubahan (varian) h, atau dengan kata lain varian terdiri dari jumlah pangkat dari
seluruh koefisien dari seluruh survey yang dilakukan. Untuk menemukan
eigenfunction lain, maka kontribusinya terhadap varian harus ditingkatkan.
Dalam hal ini digunakan pendekatan pengali Lagrange, fungsi yang
diperbesar adalah
1
IK

C 2n
k

k=1

(
i=1

e 2n 1
i

Dengan mempertimbangkan

(2.8)
en

, dimana

adalah pengali Langrange.

Dengan menurunkan persamaan tersebut, diperoleh :


I

en
i=1

1
IK

hi hm
k

k=1

= e n

(2.9)

Akhirnya, jika diketahui bahwa


ai =
m

1
IK

hi hm
k=1

(2.10)

Maka diperoleh suatu persamaan matriks simetris


24

e n ai = en
i=1

(2.11)

Persamaan ini adalah persamaan matriks nilai eigen dari matrik simetris koefisien
real. Dimana seperti kebanyakan eigenfunction lainnya, terdapat titik I di profil,
oleh karena itu, N = I , dan setiap eigenfunction dihubungkan dengan nilai eigen
n

yang berbeda-beda. Hal ini dapat ditunjukkan dengan relatif lebih mudah

bahwa nilai-nilai eigen tersebut berhubungan dengan total varian sebagai berikut :
I

2= n

(2.12)

n=1

Dengan mengaplikasikan metode pemisahan variabel, Hsu et al. (1994)


menyatakan elevasi dasar dapat ditulis sebagai
h ( x , y , t )= e k ( x) e k ( y)c k (t )
k

dimana
ek ( y )

e k (x)

(2.13)

adalah eigenfunction arah tegak lurus pantai (cross-shore),

eigenfunction arah sepanjang pantai (longshore), dan

c k (t )

adalah

temporal eigenfunction. Persamaan tersebut mewakili variasi perubahan pantai


pada arah tegak lurus pantai dan arah sepanjang pantai pada suatu waktu tertentu.
Eigenfunction arah tegak lurus pantai (cross-shore) pada persamaan di atas
merupakan suatu set orthonormal

e m ( x ) e n ( x ) =mn
x

dimana

mn

(2.14)

adalah delta Kronecker. Untuk menghasilkan eigenfunction arah

tegak lurus pantai dari data profil pantai, dibentuk matriks A dengan elemen a ij
didefenisikan sebagai
Nt

Ny

1
aij =
h ( i , y , t ) h( j , y , t)
Nx N y N t
t =1 y=1

(2.15)

25

dimana

Nx

adalah jumlah titik data per profil,

yang diukur sepanjang pantai, dan

Nt

Ny

adalah jumlah profil

adalah jumlah waktu pengukuran.

Persamaan di atas diintrepretasikan sebagai korelasi silang (cross-correlation)


antara titik i dan j pada arah tegak lurus pantai. Matriks A yang memiliki suatu
kx

eigenvalue

dan eigenfunction

e k (x)

didefenisikan oleh persamaan

matriks sebagai
A e k ( x )= kx ek (x )

(2.16)

Sesuai dengan langkah-langkah tersebut di atas, maka dapat diperoleh


matriks B sebagai berikut
Nt

bij =

Nx

1
h (i , x , t ) h( j , x , t)
N x N y N t t =1 x=1

eigenvalue

ky

(2.17)

dan eigenfunction arah longshore e k ( y ) dievaluasi dengan

B ek ( y )= ky ek ( y)

Perkalian
dari e m ( y )

(2.18)

em ( x ) e n ( y ) h ( x , y ,t )

dan

dan penggunaan orthonormality

e n ( x ) , masing-masing, menghasilkan eigenfunction temporal

yang diberikan oleh


c k ( t )= e k ( x ) e k ( y ) h( x , y ,t )
y

(2.19)

c k ( t ) dibiarkan tetap menjadi eigenfunction orthonormal dengan

26

ck ( t )

c k ( t )
c k ( t )=
=
c k ( t )2 ak

(2.20)

Dengan substitusi, maka diperoleh


h ( x , y , t )= ak e k (x) e k ( y)c k (t)
k

(2.21)

Dalam rangka untuk menggambarkan variasi temporal untuk kedua komponen


angkutan sedimen, kedua sisi persamaan di atas dikalikan dengan en(y) dan
memanfaatkan orthonormality dari en(y) dan ek(y) untuk mendapatkan
e k ( x , t )=h ( x , y ,t ) ek ( y )= ak e k ( x ) c k (t)
k

(2.22)

Dengan cara yang sama, dengan mengalikan em(x), sehingga diperoleh


e k ( y , t )=h ( x , y , t ) e k ( x )= ak e k ( y ) c k (t)
k

(2.23)

Persamaan 2.22 dan 2.23 tersebut yang dapat digunakan untuk


mengidentifikasi perubahan garis pantai arah tegak lurus pantai (cross-shore) dan
arah sepanjang pantai (longshore).
2.3.2. Aplikasi EOF untuk Analisa Perubahan Morfologi Pantai
Metode EOF pertama kali diaplikasikan untuk morfologi pantai pada
pertengahan 1970-an oleh Winant et al. (1975), dimana ditemukan bahwa
sebagian besar variasi dalam konfigurasi profil dicatat untuk eigenfunctions
pertama yang berhubungan terhadap fungsi dari mean shoreline, bar berm dan
terrace. Aubrey (1979), Dick dan Dalrymple (1984), Hsu et al. (1986 dan 1994)
dan Gao et al. (1998) juga menggunakan metode EOF untuk melakukan analisa
perubahan profil melintang pantai.
Beberapa penelitian lainnya menganalisa perubahan garis pantai menyusur
pantai (long-shore) menggunakan metode EOF. Munoz-Perez et al., (2001)
melakukan analisa EOF untuk mengukur variabilitas garis pantai sepanjang
pantai. Sedangkan Miller dan Dean (2007) menganalisa variabilitas garis pantai
sepanjang pantai pada beberapa lokasi di Amerika dan Australia. Selain itu,

27

Rithpring dan Tanaka (2007) melakukan analisa perubahan topografi di muara


sungai Natori akibat pembangunan pelabuhan Yuriage dan di sekitar pelabuhan
Sendai di Jepang. Hsu et al., (1994) mengembangkan model empirical
eigenfunction dua dimensi baru dari yang diusulkan sebelumnya (Hsu et al., 1986)
untuk prediksi perubahan pantai akibat kombinasi pengaruh transportasi sedimen
arah longshore dan cross-shore. Riset terbaru dilakukan oleh Fairley et al. (2009)
yang menggunakan metode EOF untuk menganalisa perubahan garis pantai di
belakang dua jenis desain detached breakwater, dengan menggunakan data
rekaman video selama 30 bulan, di pantai Sea Paling, Inggris. Sementara MunozPerez dan Medina (2010) mengaplikasikan metode EOF untuk membandingkan
variasi perubahan jangka panjang, menengah dan pendek dari profil pantai.

28

Anda mungkin juga menyukai