Anda di halaman 1dari 67

Resistensi Masyarakat Adat dan PeranTua Adat

Dalam Menyelesaikan Konflik Lotas di Daerah Perbatasan


Kabupaten Belu dan Timor Tengah Selatan

PERANAN MOSALAKI DALAM PENYELESAIAN


SENGKETA TANAH ULAYAT DI DESA SESO
KECAMATAN SOA KABUPATEN NGADA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita sebagai makhluk yang bermasyarakat, dalam kehidupan sehari-hari tidak

dapat terlepas dari kehidupan bermasyarakat. Baik secara luas maupun secara

terbatas, kita harus selalu berhubungan dengan orang lain diluar diri kita sendiri.

Hubungan-hubungan tadi merupakan tuntutan dasar untuk memenuhi segala

kebutuhan hidup kita dimasyarakat.

Dalam usaha mempertahankan hidupnya manusia sangat tergantung kepada

alam sekelilingnya. Alam merupakan sumber daya yang potensial untuk

dikembangkan bagi kelanjutan kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan

mempertahankan hidupnya, manusia yang semula hanya menggantungkan diri pada

alam sekitarnya, mulai berkembang kearah mengubah ke alam sekelilingnya untuk

lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Tanah bukan hanya sebagai sumber kehidupan atau sumber mata pencaharian,

namun segala aktivitas manusia berada di atas tanah. Mereka bertempat tinggal

dengan membuat rumah diatas tanah, mereka dilahirkan hingga dewasa, kemudian

1
mengembangkan keturunannya, bahkan sampai akhir hayatnya dimakamkan ditanah

itu. Karena itu tanah merupakan benda yang paling berharga dan tinggi nilainya.

Berbicara tentang tanah ulayat berarti tidak terlepas dari peranan Mosalaki

atau Dela One Nua yang bertindak sebagai perangkat yang menyelesaikan masalah

sengketa tanah. Peran Mosalaki dalam suatu masyarakat desa sangatlah besar dan hal

ini sudah diakui sejak nenek moyang kita. Mereka selalu dilibatkan dalam setiap

pengambilan keputusan dan penetapan aturan-aturan tentunya disesuaikan dengan

tugas dan tanggung jawab mereka yang dibuat sebagai suatu norma kehidupan dalam

masyarakat desa. Tua adat diminta perannya untuk senantiasa memberikan seruan

moral yang mengarah pada terciptanya kerukunan dan toleransi hidup bermasyarakat.

Dalam kehidupan berkelompok dibutuhkan sejumlah aturan untuk dapat dijadikan

pemimpin yang bertanggung jawab dalam memimpin kelompok tersebut.

Sengketa tanah yang sering muncul dalam kehidupan bermasyarakat anatar

lain disebabkan adanya perebutan hak atas tanah yang mengakibatkan rusaknya

keharmonisan hubungan sosial. Di dalam masyarakat hukum adat sering terjadi

sengketa mengenai tanah-tanah adat termasuk tanah ulayat, adapun penyebab

timbulnya sengketa tanah ulayat antara lain: kurang jelas batas tanah ulayat dan

kurang kesadaran masyarakat hukum adat dalam hal penggunaan dan kepemilikan

tanah. Seperti yang terjadi di Kecamatan Soa adalah antara masyarakat Desa Seso

dengan masyarakat Desa Waepana dilokasi Turewuda, dimana masyarakat adat Desa

Seso (Suku Meli) melihat dan merasa bahwa tanah yang ada di Turewuda adalah

tanah ulayat yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur kepada masyarakat

adat untuk tempat upacara adat, padang penggembalaan dan padang perburuan sesuai

2
dengan suku-suku atau Woe yang ada di Desa Seso. Dengan pemahaman yang

demikian masyarakat adat Desa Seso (suku meli) merasa bahwa orang-orang yang

mendiami dang menguasai tanah tersebut merupakan perampasan terhadap hak-hak

mereka yang diwariskan secara turun temurun sehingga tanah ulayat yang ada dan

dianggap sebagai tanah suku harus selalu dipertahankan. Ketidakpuasan inilah yang

mendesak masyarakat adat Desa Seso menuntut masyarakat Desa Waepana untuk

mengembalikan dan mengakui tanah-tanah hak ulayat mereka. Disatu pihak ternyata

tanah-tanah ulayat yang dikuasai oleh masyarakat Desa Waepana sudah menjadi

milik mereka karena telah diberikan oleh pemerintah berdasarkan tanah negara yang

bebas. Dan kepada masyarakat desa Waepana telah diberikan bukti-bukti kepemilikan

atas tanah berupa sertifikat. Tanah-tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun

dikuasai dan diolah serta ditanami tanaman panjang umur oleh masyarakat Desa

Waepana.(Maria_D_Muga.pdf.Adobe_Reader.Peranan_Kepala_Adat_Dalam_Penyel

esaian_Sengketa_Tanah_Ulayat_Melalui_Mediasi)

Dengan melihat masalah di atas penulis merasa tertarik untuk meneliti

peranan Mosalaki dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat di Desa Seso karena

dalam perkembangannya sekarang masyarakat tidak menghiraukan batas-batas tanah

serta hak milik tanah yang bukan merupakan hak miliknya. Oleh sebab itu diharapkan

kepada masyarakat agar selalu memperhatikan batas-batas tanah yang menjadi

miliknya agar tidak terjadi permasalahan seperti ini.

Dari latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk mengkaji secara
mendalam melalui penelitian yang berjudul:”Peranan Mosalaki Dalam Penyelesaian
Sengketa Tanah Ulayat Di Desa Seso Kecamatan Soa Kabupaten Ngada”

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian

ini adalah “Bagaimana Peranan Mosalaki Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah

Ulayat Di Desa Seso Kecamatan Soa Kabupaten Ngada?”

C. Tujuan dan Kegunaan


Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi tujuan dan kegunaan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan

Untuk mengetahui peranan Mosalaki dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat

di Desa Seso Kecamatan Soa Kabupaten Ngada

2. Kegunaan

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi kegunaan dari penelitian

ini adalah:

a. Sebagai bahan informasi bagi Masyarakat Ngada umumnya dan Masyarakat

Desa Seso pada khususnya

b. Sebagai pegangan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang


peranan Mosalaki dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat di Desa Seso
Kecamatan Soa Kabupaten Ngada.

D. Tinjauan Pustaka
1. Peranan
Soekanto (1990:268) mendefinisikan peranan merupakan aspek dinamis

dari kedudukan apabila sesorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai

4
dengan kedudukan, maka dia menjalankan suatu peranan. Soekanto menambahkan

bahwa peranan dan kedudukan tidak dapat dipisahkan karena yang satu tergantung

kepada yang lainnya, atau tidak ada peranan tanpa ada kedudukan, atau tidak ada

kedudukan tanpa ada peranan. Perbedaan peranan dan kedudukan adalah hanya

untuk kepentingan ilmu.

Levinson dalam Soekanto (1920:269) mendefinisikan bahwa peranan

meliputi tiga hal pokok antara lain: (a) peranan meliputi norma-norma yang

berhubungan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, peranan

dalam arti ini merupakan rangkaian dari peraturan-peraturan yang membimbing

seseorang dalam kehidupan masyarakat, (b) peranan adalah suatu konsep tentang

apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, (c)

peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur

sosial masyarakat.

Alvretz Shutz dalam Campbel (1994:326) melihat bahwa sebuah peranan

tidak lepas dari sebuah tindakan sosial di mana tindakan sosial adalah melakukan

sesuatu dengan terarah menuju penyelesaian sebuah tindakan yang diproyeksikan

si pelaku dalam pikirannya.

Parker dalam Siagian (2002:8) merumuskan peranan sebagai suatu

pengenalan dan ciri-ciri kewajiban individu dalam suatu organisasi sosial yang

berhubungan dengan jabatan yang menunjukkan pada suatu perluasan kewajiban

yang dimainkan dalam suatu organisasi kerja yang menunjukkan pada peranan dan

kewajiban.

2. Kepemimpinan

5
Dewasa ini, banyak sekali konsep kepemimpinan yang telah ditemukan

oleh para ahli diantaranya, Sondang P Siagian dalam Ali (1986:81) mengatakan

kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi sumber-sumber dan alat-alat

manusia dan alat-alat lain dalam suatu organisasi.

Selanjutnya Koentjaraningrat dalam Ali (1986:81), mengatakan

kepemimpinan dalam suatu masyarakat dapat merupakan suatu kedudukan sosial

tetapi juga suatu proses sosial. Sebagai suatu kedudukan sosial, pemimpin

merupakan suatu komplek dari hak-hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh

seseorang. Sebagai suatu proses sosial, pimpinan meliputi segala tindakan yang

dilakukan oleh orang-orang atau badan-badan untuk menyebabkan aktivitas warga

masyarakat. Dari definisi di atas dapat dikemukakan hal yang menyangkut

kepemimpinan yaitu: (1). Adanya orang yang melakukan tindakan menggerakkan,

memotivasi individu-individu atau kelompok warga masyarakat yang disebut

bawahan atau pengikut, (2) adanya tujuan yang ingin dicapai, (3) adanya

serangkaian kegiatan atau tindakan menggerakkan, memotivasi, mempengaruhi

bawahan atau pengikut kearah yang ingin dituju.

Burhanudin dalam Abdonia (2003:5) mendefinisikan kepemimpinan

merupakan suatu kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi,

membimbing dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mereka mau

berbuat sesuatu demi tercapainya tujuan bersama.

Dalam Riberu (1978:9) mengemukakan gaya-gaya kepemimpinan. Yang

dimaksudkan dengan gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin membawa diri

sebagai pemimpin.

6
a. Gaya kepemimpinan otoriter

Cara otoriter merupakan cara yang sangat memaksakan atau mendesakkan

kekuasaannya pada bawahan. Bawahan dikendalikan atau diperintahkan seperti

tidak mempunyai martabat manusia yang dapat mempunyai pikiran dan

kehendak sendiri.

b. Gaya kepemimpinan demokratis

Cara demokrasi merupakan cara di mana seorang pemimpin sadar bahwa ia

mengatur manusia-manusia. Dan manusia-manusia dalam martabatnya sebagai

manusia berderajat sama. Karena itu sang pemimpin tetap berusaha

menghormati dan memperhitungkan pendapat serta saran orang lain. Ia akan

menghindari hal-hal yang dirasakan tidak sejalan dengan martabat manusiawi

dari bawahannya.

c. Gaya kepemimpinan absolutistis

Dimana seorang pemimpin bisa begitu yakin akan nilai mutlak dari

kekuasaannya, sehingga ia bertindak seolah-olah semua orang dan semua benda

hanya ada untuk meladeni hasrat-hasrat kekuasaannya.

Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, umumnya kita kenal tiga konsep

pokok sebagaimana yang dikemukakan oleh Max Weber dalam Abdonia (2003:6-

7) antara lain: (1) pimpinan kharismatik, pimpinan yang demikian ini, di mana

kesaktian yang tak ada pada orang lain. Yang kesaktiannya ini didapatkan dari

Tuhan. Pimpinan ini diakui oleh masyarakat selama ia masih memiliki kharisma,

(2) pimpinan tradisional, pimpinan yang demikian ini didasarkan pada pengakuan

akan tradisi yaitu didasarkan pada keturunan atau dengan pewarisan kekuasaan,

7
(3) pimpinan nasional, pimpinan ini didasarkan pada pendidikan formal atau

dengan kata lain melalui jenjang pendidikan formal, di mana yang dipakai sebagai

ukuran dalam jabatan.

Kepemimpinan tradisional dalam kaitannya dengan Mosalaki merupakan

seseorang yang dianggap mempunyai kemampuan atau kharismatik yang jauh

lebih baik dari pada masyarakat yang ada disekitarnya dan juga dipercaya dapat

menyelesaikan segala persoalan yang berkaitan dengan masyarakat di wilayahnya

termasuk penyelesaian masalah tanah ulayat.

3. Konflik
Tidak satu masyarakat pun yang pernah mengalami konflik antar

anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang

bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri, Max Weber dalam Dany

(2011:163).

Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu

dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya menyangkut ciri

fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan dan lain sebagainya.

Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik

merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat

pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok

masyarakat lainnya, (Dany,2011:164).

International Encyclopedia of The Social Science dalam Eli (2011:384)

menguraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni

ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; dimana

8
tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok, kekerabatan, satu

komunitas atau mungkin satu lapisan kelas sosial, satu organisasi politik dan satu

suku bangsa atau satu pemeluk agama tertentu. Demikian pihak-pihak yang dapat

terlibat dalam konflik meliputi banyak macam dan bentuk ukurannya.

Mengacu dari konsep tersebut, maka perang tidak sama dengan konflik, akan

tetapi benih-benih dari setiap peperangan hingga bentuk terorisme adalah konflik

berkepanjangan yang tidak terselesaikan. Secara sederhana konflik dapat diartikan

sebagai perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara

individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk saling

menjatuhkan atau menyingkirkan atau menyisihkan.

Menurut Dahrendorf dalam Dany (2011:172-173), konflik pada dasarnya

dibedakan menjadi empat macam yaitu: 1. Konflik antara dua atau lebih dalam

peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau

profesi (konflik peran/role), 2. Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antara

keluarga,antar genk, dan kelompok agama), 3. Konflik kelompok terorganisir dan

tidak terorganisir (polisi melawan masa), dan 4. Konflik antara satuan nasional

(kampanye).

Konflik pada umumnya disebabkan oleh: 1. Perbedaan antar individu yang

mencakup perbedaan pendirian dan perasaan, 2. Perbedaan latar belakang

kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda sebagai

konsekwensinya, 3. Perbedaan kepentingan antara individu dan kelompok.

Pada dasarnya dalam kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari konflik

baik yang bersifat individu maupun yang bersifat kelompok. Begitu juga halnya

9
dalam masalah sengketa tanah yang dapat menimbulkan konflik antara kelompok

masyarakat maupun antar individu.

4. Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah yang diwariskan turun temurun oleh nenek

moyang sejak dahulu kala, tanah ulayat dipahami sebagai bidang tanah yang di

atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang

penguasaan atau pemanfaatannya diatur berdasarkan hukum adat. Kewenangan

dalam hal mengatur boleh tidaknya memanfaatkan tanah ulayat ini biasanya

menjadi tanggung jawab para Mosalaki. Pentingnya sebuah aturan mengenai boleh

tidaknya memanfaatkan tanah ulayat semata-mata karena alasan ekonomi,

melainkan juga alasan lain yakni kelangsungan hidup (eksistensi). Sebab, bagi

masyarakat hukum adat, tanah ulayat tidak saja dijadikan sebagai tempat untuk

bergantung hidup (bercocok tanam dan berburu atau tempat untuk mengambil

sumber daya alam lainnya seperti kayu, madu dan lain sebagainya) melainkan juga

merupakan lingkungan sosial tempat mereka berinteraksi bahkan seperti

‘perkampungan’. Dengan kata lain, tanah ulayat yang sebagian besar terdiri dari

hutan adalah lingkungan budaya suatu masyarakat hukum adat.

http://cetak.bangkapos.com/etalase/read/19215.html

Hilman Hadikusuma dalam http://eprints.undicep.ac.id/23928/I/Syafan

Akbar.pdf mengatakan bahwa tanah ulayat merupakan milik bersama (kerabat-

sanak keluarga) mempunyai hak pakai dalam arti boleh memakai, boleh

mengusahakan, boleh menikmati hasilnya tapi tidak boleh secara pribadi atau

milik perorangan. Sedangkan H. Nurullah Dt Perpatiah Nan Tuo mengatakan

10
tanah ulayat merupakan segala sesuatu yang terdapat atau yang ada di atas

termasuk ruang angkasa maupun segala hasil perut bumi yang diwarisi secara

turun temurun dalam keadaan utuh. Tidak terbagi dan tidak boleh di bagi.

E. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi yang akan menjadi tempat penelitian ini adalah Desa Seso Kecamatan Soa

Kabupaten Ngada. Penentuan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan karena

peristiwa ini berada di Desa Seso sehingga memungkinkan bagi peneliti untuk

memperoleh data, selain itu lokasi ini juga ditentukan atas dasar pertimbangan

waktu, biaya, tenaga dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penulisan ini.

2. Informan
Moleong (2004:9) mengatakan informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk

memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dalam

penelitian ini, peneliti memilih dan menentukan informan dengan cara Purposive

Sampling dengan pertimbangan bahwa informan yang dipilih benar-benar

mengetahui masalah yang diteliti. Dengan demikian, maka yang menjadi informan

dalam penelitian ini adalah: (a) masyarakat yang berkaitan dengan sengketa tanah,

(b) tua-tua adat, (c) tokoh-tokoh masyarakat, (d) masyarakat biasa.

Adapun yang dijadikan kriteria dalam penentuan informan adalah: usia, status

sosial, pengetahuan/pengalaman dan dapat dipercaya.

3. Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat dua sumber data yaitu:
a. Sumber Data Primer

11
Iskandar (1996:178) menyatakan bahwa sumber data primer yaitu sumber

data yang diperoleh langsung dari kesaksian mata sendiri sebagai orang yang

mengetahui tentang obyek yang diteliti. Jadi yang menjadi sumber data primer

dalam penelitian ini adalah orang-orang yang berkaitan dengan sengketa tanah

ulayat, tua-tua adat, tokoh masyarakat dan masyarakat biasa.

b. Sumber Data Sekunder

Iskandar (2008:178) menyatakan bahwa sumber data sekunder adalah sumber

data yang diperoleh dengan mengumpulkan atau mengolah data yang bersifat

studi pustaka berupa penelaah terhadap pustaka berupa referensi-referensi

maupun laporan dan sebagainya yang memiliki hubungan dengan masalah

penelitian. Jadi data sekunder dari penelitian ini yaitu buku-buku, literatur

serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan sengketa tanah ulayat.

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi:

a. Wawancara

Iskandar (2008:178) menyatakan bahwa wawancara adalah metode

pengumpulan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada informan dengan

cara tanya jawab secara tatap muka. Untuk memperoleh data secara langsung,

peneliti mengadakan wawancara dengan informan mengenai masalah yang

akan diteliti yaitu peranan Mosalaki dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat

di Desa Seso Kecamatan Soa Kabupaten Ngada. Wawancara yang digunakan

dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka. Wawancara tersebut

berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan oleh peneliti

12
sebelumnya. Untuk memudahkan peneliti dalam pengambilan data, maka

peneliti menyiapkan juga alat bantu berupa catatan, aat-alat perekam dan

kamera foto.

b. Observasi

Iskandar (2008:215) menyatakan bahwa observasi adalah metode

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati langsung dan

memahami sesuatu fenomena. Dalam kegiatan penelitian ini, peneliti akan

mengamati langsung tanah yang bermasalah dengan alat bantu berupa kamera

untuk mengambil gambar.

c. Studi Pustaka

Iskandar (2008:219) menyatakan bahwa studi pustaka yaitu teknik menelaah

terhadap referensi-referensi yang berhubungan dengan permasalahan

penelitian. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan dan mempelajari

beberapa pustaka penting yang berkaitan dengan peranan Mosalaki dalam

penyelesaian sengketa tanah ulayat di Desa Seso Kecamatan Soa Kabupaten

Ngada dan dimaknai sebagai satu sumber yang bisa melengkapi data hasil

wawancara.

5. Teknis Analisis Data


Menurut Bogdan dalam Sugiyono (2010:244) menyatakan bahwa analisis data

adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari

hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah

dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data

dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit,

13
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan

yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada

orang lain.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis

deskriptif. Teknik analisis ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dari data-

data berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Data-data tersebut berasal

dari wawancara, catatan lapangan dan dari dokumen-dokumen. Penggunaan teknik

analisis deskriptif ini dimulai dari analisis berbagai data yang telah terhimpun

kemudian akan membentuk sebuah kesimpulan.

Dengan demikian, yang dilakukan oleh peneliti setelah sampai di lokasi penelitian

adalah peneliti akan mengumpulkan data dari berbagai sumber yaitu dari

wawancara, pengamatan yang sudah ditulis dalam catatan lapangan dan dari

berbagai dokumen kemudian peneliti mengelompokkan atau mengkategorikan

data berdasarkan rumusan masalah. Selanjutnya peneliti mengadakan pemeriksaan

kelengkapan dan keabsahan data dengan tujuan untuk memperoleh data yang

lengkap dan akurat. Setelah selesai tahap ini, peneliti akan melakukan penafsiran

data dan diakhiri dengan mendeskripsikan hasil analisis data dalam bentuk

laporan penelitian.

14
BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Keadaan Geografis
1. Letak, Luas dan Batas Wilayah
Kabupaten Ngada merupakan salah satu kabupaten yang beribukota Bajawa

yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah Kabupaten Ngada terletak

di pulau Flores dan dibatasi:

a. Bagian utara berbatasan dengan Laut Flores

b. Bagian Selatan berbatasan dengan Laut Sawu

c. Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Nagekeo

d. Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai Timur

Letak wilayah Kecamatan Soa mempunyai daratan yang luas, strategis dan desa-desa

di wilayah kecamatan Soa sangat dekat, mudah di jangkau dalam pelayanan dan

adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: bagian utara berbatasan

dengan Kecamatan Wolomeze, bagian selatan berbatasan dengan Golewa, bagian

Timur berbatasan dengan Kecamatan Boawae, bagian Barat berbatasan dengan

Kecamatan Bajawa Utara.

Luas wilayah kecamatan Soa 91.14 km² sedangkan jumlah penduduk sekitar 11.947

jiwa dan rumah tangga 2.350 KK sedangkan desanya berjumlah 11 desa.

2. Iklim
Iklim merupakan keadaan cuaca rata-rata pada suatu tempat dalam jangka
waktu yang cukup lama. Berdasarkan letak astronomis pulau Flores pada umumnya

15
dan desa Seso pada khususnya terletak pada zona tropis. Maka kenyataannya di Desa
Seso musim hujan berlangsung selama 4-5 bulan sedangkan musim kemarau
berlangsung 5-6 bulan. Wilayah desa Seso memiliki curah hujan dengan intensitas
rendah serta beriklim panas.
3. Keadaan Demografi dan Topografi
Sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Ngada termasuk daerah yang

beriklim tropis sehingga perubahan suhu tidak dipengaruhi oleh pergantian musim,

tetapi ditentukan oleh perbedaan ketinggian dari permukaan laut. Kondisi tersebut

merupakan salah satu faktor yang menentukan mata pencaharian penduduk dan jenis

tanaman atau ternak yang dipelihara. Luas wilayah yang berada di ketinggian

mencapai 0-500 m sebesar 64,02% dan berada di ketinggian 501-1000 m keatas

sebesar 15,13 %. Berdasarkan data tahun 2012, jumlah penduduk kecamatan Soa

11.947 jiwa. Komposisi penduduk menurut mata pencaharian dapat memberikan

gambaran tentang berbagai usaha ekonomi penduduk dan untuk mengetahui jenis

mata pencaharian yang dominan dikerjakan oleh penduduk.

B. Keadaan mata pencaharian


Keadaan mata pencaharian di Desa Seso sangat di dominan oleh petani. Dapat dilihat

pada tabel di bawah ini:

Tabel 1
Distribusi penduduk menurut mata pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah Presentase (%)
1. a. PNS 960 jiwa 8, 03 %
b. Polri 917 jiwa 7,67 %
c. Swasta 412 jiwa 3,44 %
2. Petani 8.052 jiwa 67,39 %
3. Pensiunan 415 jiwa 3,47 %
4. Pertukangan 883 jiwa 7,39%
5. Jasa 308 jiwa 2,57 %
Jumlah 11. 947 jiwa 100 %

16
Sumber data: kantor Desa Seso, tahun 2012

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk yang bermata

pencaharian sebagai petani menduduki posisi pertama dengan jumlah 8.052

(67,39%), PNS berjumlah 960 jiwa (8,03%), Polri berjumlah 917 jiwa (7,67%),

pertukangan berjumlah 883 jiwa (7,39%), pensiunan berjumlah 415 jiwa (3,47%),

swasta berjumlah 412 jiwa (3,44%) dan jasa berjumlah 308 jiwa (2,57%). Di wilayah

ini merupakan daerah pegunungan sehingga sektor pertanian yang paling dominan.

a. Pertanian

Pertanian merupakan salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat di Desa

Seso di mana terdapat tempat pertanian yang banyak. Pada lahan kering

masyarakat mengolah dengan sistem tradisional seperti mengolah tanah dengan

tenaga manusia sedangkan pada tanah yang basah digunakan tenaga hewan untuk

mengolah. Setiap lahan diolah sekali dalam setahun dan hasil tidak menentu

tergantung banyak sedikitnya curah hujan dan cuaca yang mendukung. Beberapa

tanaman pangan yang dihasilkan seperti padi sawah, jagung, ubi kayu, kacang

tanah, kacang kedelai, kacang hijau dan kopi.

b. Peternakan

Beternak merupakan salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat Desa Seso.

Peternakan di Desa Seso dikandangkan pada musim hujan dan dilepas pada

musim kemarau. Pada musim hujan ternak dikandangkan karena masyarakat takut

jika dilepas maka akan mengganggu tanaman masyarakat yang berada di kebun.

Masyarakat Desa Seso memiliki ternak kecil dan unggas dengan perincian dapat

dilihat pada tabel berikut:

17
Tabel 2
Jumlah ternak di Desa Seso tahun 2012
No Jenis Ternak Jumlah
1. Babi 749 ekor
2. Kambing 65 ekor
3. Kuda 65 ekor
4. Kerbau 150 ekor
5. Sapi 55 ekor
6. Ayam 1350 ekor
Jumlah
Sumber : Kantor Desa Seso, Tahun 2012
Lahan peternakan yang semakin sempit akibat alih fungsi sebagai lahan pertanian

dan akan mengancam keberadaan ternak. Oleh karena itu, perlu penanganan yang

serius dari masyarakat dan pemerintah supaya menyediakan suatu lahan khusus

untuk peternakan.

C. Keadaan Penduduk
1. Jumlah Penduduk
Penduduk merupakan sumber daya manusia yang potensial dalam

mengembangkan potensi perekonomian suatu wilayah. Penduduk memiliki peran

ganda di dalam pengembangan suatu wilayah yaitu sebagai objek dari kegiatan

pembangunan khususnya kegiatan ekonomi. Oleh karena itu meningkatnya jumlah

penduduk suatu wilayah hendaknya diikuti suatu upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan penduduknya. Penduduk Desa Seso pada tahun 2012 berjumlah 1045

jiwa, dengan perincian jumlah laki-laki berjumlah 604 jiwa dan perempuan berjumlah

441 jiwa, yang menyebar pada 4 dusun di Desa Seso. Dalam hal ini berdasarkan data

yang diproleh maka dapat dilihat bahwa penduduk laki-laki lebih banyak dari

penduduk perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh dari lokasi penelitian, maka

dapat dilihat pada perincian tabel di bawah ini:

18
Tabel 3
Distribusi penduduk setiap dusun di Desa Seso tahun 2012
NO Nama Dusun Jumlah Jiwa Prosentase (%)
1 Dusun Fokaroga 215 Jiwa 20,57%
2 Dusun Bomolo 345 Jiwa 33,01%
3 Dusun Tangi Seso I 264 Jiwa 25,26%
4 Dusun Tangi Seso II 221 Jiwa 21,14%
Jumlah 1045 100%
Sumber: Kantor Desa Seso Tahun 2012

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk yang terdapat di

Dusun Fokaroga berjumlah 215 jiwa (20,57%), Dusun Bomolo berjumlah 345 jiwa

(33,01%), Dusun Tangi Seso I berjumlah 264 jiwa (25,26%),sedangkan Dusun Tangi

Seso II berjumlah 221 jiwa (21,14%). Jadi jumlah penduduk yang paling banyak

terdapat di Dusun Bomolo yaitu 345 jiwa. Banyaknya jumlah penduduk di Dusun

Bomolo disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (a) wilayahnya lebih luas

dibandingkan dengan dusun yang lainnya; (b) pihak luar yang masuk ke desa Seso

lebih banyak menetap di Dusun Bomolo; (c) jumlah penduduk bertambah terus

karena banyak kaum muda menikah dini serta banyaknya pendatang dari luar; (d)

angka kematian sangat minim jika dibandingkan dengan dusun lainnya. Di samping

itu di dusun Bomolo cocok di jadikan tempat pertanian karena tempatnya sangat luas

serta tidak kekurangan air sehingga masyarakatnya dapat mengelola perkebunan

dengan baik.

2. Persebaran Penduduk
Penduduk Desa Seso terdiri dari penduduk laki-laki berjumlah 604 jiwa

(57,79%) sedangkan perempuan berjumlah 441 jiwa (42,20%).Untuk lebih jelas dapat

kita lihat pada tabel berikut ini:

19
Tabel 4
Distribusi penduduk menurut jenis kelamin tahun 2012
No Nama dusun Jiwa L % P % L+P %
1. Dusun 215 113 18,70 102 23,12 215 20,57
Fokaroga
2. Dusun 345 235 38,90 110 24,94 345 33,01
Bomolo
3. Dusun Tangi 264 135 22,35 129 29,25 264 25,26
Seso I
4. Dusun Tangi 221 121 20,03 100 22,67 221 21,14
Seso II
Jumlah 1045 604 100 441 100 1045 100
Sumber: Kantor Desa Seso Tahun 201

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk Dusun Fokaroga

adalah 215 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 113 jiwa (18,70%) dan

perempuan sebanyak 102 jiwa (23,12%), dusun Bomolo berjumlah 345 jiwa yang

terdiri dari laki-laki sebanyak 235 jiwa (38,90 %) dan perempuan sebanyak 110 jiwa

(24,94%), dusun Tangi Seso I berjumlah 264 yang terdiri dari laki-laki sebanyak 135

jiwa (22,35%) dan perempuan sebanyak 129 jiwa (29,25%) dan dusun Tangi Seso II

berjumlah 221 jiwa yang terdiri dari laki-laki 121 jiwa (20,03%) dan perempuan

sebanyak 100 jiwa (22,67%). Dengan demikian bahwa penduduk Desa Seso lebih

didominasi oleh laki-laki dengan jumlah sebanyak 604 jiwa (100%). Faktor yang

menyebabkan jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan pada tabel di

atas diantaranya: a) angka kelahiran bayi laki-laki lebih besar dari bayi perempuan, b)

banyak kaum ibu yang kurang merespon terhadap program KB, c) banyaknya

perempuan yang kawin dalam usia muda di Desa Seso. Dalam hal ini juga banyak

kaum ibu yang tidak mengikuti sosialisasi dari kantor kesehatan tentang program-

program yang di adakan oleh dinas kesehatan seperti KB dan lain sebagainya.

20
3. Agama dan kepercayaan
Agama merupakan sarana dalam kehidupan sosial manusia. Hal ini berarti bahwa

semua orang mempunyai pola pikir dan berprilaku terhadap apa yang diyakininya. Di

desa Seso terdapat beberapa agama dan aliran kepercayaan, untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5
Agama dan kepercayaan di Desa Seso tahun 2012
No Agama Jumlah Presentase %
1. Kristen katolik 1040 jiwa 99,52
2. Kristen protestan 5 jiwa 0,47
3. Islam - -
4. Hindu - -
5. Budha - -
Jumlah 1045 100
Sumber: Kantor Desa Seso Tahun 2012

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa penduduk Desa Seso 99,52%

menganut agama kristen katolik, 0,47% menganut agama kristen protestan, 0,0%

menganut agama islam, hindu dan budha. Banyaknya penganut agama kristen katolik

di desa ini karena mereka percaya terhadap Tuhan pencipta dan agama ini disiarkan

melalui misi.

D. Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya

manusia (SDM) sehingga diharapkan dapat mengembangkan suatu kepribadian yang

mandiri karena mempunyai kemampuan, baik kemampuan di sekolah maupun ketika

berada di luar sekolah atau masyarakat. Satu bangsa atau negara akan mengalami

keterpurukan di bidang pembangunannya apabila pendidikannya tidak diperhatikan.

Wilayah kecamatan Soa melalui program dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

21
(PPO), selalu berkonsentrasi pada kegiatan membangun pendidikan antara lain

dengan memperluas jangkauan pendidikan dan mutu pendidikan. Pendidikan adalah

suatu usaha yang dilaksanakan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud

mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga

pendidikan formal merupakan sarana dalam rangka mengembangkan pendidikan

sehingga dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan perubahan sikap positif

sehingga memperoleh tenaga terampil yang memiliki kecakapan dan pengetahuan

baru.

Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang

menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal

pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan formal adalah pendidikan yang

terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah

dan pendidikan atas. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan

pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial budaya, aspirasi dan potensi

masyarakat sebagai perwujudan pendidikan untuk masyarakat yang merupakan

kelompok warga negara indonesia non pemerintah yang berperan dalam bidang

pendidikan. Masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Selain itu, masyarakat wajib

mendukung penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

formal. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam usaha yang dilakukan oleh

perencana pendidikan, terutama pada saat proses pembelajaran yaitu guru sebagai

fasilitator dan perencanaan pembelajaran kelas.

22
Tabel 6
Jumlah sekolah yang ada di Soa
No Jenjang pendidikan Jumlah
1. Pendidikan TKK 8 sekolah
2. SD swasta 12 sekolah
3. SD Negeri 7 sekolah
4. SLTP Negeri 2 sekolah
5. SLTP Swasta 1 sekolah
6. SLTA Negeri 1 sekolah
Jumlah 31 sekolah
Sumber: Kantor Desa Seso Tahun 2012

Dari hasil survey tersebut, dapat diketahui bahwa keadaan masyarakat di

Kecamatan tersebut masih memprihatinkan terutama karena berkurangnya SLTA

yang ada di kecamatan tersebut serta kurangnya sarana prasarana pendidikan,

kurangnya motivasi siswa, kekurangan guru, kualitas guru masih rendah serta

rendahnya pikiran masyarakat untuk bersekolah sehingga menyebabkan tingkat

pendidikan di kecamatan ini berkurang, serta anggapan dari para orang tua bahwa

dengan menyekolahkan anaknya hanya akan membuang-buang uang serta tenaga dan

waktu saja. Faktor dari diri anak sendiri yang tidak ingin bersekolah.

Menurut kepala dinas pendidikan, kebudayaan pemuda dan olahraga Drs.

Aloysius Siba mengatakan bahwa masih banyak kendala pendidikan yang harus

diatasi diwilayah kecamatan Soa, antara lain pemerataan tenaga kependidikan di

tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, dan

terbatasnya sarana prasarana dan alokasi dana dalam pembangunan pendidikan dari

pemerintah pusat yang belum memadai.

Selain itu, tujuan utama pendidikan adalah mewariskan peradaban bagi

generasi baru oleh generasi tua karena banyaknya unsur dan komponen di dalam

peradaban dan semakin kompleksnya, sehingga pembudayaan pendidikan harus

23
segera dilakukan melalui pendidikan. Untuk itu, pihak dinas PPO bertekad dengan

visinya mewujudkan managemen sekolah yang baik melalui pelayanan dengan

peningkatan disiplin yang berbudaya serta memiliki etos kerja guru yang tinggi yang

berwawasan iman dan taqwa (Imtaq) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Seni

(Ipteks).

E. Keadaan Tanah
Manusia pada dasarnya tergantung pada tanah dan pada batas-batas tertentu.

Tanah yang baik tergantung pada manusia dan pengelolaannya. Tanah merupakan

tubuh alam di mana manusia melakukan segala aktivitasnya dan keanekaragaman

manfaat serta menikmati keindahan alam menurut jenis dan kualitasnya.

Keadaan tanah untuk wilayah permukiman di desa Seso pada umumnya

sangat subur sehingga masyarakat tidak susah dalam mengelola lahan pertanian

karena tidak memakan waktu yang lama.

F. Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Desa Seso memiliki sistem kemasyarakatan yang khas. Dalam

sistem tersebut tidak mengenal stratifikasi sosial. Masyarakat masih mempertahankan

sifat kebersamaan yang tinggi terutama dalam bentuk gotong royong dalam

menyelesaikan pekerjaan. Masyarakat menyebut gotong royong dengan istilah Bapo.

Dalam sistem kemasyarakatan tidak mengenal pelapisan sosial, masyarakat tetap

menghargai orang yang mempunyai peran tertentu seperti tua adat (Mosalaki),

jabatan pemerintah, pimpinan gereja dan lain sebagainya.

24
G. Keadaan Kebudayaan
Pengaruh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) turut

membawa perubahan kebudayaan masyarakat desa seso. Perubahan tersebut menyatu

dalam beberapa unsur kebudayaan seperti: sistem pengetahuan, sistem peralatan

hidup, mata pencaharian, religi dan kesenian. Masyarakat cendrung di pengaruhi oleh

kebudayaan luar dengan tanpa melalui seleksi sehingga lambat laun kebudayaan asli

mulai punah. Beberapa ritual adat yang saat ini masih dipertahankan antara lain:

upacara berburu (Rori Witu). Masyarakat percaya bahwa adanya Tuhan (Dewa Zeta

Nitu Zale) yang bersifat sakral dan sebagai sang pemilik kehidupan. Ungkapan-

ungkapan ini merupakan kunci dimana selalu dituangkan dalam setiap ritus adat.

Disamping kepercayaan tersebut, masyarakat Desa Seso juga percaya akan leluhur

yang telah meninggal dimana leluhur dipercaya sebagi perantara doa dan mereka

dianggap sebagai paling dekat dengan Tuhan (Dewa Zeta Nitu Zale). Ritual adat

sering dilakukan untuk menghormati para leluhur seperti pada acara berburu (Rori

Witu).

H. Keadaan Pemerintahan
1. Pemerintahan Adat
Dalam kehidupan sosial masyarakat Desa Seso, memiliki pemerintahan adat

yang dapat mengatur tingkah laku masyarakat secara adat. Untuk menyelesaikan

persoalan dalam masyarakat dapat diselesaikan dengan menggunakan aturan adat.

Hal ini terkait dengan masalah tanah ulayat, masalah moral, dan sejenisnya dengan

menggunakan hukum yang berlaku secara adat. Tetapi jika penyelesaian masalah

25
ditingkat adat menemukan jalan buntu barulah dibawa ketingkat aparat desa sesuai

hukum formal atau tertulis. Masalah yang berkaitan dengan tanah ulayat diurus oleh

Mosalaki, sedangkan tua adat yang lain harus turut berpartisipasi walaupun secara

pasif. Sanksi yang diberikan biasanya sesuai dengan besarnya kesalahan yang dibuat

oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

2. Pemerintahan Formal
Masyarakat desa Seso memiliki aparat pemerintahan desa yang dipimpin

oleh seorang kepala desa. Dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh sekretaris desa.

Masa jabatan kepala desa berlaku selama lima tahun. Untuk mengontrol jalannya

roda pemerintahan desa maka di desa Seso memiliki suatu badan yang bernama

Badan Perwakilan Desa (BPD). Di setiap dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun

dan di bawahnya adalah RT yang dapat berhubungan dengan masyarakat.

26
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Sengketa Tanah di Ngada


Sengketa tanah ulayat masyarakat Desa Seso (Suku Meli) dengan

masyarakat Desa Waepana di lokasi Turewuda Kecamatan Soa, di mana masyarakat

Desa Seso melihat dan merasa bahwa tanah yang ada di lokasi Turewuda adalah

tanah ulayat yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur kepada masyarakat

adat untuk tempat upacara adat, padang penggembalaan dan padang perburuan sesuai

dengan suku-suku atau Woe yang ada di Desa Seso. Dengan pemahaman yang

demikian masyarakat Desa Seso merasa bahwa orang-orang yang mendiami dan

menguasai lokasi tanah tersebut merupakan perampasan terhadap hak-hak mereka

yang diwariskan secara turun temurun sehingga tanah ulayat yang ada dan dianggap

sebagai tanah suku harus selalu dipertahankan. Tanah ulayat masyarakat adat Desa

Seso yang menjadi sengketa di lokasi Turewuda terdiri dari berbagai suku yakni

antara lain:

1. Tanah ulayat milik suku Tiwu-Ngina yang merupakan tempat untuk upacara adat

(withu radha madha)

2. Tanah ulayat milik suku Mude yang merupakan tempat berkumpul orang-orang

untuk upacara adat (Toe Vato)

Di samping itu tanah ulayat masyarakat adat Desa Seso berdasarkan asal

usul dan sejarah perkembangannya dapat digolongkan sebagai berikut:

27
1. Tanah warisan dalam suku dan dimiliki semua anggota suku yang berkaitan

dengan kepemilikan rumah adat dan upacara adat (tana kapi sa’o) seperti

membangun rumah adat, upacara bunuh kerbau, berburu ayam.

2. Tanah yang diperoleh karena menang perang di mana kepemilikkannya secara

komunal dan lintas suku bila dalam perang memperebutkan tanah tersebut

melibatkan suku-suku lain (tana kuku bua bela bi’a)

3. Tanah hibah atau tanah pemberian karena alasan tertentu (tana Ti’i toki)

4. Tanah pengganti kerbau dan emas dalam rangka memberikan belis dalam suatu

perkawinan adat (tana bhada ba’a)

5. Tanah yang diambil secara paksa sebagai alat pembayaran utang atau karena

melakukan kesalahan (tana gase)

Tanah-tanah suku yang ada tersebut dikuasai oleh suku-suku yang terdapat

pada masyarakat adat Desa Seso. Pada masa pemerintahan Belanda (masa kerajaan)

terjadi kontrak kerja antara penguasa Belanda dengan raja Bajawa yang pada masa itu

dipegang oleh Wio Sola sebagai kepala suku. Kerjasama/kontrak kerja tersebut

membagi wilayah kecamatan Soa menjadi dua bagian besar yaitu bagian Timur (ada

batas pilar/zuru Lange) menjadi lokasi daerah kontrak yang disebut tanah Vanback

dan bagian barat tetap dikuasai oleh masyarakat adat Desa Seso yang disebut tanah

hak milik. Kontrak kerja antara pemerintah Belanda dan kepala suku di wilayah Soa

terbagi dalam tiga bagian yaitu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

Selanjutnya pada tahun 1945, setelah Indonesia merdeka tanah-tanah bebas kontrak

yang disebut sebagai tanah Vanback dialihkan menjadi tanah negara bebas dan

kemudian diberikan kepada masyarakat dengan tidak melihat asal usul suku dan

28
syarat-syarat lainnya. Kebebasan inilah yang mengundang masyarakat dari berbagai

penjuru untuk menguasai desa Seso. Masyarakat yang datang dari luar (pendatang)

itulah kemudian mendiami Desa Waepana dan menguasai tanah-tanah ulayat milik

masyarakat adat Desa Seso berdasarkan aturan pertanahan diperoleh dari tanah bekas

Vanback atau tanah negara bebas tersebut yang kemudian menjadi desa Waepana.

Dengan bertambahnya penduduk yang semakin pesat, luas tanah menjadi berkurang

dan keadaan ekonomi mendesak masyarakat adat Desa Seso merasa tidak ada jalan

lain agar tanah ulayat yang menjadi hak masyarakat Seso diangkat dengan melihat

sejarah masa lalu bahwa tanah ulayat mereka telah dirampas dan diambil alih oleh

pemerintah tanpa seijin masyarakat Seso. Dan menurut masyarakat Seso kerjasama

atau kontrak kerja dengan pemerintah Belanda tersebut telah berakhir dan tanah-

tanah ulayat tersebut harus dikembalikan kepada suku atau woe masyarakat Seso

seperti sebelum terjadi kontrak dengan pemerintah Belanda.

Ketidakpuasan inilah yang mendesak masyarakat Seso untuk menuntut para

pendatang dalam hal ini masyarakat Waepana untuk mengembalikan dan mengakui

tanah-tanah ulayat mereka. Namun ternyata tanah ulayat yang telah dikuasai oleh

masyarakat Waepana sudah menjadi milik mereka karena telah dibagi oleh

pemerintah berdasarkan tanah negara bebas diatas selain itu kepada masyarakat

Waepana telah diberikan bukti-bukti kepemilikan atas tanah berupa sertifikat dan

tanah-tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun dikuasai dan diolah serta ditanami

tanaman umur panjang.

29
B. Konstruksi Sosial Sengketa Tanah Ulayat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi sosial terjadinya sengketa

tanah ulayat adalah:

1. Batas tanah ulayat yang tidak jelas


Salah satu bukti kepemilikan tanah ulayat oleh satu kelompok masyarakat

ulayat adalah adanya batas yang jelas dengan tanah milik suku lain. Batas tanah yang

jelas akan memberi tanda kepada masyarakat suku lain, untuk mengakui keberadaan

tanah yang dimiliki kelompok suku atau ulayat tertentu.

Hampir sebagian tanah yang dimiliki oleh suku-suku di kecamatan Soa,

tidak memiliki batas kepemilikan tanah yang jelas. Batas tanah ulayat umumnya

ditandai dengan batas alam sperti pepohonan, tumpukan batu dan gundukan tanah

serta bukit atau gunung tertentu. Batas tanah suku dengan menggunakan batas alam

ini dapat dimanipulasi oleh suku tertentu dengan cara dihancurkan atau dipindahkan.

Misalnya pohon atau batu dimusnahkan atau dipindahkan oleh suku tertentu dari

tempat lain ketempatnya semula untuk memperluas tanah sukunya. Ada yang

mengklaim bahwa pohon, kayu atau tebing adalah muncul secara alamiah, karena itu

tidak bisa dijadikan bukti batas tanah suku.

Karena batas tanah ulayat atau suku hanya dengan menggunakan batas alam

yang tidak jelas, maka di kecamatan Soa selalu terjadi penuntutan antara suku diatas

satu bidang tanah. Sering juga tidak saling mengakui batas tanah ulayat yang satu

dengan batas tanah ulayat yang lainnya. Akibat saling menuntut dan tidak mengakui

ini, maka perang atau bentrok fisik antara suku yang menyebabkan korban nyawa dan

kerusakan harta benda sering tidak terhindarkan.

30
2. Adanya praktek ketidakadilan
Konflik tanah ulayat terjadi tidak hanya antara kelompok ulayat yang

berbeda, tetapi juga antara suku atau anggota masyarakat dalam satu ulayat yang

sama. Meskipun ini merupakan konflik intern sesama warga satu suku, namun tidak

jarang konflik tersebut mendatangkan kekacauan dan perpecahan yang tentu saja

menciptakan ketidakharmonisan kehidupan sosial masyarakat secara umum.

Tanah ulayat merupakan hak semua masyarakat ulayat yang dalam bahasa

adat disebut tana sa watu leleng, dengan demikian semua masyarakat ulayat berhak

untuk bekerja di atas tanahnya secara adil. Karena itu tanah ulayat bukan milik ketua

suku (mosalaki), bukan pula milik beberapa anggota suku tertentu (woe/mawa).

Setiap anggota ulayat berhak mengolah dan menikmati hasil dari tanah ulayat

mereka.

Dalam pembagian tanah ulayat harus dilaksanakan secara bersama dan

harus dibagi secara adil. Tidak boleh sekelompok atau pribadi tertentu mendapat

bagian sangat kecil atau tidak mendapat bagian sama sekali. Keadilan dalam

pembagian tanah ulayat atau suku ini penting sebab perolehan tanah ulayat atau suku

adalah hasil perjuangan dan usaha semua anggota ulayat atau suku. Pembagian secara

adil merupakan salah satu upaya untu menghindari konflik antara semua warga

ulayat.

Beberapa suku atau kelompok masyarakat di Ngada menguasai tanah

bertentangan dengan peraturan. Misalnya di Soa, setiap masyarakat bebas menggarap

tanah ulayat di mana saja seluas berapa saja tergantung dari garat kompe (rajin dan

tekun). Tanah yang digarap menjadi milik dan diwariskan turun temurun untuk

31
keturunannya, dan orang lain berada dalam satu kawasan tidak diperkenankan untuk

mengambil atau mengolahnya.

Ketidakadilan dalam pembagian atau dalam pengolahan tanah ulayat

menimbulkan kecemburuan dan ketidakpuasan dari warga masyarakat dalam satu

kelompok ulayat tersebut. Ketidakpuasan dari kelompok korban ketidakadilan

kemudian dilakukan dengan penyerobotan atau mengerjakan tanah yang sudah

dimiliki atau dikerjakan oleh orang lain dalam satu kelompok masyarakat ulayat yang

bersangkutan.

Ketidakadilan itu selain dilakukan oleh masyarakat ulayat tertentu, dalam

kepemilikan tanah ulayat beberapa suku di Ngada, kepala suku dan kelompok orang

yang memiliki status sosial yang tinggi serta mempunyai pengaruh yang cukup kuat

dalam kehidupan sosial masyarakat berlaku tidak adil dan menjalankan peran

melampaui wewenangnya. Orang lain yang tidak mempunyai tanah berlaku sebagai

penggarap dan hasilnya harus dibagi dengan tuan tanah. Padahal mereka yang sebagai

penggarap itu adalah warga masyarakat yang sama dan mempunyai hak yang sama

atas tanah ulayatnya. Akibat dari kesewang-wenangan dan ketidakadilan dalam hal

penguasaan tanah oleh ketua suku (mosalaki) atau kelompok tertentu dalam

masyarakat, konflik internal masyarakat suku sering tidak terelakan. Konflik

semacam ini tidak hanya sesama warga suku saling bermusuhan tetapi juga berujung

pada pertengkaran, perkelahian serta kerusakan harta benda.

3. Kehilangan saksi atau pelaku sejarah


Para tokoh adat merupakan kelompok orang yang paling mengetahui

keberadaan tanah ulayatnya. Mereka merupakan saksi atau pelaku sejarah. Dalam

32
penentuan keberadaan tanah ulayat kahadiran tokoh adat sangatlah penting. Para

tokoh adat tidak hanya sebagai kelompok yang turut menentukan batas-batas tanah

ulayat, tetapi mereka juga merupakan kelompok pejuang yang berusaha untuk

mendapatkan tanah ulayat, baik melalui perang antara suku.

Umumnya luas tanah ulayat ditentukan melalui suatu keputusan bersama

antara tokoh adat dari dua ulayat atau lebih. Keputusan lisan ini secara adat

memanglah kuat karena sering dibuat melalui suatu perjanjian adat yang disertai

dengan korban hewan sebagai perjanjian. Perjanjian dalam hukum adat ini

mempunyai keharusan yang harus ditaati dan semestinya tidak boleh dilanggar oleh

kelompok ulayat yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Tetapi karena perjanjian adat

dilaksanakan secara lisan dan bukan tertulis kemudian perjanjian ini dimanipulasi.

Ada kelompok ulayat tertentu yang sengaja menghilangkan jejak batas tanah ulayat

yang sudah disepakati bersama sejak leluhur. Atau karena batas tanah ulayat adalah

gunung, sungai, atau bukit dan pohon tertentu kemudian batas tersebut sudah tidak

saling mengakui.

Karena hilangnya saksi dan pelaku sejarah, setiap orang yang tidak

mengetahui secara pasti keberadaan tanah ulayatnya dapat tampil untuk memberikan

kesaksian tentang keberadaan tanah ulayatnya menurut pandangannya sendiri, yang

tentu saja kebenarannya sangat diragukan. Dalam pemberian bukti keberadaan tanah

ulayat ini tidak jarang kelompok ulayat tertentu menyampaikan melalui nyanyian adat

pada upacara adat. Dalam nyanyian ini disebutkan nama tempat wilayah kekuasaan

suku. Tujuannya selain untuk meningkatkan kepada generasi muda tetapi juga mau

menunjukkan bahwa suku yang bersangkutan adalah orang pertama dan asli yang

33
memiliki tanah suku dan merupakan orang pendatang (dere). Selain itu melalu cerita

dongeng yang mempunyai nilai sakral dan diceritakan pada saat upacara adat. Di

dalamnya memuat cerita tentang kehebatan atau kekuatan suku dalam berperang

merebut tanah suku, atau ketika pertama kali suku tersebut datang dan menempati

suatu daerah yang kemudian menjadi kampung halamannya dan wilayah

kekuasaannya.

Dengan hilangnya saksi sejarah serta lemahnya pemahaman masyarakat adat

mengenai nilai budaya, Ketua-ketua suku dan tokoh masyarakat adat dapat memberi

pemahaman melalui sosialisasi nilai budaya tersebut.

Dalam hal tertentu lemahnya pemahaman masyarakat adat tentang status

tanah ulayat ini, digunakan oleh kelompok penguasa untuk mengambil tanah-tanah

masyarakat dengan klaim sebagai tanah Negara dan akan digunakan untuk

kepentingan umum. Para tokoh adat pun sering tidak memberitahukan tentang

keberadaan tanah yang dimiliki oleh ulayatnya kepada seluruh warga ulayat tertentu

menggarap atau mengolah tanah di luar kuasa ulyatnya, dengan tanpa memberitahu

atau mendapat izin dari kelompok masyarakat yang berhak atas tanah ulayat yang

digarapinya.

4. Meningkatnya nilai tanah secara ekonomi


Meningkatnya nilai tanah secara ekonomi juga merupakan penyebab konflik

tanah ulayat. Ketika secara ekonomi tanah tidak memberi sesuatu yang bernilai

ekonomi bagi kehidupan masyarkat, di mana tanah hanya dimanfaatkan untuk

berladang dan berkebun dengan memberikan penghasilan yang sangat sedikit

meskipun bekerja dengan susah payah, orang cenderung menguasai tanah hanya

34
sejauh bisa diolah atau di manfaatkan sesuai dengan kebutuhan. Jika tanah yang

mereka olah tidak memberikan hasil berupa padi, jagung atau ubi-ubian yang

memuaskan, mereka tinggalkan dan dibiarkan menjadi terlantar dan orang lain

kemudian boleh mengolahnya dan menjadi milik. Masyarakat kurang berminat untuk

menguasai tanah sebesar-besarnya atau seluas-luasnya, mereka merasa cukup dengan

tanah yang dimiliki dan dikelolanya itu dan dari situ diperoleh penghasilan kelanjutan

hidup meskipun sangat terbatas. Meningkatnya nilai tanah secara ekonomi akhir-

akhir ini telah mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap tanah. Masyarakat

berlomba-lomba untuk menguasai tanah seluas mungkin sebagai kekayaan, karena di

atas tanah tersebut mereka bebas untuk melakukan aktifitas apa saja dan dari tanah itu

bisa mendapatkan uang dalam jumlah besar.

Akibat saling menuntut tanah ulayat antar suku yang satu dengan suku yang

lain masyarakat terlibat dalam satu permusuhan antar suku, malah dalam beberapa

suku atau ulayat tertentu sampai terlibat dalam peperangan atau penganiayaan antar

warga suku lainnya sampai menimbulkan korban jiwa.

5. Mempertahankan status sosial


Masyarakat ulayat di kecamatan Soa mengenal struktur kekuasaan adat.

Dalam mengatur kebijakan tanah suku, kelompok masyarakat yang berada pada status

sosial tinggi, merasa diri sebagai tuan tanah dan merupakan kelompok masyarakat

yang paling berhak untuk menentukan semua kebijakan.

Dalam suku tertentu mereka yang berada atau yang berasal dari kelas sosial

atas, tidak menerima atau mengakui kalau mereka yang berasal dari kelas sosial

bawah turut serta dalam mengambil kebijakan dan menguasai tanah lebih banyak,

35
karena hal ini dianggap mengurangi kuasa dan pengaruh mereka. Atas dasar ini,

banyak kebijakan atau keputusan yang sudah diambil dengan melibatkan masyarakat

yang berada dalam strata sosial sudah dianggap tidak sah. Kalau tanah ini sudah

diserahkan kepada kelompok masyarakat ulayat lain atau kepada pemerintah untuk

dimanfaatkan bagi kepentingan umum, mereka yang menganggap diri berasal dari

kelas sosial tinggi tidak mengakui dan biasa diambil kembali. Perilaku sosial

semacam ini sering menimbulkan konfli sosial antara masyarakat ulayat.

6. Melunturnya nilai budaya


Hukum adat tidak hanya mengatur bagaimana masyarakat adat menguasai

dan mengolah tanah, tetapi di dalamnya terkandung nilai agar sesama manusia saling

menghargai, saling mendengarkan dan saling menolong antara sesama makhluk

sosial.

Nilai-nilai budaya yang luhur tersebut kini semakin memudar. Dalam kaitan

dengan tanah, orang cenderung lebih memperhatikan diri atau kelompok suku atau

ulayatnya. Tanah yang mengandung nilai sosial mulai hilang, karena digeser oleh

nilai individualistis yang begitu kuat. Memudarnya nilai budaya ini dipengaruhi oleh

antara lain, karena masyarakat ulayat sudah kurang menghormati ritus adat.

Melunturnya nilai budaya ditandai oleh sikap atau perilaku masyarakat

ulayat di mana dalam menangani masalah tanah mereka lebih mendengar dan menaati

hukum positif dari pada hukum adat. Orang-orang cenderung tidak menghiraukan lagi

nasihat atau petuah orang tua. Hal ini dipengaruhi lagi oleh kebijakan pemerintah

dalam menyelesaikan masalah tanah, segala keputusan tentang tanah yang sudah

disepakati atau diputuskan bersama oleh masyarakat ulayat sering tidak diakui, malah

36
pemerintah membuat kebijakan dan keputusn baru tanpa musyawarah bersama

dengan masyarakat ulayat.

7. Pemahaman salah terhadap adat


Masyarakat adat pada umumnya mempunyai keterikatan terhadap tanah,

daerah dan adat istiadatnya. Dalam sistem adat di kecamatan Soa tanah suku tidak

boleh dijual atas nama pribadi atau digadaikan kepada pihak lain atas nama pribadi.

Tanah suku tidak boleh disertifikat atas nama pribadi untuk menjadi hak milik, karena

tanah suku adalah milik bersama warga suku. Namun demikian, ada pribadi tertentu

yang menjual tanah ulayat atau suku kepada pihak lain dan mngsertifikat tanah suku

untuk kepentingan pribadi, tanpa sepengetahuan dan izin semua warga suku secara

keseluruhan. Akibatnya jika tanah suku itu sudah dialihkan haknya kepada suku lain

oleh orang atau suku tertentu, warga suku sebagai pemilik tanah tidak mengakui dan

mengambil kembali tanah yang sudah diserahkan itu, meskipun sudah dilakukan

dengan cara jual beli atau sudah disertifikat. Hal-hal seperti ini akan menyebabkan

konflik berkepanjangan dan sulit untuk diselesaikan.

8. Kurangnya sosialisasi
Agar semua warga masyarakat ulayat mengetahui status tanah ulayat

disertai dengan luas, batas dan cara pemanfaatannya, maka salah satu hal yang perlu

dilakukan adalah sosialisasi tentang keberadaan tanah ulayat sehingga jelas bukti

kepemilikannya. Sosialisasi bukan hanya tanggung jawab tokoh adat (Mosalaki),

melainkan tanggung jawab pemerintah. Fungsi tokoh adat dalam sosialisasi adalah,

agar warga ulayatnya mengetahui keberadaan tanah ulayat yang dimiliki, luas dan

batas tanah ulayat yang dimiliki dan batas tanah ulayat yang ada. Salah satu penyebab

37
konflik kepemilikan tanah ulayat adalah karena pemerintah dan juga tokoh-tokoh

masyarakat adat yang mengetahui persis tanah ulayatnya itu kurang memberikan

sosialisasi kepada masyarakat atau kelompok masyarakat ulayatnya, sehingga

kebanyakan masyarakat tidak mengetahui status tanah ulayat hanya menurut hukum

adat. Akibatnya, adalah meskipun tanah ulayat tidak mempunyai bukti yang kuat

menurut hukum, masyarakat tetap mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan tanah

ulayat mereka. Dalam kasus tertentu ketidaktahuan masyarakat tentang kedudukan

tanah ulayat ini digunakan oleh kelompok penguasa untuk mengambil tanah-tanah

tertentu dengan klaim sebagai tanah negara dan akan digunakan untuk kepentingan

umum. Para tokoh adatpun sering tidak memberitahukan tentang keberadaan tanah

yang dimiliki kepada seluruh warga ulayat, lebih-lebih kepada generasi muda. Karena

ketidaktahuan ini ada warga masyarakat dari kelompok ulayat tertentu menggarap

atau mengolah tanah diluar kuasa ulayatnya, memberitahu atau mendapat izin dari

kelompok masyarakat yang berhak atas tanah ulayat yang digarapinya. Berdasarkan

hasil wawancara dengan bapak Lipus Watu selaku tetua adat suku meli,sengketa

tanah ulayat yang sering terjadi antara masyarakat adat Desa Seso (suku meli) dengan

masyarakat Desa Waepana dilokasi Turewuda disebabkan karena:

a) Adanya tuntutan dari pemerintah


Banyak tanah milik masyarakat Seso diambil pemerintah sebagai milik negara

tanpa melalui prosedur hukum yang jelas. Begitu banyak tanah rakyat yang ada

dalam kekuasaan masyarakat adat, diklaim oleh pemerintah sebagai milik negara.

Hal ini disebabkan karena bukti tanah tersebut sebagai tanah hak ulayat tidak kuat

dan tidak jelas. Selain karena bukti hukum tanah ulayat yang tidak jelas, banyak

38
tanah yang menjadi milik negara karena diserahkan oleh beberapa anggota suku

kepada pemerintah dengan dalih akan digunakan untuk kepentingan umum.

Dalam penyerahan anggota suku kepada pemerintah sering tidak melibatkan

semua masyarakat ulayat, serta kelompok ulayat lain disekitarnya yang merasa

punya hak atas tanah tersebut. Penyerahan hanya dilakukan oleh beberapa orang

saja yang merasa diri berpengaruh atau punya kuasa dalam masyarakat ulayat

yang bersangkutan atau hanya oleh ketua suku tertentu saja.

Tuntutan yang dilakukan pemerintah atas tanah ulayat masyarakat Seso, yang

dilakukan sepihak hanya oleh suku tertentu atas satu bidang tanah kepada suku

lain atau pemerintah merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik antara

pemerintah dan masyarakat ulayat pemilik tanah serta antara kelompok

masyarakat ulayat. Disatu sisi masyarakat adat Desa Seso mengatakan bahwa

tanah yang dimiliki negara adalah tanah ulayat mereka, dipihak lain pemerintah

mengklaim tanah tersebut adalah tanah tidak bertuan dan berada dibawah kuasa

negara. Warga masyarakat ulayat yang merasa punya hak atas tanah ulayatnya

dan merasa bahwa tanah ulayat yang bersangkutan tidak pernah diserahkan

kepada siapapun merasa tetap mempunyai hak atas tanahnya dan tetap

menjalankan aktivitas di dalamnya.

b) Mempertahankan status sosial


Masyarakat Desa Seso mengenal struktur kekuasaan adat dan terdiri dari berbagai

suku. Dalam mengatur kebijakan tanah suku, kelompok masyarakat yang berada

pada status sosial tinggi, merasa diri sebagai tuan tanah dan merupakan kelompok

masyarakat yang paling berhak untuk menentukan semua kebijakan.

39
c) Faktor para pendatang
Dengan adanya para pendatang menyebabkan tanah yang seharusnya

dikembalikan kepada masyarakat Desa Seso tetapi pemerintah memberikan tanah

tersebut kepada para pendatang dalam hal ini adalah masyarakat Desa Waepana

beserta dengan sertifikatnya. Sehingga masyarakat Desa Waepana menganggap

tanah tersebut adalah tanah miliknya. Sementara masyarakat Desa Seso

menganggap tanah tersebut adalah pemberian dari nenek moyang jadi harus selalu

dipertahankan.

C. Peranan Mosalaki Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat


Dalam kehidupan masyarakat adat Desa Seso ada Mosalaki yang memimpin

dalam suatu persekutuan. Kumpulan dari Mosalaki Mosalaki ini dinamakan Mosa

Nua Laki Ola yang terdiri dari latar belakang profesi yang berbeda-beda. Istilah

“Mosalaki” dalam bahasa daerah setempat yang merupakan subyek (pembawa hak

dan pendukung kewajiban) yang artinya bahwa orang yang tidak saja mempunyai hak

tetapi bisa melakukan perbuatan hukum. Mosalaki merupakan komponen dari

lembaga adat (Mosa Nua Laki Ola) yang terdiri dari tujuh unsur Mosalaki seperti di

bawah ini:

1. Mosa Ulu Laki Eko

Mosalaki ini merupakan ketua lembaga adat yang bertindak sebagai penggerak,

pemimpin atau mediator dalam urusan luar maupun dalam sistem pemerintahan

adat demi kebutuhan masyarakat adat. Oleh karena Mosalaki ini memiliki

40
kekuatan (power) untuk memimpin masyarakat adat dan kepadanya diberikan

tugas utama yaitu penggerak bagi seluruh masyarakat adat yang bersangkutan.

2. Mosa Tana Laki Watu

Mosa Tana Laki Watu yaitu orang yang mempunyai tanah yang banyak. Mosalaki

ini biasa disebut dengan kepala suku.

3. Mosa Bhada Laki Wea

Mosalaki ini memiliki kerbau, kuda dan mas yang cukup banyak yang tidak

sebanding dengan Mosalaki lainnya.

4. Mosa Asi Masa Laki Legho Lima

Mosalaki ini biasa bertugas sebagai penengah dalam menyelesaikan sengketa.

Istilah mosalaki ini yakni orang yang menyelesaikan sengketa secara adil yang

memberikan rasa puas bagi para pihak yang bersengketa. Mosalaki ini dalam

hukum adat disebuta dengan nama Hakim Perdamaian Desa.

5. Mosa Kungu Bubu Laki Logo Una

Mosalaki ini duduk dilembaga adat karena keberhasilan dalam usaha dari hasil

kerja keras sehingga dia bisa melakukan perbuatan hukum atau dengan kerja

kerasnya dia bisa membeli tanah atau harta lain yang berlimpah dan kelak bisa

menghidupkan keluarga dan anak cucu.

6. Mosa Wiwi Laki Lema

Mosalaki ini adalah orang yang pandai dalam berdiplomasi dan pandai

menggunakan bahasa adat. Dengan kepandaiannya itu ia bisa menghidupkan diri

dan keluarga serta anak cucunya. Kedudukan Mosalaki ini dalam hal perkawinan

adat bertindak sebagai juru bicara salah satu pihak dan dalam penyelesaian

41
sengketa ia berada di salah satu pihak yang juga atas permintaan pihak itu.

Mosalaki ini jika mengikuti perkara di pengadilan ia bertindak sebagai

pengacar/pembela perkara

7. Mosa Tua Laki Uta

Mosalaki ini adalah orang yang pekerjaannya hanya mengiris tuak atau moke

saja. Dengan pekerjaannya itu cukup memberikan kontribusi bagi masyarakat

adat dimana setiap ada urusan adat, moke/tuak merupakan minuman khas yang

harus ada. Jadi Mosalaki ini hanya mengiris tuak/moke tetapi dihargai

keberadaannya dalam lembaga adat.

Ketujuh unsur atau komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tak dapat

dipisahkan dalam menyelesaikan masalah adat.

Dalam masyarakat tradisional bila ada konflik mengenai tanah-tanah ulayat

yang terjadi di Kecamatan Soa khususnya Desa Seso biasanya Mosalaki mengambil

langkah-langkah untuk melakukan perundingan. Dalam perundingan ini diambil

langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan oleh mosalaki dengan pihak yang

bersengketa. Hal ini disebabkan kehidupan mereka yang terikat dalam suatu

persekutuan yang berdasarkan keturunan darah (geneologis).

Keadaan masyarakat adat Desa Seso yang bersifat komunal sangat

mementingkan peranan seorang mosalaki untuk mengkoordinir dan memotivasi

masyarakat agar sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Sehingga pengertian

hukum adat yang dimiliki Mosalaki akan dapat memelihara tugas, menjalankan,

menyelesaikan adat dan hukum adat yang telah dibebankan kepadanya.

42
Masyarakat adat Desa Seso dalam persekutuan hidup tidak dapat

menyelesaikan masalahnya sendiri kecuali adanya campur tangan dari para

fungsionaris adat. Hal ini dimaksudkan sebagai wadah masyarakat menyandarkan diri

bilamana terjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh masyarakat Desa Seso.

Jika mereka terlibat dalam sengketa tanah hak ulayat maka semua anggota

masyarakat menghormati jabatan yang telah dipegangnya. Apabila ada sengketa

tanah ulayat yang sudah diserahkan penyelesaian lewat Mosalaki maka sudah

menjadi kasus sengketa yang besar. Dalam hal ini Mosalaki berperan sebagai:

1. Hakim perdamaian antara masyarakat, dalam hal ini Mosalaki harus sebagai juru

penengah dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat yang terjadi, maka

dibutuhkan data yang dapat memberikan informasi mengenai status tanah maupun

asal usul tanah yang menjadi sengketa.

2. Tempat bersandarnya anggota masyarakat adat untuk menyelesaikan, melindungi,

menjamin ketentraman. Karena itu setiap ada persengketaan maka Mosalaki

adalah satu-satunya tempat anggota masyarakat bersandar untuk menyelesaikan

masalah.

3. Memutuskan dan menetapkan peraturan hukum adat yang mengikat pihak-pihak

yang bersengketa serta menciptakan krerukunan.

D. Hambatan Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat


Dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat yang terjadi di Desa Seso

berkaitan dengan kepemilikan tanah ulayat, dimana antara masyarakat Seso dengan

masyarakat Waepana dalam penyelesaiannya seringkali menimbulkan hambatan-

43
hambatan yang diselesaikan lewat Mosalaki disebabkan oleh beberapa faktor internal

yang ebrasal dari para pihak yang bersengketa dan pihak yang disengketakan. Faktor

yang menghambat proses penyelesaian sengketa tanah ulayat masyarakat Desa Seso

dan Desa Waepana antara lain:

1. Saksi tidak mau menjadi saksi


Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Bapak Thomas Toy selaku

Mosalaki dalam menentukan saksi tidak boleh asal pilih karena mereka yang telah

mengetahui dalam perkara masalah kadang tidak mau menjadi saksi. Selain itu akibat

dari kesaksian mereka bisa membawa perpecahan antara pihak-pihak yeng

bersengketa. Karena menurut suku dan kepercayaan masyarakat adat Desa Seso

apabila saksi ketahuan telah berbohong dalam memberikan keterangan akan

mendapatkan hukuman yang sangat berat karena suku memandang hina pada

seseorang yang berbohong.

2. Ketidakjelasan batas tanah


Ketidakjelasan batas tanah juga menyebabkan penghambat dalam

menyelesaikan masalah tanah oleh Mosalaki. Sebagai contoh dalam penentuan batas

tanah, karena semula patokan yang menjadi batas-batas tanahnya tidak jelas karena

yang menjadi patokannya sudah tidak ada. Hal ini dikarenakan dahulu pada awal

kepemilikan tanah sebagian penentuan batas tanah didasarkan pada pohon tahunan

saja atau dari tumbuhan seperti pepi deri (laguni), bulu dan susunan batu-batu sebagai

patok dan pada saat ini pohon tersebut sudah tidak ada lagi, sehingga pada saat ini

para pihak kesulitan menunjukkan batasnya.

44
3. Ketidakjelasan pemilik tanah
Dalam mengatasi masalah tersebut, biasanya Mosalaki akan berusaha agar

hambatan-hambatan yang ada dapat diselesaikan yakni dengan cara melakukan

pendekatan kepada pihak-pihak yang bersengketa sehingga sengketa dapat

diselesaikan dengan cepat dan tidak melebar ke hal-hal lainnya, dalam penyelesaian

sengketa tanah ulayat Mosalaki harus bertindak bijaksana dalam mengambil

keputusan sehingga pihak-pihak yang bersengketa merasa puas dengan keputusan

yang ada, dalam menentukan juru penengah harus betul-betul orang yang

dipercayakan. Karena menurut kepercayaan orang Ngada, siapa saja yang menjadi

anggota persidangan adat dan memutuskan perkara tidak adil, maka kelak meninggal

akan mendapat hukuman yang setimpal. Dan karena pengaruh Mosalaki masih kuat,

sehingga peranan Mosalaki sebagai hakim perdamaian dalam persidangan adat dan

juga sebagai pengambil keputusan adat sangat dominan, sehingga keputusan tersebut

mengikat terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena segala keputusan Mosalaki

utamanya untuk mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa serta menciptakan

kerukunan dalam keluarga, yaitu setiap perbuatan maupun tindakan Mosalaki

berdasarkan pada sifat hukum adat yaitu:

a. Menjaga keamanan masyarakat sukunya

b. Memelihara derajat agama dan kepercayaan

c. Memelihara kedamaian di antara rakyat suku

E. Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat


Adapun penyelesaian adat untuk penyelesaian senketa tanah ulayat antara

45
masyarakat Desa Seso dengan masyarakat Desa Waepana yang dikemukakan oleh

Bapak Thomas Toi Meo selaku Mosalaki sebagai berikut: “Cara penyelesaian adat

istiada itu adalah Mosalaki memanggil para pihak yang bersengketa ke persidangan

adat. Adapun tujuan pemanggilan tersebut adalah untuk mendengar permasalahan dan

kesaksian dari para pihak yang mengetahui persoalan tersebut. Selanjutnya para pihak

atau kepala adat mencari data-data dari pihak manapun untuk memperjelas

kebenaran, sebab data-data dapat diungkapkan dalam persidangan adat, maka dalam

memperoleh data-data yang lengkap, Mosalaki dapat memberikan keputusan atas

dasar musyawarah”.

Berdasarkan hasil wawancara diatas dengan Mosalaki, adapun tahap-tahap

dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat antara masyarakat Desa Seso dengan

masyarakat Desa Waepana yakni:

1. Pemanggilan pihak yang bersengketa


Pemanggilan pihak yang bermasalah disini yaitu pihak-pihak yang

bersengketa diminta untuk saling mengemukakan masalah apa yang akan

disengketakan dan diminta menunjukkan bukti dari persengketaan tersebut. Dalam

persidangan ini Mosalaki selalu memberi kesempatan kepada pihak-pihak untuk

saling mempertahankan kebenaran, dengan alasan tersebut keputusan diundurkan

karena diperlukan kesaksian dari para saksi dalam persidangan adat.

2. Pemanggilan saksi
Pemanggilan saksi untuk mendengarkan kesaksian dari para saksi yang

memperkuat pembuktian terhadap keterangan dari para pihak. Yang menjadi para

saksi ini adalah orang yang telah mengalami langsung, melihat dan mendengar

46
sepengetahuannya tentang duduk perkara dari sengketa tanah hak ulayat tersebut.

Para saksi ini adalah orang-orang yang benar-benar mengetahui duduk persoalan

yang benar.

3. Proses musyawarah mufakat


Sebelum memulai sidang Mosalaki yang berperan sebagai juru penengah

mulai mempersiapkan musyawarah ditempat yang telah dipilih dan pada waktu yang

telah ditetapkan berdasarkan undangan yang telah diberikan kepada pihak yang

terlibat dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat.

Sebelum memulai sidang juru penengah dalam hal ini Mosalaki akan

berusaha mengkondisikan agar semua pihak yang hadir memusatkan perhatiannya

pada musyawarah sehingga dapat berjalan secara efektif dan berjalan secara

kekeluargaan. Apabila Mosalaki merasa bahwa kondisi tempat musyawarah dianggap

kondusif dan para peserta musyawarah telah memusatkan perhatiannya untuk

memulai rapat, maka Mosalaki akan memulai musyawarah dengan melakukan doa

bersama yang dipimpin oleh Mosalaki menurut agama dan kepercayaan masing-

masing.

Setelah melakukan doa bersama Mosalaki mulai memberikan kata sambutan

yang intinya berisi ucapan terima kasih kepada semua yang hadir dalam musyawarah

tersebut. Hal penting yang disampaikan oleh Mosalaki khususnya kepada para saksi

adalah agar pada saat memberikan kesaksian diharapkan agar saksi menyampaikan

kesaksiannya secara jujur dan sesuai dengan apa yang diketahuinya. Karena

keberadaan saksi dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang nyata sehingga akan

bermanfaat bagi semua pihak dan akan dihasilkan kesepakatan sehingga akan

47
mengembalikan keadaan masyarakat dan segala aspeknya pada kondisi yang normal

seperti sebelum terjadi sengketa tanah ulayat.

Jika Mosalaki menganggap bahwa para peserta musyawarah telah

memahami maksud dan tujuan diadakannya musyawarah tersebut dan peraturan-

peraturan yang diberlakukan dalam musyawarah tersebut, maka Mosalaki akan

memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa secara bergantian

menyampaikan hal-hal yang menjadi alasan kepentingannya. Selain itu para pihak

juga diberi kesempatan untuk menyampaikan hal-hal yang merupakan

penyimpangan-penyimpangan yang telah dilakukan pihak lain atas bidang tanah yang

dikuasainya yang mengakibatkan timbulnya sengketa tanah ulayat.

Biasanya dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi para pihak yang

bersengketa akan bertindak sendiri dan tidak memberikan kuasa kepada pihak lain

untuk mewakilinya sehingga permasalahan tidak akan melebar karena kepentingan

dan permasalahan dari para pihak akan dapat dengan mudah diketahui oleh Mosalaki

dan pihak lain yang berkepentingan. Selain itu para pihak dapat dengan mudah

menyampaikan apa yang diinginkannya langsung kepada pihak lainnya dan juga

kepada Mosalaki.

Kesempatan pertama untuk menyampaikan hal-hal yang menjadi

kepentingannya biasanya diberikan kepada pihak pemohon. Pada kesempatan ini

pemohon akan menyampaikan dasar-dasar kepemilikan, batas-batas serta asal usul

tanah miliknya yang menjadi objek sengketa. Pada kesempatan ini pemohon juga

akan menyampaikan hal-hal yang dilakukan oleh pihak termohon yang menimbulkan

kerugian bagi pemohon yang disertai dengan bukti-bukti. Apabila semua tahap sudah

48
dilalui maka kesempatan selanjutnya akan diberikan kepada juru penengah untuk

menyampaikan pendapatnya berdasarkan keahliannya. Juru penengah dalam hal ini

adalah Mosalaki yang dipercayakan oleh masyarakat akan memberikan pendapatnya

dengan berdasarkan keadaan masyarakat yang mana didalamnya terdapat berbagai

aspek yang menjadi pertimbangannya,sehingga penyelesaian terhadap sengketa tanah

ulayat tidak dapat diputuskan hanya berdasarkan aspek-aspek tertentu saja.

Selanjutnya mendengarkan kesaksian dari saksi-saksi yang diajukan oleh

kedua belah pihak. Saksi dari pihak termohonlah yang pertama kali diberi

kesempatan untuk menyampaikan kesaksiannya. Dalam menyampaikan kesaksiannya

saksi dapat menyampaikan kesaksiannya saksi dapat menyampaikan atas inisiatif

yang berasal dari juru penengah. Dari jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada

saksi, maka akan dapat membantu Mosalaki untuk menemukan jalan keluar atas

sengketa tanah yang sedang dimusyawarahkan untuk bahan pertimbangan

penyelesaiannya.

Setelah para pihak merasa cukup untuk menyampaikan hal-hal yang

dianggap penting dan segala kepentingannya yang terkait dengan bidang tanah yang

disengketakan serta kesaksian yang disampaikan maka juru penengah dalam hal ini

Mosalaki akan memberikan kesempatan lagi kepada para pihak untuk memberikan

penawaran solusinya masing-masing terhadap sengketa tanah ulayat yang

dimusyawarahkan. Mosalaki dengan pengalaman dan pengetahuan yang luas dengan

mudah menemukan penyelesaian bagi masalah yang ditanganinya, karena pada

dasarnya sengketa tanah yang terjadi antara yang satu dengan yang lain yang

didalamnya mempunyai kesamaan. Apabila dalam penyelesaian sengketa alternatif

49
yang telah dilakukan telah mengalami jalan buntu karena kedua belah pihak tidak

mau menerima solusi yang ditawarkan oleh Mosalaki, maka Mosalaki mengajukan

alternatif lain seperti turun ke lokasi untuk melihat batas-batas tanah ulayat yang

disengketakan (Zuru Lange), setelah melihat batas yang jelas serta sudah

ditemukannya jalan untuk berdamai maka mereka memotong hewan kurban berupa

babi dan darahnya disirami di sekitar perbatasan tanah menandakan bahwa masalah

sengketa tanah ini telah selesai yang dalam bahasa daerahnya Ka Papa Fara Inu

Papa Resi. Upacara semacam ini juga bisa dilakukan di rumah adat (Sa’o Meze), bisa

juga dilakukan di Tana Loka, yaitu tempat yang biasa digunakan untuk berbagai

upacara adat.

Adapun jalan lain yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah sengketa

tanah ulayat ini yang dikemukakan oleh Bapak Thomas Toi Meo adalah: “Melakukan

upacara adat yang dinamakan Tibo, yang artinya ritual adat yang menggunakan mata

aur (sejenis bambu). Dalam upacara ini Mosalaki bertanya di mata aur yang di

panggang diatas api apakah tanah ulayat ini milik si A atau si B yang dalam bahasa

daerahnya Bo Wana atau Bo Leu. Jika aurnya pecah dibagian kanan maka tanah

tersebut menjadi milik si A begitupun sebaliknya”. Pada saat upacara ini Mosalaki

juga mengundang para leluhur untuk mengikuti upacara tersebut dan membunuh

hewan kurban berupa babi.

Adapun alternatif lain yang digunakan oleh Mosalaki ketika tidak

menemukan jalan damai yaitu dengan melakukan sumpah adat yang dalam bahasa

daerahnya di sebut Boka Goe yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang

50
bersengketa. Adapun bunyi sumpah adat yang dikemukan oleh Bapak Herman Eman

Bay adalah sebagai berikut:

“Dewa Zeta Nitu Zale


Miu Denge Miu Leda
Dia Miu De Pera Zi’a Niu De Pale Molo
Mali Za’o De Laga Sezala Kadhi Sepadhi
Za’o De Bu’u Go Mumu Modi Lema
Tana Kau Bodha Wi Nganga Watu Kau Nari”.

Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai berikut:

“Tuhan Allah, para roh nenek moyang


Dengar dan saksikanlah
Dihadapan kamu yang meletakkan kebenaran dan keadilan
Kalau benar saya melanggar
Apa yang menajdi batas yang sudah
Diwariskan dan saya bersilat lidah,
Tidak sesuai dengan yang diajarkan maka
Bumi akan menelan saya, batu akan menindih saya”.

Setelah melakukan sumpah adat maka pihak yang bermasalah tidak boleh saling

bertegur sapa sampai dibuat upacara perdamaian antara pihak yang bersengketa. Di

dalam sumpah jika ada pelanggaran yaitu saling bertegur sapa antara pihak yang

bermasalah maka akan tertimpa musibah diantaranya:

a) Secara tidak kelihatan akan mengalami kesusahan seperti ekonomi menurun (peni

nenga bhogo desi, loka nenga bhogo lowa)

b) Secara kelihatan akan tertimpa musibah dengan tidak wajar seperti Mata Golo

(mati tidak wajar karena kecelakaan) yang istilah adatnya Serago munadho sewua

moe de wuta (karena perbuatanmu sendiri maka sesuatu (sebatang tombak) akan

menusuk).

Akibat sumpah yang sudah dilaksanakan kedua pihak tersebut dan keduanya tidak

51
boleh berbaikan (Tura Jaji) sebelum ada perdamaian (Keso wunu nata) yang

ditandai dengan pemotongan kerbau dan darahnya di basuh di kedua belah pihak

yang bermasalah dan melakukan Geu Hea Tua (pertukaran tempat minum).

52
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-

hal sebagai berikut:

Dalam masyarakat tradisional bila ada konflik mengenai tanah ulayat yang terjadi di

Kecamatan Soa khususnya di Desa Seso biasanya Mosalaki akan mengambil

langkah-langkah untuk melakukan perundingan. Dalam perundingan ini diambil

langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan oleh Mosalaki dengan pihak yang

bersengketa. Hal ini disebabkan kehidupan mereka yang terikat dalam suatu

persekutuan yang berdasarkan keturunan darah (geneologis).

Keadaan masyarakat adat Desa Seso yang bersifat komunal sangat

mementingkan peranan seorang Mosalaki untuk mengkoordinir dan memotivasi

masyarakat agar sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Sehingga pengertian

hukum adat yang dimiliki Mosalaki akan dapat memelihara tugas, menjalankan,

menyelesaikan adat dan hukum adat yang telah dibebankan kepadanya.

Masyarakat adat Desa Seso dalam persekutuan hidup tidak dapat

menyelesaikan masalahnya sendiri kecuali adanya campur tangan dari para tokah

adat. Hal ini bermaksud sebagai wadah masyarakat menyandarkan diri bilamana

terjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh masyarakat. Jika mereka terlibat

dalam sengketa tanah ullayat maka semua anggota masyarakat menghormati jabatan

yang telah dipegangnya. Apabila ada sengketa tanah ulayat yang sudah diserahkan

53
penyelesaiannya lewat kepala adat/Mosalaki maka sudah menjadi kasus yang besar.

Dalam hal ini Mosalaki berperan sebagai:

1. Hakim perdamaian antara masyarakat, dalam hal ini Mosalaki harus sebagai juru

penengah dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat yang terjadi, maka

dibutuhkan data yang dapat memberikan informasi mengenai status tanah maupun

asal usul tanah yang menjadi sengketa.

2. Tempat bersandarnya anggota masyarakat adat untuk menyelesaikan, melindungi,

menjamin ketentraman. Karena itu setiap ada persengketaan maka Mosalaki

adalah satu-satunya tempat anggota masyarakat bersandar untuk menyelesaikan

masalah.

3. Memutuskan dan menetapkan peraturan hukum adat yang mengikat pihak-pihak

yang bersengketa serta menciptakan kerukunan.

B. Saran
Berdasarkan uraian pada peran Mosalaki dalam penyelesaian sengketa tanah

ulayat, maka berikut ini diberikan saran kepada:

1. Mosalaki (Tua Adat)

Melihat proses dan peran Mosalaki dalam penyelesaian sengketa tanah

ulayat, sanagat diharapkan kepada Mosalaki agar senantiasa melatih generasi-

generasi muda tentang cara penyelesaian masalah tanah ulayat. Hal ini didasari

karena Mosalaki adalah kunci utama atau yang berperan aktif dan mengetahui proses

penyelesaian masalah tanah ulayat. Jika tidak demikian, maka generasi muda tidak

akan mengetahui dengan benar tentang proses dari penyelesaian masalah tanah

ulayat.

54
2. Masyarakat

Diharapkan kepada masyarakat desa Seso dan Waepana untuk mengetahui

batas-batas tanah ulayat sukunya dengan jelas sehingga kedepannya tidak akan terjadi

masalah tanah ulayat lagi.

3. Pemerintah

Penulis menyarankan kepada pemerintah desa agar bersama masyarakat

mencoba membangun komunikasi yang baik sehingga dapat membentuk suatu aturan

yang khusus yang mengatur tentang tanah-tanah ulayat/ tanah persekutuan.

55
DAFTAR PUSTAKA

Ali M. 1986. Sistem Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan Nusa Tenggara


Barat. Depdikbud. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah.

Campbel, Tom. 1994. Sosiologi Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PN. Rajawali.

Dany. Haryanto. 2011. Pengantar Sosiologi Dasar. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Eli. M. Setiadi. 2011. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala


Permasalahan Sosial: Teori Aplikasidan Pemecahannya. Jakarta:
Prenada Media Group.

http://cetak.bangkapos.com/etalase/read/19215.html

http://eprints.undicep.ac.id/23928/1/SyafanAkbar.pdf

Iskandar. 1996. Metode Penelitian dan Pendidikan Sosial. Jakarta: Gang Persada

----------. 2008. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Metode
Penelitian Kualitatif). Jakarta: Gang Persada.

Moleong. L. J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosada Karya.

Pdf_D. Muga Maria,Sh. Peranan Kepala Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Ulayat Melalui Mediasi.

Riberu, J. 1978. Dasar-dasar Kepemimpinan, Pegangan Praktis Bagi Pemimpin


Masyarakat. Jakarta: Penerbit Luceat.

Siagian. 2002. Sosiologi Umum. Jakarta. PN. Aksara.

Soekanto. 1970. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

-----------. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:


Penerbit Alfabeta.

56
PERANAN MOSALAKI DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA TANAH ULAYAT DI DESA SESO
KECAMATAN SOA KABUPATEN NGADA

SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Mencapai Gelar Sarjana

OLEH:
KAROLINA ROSWITA S JAWA
NIM:0 8 0 1 0 9 0 4 7 3

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2012

57
LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini dengan judul “Peranan Mosalaki Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Ulayat Di Desa Seso Kecamatan Soa Kabupaten Ngada” ini telah disetujui untuk
dipertahankan di Kupang pada Hari / Tanggal:

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Andreas Ande, M. Si Drs. N. S. Gabriel, M. Hum


NIP. 19621010 198903 1 004 NIP. 19571120 198601 1 001

Mengetahui
Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah

Drs. Jonas Thene, M.Si


NIP. 19550401 198901 1 001

58
PENGESAHAN DEWAN PENGUJI

Skripsi dengan judul “Peranan Mosalaki Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah


Ulayat Di Desa Seso Kecamatan Soa Kabupaten Ngada” telah dipertahankan dan
diterima pada ujian sarjana Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Nusa Cendana pada:

Hari/ Tanggal :
Tempat :
Dinyatakan :

Dewan penguji

1. Drs. M. Taneo, M. Si (………………………...............)


NIP: 19670402 199403 1 003

2. Drs. Andreas Ande, M.Si (………………………………...)


NIP: 19621010 198903 1 004

3. Drs. N.S. Gabriel, M. Hum (………………………………...)


NIP: 19571120 198601 1 001

Mengetahui / Mengesahkan
Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah

Drs. Jonas Thene, M.Si


NIP: 19550401 198901 1 001

59
MOTTO

“ Kesuksesan Hanya Dapat Digapai Oleh Orang Yang Mau

Berjuang Dan Terus Berjuang ’’

60
RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Karolina Roswita S Jawa

Tempat dan Tanggal Lahir : Bajawa, 30 Maret 1990

Agama : Katholik

Kewarganegaraan : Indonesia

Nama Ayah : Philipus Jawa

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Nama Ibu : Fransiska Lamur

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

RIWAYAT PENDIDIKAN

SDK Soa : Tahun 1996-2002

SMP Negeri I Ruteng : Tahun 2003-2005

SMA Negeri I Soa : Tahun 2006-2008

Akhirnya pada tahun 2008 di terima di Universitas Nusa Cendana Kupang FKIP

Sejarah melalui suatu jalur yakni jalur PMDK.

61
PERSEMBAHAN

Karya ilmiah ini saya persembahkan kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu membimbing dan

menyertai penulis dam menyelesaikan Karya Ilmiah ini guna meraih Gelar

Sarjana pada Jurusan Pendidikan Sejarah

2. Almamater tercinta Universitas Nusa Cendana Kupang

3. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Saudara-saudari sekandung dan semua sanak

saudara yang selalu memberikan motivasi kepada penulis

4. Semua sahabat tercinta Jurusan Pendidikan Sejarah Khususnya angkatan 2008

62
ABSTRAK

Judul penelitian adalah “Peranan Mosalaki Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah


Ulayat Di Desa Seso Kecamatan Soa Kabupaten Ngada”
, telah diteliti penulis. Tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui proses
bagaimana peranan dari pada Mosalaki dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat
serta hambatan-hambatan dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat. Dalam
penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber
data skunder yang diperoleh dari proses wawancara dan hasil observasi. Penentuan
informan dilakukan dengan cara Purposive Sampling, sehingga yang menjadi
informan dalam penelitian ini adalah orang yang mengalami sengketa tanah ulayat,
Mosalaki (tua adat), tokoh masyarakat dan masyarakat biasa, dengan kriteria
penentuan informan yakni memiliki pengetahuan atau pengalaman tentang proses
penyelesaian sengketa tanah ulayat, sehat jasmani dan rohani, memiliki kompetensi,
serta dapat dipercaya sehingga dapat memberikan data yang obyektif. Teknik analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa hal-hal yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah ulayat di Desa
Seso Kecamatan Soa Kabupaten Ngada adalah batas tanah ulayat yang tidak jelas,
adanya ketidakadilan, kehilangan saksi atau pelaku sejarah yang benar-benar
mengetahui batas tanah ulayat dengan jelas, meningkatnya nilai tanah secara
ekonomi, mempertahankan status sosial, pemahaman salah terhadap adat dan
kurangnya sosialisasi dari tokoh yang berpengalaman tentang batas tanah ulayat yang
jelas. Peranan Mosalaki dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat baik melalui
sidang adat maupun upacara adat. Sedangkan hambatan yang sering terjadi dalam
penyelesaian sengketa tanah ulayat melalui Mosalaki adalah faktor internal yang
disebabkan oleh saksi tidak mau menjadi saksi,tidak jelas batas tanah dan pemilik
tanah yang tidak jelas. Sedangkan yang menjadi faktor utama adalah karena para
pendatang yang datang mendiami tanah ulayat milik masyarakat desa seso (dalam hal
ini suku meli) dan para pendatang tersebut menganggap bahwa tanah tersebut telah
menjadi milik mereka (para pendatang dalam hal ini masyarakat desa waepana).

Kata Kunci : Sengketa Tanah Ulayat, Peranan Mosalaki dan Penyelesaian


Sengketa.

63
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan

skripsi dengan baik. Judul skripsi: “PERANAN MOSALAKI DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT DI DESA SESO

KECAMATAN SOA KABUPATEN NGADA”. Dengan masalah penelitian adalah

bagaimana peranan Mosalaki selaku ketua adat dalam menyelesaikan sengketa tanah

ulayat. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, sasaran penelitian adalah

tokoh adat dan tokoh masyarakat yang berjumlah 4 (empat) orang yang berasal dari

Desa Seso. Data primer diperoleh dari wawancara langsung bersama informan

dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang telah disediakan, sedangkan data

skunder diperoleh dari instansi terkait. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

meliputi observasi, wawancara dan studi dokumen. Teknik analisis data meliputi

reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan.

Dalam penulisan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu dalam

menyelesaikannya, baik yang bersifat materil maupun yang bersifat spiritual. Untuk

itu lewat kesempatan ini penulis dengan tulus hati mengucapkan terima kasih kepada

1. Rektor Universita Nusa Cendana yang menerima dan memberikan ruang serta

waktu kepada penulis untuk menuntut ilmu.

64
2. Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah sebagai penanggung jawab hurusan dan para

dosen yang keseharian mengasah, mengasih dan megasuh penulis untuk

berkompotensi dalam bidang sejarah.

3. Bapak Drs. Andreas Ande, M.Si selaku pembimbing I dan bapak Drs. N.S

Gabriel, M.Hum selaku pembimbing II, yang dengan ketulusan hati meluangkan

waktu dan tenaga memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Bupati Ngada dalam hal ini (cq) kepala kantor Kesbangpol Kabupaten

Ngada, Bapak Camat Soa, dan Kepala Desa Seso yang telah memberikan ijin

penelitian kepada penulis untuk mengadakan penelitian.

5. Bapak Bapak Thomas Toi, Bapak Emanuel Bai, Bapak Wilhelmus Wale dan

Bapak Yohanes Mari selaku nara sumber yang telah memberikan banyak

informasi kepada penulis mengenai masalah penelitian

6. Bapak Philipus Jawa dan Mama Fransiska Lamur yang telah berkorban serta

membiayai studi sampai diperguruan tinggi.

7. Adik-adikku Shanty, Helga, Koni dan Tyo yang selalu memberikan motifasi baik

itu material maupun spiritual bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Rekan-rekan seperjuangan angkatan 2008 khususnya Karthini yang selalu

menemani penulis dalam suka dan duka.

9. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya pada kesempatan ini

yang telah memberikan bantuan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

65
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena

itu semua saran dan kritikan yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi

ini penulis menerima dengan hati ikhlas.

Kupang, Oktober 2012

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


LEMBARAN PERSETUJUAN .................................................................. ii
PENGESAHAN DEWAN PENGUJI……………………………………. iii
MOTTO ........................................................................................................ iv
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... v
PERSEMBAHAN ......................................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... ………… 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 3
C. Tujuan dan Kegunaan ........................................................................ 4
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 4
E. Metode Penelitian .............................................................................. 11

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN


A. Keadaan Geografis ............................................................................. 15
B. Keadaan Mata Pencaharian ................................................................ 16
C. Keadaan Penduduk .... ........................................................................ 18
D. pendidikan.......................................................................................... 21
E. keadaan Tanah.................................................................................... 24
F. sistem Kemasyarakatan ...................................................................... 24
G. Keadaan Kebudayaan.......................................................................... 25
H. Keadaan Pemerintahan……………………………………………… 25

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Umum Sengketa Tanah di Ngada………………………. 27

66
B. Konstruksi Sosial Sengketa Tanah Ulayat………………………….. 30
C. Peranan Mosalaki Dalam Penyelesaian
Sengketa Tanah Ulayat……………………………………………... 40
D. Hambatan Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat…………… 43
E. Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat...................................... 45

BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................ 53
B. Saran ................................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 56

LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Distribusi penduduk menurut mata pencaharian………….......................16

2. Jumlah ternak di desa seo tahun 2012.......................................................18

3. Distribusi penduduk setiap dusun di desa seso tahun 2012......................19

4. Distribusi penduduk menurut jenis kelamin………….............................20

5. Agam dan kepercayaan di desa Seso........................................................21

6. Jumlah sekolah yang ada di Kecamatan Soa............................................23

67

Anda mungkin juga menyukai