Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial diciptakan Tuhan untuk saling
membutuhkan satu sama lain. Setiap insan pada dasarnya tidak dapat hidup
sendiri, melainkan selalu terdapat interaksi sosial dengan sesamanya dan saling
membutuhkan satu sama lain dalam setiap aspek kehidupan. Oleh sebab itu
didalam kehidupan masyarakat diperlukan adanya kerjasama dan sikap gotong
royong dalam menyelesaikan pelbagai problema yang melanda.
Masyarakat Indonesia terkenal dengan sikap ramah, kekeluargaan dan
gotong royongnya didalam kehidupan sehari-hari. Sehingga untuk
menyelesaikan segala konflik yang ada didalam kehidupan masyarakat
dibutuhkan sikap gotong royong yang dapat mempermudah dan memecahkan
masalah secara efisien. Suatu bentuk dan sikap hubungan gotong royong akan
mundur ataupun punah sama sekali sebagai akibat pergeseran nilai-nilai
budaya. Akan tetapi sistem dan jiwa gotong royong tidak akan punah secara
keseluruhan. Hal ini disebabkan karena adanya nilai-nilai budaya yang
terkandung didalam sistem budaya nasional merupakan suatu norma yang
wajib dipatuhi oleh segenap warga masyarakat dan pemerintah. Dilain pihak
bentuk dan sikap hubungan gotong royong akan berubah bahkan punah, tetapi
kepunahan dengan perubahan gotong royong tersebut melahirkan hubungan
kerjasama atau gotong royong dalam bentuk dan sikap yang lain.
Pada umumnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang
mememuhi kebutuhan hidupnya selalu membutuhkan bantuan dari orang lain.
Dalam hal ini manusia tidak pernah terlepas dengan gotong royong. Istilah
gotong royong dalam pengertianya, gotong royong dibagi menjadi dua macam
yaitu gotong royong “tolong-menolong” dan gotong royong “sambatan”.
Diantara keduanya mempunyai pengertian yang berbeda, dimana gotong
royong “tolong-menolong” adalah kegiatan bersama untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan individu

1
2

tertentu. Sedangkan gotong royong “sambatan” ialah kegiatan kerjasama untuk


menyelesaikan suatu proyek tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan
umum.
Kegiatan mengenai perkembangan sistem gotong royong sebagai
fenomena sosial dimasa lampau, maka dianggap perlu menempatkan nama
dalam perubahan sosial khususnya bentuk komunitas pedesaan di mana
ditempatinya, sehingga akan tampak jelas bahwa sistem gotong royong itu
merupakan fungsi dari masyarakatnya atau kehidupan kolektifnya. Menurut
Koentjaraningrat (2004: 57),
Istilah gotong royong untuk pertama kali tampak dalam bentuk tulisan
dalam karangan-karangan tentang hukum adat dan juga dalam
karangan-karangan tentang aspek sosial dari pertanian (terutama di
Jawa Timur) oleh para ahli pertanian Belanda lulusan Wageningen.

Kehidupan masyarakat desa senantiasa digambarkan sebagai


masyarakat yang homogen dalam mentalitas dan moralitasnya, mempunyai
memiliki kepercayaan dan sentimen yang sama, di mana belum dikenal
namanya pembagian pekerjaan secara terinci dan renik. Sering pula masyarakat
desa dilukiskan sebagai kesatuan yang mencakup kelompok-kelompok serta
hubungan di antaranya yang sifatnya itu akrab, antar pribadi dan terbatas.
Sikap dan kelakuan mempunyai ciri spontan, pribadi, dan kekeluargaan yang
terarah, tradisional sesuai dengan adat atau tata-cara. Karakteristik yang
disebut di atas dapat dikatakan dominan dalam lingkungan masyarakat
pedesaan, namun dalam menghadapi desa masa transisional sekarang ini sudah
barang tentu akan banyak dijumpai perbedaan dan percampuran dengan ciri-
ciri masyarakat modern. Kenyataanya ialah bahwa desa yang menunjukkan
kemurnian ciri-ciri seperti model tersebut akan berkurang.
Solidaritas sosial yang dihadapi oleh masyarakat yang masih bersifat
sederhana didasarkan atas ikatan emosional seperti apa yang kita ketahui pada
ikatan primodial semata. Pertukaran sosial masih bersifat langsung dan
terbatas. Masyarakat itu menunjukkan integrasi struktural yang tinggi, masih
sangat homogin dan belum mengenal diferensiasi fungsional yang kompleks.
3

Oleh karena itu masyarakat itu tidak mampu meningkatkan fungsinya secara
keseluruhan.
Sambatan merupakan bentuk dari solidaritas masyarakat yang
menunjukkan bagaimana kepedulian masyarakat terhadap warga masyarakat
lainya yang saling peduli dan saling tolong menolong. Menurut Kartodirdjo
(1994: 104-105), istilah yang berlaku di daerah itu ialah sambatan. Ada
beberapa jenis sambatan, yaitu:
1) Untuk pembangunan desa dikerahkan hampir seluruh penduduk,
umpamanya, untuk membangun balai pengobatan, pasar, jalan, dan
sebagainya. Pada umumnya tidak disediakan jaminan atau penggantian apa-
apa.
2) Sambatan mendirikan rumah mengerahkan 7 sampai 15 orang sebanyak-
banyaknya. Yang mendirikan rumah menjamin makan dan minum.
Banyaknya orang yang dikerahkan tergantung fase pembangunan seperti
mengangkut bahan dilakukan beramai-ramai oleh 20 orang, tetapi hal itu
cukup untuk satu atau setengah hari saja.
3) Sambatan dalam bidang pertanian, seperti membuka hutan dan mengolah
tanah. Waktu yang diperlukan untuk sambatan membuka hutan tidak
ditentukan. Tenaga diperlukan pada saat-saat permulaan dan apabila
pekerjaan dapat dilakukan sendiri oleh berkepentingan, maka sambatan
dihentikan. Sudah suatu kelaziman bahwa tidak ada jaminan, masing-
masing membawa bekal sendiri.

Kegiatan sambatan ini bersifat sukarela. Orang-orang yang dimintai


bantuan tenaga tidak diberi upah sebagaimana para tukang bangunan mestinya.
Mereka hanya diberi makanan dan minuman dari sang pemilik rumah atau
yang memiliki hajat tersebut, seperti wedang kopi, pisang goreng ataupun
makanan yang lain. Merujuk beberapa kegiatan tentang masyarakat.
Ditemukan hasil bahwa masih ada desa yang melakukan tradisi sambatan.
Namun, tidak sedikit yang melaksanakan sama sekali. Dua penilaian yang
sangat mungkin terjadi pada saat sekarang ini. Ketidakmauan masyarakat
melakukan sambatan dikarenakan ketidakpahaman masyarakat akan pengertian
sambatan itu sendiri.
Kata kunci dalam tradisi sambatan ini adalah keikhlasan seseorang
untuk membantu tetangga dekatnya membongkar rumah ataupun pekerjaan
yang lain. Karena bentuknya adalah sebuah keikhlasan, tidak adanya paksaan
4

bagi para tetangga untuk ikut serta membantu. Ketika ada waktu yang luang
mereka diminta membantu, tetapi ketika tidak bisa, mereka tidak akan dipaksa
untuk ikut membantunya. Sambatan didasari oleh rasa bahwa dalam kenyataan
hidup bermasyarakat setiap individu sebagai warga masyarakat akan saling
membutuhkan satu terhadap yang lain atau rasa saling ketergantungan antara
satu dengan yang lain. Selain menyampaikan empati atas kebahagiaan atau
simpati atas kesedihan, orang yang nyambat datang dengan harapan agar
dibantu jika kelak kemudian hari mengadakan ewuh (perhelatan) serupa.
Selanjutnya menurut Murniatmo dkk. (dalam Jusuf, 2010: 2)
mengungkapkan, “asas yang terdapat dalam sambatan adalah asas hubungan
timbal balik atau asas principle of reciprocity, yaitu siapa yang membantu
tetangganya yang membutuhkan maka suatu saat pasti ia akan dibantu ketika
sedang membutuhkan. Sambatan mengacu kepada semangat hidup senasib
sepenanggungan”. Semua kegiatan yang dikerjakan bersama dilakukan dengan
perasaan rela, ikhlas, tanpa adanya unsur-unsur yang dirasakan memaksa.
Paksaan yang dirasakan berupa kewajiban untuk berbuat sosial terhadap
sesamanya. Selain itu, sambatan juga dilandasi oleh falsafah hidup ‘sapa
nandur kabecikan, mesti bakal ngunduh’ (siapa menanam kebaikan pasti akan
memetik hasilnya). Dalam kehidupan masyarakat Jawa, perbuatan semacam itu
dilandasi dengan rasa kebersamaan bahwa orang yang suka menolong atau
membantu sesama itu sama dengan menanam budi, suatu perbuatan yang luhur,
yang oleh orang Jawa disebut nandur kabecikan. Diharapkan bila orang suka
nandur kabecikan akan memperoleh rasa senang, tenteram, dan bahagia baik
lahir maupun batin.
Tradisi sambatan merupakan bagian dari ciri masyarakat Indonesia
dengan prinsip kegotong royongan, tolong menolong dan membantu terhadap
sesamanya, terutama tetangga terdekat. Namun sayangnya pada era sekarang
ini tradisi sambatan sudah semakin tergerus oleh budaya komersialisasi yang
selalu mengukur segala sesuatu dengan materi. Banyak faktor yang
menyebabkan tradisi sambatan semakin luntur di negeri ini. Salah satu faktor
penyebab lunturnya tradisi sambatan adalah pola kehidupan sekarang lebih
5

mencerminkan sikap kesendirian untuk tidak lebih banyak bergaul bersama


masyarakat lain, merampungkan pekerjaan dengan adanya imbalan bagi yang
bekerja. Padahal, dengan bantuan dari para tetangga sebenarnya telah
menumbuhkan sikap kepekaan pada lingkungan sosial setempat.
Saat ini, esensi gotong royong sebuah sambatan semakin hilang. Esensi
sambatan yang merupakan tradisi tolong menolong, saling membantu sesama
manusia sudah mulai luntur, dimulai dari rasa “ewuh pakewuh”, maksudnya
sambatan sebagai pamrih jika seseorang hendak ada kegiatan nantinya dan jika
dia tidak datang maka masyarakat akan mengucilkan. Hal tersebut bukanlah
sebenarnya esensi dari sambatan yang lebih ke arah tolong menolong. Selain
itu, memudarnya tradisi sambatan tidak terlepas dari kemajuan zaman
mengingat saat ini orang sudah tidak ada waktu lagi untuk sambatan dan orang
lebih mempercayakan kepada ahli.
Faktor penyebab yang menjadikan lunturnya tradisi sambatan adalah
rasa persatuan yang dirasa mulai hilang dalam diri warga masyarakat.
Datangnya warga pendatang yang lebih banyak membuat warga asli yang
tumbuh besar disitu tidak mampu dapat berbuat banyak karena jumlahnya lebih
sedikit, sehingga budaya sambatan sekarang tidak bisa nampak lagi, khususnya
untuk bapak-bapak. Semangat hidup senasib sepenanggungan kurang banyak
dirasakan terkait dengan kesibukan dan alasan kepraktisan.
Secara tidak langsung, adanya modernisasi telah mempengaruhi
kegiatan kerja sama sambatan, yang mana dulu masyarakat saling membantu
karena mereka saling peduli dan dalam kegiatan sambatan tidak menuntut
untuk mempunyai keahlian tertentu yang terpenting adalah kebersamaan dan
solidaritas pada masyarakat. Adanya modernisasi telah merubah perilaku
masyarakat. Adanya tenaga ahli dan adanya sistem pengupahan menjadi
kebiasaan untuk diterapkan dalam masyarakat, tidak terkecuali pada kegiatan
Sambatan. Seiring berkembangnya jaman, tenaga ahli semakin beragam dapat
ditemukan, hal tersebut semakin lama dikhawatirkan akan mempengaruhi
kegitan dalam bentuk kerja sama seperti kegiatan sambatan. Tidak menutup
kemungkinan tenaga ahli juga dapat ditemukan dengan mudah di daerah
6

pedesaan, sehingga dikhawatirkan kegiatan sambatan ini mulai ditinggalkan


masyarakat, dan mempengaruhi solidaritas masyarakat desa yang pada
umumnya solid.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, mendorong
peneliti untuk mengadakan analisis tentang tradisi sambatan dalam masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa, dengan judul: “Menegakkan Tradisi Sambatan
Sebagai Bentuk Revitalisasi Nilai Gotong Royong di Era Modern.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana penegakan tradisi sambatan
sebagai bentuk revitalisasi nilai gotong royong di era modern?”

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis penegakan
tradisi sambatan sebagai bentuk revitalisasi nilai gotong royong di era modern.
7

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Teori
1. Sambatan
a. Pengertian Sambatan
Menurut Koentjaraningrat (2005: 58), “istilah sambatan itu
berasal dari kata sambat, artinya “minta bantuan” Selanjutnya menurut
Zaeni sebagaimana dikutip Jusuf (2010: 1),
sambatan adalah istilah salah satu bentuk interaksi itu
berkomunal yang intinya membantu orang yang sedang
membutuhkan banyak tenaga, yang banyak dipakai di wilayah
Jogja dan Jawa Tengah. Kecuali di wilayah barat yang berdekatan
dengan Jawa Tengah, sambatan diistilahkan sebagai ‘rewang’ di
sebagian besar masyarakat Jawa Timur.

Menurut Rimba (2012: 2),


Sambatan adalah tradisi masyarakat untuk membantu tetangga.
Seringnya sambatan ini berupa membongkar rumah karena akan
diperbaiki atau direhab. Sang pemilik rumah akan meminta
kepada beberapa tetangga dekat untuk ikut membantu
membongkar rumah. Dari mulai hanya mengganti genteng rumah
atau bahkan sampai merobohkan dinding rumah yang akan
diganti dengan bangunan yang baru. Sambatan ini hanya
dilakukan seperlunya saja membongkar rumah. Itu artinya tidak
sampai sepenuhnya sampai kemudian bangunan rumah berdiri
dengan bentuk yang baru.

Sambatan yang masih dilakukan dimasyarakat desa adalah dalam


bentuk rewang. Rewang ini lebih banyak sekali dilakukan di lokasi yang
makin masuk ke pedusunan atau desa daripada mereka yang tinggal lebih
dekat dengan kota. Istilah rewang ini pada umumnya ini lebih ditujukan
pada ibu-ibu daripada bapak-bapak. Situasi yang memerlukan bantuan
pada umumnya lebih banyak memerlukan sebuah ketrampilan tertentu
yang mungkin lebih banyak ada pada wanita daripada laki-laki. Bentuk
sambatan seperti rewang ini lebih banyak membutuhkan keterampilan
wanita, seperti memasak, merajang lombok, membuat sayuran, membuat
8

makanan kecil seperti menggoreng kacang, emping, membuat lemper,


wajik, jadah, krupuk, nasi, membuat sop, dan lain-lain.
Menurut Robjanuar (2009: 1), “mekanisme undangan dalam
sambatan tidak perlu repot-repot dengan rapat besar ataupun
pembentukan panitia, cukup dari mulut ke mulut”. Pemilik rumah atau
tuan rumah hanya meminta tolong kepada tetangga dan orang tetangga
tersebut yang menyebarkan berita sambatan tersebut. Sebagai contohnya,
dalam acara seperti warga yang mau membangun rumah. Tuan rumah
tidak menghitung secara nominal tenaga yang dikeluarkan oleh orang-
orang yang datang membantu. Suguhan makan dan minum ditambah
dengan rokok cukuplah untuk membalas keikhlasan mereka yang datang
membantu.
b. Bentuk-bentuk Sambatan
Menurut Koentjaningrat (2004: 59-60), bentuk sambatan tidak
terbatas produksi pertanian, aktivitas tolong menolong juga tampak
dalam aktivitas kehidupan masyarakat lainnya. Aktivitas yang dimaksud
meliputi:
1) Aktivitas tolong menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan,
untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan,
misalnya menggali sumur, mengganti dinding bambu dari rumah,
membersihkan rumah dan atap dari hama tikus dan sebagainya.
2) Aktivitas tolong menolong antara kaun kerabat (dan kadang-kadang
beberapa tetangga paling dekat) untuk menyelenggarakan pesta sunat,
perkawinan atau upacara-upacara adat lain sekitar titik-titik peralihan
pada lingkaran hidup individu (hamil tujuh
bulan,kelahiran,melepaskan tali pusat,kontak pertama dari bayi
dengan tanah, pemberian nama, pemotongan rambut pertama kali,
pengasahan gigi dan sebagainya).
3) Aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untik membantu
secara spontan pada waktu seorang penduduk mengalami kematian
atau bencana.
9

2. Gotong Royong
Masyarakat Indonesia sejak dulu telah mengenal sistem gotong-
royong. Bagi masyarakat Indonesia, secara umum gotong royong diartikan
sebagai bentuk kerja sama didalam masyarakat. Gotong royong merupakan
tradisi pada masyarakat indonesia, kegiatan gotong royong kerja sama
seperti ini banyak dijumpai pada masyarakat di indonesia, dimana setiap
anggota masyarakatnya yang mengikuti kegiatan gotong-royong adalah
sukarela atau didasari atas kesatuan kelompok setempat.
Gotong-royong telah banyak didefinisikan para ahli dengan berbagai
pengertianya. Akan tetapi sebagaimana yang telah diungkapkan, masih ada
kerancuan antara pengertian antara gotong-royong dengan sistem tolong-
menolong didalam masyarakat. Marzali (2009: 144) menyatakan bahwa:
Konsep gotong royong sebagai sebuah nilai kultural dasar
masyarakat Indonesia sudah sering dibahas orang dalam berbagai
kesempatan. Namun demikian, tidak banyak orang yang mencoba
untuk mendefinisika nya dan menguraikannya dalam bentuk yang
lebih rinci dan eksplisit. Bahkan kebanyakan mereka
mencampuradukkan pengertian gotong royong dengan dua nilai
kultural penting lain, yaitu tolong-menolong dan kekeluargaan.

Dalam hal ini Rochmadi (2012: 4) menyumbangkan pemikirannya


mengenai pengertian gotong royong adalah sebagai berikut:
Gotong royong berasal dari kata dalam Bahasa Jawa. Kata gotong
dapat dipadankan dengan kata pikul atau angkat. Kata royong dapat
dipadankan dengan bersama-sama. Jadi kata gotong royong secara
sederhana berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau
juga diartikan sebagai mengerjakan sesuatu secara bersama-sama.
Misalnya, mengangkat meja yang dilakukan bersama-sama,
membersihkan selokan yang dilakukan oleh warga se-RT, dan
sebagainya.

Jadi, gotong royong memiliki pengertian sebagai bentuk partisipasi aktif


setiap individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai tambah atau positif
kepada setiap obyek, permasalahan atau kebutuhan orang banyak di
sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud
10

materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, ketrampilan, sumbangan


pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan.
Subagyo (2012: 63) juga mengungkapkan pengertian gotong royong:
Secara umum, pengertian gotong royong dapat ditemukan dalam
kamus besar bahasa Indonesia yang menyebutnya sebagai “bekerja
bersama-sama atau tolong menolong, bantu membantu” yang
mengutip dari Tim Penyusun KBBI. Sedangkan dalam perspektif
antropologi pembangunan, oleh Koentjaraningrat gotong royong
didefinisikan sebagai pengerahan tenaga manusia tanpa bayaran
untuk suatu proyek atau pekerjaan yang bermanfaat bagi umum atau
yang berguna bagi pembangunan.

Dari beberapa pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa gotong-


royong diadakan untuk kepentingan umum, di mana kegiatan gotong royong
tersebut dilakukan bersama-sama untuk menangani proyek tertentu yang
berguna bagi kepentingan bersama/umum antar masyarakat. Gotong royong
pada masyarakat merupakan kegiatan yang dilakukan bersama-sama dalam
masyarakat, akan tetapi tidak ada upah/bayaran bagi yang ikut kegiatan
gotong royong tersebut. Gotong royong merupakan bentuk partisipasi aktif
setiap individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai tambah atau positif
kepada setiap obyek, permasalahan, atau kebutuhan orang banyak di
sekelilingnya.
Gotong-royong berbeda dengan tolong menolong. Menurut Marzali
(2009: 149-153), kegiatan tolong menolong dan gotong royong mempunyai
kepentingan yang berbeda, dimana kegiatan kegiatan tolong menolong
dilakukan untuk kepentingan individu tertentu atau keluarga tertentu,
sedangkan kegiatan gotong royong atau sambatan dilakukan untuk
kepentingan umum. Dalam kegitan tolong menolong dan gotong royong
dapat dibedakan melalui prinsip timbal balik (asas reciprocity), yang mana
kegitan tolong menolong digerakkan oleh prinsip timbal balik, dimana ada
suatu kewajiban untuk memberi pertolongan kepada pihak yang telah
menolong individu yang telah menolongnya. Sedangkan dalam kegiatan
gotong royong prinsip timbal balik tersebut tidak ada. Menurut pendekatan
historisnya, gotong royong ada atau dapat ditemukan ketika manusia telah
11

saling hidup berkelompok dan mempunyai sistem kepemimpinan formal.


Sedangkan kegiatan tolong menolong sendiri sudah ada ketika manusia lahir
didunia, karena setiap individu yang lahir bumi dianugrahi naluri untuk
saling tolong menolong bagi sesamanya.

B. Pemaparan
1. Revitalisasi Nilai Gotong Royong dalam Tradisi Sambatan
Gotong royong berasal dari kata dalam Bahasa Jawa. Kata gotong
dapat dipadankan dengan kata pikul atau angkat. Kata royong dapat
dipadankan dengan bersama-sama. Jadi kata gotong royong secara
sederhana berarti mengangkat sesuatu secara bersama-sama atau juga
diartikan sebagai mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Jadi, gotong
royong memiliki pengertian sebagai bentuk partisipasi aktif setiap individu
untuk ikut terlibat dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap
obyek, permasalahan atau kebutuhan orang banyak di sekelilingnya.
Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi,
keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, keterampilan, sumbangan pikiran
atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan.
Secara konseptual, gotong royong dapat diartikan sebagai suatu
model kerjasama yang disepakati bersama. Dalam perspektif sosio budaya,
nilai gotong royong adalah semangat yang diwujudkan dalam bentuk
perilaku atau tindakan individu yang dilakukan tanpa pamrih (mengharap
balasan) untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama demi kepentingan
bersama atau individu tertentu. Terdapat dua jenis gotong royong yang
dikenal oleh masyarakat Indonesia, yaitu gotong royong tolong menolong
dan gotong royong sambatan. Kegiatan gotong royong tolong menolong
terjadi pada aktivitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan
pesta, kegiatan perayaan, dan pada peristiwa bencana atau kematian.
Sedangkan kegiatan gotong royong sambatan biasanya dilakukan untuk
mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum.
12

Gotong-royong dan sambatan termasuk kearifan lokal dari


masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Kearifan lokal sering
juga disebut sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan
setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius).
Kearifan lokal dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan
serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan
oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam memenuhi
kebutuhan mereka. Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh
aspek kehidupan, agama, ilmu pengetahuan, teknologi, organisasi sosial,
bahasa dan komunikasi serta kesenian, dapat berupa tradisi, pepatah atau
semboyan hidup. Sistem tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup
yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal, mereka dapat melangsungkan
kehidupannya bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan.
Kearifan lokal atau local wisdom merupakan kekayaan budaya
masyarakat suku-suu bangsa yang memiliki potensi sebagai pembentuk
karakter bangsa. Maka gototng royong merupakan salah satu nilai kearifan
lokal masyarakat Indonesia, yang artinya gotong royong telah menjadi ciri
khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain (common
identity), gotong royong merupakan karakter bangsa Indonesia yang nilai-
nilainya telah lama diwariskan oleh leluhur sehingga melekat dalam jiwa
dan kepribadian bangsa, serta gotong royong menjadi alternatif bangsa
untuk menyelesaikan berbagai problema yang melanda dalam seluruh aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia yang terkenal dengan keramahan rakyatnya dan sangat
menyukai gotong royong yang tercemin dalam berbagai hal. Misalnya,
warga desa menjalankan tradisi rewang untuk membantu warga yang punya
hajat, warga yang dengan suka rela memberi bantuan untuk keluarga yang
meninggal berupa beras, uang maupun sembako (tradisi ngelayat), bersama-
sama menggalang dana dan memberikan bantuan kepada masyarakat yang
tertimpa musibah bencana dan sebagainya. Masyarakat tidak pandang bulu
membantu mereka yang merupakan kenalan, teman, keluarga, mereka yang
13

tidak dikenal (contohnya para korban bencana). Rasa persatuan, rasa senasib
dan sepenanggungan, kepedulian sosial serta solidaritas yang tinggi telah
memicu nilai gotong royong dalam jiwa mereka, sehingga tanpa pamrih
bantuan tersebut diberikan kepada yang membutuhkan.
Di era globalisasi saat ini, juga dijumpai bentuk gotong royong yang
lain, seperti penggalangan dana dengan penyebaran lewat jejaring sosial
(sperti koin untuk Prita, Koin Cinta Bilqis, dan lain-lain). Namun, juga
terdapat bentuk tradisi gotong royong yang mulai sulit dijumpai, salah
satunya kegiatan sambatan. Sambatan telah menjadi kebudayaan di
Indonesia. Tradisi yang sudah diterapkan sejak nenek moyang itu selalu
menjadi elemen penting dalam pembangunan serta menjadi salah satu hal
yang bisa dibanggakan di negeri ini. Tradisi ini selayaknya perlu
direvitalisasi kembali dikarenakan fungsinya yang cukup penting, dan akan
sangat disayangkan apabila tradisi ini menghilang tertelan masa.
Sambatan yang merupakan salah satu perwujudan gotong royong
mempunyai arti penting di masyarakat. Jika kita perhatikan suasana
sambatan penuh dengan kekeluargaan. Tidak ada rasa saling iri atau bahkan
merasa tertekan dalam melakukan pekerjaan, karena semuanya dilandasi
dengan rasa senang dan penuh dengan suasana kekeluargaan. Namun, tradisi
sambatan yang dulu sering dilaksanakan oleh masyarakat terutama di
perdesaan, kini semakin jarang ditemui. Perlahan-lahan tradisi leluhur
bangsa tersebut mulai pudar seiring berjalannya waktu. Meski pasang-surut
masih dapat ditemui keberlangsungan tradisi kerjabakti desa, walau hanya
beberapa desa saja yang masih memberdayakan salah satu nilai kearifan
lokal tersebut. Lunturnya nilai-nilai kearifan lokal bangsa tersebut
dikarenakan oleh sifat keegoisan masing-masing individu. Pengaruh buruk
globalisasi telah mencetak generasi yang individualis, cenderung
menomorsatukan kepentingan pribadi dibanding dengan kepentingan
bersama.
Tradisi sambatan dilakukan sukarela. Ketika tahu tetangga
berkumpul dan membawa peralatan hendak sambatan, maka orang-orang
14

(para lelaki) akan ikut berpartisipasi tanpa diminta. Bahkan anak-anak


sering sekali ikut membantu. Mereka senang dengan kegiatan semacam itu,
selain untuk berkumpul bersama, juga kepuasan tersendiri akan timbul
jikalau ikut dalam kegiatan tersebut. Sedangkan para ibu-ibu akan
berbelanja untuk memasak dan membuatkan minum untuk mereka yang
mengerjakan sambatan memperbaiki jalan, membersihkan selokan dan jalan
utama dari sampah serta rumput liar sepanjang mereka temui. Uniknya, tiap
rumah hampir menyediakan kopi atau kue. Jadi, yang sambatan tidak
terpaku pada satu rumah jika ingin beristirahat. Ketika membersihkan
selokan di RT. 02 misalnya, maka para pekerja tersebut dapat singgah di
rumah tetangga terdekat untuk minum. Hal menunjukkan nilai gotong
royong, tingginya rasa tanggung jawab sosial masyarakat, eratnya tali
persaudaraan antar warga, tiadanya rasa curiga, warga rukun dan saling
percaya serta menghormati satu sama lain.
Namun, hal di atas hanyalah bagian dari kearifan lokal yang masih
subur di masa lalu. Sekarang, sambatan seperti itu jarang dilakukan.
dikarenakan banyak warga yang sibuk dengan urusan masing-masing.
Adapun warga yang luang, tetap jumlahnya kurang untuk melaksanakan
sambatan. Jadi, sekarang warga memilih untuk membayar iuran daripada
ikut sambatan. Rasa tanggung jawab sosial dan gotong royong telah
berkurang, masyarakat tidak lagi seakrab dan serukun dahulu. Parahnya,
bahkan masih ada orang yang tidak mengenal tetangganya sendiri karena
jarang berinteraksi satu sama lain. Generasi muda pun sama saja, nilai-nilai
luhur bangsa tidak terenkulturasi secara sempurna sehingga dengan mudah
tergerus oleh globalisasi.
Akibat dari berkembangnya globalisasi, kini banyak desa yang
seakan bermetamorfosis menjadi kota. Kesadaran individu tentang
kehidupan berbangsa dan bernegarapun kian menipis. Lambat laun budaya
gotong royong mulai memudar. Dapat kita rasakan bersama bangsa ini
mulai kehilangan kepribadiannya sebagai bangsa yang kaya akan unsur
budaya yang salah satunya adalah budaya gotong royong. Pembangunan
15

mall-mall dan perumahan yang dilakukan pemerintah telah membawa


dampak modernisasi yang belum siap dicerna dan diterima dengan matang
oleh masyarakat desa. Maka yang terjadi ialah masyarakat desa tersebut
mulai kehilangan nilai-nilai adatnya, karena masa seakan telah menciptakan
suatu suatu acuan untuk gaya hidup yang modern, sehingga nilai-nilai
tradisional dianggap kuno dan mulai tersisihkan. Tidak heran jika tradisi
sambatan sendiri telah menjadi pemandangan yang langka untuk
masyarakat perdesaan transisi. Budaya ini juga yang bisa jadi akan sulit
dijumpai pada masyarakat modern. Disamping lingkungan modern berbeda
dengan desa, perbedaan struktur sosial masyarakatnya juga menjadi kendala,
karena ketika semua telah termaterialisasi, dimana untuk urusan bersih-
bersih lebih baik membayar orang untuk melakukannya dibandingkan
dengan berupaya secara mandiri untuk mengerjakannya. Disamping juga
ada orang yang memang mengais rupiah demi rupiah pada pekerjaan ini.
Materialisasi juga menjadi salah satu faktor penyebab lunturnya rasa
solidaritas sosial di masyarakat. Pepatah “Berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing” sudah mulai tidak teraktualisasi sebagai mestinya. Sambatan saat
yang seharusnya dilakukan warga bersama, berbondong-bondong untuk
berkumpul, bergotong-royong untuk membersihkan lingkungan desa, kini
sudah tak lagi lestari. Padahal, tidak semua dapat dibayar dengan uang.
Memang membersihkan lingkungan bisa dengan menyewa jasa, tapi rasa
solidaritas, kerukunan, dan nilai gotong royong tidak dapat dibeli dengan
uang. Sikap egois, individualistik, materialistis, dan perubahan lingkungan
telah mengakibatkan perubahan sosial pada masyarakat masa kini.
Teknologi merupakan salah satu akibat dari modernisasi, dalam hal
ini adanya teknologi kepedesaan membawa dampak besar. Dengan bantuan
teknologi, aktivitas kerja menjadi lebih sederhana dan serba cepat. Hal ini
juga dibarengi dengan hubungan antar sesama pekerja menjadi bersifal
impersonal, sebab setiap orang bekerja menurut keahlianya masing-masing
secara spesialis. Hal ini berbeda dengan kegiatan pekerjaan yang tanpa
16

teknologi dan tidak bersifat spesialis, karena setiap orang dapat membantu
pekerjaan tanpa dituntut keahlian tertentu.
Teknologi juga membatasi pekerjaan yang bersifat kerjasama,
sehingga menimbulkan konflik pada sebagian komunitas pedesaaan.
Adanya teknologi menjadikan praktik saling membantu menjadi terhenti
dan kerja sama informal menjadi berkurang. Pembangunan dengan berbagai
teknologi ini akan memperbanyak sirkulasi uang ke desa. Dan dengan
sendirinya hal itu merusak sistem gotong-royong sebagai media relasi sosial
intim di desa. Namun, gotong royong yang rusak adalah gotong royong
dalam produksi pertanian, sementara gotong royong formal antara tetangga,
gotong royong dalam perayaan pesta, serta gotong royong dalam bencana
dan kematian, masih tetap berjalan. Tolong menolong dalam pertanian
mulai terkikis oleh adanya budaya padat karya dengan sistem upah, sedang
pola hidup tolong menolong diganti dengan pola kerja pamrih.
Sambatan merupakan bentuk kegiatan tolong menolong,
dikhawatirkan juga akan ikut terkikis atau memudar dengan seiring
terjadinya proses modernisasi. Adanya speliasisasi pekerjaan membuat
pekerjaan seperti kegiatan kerja sama menjadi berkurang, dalam hal ini
kegiatan gotong royong ataupun kegiatan tolong menolong yang sejatinya
tidak memerlukan keaahlian, seiring terjadinya modernisasi memungkinkan
pekerjaan tersebut digantikan oleh orang yang ahli dalam bidangnya atau
keahlianya. Hal ini tentu saja akan membuat gotong royong atau kegiatan
tolong menolong yang merupakan budaya Indonesia bisa terhenti, ataupun
berkurang.
Sambatan mempunyai karakteristik tersendiri dalam kehidupan
masyarakat pedesaan. Berbagai karakteristik sambatan sebagai berikut:
a. Sambatan tidak identik dengan kerja bakti
Perbedaan mendasar yang mengindikasi perbedaan antara
sambatan dengan kerja bakti adalah pekerjaan dilakukan untuk
kepentingan siapa. Sambatan dengan kerja bakti keduanya berbeda dalam
hal kepentingan, bahwa kerja bakti dilakukan untuk kepentingan orang
17

banyak/umum sedangkan sambatan dilakukan untuk kepentingan


perseorangan/keluarga.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sambatan dengan kerja bakti
keduanya berbeda dalam hal kepentingan, bahwa kerja bakti dilakukan
untuk kepentingan orang banyak/umum sedangkan sambatan dilakukan
untuk kepentingan perseorangan/keluarga.
b. Ciri sambatan dalam masyarakat pedesaan
Ciri-ciri sambatan sebagai berikut:
1) Kerja dilakukan untuk kepentingan individu/keluarga tertentu.
Sambatan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kepentingan
individu atau kepentingan keluarga tertentu demi meringankan
pekerjaan orang yang meminta tolong, sebab orang/warga tersebut
tidak dapat menyelesaikan pekerjaan itu sendiri, sehingga memerlukan
bantuan orang lain. Perbedaan kepentingan inilah yang kemudian
membedakan kerja bakti dengan sambatan, karena dalam
pengertianya sambatan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
kepentingan individu, dimana sambatan dilakukan karena individu
tersebut tidak mampu melakukan pekerjaan tersebut sehingga
membutuhkan bantuan orang lain. Jadi, sambatan bertujuan untuk
membantu individu/keluarga tertentu didalam masyarakat. Hal
tersebut dikarenakan sambatan merupakan bentuk dari kegiatan tolong
menolong, yang mana dalam pelaksanaan kegiatanya dilakukan
dengan ikhlas karena ingin membantu.
2) Tidak ada upah
Sambatan merupakan kegiatan tolong menolong yang dilakukan
dengan sukarela ikhlas lahir dan batin. Dengan demikian kegiatan
tersebut dimaksudkan untuk menolong orang yang sedang kesusahan
dan membutuhkan pertolongan orang lain, karena orang tersebut
menghendaki keringanan dalam melakukan pekerjaannya. Sambatan
adalah kegiatan yang dilakukan secara ikhlas dan dalam pekerjaannya
tidak diberikan bayaran atau upah bagi yang ikut membantu dalam
18

kegiatan tolong menolong tersebut. Dalam sambatan memang tidak


ada upah bagi yang ikut dalam kegiatan sambatan, tetapi sebagai rasa
terima kasih, orang yang minta tolong (nyambat) biasanya
menyediakan makan dan minum ala kadarnya. Jadi, di dalam kegitan
sambatan dapat dikatakan tidak ada upah bagi yang ikut dalam
pelaksanaan kegiatan sambatan, hal tersebut menunjukkan bahwa
sambatan merupakan kegiatan yang murni untuk membantu orang
yang meminta tolong.
3) Adanya asas timbal balik
Kegiatan sambatan merupakan salah satu wujud keberlangsungan
kerukunan dalam masyarakat pedesaan, kerukunan masyarakat desa
dapat dilihat bagaimana warganya saling bantu membantu untuk
meringankan beban orang lain. Tidak ada bayaran bagi yang
melakukan kegiatan sambatan. Tetapi ada kecenderungan dimana
seseorang yang telah dibantu (tenaga sambatan) akan mengingat jasa
orang yang telah menolongnya. Begitu juga dengan orang yang telah
menolong dalam kegiatan sambatan tersebut. Dalam hal ini
menimbulkan harapan untuk ditolong dikemudiaan hari, ketika ia
kesusahan akan ditolong orang yang telah ia tolong sebelumnya.
Hubungan timbal balik tersebut yang mendasari bagaimana kerukunan
di dalam masyarakat pedesaan terus dijaga, karena masyarakat tahu
bahwa pada hakikatnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan
orang lain dan saling bergantung antara satu dengan yang lainya. Jadi,
sambatan itu sendiri digerakkan oleh asas timbal balik, yang artinya,
siapa yang pernah menolong tentu akan menerima pertolongan balik
dari pihak yang ditolonganya. Dengan asas seperti ini maka tolong-
menolong dapat dikategorikan sebagai jenis pertukaran (exchange).
4) Sambatan dan kemampuan ekonomi seseorang
Bagi orang yang tidak kaya didesa, untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari saja terkadang masih kurang. Tetapi tak jarang ada
kebutuhan-kebutuhan tertentu yang tidak dapat dipenuhi, seperti
19

kebutuhan sandang dan papan misalkan. Keterbatasan dana membuat


mereka tidak ada pilihan lain untuk meminta tolong. Disinilah tenaga
sambatan dibutuhkan, karena tenaga sambatan dilakukan dengan
sukarela dan tidak ada sistem upah. Sambatan hadir sebagai solusi
untuk meringankan beban pekerjaan orang yang meminta tolong. Jadi,
kemampuan masyarakat dalam hal ekonomi berhubungan erat dengan
pemilihan masyarakat terhadap penggunaan tenaga ahli atau tenaga
sambatan. Sebab dalam kenyataan yang ada dalam masyarakat
ketidakmampuan secara ekonomilah yang menjadi alasan masyarakat
yang tidak mempunyai tingkat ekonomi lebih memilih untuk
menggunakan tenaga sambatan. Berbeda dengan orang yang
mempunyai tingkat ekonomi yang lebih, mereka leluasa dapat
memilih menggunakan tenaga ahli karena mereka mempunyai biaya
untuk membayar tenaga ahli.
5) Sambatan Wujud Kerukunan
Sambatan ibarat alat untuk mengikat warga masyarakat dalam
kerukunan, warga masyarakat saling mengantungkan harapan agar
kelak ia akan ditolong ketika ada musibah. Warga tau bahwa hidup
bermasyarakat dan tolong menolong adalah hal yang penting untuk
menjaga kerukunan dalam masyarakat desa, untuk menjaga kerukunan
tersebut, sambatan menjadi salah satu wadah untuk menuangkan
langkah menuju kerukunan pada masyarakat. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa selain sebagai pengikat kesatuan dan persatuan didalam
masyarakat, kegiatan tolong menolong dalam masyarakat juga
menghindarkan masyarakat pada perpecahan. Sehingga untuk
menjaga kerukunan dalam masyarakat, masyarakat perlu mewujudkan
kerukunan tersebut salah satunya dengan cara melakukan kegiatan-
kegiatan dengan bentuk kerja sama maupun saling tolong menolong.
20

2. Dampak Modernisasi Terhadap Tradisi Sambatan


Modernisasi mengacu pada proses perubahan masyarakat yang
disebut dengan tradisional kepada masyarakat modern. Perubahan tersebut
meliputi seluruh aspek kehidupan yang ada dalam masyarakat. Sering kali
modernisasi juga ditandai dengan penggunaan teknologi untuk menunjang
keberlangsungan hidup masyarakat dan memang majunya teknologi
dianggap sebagai ciri dari modernisasi. Berikut ini disampaikan beberapa
dampak modernisasi terhadap tradisi sambatan.
a. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap tenaga ahli
Kelebihan tenaga ahli dibandingkan dengan tenaga sambatan membuat
masyarakat mempercayakan masalah tertentu kepada tenaga ahli,
kepercayaan tersebut seperti sebuah label bahwa perkerjaan yang
ditanggani oleh jasa tenaga ahli akan lebih baik jika dibandingkan
dengan tenaga sambatan yang hanya menggunakan kemampuan
sebisanya. Anggapan lebih baik menggunakan tenaga ahli menggeser
peran sambatan dalam masyarakat untuk beralih untuk menggunakan
tenaga ahli yang lebih praktis dan cepat.
b. Intensitas sambatan menurun
Sebagai akibat dari meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap
tenaga ahli membuat budaya sambatan intensitas kegiatanya menurun
jika dibandingkan dulu, tenaga sambatan pada jaman sekarang
diposisikan sebagai tenaga pembantu tukang seperti tukang kayu dan
tukang batu untuk menggerjakan pekerjaan seperti kegiatan membangun
rumah. Tenaga sambatan tidak dapat menggerjakan pekerjaan yang
bersifat khusus dan membutuhkan penanganan yang teliti, sehingga sifat
kerja sambatan pada jaman sekarang tidak lebih sebagai tenaga pembantu
tenaga ahli, karena hal yang bersifat khusus dan membutuhkan
penanganan teliti harus diambil alih oleh tenaga ahli. Karena kita ketahui
tenaga sambatan adalah tenaga yang membantu sebisanya dan tidak
dituntut untuk mempunyai kemampuan tertentu.
21

3. Menegakkan Kembali Sambatan


Untuk memupuk dan menumbuhkan kembali gotong royong yang
sudah mulai luntur, mau tidak mau harus melibatkan semua lapisan
masyarakat, baik pemerintah, swasta, lembaga pendidikan bahkan juga
lingkungan terkecil dari masyarakat yaitu keluarga. Partisipasi seiap
individu yang merupakan bagian dari masyarakat sebagai penggerak budaya
gotong rotong harus dilakukan secara berkala, juga sebagai salah satu
bentuk keberhasilan penggalangan sumber daya yang menyangkut
kepentingan pelaksanaan suatu program atau usaha. Salah satu program
perwujudan gotong royong yang mulai luntur oleh zaman ialah tradisi
sambatan.
Sambatan adalah budaya turun temurun yang diwariskan oleh nenek
moyang kita. Sambatan bersifat positif dan mempunyai banyak manfaat.
Salah satunya yaitu dapat mempererat tali silaturahmi antar warga sekitar,
dapat pula melatih kerja sama antar warga atau bergotong royong dan yang
paling penting sekaligus dapat menyehatkan lingkungan, jasmani, dan
meningkatkan solidaritas sosial. Maka dari itu sambatan ini haruslah tetap
dilestarikan, mengingat bahwa hal tersebut merupakan salah satu wujud
gotong royong yang merupakan karakter bangsa yang sangat penting untuk
ditegakkan kembali pada masa kini dimana nilai-nilai bangsa telah
terhegemoni oleh laju globalisasi.
Untuk merevitalisasi nilai gotong royong dalam bentuk tradisi
sambatan tidaklah mudah. Seringkali kendala untuk menegakkan sambatan
ialah dari dalam warga itu sendiri. Beberapa warga kerap tidak mengikuti
sambatan dengan menyiapkan berbagai macam alasan sebagai tameng;
seperti sibuk akan pekerjaan, sedang ada tugas atau urusan, sakit, bahkan
sampai berbohong bahwa yang bersangkutan sedang berpergian. Padahal,
satu-satunya alasan tidak lain adalah karena malas dan keegoisan masing-
masing yang enggan untuk merelakan waktu luang mereka demi membantu
warga sambatan. Disaat seluruh tetangganya sambatan, maka orang tersebut
asyik tenggelam dengan dunianya sendiri, entah browsing internet atau
22

bermain game (terutama untuk pemuda) atau sekedar bersantai di rumah.


Orang-orang seperti ini menganggap kehidupannya bebas, tidak ada sangkut
pautnya dengan lingkungan sekitar, apatis, lupa akan peran dan tanggung
jawabnya terhadap masyarakat. Maka tradisi sambatan hanya dapat
ditegakkan kembali secara menyeluruh dengan tidak lepas dari partisipasi
setiap individu dan pendukungnya. Semua lapisan masyarakat dari yang
besar hingga yang terkecil harus berperan aktif untuk menguatkan kembali
tradisi ini, dimana setiap individu harus merubah sikap, membuang
keegoisan, tidak apatis dan individualistik, serta memulai belajar untuk
menjalankan perannya di dalam masyarakat, yakni memegang tanggung
jawab sosial.
Untuk menegakkan tradisi sambatan secara berkesinambungan,
perlu untuk merubah sikap, mental dan menanamkan kembali nila-nilai
gotong royong dalam masyarakat. Melaksanakan hal tersebut bisa dimulai
dari:
a. Diri sendiri, yaitu meningkatkan kesadaran diri akan persatuan dan
kesatuan, yakni dengan memahami serta mengimplikasikan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari terutama sila ketiga, Persatuan
Indonesia. Jika semua individu sadar akan fungsi dan peran mereka
dalam masyarakat berbangsa dan bernegara, serta dapat menyisihkan rasa
egois dan menumbuhkembangkan kepedulian sosial, maka solidaritas
akan tercipta dengan otomatis. Solidaritas tersebut dapat dipacu dengan
menanamkan rasa senasib sepenanggungan, sikap saling menghormati,
dan membiasakan diri untuk saling tolong-menolong. Maka perlu bagi
generasi muda untuk tidak melupakan sejarah dengan meneladani sikap
para pendahulu bangsa yang saling bergotong royong untuk
memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
b. Keluarga. Lingkungan keluarga merupakan salah satu agen penting untuk
mewariskan nilai-nilai gotong royong sejak dini. Maka dalam keluarga
harus dididik dan ditanamkan kepada anak akan nilai-nilai kebersamaan.
Dengan musyawarah keluarga, anak membantu orang tua, sikap saling
23

menghormati antar anggota keluarga, juga anak diajari akan arti


tanggung jawab serta menumbuhkan kepedulian sosial. Anak juga perlu
untuk diajari bagaimana berinteraksi kepada tetangga, mengingat bahwa
orang pertama yang akan dapat dimintai bantuan disaat genting ialah
tetangga terdekat. Selain itu sesama anggota keluarga wajib untuk
mengingatkan anggotanya akan kewajibannya dalam kegiatan sambatan
yang diadakan warga kampung di sekitarnya.
c. Organisasi Pemuda (Karang Taruna). Pemuda sebagai salah satu unsur
dari suatu masyarakat, dimana setiap aktivitasnya diharapkan mampu
melakukan sebuah perubahan kearah yang lebih baik. Maka organisasi
pemuda Karang Taruna harus mampu berperan secara maksimal untuk
membangun kemajuan desanya. Kegiatan sambatan dapat terwujud
dengan baik apabila adanya kerjasama masyarakat dengan Karang
Taruna. Para pemuda Karang Taruna bisa berinisiatif membuat agenda
rutin sambatan yang harus dilaksanakan dengan kerja sama warga
sekitar, juga kegiatan-kegiatan gotong royong seperti penggalangan dana,
menjenguk warga yang sakit dan sebagainya.
d. Perangkat Desa/Pemerintah. Partisipasi perangkat desa/pemerintah
sebagai pengendali sosial harus mampu mengajak warganya untuk
mengikuti sambatan. Seminar dan sosialisasi kepada warga akan
pentingnya sambatan perlu dilakukan. Atau yang lebih ekstrim lagi,
mungkin dibuat suatu aturan atau sanksi bilamana warga melanggar dan
tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini dilakukan demi menertibkan
warga agar tidak malas, membiasakan warga hidup disiplin dan untuk
kebaikan bersama. Dengan cara yang agak represif seperti ini, lama
kelamaan warga akan terbiasa hidup saling membantu, rukun, serta sadar
tentang arti penting gotong royong dalam kehidupannya. Dengan
memulai dari hal kecil, seperti mengidupkan kembali Tradisi sambatan,
kita tidak hanya sekedar melestarikan budaya leluhur, namun juga dapat
memperkuat karakter bangsa serta membawa banyak dampak positif bagi
diri sendiri, orang lain, dan untuk Indonesia.
24

BAB III
PENUTUP

Indonesia telah lama dikenal dengan local wisdom masyarakatnya, yakni


budaya gotong royong. Budaya ini digali dari kepribadian bangsa sendiri dan
diwariskan oleh para leluhur, dimana budaya ini terbentuk jauh sebelum Indonesia
merdeka. Melekat dalam jiwa manusia Indonesia, maka gotong royong telah
menjadi ciri khas dan karakter bangsa yang perlu untuk dilestarikan.
Salah satu bentuk dari gotong royong ini adalah sambatan yang sudah
menjadi tradisi sebagian besar masyarakat desa (agraris) yang ada di Nusantara.
Sambatan bukanlah sebuah tradisi bersih-bersih berjama’ah belaka, namun
dibaliknya sarat akan nilai budaya luhur yang tinggi dan edukatif. Melalui
sambatan secara tidak sadar kita digembleng untuk menjadi pribadi yang
memiliki kepedulian akan lingkungan sekitar, cinta kebersihan, dan melatih
kekompakan serta kerja sama dengan orang lain . Juga didalamnya ditanamkan
nilai kebersamaan, rasa persatuan dan kesatuan, sehingga menimbulkan rasa
saling percaya, mempererat tali silaturahmi, kecintaan bergotong royong, serta
menciptakan kehidupan yang rukun dan harmonis.
Namun, seiring berkembangnya zaman yang beralih menjadi modern
mengakibatkan perubahan sosial masyarakat Indonesia. Kini, tradisi ini sudah
mulai sulit dijumpai kembali dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang
dulunya selalu menyempatkan waktu untuk melakukan sambatan dan berkumpul
bersama sekarang menjadi individualis dikarenakan tuntutan pekerjaan dan
kegiatan yang padat. Perilaku generasi muda telah terhegemoni oleh budaya barat
yang bebas, menurunkan rasa kepedulian sosial sehingga cenderung
mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan bersama. Hal ini telah
mengikis perlahan budaya gotong-royong dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Modernisasi yang telah terjadi dalam kehidupan manusia, telah membawa
dampak tersendiri pada budaya sambatan. Yang pertama adalah Meningkatnya
kepercayaan masyarakat terhadap tenaga ahli. Yang kedua adalah intensitas
25

kegiatan sambatan kian menurun, sebab penggunaan tenaga ahli kian diminati
masyarakat sehingga kadang kala tenaga sambatan dihadirkan untuk membantu
pekerjaan tukang. Maka dari itu, perlu dilakukan revitalisasi sikap bergotong
royong melalui penegakan kembali tradisi sambatan secara berkesinambungan.
Hal itu dapat diwujudkan melalui kesadaran diri sendiri akan pentingnya peran
dan tanggung jawab sosial, menanamkan dan mendidik anak perilaku gotong
royong sejak dini, melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya
gotong royong, mengajak orang lain untuk meluangkan waktu dengan mengikuti
sambatan, dibantu dengan peran pemuda sebagai penggerak, perangkat
desa/pemerintah sebagai pengawas dan pengendali sosial, tak lupa juga dukungan
serta kontribusi seluruh masyarakat untuk berpartisipasi aktif dengan sukarela.
26

DAFTAR PUSTAKA

Jusuf. 2010. Sambatan. http://jusufpsikologi.com./2010/12/sambatan. Diakses


pada 20 April 2016.
Kartodirdjo, Sartono. 1994. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Koentjaraningrat. 2004. Masyarakat Desa Indonesia. Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
___. 2005. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Marzali, Amri. 2009. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Rimba. 2012. Sambatan, Tradisi Gotong Royong.
http://rimba_palangka.com/2012/04/sambatan-tradisi-gotong-royong.html.
Diakses pada 20 April 2016.
Robjanuar. 2009. Sambatan. http://sosbud.kompasiana.com/2009/09/23/sambatan-
12051.html. Diakses pada 20 April 2016.
Rochmadi. 2012. Menjadikan Nilai Budaya Gotong Royong sebagai Common
Identity dalam Kehidupan Bertetangga Negara-Negara ASEAN. Malang:
Repository Perpustakaan Universitas Negeri Malang.
Subagyo. 2012. Pengembangan Nilai dan Tradisi Gotong Royong dalam Bingkai
Konversi Nilai Budaya. Indonesian Journal of Conservation. Vol. 1. No. 1.
hal. 2252-2263.

Anda mungkin juga menyukai