Anda di halaman 1dari 12

MEMAKNAI HAKIKAT KEMERDEKAAN

(REFLEKSI 74 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA)

Syaikh Musthafa bin Muhammad Salim al-Ghalayini. Ia adalah seorang


sastrawan Arab, penyair, orator, gramer (pakar tata bahasa), politikus, dan juga
jurnalis (wartawan). Ia dilahirkan pada tahun 1303 H/1886 M di kota Beirut, dan
wafat pada tahun 1364 H/1945 M. Musthafa Al-Ghalayini, salah satu ulama modern
yang berpandangan luas dan berkaliber asal Beirut, Libanon.
Al-Ghalayini dalam bukunya yang berjudul Izhatun Nasyi’in mengatakan
bahwa

ِ ُ‫ ِم ْن َها ُح ِريَّةُ ْال ْف ْر ِد َو ُح ِريَّةُ ْال َج َما َع ِة َو ْال ُح ِريَّة‬: ‫عا‬


َ ِ‫اإل ْقت‬
‫صا ِديَّ ِة‬ ً ‫ا َِّن ِل ْل ُح ِر َي ِة ا َ ْن َوا‬
‫اإلربَعِ (عظة الناشئين‬ ْ ‫ت‬ ِ ‫ب قَائِ َمةٌ اِالَّ ِب َه ِذ ِه ْال ُح ِريَّا‬ ُ ‫س ِة َوالَ تَقُ ْو ُم ِل‬
ٍ ‫ش ْع‬ َ ‫السيَا‬ ِ ُ‫َو ْال ُح ِريَّة‬
)90 :‫ص‬

“Sesungguhnya kemerdekaan itu ada empat macam, di antaranya hurriyah fardi,


hurriyah jama’ah, hurriyah iqtishodiyah dan hurriyah siyasiyah. Dan menurutnya
seseorang atau umat itu tidak bisa disebut merdeka jika belum mempunyai empat
kemerdekaan itu.”(Musthafa al-Ghalayini. Izhatun Nasyi’in, hal: 90)
Pertama, Hurriyah fardi atau hurriyah sakhsiyah adalah kemerdekaan
individu dan merupakan kemerdekaan utama. Dengan kemerdekaan ini setiap
individu bisa mendapatkan haknya, termasuk hak untuk berserikat. Hurriyah
fardi mencakup kebebasan bertindak, berpendapat, memilih keyakinan,
mendapatkan pendidikan, berorganisasi dan sebagainya. Walaupun bebas, dalam
mempergunakan kemerdekaan ini individu harus mempertimbangkan
kemerdekaan orang lain.
Kedua, Hurriyah jama’ah atau kemerdekaan bermsyarakat adalah
kemerdekaan yang didapat dari hurriyah fardi. Kemerdekaan jama’ah meliputi
kebebasan untuk berserikat, berorganisasi dan berkegiatan disana. Dengan syarat
tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di negara tersebut.
Ketiga, Hurriyah iqtishadiyah (kemerdekaan ekonomi) berarti kebebasan
umat dalam berusaha dan mencari rizki, misalnya kebebasan dalam bidang
perdagangan, pertanian, pabrik, perusahaan pertambangan dan sebagainya.
Umat yang tidak bisa merdeka dalam bidang ini akan menjadi budak bangsa lain,
bagaikan tawanan yang dikekang selamanya oleh musuh, ditawan. Sewaktu-
waktu musuh bisa membuat hancur perekonomian serta negaranya sekaligus.
Al-Ghalayini mengatakan bahwa di beberapa abad terakahir, bangsa-
bangsa timur banyak tergantung pada bangsa barat, terutama masalah teknologi.
Banyak negeri yang kaya raya menjadi tidak berdaya. Mereka dianugrahi kaya
namun tak bisa menikmatinya gara-gara belum bisa memanfaatkannya, tidak
punya banyak sarjana. Lalu, datanglah orang-orang asing yang datang ke negeri
itu untuk mengadakan perjanjian dan kontrak (mereka punya teknologi, bangsa
timur punya kekayaan bumi). Dengan perjanjian itu mereka mereka mengangkut
dan memanfaatkan sebanyak mungkin kekayaan negeri itu. Ekonomi bangsa itu
lalu menjadi tergantung, dengan kata lain tertawan. Jalan satu-satunya, menurut
al-Ghalayini adalah menyelenggarakan pendidikan sebaik mungkin agar kita tidak
tertawan dan tergantung terus pada bangsa lain.
Keempat, kemerdekaan siyasyi, maksudnya setiap umat atau bangsa itu
bebas dan merdeka untuk menentukan hal-hal yang bersangkut paut dengan
politik negaranya. Tidak terikat dan bergantung kepada bangsa lain sekaligus
tidak boleh dicampuri oleh kehendak bangsa lain. Bebas membuat segala macam
peraturan sesuai kehendak dan kondisi tanah air. Dengan adanya kedaulatan
dalam hal politik ini, setiap bangsa bisa memajukan semua hal, termasuk
pekerjaan, pertanian, perekonomian dan hal-hal lain yang menjadi hak bangsa
tersebut. Tapi kemerdekan dalam hal politik ini tidak akan tercapai jika ketiga
kemerdekaan diatas tadi belum dicapai, terutama kemerdekaan ekonomi. Oleh
karena itu wajib bagi semua komponen bngsa untuk berusaha sekuat tenaga
menggapainya dengan segala daya upaya. Penting sekali menanamkan kesadaran
kemerdekaan itu ke semua orang orang yang bernaung di negara itu. Tanpa
kesadaran itu lama-kelamaan bangsa itu akan roboh dan hancur. (Musthafa al-
Ghalayini. Idhatun Nasyi’in, hal: 93-94).

Kondisi Indonesia

Melihat keterangan al-Ghalayani tentang macam-macam kemerdekaan,


kita akan segera tahu bahwa kita, bangsa Indonesia, bisa dikatakan belum
merdeka. Kemerdekaan yang paling utama yaitu kemerdekaan dalam bidang
ekonomi dan politik.
Ekonomi dan politik kita telah disetir oleh bangsa penjajah. Hal itu bisa
dibuktikan dari lemahnya bargaining kita terhadap semua hal. Kita terlalu banyak
bergantung kepada asing.
Minyak-minyak kita banyak diangkut ke luar negeri. Emas, timah, batubara
dan kekayaan negeri lain diekploitasi sebesar-besarnya untuk kalangan asing.
Undang-Undang privatisasi di semua bidang pun tak bisa lepas dari pengaruh
asing.
Kita masih ingat betapa Indonesia dirugikan ribuan triliun akibat keluarnya
Perpres 7/2007 yang memberi peluang kepada kepemilikan asing atas beberapa
sektor di Indonesia. Kepemilikan asing itu dapat mencapai 99 persen, lahan
pertanian di atas 25 hektare dapat dimiliki asing hingga 99 persen, nuklir hingga
95 persen, pendidikan pun hingga 49 persen mulai dari SD sampai PT.
Perekonomian kita semakin hari semakin rapuh, degradasi terjadi di
berbagai bidang, di antaranya rakyat semakin miskin, angka pengangguran tinggi,
harga-harga (sembako) melambung, kekayaan alam semakin tereksploitasi,
sementara penegakan hukum masih tebang pilih. Keterpurukan ekonomi semakin
parah, serbuan produk asing membanjiri pasar dalam negeri. Kondisi seperti itu
menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat sehingga acapkali menimbulkan
konflik horizontal. Adalah hal yang mustahil suatu bangsa dapat bangkit dari
keterpurukannya kalau bangsa itu tidak dapat mandiri dan tidak berdaulat.
Oleh karena itu, maka menurut al-Ghalyini berpesan kepada kaum muda
utamnya untuk selalu belajar tentang arti kemerdekaan yang hakiki. Kemudian
berusaha dengan sekut tenaga untuk mengupayakan semua kemerdekaan yang
telah disebutkan di atas dan untuk melepaskan bangsa dan negara dari segala
bentuk penjajahan. Jangan lupa pula untuk selalu mengingat kata-kata yang
penuh hikmah: Setiap umat itu punya ajal dan ajal setiap bangsa jika
kemerdekaannya sudah terampas. (Musthafa al-Ghalayini. Idhatun Nasyi’in, hal:
94)

Dalil-dalil Cinta Tanah Air dari Al-Qur’an dan Hadits

Nasionalisme berasal dari kata nation (B. Inggris) yang berarti bangsa.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata bangsa memiliki beberapa arti: (1)
kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya
serta berperintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang atau tumbuh-
tumbuhan yang mempunyai asal usul yang sama dan sifat khas yang sama atau
bersamaan, dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan
bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan biasanya menempati wilayah
tertentu di muka bumi (Lukman Ali. Dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, 1994, hal. 98).
Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki
dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan
kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual
bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas,
integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa. Nasionalisme dalam arti sempit
dapat diartikan sebagai cinta tanah air. Selanjutnya, dalam tulisan ini yang
dimaksud dengan nasionalisme yaitu nasionalisme dalam arti sempit.
Al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat mendefinisikan tanah air dengan al-
wathan al-ashli.

‫الر ُج ِل َو ْالبَلَد ُ الَّذِي ُه َو فِي ِه‬


َّ ُ ‫ي ُه َو َم ْو ِلد‬ َ ‫ا َ ْل َو‬
ْ َ ‫ط ُن ْاْل‬
ُّ ‫ص ِل‬
Artinya; al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia
tinggal di dalamnya. (Ali Al-Jurjani, al-Ta’rifat, Beirut, Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H,
halaman 327)

Dalil-dalil Cinta Tanah Air

Mencintai tanah air adalah hal yang sifatnya alami pada diri manusia.
Karena sifatnya yang alamiah melekat pada diri manusia, maka hal tersebut tidak
dilarang oleh agama Islam, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran/nilai-nilai
Islam.
Meskipun cinta tanah air bersifat alamiah, bukan berarti Islam tidak
mengaturnya. Islam sebagai agama yang sempurna bagi kehidupan manusia
mengatur fitrah manusia dalam mencintai tanah airnya, agar menjadi manusia
yang dapat berperan secara maksimal dalam membangun kehidupan berbangsa
dan bernegara, serta memiliki keseimbangan hidup di dunia dan akhirat.
Berkenaan dengan vonis bahwa cinta tanah air tidak ada dalilnya, maka
guna menjawab vonis tersebut, perlu kiranya kita mencermati paparan ini. Berikut
adalah dalil-dalil tentang bolehnya cinta tanah air:
1. Dalil Cinta Tanah Air Dari Al-Qur’an

Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil cinta tanah air menurut
penuturan para ahli tafsir adalah Qur’an surat Al-Qashash ayat 85:

‫علَي َْك ْالقُ ْرآنَ لَ َراد َُّك إِلَى َمعَا ٍد‬ َ ‫إِ َّن الَّذِي فَ َر‬
َ ‫ض‬
Artinya: “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-
hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.”
(QS. Al Qashash: 85)

Para mufassir dalam menafsirkan kata "‫ "معاد‬terbagi menjadi beberapa


pendapat. Ada yang menafsirkan kata "‫ "معاد‬dengan Makkah, akhirat, kematian,
dan hari kiamat. Namun menurut Imam Fakhr Al-Din Al-Razi dalam tafsirnya
Mafatih Al-Ghaib, mengatakan bahwa pendapat yang lebih mendekati yaitu
pendapat yang menafsirkan dengan Makkah.
Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi (wafat 1127 H) dalam
tafsirnya Ruhul Bayan mengatakan:

‫ صلى هللا‬- ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ و َكانَ َر‬،‫اإليمان‬


ِ َ‫ط ِن ِمن‬ َ ‫الو‬َ َّ‫أن حُب‬ َّ ‫َارة ٌ إلَى‬ ِ َ ‫وفي ت‬
َ ‫فسير اآلي ِة إش‬
ُ ‫ قَا َل‬....... ُ‫سؤْ لَه‬
‫ع َم ُر‬ ُ ‫ فَ َحقَّقَ هللاُ سبحانه‬، َ‫طن‬ َ ‫الو‬
َ َ‫طن‬ َ ‫ ا َ ْل َو‬:‫يرا‬
ً ‫ َيقُو ُل َك ِث‬- ‫عليه وسلم‬
ُ َ‫ت الب ُْلد‬
.‫ان‬ ْ ‫ع ِم َر‬
ُ ‫ان‬ َ ‫ب اْل َ ْو‬
ِ ‫ط‬ ِ ‫وء فَ ِب ُح‬
ِ ‫س‬ ُّ ‫ب َبلَد ُ ال‬َ ‫ط ِن لَخ َُر‬َ ‫الو‬ َ ُّ‫رضى هللا عنه لَ ْوالَ حُب‬
Artinya: “Di dalam tafsirnya ayat (QS. Al-Qashash:85) terdapat suatu petunjuk atau
isyarat bahwa “cinta tanah air sebagian dari iman”. Rasulullah SAW (dalam
perjalanan hijrahnya menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata; “tanah air,
tanah air”, kemudian Allah SWT mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke
Makkah)….. Sahabat Umar RA berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya
akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah air lah, dibangunlah
negeri-negeri”. (Ismail Haqqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, Beirut, Dar Al-Fikr, Juz 6, hal.
441-442)

Selanjutnya, ayat yang menjadi dalil cinta tanah air menurut ulama yaitu Al-
Qur'an surat An-Nisa’ ayat 66.
‫ار ُك ْم َما فَ َعلُ ْوه ِإ َّال قلي ٌل منهم‬ ُ ‫سكم أ َ ِو‬
ِ ‫أخر ُجوا ِمن ِد َي‬ َ ُ‫علَ ْي ِهم أ َ ِن ا ْقتُلُ ْوا أ َ ْنف‬
َ ‫َولَ ْو أَنَّا َكتَ ْبنَا‬
Artinya: “Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka
(orang-orang munafik): ‘Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman
kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari
mereka..." (QS. An-Nisa': 66).

Syekh Wahbah Al-Zuhaily dalam tafsirnya al-Munir fil Aqidah wal Syari’ah
wal Manhaj menyebutkan:

‫ َو َجعَلَه‬،‫اس بِ ِه‬ ِ ُّ‫ط ِن وتَعَل‬


ِ َّ‫ق الن‬ َ ‫الو‬
َ ‫ب‬ َ ِ‫ار ُك ْم) إِ ْي َما ٌء إ‬
ِ ‫لى ُح‬ ْ ‫ (أ َ ِو‬:‫وفي قوله‬
ِ َ‫اخ ُر ُج ْوا ِم ْن ِدي‬
. ‫ان‬
ِ ‫ط‬َ ‫اْلو‬
ْ َ‫صعُ ْو َب ِة ال ِه ْج َر ِة ِمن‬ ُ ‫ َو‬،‫قَ ِريْنَ قَتْ ِل النَّ ْف ِس‬
Artinya: “Di dalam firman-Nya (‫ار ُك ْم‬ ْ ‫ ) ِو‬terdapat isyarat akan cinta tanah
ِ َ‫اخ ُر ُج ْوا ِم ْن ِدي‬
air dan ketergantungan orang dengannya, dan Allah menjadikan keluar dari
kampung halaman sebanding dengan bunuh diri, dan sulitnya hijrah dari tanah air.”
(Wahbah Al-Zuhaily, al-Munir fil Aqidah wal Syari’ah wal Manhaj, Damaskus, Dar Al-
Fikr Al-Mu’ashir, 1418 H, Juz 5, hal. 144)

Pada kitabnya yang lain, Tafsir al-Wasith, Syekh Wahbah Al-Zuhaily


mengatakan:

ِ ُ‫ص ِر ْي َحةٌ إلَى تَ َعل‬


‫ق النُفُ ْو ِس ال َبش َِريَّ ِة‬ َ ‫ِيار ُك ْم) ِإش‬
َ ٌ ‫َارة‬ ِ ‫اخ ُر ُجوا ِم ْن د‬ ْ ‫ (أ َ ِو‬:‫وفي َقو ِل ِه تَ َعالى‬
‫سبْحانَهُ َج َع َل‬ ُ َ‫ ِْل َ َّن هللا‬،‫ط ِن ُمتَ َم ِك ٌن فِي النُفُ ْو ِس َو ُمت َ َع ِلقَةٌ ِب ِه‬ َ َّ‫ َو ِإلَى أ َ َّن حُب‬،‫ِب ِبالدِها‬
َ ‫الو‬
‫ َو َال‬،‫ع ِزي ٌْز‬ َ ‫ فَ ِك َال اْل َ ْم َري ِْن‬،‫قارنًا قَتْ َل النَّ ْف ِس‬ ِ ‫ار َواْل َ ْو‬
ِ ‫طان ُمعَا ِدالً َو ُم‬ ِ َ‫ال ُخ ُر ْو َج ِمن‬
ِ َ‫الدي‬
ِ ‫َاق وال َمتَا ِع‬
‫ب‬ ِ ‫ض ْوا ِل ْل َمش‬ ُ ‫ط ِن َم ْه َما تَ َع َّر‬ َ ‫الو‬َ ‫ب‬ ِ ‫اس ِبذَ َّرةٍ ِم ْن تُرا‬ ِ َّ‫ب الن‬ُ َ‫ط أ ْغل‬ ُ ‫يُفَ ِر‬
.‫ت‬ ِ ‫ضايَقا‬ َ ‫وال ُم‬
Artinya: Di dalam firman Allah “keluarlah dari kampung halaman kamu” terdapat
isyarat yang jelas akan ketergantungan hati manusia dengan negaranya, dan
(isyarat) bahwa cinta tanah air adalah hal yang melekat di hati dan berhubungan
dengannya. Karena Allah SWT menjadikan keluar dari kampung halaman dan tanah
air, setara dan sebanding dengan bunuh diri. Kedua hal tersebut sama beratnya.
Kebanyakan orang tidak akan membiarkan sedikitpun tanah dari negaranya
manakala mereka dihadapkan pada penderitaan, ancaman, dan gangguan.”
(Wahbah Al-Zuhaily, Tafsir al-Wasith, Damaskus, Dar Al-Fikr, 1422 H, Juz 1, hal. 342)

Ayat Al-Qur’an selanjutnya yang menjadi dalil cinta tanah air, menurut ahli
tafsir kontemporer, Syekh Muhammad Mahmud Al-Hijazi yaitu pada QS. At-
Taubah ayat 122.

‫ين‬ ِ ‫َوما كانَ ْال ُمؤْ ِمنُونَ ِل َي ْن ِف ُروا َكافَّةً فَلَ ْوال نَ َف َر ِم ْن ُك ِل ِف ْرقَ ٍة ِم ْن ُه ْم طائِفَةٌ ِل َيتَفَقَّ ُهوا فِي‬
ِ ‫الد‬
َ‫َو ِليُ ْنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم ِإذا َر َجعُوا ِإلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم َي ْحذَ ُرون‬
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan
perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk
memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS.
At-Taubah: 122)

Syekh Muhammad Mahmud al-Hijazi dalam Tafsir al-Wadlih menjelaskan


ayat di atas sebagai berikut:

‫ب‬
ِ ‫عن ُوجو‬ َ ‫ب على اْل َّم ِة َجميعًا ُو ُجوبًا ال يَ ِق ُّل‬ ِ ‫العلم أ َ ْم ٌر‬
ٌ ‫واج‬ ِ ‫أن تَ َعلُّ َم‬
َّ ‫ِير اآليةُ إلى‬ ُ ‫وتُش‬
ُ‫ُناض ُل َع ْنه‬ ِ ‫طنَ َي ْحتا ُج إلى َم ْن ي‬ َ ‫الو‬
َ ‫ فَإ ِ َّن‬،‫َّس‬ ٌ ‫ب ُمقَد‬ ٌ ‫اج‬
ِ ‫ط ِن َو‬ َ ‫الو‬ َ ‫ع ِن‬ َ ُ‫الجها ِد والدِفاع‬ ِ
،‫وح ال َم ْع َن ِويَّ ِة‬
ِ ‫الر‬ ُّ َ‫ َب ْل ِإ َّن ت َ ْق ِو َية‬،‫َان‬ ْ
ِ ‫َاض ُل َع ْنهُ ِبال ُح َّج ِة َوالب ُْره‬ ِ ‫يف َو ِإلَى َم ْن يُن‬ ِ ‫س‬ َّ ‫ِبال‬
‫ َوأ َ َّن‬،‫ان‬ ِ ‫اإلي َم‬
ِ َ‫ط ِن ِمن‬ َ ‫الو‬َ َّ‫ َوخ َْلقَ ِج ْي ٍل يَ َرى أ َ َّن حُب‬،‫ب التَّض ِْحيَ ِة‬ َ ‫الو‬
ِ ‫ط ِنيَّ ِة َو ُح‬ َ ‫س‬ َ ‫وغ َْر‬
‫ (تفسير الواضح‬. ‫عا َمةُ ا ْستِ ْق َال ِل َها‬ َ َ‫ ود‬،‫َاء اْل ُ َّم ِة‬
ِ ‫اس بِن‬
ُ ‫س‬ َ َ ‫ َهذَا أ‬.‫َّس‬ ٌ ‫ب ُمقَد‬ ٌ ‫اج‬ِ ‫ع ْنهُ َو‬
َ ‫ع‬ َ ‫الدفَا‬
ِ
)30 : ‫ ص‬2 :‫ج‬
Artinya: “Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa belajar ilmu adalah suatu kewajiban
bagi umat secara keseluruhan, kewajiban yang tidak mengurangi kewajiban jihad,
dan mempertahankan tanah air juga merupakan kewajiban yang suci. Karena tanah
air membutuhkan orang yang berjuang dengan pedang (senjata), dan juga orang
yang berjuang dengan argumentasi dan dalil. Bahwasannya memperkokoh moralitas
jiwa, menanamkan nasionalisme dan gemar berkorban, mencetak generasi yang
berwawasan ‘cinta tanah air sebagian dari iman’, serta mempertahankannya (tanah
air) adalah kewajiban yang suci. Inilah pondasi bangunan umat dan pilar
kemerdekaan mereka.” (Muhammad Mahmud al-Hijazi, Tafsir al-Wadlih, Beirut, Dar
Al-Jil Al-Jadid, 1413 H, Juz 2, hal. 30)

Ayat-ayat di atas sebagaimana telah jelaskan oleh para mufassir dalam


kitab tafsirnya masing-masing merupakan dalil cinta tanah air di dalam Al-Qur’an
Al-Karim.

2. Dalil Cinta Tanah Air dari Hadits

Berikut ini adalah hadits-hadits yang menjadi dalil cinta tanah air menurut
penjelasan para ulama ahli hadits, yang dikupas tuntas secara gamblang:

‫ت ْال َم ِدينَ ِة‬


ِ ‫ظ َر إِلَى ُجد َُرا‬ َ ‫سلَّ َم َكانَ إِذَا قَد َِم ِم ْن‬
َ ‫سفَ ٍر فَ َن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ َّ ‫ع ْن أَن ٍَس أ َ َّن النَّ ِب‬َ
‫ض ِل‬ ْ َ‫علَى ف‬ ٌ
َ ‫ث دَ َاللَة‬ ْ
ِ ‫ َو ِفي ال َحدِي‬....... ‫علَى دَابَّ ٍة َح َّر َك َها ِم ْن ُح ِب َها‬ َ َ‫ض َع نَاقَتَهُ َو ِإ ْن َكان‬ َ ‫أ َ ْو‬
.‫ين ِإلَ ْي ِه‬
ِ ‫ط ِن وال َح ِن‬ َ ‫الو‬
َ ‫ب‬ ِ ‫علَى َم ْش ُرو ِعيَّة ُح‬ َ ‫ْال َمدِينَ ِة َو‬
Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Anas; bahwa Nabi SAW ketika kembali dari
bepergian, dan melihat dinding-dinding madinah beliau mempercepat laju untanya.
Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya (untuk
mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah. (HR. Bukhari, Ibnu Hibban,
dan Tirmidzi).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany (wafat 852 H) dalam kitabnya Fathul Bari
Syarh Shahih Bukhari (Beirut, Dar Al-Ma’rifah, 1379 H, Juz 3, hal. 621), menegaskan
bahwa dalam hadits tersebut terdapat dalil (petunjuk): pertama, dalil atas
keutamaan kota Madinah; kedua, dalil disyariatkannya cinta tanah air dan rindu
padanya.
Sependapat dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar, Badr Al-Din Al-Aini (wafat 855 H)
dalam kitabnya ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari menyatakan:

ِ ْ‫ط ِن َوا‬
‫لحنَّ ِة ِإلَ ْي ِه‬ َ ‫الو‬
َ ‫ب‬ َ ‫ض ِل ْال َمدِينَ ِة َو‬
ِ ‫علَى َم ْش ُرو ِعيَّ ِة ُح‬ ْ َ‫علَى ف‬
َ ‫ دَ َاللَة‬:‫َو ِفيه‬
Artinya; “Di dalamnya (hadits) terdapat dalil (petunjuk) atas keutamaan Madinah,
dan (petunjuk) atas disyari’atkannya cinta tanah air dan rindu padanya.” (Badr Al-
Din Al-Aini, Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, Beirut, Dar Ihya’i Al-Turats Al-Arabi,
Juz 10, hal. 135)

Imam Jalaluddin Al-Suyuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya Al-Tausyih Syarh


Jami Al-Shahih menyebutkan:

‫سا‬ً َ‫س ِم َع أَن‬


َ ُ‫ أَنَّه‬،ٌ ‫ أ َ ْخ َب َر ِني ُح َم ْيد‬:‫ قَا َل‬،‫ أ َ ْخ َب َرنَا ُم َح َّمد ُ ب ُْن َج ْعفَ ٍر‬،‫س ِعيد ُ ب ُْن أ َ ِبي َم ْر َي َم‬
َ ‫َحدَّثَنَا‬
‫ص َر‬َ ‫ فَأ َ ْب‬،‫س َف ٍر‬
َ ‫سلَّ َم ِإذَا قَد َِم ِم ْن‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ « َكانَ َر‬:ُ‫ َيقُول‬،ُ‫ع ْنه‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َر‬
‫ث‬ُ ‫ار‬ َّ ‫ قَا َل أَبُو َع ْب ِد‬،»‫َت دَابَّةً َح َّر َك َها‬
ِ ‫ زَ ادَ ال َح‬:ِ‫َّللا‬ ْ ‫ َوإِ ْن َكان‬،ُ‫ض َع نَاقَتَه‬ َ ‫ أ َ ْو‬،‫ت ال َمدِينَ ِة‬ِ ‫دَ َر َجا‬
‫ع ْن‬ َ ،ٍ‫ع ْن ُح َم ْيد‬ ُ
َ ،ُ‫ َحدَّثَنَا ِإ ْس َما ِعيل‬،‫ َحدَّثَنَا قُت َ ْي َبة‬.‫ َح َّر َك َها ِم ْن ُح ِب َها‬:ٍ‫ع ْن ُح َم ْيد‬ َ ،‫ع َمي ٍْر‬ ُ ‫ب ُْن‬
،‫ بفتح المهملة والراء والجيم‬:)‫ (درجات‬.‫ع َمي ٍْر‬ ُ ‫ث ب ُْن‬ ُ ‫ار‬ ِ ‫ تَابَ َعهُ ال َح‬،ِ‫ ُجد َُرات‬:‫ قَا َل‬،‫أَن ٍَس‬
‫ وحاء‬،‫ "دوحات" بسكون الواو‬:‫ وللمستملي‬،‫ وهي طرقها المرتفعة‬،"‫جمع "درجة‬
:‫(م ْن ُح ِبها) أي‬ ِ .‫ أسرع السير‬:)‫ (أوضع‬.‫ وهي الشجرة العظيمة‬،‫مهملة جمع دوحة‬
. ‫ط ِن وال َحني ِن إليه‬ َ ‫الو‬
َ ‫ب‬ ِ ‫ فِ ْي ِه َم ْش ُرو ِعيَّةُ ُح‬،‫المدين ِة‬
Artinya: “Bercerita kepadaku Sa’id ibn Abi Maryam, bercerita padaku Muhammad
bin Ja’far, ia berkata: mengkabarkan padaku Humaid, bahwasannya ia mendengan
Anas RA berkata: Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat tanjakan-
tanjakan Madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi
unta maka beliau menggerakkanya. Berkata Abu Abdillah: Harits bin Umair, dari
Humaid: beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau
pada Madinah. Bercerita kepadaku Qutaibah, bercerita padaku Ismail dari Humaid
dari Anas, ia berkata: dinding-dinding. Harits bin Umair mengikutinya.” (Jalaluddin
Al-Suyuthi, Al-Tausyih Syarh Jami Al-Shahih, Riyad, Maktabah Al-Rusyd, 1998, Juz 3,
hal. 1360)

Sependapat dengan Ibn Hajar Al-Asqalany, Imam Suyuthi di dalam


menjelaskan hadits sahabat Anas di atas, memberikan komentar: di dalamnya
(hadits tersebut) terdapat unsur disyari’atkannya cinta tanah air dan
merindukannya.
Ungkapan yang sama juga disampaikan oleh Syekh Abu Al Ula Muhammad
Abd Al-Rahman Al-Mubarakfuri (wafat 1353 H), dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi
Syarh at-Tirmidzi (Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Juz 9, hal. 283) berikut:

ِ ِ‫ط ِن َو ْال َحن‬


.‫ين إِلَ ْي ِه‬ َ ‫ب ْال َو‬ َ ‫ض ِل ْال َمدِينَ ِة َو‬
ِ ‫علَى َم ْش ُرو ِعيَّ ِة ُح‬ ِ ‫َوفِي ْال َحدِي‬
َ ٌ‫ث دَ َاللَة‬
ْ ‫علَى َف‬
Hadits berikutnya yang menjadi dalil cinta tanah air yaitu hadits riwayat Ibn Ishaq,
sebagimana disampaikan Abu Al-Qosim Syihabuddin Abdurrahman bin Ismail yang
masyhur dengan Abu Syamah (wafat 665 H) dalam kitabnya Syarhul Hadits al-
Muqtafa fi Mab’atsil Nabi al-Mushtafa berikut:

- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫سو ِل هللا‬ ُ ‫ث َو َرقَةَ أَنَّهُ قَا َل ِل َر‬ ِ ‫ " َوفِي َح ِد ْي‬:‫س َه ْي ِلي‬ ُّ ‫قَا َل ال‬
‫ فَلَ ْم يَقُ ْل‬،ْ‫ َولَتُؤْ ذَ َينَّه‬:‫ ث ُ َّم قَا َل‬،ً‫شيْئا‬
َ - ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ي‬ ُّ ‫ فَلَ ْم يَقُ ْل لَهُ النَّ ِب‬،ْ‫لَت ُ َكذَّ َبنَّه‬
‫ي ُه ْم؟ فَ ِفي‬ َّ ‫ ََأو ُم ْخ ِر ِج‬:‫ فَقَا َل‬،ْ‫ َولَت ُ ْخ َر َجنَّه‬:‫ ث ُ َّم قَا َل‬،ً‫شيْئا‬
َ - ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ي‬ ُّ ِ‫النَّب‬
.‫علَى النَّ ْف ِس‬
َ ‫ارقَ ِت ِه‬
َ َ‫ط ِن َو ِشدَّ ِة ُمف‬ َ ‫ب اْ َلو‬ ِ ‫علَى ُح‬ َ ‫َهذَا دَ ِلي ٌل‬
“Al-Suhaily berkata: Dan di dalam hadits (tentang) Waraqah, bahwasanya ia
berakata kepada Rasulullah SAW; sungguh engkau akan didustakan, Nabi tidak
berkata sedikitpun. Lalu ia berkata lagi; dan sungguh engkau akan disakiti, Nabi pun
tidak berkata apapun. Lalu ia berkata; sungguh engkau akan diusir. Kemudian Nabi
menjawab: “Apa mereka akan mengusirku?”. Al-Suhaily menyatakan di sinilah
terdapat dalil atas cinta tanah air dan beratnya memisahkannya dari hati.” (Abu
Syamah, Syarhul Hadits al-Muqtafa fi Mab’atsil Nabi al-Mushtafa, Maktabah al-Umrin
Al-Ilmiyah, 1999, hal. 163)

Abdurrahim bin Husain Al-Iraqi (wafat 806 H) di dalam kitabnya Tatsrib fi


Syarh Taqribil Asanid wa Tartibil Masanid, pada hadits yang sama, juga mengutip
pendapatnya Al-Suhaily:

. ‫علَى النَّ ْف ِس‬


َ ‫ارقَتِ ِه‬ َ ‫ب ْال َو‬
َ َ‫ط ِن َو ِشدَّةِ ُمف‬ ِ ‫علَى ُح‬
َ ‫ي فِي َهذَا دَ ِلي ٌل‬ ُّ ‫فَقَا َل ال‬
ُّ ‫س َه ْي ِل‬
Artinya: “Al-Suhaily berkata: di sinilah terdapat dalil atas cinta tanah air dan
beratnya memisahkannya dari hati.” (Abdurrahim Al-Iraqi, Tatsrib fi Syarh Taqribil
Asanid wa Tartibil Masanid, Beirut, Dar Ihya’i Al-Turats Al-Arabi, Juz 4, hal. 196)

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa cinta tanah air memiliki dalil yang
bersumber dari Qur’an dan Hadits, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama
seperti; Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalany, Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Abdurrahim
al-Iraqi, Syekh Ismail Haqqi al-Hanafi dan yang lainnya. Sehingga vonis cinta tanah
air tidak dalilnya, jelas tidak benar dan tidak berdasar.

Anda mungkin juga menyukai