Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
1.3. Tujuan.................................................................................................................. 2
BAB II KONSEP MEDIS ................................................................................................... 3
2.1 Definisi ....................................................................................................................... 3
2.2. Etiologi................................................................................................................. 5
2.3 Prognosis ................................................................................................................... 8
2.4 Manifestasi Klinis....................................................................................................... 9
2.5 Klasifikasi/Stage....................................................................................................... 10
2.6 Patofisiologi ............................................................................................................. 12
2.7 Komplikasi ............................................................................................................... 13
2.8 Penatalaksaan ......................................................................................................... 13
BAB III KONSEP KEPERAWATAN .............................................................................. 17
3.2. Diagnosa Keperawatan ..................................................................................... 20
3.3. Intervensi Keperawatan .................................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Setiap manusia normalnya memiliki organ sensori, yaitu organ

pembau, pendengaran, pengecapan, dan penglihatan. Organ-organ tersebut

tidak jarang atau bahkan rawan sekali mengalami gangguan, sehingga terjadi

gangguan sensori persepsi pada penderitanya.

Hidung adalah salah satu organ sensori yang fungsinya sebagai organ

penghidu. Jika hidung mengalami gangguan, maka akan berpengaruh pada

beberapa sistem tubuh, seperti pernapasan dan penciuman.

Gangguan penghidu sering disadari sebagai gangguan indra pengecap,

ketika makanan tak lagi terasa enak, maka saat itulah seorang individu

mengeluhkan gangguan ini. Gangguan penghidu juga dikeluhkan ketika

seseorang tak lagi mencium wangi-wangi yang memberikan kesan khusus

dalam kehidupannya. Akan tetapi, yang paling berbahaya dari gangguan

penghidu ini adalah ketika seseorang tak mampu mencium adanya zat-zat

berbahaya di lingkungan.

Lalu jika terjadi gangguan penciuman bagaimanakah langkah

pemeriksaannya? Untuk menegakkan diagnosis gangguan penghidu in

diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Timbulnya gejala penting untuk menentukan etiologi gangguan penghidu.

Namun terkadang penderita tidak mengingat dengan pasti kapan dan

1
bagaimana sifat dari gangguan penghidu yang dialami, karena gangguan indra

peerasa yang terjadi justru lebih banyak dikeluhkan.

Pemeriksaan fisik secara langsung diperlukan untuk menilai adanya

kelainan bentuk yang menyebabkan adanya sumbatan hantaran (transport),

apabila ditemukan radang atau adanya ingus kehijauan dan kelainan bentuk,

maka pengobatan untuk mengatasi penyebab gangguan hantaran inilah yang

akan di atasi terlebih dahulu, hanya 1 % populasi yang mengalami individu

dengan usia diatas 60 tahun, gangguan penghidu terjadi karena degenerasi sel

saraf (baik penghidu hingga korteks).

Beberapa pemeriksaan seperti CT scan/ Mri, bipsy, laboratorium

mungkin diperlukan untk menegakkan diagnosis. Pengobatan yang dilakukan

bergantung pada penyebab dari gangguan penghidu itu sendiri, angka

keberhasilan bergantung pada penyebab dan keparahan gangguan yang terjadi.

1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep medis dari gangguan penghidu?

2. Bagaimana konsep keperawatan dari gangguan penghidu?

1.3.Tujuan

2
BAB II
KONSEP MEDIS

2.1 Definisi
Salah satu fungsi fisiologis hidung adalah fungsi penghidu, karena

terdapatnya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservior udara untuk

menanmpung stimulus penghidu (soetjipto,2007 dan wardani 2007).

Stimulus ada system olfaktori adalah bau atau biasa disebut juga

aroma. Aroma terdiri dari zat volatil (zat-zat yang mudah menjadi uap atau

menguap) yang memiliki berat molekul sekitar 15g sampai 300g.

Sistem olfaktori sama seperti sistem panca indera ilainnya yang dapat

mengalami kerusakan. Beberapa kerusakan pada sistem olfaktori

diantaranya :

1. Anosmia

Anosmia adalah kerusakan pada sistem olfaktori yang

menyebabkan ketidakmampuan untuk mencium bai. Anosmia

dapat disebabkan karena adanya hambatan dalam hidung oleh

lender yang melapisi bagian dalam hidung. Hambatan ini

membuat epitel penciuman menjadi terhambat. Epitel

berfungsi untuk menangkap bau yang kemudian mengirimkan

sinyal ke otak. Penyebab adanya hambatan dalam hidung bisa

disebabkan karena penyakit atau cedera otak.

3
Anosmia juga bisa disebabkan karena faktor usia, dimana

individu dewasa pertengahan mengalami penurunan fungsi

peniuman. Untuk penyakit yang menyebabkan anosmia

beberapa diantaranya dalah sinusitis akut, rhintitis alergi, polip

hidung, huntington, parkinson.

2. Hyposmia

Hyposmia adalah kerusakan pada sistem olfaktori yang

menyebabkan penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau.

Hypposmia dapat disebabkan oleh proses patologis

disepanjang jalur olfaktori. Sama seperti anosmia, hyposmia

juga disebabkan karena beberapa penyakit seperti sinusitis

akut, rhititis, polip hidung dan lainnya. Hanya saja yang

membedakan antara anosmia dengan hyposmia adalah

hyposmia hanya menurunkan kemampuan dalam mendeteksi

bau, tetapi anosmia tidak dapat mendeteksi bau.

3. Parosmia

4. Phantosmia

Phantosmia berasal dari bahasa yunani yang berarti ilusi dan

osme yang artinya penciuman yang jika diartikan secara

menyeluruh adalah penciuman ilusi. Salah satu jenis dari

phantosmia adalah kakosmia. Phantosmia terjadi dikarenakan

bagian atas dari saluran penciuman terlalu aktif, dan bagian

4
tersebutlah yang memberi persepsi untuk suatu bau. Seseorang

phantosmia akan mencium suatu bau dengan sangat

berlebihan, dan terus menyimpan persepsi bau tersebut dalam

otaknya.

Ada beberapa penyebab dari phantosmia tersebut seperi

adanya saraf yang berfungsi menghilangkan bau dalam

otaknya sudah tidak aktif, cedera otak yang menyebabkan

sensori tertentu dalam otak dan rusak, atau orang dengan

penyakit alzheimar (halusinasi penciuman dan visual.)

2.2.Etiologi
Hiposmia dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di

sepanjang jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan

gangguan pendengaran yaitu berupa defek konduktif atau

sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan

transmisi stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek

sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih sentral.

Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama adalah

penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya

infeksi saluran nafas atas karena virus; dan trauma kepala (Huriyati,

Efy., Nelvia, Tuti. 2014)

1) Defek konduktif

a) Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan

pembauan. Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari

5
berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau

toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus

kronik menyebabkan penyakit mukosa yang progresif dan

seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski

telah dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan

secara agresif.

b) Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung

sehingga menghalangi aliran odorant ke epitel olfaktorius.

Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting

papilloma, dan keganasan.

c) Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista

dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi.

d) Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita

hiposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang

melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan dipasang

kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu

yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski

telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya

stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.

2) Defek sentral/sensorineural

a) Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan

gangguan pada transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi

6
virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi

stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.

b) Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf.

Kallman syndrome ditandai oleh anosmia akibat kegagalan

ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme

hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan

bahwa pada Kallman syndrome tidak terbentuk VNO.

c) Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM)

berpengaruh pada fungsi pembauan.

d) Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid

dapat menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila

olfaktoria yang halus dan mengakibatkananosmia.

e) Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari

obat-obatan sistemik atau inhalasi (aminoglikosida,

formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang dapat

mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan

terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.

f) Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat

mempengaruhi pembauan.

g) Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju

1% per tahun. Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini

dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik

7
pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif

di susunan saraf pusat.

Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer

disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus

Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala

pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya

fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya

nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh. Walau dahulu pernah

dianggap sebagai defek konduktif murni akibat adanya edema mukosa dan

pembentukan polip, rhinosinusitis kronik nampaknya juga menyebabkan

kerusakan neuroepitel disertai hilangnya reseptor olfaktorius yang pemanen

melalui upregulated apoptosis.

2.3 Prognosis
Prognosis hiposmia sebagian besar bergantung pada etiologinya.

Hiposmia akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma,

pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat disembuhkan. Bila

sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman semestinya

kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya

selama menderita infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna

kemampuan penciumannya; namun, sebagian kecil pasien tak pernah

sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik. Karena alasan-

alasan yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah

wanita pada dekade keempat, kelima, dan keenam kehidupannya.

8
Prognosis penyembuhannya biasanya buruk. Kemampuan dan ambang

pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya usia.

Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan hiposmia,

meskipun anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan

terhadap oksipital. Penyembuhan fungsi penciuman setelah cedera

kepala traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan penciuman

setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun

seperti rokok dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.

Penyembuhan dapat terjadi dengan penghilangan bahan penyebabnya

(Tangkelangi, Anita R., Ronaldy,E.C,.Tumbel, Steward K.Mengko,.

2016).

2.4 Manifestasi Klinis


Pasien-pasien hiposmia biasanya mengeluhkan hilangnya

kemampuan merasa meskipun ambang rasanya mungkin berada pada

kisaran normal. Pada kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya

deteksi rasa, yang sebagian besar merupakan fungsi dari penciuman

(Huriyati, Efy., Nelvia, Tuti. 2014).

Gejala pada awal penyakit tidak memiliki gambaran klinis yang

jelas, tanda-tanda pertama berkembang secara bertahap. Awalnya

pasien tidak merasakan bau dan aroma samar, selanjutnya kondisi

memburuk. Biasanya, setelah eliminasi penyakit yang mendasari,

9
pasien secara bertahap mendapatkan kembali indra penciumannya

yang normal (Huriyati, Efy., Nelvia, Tuti. 2014).

Melemahnya indera penciuman timbul berdasarkan gejala dan

penyakit lain, seperti tidak adanya dan kehilangan pernapasan hidung,

pilek, radang sinus dan sakit kepala di daerah tulang frontal (Huriyati,

Efy., Nelvia, Tuti. 2014).

Gejala hiposmia seringkali sekunder, yaitu, pelanggaran yang lebih

serius muncul kedepan (Huriyati, Efy., Nelvia, Tuti. 2014).

2.5 Klasifikasi
Gangguan fungsi penghidu dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Gangguan kuantitatif

Gangguan ini selalu disebabkan oleh kerusakan perifer nervus olfaktorius,

yang meliputi fila olfaktorius (co. Karena rhintis, trauma dengan gangguan

fila di lamina kribiform, atau efek samping dari pengobatan) atau karena

kerusakan pusat dari neuron kedua dari bulbus olfaktorius dan atau

traktusnya (olfactory groove meningioma merupakan salah satu penyebab

klasik). Gangguan kuantitatif ini di bagi menjadi tiga, yaitu :

 Anosmia

Hilangnya kemampuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi

suatu bau. Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah frontal

atau oksipital. Selain itu anosmia dapat juga terjadi setelah infeksi

10
oleh virus, tumor seperti osteoma, atau meningioma dan akibat

proses degenerasi pada orang tua.

 Hiposmia

Hilangnya sebagian kemampuan untuk mendeteksi dan

mengidentifikasi suatu bau. Dapat disebabkan oleh obstruksi

hidung, seperti pada rhintitis alergi, rhintitis vasomotor, rhintitis

atrofi, hipertrofi konka, deviasi septum, polip, tumor. Dapat juga

terjadi pada beberapa penyakit sistemis, misalnya diabtes, gagal

ginjal dan gagal hati serta pada pemakaian obat seperti

antihistamin, dekogestan, antibiotik, antimetabolite, anti

peradangan dan antitiroid.

2. Gangguan kualitatif

Gangguan ini disebabkan karena terjadinya disfungsi pada pusat, biasa

disebabkan oleh epilepsi lobus temporal. Gangguan kualitatif biasa dikenal

disomia atau parosmia.

 isomia atau parosmia

Merasakan adanya sensasi atau bau saat ada rangsang bau, tetapi

kualitas bau yang di terima tidak sesuai dengan stimulus.

Gangguan ini disebabkan terutama oleh trauma.

3. Halusinasi dan delusi penciuman

Penyebab timbulnya adalah terjadi gangguan pada lobus temporal atau

karena gangguan psikiatrik. Phantosmia merupakan gangguan penghidu

yang sering terjadi.

11
 Phantosmia

Phantosmia merupakan suatu gangguan penghidu dimana terdapat

sensasi bau walaupun tidak diberi rangsang bau, kejadian

phantosmia yang paling sering muncul yaitu kakosmia. Kakosmia

disebabkan oleh epilepsi unsinatus, lobus temporalis. Mungkin

juga terdapat pada kelainan psikologik, seperti rendah diri, atau

kelainan psikiatrik depresi dan psikiosis. Kakosmia merupakan

gangguan dimana biasanya mencium bau busuk.

2.6 Patofisiologi
Indra penciuman tergolong ke dalam sistem penginderaan kimia

(chemosensation). Proses yang kompleks dari mencium di mulai ketika

molekul–molekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang

menstimulasi sel syaraf khusus dihidung, mulut atau tenggorokan. Sel–

sel ini menyalurkan pesan ke otak, dimana bau dan rasa khusus di

identifikasi. Sel – sel olfaktori (saraf penciuman) di stimulasi oleh bau

busuk di sekitar kita. Contoh aroma dari mawar adonan pada roti. Sel–

sel saraf ini ditemukan di sebuah tambahan kecil dari jaringan terletak

diatas hidung bagian dalam, dan mereka terhubung secara langsung ke

otak penciuman (olfaktori) terjadi karena adanya molekul-molekul

yang menguap dan masuk kesaluran hidung dan mengenal olfactory

membrane.

Manusia memiliki kira–kira 10.000 sel reseptor berbentuk rambut.

Bila molekul udara masuk, maka sel–sel ini mengirimkan impuls saraf.

12
Pada mekanisme terdapat gangguan atau kerusakan dari sel–sel

olfaktorus menyebabkan reseptor dapat mengirimkan impuls menuju

susunan saraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari sarafnya

sehingga tidak dapat mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor,

ataupun terdapat kerusakan dari saraf pusat di otak sehingga tidak

dapat menterjemahkan informasi impuls yang masuk.

2.7 Komplikasi
Tidak adanya perawatan menyebabkan perkembangan kekurangan

bau - anosmia. Anosmia jauh lebih sulit diobati dan tidak sembuh total.

Hyposmia sendiri tidak menimbulkan komplikasi apapun.

Komplikasi disebabkan oleh kondisi patologis primer, seperti rinitis,

sinusitis, sinusitis, yang berubah menjadi penyakit kronis dan

menyebabkan anosmia (Tangkelangi, Anita R., Ronaldy,E.C,.Tumbel,

Steward K.Mengko,. 2016) .

2.8 Penatalaksaan
Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat

disebabkan oleh rhinitis vasomotor, rhinitis alergi atau sinusitis.

Keluhan ini dapat hilang bila penyebabnya diobati. Pada polip nasi,

tumor hidung rhinitis kronis spesifik (rhinitis atrofi, sifilis, lepra,

skleroma, tuberkulosis) terjadi hiposmia akibat dari sumbatan, yang

akan hilang bila penyakitnya diobati.

Rinitis medikamentosa akibat dari pemakaian obat tetes hidung

menyebabkan hiposmia atau anosmia yang akan sembuh bila

13
pemakaian obat-obatan penyebabnya dihentikan. Tumor n.olfaktorius

bentuknya mirip polip nasi. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaaan

histologi dan diterapi dengan pembedahan.

Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya

daya penghidu, terutamanya tidak mampu menghidu zat yang

berbentuk gas. Kelainan ini tidak dapat diobati.

Tumor intrakranial yang menekan n.olfaktorius mula-mula akan

menaikkan ambang penghidu dan mungkin akan menimbulkan masa

kelelahan penghidu yang makin lama makin memanjang. Osteomata

atau meningiomata di dasar tengkorak atau sinus paranasalis dapat

menimbulkan anosmia unilateral. Tumor lobus frontal selain

menyebabkan gangguan penghidu sering juga disertai dengan gejala

lain, yaitu gangguan penglihatan, sakit kepala dan kadang-kadang

kejang lokal.

Epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu.

Seringkali halusinasi bau yang timbul adalah bau busuk atau bau

sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi. Gejala ini tidak

menetap.

Kelainan psikologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan

merasa bau badan atau bau napas sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila

ternyata tidak ada kelainan perlu diyakinkan dan dihilangkan gangguan

psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti depresi, skizofrenia atau

demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus demikian

14
perlu dirujuk ke seorang psikiater.3,6 Kadang-kadang ada keluhan

hilangnya penghidu pada pasien hysteria atau berpura-pura

(malingering) pascaoperasi hidung atau trauma. Bila diperiksa

biasanya pasien mengatakan tidak dapat mendeteksi ammonia

(Tangkelangi, Anita R., Ronaldy,E.C,.Tumbel, Steward K.Mengko,.

2016) .

Terapi

1) Hiposmia Konduktif

Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman

hantaran akibat rinitis alergi, rinitis dan sinusitis bakterial,

polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga

hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan

kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini

seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau yaitu

pengelolaan alergi, terapi antibiotik, terapi glukokortikoid

sistemik dan topikal dan operasi untuk polip nasal, deviasi

septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.

2) Hiposmia Sensorineural

Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti

bagi kurang penciuman sensorineural. Untungnya,

penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter

menganjurkan terapi zink dan vitamin. Defisiensi zink yang

mencolok tidak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan

15
dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah

klinis kecuali di daerah-daerah geografik yang sangat

kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk

vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat

menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah

masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat.

Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara

yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.

Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya

dihilangkan; karenanya, konseling pasien sangat membantu

pada kasus-kasus ini.

16
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a. Identifikasi kebutuhan dasar yang mengalami gangguan

Kategori Subkategori Masalah Normal

Fisiologis Respirasi Do :

Ds :

Sirkulasi Do :

Ds :

Nutrisi dan Do :

Cairan
Ds :

Eliminasi Do : -

Ds :

Aktivitas dan Do :

Istirahat
Ds :

Neurosensori Do :

Ds :

17
Reproduksi dan Do :

Seksualitas
Ds :
Psikologis Nyeri dan Do :

Kenyamanan

Ds :
Integritas Ego Do :

Ds :

Perilaku Pertumbuhan Do :

dan

Perkembangan Ds :

Kebersihan Diri

Penyuluhan dan Do :

Pembelajaran

Ds :

Relasional Interaksi Sosial Do : -

Ds :

Lingkungan Keamanan dan Do : -

Proteksi

18
Ds :

b. Pemeriksaan Laboratorium

No. Tes Definisi/Nilai normal Kelainan yang ditentukan


1 Tes Sniffin Tes Sniffin Sticks adalah Skor TDI <15 dikategorikan
Sticks tes untuk menilai anesmia, 16-29
kemosensoris dari dikategorikan hiposmia dan
penghidung dengan alat >30 dikategorikan
yang berupa pena. Untuk normosmia. Tes ini
menganalisa fungsi menggambarkan tingkat dari
penghidung seseorang gangguan penghidung, tapi
digunakan skor TDI 1-48 tidak menerangkan letak
anatomi dari kelainan yang
terjadi.
2 Tes Odor Pemeriksaan dilakukan Hasil akhir ditentukan dngan
Stick dengan mengoleskan skor OSIT-J
identification odoran pada kertas parafin
test for dengan diameter 2 cm,
japanese untuk tiap odoran diberi 4
(OSIT-J) pilihan jawaban
3 Tes UPSIT Tes ini berkembang di Kandungan 10-50A odoran.
(University of America, pada tes ini Hasilnya pemeriksaan akan

19
Pennsylvania terdapat buku yang dibagi oleh 6 kategori yaitu
Smell masin-masing memiliki 10 normosmia, mikrosmia
Identification) odoran ringan,berat dan sedang,
anosmia serta hiposmia
4 Tes The Tes ini dapat mendeteksi Ambang peghidung
Connectitut ambang penghidung, didapatkan bila jawaban
Chemosensory identifikasi odoran dan betul 5 kali berturut-turut
Clinical untuk evaluasi nerfus tanpa kesalahan. Nilai
Research trigeminal. Ambang ambang dan identifikasi
Center penghidung menggunakan dikalkulasikn dan dinilai
(CCCRC) laarutan butanol 4% dan sesuai skor CCRC
diencerkan dengan aqua
steril dengan
perbandungan 1:3,
sehingga didapatkan 8
pengenceran. Tes dimulai
dari pengenceran terkecil,
dan untuk meghindari bias
asien disuru menentukan
mana yang berisi odoran
tanpa perlu
mengidentifikasinya.

3.2.Diagnosa Keperawatan
1. K

20
3.3.Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC Rasional

1.

21
Pathway

Patologik laringektomi Trauma pd hidung Toksisitas dari


(influenza, rhinitis) obat/bahan kimia
dan kelainan
kongenital pda
Sekresi mucus yang Aliran udara ke hidung Iritasi sal. Nafas atas
berlebihan hidung ↓ dan bawah
Rusak/hilangnya
Obstruksi sal. nafas Berlangsung lama struktur saraf hidung Berlangsung lama
dan terus-menerus

Perubahan sensivitas
pada bau
Hiposmia

Anosmia

Gangguan/kerusaka Kehilangan Rinore Lendir jatuh ke


n sel-sel olfaktorus kemampuan merasa tenggorokan

Kegagalan reseptor Anoreksia Obstruksi sal. nafas Mengorok,


mengirim impuls ke kesulitan tidur
saraf pusat
Intake nutrisi Dx. Bersihan Kebutuhan istirahat
Otak tdk dapat menurun Jalan Nafas Tidak tidur berkurang
menerjemahkan Efektif
informasi yg masuk Dx. Gangguan
Dx. Defisit nutrisi
pola tidur
Dx. Perubahan
22
persepsi sensori
penciuman
23

Anda mungkin juga menyukai