Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

ANOSMIA & OLFACTORY DISORDER

DISUSUN OLEH:

HARTOGU APRICO HUMISAR PANJAITAN (1061050074)

PEMBIMBING:

DR. KRISNABUDHI, SP.THT-KL

KEPANITERAAN ILMU TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA & LEHER

PERIODE 9 NOVEMBER – 13 DESEMBER 2014

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2014
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat – Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan referat mengenai
Anosmia & Olfactory Disorder.

Tujuan penulisan refarat ini kiranya dapat menambah pengetahuan dibidang Ilmu
Kedokteran mengenai Anosmia & Olfactory Disorder mulai dari definisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinik, pemeriksaan, dan penatalaksanaan

Saya menyadari bahwa refarat ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan
dapat membantu pembaca mengerti tentang Anosmia & Olfactory Disorder. Saya
mengharapkan adanya saran - saran atas penulisan refarat ini. Semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi kita di kemudian hari.

Terima kasih.

Jakarta, 13 Desember 2014

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I: PENDAHULUAN...................................................................................1

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi & fisiologi ........................................................................2

2. Definisi ............................................................................................2

3. Etiologi.................................................................................………7

4. Pemeriksaan.....................................................................................13

5. Tatalaksana ......................................................................................13

BAB III: KESIMPULAN.................................................................................. ..15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... ..16


BAB I
Pendahuluan

Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting 1,2,3. Gangguan penghidu dapat
mempengaruhi kualitas dan keselamatan hidup seseorang, sebagai contoh dalam memperingatkan dan
memberikan daya tarik terhadap suatu aroma suatu benda, aroma makanan, bahkan dapat
mempengaruhi hingga hubungan sesama manusia 3. Gangguan penghidu tidak terlalu sering terjadi di
masyarakat, namun bukan berarti bisa dianggap remeh. Penderita gangguan penghidu di amerika
serikat dilaporkan berjumlah 2 juta, dan menurut penelitian penderita gangguan penghidu yang
berusia dibawah 65 tahun mencapai 1% dan 50% terjadi pada populasi diatas 65 tahun 2 .

Kemampuan menghidu menentukan rasa makanan dan minuman serta berfungsi sebagai sistem
peringatan dini terhadap bahaya seperti makanan yang rusak, kebocoran gas, dan polutan di udara.
Kehilangan atau terganggunya kemampuan menghidu sangat mempengaruhi makanan kesukaan,
nafsu makan dan asupan makanan 2. Gangguan penghidu dapat berupa anosmia yaitu hilangnya
kemampuan penghidu, atau hiposmia yaitu berkurangnya kemampuan penghidu. Gangguan penghidu
disebabkan gangguan transpor odoran, gangguan sensoris dan gangguan pada saraf penghidu. 1.
Penyebab dari masalah ini sangat bervariasi, misalnya trauma kepala, alergi-terkait gangguan
nasal/sinus, sehingga perlu diketahui secara jelas pemicunya.

Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius (N.I), sangat erat hubungannya dengan
indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini
bekerja bersama-sama, sehingga gangguan pada salah satu indera tersebut biasanya turut mengganggu
fungsi indera yang satu lagi. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian
sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os
etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fossa kranii anterior.
Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau partikel tersebut
larut dalam lendir yang terdapat di daerah olfaktorius. Disebut hiposmia bila daya menghidu
berkurang, anosmia bila daya menghidu hilang, dan disosmia bila terjadi perubahan persepsi
penghidu. Disosmia terbagi lagi menjadi  fantosmia (persepsi adanya bau tanpa ada stimulus) dan
parosmia atau troposmia (perubahan persepsi terhadap bau dengan adanya stimulus).
BAB II

Tinjauan Pustaka

1. Anatomi dan fisiologi


Bagian dari fungsi penghidu yang terlibat adalah neuroepitel olfaktorius, bulbus olfaktorius
dan korteks olfaktorius1,2,3,4.
A. Neuroepitel olfaktorius
Neuroepitel olfaktorius terdapat di atap rongga hidung, yaitu di konka superior, septum
bagian superior, konka media bagian superior atau di dasar lempeng kribriformis. (Gambar
1). Luas area olfaktorius ini ± 5 cm2. Neuroepitel olfaktorius merupakan epitel
kolumnar berlapis semu yang berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan pigmen granul
coklat pada sitoplasma kompleks golgi.

Gambar 1. Regio neuroepitel olfaktorius1


Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang merupakan reseptor
olfaktorius. Terdapat 20-30 miliar sel reseptor. Pada ujung dari masing-masing dendrit
terdapat olfactory rod dan diujungnya terdapat silia. Silia menonjol pada permukaan
mukus. Pada neuroepitel ini terdapat sel penunjang atau sel sustentakuler. sel ini berfungsi
sebagai pembatas antara sel reseptor, mengatur komposisi ion lokal mukus dan melindungi
epitel olfaktorius dari kerusakan akibat benda asing. Mukus dihasilkan oleh kelenjar
Bowman’s yang terdapat pada bagian basal sel

Gambar 2. Membran mukus dari neuroepitel olfaktorius1


Melalui proses inhalasi udara, odoran sampai di area olfaktorius, bersatu dengan mukus
yang terdapat di neuroepitel olfaktorius dan berikatan dengan reseptor protein G yang
terdapat pada silia. Ikatan protein G dengan reseptor olfaktorius akan menyebabkan
stimuli guanine nucleotide, yang akan mengaktifkan enzim adenilat siklase untuk
menghasilkan second messenger yaitu adenosin monofosfat. Ini akan menyebabkan
masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam sel dan menghasilkan depolarisasi sel membran dan
menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus olfaktorius (gambar 2).

Gambar 3. Proses transduksi dari stimulus olfaktorius.1


B. Bulbus olfaktorius
Bulbus olfaktorius berada di dasar fossa anterior dari lobus frontal.12 Bundel akson saraf
penghidu (fila) berjalan dari rongga hidung dari lempeng kribriformis diteruskan ke bulbus
olfaktorius. Dalam masing-masing fila terdapat 50 sampai 200 akson reseptor penghidu
pada usia muda, dan jumlah akan berkurang dengan bertambahnya usia.2,10,11 Akson
dari sel reseptor yang masuk akan bersinap dengan dendrit dari neuron kedua dalam
gromerulus. Perjalanan impuls di bulbus olfaktorius (Gambar 4) 1.

Gambar 4. Proyeksi skematik neuroreseptor olfaktorius ke bulbus olfaktorius1

C. Korteks olfaktorius
Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks frontal merupakan pusat
persepsi terhadap penghidu. Pada area hipotalamus dan amigdala merupakan pusat
emosional terhadap odoran, dan area enthorinal merupakan pusat memori dari odoran
(gambar 5).

Gambar 5. Korteks olfaktorius.1


Saraf yang berperan dalam sistem penghidu adalah nervus olfaktorius (N I). Filamen saraf
mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel reseptor. Satu jenis odoran mempunyai satu
reseptor tertentu, dengan adanya nervus olfaktorius kita bisa mencium bau seperti bau
strawberi, apel, dan lain-lain.Saraf lain yang terdapat dihidung adalah saraf somatosensori
trigeminus (N V). Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan kerjanya
dipengaruhi rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja saraf trigeminus tidak sebagai
indera penghidu tapi menyebabkan seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa
terbakar, rasa dingin, rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak atau
beberapa jenis asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus trigeminus
berinteraksi secara fisiologis.
Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal (N O) dan organ vomeronasal
(VMO). Sistem saraf terminal merupakan pleksus saraf ganglion yang banyak terdapat di
mukosa sebelum melintas ke lempeng kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia
belum diketahui pasti. Organ rudimeter vomeronasal disebut juga organ Jacobson’s. Pada
manusia saraf ini tidak berfungsi dan tidak ada hubungan antara organ ini dengan otak.
Pada pengujian elektrofisiologik, tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini.

2. Definisi & etiologi


Masalah penghidu termasuk kehilangan sensitivitas bau dan perubahan kualitatifnya disebut
sebagai dysosmia. Hilangnya sensitivitas bau biasanya digambarkan sebagai penurunan
sensitivitas mendeteksi bau atau kualitas membedakan bau. Gangguan penghidu baik dalam
mendeteksi bau (yang mengakibatkan intensitas bau terasa lemah) atau membedakan bau akan
berdampak negatif terhadap kemampuan untuk mengenali dan mengidentifikasi aroma.
Kehilangan sensitivitas dapat diukur dari segi berkurangnya sensitivitas bau, disebut
Hiposmia, atau kehilangan bau total, yang disebut anosmia. Dysosmia mencakup parosmia
(juga disebut troposmia) yang merupakan distorsi bau kualitatif, dan fantosmia (juga disebut
cacosmia) yang merupakan sensasi bau tanpa adanya suatu rangsang bau eksternal. Dari
sebuah studi yang terbaru dari pasien dengan keluhan utama parosmia, penulis melaporkan
bahwa sensasi parosmia dalam semua kasus terasa tidak menyenangkan, dan biasanya
digambarkan sebagai bau busuk, limbah ataupun bau terbakar 3. Murphy et al. telah
mencantumkan lebih dari 200 etiologi untuk gangguan penghidu 3. Mekanisme yang mendasari
gangguan ini dapat diklasifikasikan sebagai konduktif (misalnya poliposis), sensorineural atau
gangguan pada sistem saraf pusat penghidu (misalnya tumor). Studi prevalensi gangguan
penghidu dalam kasus beruntun di klinik penghidu di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang
diringkas dalam Tabel 1 untuk etiologi yang paling umum: pasca-URI (18-45% dari populasi
klinis) diikuti oleh hidung / penyakit sinus (7-56%), trauma kepala (8-20%), racun / obat (2-
6%) dan kehilangan kongenital (0-4%). Varians besar dalam prevalensi antara studi cenderung
disebabkan kriteria yang berbeda untuk disertakan pasien. Sebuah studi baru dari 1000 pasien
secara berurutan tidak menunjukkan lebih lanjut bahwa prevalensi etiologi bervariasi dengan
usia dan jenis kelamin3.

Disfungsi penghidu berasal dari banyak penyebab. Hampir 2/3 dari kasus anosmia kronis
dan Hiposmia yang hadir ke klinik cenderung karena infeksi terlebih dahulu dari saluran
pernapasan atas, trauma kepala, hidung dan sinus paranasal . Dan yang paling bisa diharapkan
untuk mencerminkan kerusakan yang signifikan pada neuroepithelium penghidu.

a. Pasca Infeksi Saluran Pernapasan Atas


Penyebab yang paling sering dari hilangnya kemampuan penghidu pada orang dewasa
adalah infeksi saluran pernapasan atas (URI). Pasien biasanya mengeluh kehilangan bau
setelah infeksi saluran napas atas. URI sering digambarkan lebih parah dari biasanya.
Hilangnya kemampuan penghidu yang paling sering secara parsial. Kadang-kadang pasien
mungkin hadir dengan dysosmia atau fantosmia, namun gejala ini biasanya mereda seiring
waktu. Pemeriksaan fisik biasanya biasa-biasa saja pada pasien ini. Mekanisme tepat
tentang apa yang menjadi predisposisi seseorang untuk mengalami hilangnya bau yang
diinduksi viral atau bakterial atau mekanisme yang mendasari hal itu tetap tidak jelas.
Perusakkan langsung ke neuroepithelium penghidu diduga menjadi dasar utama dari
masalah. Virus dapat menyebabkan edema dan hiperemia dari membran hidung, nekrosis
silia, dan kehancuran seluler. Dan mereka dapat menghasilkan berbagai tingkat kerusakan.
Studi biopsi epitel penciuman dari pasien dengan anosmia pasca-URI menunjukkan,
infeksi saluran napas atas sangat mengurangi jumlah reseptor penghidu. Reseptor-reseptor
yang hadir biasanya memiliki dendrit yang tidak mencapai permukaan epitel. Dendrit
sesekali yang hadir di permukaan bebas biasanya tidak memiliki silia sensoris.
Penggantian epitel sensorik dengan epitel pernapasan juga umum ditemukan. Pada pasien
dengan Hiposmia setelah URI, studi biopsi menunjukkan sangat mengurangi jumlah
reseptor penciuman sedangkan sisanya dari struktur epitel tampak normal. Kerusakan
langsung dapat diikuti oleh resolusi infeksi dan regenerasi. Anosmia terjadi ketika ada
kurangnya regenerasi sekunder untuk kerusakan parah epitel. Jika ada kerusakan merata,
pasien mungkin memiliki Hiposmia. Jika regenerasi neuron reseptor dan lampiran tengah
mereka "keliru" untuk mencapai lokasi yang abnormal di otak, pasien mungkin mengalami
dysosmia. Selain kerusakan langsung, banyak virus dapat menyerang SSP melalui
neuroepithelium penghidu menyebabkan disfungsi berikutnya1,2.
b. Cedera kepala
Laporan yang diterbitkan pertama kali tentang anosmia pasca-trauma di London
Hospital pada tahun 1864, menunjukkan insiden 4-7% dari anosmia setelah cedera kepala.
Penelitian yang lebih baru menunjukkan insiden yang lebih tinggi dari anosmia, mencapai
60% cedera kepala berat. Hal ini mungkin disebabkan karena 1) peningkatan kesadaran
disfungsi penghidu trauma kepala, 2) penggunaan tes standar untuk pengukuran fungsi
penghidu, atau 3) bias seleksi diperkenalkan ketika mempelajari pasien yang hadir untuk
mendeteksi bau dan rasa pusat untuk evaluasi dan pengobatan dari disfungsi penghidu
mereka. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kemungkinan anosmia dikaitkan
dengan tingkat keparahan cedera. Heywood et al. (1990) disesuaikan skala koma Glasgow
(GCS) dengan penghidu nilai tes pasien dan menemukan korelasi antara tingkat keparahan
cedera dan jumlah disfungsi penciuman. Cedera ringan (GCS 13-15), 13% dari pasien
yang benar-benar anosmic dan 27% menunjukkan penurunan fungsi penciuman. Cedera
moderat (GCS 9-12), 11% dari pasien yang anosmic dan 67% dengan gangguan penghidu.
Dalam cedera parah (GCS 3-8), 25% dari pasien ditemukan anosmic dan 67% memiliki
beberapa derajat gangguan. Parosmia juga telah dilaporkan pada 25-33% pasien dengan
trauma kepala. Disfungsi penciuman pasca trauma dapat disebabkan oleh beberapa
mekanisme: 1) perubahan saluran sinonasal, 2) cedera geseran dari filamen saraf
olfaktorius , atau 3) memar otak dan pendarahan di dalam daerah otak yang berhubungan
dengan penciuman. Meskipun disfungsi penciuman yang disebabkan oleh perubahan
saluran sinonasal tidak umum, penting untuk mengenalinya. Setelah trauma kepala, pasien
mungkin memiliki hematoma mukosa, edema, atau avulsi dalam celah olfaktori dengan
cedera langsung ke neuroepithelium olfaktori. Juga jaringan parut dengan formasi
synechia, kerangka fraktur hidung atau pasca trauma rinosinusitis dapat selanjutnya
mengubah aliran udara yang mencegah aroma mencapai epitel berhubungan dengan
penghidu. Disfungsi olfaktori konduktif ini berpotensi bisa diobati. Seringkali,
pengurangan edema mukosa, perbaikan patah tulang hidung dengan relief obstruksi jalan
napas, atau pengobatan sinusitis dapat meningkatkan penciuman. Akson sel reseptor
olfaktori seringkali sangat mudah rusak dan melewati foramen kecil berkisi di dasar
tengkorak dan sinaps secara langsung di olfactory bulb. Setiap robekan atau geseran dari
akson selama trauma dapat mengakibatkan disfungsi olfaktori. Ini dapat terjadi pada
fraktur daerah-naso-orbito ethmoid, yang melibatkan lempeng berkisi, atau dengan
pergeseran translasional yang cepat dalam otak akibat coup atau contracoup kekuatan
yang dihasilkan oleh trauma kepala tumpul. Trauma kepala sering mengakibatkan cedera
otak traumatis dalam bentuk memar kortikal atau perdarahan intraparenchymal. Memar
dari bulbus olfaktori atau lesi kortikal di wilayah otak olfaktori berhubungan (misalnya
amygdale, wilayah lobus temporal, daerah lobus frontal) dapat menyebabkan anosmia
pasca-trauma, kebanyakan  gangguan olfaktori pasca-trauma ireversibel. Doty et al. (1997)
meneliti 66 pasien dengan disfungsi olfaktori berhubungan dengan trauma kepala jangka
waktu antara 1 bulan hingga 13 tahun. 36,6% menunjukkan perbaikan. 18% memburuk
dan 45% tidak mengalami perubahan. Hanya 3 pasien (5% dari sampel penelitian) kembali
ke fungsi olfaktori normal1,2,3.

c. Penyakit hidung dan sinus


Gangguan penciuman yang menyertai penyakit hidung atau sinus secara tradisional
dipandang sebagai masalah konduktif semata . Meskipun penyumbatan aliran udara yang
nyata tidak diragukan lagi mengubah sensitivitas olfaktori pada beberapa pasien, data
empiris menunjukkan bahwa bedah (misalnya, eksisi polip) atau medis (misalnya,
pemberian steroid topikal atau sistemik) pengobatan jarang mengembalikan ke fungsi
normal, yang menyiratkan bahwa penyumbatan saja tidak dapat sepenuhnya menjelaskan
hilangnya olfaktori. Secara umum, disfungsi olfaktori berhubungan dengan tingkat
keparahan rinosinusitis. Faktor yang menentukan mungkin keparahan perubahan
histopatologi dalam mukosa olfaktori. Doty dan Mishra (2001) telah meninjau beberapa
studi yang menyelidiki fungsi olfaktori di rhinitis dan rhinosinusitis. Secara keseluruhan,
berbagai studi yang dikaji menunjukkan bahwa tingkat kehilangan olfaktori biasanya
dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit sinus hidung, dengan kehilangan fungsi
terbesar terjadi pada pasien dengan rinosinusitis dan polip. Menggunakan tes kuantitatif
(misalnya, UPSIT), fungsi olfaktori telah menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien
yang mengikuti terapi sistemik kortikosteroid, serta pemberian topikal kortikosteroid
semprot. Namun, jarang yang kembali memiliki fungsi olfaktori normal . Kebanyakan
pasien masih memiliki fungsi olfaktori pada kisaran Hiposmia ringan. Ini berarti bahwa
beberapa kehilangan permanen kronis fungsi olfaktori ditemukan. Dan tidak ada penelitian
yang mampu mendokumentasikan pada pasien rinitis hubungan antara skor tes olfaktori
dan faktor akses intranasal napas menyimpan keseluruhan atau dekat-sumbatan total, baik
diukur dengan rinoskopi, rinomanometri, atau rhinometri akustik. Perawatan bedah untuk
penyakit sinonasal dapat berdampak pada penghidu. Sekali lagi, Doty dan Mishra
mengulas sejumlah studi yang menyelidiki efek berbagai bentuk operasi hidung pada
penghidu. Penelitian telah menunjukkan bahwa septoplasti dan rhinoplasti tidak memiliki
pengaruh merusak jangka panjang pada fungsi penghidu. Kebanyakan operasi umum
berdampak pada fungsi olfaktori yang dilakukan pada pasien dengan rinosinusitis kronis
dan / atau polip. Prosedur yang dipelajari sebagian besar termasuk konka medialisasi ,
polipektomi, unkinektomi, ethmoidektomi anterior, posterior ethmoidektomi, dan
sfenoidectomi. Kebanyakan penelitian menunjukkan peningkatan fungsi olfaktori pasca
operasi dengan skor UPSIT atau metode rating mandiri. Namun, tingkat perbaikan tidak
sempurna1,2,3.

d. Penyebab lain gangguan olfaktorius


Menghirup sejumlah bahan kimia lingkungan dan industri dapat menyebabkan
disfungsi olfaktori. Tingkat kerusakan olfaktori tampaknya terkait dengan waktu dan
panjang eksposur, konsentrasi agen, dan toksisitas agen. Paparan kronis tingkat rendah
benzena, butil asetat, formaldehid, dan pelarut cat telah sering dilaporkan dengan disfungsi
olfaktori terkait. kebanyakan  debu yang dihasilkan dalam industri juga telah dikaitkan
dengan disfungsi olfaktori, termasuk biji-bijian, silikon, kapas, kertas, semen, timah, batu
bara, kromium, dan nikel. Disfungsi penghidu juga dapat disebabkan oleh berbagai tumor
intranasal dan tumor intrakranial. Tumor intranasal termasuk inverting papiloma,
hemangioma, dan esthesioneuroblastoma. Tumor intrakranial termasuk meningioma
dalam alur olfaktori atau piring berkisi, hipofisis tumor dengan ekstensi suprasellar, dan
tumor lobus frontal. Sekitar 20% dari tumor dari lobus temporal atau lesi lilit uncinate
dikatakan untuk menghasilkan beberapa bentuk gangguan olfaktori, sebagian besar
biasanya halusinasi bau. Anosmia bawaan juga telah dilaporkan. Sebagian besar kasus
diasumsikan turun-temurun. Rentang fenotipe karena tidak dapat mendeteksi hanya satu
atau beberapa senyawa yang menyebabkan total anosmia. Dalam sebagian besar kasus
anosmia, evaluasi MRI sesuai daerah berkisi dan girus rektus mengungkapkan agenesis
atau disgenesis dari bulbus olfaktori dan saluran. Sejumlah gangguan endokrin telah
dikaitkan dengan disfungsi olfaktori. Mekanisme yang bertanggung jawab atas hilangnya
bau masih kurang dipahami. Gangguan terbukti memiliki disfungsi olfaktori termasuk
penyakit Addison, sindrom Turner, sindrom Cushing, hipotiroidisme,
pseudohipoparatiroidisme, dan sindrom Kallman itu. Sejumlah gangguan kejiwaan _
dilaporkan terkait dengan fungsi penghidu, termasuk skizofrenia dan psikosis halusinasi
kronis, gangguan afektif musiman, dan  tahap berat anoreksia nervosa1.
3. Pemeriksaan
a. Anamnesa
Anamnesis sangat diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis gangguan
penghidu. Pada anamnesis ditanyakan riwayat trauma kepala, penyakit sinonasal, dan
infeksi saluran nafas atas, riwayat penyakit sistemik, riwayat penyakit neurodegeneratif,
kebiasaan merokok, dan semua faktor yang bisa menyebabkan gangguan penghidu 4.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik THT meliputi pemeriksaan hidung dengan rinoskopi anterior,
posterior dan nasoendoskopi untuk menilai ada atau tidaknya sumbatan di hidung, seperti
inflamasi, polip, hipertrofi konka, septum deviasi, penebalan mukosa, dan massa
tumor akan mempengaruhi proses transport odoran ke area olfaktorius 3,4.
c. Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial dan evaluasi
kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor otak atau kelainan dihidung.
Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak memberikan data tentang kelainan ini.
Pemeriksaan tomografi komputer merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk
memperlihatkan adanya massa, penebalan mukosa atau adanya sumbatan pada celah
olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan
yang lebih sensitif untuk kelainan pada jaringan lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada
kecurigaan adanya tumor3.
d. Pemeriksaan kemosensoris penghidu
Pemeriksaan kemosensoris penghidu yaitu pemeriksaan dengan menggunakan odoran
tertentu untuk merangsang sistem penghidu. Ada beberapa jenis pemeriksaan ini,
diantaranya tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification), Tes The
Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC), Tes “Sniffin Sticks”, Tes
Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J).
1. Tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification).
Test ini berkembang di Amerika, pada tes ini terdapat 4 buku yang masing-masing
berisi 10 odoran. Pemeriksaan dilakukan dengan menghidu buku uji, dimana
didalamnya terkandung 10-50Å odoran. Hasilnya pemeriksaan akan dibagi menjadi 6
kategori yaitu normosmia, mikrosmia ringan, mikrosmia sedang, mikrosmia berat,
anosmia, dan malingering.
2. Tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC).
Test ini dapat mendeteksi ambang penghidu, identifikasi odoran, dan evaluasi
nervus trigeminal. Untuk ambang penghidu digunakan larutan butanol 4% dan
diencerkan dengan aqua steril dengan perbandingan 1:3, sehingga didapat 8
pengenceran pada 8 tempat yang berbeda. Tempat untuk butanol 4% diberi nomor 0,
dilanjutkan dengan pengenceran diberi sampai nomor 8. Dalam melakukan test
dimulai dari nomor 8, nomor 7 dan seterusnya sampai nomor 0. Untuk menghindari
bias pasien disuruh menentukan mana yang berisi odoran tanpa perlu
mengidentifikasikannya. Ambang penghidu didapat bila jawaban betul 5 kali berturut-
turut tanpa kesalahan. Pemeriksaan dikerjakan bergantian pada hidung kiri dan kanan,
dengan menutup hidung kiri bila memeriksa hidung kanan atau sebaliknya. Tes kedua
yaitu identifikasi penghidu, dengan menggunakan odoran kopi, coklat, vanila, bedak
talk, sabun, oregano, dan naftalin. Nilai ambang dan identifikasi dikalkulasikan dan
dinilai sesuai skor CCCRC.
3. Tes “Sniffin Sticks”.
Tes Sniffin Sticks adalah tes untuk menilai kemosensoris dari penghidu dengan alat yang
berupa pena. Tes ini dipelopori working group olfaction and gustation di Jerman dan
pertama kali diperkenalkan oleh Hummel dan kawan-kawan. Tes ini sudah digunakan
pada lebih dari 100 penelitian yang telah dipublikasikan, juga dipakai di banyak praktek
pribadi dokter di Eropa. Panjang pena sekitar 14 cm dengan diameter 1,3 cm yang berisi 4
ml odoran dalam bentuk tampon dengan pelarutnya propilen glikol. Alat pemeriksaan
terdiri dari tutup mata dan sarung tangan yang bebas dari odoran. Pengujian dilakukan
dengan membuka tutup pena selama 3 detik dan pena diletakkan 2 cm di depan hidung,
tergantung yang diuji hidung sebelah kiri atau sebelah kanan. Pemeriksaan dilakukan
dengan menutup mata subyek untuk menghindari identifikasi visual dari odoran 1,3.
4. Tatalaksana gangguan olfaktorius
Dalam kasus gangguan olfaktorius konduktif, pengobatan diarahkan pada menghilangkan
penghalang fisik. Obstruksi mungkin timbul dari beberapa penyebab, termasuk rinitis alergi,
polip, sinusitis kronis, atau rinitis. Pengobatan yang efektif untuk menurunkan olfaktori akibat
rinitis alergi termasuk manajemen alergi, kromolin topikal, kortikosteroid topikal dan sistemik,
dan prosedur bedah untuk mengurangi peradangan atau obstruksi. pemberian  singkat terapi
steroid terapi sistemik dapat digunakan untuk membedakan antara kehilangan olfaktori yang
konduktif atau sensorineural. Pasien dengan polip hidung atau sinusitis kronis biasanya hadir
dengan riwayat lama peradangan dan kongesti. Pembedahan diindikasikan untuk mengobati
pernapasan yang terhambat dan untuk meningkatkan fungsi penghidu. Pembedahan yang
mengurangi sumbatan hidung telah terbukti meningkatkan fungsi olfaktori. Pasien yang
melakukan bedah mungkin memerlukan perawatan tambahan. Pada pasien yang tetap anosmik
setelah operasi untuk hidung dan sinus polip, penelitian telah menunjukkan bahwa steroid oral
yang efektif dalam memulihkan fungsi bau pada sebagian besar pasien. Disfungsi penghidu
sekunder yang disebabkan sensorineural sulit untuk diatasi. Dan prognosis umumnya buruk.
Ada perbaikan untuk terapi seng dan vitamin, tetapi tidak ada bukti kuat bahwa terapi ini
bekerja kecuali dalam kasus-kasus di mana seng atau kekurangan vitamin
ada. 2.
BAB III

Resume

Fungsi penghidu pada manusia memiliki peran yang penting dan dapat mempengaruhi kehidupan
manusia secara kuantitatif dan kualitatif. Gangguan penghidu mungkin jarang ditemui pada populasi
umum, namun akan banyak ditemui di klinik THT. Gangguan fungsi penghidu bisa disebabkan oleh
gangguan pada tiga hal utama, yaitu: gangguan transport, gangguan sensoris, dan gangguan pada saraf
olfaktorius. Penyakit-penyakit yang paling sering menyebabkan masalah penghidu ialah, trauma
kepala penyakit sinonasal, dan infeksi saluran nafas atas.
Tingkat kesuksesan terapi dan pemulihan fungsi penghidu bervariasi pada setiap individu, hal ini
dipengaruhi oleh etiologi dan gangguan yang dialami individu tersebut. Namun, pada akhirnya
pemahaman yang lebih baik tentang patogenesis anosmia dan gangguan olfaktorius masih diperlukan.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Huryati E, Budiman BJ, Nelvia T, Gangguan Fungsi Penghidu dan Pemeriksaannya. Bagian
THT-KL FK UNAND, 2010; 134(4): 347-51
2. Matthew R, Shen J, Quinn F, Olfactory Disfunction and Disorder. Grand Round Presentation,
UTMB Dept. Of Otolaryngology. 2003: 1-8
3. Nordin S, Bramerson A, Complaints of Olfactory Disorder; Epidemiology, Assessment,
Clinical Implications. Dept. Of Otorhinolaryngology, central hospital, skovde, sweden. 2008,
8:10–15
4.  Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga – Hidung - Tenggorok – Kepala leher,
2012, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai