Anda di halaman 1dari 13

Penghidu dan pengecap merupakan aktivitas yang membutuhkan molekul kimia sebagai

rangsangannya karena sel saraf kedua pengindera tersebut merupakan kemoreseptor, yang
berbeda dengan sifat sel saraf pada penglihatan dan pendengaran.1Penghidu dan pengecap
merupakan kedua indera yang saling berkaitan, terutama dalam hal merasa makanan. Selain
itu, kedua indera tersebut juga berkaitan dengan fungsi gastrointestinal dalam mengubah
nafsu makan, sehingga disebut indera viseral. Walaupun fungsinya berkaitan,
secara anatomi dan neurologi, penghidu dan pengecapan berbeda.2

Fisiologi penghidu

Eksitasi pada sel olfaktori


Reseptor penghidu terletak pada superior nostril, yaitu pada septum superior pada struktur
yang disebut membran olfaktori. Bagian dari saraf penghidu yang berkaitan langsung dengan
odoran, molekul penghidu, yaitu silia dari sel olfaktori. Sebelum dapat menempel dengan
silia sel olfaktori, odoran tersebut harus dapat larut dalam mukus yang melapisi silia tersebut.
Odoran yang hidrofilik dapat larut dalam mukus dan berikatan dengan reseptor pada silia
tersebut, yaitu pada protein reseptor pada membran silia sel olfaktori. Pengikatan antara
reseptor dengan odoran menyebabkan aktivasi dari protein G, yang kemudian mengaktivasi
enzim adenil siklase dan mengaktifkan cAMP. Pengaktifan cAMP ini membuka kanal Na+
sehingga terjadi influks natrium dan menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius.
Depolarisasi ini kemudian menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan
ditransmisikan hingga sampai ke korteks serebri.
Pada keadaan istirahat, resting potential dari sel olfaktori yaitu sebesar -55mV. Sedangkan,
pada keadaan terdepolarisasi, membrane potential sel olfaktori yaitu sebesar -30mV. Graded
potential dari sel olfaktori menyebabkan potensial aksi pada sel mitral dan tufted yang
terdapat pada bulbus olfaktorius.3
Pada membran mukus olfaktori, terdapat ujung saraf bebas dari saraf trigeminus yang
menimbulkan sinyal nyeri. Sinyal ini dirangsang oleh odoran yang bersifat iritan, seperti
peppermint, menthol, dan klorin. Perangsangan ujung saraf bebas ini menyebabkan bersin,
lakrimasi, inhibisi pernapasan, dan refleks respons lain terhadap iritan hidung.2
Terdapat tiga syarat dari odoran tersebut supaya dapat merangsang sel olfaktori, yaitu:3
 Bersifat larut dalam udara, sehingga odoran tersebut dapat terhirup hidung
 Bersifat larut air/hidrofilik, sehingga odoran tersebut dapat larut dalam mukus dan
berinteraksi dengan silia sel olfaktorius
 Bersifat larut lemak/lipofilik, sehingga odoran tersebut dapat berikatan dengan
reseptor silia sel oflaktorius
Ambang rangsang dari sel olfaktori berbeda-beda terhadap masing-masing tipe odoran.
Beberapa odoran tersebut yaitu:
Penghidu pada manusia dapat mendeteksi berbagai jenis odoran yang berbeda, namun sulit
untuk dapat membedakan intensitas odoran yang berbeda. Untuk dapat membedakan
intensitas tersebut, perlu terdapat perbedaan konsentrasi odoran sebesar 30%. Kemampuan
penghidu untuk dapat membedakan berbagai odoran yang berbeda diperankan oleh
glomerulus yang terdapat pada bulbus olfaktorius. Terdapat sekitar 1000 dari protein reseptor
untuk odoran yang berbeda, yang masing-masing reseptor tersebut terdapat pada satu sel
olfaktori. Terdapat sekitar 2 juta sel olfaktori yang masing-masingnya berproyeksi pada dua
dari 1800 glomeruli. Hal ini menyebabkan adanya proyeksi yang berbeda-beda untuk setiap
odoran.2
Adaptasi
Sel olfaktori mengalami adaptasi yang cepat pada detik pertama, yaitu sekitar 50% adaptasi
terjadi. Sedangkan, 50% adaptasi sisanya terjadi dalam waktu yang lambat. Adaptasi ini
diperankan oleh sel-sel pada glomerulus di bulbus olfaktorius dan sistem saraf pusat. Pada
glomerulus, terdapat sel periglomerular dan sel granul. Kedua sel tersebut berperan dalam
inhibisi lateral yang dicetuskan oleh sinyal pada sel mitral dan sel tufted. Sel mitral dan sel
tufted yang teraktivasi kemudian melepaskan neurotransmiter glutamat dan menyebabkan
eksitasi sel granul. Sel granul tersebut kemudian melepaskan GABA dan menginhibisi sel
mitral dan sel tufted. Sel periglomerular dan sel granul tersebut juga berespon terhadap
feedback dari sel saraf pusat yang menginhibisi sel olfaktorius, sehingga terjadi penekanan
pada transmisi sinyal yang menuju bulbus olfaktorius. Selain itu, adaptasi ini juga diperankan
oleh aktivasi ion Ca2+ melalui kanal ion CNG (cyclic nucleotide-gated) yang mengaktivasi
kalmodulin. Ion Ca2+ ini menyebabkan adaptasi dari mekanisme transduksi dan penurunan
respons terhadap stimulus. Sedangkan, adaptasi yang diperankan oleh sistem saraf pusat
memiliki peran yang lebih besar dibandingkan adaptasi pada glomerulus.2,3,4

Jaras olfaktorius
Sinyal pada sel mitral dan sel tufted pada bulbus olfaktorius menjalar menuju traktus
olfaktorius. Traktus olfaktorius kemudian menuju area olfaktorius primer pada korteks
serebral, yaitu pada lobus temporalis bagian inferior dan medial. Aktivasi pada area ini
menyebabkan adanya kesadaran terhadap odoran tertentu yang dihirup. Selain itu, traktus
tersebut menuju dua area, yaitu area olfaktorius medial dan area olfaktorius lateral.1,3
a. Area olfaktorius medial

Area ini terdiri atas sekumpulan nukleus yang terletak pada anterior dari hipotalamus.
Nukleus pada area ini merupakan nukleus septal yang kemudian berproyeksi ke hipotalamus
dan sistem limbik. Area ini berperan dalam ekspresi respons primitif terhadap penghidu,
seperti salivasi.

b. Area olfaktorius lateral

Area ini terdiri atas korteks prepiriformis, korteks piriformis, dan nukleus amygdala bagian
korteks. Dari area ini, sinyal diteruskan ke sistem limbik dan hipokampus. Proyeksi tersebut
berperan dalam pembelajaran terhadap respon dari odoran tertentu, seperti respon mual atau
muntah terhadap odoran yang tidak disukai.

Jaras pada kedua area tersebut tidak melewati talamus, seperti jaras pada saraf sensori
lainnya. Namun, terdapat satu jaras olfaktori yang melewati talamus, yaitu nukleus talamus
dorsomedial, dan bersinaps di korteks orbitofrontal kuadran lateroposterior. Jaras ini berperan
pada analisis sadar dari odoran tertentu.3
Gangguan pada sistem penghidu
Gangguan pada sistem olfaktorius dapat bersifat konduktif atau sensorineural. Pada gangguan
konduktif, terjadi kelainan pada transmisi stimulus odoran menuju reseptor pada silia sel
olfaktorius. Sedangkan, pada gangguan sensorineural, terjadi kelainan pada jaras saraf yang
menghantarkan impuls odoran menuju sistem saraf pusat. Beberapa etiologi dari gangguan
tersebut yaitu:5
 Gangguan penghidu konduktif dapat disebabkan oleh:
1. Inflamasi, seperti pada rinitis, alergi, rinosinusitis
2. Adanya massa yang memblok ruang nasal, seperti polip hidung, papiloma, dan
keganasan
3. Kelainan kongenital, seperti kista dermoid, ensefalokel
4. Riwayat laringektomi atau trakeoktomi, yang menyebabkan penurunan dari aliran
udara yang menuju hidung dan melewati membran olfaktorius.
 Gangguan penghidu sensorineural dapat disebabkan oleh:
1. Adanya inflamasi pada saraf olfaktorius, seperti infeksi virus yang merusak sel
olfaktori, sarkoidosis, granulomatosis Wegener, dan multiple sclerosis
2. Kelainan kongenital yang menyebabkan tidak terbentuknya jaras saraf tertentu
3. Gangguan endokrin
4. Trauma kepala
5. Obat-obatan yang mempengaruhi saraf olfaktori, seperti alkohol, nikotin, dan garam
Zinc
6. Usia tua, yang menyebabkan penurunan jumlah sel mitral pada bulbus olfaktorius
7. Penyakit degeneratif pada sistem saraf pusat, seperti penyakit Parkinson, penyakit
Alzheimer, dan lain-lain
Beberapa gangguan dari sistem penghidu dapat berupa:

Anosmia6
Anosmia merupakan hilangnya kemampuan untuk menghidu, dan dapat bersifat parsial atau
total. Hal ini dapat disebabkan oleh kongesti nasal atau terhambatnya hidung dalam
membaui, sehingga udara yang berisi odoran tidak dapat larut dalam membran mukus dan
berikatan dengan reseptor pada silia sel olfaktorius. Beberapa penyebab dari anosmia yaitu:

 Alergi
 Penyakit flu
 Polip nasal
 Deformitas septum nasal
 Tumor nasal
 Penyakit Alzheimer
 Kelainan sistem endokrin
 Gangguan saraf
 Gangguan nutrisi
 Obat-obatan
 Penggunaan dekongestan nasal yang terlalu sering
Terganggunya kemampuan menghidu ini berperan besar dalam interpretasi merasakan rasa
makanan. Sebenarnya, kemampuan lidah dalam mengecap tidak berkurang. Namun,
penghidu berperan besar dalam menentukan enak atau tidaknya makanan sehingga penurunan
fungsi penghidu menyebabkan kenikmatan terhadap makanan berkurang.

Hiposmia7
Hiposmia merupakan penurunan sensitivitas menghidu. Biasanya, hiposmia merupakan tanda
awal dari penyakit Parkinson.

Disosmia8
Disosmia merupakan kesalahan persepsi dari odoran yang dihirup. Terdapat dua jenis
disosmia, yaitu:

Troposmia, merupakan kesalahan persepsi terhadap suatu odoran. Etiologi dari troposmia ini
masih belum diketahui secara pasti. Terdapat hipotesis di mana adanya gangguan fungsi pada
sel olfatori atau gangguan interpretasi pada sistem saraf pusat.

Pantosmia, merupakan adanya persepsi terhadap odoran namun molekul odoran tersebut
tidak ada. Pantosmia dapat disebabkan oleh sel saraf abnormal yang menimbulkan sinyal
abnormal yang menuju otak sehingga terjadi persepsi adanya odoran, atau adanya gangguan
fungsi sel inhibisi olfaktori. Pantosmia ini biasanya merupakan tanda-tanda sebelum kejang
muncul.

Fisiologi pengecapan

Pengecapan diperankan oleh kuncup kecap (taste bud) yang terletak pada papil-papil lidah.
Papil yang mengandung kuncup kecap ini yaitu papil sirkumvalata dan papil fungiformis.
Papil sirkumvalata terletak pada pangkal lidah, dan membentuk susunan seperti huruf V.
Sedangakn, papil fungsiformis terletak pada bagian ujung anterior lidah. Selain itu, kuncup
kecap ini juga terdapat pada palatum, tonsila, epiglotis, dan esofagus proksimal. Kuncup
kecap ini mengandung sel kecap dan sel sustentakular. Sel kecap tersebut beregenerasi setiap
10 hari, digantikan oleh sel sustentakular yang menjadi sel kecap. Pada usia di atas 45 tahun,
terjadi degenerasi kuncup kecap sehingga terjadi penurunan dari kemampuan mengecap.3

Rangsang dari tastan, yaitu senyawa kimia yang dapat merangsang sel kecap, menimbulkan
depolarisasi pada sel kecap. Namun, cara untuk menimbulkan depolarisasi tersebut berbeda-
beda pada setiap rasa. Depolarisasi pada sel kecap tersebut menyebabkan eksositosis dari
vesikel sinaps yang menyebabkan pelepasan neurotransmiter. Neurotransmiter tersebut
menyebabkan potensial aksi pada sel saraf first-order yang bersinaps dengan sel kecap.1
Terdapat lima rasa yang dapat dikenali oleh sel kecap, yaitu:1,2,3
 Rasa asin, yang diperankan oleh reseptor EnaC dan distimulasi oleh NaCl. Reseptor
ini dapat diinhibisi oleh amilorid. Ion Na+ pada NaCl masuk melalui kanal Na+ dan
menyebabkan depolarisasi pada sel kecap, sehingga menimbulkan potensial aksi pada
sel saraf orde pertama.
 Rasa asam, yang diperankan oleh reseptor EnaC, kanal kation HCN
(hyperpolarization-activated cyclic nucleotide-gated), dan beberapa reseptor lainnya.
Reseptor tersebut sensitif terhadap ion H+sehingga adanya ion tersebut menyebabkan
terbukanya reseptor dan terjadi influks H+. Influks ini menyebabkan depolarisasi dari
sel kecap dan menimbulkan potensial aksi pada sel saraf orde pertama.
 Rasa manis, yang diperankan oleh reseptor gustducin. Reseptor ini teraktivasi oleh
beberapa molekul, seperti gula, glikol, alkohol, aldehid, keton, amida, ester, beberapa
asam amino, beberapa protein sederhana, asam sulfonat, asam halogenasi, garam
inorganik, dan beryllium. Molekul tersebut berikatan dengan reseptor gustducin dan
reseptor tersebut mengaktivasi protein G untuk menimbulkan depolarisasi.
Depolarisasi tersebut akan melepaskan neurotransmiter dan menyebabkan potensial
aksi pada sel saraf orde pertama.
 Rasa pahit, yang juga diperankan oleh reseptor gustducin. Sama dengan rasa manis,
rasa pahit ini juga dapat ditimbulkan oleh beberapa molekul, yaitu molekul organik
rantai panjang yang mengandung nitrogen dan alkaloid. Rasa pahit ini juga
ditimbulkan oleh aktivasi dari protein G. Selain itu, rasa pahit juga dapat ditimbulkan
oleh inhibisi fosfolipase yang menguraikan cGMP dan peningkatan pembentukan
DAG dan fosfat inositol.
 Rasa umami, yang diperankan oleh reseptor mGluR4. Reseptor ini diaktivasi oleh
molekul L-glutamat.

Ambang batas pengecapan


Ambang batas dari sel kecap untuk dapat menimbulkan potensial aksi dan mengenali rasa
tersebut berbeda-beda pada setiap rasa. Ambang batas untuk rasa pahit termasuk yang paling
rendah, karena sel kecap tersebut dapat mengenali rasa pahit pada konsentrasi yang paling
rendah. Contohnya, sel kecap dapat mengenali rasa pahit dari senyawa quinin pada ambang
batas 0,000008 M, sedangkan rasa asam dapat dikenali pada ambang batas 0,0009 M. Rasa
pahit merupakan rasa yang memiliki ambang batas terendah untuk proteksi diri terhadap
senyawa yang beracun, karena senyawa tersebut mengandung alkaloid. Tak hanya senyawa
beracun dan berbahaya bagi tubuh, kafein, strychnine, nikotin, dan beberapa obat memiliki
kandungan alkaloid. Ambang batas yang terendah setelah rasa pahit yaitu rasa asam.
Kemudian, rasa manis dan asin memiliki ambang batas yang hampir sama namun lebih tinggi
daripada rasa asam.1,3
Jaras pengecapan
Sinyal pengecapan diteruskan ke sistem saraf pusat melalui tiga jalur berbeda, yaitu:

 Dua pertiga anterior lidah dipersarafi oleh saraf fasialis, yang awalnya melewati saraf
lingualis, menuju korda timpani, lalu ke saraf fasialis.
 Satu pertiga posterior lidah dipersarafi oleh saraf glosofaringeus.
 Epiglotis, tonsila, proksimal esofagus dipersarafi oleh saraf vagus.
Ketiga jaras tersebut kemudian bersinaps di nukleus traktus solitarius dan diproyeksikan oleh
sel saraf orde kedua. Kemudian, sel saraf ini menuju nukleus talamus bagian ventral posterior
medial dan bersinaps dengan sel saraf orde ketiga. Sel saraf tersebut kemudian menuju
korteks serebral, yaitu pada area insular opercular yang terletak pada bagian bawah girus
postsentralis pada korteks parietalis serebral. Selain ke talamus, beberapa jaras saraf ini
menuju sistem limbik dan hipotalamus.1,3
Sedangkan, jaras untuk refleks terhadap pengecapan, seperti sekresi saliva selama ingesti
makanan, diperankan oleh jaras saraf yang menuju nukleus salivatorius superior dan inferior
setelah melewati nukleus traktus solitarius.
Sama seperti sistem olfaktorius, terdapat adaptasi pada pengecapan yang terjadi dalam waktu
1 menit. Adaptasi ini sebagian besar diperankan oleh sistem saraf pusat, sedangkan pada
kuncup kecap, adaptasi diperankan oleh mukus yang segera menyapu molekul yang terdapat
pada mikrovili tersebut.3
Gangguan sistem pengecapan
Gangguan pada pengecapan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:5
 Lesi pada mukosa, kuncup kecap, saraf kecap, maupun saraf kranialis yang
menghantarkan impuls kecap
 Gangguan pada mulut, seperti infeksi mulur, inflamasi, dan mukositis yang
disebabkan radiasi. Radiasi tersebut menyebabkan kelainan pada mikrovili kuncup
kecap.
 Kebersihan mulut yang kurang terjaga, yang menyebabkan infeksi virus, bakteri,
jamur, atau parasit. Hal ini kebanyakan menyebabkan hipogeusia.
 Usia tua, di mana terdapat penurunan fungsi dari kanal ion dan reseptor kecap.
 Neoplasma pada kepala dan leher
 Penggunaan prostetik palatum, yang menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap
pengecapan
 Pembedahan pada lidah, kemoterapi, dan pembedahan pada korda timpani yang
menyebabkan disgeusia
 Gangguan nutrisi
 Gangguan endokrin, yang menurunkan sensitivitas terhadap rasa
 Kelainan genetik
 Kerusakan pada sistem saraf pusat, seperti pada multiple sclerosis, paralisis wajah,
dan lesi talamus
Beberapa gangguan pada pengecapan tersebut dapat berupa:9
 Ageusia, merupakan kehilangan kemampuan untuk mengecap.
 Hipogeusia, merupakan penurunan kemampuan untuk mengecap.
 Disgeusia, merupakan adanya persepsi rasa pada mulut, di mana tidak terdapat
molekul yang merangsang sel kecap. Disgeusia ini biasanya disertai dengan sindrom
mulut terbakar, dan biasanya terdapat pada orang usia tua.
Daftar pustaka:
1. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-12. USA:
John Wiley & Sons. 2009; h. 599-604.
2. Ganong WF. Review of Medical Physiology. Ed ke-21. USA: McGraw-Hill. 2003.
3. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia:
Saunders Elsevier. 2006; h. 663-670.
4. Marieb EN, Hoehn K. Human Anatomy & Physiology. Ed ke-8. USA: Benjamin
Cummings. 2012; h.570.
5. Leopold D, Meyers AD. Disorders of Taste and Smell [internet]. 2012 [diperbarui 24
Juni 2009; diunduh 4 Maret 2012]. Diambil dari
http://emedicine.medscape.com/article/861242-overview#aw2aab6b4.
6. Vorvick LJ, Zieve D. Smell-impaired [internet]. 2012 [diperbarui 31 Agustus 2011;
diunduh 4 Maret 2012]. Diambil
dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003052.htm.
7. Anonymous. Parkinson’s Disease Symptoms – Associated Symptoms [internet]. 2012
[diunduh 4 Maret 2012]. Diambil
dari http://www.parkinsonsdiseaseearlysymptoms.com/tag/hyposmia.
8. Leopold D. Distortion of Olfactory Perception: Diagnosis and Treatment. Chem
sences; 2002(27): 611-615.
9. Anonymous. Taste Disorders [internet]. 2012 [diperbarui 17 Desember 2004; diunduh
4 Maret 2012]. Diambil dari http://www.medicinenet.com/taste_disorders/page2.htm?

Anda mungkin juga menyukai