Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Lereng adalah suatu permukaan tanah yang miring dan membentuk sudut tertentu
terhadap suatu bidang horisontal dan tidak terlindungi (Das 1985). Lereng yang ada
secara umum dibagi menjadi dua kategori lereng tanah, yaitu lereng alami dan
lereng buatan. Lereng alami terbentuk secara alamiah yang biasanya terdapat di
daerah perbukitan. Sedangkan lereng buatan terbentuk oleh manusia biasanya
untuk keperluan konstruksi, seperti tanggul sungai, bendungan tanah, tanggul untuk
badan jalan kereta api. Lereng alami maupun buatan masih dibagi lagi dalam dua
jenis (Soepandji, 1995), yaitu :

1. lereng dengan panjang tak hingga (infinite slopes),

2. lereng dengan panjang hingga (finite slopes).

Keruntuhan pada lereng bisa terjadi akibat gaya dorong yang timbul karena beban
pada tanah. Lereng secara alami memiliki kekuatan geser tanah dan akar tumbuhan
yang digunakan sebagai gaya penahan. Apabila gaya penahan lebih kecil
dibandingkan gaya pendorong maka akan timbul keruntuhan pada lereng.

Longsornya suatu lereng bisa disebabkan oleh faktor internal lereng maupun faktor
eksternal lereng, antara lain: terjadinya gempa, curah hujan yang tinggi (iklim),
vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat (Anwar dan
Kesumadharma, 1991; Hirnawan, 1994), tingkat kelembaban tanah (moisture),
adanya rembesan dan aktifitas geologi seperti patahan (terutama yang masih aktif),
rekahan dan liniasi (Sukandar, 1991).

Proses eksternal penyebab longsor yang dikelompokkan oleh Brunsden (1993, dalam
Dikau et.al., 1996) diantaranya adalah :

1. pelapukan (fisika, kimia dan biologi),

2. erosi,

3. penurunan tanah (ground subsidence),

4. deposisi (fluvial, glasial dan gerakan tanah),

1
5. getaran dan aktivitas seismik,

6. jatuhan tepra,

7. perubahan rejim air.

Pada beberapa kasus longsor, hujan sering sebagai pemicu karena hujan
meningkatkan kadar air tanah yang menyebabkan kondisi fisik/mekanik material
tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar air akan memperlemah sifat fisik-mekanik
tanah dan menurunkan Faktor Kemanan lereng (Brunsden & Prior, 1984; Bowles,
1989; Hirnawan & Zakaria, 1991).

Oleh karenanya, diperlukan adanya perkuatan lereng guna memperbesar gaya


penahan sehingga mencegah terjadinya runtuh. Perkuatan lereng adalah bangunan
yang ditempatkan pada permukaan suatu lereng guna melindungi suatu tebing aIur
sungai atau permukaan lereng tanggul dan secara keseluruhan
berperan meningkatkan stabilitas lereng. Telah terjadi pengembangan yang sangat
lanjut terhadap konstruksi, pada saat ini telah dimungkinkan memilih salah satu
konstruksi, bahan dan cara pelaksanaan yang paling cocok disesuaikan dengan
berbagai kondisi setempat. Walaupun demikian konstruksi perkuatan lereng secara
terus menerus dikembangkan dan disempurnakan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari topik bahasan makalah ini adalah untuk mengetahui macam, fungsi, dan
penggunaan perkuatan lereng dalam upaya meningkatkan stabilitas lereng.

1.3 Manfaat

Meningkatkan pengetahuan pembaca mengenai macam, fungsi, dan penggunaan


perkuatan lereng dalam upaya meningkatkan stabilitas lereng.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Soil nailing


Soil nailing adalah teknik perkuatan tanah in-situ untuk menjaga kestabilan galian
tanah dengan cara memasukan perkuatan dengan ukuran relatif kecil (biasanya besi
beton) yang dipasang dengan spasi yang dekat ke dalam massa tanah sehingga
secara lokal tanah menjadi stabil.

3
Gambar 2.1 Soil Nailing

2.1.1 Sejarah Soil nailing

Soil nailing pertama kali diaplikasikan sebagai perkuatan untuk sebuah dinding
penahan tanah di Perancis (1961). Kemudian dikembangkan oleh Rabcewicz (1964,
1965), untuk digunakan dalam galian terowongan, yang dikenal dengan “The New
Austrian Tunneling Method” (NATM).

Metode ini mengkombinasikan perkuatan pasif dari batangan baja dan shotcrete
(adukan beton yang ditembakkan dengan tekanan tinggi pada suatu permukaan).
Adanya perkuatan pasif dari batangan besi pada sekeliling dinding terowongan,
sangat mengurangi beban yang harus diterima struktur terowongan jika
dibandingkan dengan metode konvensional. Perbandingan antara kedua metode ini
ditunjukkan secara skematis pada gambar di bawah

Gambar 2.2 Perbandingan Skematis Antara Austrian Tunneling

Method dan Metode Konvensional

Salah satu dinding tanah yang menggunakan perkuatan soil nailing ditemukan pada
proyek pelebaran jalan kereta api dekat Versailles, Perancis (1972), dengan lereng
setinggi 18 meter dengan kemiringan 70°. Metode ini dipilih, karena dianggap lebih
efektif dari segi biaya, dan proses konstruksinya lebih cepat dibandingkan dengan
metode konvensional lain. Dengan berbagai kelebihannya, kemudian metode ini
berkembang pesat di Eropa, dan sekitarnya, terutama di Perancis dan Jerman.

4
Pada saat ini, dinding soil nailing banyak digunakan sebagai struktur perkuatan pada
tanah galian, baik sebagai struktur sementara maupun sebagai struktur permanen.
Seiring perkembangan teknik perencanaan, dan teknik konstruksi, aplikasi soil
nailing akan terus berkembang.

2.1.2Elemen Soil nailing

a.Nail Bars

Batangan baja yang umum digunakan pada soil nailing, adalah baja ulir yang sesuai
dengan standar ASTM A615, dengan daya dukung tarik 420 MPa (60 ksi atau Grade
60) atau 520 MPa (75ksi atau Grade 75). Ukuran diameternya yang tersedia adalah
19, 22, 25, 29, 32, 36, dan 43 mm, serta ukuran panjang mencapai 18 m

b. Nail Head

Gambar 2.3 Nail head pada tebing

Komponen nail head terdiri dari bearing plate (pelat penahan), hex nut (mur persegi
enam), washer (cincin yang terbuat dari karet atau logam), dan headed stud .
Bearing plate umumnya berbentuk persegi dengan panjang sisi 200-250 mm, tebal
19 m, dan kuat leleh 250 Mpa (ASTM A36), sedangkan untuk nut, dan washer yang
digunakan harus memiliki kuat leleh yang sama dengan batangan bajanya.

5
c. Grout (Cor beton)

Gambar 2.4 Cor beton pada perkuatan lereng.

Cor beton untuk soil nailing dapat berupa adukan semen pasir. Semen yang
digunakan adalah semen tipe I, II, dan III. Semen tipe I (normal) paling banyak
digunakan untuk kondisi yang tidak memerlukan syarat khusus, semen tipe II
digunakan jikamenginginkan panas hidrasi lebih rendah dan ketahanan korosi
terhadap sulfat yang lebih baik daripada semen tipe I., sedangkan semen tipe III
digunakan jika memerlukan waktu pengerasan yang lebih cepat.

d. Centralizers (Penengah)

Gambar 2.5 Centralizers baja

Centralizers adalah alat yang dipasang pada sepanjang batangan baja dengan jarak
tertentu (0.5–2.5m) untuk memastikan tebal selimut beton sesuai dengan rencana,
alat ini terbuat dari PVC atau material sintetik lainnya.

6
e. Wall Facing (Muka/Tampilan Dinding)

Pembuatan muka/tampilan dinding terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama,


muka/tampilan sementara (temporary facing) yang dibuat dari shotcrete, berfungsi
sebagai penghubung antar batangan-batangan baja (nail bars), dan sebagai proteksi
permukaan galian tanah terhadap erosi.

Gambar 2.6 Wall facing pada dinding tanah

Tahap berikutnya adalah pembuatan muka/tampilan permanen (permanent facing).


Muka permanen dapat berupa panel beton pracetak terbuat dari shotcrete. Muka
permanen memiliki fungsi yang sama dengan muka sementara, tetapi dengan fungsi
proteksi terhadap erosi yang lebih baik, dan sebagai penambah keindahan (fungsi
estetika).

Gambar 2.7 Wall facing pada tebing

f. Drainage System

Drainage System(SistemDrainase)Untuk mencegah meningkatnya tekanan air pada


lereng di belakang muka dinding, biasanya dipasangkan lembaran vertikal
geokomposit di antara muka dinding sementara dan permukaan galian untuk

7
membuat saluran dranase agar tidak menyentuh soil nailing denganbantuan
geosintetikdengan catatan kondisi geosin lebih tinggi permeabilitasnya.

Gambar 2.8 Lapisan permeable dari geosinteti

Pada kaki lereng harus disediakan saluran pembuangan (weephole) untuk air yang
telah dikumpulkan oleh lembaran geokomposit

Gambar 2.9 Sketsa pemasangan pipa drainase

8
Gambar 2.10 Sketsa Pemasangan soil nailing

2.1.3 Media soil nailing

Soil nailing dapat digunakan untuk banyak jenis tanah, dan kondisi. Pengalaman dari
berbagai proyek menunjukkan beberapa kondisi tanah yang menguntungkan akan
membuat metode soil nailing menjadi lebih efektif dari segi biaya dibandingkan
dengan teknik lain (“Soil Nail Walls”, Report FHWAIF-03-017).

Secara umum tanah yang dianggap baik untuk soil nailing adalah tanah yang
mampu berdiri tanpa perkuatan selama kira-kira 1 sampai 2 hari, dengan kedalaman
galian 1 sampai 2 m, dan sudut lereng vertikal atau mendekati vertikal. Disamping
itu, muka air tanah juga harus terletak di bawah semua batangan besi. Berikut
beberapa jenis tanah yang dianggap cocok untuk mengaplikasikan soil nailing.

1. Tanah keras sampai sangat keras dan berbutir halus (stiff to hard fine grained
soils). Tanah berbutir halus (kohesif) keras sampai sangat keras mencakup
lempung (clays), lanau berlempung (clayey silts), lempung berlanau (silty clays),
lempung berpasir (sandy clays), dan kombinasi dari jenis-jenis tersebut. Dari
jenis-jenis tanah tersebut, sebaiknya disertai dengan plastisitas rendah, untuk
meminimalkan kemungkinan pergerakan lateraldindingsoil nailing dalam jangka
panjang.

2. Tanah granular padat hingga sangat padat dengan sedikit kohesi (dense to very
dense granular soils with some apparent cohesion). Tanah ini mencakup tanah
pasir, dan kerikil (gravel) dengan nilai N-SPT lebih dari 30 (Terzaghi et al, 1996),
dan dengan sedikit agregat halus (kurang dari 10 sampai 15 persen). Sebaliknya
berikut beberapa contoh jenis tanah dan kondisi yang kurang menguntungkan
untuk menerapkan soil nailing:

3. Tanah tidak berkohesi, bergradasi buruk, dan kering. Tanah tanpa kohesi dengan
gradasi buruk, dan dalam kondisi kering, sulit mencapai kemiringan lereng vertikal
atau hampir vertikal yang dibutuhkan dalam soil nailing.

9
4. Tanah dengan muka air tanah tinggi. Kondisi muka air tanah yang tinggi
memerlukan sistem drainase yang signifikan, agar massa tanah dapat berdiri
stabil. Selain itu, tingginya muka air tanah akan menyulitkan proses pengeboran
karena tanah dalam lubang bor akan mudah runtuh, akibatnya kondisi ini
memerlukan biaya yang besar untukpemasangansoil nailing. Kondisi air tanah
yang merembes keluar dari muka lereng juga akan menambah kesulitan
konstruksi ketika pelaksanaan pekerjaan shotcrete.

5. Tanah berbatu (soils with cobbles and boulders). Tanah dengan mengandung
banyak bebatuan akan menjadi masalah pada saat pekerjaan pengeboran, dan
dapat mengakibatkan peningkatan biaya atau keterlambatan masa konstruksi.

6. Tanah lunak hingga sangat lunak, dan berbutir halus. Jenis tanah tidak cocok
untuk konstruksi soil nailing karena daya ikatnya lemah, akibatnya memerlukan
nail bar yang sangat panjang untuk mencapai kapasitas ikat yang dibutuhkan.

7. Tanah organik. Tanah organik seperti lanau organik (organicsilts), lempung


organik (organic clays), dan khususnya gambut (peat), memiliki daya dukung
geser rendah, sehingga daya ikat tanah terhadap sistem soil nailing menjadi
lemah. Akibatnya, memerlukan panjang nail bars yang tidak ekonomis. Disamping
rendahnya daya dukung geser, tanah organik cenderung bersifat lebih korosif
dibandingkan dengan jenis-jenis tanah inorganik lainnya.

8. Tanah atau air tanah korosif. Kondisi ini memerlukan sistem proteksi terhadap
korosi yang tinggi, dan akan mengakibatkan biaya konstruksi menjadi tinggi.
Selain itu, kondisi ini juga sangat tidak menguntungkan untuk dinding soil nailing
yang bersifat permanen atau jangka panjang.

9. Tanah granular yang renggang (loose to very loose granular soils). Tanah ini akan
berdeformasi berlebih akibat getaran selama konstruksi. Jenis tanah ini dalam
kondisi jenuh air, juga tidak cocok karena rentan terhadap liquefaction pada
daerah gempa.

Berbagai jenis tanah dan kondisi yang dijelaskan di atas, hanya merupakan
pendekatan dalam soil nailing. Oleh karena itu, diperlukan pengujian lebih lanjut,
baik uji lapangan maupun laboratorium, untuk mengevaluasi kelayakan pelaksanaan
konstruksi dengan soil nailing.

10
2.1.4 KELEBIHAN DAN KELEMAHAN SOIL NAILING

Fitur yang paling menonjol dari soil nailing adalah konstruksi top-downnya.
Ekskavasi umumnya dilakukan pada lapisan tiap 2 m dari bagian muka tanah. Pada
setiap lapisan yang digali, “nails” dipasang dan permukaan dilapisi shotcrete,
kemudian lapisan berikutnya diperlakukan dengan cara yang sama.

1. Kelebihan Soil nailing

- Peralatan konstruksinya mudah dipindahkan dan dapat digunakan pada lokasi


yang sempit.

- Tekniknya fleksibel, mudah untuk dimodifikasi.

- Tidak menimbulkan kebisingan.

- Lebih sedikit gangguan pada properti/bangunan disekitarnya.

- Membutuhkan ruang “shoring” yang lebih sedikit.

- Volume baja untuk nail bars dalam soil nailing lebih sedikit dibandingkan dengan
ground anchors, karena umumnya batangan baja dalam soil nailing lebih
pendek. Material yang dibutuhkan juga relatif lebih sedikit, jika dibandingkan
dengan ground anchors.

- Luas area yang dibutuhkan dalam masa konstruksi lebih kecil dibandingkan
dengan teknik lain, sehingga cocok untuk pekerjaan yang memiliki areal
konstruksi terbatas.

- Dinding dengan soil nailing relatif lebih fleksibel terhadap penurunan, karena
dinding untuk soil nailing lebih tipis jika dibandingkan dengan dinding gravitasi.

2. Kelemahan soil nailing


Metode soil nailing tidak dapat digunakan untuk tanah jenuh air.
- Tidak cocok digunakan untuk tanah dengan gaya geser yang sangat rendah,
tidak juga pada pasir dan kerikil yang kohesinya buruk.

- Lereng tanah harus dapat mempertahankan bentuknya tanpa bantuan


konstruksi penahan lain, pada saat proses “nailing” berlangsung dan sebelum
shotcrete diaplikasikan.

- Drainase baik adalah hal yang penting, terutama untuk struktur yang permanen

11
- Soil nailing tidak cocok diaplikasikan untuk struktur yang membutuhkan kontrol
ketat terhadap deformasi. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan post
tension nail, namun langkah ini akan meningkatkan biaya kosntruksi.

- Pelaksanaan konstruksi soilnailing relatif lebih sulit, sehingga membutuhkan


kontraktor yang ahli, dan berpengalaman.

3. Soil nailing dapat diaplikasikan pada:

- Stabilisasi lereng pada jalan raya.

- Lereng galian basement untuk gedung tinggi.

- Rangka terowongan untuk lereng terstratifikasi yang curam dan tidak stabil.

2.2 Geosintetik
Geosintetik adalah material yang saat ini populer dalam proyek konstruksi di
Indonesia terutama dalam pembangunan jalan di atas tanah lunak seperti di pulau
Sumatera dan Kalimantan yang banyak terdapat tanah gambut. Selain itugeosintetik
juga diaplikasikan sebagai filter pada konstruksi penahan gelombang baik di tepian
pantai maupun lepas pantai . Istilah geosintetik mengacu pada material sintetik yang
digunakan dalam permasalahan geoteknik. Material sintetik merupakan hasil
polimerisasi dari industri-industri kimia atau minyak bumi.

Penggunaan bahan sintetik ini berkaitan dengan sifat ketahanan (durabilitity)


material sintetik terhadap senyawa-senyawa kimia, pelapukan, keausan, sinar ultra
violet dan mikroorganisme. Polimer utama yang digunakan untuk pembuatan
geosintetik adalah Polyester (PET), Polyamide (PM), Polypropylene (PP), dan
Polyethylene (PE).

Geosintetik yang ada terdiri dari berbagai jenis dan diklasifikasikan dalam beberapa
bentuk sebagai berikut :

1. Geotekstil, bahan lulus air dari anyaman (woven) atau tanpa anyaman (non
woven) dari benang-benang atau serat- serat sintetik yang digunakan dalam
pekerjaan tanah.

12
2. Geogrid, produk geotekstil yang berupa lubang-lubang berbentuk segi empat
(geotextile grid) atau lubang berbentuk jaring (geotextile net) , biasanya terbuat
dari bahan Polyester (PET) atau High Density Polyethylene (HDPE)
3. Geofabric, semua produk geosintetik yang berbentuk lembaran
4. Geomembrane, geosintetik yang bersifat impermeable atau tidak tembus air,
biasanya dibuat dari bahan high density polyethylene (HDPE)
5. Vertical drain, sebagai bahan pemercepat aliran disipasi air pori sehingga
mempercepat proses settlement.

Gambar 2.11 Macam-macam geosintetik

Fungsi geotekstil disini adalah sebagai tulangan, pemisah atau drainase. Bila
timbunan terletak pada tanah lunak, deformasi yang berlebihan menyebabkan
timbunan menjadi melengkungke bawah. Melengkungnya tubuh timbunan ini
merusakkan bangunan di atasnya.

Pada prinsipnya, timbunan berperilaku sama seperti balok yang dibebani, yaitu bila
timbunan melengkung terlalu tajam, maka akan timbul retak-retak di bagian
bawahnya. Analisis mekanika tanah dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi
tanah dan geometri timbunannya. Dari analisis ini akan dihasilkan kekuatan tulangan
geotekstil yang dibutuhkan agar timbunan tidak berdeformasi secara berlebihan.

Geotekstil, bila diletakkan di bawah timbunan jalan atau tanggul juga dapat
mengurangi tegangan-tegangan pada lapisan tanah di bagian bawah, yaitu ketika
lapisan ini mengalami tarikan akibat beban yang bekerja. Dengan adanya geotekstil,

13
integritas struktur timbunan lebih terjaga, sehingga beban timbunan disebarkan ke
area yang lebih luas dan dengan demikian geotekstil dapat mengurangi intensitas
tekanan ke tanah di bawahnya.

Jika tanah lunak yang berada di bawah timbunan terpenetrasi ke dalam bahan
timbunan di atasnya, maka sifat-sifat mekanis tanah timbunan akan terpengaruh,
yaitu kekuatan tanah di sekitar dasar timbunan akan berkurang. Kadar air dalam
tanah lunak secara berangsur-angsur berkurang oleh adanya geotekstil yang
berfungsi sebagai drainase.

2.2.1 Geotekstil

Adalah bahan lulus air dari anyaman (woven) atau tanpa anyaman (non-woven) dari
benang-benang atau serat- serat sintetik. Tenun dihasilkan dari 'interlaying' antara
benang-benang melalui proses tenun, sedangkan non woven dihasilkan dari
beberapa proses seperti : heat bonded (dengan panas), needle punched (dengan
jarum), dan chemical bonded (enggunakan bahan kimia). Baik woven maupun non
woven dihasilkan dari benang dan serat polimer terutama : polypropelene, poliester,
polyethilene dan polyamide.

2.2.2 FUNGSI

Geotextile Non Woven berfungsi sebagai :

a. Filter / Penyaring
Sebagai filter, Geotextile Non Woven berfungsi untuk mencegah terbawanya
partikel-partikel tanah pada aliran air. Karena sifat Geotextile Non Woven adalah
permeable (tembus air) maka air dapat melewati Geotextile tetapi partikel tanah
tertahan. Aplikasi sebagai filter biasanya digunakan pada proyek-proyek
subdrain (drainase bawah tanah).

b. Separator / Pemisah

Sebagai separator atau pemisah, Geotextile Non Woven berfungsi untuk


mencegah tercampurnya lapisan material yang satu dengan material yang
lainnya.

14
Contoh penggunaan Geotextile sebagai separator adalah pada proyek
pembangunan jalan di atas tanah dasar lunak (misalnya berlumpur). Pada
proyek ini, Geotextile mencegah naiknya lumpur ke sistem perkerasan, sehingga
tidak terjadi pumping effect yang akan mudah merusak perkerasan jalan. Selain
itu keberadaan Geotextile juga mempermudah proses pemadatan sistem
perkerasan.

c. Stabilization / Stabilisator
Fungsi Geotextile ini sering disebut juga sebagai Reinforcement / Perkuatan.
Misalnya dipakai pada proyek-proyek timbunan tanah, perkuatan lereng dll.
Fungsi ini sebenarnya masih menjadi perdebatan dikalangan ahli geoteknik,
sebab Geotextile bekerja menggunakan metode membrane effect yang hanya
mengandalkan tensile strength (kuat tarik) sehingga kemungkinan terjadinya
penurunan setempat pada timbunan, masih besar, karena kurangnya kekakuan
bahan. Apalagi sifat Geotextile yang mudah mulur terutama jika terkena air
(terjadi reaksi hidrolisis) menjadikannya rawan sebagai bahan perkuatan lereng.

Gambar 2.12 Geotextile sebagai stabilisator

2.2.3 Geogrid

Produk geotekstil yang berupa lubang-lubang berbentuk segi empat (geotextile grid)
atau lubang berbentuk jaring (geotextile net) , biasanya terbuat dari bahan Polyester
(PET) atau High Density Polyethylene (HDPE).
GeoGrid (Enkagrid) merupakan bahan Geosynthetics yang berfungsi sebagai lapisan
perkuatan (reinforcenent) untuk lereng jalan dan lain2, geogrid dipakai pada

15
konstruksi jalan baru yang lapisan tanah dasarnya ber CBR rendah dibawah 2 %.
GeoGrid sangat baik digunakan pada jalan raya yang berada pada struktur tanah
yang kurang labil, sehingga jalan raya yang berlubang akan dapat teratasi.

berupa lembaran berongga dari bahan polymer. Pada umumnya sistem serat tikar
banyak digunakan untuk memperkuat badan timbunan pada jalan, lereng atau
tanggul dan dinding tegak. Mekanisme kekuatan perkuatan dapat meningkatkan
kuat geser.

Pembangunan jalan diatas tanah lunak dengan metode:

1. Penggunaan cerucuk kayu yang berfungsi sebagai settlement reducer, yang


walaupun memiliki kelemahan keterbatasan umur material namun telah terbukti
dan diterima sebagai suatu sistem.

2. Penggunaan sistem Corduroy/geotextile bagian dari tanah soil reinforcement


untuk menaklukkan kuat geser.
3. Penggunaan sistem Cakar ayam yang dikombinasikan dengan geotextile diatas
tanah lunak.
4. Menggunakan cerucuk matras beton dengan komponen cerucuk dan matras
dimana setiap unit pelat matras masing-masing berada disebuat titik/cerucut.
5. Penggunaan bahan expandsed Polysstyrene yang yang mempunyai berat jenis
sangat rendah untuk konstruksi timbunan jalan raya, maupun sebagai lapisan
pendukung fondasi diatas tanah lunak sehingga memperkecil tegangan yang
bekerja.

Gambar 2.13 Geogrid pda timbunan tanah

16
2.2.3 Geomembrane

Geosintetik yang bersifat impermeable atau tidak tembus air, biasanya dibuat dari
bahan high densitypolyethylene (HDPE).Geomembranes adalah jenis geosynthetic
bahan. Mereka kedap membranes digunakan secara luas sebagai cut-offs dan liners.
Sampai beberapa tahun terakhir, kebanyakan geomembranes digunakan sebagai
kanal dan kolam liners.

Gambar 2.14 Geomembrane pada timbunan jalan

2.2.4 Geocomposite

Geocomposites adalah produk polymer, yang dibuat dengan menghubungkan dua


atau lebih jenis geosintetik, misalnya geogrid dengan non-wovens. Digunakan baik
untuk tanah (untuk separasi dan perkuatan) maupun untuk perkerasana jalan atau
pengaspalan (perkuatan dan perbaikan tanah pondasinya).
Perkuatan menggunakan geocomposite memanfaatkan keunggulan non-woven
geotextile yang dikombinasikan dengan perkuatan woven geotextile yang dirajut
atau disebut geogrid, yang merupakan unit yang dibentuk olehahitan atau melalui
thermal bonding.

17
Gambar 2.15 Geocomposite pada jalan

2.2.5 Pemasangan Geotekstil

Timbunan yang diperkuat dengan tulangan geotekstil dapat memberikan


penghematan yang signifikan dibandingkan dengan metoda konvensional, seperti
metoda stabilisasi dengan pembangunan berm maupun metoda perpindahan. Dalam
tanah pondasi di bawah timbunan yang terlalu lunak, untuk dapat mendukung
beban timbunan di atasnya, maka diperlukan geotekstil untuk perkuatannya.

Gambar 2.16 Cara pemasangan geotekstil


Macam-macam peletakan geotekstil pada timbunan di atas tanah lunak (Gourc,
1993)

18
Dalam aplikasi stabilisasi timbunan, geosintetik dapat diletakkan dalam berbagai
cara, seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas (Gourc, 1993), penjelasannya
yaitu :

Gambar a :
Geotekstil diletakkan pada pertemuan tanah lunak dan timbunan yang berfungsi
sebagai pemisah / separasi, mencegah kontaminasi tanah timbunan oleh butiran
halus tanah lunak di bawahnya. Selain itu, geotekstil juga berfungsi sebagai
tulangan.
Gambar b :
Geotekstil pada bagian ujungnya ditekuk ke belakang untuk mencegah kelongsoran
lereng.
Gambar c :
Geotekstil membentuk bantalan berisi tanah untuk mendistribusikan beban dan atau
berfungsi sebagai lapisan drainase.
Gambar d :
Lapisan drainase dihubungkan dengan jaringan drainase vertikal.
Gambar e :
Geotekstil dipasang agar lereng timbunan dapat dibuat lebih tegak.
Gambar f :
Geotekstil digabungkan dengan sistem kolom tiang-tiang yang mendukung sebagian
dari beban timbunan.
Gambar g :
Geotekstil di ujung-ujungnya dikunci agar tidak terjadi penggelinciran (sistem
wager).
Gambar h :
Geotekstil diletakkan di bawah berm untuk meyakinkan stabilitas timbunan.

Rakit tulangan geotekstil yang diletakkan pada kolom tiang-tiang (gambar f)


bertujuan untuk meringankan beban tanah pondasi dari beban timbunan. Rakit yang
didukung oleh tiang-tiang berguna dalam meneruskan beban ke tanah yang lebih
dalam dan sekaligus mengurangi tekanan tanah pada kedalaman yang dangkal. Jadi,
pengurangan tegangan adalah akibat beban di permukaan yang ditransfer oleh tiang

19
ke tanah pondasi pada kedalaman yang lebih dalam melalui rakit geotekstil dan
tiang-tiang.

Geotekstil sebagai tulangan hanya dapat mentransfer beban ke tiang bila telah
terjadi penurunan tanah. Karena itu, tegangan tarik yang terjadi pada rakit
geotekstil harus lebih kecil daripada kuat tarik ijinnya. Bila tidak digunakan
geotekstil, penutup tiang (pile cap) yang lebih besar harus digunakan pada kolom-
kolom tiangnya, atau kolom-kolom tiang harus dibuat berjarak dekat.

2.3 Turap

2.3.1 Definisi Turap

Turap adalah konstruksi yang dapat menahan tekanan tanah di sekelilingnya,


mencegah terjadinya kelongsoran dan biasanya terdiri dari dinding turap dan
penyangganya. Konstruksi dinding turap terdiri dari beberapa lembaran turap yang
dipancangkan ke dalam tanah, serta membentuk formasi dinding menerus vertikal
yang berguna untuk menahan timbunan tanah atau tanah yang berlereng. Turap
terdiri dari bagian-bagian yang dibuat terlebih dahulu (pre-fabricated) atau dicetak
terlebih dahulu (pre-cast). (Sri Respati, 1995)

2.3.2 Fungsi Turap

Fungsi turap adalah ;

a. Struktur penahan tanah, misalnya pada tebing jalan raya atau tebing sungai

b. Struktur penahan tanah pada galian

c. Struktur penahan tanah yang berlereng atau curam agar tanah tersebut tidak
longsor

d. Konstruksi bangunan yang ringan, saat kondisi tanah kurang mampu untuk
mendukung dinding penahan tanah

20
2.3.3 Jenis – jenis Turap

a. Turap Kayu

Turap kayu digunakan untuk dinding penahan tanah yang tidak begitu tinggi,
karena tidak kuat menahan beban-beban lateral yang besar. Turap ini tidak cocok
digunakan pada tanah berkerikil, karena turap cenderung pecah bila dipancang.
Bila turap kayu digunakan untuk bangunan permanen yang berada di atas muka
air, maka perlu diberikan lapisan pelindung agar tidak mudah lapuk. Turap kayu
banyak digunakan pada pekerjaaan-pekerjaan sementara, misalnya untuk penahan
tebing galian. Bentuk-bentuk susunan turap kayu dapat dilihat pada gambar

Gambar 2.17 Turap Kayu

b. Turap Beton

Turap beton merupakan balok-balok yang telah di cetak sebelum dipasang dengan
bentuk tertentu. Balok-balok turap dibuat saling mengkait satu sama lain. Masing-
masing balok, kecuali dirancang kuat menahan beban-beban yang bekerja pada
turap, juga terhadap beban-beban yang akan bekerja pada waktu
pengangkatannya. Ujung bawah turap biasanya dibentuk meruncing untuk
memudahkan pemancangan. Turap beton biasa digunakan pada bangunan
permanen atau pada detail-detail konstruksi yang agak sulit.

21
Gambar 2.18 Turap Beton

c. Turap Baja

Turap baja adalah jenis paling umum yang digunakan, baik digunakan untuk
bangunan permanen atau ssementara karena beberapa sifat-sifatnya sebagai
berikut:

1. Tahan terhadap tegangan dorong tinggi yang dikembangkan di dalam bahan


keras atau bahan batuan

2. Mempunyai berat relatif yang tinggi

3. Dapat dipakai berulang-ulang

4. Umur pemakaiannya cukup panjang baik di atas maupun di bawah air dengan
perlindungan sederhana menurut NBS (1962) yang meringkaskan data
tentang sejumlah tiang pancang yang diperiksa setelah pemakaian yang
berlangsung lama

5. Mudah menambah panjag tiang pancang dengan mengelas maupun dengan


memasang baut

6. Sambungan-sambungan sangat sedikit mengalami deformasi bila di desak


penuh dengan tanah dan batuan selama pemancangan.

22
Gambar 2.19 Turap Baja

2.3.4 Tipe – tipe Dinding Turap

Terdapat 4 tipe dinding turap yaitu :

1. Dinding Turap Kantilever

Dinding turap kantilever merupakan turap yang dalam menahan beban lateral
mengandalkan tahanan tanah didepan dinding. Defleksi lateral yang terjadi relatif
besar pada pemakaian turap kantilever. Karena luas tampang bahan turap yang
dibutuhkan bertambah besar dengan ketinggian tanah yang ditahan (akibat momen
lentur yang timbul). Turap kantilever hanya cocok untuk menahan tanah denga
ketinggian/kedalaman yang sedang.

Gambar 2.20 Dinding Turap Kantilever

2. Dinding Turap Diangker

Dinding turap diangker cocok untuk menahan tebing galian yang dalam, tetapi
masih juga bergantung pada kondisi tanah. Dinding turap ini menahan beban
lateral dengan mengandalkan tahanan tanah pada bagian turap yang terpancang
kedalam tanah dengan dibantu oleh angker yang dipasang pada bagian atasnya.

23
Gambar 2.21 Dinding Turap Diangker

3. Dinding Turap dengan Landasan (platform)

Dinding turap semacam ini dalam menahan tekanan tanah lateral dibantu oleh
tiang-tiang, dimana diatas tiang tiang-tiang tersebut dibuat landasan untuk
meletakkan bangunan tertentu. Tiang-tiang pendukung landasan juga berfungsi
untuk mengurangi beban lateral pada turap. Dinding turap ini dibuat bila di dekat
lokasi dinding turap direncanakan akan dibangun jalan kereta api, mesin derek atau
bangunan-bangunan berat lainnya.

Gambar 2.22 Dinding Turap Dengan Landasan (Platform)

24
4. Bendungan Elak Seluler

Bendungan elak seluler (celullar cofferdam) merupakan turap yang berbentuk sel-
sel yang diisi dengan pasir. Dinding ini menahan tekanan tanah dengan
mengandalkan beratnya sendiri. (Hary Christady Hardiyatmo, 2002).

Gambar 2.23 Bendungan Elak Seluler

2.3.5 Konsep Perencanaan Turap

Berdasarkan hasil penelitian dan survey lapangan yang telah dilakukan pada lokasi
yang akan dibangunnya turap ini, serta dengan mempertimbangkan tingkat
kesulitan dalam pelaksanaannya, disusun beberapa konsep perencanaan turap
antara lain :

a. Turap yang direncanakan tidak mengganggu atau merusak aliran air sungai
(tidak mengganggu luas penampang basah sungai)

b. Turap berfungsi sebagai dinding yang dapat menahan kelongsoran tebing


sungai dan melindungi tebing sungai terhadap gerusan air.

c. Turap dapat menahan tekanan tanah aktif serta tekanan air dan beban-beban
lainnya yang bekerja pada dinding turap.

d. Turap direncanakan memiliki ketahanan jangka panjang pada llingkungan


dengan siklus basah, kering dan dan lembab.

e. Turap juga berfungsi sebagai pelataran terbuka (open space) yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan publik.

25
f. Struktur turap terdiri dari tiang turap, dinding turap dan plat penutup tiang
(pile cap).

g. Dinding turap memiliki tekanan tanah lateral tanah aktif dan air, sedangkan
tiang turap berfungsi memiliki gaya aksial dan lateral yang bekerja pada
dinding turap, lantai penutup berfungsi sebagai beban aksial ( counter weight)
dan juga dapat dimanfaatkan sebagai open space.

2.3.6 Metode Perhitungan

Perhitungan stabilitas turap dilakukan dengan menggunakan metode perhitungan


Pemancangan Turap Kantilever dan Pemancangan Turap Diangker dengan
memperhitungkan berbagai variasi elevasi muka air pada sisi aktif dan sisi pasif
turap dan memperhitungkan panjang kedalaman pembenaman D untuk kondisi
pancang turap dari baja. Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan momen lentur
maksimum (Mmaks) dan momen bending yang timbul pada turap dan besarnya
gaya angkur.

1. Metode Perhitungan Ujung Bebas (Free Earth Method)

Dalam metode ini diasumsikan bahwa kedalaman turap tidak mencapai tanah keras
sehingga ujung bawah turap tidak cukup kaku dan dapat berotasi. Kedalaman turap
dibawah dasar galian dianggap tidak cukup untuk menahan tekanan tanah yang
terjadi pada bagian atas dinding turap.

Anggapan dalam analisis stabilitas turap diangker dengan metode ujung bebas :

a. Turap merupakan bahan yang sangat kaku dibandingkan dengan tanah


disekitarnya.

b. Kondisi tekanan tanah yang bekerja dianggap memenuhi syarat teori Rankie
atau Coulomb.

c. Turap dianggap berotasi dengan bebas diujung bawah dan tidak diizinkan
bergerak secara lateral ditempat angker.

26
2. Metode Perhitungan Ujung Tetap (Fixed Earth Method)

Dalam metode ini diasumsikan bahwa kedalaman turap sudah mencapai tanah
keras sehingga ujung bawah tetap kaku. Kedalaman penembusan turap dibawah
dasar galian dianggap sudah cukup dalam, sehingga tanah dibawah dasar galian
mampu memberikan tahanan pasif yang cukup untuk mencegah ujung bawah turap
berotasi.

Anggapan dalam analisis stabilitas turap diangker dengan metode ujung tetap:

a. Kondisi tekanan tanah yang bekerja dianggap memenuhi syarat teori Rankine
atau Coulomb.

b. Turap bebas berotasi, namun tidak diizinkan bergerak pada angkernya.

c. Titik balik ditentukan dari teori elastisitas.

Pada metode ujung tetap hanya cocok untuk turap yang secara keseluruhan
terletak dalam tanah granuler.

27
Menurut Hary Christady Hardiyatmo (2002), untuk menghitung stabilitas
turap dipakai persamaan teori tekanan tanah Rankine dengan rumus
sebagai berikut :

Dimana : Pa : Tekanan tanah aktif (t/m2)

Pp : Tekanan tanah pasif (t/m2)

γ : Berat volume tanah dibawah air (t/m3)

H : Jarak dari permukaan tanah (m)


∅ : Sudut geser dalam untuk tanah ( ̊ )

Cara menghitung koefisien tekanan tanah berdasarkan persamaan


Rankine yaitu dengan cara sebagai berikut :

28
2.4 Dinding Penahan Tanah

2.4.1 Definisi Dinding Penahan Tanah

Dinding penahan tanah adalah suatu konstruksi yang berfungsi untuk


menahan tanah lepas atau alami dan mencegah keruntuhan tanah
yang miring atau lereng yang kemantapannya tidak dapat dijamin oleh
lereng tanah itu sendiri. Tanah yang tertahan memberikan dorongan
secara aktif pada struktur dinding sehingga struktur akan cenderung
terguling atau tergeser.

2.4.2 Jenis-Jenis Dinding Penahan Tanah

Berdasarkan cara untuk mencapai stabilitas, maka dinding penahan


tanah dapat digolongkan dalam beberapa jenis (lihat Gambar 2.24),
yaitu dinding grafitasi, dinding penahan kantilever, dinding butters,
dinding jembatan, dan boks culvert.

a. Dinding Gravitasi (Gravity Wall)


Dinding ini biasanya dibuat dari beton murni (tanpa tulangan) atau dari
pasangan batu kali. Stabilitas konstruksi diperoleh hanya dengan
mengandalkan berat sendiri konstruksi. Biasanya tinggi dinding tidak
lebih dari 4 meter (gambar 2.24a).

b. Dinding Penahan Kantilever (Cantilever Retaining Wall)


Dinding penahan type kantilever dibuat dari beton bertulang yang
tersusun dari suatu dinding vertical dan tapak lantai. Masing-masing
berperan sebagai balok atau pelat kantilever. Stabilitas konstruksi
diperoleh dari berat sendiri dinding penahan dan berat tanah di atas
tumit tapak (hell). Terdapat 3 bagian struktur yang berfungsi sebagai
kantilever, yaitu bagian dinding vertikal (steem), tumit tapak dan ujung
kaki tapak (toe). Biasanya ketinggian dinding ini tidak lebih dari 6-7
meter (Gambar 2.24b).

29
Gambar 2.24 Beberapa Jenis Dinding Penahan Tanah

c. Dinding Kontrafort (Counterfort Wall)


Apabila tekanan tanah aktif pada dinding vertikal cukup besar, maka
bagian dinding vertikal dan tumit perlu disatukan (kontrafort).
Kontrafort berfungsi sebagai pengikat tarik dinding vertikal dan
ditempatkan pada bagian timbunan dengan interval jarak tertentu.
Dinding kontrafort akan lebih ekonomis digunakan bila ketinggian
dinding lebih dari 7 meter (Gambar 2.24c).

d. Dinding Butters (Buttrers Wall)


Dinding ini hampir sama dengan dinding kontrafort, hanya bedanya
bagian kontrafort diletakkan di depan dinding. Dalam hal ini, struktur
kontrafort berfungsi memikul tegangan tekan. Pada dinding ini, bagian
tumit lebih pendek daripada bagian kaki. Stabilitas konstruksinya

30
diperoleh dari berat sendiri dinding penahan dan berat tanah di atas
tumit tapak. Dinding ini lebih ekonomis untuk ketinggian lebih dari 7
meter (Gambar 2.24d).

e. Abutment Jembatan (Bridge Abutment)


Struktur ini berfungsi seperti dinding penahan tanah yang memberikan
tahanan horisontal dari tanah timbunan di belakangnya. Pada
perencanaannya, struktur dianggap sebagai balok yang dijepit pada
dasar dan ditumpu bebas pada bagian atasnya (Gambar 2.24e).

f. Boks Culvert
Boks seperti ditunjukkan pada Gambar 3.8f dapat dibuat dengan satu
atau dua lubang, dan berfungsi sebagai portal kaku tertutup yang
dapat menahan tekanan tanah lateral dan beban vertikal.

Dari jenis dinding penahan tanah yang telah dibahas, yang sering
digunakan adalah jenis kantilever dan kontrafort. Untuk selanjutnya,
dalam butir ini hanya akan dibahas perencanaan dinding penhan sistem
kantilever dan kontrafort beserta contoh soalnya.

2.4.3 Dimensi Dinding Kantilever dan Kontrafort

Pada waktu perancangan struktur beton bertulang, diperlukan dimensi


pendahuluan dari masing-masing bagian dinding penahan. Dimensi atau
ukuran ini hanya dipakai sebagai arahan pada permulaan perhitungan.
Ukuran yang lebih besar atau lebih kecil dari ukuran pendahuluan dapat
dipergunakan asal memenuhipersyaratan stabilitas, kekuatan, dan
kelayakan menurut ketentuan yang telah ditetapkan.

31
Didasarkan pada pengalaman perencanaan yang pernah dilakukan,
dimensi pendahuluan dinding penahan sistem kantilever dan kontrafort
dapat ditentukan dengan mengikuti petunjuk berikut.

Dinding kantilever

Ukuran sementara dinding penahan tanah sistem kantilever


ditunjukkan pada Gambar 2.25.

Gambar 2.25 Ukuran Sementara Dinding Kantilever

Bagian tapak dinding harus dibuat sedemikian tebal, sehingga kuat


menahan gaya geser berfaktor. Pada umumnya lebar bagian tapak dapat
diambil sebesar (0,45 s/d 0,75) H, dimana H adalah tinggi dinding
penahan yang dihitung dari dasar tapak ke ujung atas dinding vertikal.
Besarnya lebar tapak dasar tergantung pada beban yang bekerja di
belakang dinding (Gambar 3.3). Lebar tapak L, terdiri dari lebar ujung kaki
dan tumit. Lebar ujung kaki L1, dapat diambil tidak lebih dari sepertiga
lebar tapak (L1 ≤ 1/3L). Besarnya lebar tumit L2 dapat dihitung dari nilai (L
– L 1). Ketebalan dinding vertikal pada pangkal bawah biasanya dibuat
sama dengan tebal tapak, sedang ketebalan minimal ujung atas dinding
diambil 20 cm.

32
Gambar 2.26 Lebar tapak dan beban di belakang
dinding

Dinding kontrafort

Ukuran sementara dinding penahan tanah sistem kontrafort yang dapat


dipakai ditunjukkan pada Gambar 3.4. lebar tapak dinding kontrafort
dapat diambil sama dengan lebar tapak dinding kantilever, yaitu 0,45 H
s/d 0,75 H. Kontrafort dapat ditempatkan pada jarak 0,30 H s/d 0,60 H,
dengan tebal tidak kurang dari 20 cm. Tinggi kontrafort sebaiknya
sama dengan tinggi dinding vertikal; tetapi bila diinginkan ketinggian
yang lebih kecil, dapat dikurangi dengan 0,12 H s/d 0,24 H.

33
Gambar 2.27 Ukuran Sementara Dinding Kontrafor

34
BAB 3
KESIMPULAN

Pada beberapa kasus longsor, hujan sering sebagai pemicu karena hujan
meningkatkan kadar air tanah yang menyebabkan kondisifisik/mekanik
material tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar air akan memperlemah
sifat fisik-mekanik tanah dan menurunkan Faktor Keamanan lereng. Oleh
karenanya, diperlukan adanya perkuatan lereng guna memperbesar gaya
penahan sehingga mencegah terjadinya runtuh.Ada beberapa perkuatan
lereng, antara lain :

- Soil Nailing
- Perkuatan dengan geosintetik
- Turap
- Dinding penahan tanah

Tanah akan selalu berdeformasi akibat adanya perubahan regangan dan


tegangan tanah, perubahan muka air tanah dan factor lainnya, sehingga
perlunya perbaikan tanah agar tanah tersebut mencapai angka aman
(safety factor) yang diinginkan. Hal tersebut nantinya akan
memperngaruhi tingkat kestabilan suatu kontruksi bangunan perkuatan
lereng yang akan bertahan dalam jangka panjang. Beberapa jenis
perkuatan lereng bisa dijadikan alternative perkuatan lereng. Hal ini
sangat ditentukan dengan kondisi lapangan yang ada dan jenis
peruntukkan bangunan lereng tersebut.

35

Anda mungkin juga menyukai