Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Tujuan Percobaan

1. Mempelajari variabel – variabel yang mempengaruhi operasi


sedimentasi secara batch.
2. Mengaitkan percobaan sedimentasi sistem batch dengan sistem
kontinyu.

I.2 Prinsip Percobaan


Mensuspensikan partikel padatan dalam air pada gelas ukur dan
dibiarkan terjadi pengendapan.

I.3 Dasar Teori


Sedimentasi (pengendapan) adalah salah satu cara pemisahan
padatan tersuspensi dalam suatu cairan dimana akan terjadi peritiwa
turunnya partikel-partikel padat yang semula tersebar atau tersuspensi
dalam cairan karena adanya gaya berat atau gaya gravitasi. Biasanya
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu slurry dan supernatant. Slurry adalah
bagian dengan konsentrasi partikel terbesar, dan supernatant adalah bagian
cairan yang bening. Campuran padat-cair (slurry) melalui proses
sedimentasi yang akan terpisah sempurna menjadi dua bagian, yaitu cairan
bening bebas dari padatan di bagian atas dan slurry dengan konsentrasi lebih
tinggi di bagian bawah.

Kecepatan sedimentasi dapat bertambah dengan adanya flokulan.


Efek flokulasi menyeluruh menciptakan penggabungan partikel-partikel
halus menjadi partikel yang lebih besar sehingga mudah diendapkan.
Penggabungan antara partikel-partikel dapat terjadi apabila ada kontak
antara partikel tersebut.

1
Kontak partikel terjadi dengan cara-cara berikut :

1. Kontak yang disebabkan oleh gerak Brown (gerak acak partikel


koloid dalam medium terdispersi).
2. Kontak yang disebabkan atau dihasilkan oleh gerakan cairan itu
sendiri akibat adanya pengadukan.

Selama proses pengendapan terdapat tiga gaya yang bekerja pada


partikel bergerak melalui fluida yaitu :

Gaya drag Gaya apung

Partikel

Gaya gravitasi

Gambar 1.1 Gaya-gaya yang bekerja pada suatu partikel


Teori dasar aliran solid melalui fluida didasarkan pada konsep
Hukum Newton II:
dv
F .g c  m (1)
dt

di mana F adalah gaya resultan yang berlaku pada seluruh bagian partikel,
dv/dt adalah percepatan partikel dan m adalah massa partikel.

Sedangkan gaya-gaya yang bekerja pada suatu partikel yang jatuh


ke bawah, yaitu gaya luar berupa gaya gravitasi dengan arah ke bawah, gaya
bouyancy dan gaya gesek atau drag force dengan arah yang berlawanan
dengan arah gaya gravitasi. Maka persamaan di atas dapat diuraikan lebih
mendetail menjadi :

Fg  FD  FB gc  m dv (2)


d

2
a. Gaya Gravitasi (Fg)

Gaya ini terlihat saat terjadi endapan atau mulai turunnya partikel
padatan menuju kedasar tabung untuk membentuk endapan. Hal ini terjadi
karena massa jenis partikel lebih besar dari massa jenis fluida, sehingga
padatan juga cepat mengendap. Gaya ini sangat dipengaruhi oleh percepatan
gravitasi bumi, sesuai dengan persamaan berikut :
 g 
Fg  m 
 gc  (3)

Dimana : Fg = gaya gravitasi

m = massa partikel

g = percepatan gravitasi bumi

gc = faktor konversi

b. Gaya Apung/ Bouyancy

Suatu partikel atau benda yang berada didalam suatu fluida, akan
memiliki gaya bouyancy yaitu, gaya ke atas sebesar berat fluida yang
dipindahkan apabila suatu partikel atau padatan dimasukkan, sesuai dengan

m. .g
FB 
 p .g c
(4)

Dimana : m = massa partikel

ρ = massa jenis fluida.

ρp = massa jenis partikel

g = percepatan gravitasi bumi

c. Gaya Drag (Fd)

Gaya drag terjadi saat larutan dipompakan ke dalam tabung klarifier.


Larutan ini akan terdorong pada ketinggian tertentu. Gaya drag dapat dilihat
saat mulai turunya partikel karena gaya gravitasi, maka fluida akan

3
memberikan gaya yang besarnya sama dengan berat padatan itu sendiri.
Gaya inilah yang disebut gaya dorong/drag dan juga gaya yang memilki
arah yang berlawanan dengan gaya gravitasi.

C D .v0 .. Ap
2

FD 
2.g c (5)

Dimana : FD = total gaya drag

AP = luas permukaan partikel

CD = koefisien drag (dimensionless)

vo = kecepatan

ρ = massa jenis fluida

Besarnya nilai koefisien drag (CD) bergantung pada pola aliran disekitar
partikel yang tenggelam. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai CD
sebagai fungsi dari nilai bilangan Reynolds (NRe)
 Pada aliran laminer (NRe < 1) : CD = 24 / NRe
24
 Pada aliran transisi (1< NRe < 104) : CD   3 N Re  0,34
N Re

 Pada aliran turbulen (NRe > 104) : CD = 0,4

Dp vt 
N Re  (6)

Dimana : Dp = diameter partikel

ρ = massa jenis fluida

vt = kecepatan terminal settling

μ = viskositas fluida

Hukum Newton tentang gerak :

𝑚. 𝑎 𝑚 𝑑𝑣
∑𝐹 = =
𝑔𝑐 𝑔𝑐 𝑑𝑡

4
Jadi jika diterapkan pada partikel yang bergerak dalam fluida

𝑚 𝑑𝑣
= 𝐹𝑠 − 𝐹𝑏 − 𝐹𝐷
𝑔𝑐 𝑑𝑡

𝑚 𝑑𝑣 𝑚𝑔 𝜌𝑓 𝑚𝑔 𝐶𝑑 . 𝑉 2 . 𝜌𝑓 . 𝐴𝑝
= − −
𝑔𝑐 𝑑𝑡 𝑔𝑐 𝜌𝑝 . 𝑔𝑐 2𝑔𝑐

𝑑𝑣 𝜌𝑓 𝑔 𝐶𝑑 . 𝑉 2 . 𝜌𝑓 . 𝐴𝑝
=𝑔− −
𝑑𝑡 𝜌𝑝 2𝑚

Jika mula-mula benda diam (V=0), ∑ 𝐹𝑚𝑢𝑙𝑎 = 𝐹𝑔 − 𝐹𝑏

Dan selanjutnya benda akan bergerak dengan V meningkat, FD meningkat,


∑ 𝐹 menurun sampai ∑ 𝐹 = 0

𝑑𝑣
Kecepatan maksimum partikel dicapai saat ∑ 𝐹 = 0 jadi =0
𝑑𝑡

(𝜌𝑝 − 𝜌𝑓 ) 𝐶𝑑 . 𝑉𝑡2 . 𝜌𝑓 . 𝐴𝑝
0=𝑔 −
𝜌𝑝 2𝑚

𝐶𝑑 . 𝑉𝑡2 . 𝜌𝑓 . 𝐴𝑝 (𝜌𝑝 − 𝜌𝑓 )
= 𝑔
2𝑚 𝜌𝑝

2𝑔(𝜌𝑝 − 𝜌𝑓 )𝑚
𝑉𝑡2 =
𝐴𝑝 . 𝜌𝑓 . 𝜌𝑝.𝐶𝐷

2𝑔(𝜌𝑝 −𝜌𝑓 )𝑚
𝑉𝑡 = √ 𝐴 (7)
𝑝 .𝜌𝑓 .𝜌𝑝.𝐶𝐷

Vt adalah kecepatan maksimum yang dapat dicapai, dan akan konstan. Kecepatan
maksimum ini disebut kecepatan terminal partikel (terminal velocity).

Proses sedimentasi dapat dikelompokan dalam tiga klasifikasi, bergantung


dari sifatan padatan di dalam suspensi :

1. Discrete (free settling)

Merupakan pengendapan partikel tanpa koagulan. Free settling


kondisi dimana partikel akan jatuh bebas dan tersedimentasi (mengendap)
hanya karena adanya pengaruh gravitasi, tanpa gangguan / halangan dari

5
dinding bejana atau dari partikel lainnya . Jatuhnya partikel ini dapat
dibedakan menjadi dua tahap.

1. Pada tahap ini, partikel akan jatuh dengan percepatan tertentu karena
adanya efek dari gaya gravitasi, sehingga kecepatannya akan
meningkat. Partikel jatuh dengan kecepatan yang relatif kecil
sehingga gaya drag (gesekan fluida) bernilai kecil dan tidak bisa
mengimbangi gaya gravitasi. Tahap ini berlangsung selama periode
waktu yang relatif singkat (kurang lebih 0,1 detik).
2. Pada tahap kedua, partikel yang terus dipercepat akan menaikan
kecepatannya sehingga gaya drag juga akan semakin membesar.
Sehingga suatu waktu kecepatan dari benda akan konstan karena
terjadi kesetimbangan gaya antara gaya drag, gaya angkat fluida dan
gaya gravitasi. Kecepatan tersebut dinamakan terminal velocity.

Untuk partikel berbentuk bola, maka kecepatan terminalnya menjadi :

𝜋𝐷𝑝2 𝜋𝐷𝑝2
𝐴𝑝 = 𝑚 = 𝜌𝑝 . 𝑉𝑝 = 𝜌𝑝
4 6

Sehingga :

𝜋.𝐷3𝑃
2𝑔(𝜌𝑝 −𝜌𝑓 )(𝜌𝑓 .
6
𝑉𝑡 = √ 𝜋𝐷2𝑝
.𝜌𝑝 .𝐶𝐷 .𝜌𝑓
4

4(𝜌𝑝 −𝜌𝑓 )𝑔.𝐷𝑝


𝑉𝑡 = √ (8)
3𝐶𝐷 .𝜌𝑓

dimana :

vt = kecepatan terminal
ρp = densitas partikel
𝜌𝑓 = densitas fluida
DP = diameter partikel
g = percepatan gravitasi
CD = drag coefficient

6
Untuk mendapatkan harga koefisien gesek, bila alirannya laminar (NRe <1),
maka besarnya koefisien gesek adalah

24 24
CD   (9)
DP .v. /  N Re

Dimana : NRe = Reynold number

µ = viskositas cairan

Sehingga

4(𝜌𝑝 − 𝜌𝑓 )𝑔. 𝐷𝑝
𝑉𝑡 = √
3𝐶𝐷 𝜌𝑓

4(𝜌𝑝 − 𝜌𝑓 )𝑔. 𝐷𝑝
𝑉𝑡 2 =
3𝐶𝐷 𝜌𝑓

(𝜌𝑝 − 𝜌𝑓 )𝑔. 𝐷𝑝
𝑉𝑡 2 = 4
24𝜇
3 𝜌 𝑉 𝐷 𝜌𝑓
𝑓 𝑡 𝑝

𝑔𝐷𝑝2 (𝜌𝑝 −𝜌𝑓 )


𝑉𝑡 = (10)
18𝜇

Persamaan ini dikenal dengan Hukum Stokes

2. Pengendapan terhalang (Hindered Settling)

Pengendapan koloid dan partikel tersuspensi, dimana partikel saling


berdekatan dan jumlah partikel banyak sehingga gaya/gerakan antar partikel
menghalangi pengendapan partikel-partikel. Partikel berada pada posisi
yang relatif tetap dan semuanya mengendap pada suatu kecepatan yang
konstan. Hal ini mengakibatkan massa partikel mengendap sebagai suatu
zona dimana kecepatan pengendapannya lebih rendah dibanding pada free
settling, dan menimbulkan suatu permukaan kontak antar solid dan liquid.
Kecepatan terminal untuk hindered settling dapat dihitung dari persamaan
empiris berikut:

7
vH 
 P   g.DP2 R (11)
18. m

dimana : vH = kecepatan terminal hindered settling

ρ = densitas bulk / suspensi

 m = viskositas bulk / suspensi

101.821 
m   (12)

dimana : μ = viskositas fluida

ε = fraksi volum fluida dalam suspensi

3. Flocculant settling

Pengendapan material koloid dan solid tersuspensi tejadi melalui


adanya penambahan flokulan, biasanya digunakan untuk mengendapkan
flok-flok kimia setelah proses koagulasi dan flokulasi. Terjadi interaksi antar
partikel sehingga ukuran meningkat dan kecepatan pengendapan bertambah.

4. Compression settling :
Terjadi pemampatan partikel yang terjadi karena setiap lapisan solid
menyangga lapisan solid di atasnya membentuk floc yang kompak.

Sedimentasi dapat berlangsung secara batch, semi batch, dan kontinyu :

1. Sedimentasi Batch
Proses sedimentasi batch dilakukan dengan mengendapkan suatu
larutan homogen dari suspensi kasar dan mengukur ketinggian bidang batas
antara larutan jernih dan larutan pekat pada tiap selang waktu tertentu.
Kecepatan penurunan ketinggian bidang batas disebut “kecepatan
sedimentasi”. Sedimentasi ini biasanya dilakukan pada temperatur yang
seragam untuk menghindari gerakan fluida atau konveksi akibat adanya
perbedaan densitas karena perbedaan temperatur.

8
Gambar 1.2 Tahapan Proses Pengendapan

Keterangan : A = cairan jernih

B = zona dengan konsentrasi seragam (=konsentrasi awal)

C = zona dengan konsentrasi bervariasi

D = zona padatan termampatkan (compression zone)

Zone-zone tersebut juga akan terdapat pada sedimentasi secara


kontinu.Bedanya jika kondisi steady state telah tercapai, maka tinggi setiap
zone pada sedimentasi kontinu (thickener) akan konstan. Berikut keterangan
setiap gambar diatas :

A. Gambar (a) menunjukan suspensi terdistribusi secara seragam


didalam zat cair dimana . seiring dengan berjalannya waktu, partikel-
partikel padatan mulai mengendap dan laju mengendapnya partikel
tersebut diasumsi sebagai terminal velocity.
B. Gambar (b) terdapat beberapa zona konsentrasi. Daerah D didominasi
endapan partikel-partikel padatan yang lebih berat dan lebih cepat
mengendap. Pada zona C terdapat partikel dengan ukuran yang
berbeda-beda dan konsentrasi yang tidak seragam. Daerah B adalah
daerah dengan konsentrasi yang seragam dan hampir sama dengan
keadaan mula-mula. Pada daerah B ini partikel-partikel turun dengan
bebas hambatan dan terjadi proses free settling. Di atas daerah B
adalah daerah A yang berupa liquid jernih.

9
C. Gambar (c) dalam pulp yang terflokulasi dengan baik batas antar zona
A san zona B tajam. Jika terdapat partikel yang teraglomerasi, zona A
keruh dan batas antara zona A dan B kabur dengan adanya
pengendapan, zona D dan A bertambah, dan tebal zona C tetap, zona
B berkurang.
D. Gambar (d) menunjukkan daerah A dan D semakin luas, sebanding
dengan berkurangnya daerah B dan C. Pada akhirnya daerah B dan C
akan hilang dan semua padatan terdapat pada daerah D sehingga
hanya tersisa daerah A dan D. Keadaan seperti ini disebut dengan
“Critical Settling Point”.
E. Gambar (e) yaitu keadaan dimana terbentuk bidang batas tunggal
antara liquid jernih dan endapan. Pada saat daerah A dan daerah D
berbatasan secara langsung, mulai terjadi proses kompresi pada
partikel, yaitu cairan yang masih ada dalam daerah D akan terdesak
keluar menuju daerah A, seakan-akan melalui media poros. Sebagai
akibat dari ketinggian endapan, daerah D masih akan menurun dengan
kecepatan yang sangat lambat.

2. Sedimentasi Semi-Batch
Pada sedimentasi semi-batch, hanya terdapat cairan keluar atu masuk
saja. Jadi, kemungkinan hanya ada slurry yang masuk atau beningan saja.

3. Sedimentasi kontinyu
Pada proses ini terdapat slurry yang masuk dan cairan bening yang
keluar pada saat bersamaan. Saat kondisi steady state, maka ketinggian cairan
akan selalu tetap.

Pada industri operasi sedimentasi sering dijalankan dalam proses kontinyu


yang disebut thickener. Berupa tangki silinder yang bagian bawahnya berbentuk
kerucut, umpan yang mengalir melalui suatu palungan miring atau tempat
menampung suspensi pada bagian tengah. Cairan ini mengalir seacar radial dengan
kecepatan yang s emakin berkurang sehingga memungkinkan terjadinya overflow

10
liquid (supernatant), dan menghasilkan sludge dari bagian bawah tangki
(underflow).

Data dari hasil percobaan sedimentasi secara batch dapat digunakan sebagai
dasar dalam perancangan thickener. Adapun data yang digunakan adalah data
ketinggian saat steady-state sudah tercapai, Z∞ (ditandai dengan konstannya
ketinggian daerah D), yang kemudian disesuaikan dengan luas penampang
thickener yang diinginkan.
Pada sedimentasi batch dapat diamati bahwa tinggi permukaan setiap
daerah berubah-ubah menurut waktu. Daerah-daerah yang sama juga akan nampak
pada peralatan sedimentasi kontinyu. Dalam sedimentasi ini, suatu saat keadaan
steady state pasti juga akan tercapai (yaitu pada saat slurry diumpankan per satuan
waktu ke dalam thickener akan sama dengan rate sludge pada aliran underflow dan
cairan jernih pada overflow), sehingga tinggi tiap daerah menjadi konstan.

Gambar 1.3 Daerah slurry pada sedimentasi kontinyu tunak


Pada saat steady state : Feed = clear liquor over flow + thickened sludge underflow.
Pada proses sedimentasi kontinyu waktu detensi (t) adalah sebesar volume basin
(v) dibagi dengan laju alir (Q)
v
t
Q
Overflow rate (Vo) menggambarkan besarnya kecepatan pengendapan adalah
fungsi dari laju alir (Q) dibagi dengan luas permukaan basin (Ap).

11
Q
V0 
Ap

Laju linier (V) menggambarkan besarnya kecepatan horizontal adalah fungsi dari
laju alir (Q) dibagi dengan luas area tegak lurus aliran.
Q
V
2rH

Ketinggian tangki sedimentasi (H) adalah

H  V0 t (13)

Laju pengendapan

Profil tinggi interface dari waktu ke waktu pada sedimentasi secara batch

ditunjukkan pada gambar berikut :

Gambar 1.4 Hasil sedimentasi batch

Data yang diperoleh dari percobaan sedimentasi batch (Z vs t), digunakan untuk
design sedimentasi kontinu.

Laju pengendapan partikel padat dalam zat cair dapat dibagi beberapa faktor
antara lain :

a. Berat jenis dan partikel


Berat jenis fluida lebih besar dari pada berat jenis partikel padatannya,
maka laju pengendapan lamban. Begitu pula sebaliknya, semakin besar
berat jenis partikel maka laju pengendapan partikel cepat.
b. Bentuk dan ukuran partikel

12
Partikel yang memilki ukuran yang besar dan kasar dapat dengan
mudah dipisahkan dalam waktu yang singkat sehingga terjadi
pengendapannya besar. Dibandingkan padatan halus realtif lebih lama
untuk mengendap karena padatan halus diusahakan menggumpal
menjadi partikel yang lebih besar agar cepat mengendap.

c. Viskositas air
Laju pengendapan sangat dipengaruhi oleh viskositas dimana
viskositas sangat berkaitan erat denga suhu yang ada. Bila temperatur
tinggi maka viskositas menurun sehingga bentuk dan ukuran semakin
kecil sehingga laju pengendapan cepat.

d. Aliran dalam bak pengendap


Aliran dalam bak pengendapan akan mempengaruhi laju
pengendapan. Pada aliran laminer laju pengedapan cepat sedangkan pada
aliran turbulen laju pengendapan akan sangat terganggu maka akan
sangat lamban.

Sebagai fungsi waktu maka laju pengendapan juga merupakan fungsi dari
konsentrasi :

Gambar 1.5 Hubungan laju pengendapan dengan konsentrasi

Dari grafik tersebut dapat diketahui jika konsentrasi padatan menurun maka
kecepatan pengendapan naik.

13
Dalam thickener yang beroperasi kontinyu, slurry akan menyebar secara
radial, dimana di bagian atas, solid akan mengendap ke bawah secara free settling.
Di bawahnya, terdapat daerah transisi dengan konsentrasi solid yang semakin
meningkat sampai pada daerah kompresi dan akhirnya slurry dikeluarkan melewati
underflow. Pada daerah ini, kecepatan pengendapan akan sangat melambat,
ditunjukkan melalui kompresi solid dan pendorongan air ke atas melewati solid.
Oleh karena itu, kondisi hindered settling yang terbesar terjadi pada daerah
kompresi ini.
Model yang dikembangkan untuk design sedimentasi kontinu dari data
percobaan batch.
Kajian pada salah satu lapisan dengan konsentrasi c pada percobaan secara batch.

(v + dv + vL) (c – dc)

vL

cL(v + vL)

Gambar 1.6 Fluks padatan suatu lapisan slurry pada thickener

Keterangan :
V = laju pengendapan partikel pada lapisan tersebut relatif terhadap dinding
kolom.
VL = laju pergerakan lapisan ke atas relatif terhadap dinding kolom
V + VL = laju pengendapan partikel dalam lapisan tersebut relatif terhadap
lapisan.
Vc + dc = konsentrasi satu lapisan di atasnya
V + dV = laju pengendapan partikel pada lapisan di atasnya relatif terhadap
kolom
V + dV+VL = laju pengendapan partikel pada lapisan di atasnya, relatif terhadap
lapisan

14
Gambar 1.6 di atas menunjukkan perubahan konsentrasi dalam suatu lapisan.
Padatan akan mengendap dengan konsentrasi (c – dc) terhadap kecepatan (v + dv)
dan terhadap kolom dan lapisan (v + dv + vL). Jika lapisan dianggap mempunyai
konsentrasi konstan. Neraca massa pada lapisan dengan konsentrasi C (dimana
lapisan ini bergerak ke arah atas terhadap dinding kolom), maka persamaan neraca
massa padatannya akan ditulis
Laju massa masuk lapisan = laju massa keluar lapisan
(c-dc) S θ (v+dv+vL) = c S θ (v+vL)
dimana S adalah luas penampang yang dilewati aliran. Dari persamaan di atas maka
akan didapat penyelesaian untuk nilai vL :

Dengan mengabaikan dv karena perbedaan konsentrasi antara lapisan yang sangat


kecil, maka dv dpat diabaikan :

dv
vL  c v
dc

Karena laju penurunan tinggi interface merupakan fungsi dari konsentrasi,


maka dv/dc adalah f’(c) sedangkan v = f(c) maka persamaan di atas menjadi :

vL  c. f ' (c)  f (c)

Karena konsentrasi c konstan pada lapisan ini, maka f (c) dan f’(c) juga
konstan, dan vL juga selalu konstan. Karena konstan, maka vL digunakan untuk
menentukan konsentrasi solid.

Mula-mula dalam kolom terdapat co dan zo sebagai konsentrasi dan tinggi


awal padatan tersuspensi dalam sedimentasi batch. Jumlah total padatan dalam
slurry adalah cL z0 S, dimana S adalah luas penampang dalam silinder. Jika cL adalah
konsentrasi interfase lapisan dan waktu untuk mencapai konsentrasi ini adalah L,

15
maka solid yang melewati lapisan ini adalah cL S L (v+vL). Harga ini sebanding
dengan jumlah padatan yang ada dari konsentrasi mula-mula sampai timbulnya
daerah jernih yang bertambah luas, sehingga persamaan neraca massa padatannya
menjadi :

cL S θL (v+vL) = c0 z0 S (14)

Jika zL adalah tinggi pada saat L maka kecepatan sesuai dengan:

zL
vL  (15)
L

Persamaan diatas disubtitusikan ke neraca massa solidnya, maka akan


didapatkan penyelesaian untuk CL sebagai berikut :

(16)

Dari data percobaan maka dapat dibuat plot antara tinggi bidang batas / interfase
sebagai fungsi dari waktu, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 1.7 Penentuan zi


Dari gambar diatas maka akan didapat kecepatan rata-rata penurunan tinggi
interface, yaitu dari slope kurva pada saat  = L yang dapat dituliskan sebagai
berikut :

16
zi  z L
 vL Atau zi  zL   LvL (17)
L

Jika (17) disubstitusikan ke (16) diatas, maka akan diperoleh persamaan


sebagai berikut:

cL . zi = co . zo (18)

Dari persamaan diatas maka dapat disimpulkan bahwa zi adalah tinggi bidang
batas atau interface yang akan tercapai bila semua padatan berada pada konsentrasi
seragam CL. Pada kenyataan nyata, CL adalah konsentrasi minimum pada lapisan
interface.

Luas Area Thickener

Untuk menentukan luas penampang dibutuhkan pada luas penampang


thickener adalah ditetapkan oleh lapisan area maksimum untuk melewatkan
kuantitas satuan padatan. Oleh karena itu, perlu ditentukan konsentrasi pada
lapisan.

Di dalam continuous thickener flux massa terhadap dinding thickener,


merupakan gabungan dari “batch flux” dan “underflow flux”. Batch flux (FB)
merupakan flux partikel karena settling , sedangkan underflow flux (Fu) adalah flux
partikel karena terbawa aliran underflow.

F  FB  FU
LU .c (19)
F  c.v 
A

Keterangan :

c = konsentrasi pada suatu lapisan (gr/cm3)

V = kecepatan settling (terhadap dinding) pada konsentrasi c (cm/dt)

Lu = laju alir volumetrik underflow (cm3/dt)

A = luas penampang thickener (cm2)

F = flux total (gr/cm2dt)

17
Solid flux
FL
FB

CL
Konsentrasi padatan
Lu
FU = CLLu/A
/
A
Gambar 1.8 Fluks padatan minimum thickener

Dari gambar di atas fluks padatan FL pada konsentrasi CL adalah fluks padatan
yang minimum di antara fluks padatan pada semua konsentrasi padatan. FL disebut
kapasitas fluks batas, dan luasan harus dirancang sedemikian sehinggga fluks yang
melewati luasan tersebut tidak melebihi FL. Karena alasan tersebut maka luasan
thickener dihitung berdasarkan FL:

L0 .c 0
A (20)
FL

Keterangan :

Lo = laju alir volumetrik umpan

Co = konsentrasi partikel di umpan

FL = flux minimum

A = luas penampang minimum thickener agar menghasilkan clear liquid

Dari perhitungan di atas maka luasan yang dipakai dalam thickener harus
lebih besar dari hasil perhitungan di atas. Jika tidak, maka thickener tidak bisa
melewatkan partikel dengan fluks pengendapan yang cukup sehingga cairan
overflow yang didapat tidak bisa jernih.

Silinder batch sekali lagi merupakan dasar dari prosedur. Saat diawal
percobaan, padatan tersebar merata di seluruh silinder pada konsentrasi c0. Massa
total pada padatan adalah c0Az0, dimana:

18
 A adalah luas penampang pada silinder
 zo adalah tinggi awal pada interface, yang mana dalam kasus ini
merupakan kedalaman cairan

Dan θc adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi kritis c2.
Secara fisik, konsentrasi ini tercapai pada saat kecepatan pengendapan menurun
secara cepat. Massa padatan pada silinder adalah konstan. Material balance yang
dihasilkan oleh padatan

c0 Az 0  cc Az c  cu Azu (21)

Atau c 0 z 0  c c z c  cu z u

Dimana u menyatakan nilai underflow. Jika proses thickener adalah dianggap


dari konsentrasi cc menjadi cu, sejumlah air harus dibuang untuk mengakomodasi
perubahan konsentrasi ini. Volume air yang ditekan ialah:

V  A( z c  z u )

dan waktu yang dibutuhkan untuk melepas volume dari air yaitu (θu-θc ). Sehingga,
volumetric flow adalah:

V A( z c  z u )
L  \
( u   c ) ( u   c )

Jadi penyelesaian dari (θu-θc ) yaitu

A( z c  z u )
( u   c )  (22)
L

Pada pengaturan kecepatan di θc ialah diperoleh dari slope kurva pada θc , atau

z1  z c
vc 
c

19
Dapat dilihat pada gambar di bawah ini

z0 Corresponds to 𝑐𝑐
z1 Angle bisector line

Tinggi
zc
interface,
z

zu

θc θu

Waktu, θ

Gambar 1.9 Penentuan konsentrasi kritis


Dalam kondisi aliran kontinu, aliran cairan jernih tidak dapat melebihi vc jika
penebalan akan terjadi. Oleh karena itu, aliran pada θc saat mulai menebal adalah
 (z  zc ) 
L  Avc  A 1  (23)
  c 
Mensubstitusikan L dari persamaan (23) ke persamaan (23)
z c  z u  ( z1  z c ) 
  (24)
 u   c   c 
Pada persamaan (24) digunakan untuk menghitung θu di Gambar 1.3.13 yang
diikuti zu yang dapat dihitung dari persamaan (21) menjadi
z 0 c0
zu (25)
cv
Dalam Gambar 1.3.9 yang menunjukkan zu dan θu dapat dihitung dengan
persamaan (24) atau diperoleh dari memplot dimana garis horizontal melalui zu
memotong tangen ke kurva melalui θc.
Pada cara Talmadge dan Fitch yang diterapkan pada analisis uji batch yang
dijelaskan di atas digunakan untuk menentukan area minimum untuk continuous
thickener. Tingkat massa rata-rata dimana lapisan konsentrasi cu terbentuk di
cu z u A
thickener adalah . Tetapi, karena cu z u  c0 z 0 sesuai dengan persamaan (21),
u

20
c0 z 0 A
tingkat massa rata-rata adalah . Untuk operasi pada kontinyu, tingkat
u
dimana lapisan konsentrasi cu terbentuk harus sama dengan saat padatan memasuki
unit.
c0 z 0 L0 0
L0 c 0  atau A (21)
c z0

Koagulasi – flokulasi

Dalam proses sedimentasi, koagulasi dan flokulasi tidak dapat dipisahkan.


Dimana peristiwa koagulasi yang terjadi lebih dahulu kemudian disusul dengan
peristiwa flokulasi. Pada proses koagulasi terjadi destabilisasi koloid dan partikel
dalam air sebagai akibat dari pengadukan cepat dan pembubuhan bahan kimia
(disebut koagulan). Akibat dari pengadukan cepat, koloid dan partikel yang stabil
berubah menjadi tidak stabil karena terurasi menjadi partikel tang bermuatan positif
dan negatif. Pembentukan ion positif dan negatif juga dihasilkan dari proses
penguraian koagulan. Proses ini berlanjut dengan pembentukan ikatan antara ion
positif dari koagulan dengan ion negatif dari partikel dan ion positif dari partikel
dengan ion negatif dari koagulan yang menyebabkan pembentukan inti flok
(presipitant).

Setelah terbentuk inti flok, diikuti proses flokulasi, yaitu penggabungan inti
flok menjadi flok berukuran lebih besar yang memungkinkan partikel dapat
mengendap. Penggabungan flok kecil menjadi flok besarterjadi karena adanya
tumbukan antar flok. Tumbukan ini terjadi akibat adanya pengadukan lambat. Pada
bak pengaduk cepat, dibubuhkan koagulan, sedangkan pada bak pengaduk lambat
terjadi pembentukan flok yang berukuran besar hingga mudah diendapkan pada bak
sedimentasi.

I.4 HIPOTESA

1. Semakin besar ukuran partikel, konsentasi dan berat jenis partikel maka
laju pengendapan semakin besar.
2. Data percobaan antar tinggi interface vs waktu dapat digunakan untuk
design sedimentasi kontinyu.

21
BAB II
PERCOBAAN

II.1. Variabel Percobaaan


- Konsentrasi: 75 gr/L dan 100 gr/L
- Diameter partikel: 70/100 mesh dan 140/200 mesh
- Flokulan : tanpa flokulan, 0,4 gr/L, 0,6 gr/L .
II.2. Alat-alat yang Digunakan

1. Beaker glass 1000 ml


2. Stopwatch
3. Neraca
4. Ayakan
5. Piknometer
6. Gelas ukur sedimentasi
II.3. Bahan-bahan yang Digunakan
1. Bleaching earth
2. Floculant agent (Aluminium Sulfat, Al2(SO4)3)
3. Air
II.4. Prosedur Percobaan.
1. Menimbang partikel bahan yang telah diketahui diameternya sesuai
dengan konsentrasi partikel dalam suspensi yang akan dibuat.
2. Membuat 1 liter suspensi partikel dan menuangkannya dalam gelas
ukur.
3. Mencatat tinggi suspensi awal dalam gelas ukur (Zo).
4. Mencatat tinggi bidang batas tiap 2 menit (Z) hingga tinggi bidang
batas hampir konstan (Z~)
5. Mengulangi langkah 1 sampai 4 dan menggunakan ukuran partikel
yang berbeda, konsentrasi berbeda dan dengan menambahankan
flokulan agen (Aluminium Sulfat).

22
II.5. Gambar Alat

Gambar 2.5.1 Gambar Alat


II.6. Data Percobaan
Tabel 2.1 Data Percobaan pada Feed 75 gr/L
z (cm)
75 gr/L
ukuran-70+100 mesh ukuran -140+200 mesh
t
(menit) Dengan Dengan Dengan Dengan
Tanpa flokulan flokulan Tanpa flokulan flokulan
flokulan (0,4 (0,6 flokulan (0,4 (0,6
gr/L) gr/L) gr/L) gr/L)
0 27 26,9 27 27,5 27,6 27,6
2 26,8 25,5 24,2 25 25 25,1
4 23,5 22,7 21,5 23,7 23,3 22,3
6 21,3 20,2 19 19,3 21,3 19,5
8 18,9 19,3 16,3 16,5 19,2 16,8
10 17,5 16,9 13,2 13,9 17,1 14,3
12 15 15,5 10,7 11,5 15 11,7
14 13,2 13,5 7,6 9,3 13,2 9,4
16 10,9 11,2 4,8 6,4 10,9 7,2
18 8,5 9,4 4,5 5,3 9 5,7
20 7,4 7,5 4,2 4,8 7,2 5,2
22 4,5 5,7 3,9 4,4 5,3 4,8
24 4,9 4,5 3,8 4,2 5,2 4,5
26 4,2 4,3 3,6 4,1 4,5 4,3
28 4 4,2 3,5 4 4,3 4,2
30 4 3,9 3,5 4 4,1 4
32 3,8 3,8 3,5 4 4,1 3,9
34 3,7 3,6 4 3,9

23
36 3,6 3,6 3,9 3,9
38 3,5 3,6 3,9
40 3,5 3,9
42 3,5

Tabel 2.2 Data Percobaan pada Feed 100 gr/L


z (cm)
100 gr/L
ukuran -70+100 mesh ukuran -140+200 mesh
t (menit) Dengan Dengan Dengan Dengan
Tanpa flokulan flokulan Tanpa flokulan flokulan
flokulan (0,4 (0,6 flokulan (0,4 (0,6
gr/L) gr/L) gr/L) gr/L)
0 27,7 27,5 27,7 27,7 27,3 27,4
2 26 26,2 25,3 25,3 25,7 25,3
4 24,6 24,9 23,4 23,6 24,3 23,2
6 23,1 23,4 21,4 21,7 22,8 22,1
8 21,5 21,9 19,3 20,2 21,1 20,2
10 20,3 20,5 17,4 18,9 19,7 18,2
12 18,6 18,8 15,5 16,7 18,2 17
14 16,8 17,5 13,8 15,4 16,3 15,5
16 15,6 16 11,8 13,9 15 13,6
18 13,8 13,7 9,9 12,1 13,6 11,8
20 12,7 12,9 8,2 10,5 11,8 10
22 11,2 11,5 7,2 9,4 10,3 9,1
24 9,5 10 6,8 8 8,9 7,6
26 8,7 9,1 6,4 7,4 7,7 7,1
28 7,2 7,7 6 6,8 7,2 6,6
30 6,8 6,8 5,8 6,5 6,6 6,2
32 6,5 6,5 5,4 6,1 6,3 5,9
34 6 6,4 5,2 6 6 5,6
36 6 6,2 5,2 5,7 5,7 5,5
38 5,6 5,8 5,2 5,5 5,5 5,5
40 5,4 5,6 5,5 5,5 5,5
42 5,3 5,4 5,5 5,5
44 5,2 5,3
46 5,1 5,1
48 5,1 5,1
50 5,1 5,1

24

Anda mungkin juga menyukai