Anda di halaman 1dari 26

Bagian Ilmu Kesehatan Mata Laporan Kasus & Referat

Fakultas Kedokteran Maret 2019


Universitas Hasanuddin

OCULUS DEXTRA ENDOFTALMITIS

Oleh:
A. Moehammad Arief Ashari
C014172067

Pembimbing
dr. Ulfah Rimayanti

Supervisor
dr. Hamzah, Sp. M(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS HASANUDDIN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menerangkan bahwa laporan kasus dan
referat dengan judul Oculus Dextra Endoftalmitis, yang disusun oleh:

Nama : A. Moehammad Arief Ashari


NIM : C014172067
Asal Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Telah diperiksa dan dikoreksi, untuk selanjutnya dibawakan sebagai tugas


pada bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
pada waktu yang telah ditentukan.

Makassar, Maret 2019

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Hamzah, Sp. M(K) dr. Ulfah Rimayanti


BAB 1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. D
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 58 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Bugis/Indonesia
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Rappokalling
No. Register : 128199
Tanggal pemeriksaan : 15 Maret 2019
Rumah sakit : Balai Kesehatan Mata Masyarakat
Pemeriksa : dr. A

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Penurunan penglihatan pada mata kanan
Anamnesis Terpimpin
Keluhan dialami sejak 1 bulan terakhir memberat seminggu yang lalu
disertai dengan mata merah, nyeri dan kelopak mata bengkak sebelum ke
poliklinik mata BKMM. Rasa gatal dialami sesekali, air mata berlebih ada
dan kotoran mata yang berlebih ada berwarna kuning.
Riwayat didiagnosis oculus dextra ulkus kornea 3 bulan lalu dan
sempat membaik. Tetapi sekitar sebulan terakhir pasien tidak datang kontrol
(putus berobat) di poliklinik mata. Riwayat terkena serbuk kayu saat bekerja
pada awal bulan November 2018 kemudian pasien mengobati matanya
dengan menggunakan obat tetes mata (xytrol) tanpa resep dokter selama 1
bulan.
Riwayat operasi mata tidak ada. Riwayat menggunakan kacamata
tidak ada. Riwayat diabetes mellitus, hipertensi dan alergi disangkal.
Riwayat dengan keluhan yang sama pada keluarga disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIS


STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Sakit Berat/ Gizi Baik/ Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98 kali/menit
Pernafasan : 20 kali/menit
Suhu : 36,7 „C

IV. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI


STATUS LOKALIS
1. Inspeksi

(a)

(b) (c)
Gambar 1. (a) Oculus Dextra et Sinistra, (b) Oculus Dextra, (c) Oculus
Sinistra
PEMERIKSAAN OD OS
Edema (+) dan
Palpebra Edema (-)
hiperemis (+) minimal
Apparatus Lakrimalis Hiperlakrimasi (+) Hiperlakrimasi (-)
Sekret (+), konsistensi
Silia kental, purulent Sekret (-)
berwarna kuning
Hiperemis (+), mixed
Konjungtiva Hiperemis (-)
injection (+)
Bola mata Intak Intak

Normal ke segala arah Normal ke segala arah

Mekanisme muskular

Keruh pada seluruh


Kornea Jernih
permukaan
Bilik Mata Depan Sulit dinilai Normal
Iris Sulit dinilai Coklat, kripte (+)
Pupil Sulit dinilai Bulat, sentral
Lensa Sulit dinilai Jernih

2. Palpasi

Pemeriksaan OD OS
Tensi okuler Tn Tn
Nyeri tekan Ada Tidak ada
Massa tumor Tidak ada Tidak ada
Glandula preaurikuler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
3. Tonometer/NCT
TOD: -
TOS: 12

4. Visus
VOD: 1/∞ (Tidak dilakukan koreksi)
VOS: 20/70 (Tidak dilakukan koreksi)

5. Light Sense
Refleks Cahaya Refleks Cahaya Tidak
Langsung Langsung
OD Sulit dinilai Sulit dinilai
OS (+) Sulit dilakukan
pemeriksaan

6. Penyinaran Oblik
No Pemeriksaan Oculus Dextra Oculus Sinistra
1 Konjungtiva Hiperemis (+),mixed Hiperemis (-)
injection (+)
2 Kornea Keruh pada seluruh Jernih
3 Bilik mata depan permukaan Normal
4 Iris Sulit dinilai Coklat, kripte (+)
5 Pupil Sulit dinilai Bulat, sentral, refleks
Sulit dinilai cahaya (+)
6 Lensa Sulit dinilai Jernih

7. Funduskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan
8. Slit Lamp

Gambar 2. Slit Lamp Oculus Dextra

- SLOD : Konjungtiva hiperemis (+), mixed injeksio (+), kornea keruh


pada seluruh permukaan kesan udem kornea, detail lain sulit
dievaluasi.
- SLOS : Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD normal, iris
coklat kripte (+), pupil bulat sentral, refleks cahaya (+), lensa
jernih.

9. USG Oculi

Gambar 3. USG Oculus Dextra


USG OD :
a. Echo : Baik
b. Gain : 50dB
c. Lensa kesan jernih
d. Vitreus tampak gambaran hiperechoik pada segmen posterior
e. Retina kesan intak
f. Coroid kesan intak
g. Nervus II kesan intak

V. RESUME
Seorang laki-laki berusia 58 tahun datang ke poli BKMM Sulsel
dengan keluhan penurunan penglihatan pada mata kanan yang dialami sejak
1 bulan terakhir memberat seminggu yang lalu disertai dengan mata merah,
nyeri dan kelopak mata bengkak sebelum ke poliklinik mata BKMM. Rasa
gatal dialami sesekali, air mata berlebih ada dan kotoran mata yang berlebih
ada berwarna kuning.
Riwayat didiagnosis oculus dextra ulkus kornea 3 bulan lalu dan
sempat membaik. Tetapi sekitar sebulan terakhir pasien tidak datang kontrol
(putus berobat) di poliklinik mata. Riwayat terkena serbuk kayu saat bekerja
pada awal bulan November 2018 kemudian pasien mengobati matanya
dengan menggunakan obat tetes mata (xytrol) tanpa resep dokter selama 1
bulan.
Riwayat operasi mata tidak ada. Riwayat menggunakan kacamata
tidak ada. Riwayat diabetes mellitus, hipertensi dan alergi disangkal.
Riwayat dengan keluhan yang sama pada keluarga disangkal.
Dari pemeriksaan oftalmologi, pada oculus dextra didapatkan palpebra
udem dan hiperemis minimal, hiperlakrimasi, sekret berlebihan pada silia
dengan konsistensi kental, purulent berwarna kuning, konjungtiva hiperemis
dan adanya mixed injectio, kornea keruh pada seluruh permukaan kesan
udem kornea, BMD sulit dievaluasi. Detail lain sulit dinilai karena terhalang
oleh kornea yang keruh. Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD : 1/∞ dan
VOS : 20/70 (tidak dilakukan koreksi). Tidak dilakukan pemeriksaan
funduskopi. Pada pemeriksaan Slit lamp, SLOD : Konjungtiva hiperemis
(+), mixed injeksio (+), kornea keruh di seluruh permukaan kesan udem
kornea, BMD sulit dievaluasi karena kekeruhan kornea. Pada pemeriksaan
USG oculus dextra tampak gambaran hiperechoik pada segmen posterior
pada rongga vitreus.

VI. DIAGNOSIS
OD Endoftalmitis

VII. DIAGNOSIS BANDING


- Toxic anterior segmen syndrome (TASS)

VIII. PENATALAKSANAAN
Injeksi intravitreal :
 Vancomycin 1.0mg/0.1ml + Ceftazidime 2.0mg/0.1ml
 Dexamethason 0.4mg/ 0.1ml
Sistemik :
 Ciprofloxacin 500mg/12 jam/oral
 Metil prednisolon 16mg/12 jam/oral
Topikal :
 Moxifloxacin ED 1 tetes/3 jam/OS
 Atropine Sulfate 0.5% ED 1 tetes/6 jam/OS
Rencana OD VPP

IX. PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : Bonam
 Quo ad Sanationam : Dubia et malam
 Quo ad Fuctionam : Dubia et malam
 Quo ad Cosmeticum : Dubia et malam
X. DISKUSI
Pasien ini didiagnosa dengan oculus dextra endoftalmitis berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi. Dari anamnesis didapatkan keluhan
penurunan penglihatan pada mata kanan yang dialami sejak 1 bulan terakhir
memberat seminggu yang lalu disertai dengan mata merah, nyeri dan kelopak
mata bengkak sebelum ke poliklinik mata BKMM. Rasa gatal dialami sesekali,
air mata berlebih ada dan kotoran mata yang berlebih ada berwarna kuning.
Riwayat didiagnosis oculus dextra ulkus kornea 3 bulan lalu dan sempat
membaik. Tetapi sekitar sebulan terakhir pasien tidak datang kontrol (putus
berobat) di poliklinik mata. Riwayat terkena serbuk kayu di mata kanan pada
awal bulan November 2018 kemudian pasien mengobati matanya sendiri dengan
obat tetes mata (xytrol) selama sebulan merupakan faktor predisposisi terjadinya
endoftalmitis et causa ulkus kornea (endoftalmitis eksogen). Hal ini sesuai
dengan kepustakaan tentang etiologi terjadinya endoftalmitis. Selain itu riwayat
penyakit sistemik, alergi, dan riwayat operasi mata disangkal, jadi dapat
menyingkirkan kemungkinan endoftalmitis endogen ataupun endoftalmitis pasca
operasi.
Dari pemeriksaan oftalmologi, pada oculus sinistra didapatkan palpebra
udem dan hiperemis minimal, hiperlakrimasi, sekret berlebihan pada silia dengan
konsistensi kental, purulent berwarna kuning, konjungtiva hiperemis dan adanya
mixed injectio, kornea keruh pada seluruh permukaan kesan udem kornea, BMD
sulit dievaluasi merupakan tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan visus
didapatkan VOD : 1/∞ yang disebabkan oleh adanya kekeruhan pada media
refraksi yaitu pada kornea, BMD dan korpus vitreous dan VOS : 20/70.
Pemeriksaan fundoskopi tidak dapat dilakukan. Pada pemeriksaan Slit lamp,
SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), mixed injeksio (+), kornea keruh di seluruh
permukaan kesan udem kornea, BMD sulit dievaluasi karena kekeruhan kornea
merupakan tanda-tanda endoftalmitis. Pada pemeriksaan USG oculus sinistra
tampak gambaran hiperechoik pada segmen posterior pada rongga vitreus yang
menguatkan lagi diagnosa endoftalmitis.
Penanganan endoftalmitis untuk pasien ini adalah diberikan terapi injeksi
intravitreal Vancomycin + Ceftazidine dan injeksi intravitreal Dexamethason,
terapi sistemik berupa Ciprofloxacin 500mg/12 jam/oral dan Metil prednisolon
16mg/12 jam/oral, terapi topikal pula berupa Moxifloxacin 8x1 tetes OS dan 4x1
tetes OS. Untuk terapi antibiotik, diberikan terapi injeksi intravitreal antibiotik
Vancomycin untuk bakteri gram positif dan Ceftazidine untuk bakteri gram
negatif yang diinjeksikan secara terpisah. Selain itu sebagai antibiotik topikal
diberikan Moxifloxacin. Untuk antibiotik sistemik diberikan Ciprofloxacin tablet.
Sebagai terapi steroid, diberikan injeksi intravitreal Dexamethason tetapi
pemberian injeksi steroid masih menjadi kontroversi. Untuk steroid sistemik
diberikan Metil prednisolon tablet 16 mg, 2 kali sehari. Tujuan pemberian steroid
adalah sebagai antiinflamasi. Atropine Sulfate 0.5% diberikan sebagai
midriatikum dan sikloplegikum untuk mengurangi nyeri karena immobilisasi iris,
mencegah sinekia lensa dengan iris dan menstabilkan blood-aqueous barrier.
Pada kasus ini direncanakan dilakukan OD Vitrektomi Pars Plana (VPP).
VPP bertujuan untuk mengeluarkan organisme beserta produk toksin dan enzim
proteolitiknya yang berada dalam vitreous, meningkatkan distribusi antibiotik
dan mengeluarkan membran siklitik yang terbentuk, yang potensial menimbulkan
ablasi serta mengembalikan kejernihan vitreous.
Pasien pada kasus ini mempunyai prognosis dubia ad malam karena pasien
tersebut sudah mengalami kebutaan. Dengan terapi yang optimal sekalipun,
endoftalmitis memiliki prognosis yang buruk. Prognosis penderita endoftalmitis
tergantung dari kondisi imunitas penderita, durasi dari endoftalmitis, virulensi
bakteri, serta jangka waktu infeksi sampai penatalaksanaan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendahuluan
Endoftalmitis adalah peradangan berat intraokular yang jarang terjadi
namun mengancam penglihatan. Endoftalmitis merupakan inflamasi berat pada
bagian dalam struktur bola mata yang melibatkan rongga vitreus dan ruang
anterior mata dan dapat melibatkan jaringan mata yang berdekatan lainnya seperti
koroid atau retina, sclera atau kornea.
Endoftalmitis termasuk kegawatdaruratan dalam bidang oftalmologi
meskipun bukan 5 besar penyebab terjadinya kebutaan. Endoftalmitis merupakan
peradangan berat dalam bola mata, biasanya akibat infeksi setelah trauma atau
bedah atau endogen akibat sepsis. Berbentuk radang supuratif di dalam rongga
mata dan struktur didalamnya. Peradangan supuratif di dalam bola mata akan
menimbulkan abses di dalam badan kaca. Penyebab endoftalmitis supuratif
adalah kuman dan jamur yang masuk bersama trauma tembus (eksogen) atau
sistemik melalui peredaran darah (endogen).
Endoftalmitis jarang ditemukan namun merupakan komplikasi yang
membahayakan. Endoftalmitis sering terjadi setelah trauma pada mata termasuk
setelah dilakukannya operasi mata yang merupakan faktor risiko masuknya
mikroorganisme ke dalam mata. Mikroorganisme ini menyebabkan infeksi
intraokuler yang disebut endoftalmitis.
Diagnosis endoftalmitis selalu berdasarkan kondisi klinis. Ini biasanya
ditandai dengan edema palpebra, kongesti konjungtiva, dan hipopion atau eksudat
pada COA. Visus menurun bahkan dapat menjadi hilang. Karena hasil pengobatan
akhir sangat tergantung pada diagnosis awal, maka penting untuk melakukan
diagnosis sedini mungkin. Pengobatan bukan untuk mengobati visusnya, karena
visus tidak dapat diperbaiki lagi. Cara yang paling muktahir dalam pengobatan
endoftalmitis adalah dengan melakukan vitrektomi atau Eviserasi.
2.2 Epidemiologi
Endophthalmitis endogen jarang terjadi, hanya terjadi pada 2-15% dari
semua kasus endophthalmitis. Kejadian rata-rata tahunan adalah sekitar 5 per
10.000 pasien yang dirawat. Dalam beberapa kasus, mata kanan dua kali lebih
mungkin terinfeksi sebagai mata kiri, mungkin karena lokasinya yang lebih
proksimal untuk mengarahkan aliran darah ke arteri karotid kanan. Sejak tahun
1980, infeksi Candida dilaporkan pada pengguna narkoba suntik telah meningkat.
Jumlah orang yang beresiko mungkin meningkat karena penyebaran AIDS, sering
menggunakan obat imunosupresif, dan lebih banyak prosedur invasif (misalnya,
transplantasi sumsum tulang).
Sebagian besar kasus endophthalmitis eksogen (sekitar 60%) terjadi
setelah operasi intraokular. Ketika operasi merupakan penyebab timbulnya
infeksi, endophthalmitis biasanya dimulai dalam waktu 1 minggu setelah operasi.
Di Amerika Serikat, endophthalmitis postcataract merupakan bentuk yang paling
umum, dengan sekitar 0,1-0,3% dari operasi menimbulkan komplikasi ini, yang
telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Walaupun ini adalah persentase
kecil, sejumlah besar operasi katarak yang dilakukan setiap tahun memungkinkan
untuk terjadinya infeksi ini lebih tinggi.
Post traumatic Endophthalmitis terjadi pada 4-13% dari semua cedera
penetrasi okular. Insiden endophthalmitis dengan cedera yang menyebabkan
perforasi pada bola mata di pedesaan lebih tinggi bila dibandingkan dengan
daerah perkotaan. Keterlambatan dalam perbaikan luka tembus pada bola mata
berkorelasi dengan peningkatan resiko berkembangnya endophthalmitis. Kejadian
endophthalmitis yang disebabkan oleh benda asing intraokular adalah 7-31%.

2.3 Klasifikasi dan Etiologi1


Endoftalmitis secara etiologi dapat terbagi dua, yaitu kausa infeksius atau
non-infeksius (steril).
2.3.1 Endoftalmitis infeksius

Jalur infeksi:
1. Infeksi eksogen
Inflamasi purulen pada umumnya disebabkan oleh infeksi eksogen pasca
luka perforasi, perforasi dari ulkus kornea atau infeksi pasca operasi
intraocular, seperti operasi katarak.
2. Infeksi endogen atau endoftalmitis metastasis
Jarang terjadi dan biasanya berasal dari penyebaran hematogen yang
berasal dari fokus infeksius dalam tubuh seperti karies gigi, septisemia dan
sepsis purpura.
3. Infeksi sekunder dari struktur sekitarnya
Infeksi ini sangat jarang terjadi. Namun, kasus inflamasi intraokular
purulen telah dilaporkan pasca infeksi selulitis orbita, tromboflebitis, dan
ulkus kornea infeksius.

Organisme penyebab:
1. Endoftalmitis bakterial.
Patogen yang paling sering menyebabkan endoftalmitis bakterial akut
adalah kokus gram positif, yaitu Stafilokokus epidermidis dan
Stafilokokus aureus. Bakteri penyebab lainnya dapat berupa Streptokokus,
Pseudomonas, Pneumokokus, dan Korinebakterium. Propioniakterium
akne dan Aktinomyces merupakan organisme gram positif yang mampu
menyebabkan endoftalmitis kronik.
2. Endoftalmitis jamur
Secara komparatif jarang. Dapat disebabkan oleh Aspergilus, Fusarium,
Kandida, dan lain-lain.
2.3.2 Endoftalmitis non infeksius (steril)
Endoftalmitis steril merujuk pada inflamasi pada struktur bagian dalam
bola mata akibat toksin/substansi toksin tertentu. Hal ini dapat terjadi pada situasi
berikut:
1. Endoftalmitis steril pasca operasi dapat terjadi akibat reaksi toksin
terhadap:
a. Zat kimia yang melekat pada lensa intraokular (LIO) atau
b. Zat kimia yang melekat pada instrumen
2. Reaksi berat yang hanya terjadi pada segmen anterior disebut juga “Toxic
anterior segmen syndrome” (TASS)
Endoftalmitis steril pasca trauma dapat terjadi akibat reaksi toksin
terhadap benda asing yang tertinggal intraokular, contoh: tembaga murni.
3. Endoftalmitis fakoanafilaksis dapat diinduksi oleh protein lensa pada
pasien dengan katarak Morgagni.
4. Nekrosis tumor intraokular dapat menyerupai endoftalmitis steril (sindrom
masquerade).
Endoftalmitis pasca operasi akut merupakan komplikasi berat dari operasi
intraokular dengan insiden mencapai 0,1%. Sumber infeksi. Pada kebanyakan
kasus diperkirakan berasal dari flora normal yang dimiliki pasien pada daerah
periokular seperti palpebra, konjungtiva, dan sakus lakrimalis. Sumber potensi
infeksi yang lain berasal dari instrumen atau cairan yang terkontaminasi, dan flora
normal lingkungan termasuk operator dan personel ruang operasi.
Onset dapat akut atau kronik:
- Onset akut endoftalmitis bakteri biasanya terjadi antara 1-7 hari pascaoperasi.
- Onset kronik endoftalmitis terjadi dalam seminggu hingga berbulan-bulan
pasca operasi.
Jamur merupakan penyebab paling umum dan Propionibakterium acne
merupakan penyebab kedua paling umum dari endoftalmitis kronik.
2.5 Patogenesis 3,4
Dalam keadaan normal, sawar darah-mata (blood-ocular barrier)
memberikan ketahanan alami terhadap serangan dari mikroorganisme. Dalam
endophthalmitis endogen, mikroorganisme yang melalui darah menembus sawar
darah-mata baik oleh invasi langsung (misalnya, emboli septik) atau oleh
perubahan dalam endotelium vaskular yang disebabkan oleh substrat yang
dilepaskan selama infeksi. Kerusakan jaringan intraokular dapat juga disebabkan
oleh invasi langsung oleh mikroorganisme dan atau dari mediator inflamasi dari
respon kekebalan.
Endophthalmitis dapat terlihat nodul putih yang halus pada kapsul lensa,
iris, retina, atau koroid. Hal ini juga dapat timbul pada peradangan semua jaringan
okular, mengarah kepada eksudat purulen yang memenuhi bola mata. Selain itu,
peradangan dapat menyebar ke jaringan lunak orbital. Setiap prosedur operasi
yang mengganggu integritas bola mata dapat menyebabkan endophthalmitis
eksogen.
Secara rinci, patofisiologi dari endoftalmitis dapat diakibatkan dengan
mekanisme sebagai berikut :

1. Endoftalmitis Eksogen

Infeksi purulent yang terjadi disebabkan karena infeksi eksogen yang


diikuti oleh cedera yang mengakibatkan perforasi, perforasi dari ulkus kornea
yang terinfeksi atau akibat infeksi luka post-operasi diikuti oleh operasi
intraokuler. Organisme yang biasanya terdapat pada konjungtiva, palpebra atau
pada alis mata biasanya merupakan penyabab pada endoftalmitis post-operatif.
Sebagian besar kasus dari endoftalmitis eksogen terjadi paska operasi atau setelah
trauma terhadap mata. Bakteri gram positif merupakan penyabab utama, dengan
angka kejadian hampir 90% dari setiap kasus dan merupakan flora normal dari
konjungtiva.
2. Endoftalmitis Endogen

Dalam endophthalmitis endogen, mikroorganisme yang melalui darah


(terlihat pada pasien yang bacteremic dalam situasi seperti endokarditis)
menembus sawar darah-mata baik oleh invasi langsung (misalnya, emboli septik)
atau oleh perubahan dalam endotelium vaskular yang disebabkan oleh substrat
yang dilepaskan selama infeksi. Kerusakan jaringan intraokular dapat juga
disebabkan oleh invasi langsung oleh mikroorganisme dan / atau dari mediator
inflamasi dari respon kekebalan. Hal-hal bakteremia tersebut dapat terjadi pula
pada infeksi caries gigi dan perperal sepsis.
Individu yang mempunyai faktor resiko menjadi endoftalmitis endogen
biasanya memiliki faktor komorbid seperi diabetes mellitus, gagal ginjal
gangguan katup jantung, SLE, AIDS, leukemia dan kondisi keganasan lainya.
Prosedur invasif dapat menyebabkan bakteremia seperti hemodialisis, kateter urin,
endoskopi gastrointestinal, tindakan kedokteran gigi juga dapat menyebabkan
endoftalmitis. Infeksi jamur dapat terjadi sampai dengan 50% pada semua kasus
endoftalmitis endogen, C.albicans merupakan salah satu patogen yang tersering.
Pada penyebab bakteri, S.aureus merupakan bakteri gram positif yang biasanya
diikuti oleh penyakit sistemik yang kronis, seperti diabetes mellitus atau gagal
ginjal.

2.6 Manifestasi klinis 1,5


Endoftalmitis bakteri akut biasanya terjadi setelah tujuh hari pasca operasi.
Gejala dari endoftalmitis adalah :
Dalam menegakkan diagnosis, anamnesis dan pemeriksaan fisik
merupakan modal utama bagi seorang dokter umum untuk meneggak diagnosis.
Pada anamnesis, dapat ditemukan gejala sebagai berikut10 :
Endoftalmitis bakteri biasanya menimbulkan gejala berupa nyeri yang
akut, kemerahan pada mata, pembengkakan, dan penurunan visus. Pada beberapa
bakteri (misalnya, Propionibacterium acnes) dapat menyebabkan radang kronis
dengan gejala ringan. Organisme ini adalah flora kulit yang khas dan biasanya
masuk pada saat operasi intraokular.
Endophthalmitis jamur akan menimbulkan gejala selama beberapa hari
sampai minggu. Gejala sering penglihatan kabur, rasa nyeri, dan penurunan visus.
Riwayat trauma tembus dengan tanaman atau benda asing yang terkontaminasi
dengan tanah mungkin sering diperoleh. Individu dengan infeksi Candida akan
timbul demam tinggi, disusul beberapa hari kemudian dengan gejala okular.
Demam persistent yang tidak diketahui dapat dikaitkan dengan infeksi jamur.
Riwayat operasi mata, trauma mata, atau bekerja dalam industri sering
ditemukan. Dalam kasus endophthalmitis pascaoperasi, infeksi paling sering
terjadi setelah pembedahan (misalnya, pada minggu pertama), tetapi mungkin
terjadi bulan atau tahun kemudian seperti dalam kasus P.acnes.
Tanda dari endoftalmitis dapat terlihat dari pemeriksaan luar, slit lamp dan
fundoskopi:
- Edema palpebra superior
- Discharge purulent (sekret berwarna kuning yang berlebih)
- Injeksi konjungtiva
- Kemosis (edema pada stroma konjungtiva)
- Edema kornea (gambaran infiltrat berawan pada permukaan kornea)
- Hipopion (akumulasi sel darah putih/nanah di ruang anterior mata)
- Edema iris dan iris kelihatan kotor
- Vitritis (adanya eksudat dan pus pada rongga vitreous. Pada kasus berat,
bisa terlihat masa putih kekuningan melalui pupil yang terdilatasi yang
dipanggil amaurotic cat‟s eye reflex)
- Tekanan intraocular meningkat pada fase awal namun pada kasus berat,
tekanan intraocular bisa menurun karena terjadnya kerosakan corpus
siliaris yang menyebabkan bola mata bisa mengecil.

2.7 Diagnosis Banding6


TASS (Toxic Anterior Segment Syndrome)
Toxic anterior segment syndrome (TASS) juga termasuk dalam diagnosis
banding endoftalmitis. TASS disebabkan karena zat non infeksi yang masuk ke
dalam mata, seperti toksin bakteri, pengawet, senyawa pembersih atau solusi
intraokular. Selain itu, TASS biasanya dialami pasca operasi akibat substansi zat
beracun seperti instrumen, cairan, atau lensa intraokular. Hal-hal yang
membedakan antara TASS dan endoftalmitis adalah onset dari TASS yang cepat
(12-24 jam setelah operasi atau injeksi intravitreal), kurangnya rasa sakit atau
kemerahan, edema kornea difus dan kurangnya organisme terisolasi dengan
pewarnaan atau kultur.
Tabel 1. Perbedaan antara TASS dan Endoftalmitis infeksius.
Karakteristik TASS Endoftalmitis infeksius
Onset Hari 1-3 pasca operasi Hari 3-7 pasca operasi
Gejala Kabur Kabur dengan nyeri
Kornea Edema +1, dari limbus ke Edema +2
Limbus
Segmen anterior Cell+1-3 Cell+3
Fibrin +1-3 Fibrin bervariasi
Hipopion+1 Hipopion +3
Vitreus Jernih Vitritis
Tekanan intraokular Terdapat kenaikan ringan TIO tidak
TIO terpengaruh
Respon terhadap Positif dan dramatis Negatif
Steroid

2,7
2.8 Pemeriksaan penunjang
1. B-scan ultrasonography
Bermanfaat untuk melihat adanya penebalan retina, koroid dan benda
asing di okular. Pada endoftalmitis, bisa terlihat adanya eksudat pada
rongga vitreus. Pasien dengan endoftalmitis endogen bisa terlihat adanya
abses pada koroid (dome-shaped lesion).
2. Microbiology testing
- Anterior chamber tap (Aqueous humour tap)
- Vitreous tap (biopsy vitreus atau vitrectomi pars plana)
- Dilakukan pada pasien yang :
 Mempunyai visus LP (light perception) yaitu visus 1/∞.
 Kasus akut yang memerlukan sampel yang banyak.
 Fokus infeksi terbanyak di vitreous.
3. Polymerase chain reaction (PCR)

1,2,3,4,7,9
2.9 Penatalaksanaan

2.9.1 Non-farmakologi

Edukasi pada pasien untuk memotong kuku pasien. Kuku yang terlihat
kotor dan panjang meningkatkan resiko infeksi pada mata jika menggaruk saat
mata terasa gatal dan merupakan faktor predisposisi terjadinya endoftalmitis.
Pasien juga diajarkan cara mencuci tangan untuk mengurangi jumlah organisme
pathogen pada tangannya, menjaga kebersihan mata dan menyeka mata dengan
tisu sekali pakai.8

2.9.2 Farmakologi
Keadaan visus yang buruk pada endoftalmitis, dikarenakan virulensi
mikroorganisme penyebab yang memiliki enzim proteolitik dan produk toksin
yang dapat merusak retina, serta kemampuan multiplikasi yang cepat, juga jarak
antara ditegakkannya diagnosis sampai pada saat terapi diberikan. Oleh karena itu
pengobatan ditujukan bukan untuk memperbaiki visus, tapi untuk mengatasi
proses inflamasi yang terjadi, serta membatasi infeksi agar tidak terjadi penyulit
dan keadaan yang lebih berat.
Teknik pengobatan pada endoftalmitis adalah dengan secepatnya memulai
pemberian antibiotik empiris yang sudah terbukti efektif terhadap organisme
spesifik yang diduga secara intravitreal dengan dosis dan toksisitas yang
diketahui.
1. Antibiotik yang sesuai dengan organisme penyebab.
a. Injeksi intravitreal (kombinasi 2 antibiotik)
1) Peptide antibiotic (vancomycin1.0mg/0.1ml) untuk bakteri gram
positif
2) Antibiotic beta lactam (ceftazidime 2.0mg/0.1ml) untuk bakteri
gram negative.
3) Untuk pasien yang sensitive pada antibiotic golongan beta lactam,
bisa diberikan antibiotic aminoglycoside (amikacin 400µg/0.1ml)
tetapi mempunyai risiko toksisitas retina.
b. Terapi topical
Moxifloxacin penetrasi mata sehingga ke aqueous dalam masa 2
jam. (untuk bakteri gram positif dan negative)
c. Terapi sistemik
Lipid-soluble Quinolone (Ciprofloxacin, Ofloxacin) bisa penetrasi
ke dalam mata dan antibiotik ini merupakan antibiotik spektrum luas.
Antibiotik yang dapat diberikan dapat berupa antibiotik yang
bekerja terhadapa membran set, seperti golongan Penicilin,
Cephalosporin dengan antibiotik yang dapat menghambat sintesa
protein dengan reseptor ribosomal, seperti golongan Chloramphenicol,
Aminoglycosida.Antibiotik tersebut dapat diberikan secara dosis
tunggal ataupun kombinasi. Kombinasi yang dianjurkan adalah
gabungan antara golongan aminoglikosida. Pilihan kombinasi tersebut
merupakan yang terbaik, karena:
1) Toksisitas minimal terhadap retina dan jaringan okular
2) Kombinasi tersebut lebih memiliki arti klinis dibandingkan
pemberian antibiotik tunggal maupun kombinasi lainnya.
3) Sebagai terapi awal yang agresif untuk mencegah kerusakan
jaringan intraokular yang luas, karena kadang mikroorganisme
sulit diidentifikasi dari endoftalmitis.
Biasanya endoftalmitis fungal terdiagnosis bila pasien setelah
pemberian antibiotik dosis tunggal atau kombinasi tidak berespon.
Ataupun ditemukan faktor-faktor predisposisi seperti, pasien sedang
dalam pengobatan antibiotic spektrum luas dalam jangka waktu lama,
pasien menderita keganasan ataupun dalam keadaan imunitas yang
buruk. Pada pasien ini bisa diberikan anti-jamur secara intravitreal dan
terapi sistemik.

2. Steroid
a. Injeksi intravitreal : Deksametason 0.4mg
b. Terapi sistemik : Prednisolone 20mg (10-14 hari)
c. Terapi topikal : Dexametason 0.1% tetes mata
Terapi steroid sebaiknya digunakan 24 hingga 48 jam setelah
infeksi terkontrol dengan pemberian antibiotik. Terapi steroid pada
penyakit mata adalah untuk mengurangi inflamasi yang disertai
eksudat dan untuk mengurangi granulasi jaringan. Kedua efek ini
penting untuk endoftalmitis, karena dasar dari endoftalmitis adalah
inflamasi, dimana prognosis visusnya dipengaruhi oleh inflamasi yang
terus berlanjut. Sampai saat ini pemberian kortikosteroid pada
endoftalmitis masih kontroversi walaupun sudah banyak penelitian
menunjukkan hasil yang memuaskan dari pemberian Deksametason
dalam menghambat reaksi inflamasi dan reaksi imun abnormal yang
dapat menimbulkan kerusakan luas pada mata. Deksametason dapat
diberikan secara intravitreal dengan dosis 400ug dan 1 mg secara
intraokular sebagai profilaksis.

3. Terapi Suportif
a. Sikloplegik.
Dapat diberikan atropin 1% atau komatropin 2% tetes mata, 3 kali
dalam sehari. Pemberian Sikloplegik dapat diberikan untuk
mengurangi rasa nyeri, stabilisasi aliran darah pada mata, mencegah
dan melepas sineksia serta mengistirahatkan iris dan benda siliar yang
sedang mengalami infeksi.
b. Obat antiglaukoma.
Dapat diberikan pada pasien dengan peningkatan tekanan
intraokular, seperti acetazolamide oral (250 mg 3 kali sehari) dan
timolol 0.5% tetes mata dua kali sehari.

4. Tindakan Vitrektomi.
Pada kasus yang berat (bila pasien menunjukkan infeksi berat
dengan visus menurun hingga 1/tak terhingga), operasi harus
dilakukan bila tidak ada perbaikan setelah terapi intensif selama 48
hingga 72 jam dapat dilakukan Vitrektomi Pars Plana (PPV).
Vitrektomi Pars Plana adalah prosedur vitreoretina yang umum
digunakan dalam penanganan beberapa kondisi termasuk ablasi retina ,
PPV sendiri bertujuan untuk mengeluarkan organisme beserta produk
toksin dan enzim proteolitiknya yang berada dalam vitreous,
meningkatkan distribusi antibiotik dan mengeluarkan membran siklitik
yang terbentuk, yang potensial menimbulkan ablasi, serta
mengembalikan kejernihan vitreous.

2.10 Prognosis dan komplikasi2

Prognosis endoftalmitis bervariasi tergantung pada tingat keparahan


infeksi, organisme yang terlibat dan jumlah kerusakan mata menopang dari
peradangan dan jaringan parut. Kasus ringan endoftalmitis dapat memiliki hasil
visual yang sangat baik. Kasus yang parah dapat menyebabkan tidak hanya dalam
kehilangan penglihatan, tapi akhirnya hilang seluruh mata. Fungsi penglihatan
pada pasien endoftalmitis sangat tergantung pada kecepatan diagnosis dan
tatalaksana. Prognosisnya sangat bervariasi tergantung penyebab. Prognosis
endoftalmitis sangat buruk terutama bila disebabkan jamur atau parasit. Faktor
prognosis terpenting adalah visus pada saat diagnosis dan agen penyebab.
Prognosis endoftalmitis endogen secara umum lebih buruk dari eksogen karena
jenis organisme yang menyebabkan endoftalmitis endogen biasanya lebih virulen.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah meluasnya peradangan
sehingga mengenai ketigalapisan mata (retina, koroid, sklera) dan badan kaca
sehingga terjadilah panoftalmitis. Selain itu komplikasi lainnya dapat berupa
vitreous hemoragik, endoftalmitis rekuren, ablasio retina, dan glaukoma sekunder.
BAB 3

KESIMPULAN

Endoftalmitis adalah peradangan intraokular yang melibatkan rongga


vitreous dan ruang anterior mata dan dapat melibatkan jaringan mata yang
berdekatan lainnya seperti koroid atau retina, sklera atau kornea. Penyebab
endoftalmitis sangat bervariasi tergantung dari jenisnya, yaitu endoftalmitis
infeksiua dan endoftalmitis non-infeksius. Patogen yang menginfeksi mata dapat
masuk dari luar tubuh, dan dapat pula menyebar secara hematogen dari sumber
yang berjauhan di dalam tubuh. Manifestasi klinis dari endoftalmitis dapat
diketahui dari gejala subjektif dan objektif yang didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pengobatan ditujukan bukan
untuk memperbaiki visus, tapi untuk mengatasi proses inflamasi yang terjadi,
serta membatasi infeksi agar tidak terjadi penyulit dan keadaan yang lebih berat.
Teknik pengobatan pada endoftalmitis yaitu dengan secepatnya memulai
pemberian antibiotik empiris yang sudah terbukti efektif terhadap organisme
spesifik yang diduga secara intravitreal dengan dosis dan toksisitas yang
diketahui. Secara umum endoftalmitis tidak memiliki prognosis yang
menguntungkan, dan dapat mengakibatkan hilangnya pengelihatan secara total,
terutama jika diagnosis tidak dapat ditegakkan sejak awal dan pasien tidak segera
diberikan pengobatan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. A K Khurana, Comprehensive Ophthalmology 4 th Edition, 2007


2. Sadiq Et Al, Journal Of Ophthalmic Inflammation And Infection,
Endogenous Endophthalmitis: Diagnosis, Management, And Prognosis,
2015
3. M Kernt Et Al, Endophthalmitis: Pathogenesis, Clinical Presentation,
Management, And Perspectives, 2010
4. Kanski J, Clinical Ophtalmology, Seventh Edition, Elsevier, 2011.
5. Douglas D. Brunette, M.D., Primary Care Ophthalmology, 2005.
6. Esti Mahanani Et Al, Toxic Anterior Segmen Syndrome Pasca Small
Incision Cataract Surgery: Laporan Kasus, 2016.
7. Peter Barry Et Al, Escrs Guidelines For Prevention And Treatment Of
Endophthalmitis Following Cataract Surgery: Data, Dilemmas And
Conclusions, 2013
8. Ade J. Nursalim Et Al, Jurnal Biomedik (Jbm); Endoftalmitis Yang
Dinduksi Penggunaan Lensa Kontak, Program Studi Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, 2018
9. Gordana Sunaric Et Al, British Journal Of Ophthalmology; Current
Approach To Postoperative Endophthalmitis, 1997

Anda mungkin juga menyukai