Anda di halaman 1dari 2

KASUS

Bapak Petrus Octavianus: Menebar Pelayanan bagi Sesama Bapak Anak Miskin
Panjang berliku yang harus ditempuh sebelum Pak Octav, panggilan akrabnya,
berkarya di Batu. Dia kini memang tidak sendirian. Anak asuhnya yang sudah ditampung sejak
tahun 1960, tersebar di seluruh Indonesia. Dari Banda Aceh sampai Papua, mulai Minahasa
hingga Kupang. Di Malang dia menampung 7.000 anak. Di seluruh Indonesia, jumlahnya
sampai saat ini sekitar 30.000 anak. Sebagian sudah selesai, lulus, berkarya, dan menempati
posisi atau jabatan strategis di masyarakat. Wali kota Malang sempat memberinya julukan
Bapak Anak Miskin. “Sudah lama saya canangkan tekad, semua anak harus berpendidikan.
Mereka yang kekurangan akan saya anggap anak saya sendiri. Kirimkan kepada saya agar
(bisa) saya bantu,” tekad Pak Octav. Tekad ini pernah dikeluhkan anaknya, “ Bapak membantu
anak orang lain, mengapa tidak anak sendiri didahulukan?” Jawaban Pak Octav, “Saya
memang harus membantu anak orang lain yang kekurangan. Tuhan sendiri yang akan turun
tangan membantu kalian...” Terbukti, delapan anaknya, buah pernikahan Octav dengan
Henriene Mone, semuanya kini sudah menjadi sarjana berbagai disiplin ilmu.
Petrus Octavianus, anak petani miskin, dilahirkan pada 29 Desember 1928 di Desa
Laes, Kecamatan Rote Barat Daya, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Anak bungsu dari tujuh
bersaudara ini sudah akrab dengan derita. “Belum genap usia dua tahun, ayah saya meninggal.
Gambaran dan bayangan tentang beliau sama sekali tidak ada sebab kita tak mampun punya
potretnya,” tuturnya. Derita justru menjadi cambuk. Diasuh seorang kerabatnya, Octav bisa
masuk sekolah dasar. Kemudian secara meloncat-loncat, sekolah di Kupang, dan akhirnya
terdampar di Surabaya.
Sambil bersekolah di Sekolah Guru Atas di Surabaya, Octav juga mengumpulkan
kaleng bekas untuk dibersihkan dan dijual sebagai biaya hidup. Suatu hari, ketika asyik
menangani kotak sampah di Embong, Malang, sebuah mobil mendadak berhenti.
Penumpangnya seorang ibu-ibu melihat anak pakai seragam sekolah mengumpulkan kaleng
bekas. Ditanya tempat tinggal, dia menjawab bahwa dia hidup menggelandang. Ditanya apa
ingin terus sekolah, dia jawab ingin sekali.
Sambil menerawang, Pak Octav mengenang, “Ibu itu orang Sunda, namanya Bu
Kandar, bekerja di kantor sosial setempat. Beliau langsung membawa saya ke panti asuhan.
Karena saya sudah terlalu besar, 21 tahun, kemudian disewakan rumah dekat panti. Bersama
tiga rekan lain, dua dari Sumba dan seorang dari Kupang, kami mengalami titik balik. Bisa
sekolah dan tidak usah lagi menjdai pemulung.”
Pengalaman hidup sering menkajubkan. Berkat ketekunan, doa dan izin Tuhan
semuanya bisa terjadi. Begitu juga dengan Pak Octav, anak yatim asal Rote tersebut malah
berhasil menapak ke atas, meraih gelar Doctor of Divinity dari Biola University di Los Angeles,
AS, tahun 1980, berikut Doctor Of Philoshophy dari Kennedy Western University, Wyoming,
AS, tahun 1999.
Pak Octav sudah pernah menjadi politikus, pimpinan Parkindo, akhirnya meninggalkan
semua itu untuk sepenuhnya bekerja di ladang Tuhan dengan menjadi pendeta. Pengelaman
sebagai pendeta juga naik turun. Dia pernah mengembara melayani umat di 85 negara di lima
benua, di tahan sepuluh hari di Cina semasa zaman Mao Zedong karena berceramah tanpa izin,
dan diundang makan Presiden Jimmy Carter pada acara peringatan 200 tahun kemerdekaan
Amerika Serikat.
Pada sisi lain, kegemaran mengajar mengantarnya menjadi penulis buku yang sangat
produktif. Sudah 29 buku berbahasa Indonesia yang dia selesaikan berikut 21 buku bidang
agama, kehidupan masyarakat, manajemen, dan pemerintahan. Buku terbarunya, jilid ketiga
dari seri Menuju Indonesia Jaya dan Indonesia Adidaya akan diluncurkan Rabu (15/11) malam
ini di hotel Shangri-la, Jakarta. Apa makna karya terbarunya?
Menurut Pak Octav, “Kemajemukan masyarakat Indonesia justru modal dasar yang
bisa kita manfaatkan untuk peluang menuju pembentukan bangsa dan negara adidaya. Maka
masalah kemjemukan bukan bencana, bahkan sebuah peluang yang harus kita manfaatkan...”
Peluang datang secara tak terduga. Kejadian seiring kemampuan untuk menangkapnya, ini
yang harus bisa kita lakukan, sekarang.

Anda mungkin juga menyukai