Anda di halaman 1dari 6

TUGAS KELOMPOK HIV

"Trend dan Issue Keperawatan HIV di Filipina"

Disusun Oleh :
1. Virpy Elisanov S
2. Vita Dwi Futmasari
3. Vita Famia Sari
4. Winda Oktafiani
5. Wiwin Indriyani
6. Yosiana Muftianingrum
7. Yuni Ratnasari
8. Yuniar Dewi Atapsari
9. Zahratul Aini
10. Zharifah Al Maani
11. Zumrotul Masruroh
PRODI PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
POLITENIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Program Gabungan PBB juga mengatakan untuk HIV / AIDS (UNAIDS), di
Filipina memiliki tingkat pertumbuhan infeksi HIV tertinggi di Asia dan Pasifik
(UNAIDS, 2017). Pada tahun 2016, tercatat 10.500 infeksi baru, naik 140% dari 4.300
kasus pada 2010. Memang, HIV / AIDS dan Registrasi ART dari Departemen
Kesehatan (DOH) Filipina melaporkan bahwa ada 29 kasus HIV yang baru didiagnosis.
Per hari, naik dari 26 per hari pada 2016, dan 17 per hari pada 2014, sebagian besar di
antara laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) berusia 25 hingga 34 tahun
(DHEB, 2017). UNAIDS memperkirakan bahwa hanya 67% dari orang yang hidup
dengan HIV mengetahui status mereka, dan 32% yang mengetahui status mereka
sedang dalam pengobatan (UNAIDS, 2017). Meskipun kasus HIV di negara Filipina
tinggi, WHO memperkirakan bahwa hanya 13% pasien mengetahui status HIV mereka.
Hal ini sebagian disebabkan oleh kurangnya konselor HIV terlatih dan teknologi medis
(atau teknisi laboratorium) di tingkat layanan kesehatan primer. Di Afrika di mana
sumber daya dan tenaga kerja juga langka, perawatan HIV sudah didelegasikan kepada
petugas kesehatan masyarakat. Namun, sedikit bukti tentang penerimaan dan
kelayakan melibatkan petugas kesehatan masyarakat untuk memberikan konseling dan
tes HIV (HCT) pasien di Filipina (WHO, 2015). Selain itu DOH Filipina juga
mengaitkan hal ini dengan jumlah yang tidak mencukupi, distribusi yang tidak merata,
dan pergantian yang cepat dari para ahli medis atau teknisi laboratorium) yang mahir
dalam pengujian HIV dan yang dilatih oleh DOH di pusat layanan kesehatan primer
(DHP, 2016). Dengan demikian, salah satu solusi yang mungkin untuk penyedia
layanan terlatih adalah dengan mendelegasikan konseling dan tes HIV (HCT) ke
petugas kesehatan(komunitas) atau BHW (Social Worker.
BAB II
ISI
Skidmore et al., (1994) mendefinisikan bahwa pelayanan pekerjaan sosial di
bidang kesehatan meliputi upaya pemeliharaan kesehatan sebagai bagian dari praktik
kerjasama antara pekerja sosial denga profesi lain dalam bidang kesehatan yang juga
terlibat dalam program-program pelayanan kesehatan masyarakat. Praktik pekerjaan
sosial dalam bidang pelayanan kesehatan mengarah pada penyakit yang disebabkan
atau berhubungan dengan akibat dari adanya tekanan-tekanan sosial yang
mengakibatkan kegagalan-kegagalan dalam pelaksanaan fungsi relasi-relasi sosial
Istilah pekerjaan sosial medis pada perkembangannya seperti Social Work in
Health Care dianggap lebih fleksibel dan lebih luas dibanding dengan istilah Pekerjaan
sosial medis yang hanya berkonotasi penyembuhan (Medicine). Pekerjaan sosial dalam
bidang pemeliharaan kesehatan meliputi: 1) Pekerjaan sosial di rumah sakit (Social
Work in Hospital), 2) Pekerjaan sosial dalam keluarga (Social Work in Family) , 3)
Pekerjaan sosial dalam kesehatan masyarakat (Social Work in Public Health). Ruang
lingkup pekerjaan sosial dalam pemeliharaan kesehatan menurut Bracht meliputi:
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (preservation and promotion of health),
pencegahan dan penyembuhan penyakit (prevention and cure of disease) (Bracht,
1978). Nuryana (2000) menyatakan terdapat beberapa peranan pekerja sosial di setting
rumah sakit sebagai berikut : 1) Konselor, 2) Konsultan/advisor, 3) Enabler/fasilitator,
4) Mediator, 5) Konektor pelayanan, 6) Peneliti, 7) Pendidik.
Berdasarkan artikel penelitian, hasil menunjukkan pada sampel pasien TBC
sejumlah 83 klien yang menerima konseling HIV kurang lebih 42 orang dari social
worker di komunitas. Sejumlah 70 klien menerima test HIV dari teknologi medis dan
27 klien dari social worker. Beberapa kriteria yang diterima dari social worker meliputi
social worker bertanggungjawab pada klien HIV dalam kurun waktu 32 jam per
minggu, pendidikan terakhir adalah sekolah menengah, social worker tidak
memberikan stigma perilaku pada klien sehingga tidak ragu dalam berdiskusi, social
worker memiliki kemampuan konseling yang baik dan pengetahuan yang cukup (Sy,
Padmawati, Baja, & Ahmad, 2019).
Hal ini dikarenakan beberapa klien yang tidak menerima, beranggapan social
worker tidak memiliki sertifikat keahlian HIV yang profesional dan belum memiliki
kemampuan dalam melakukan test serta belum cukup valid dalam memberikan
informasi. Sejumlah 1 dari 3 klien merasa takut apabila mereka menyebarkan status
HIV ke masyarakat. Hal ini terjadi karena klien merasa mereka belum banyak
mengikuti pelatihan dalam memberikan pelayanan HIV secara mandiri dan profesional.
Screening melalui Focus Group Discussion (FGD) bertujuan untuk mengurangi stigma
yang terjadi di masyarakat sehingga perlu adanya penerimaan terhadap social worker
sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk memberikan pendidikan kesehatan
secara kelompok di tingkat masyarakat. Sehingga perlu adanya kerjasama dengan
pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas keterampilan dan keahlian melalui
berbagai pelatihan yang didanai pemerintah. Selain itu perlu adanya penyebarluasan
informasi mengenai social worker sebagai penyedia layanan HIV dan TB sehingga
masyarakat tidak khawatir terhadap kemampuan dan keterampilan dari social worker
itu sendiri (Sy et al., 2019).
Pentingnya social worker dalam sistem FGD dirasa memberi dampak positif
dalam mengurangi stigma di masyarakat. Hal ini dikarenakan, mereka adalah penyedia
layanan kesehatan berbasis masyarakat yang terintegrasikam dengan pelayanan
kesehatan primer sebagai tangan kanan pemerintah dalam mencegah penularan HIV
melalui screening. Sehingga masyarakat tidak tabu dan menyambut positif pada orang-
orang yang terkena HIV. Hal ini dirasa support sistem di masyarakat memberikan
dampak yang baik bagi kesehatan klien HIV secara psikososial sehingga terhindar dari
sikap membuli dan pelabelan yang negatif.
BAB III
PENUTUP
Penerimaan dan kelayakan social worker sebagai konseling dan testing dapat
diterima klien HIV dalam hal konseling dengan beberapa kriteria tetapi bukan hal uji
testing HIV. Hal ini dikarenakan perlu dukungan dan kerjasama pemerintah yang
mengintegrasikan layanan HIV TB khususnya sebagai layanan kesehatan primer.
Selain dari pemerintah, masyarakat sekitar juga harus menghapus stigma negatif
terhadap pasien HIV sehingga orang dengan HIV/ HIV TB mampu berinteraksi sosial
layaknya masyarakat pada umumnya.Peningkatan jumlah social worker juga perlu
untuk lebih banyak menjangkau sebagai konseling maupun testing sehingga pemberian
kegiatan tersebut dapat dilakukan secara merata dan menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Bracht, F. N. (1978). Social Work In Health Care: A Guide to Professional Practice.
New York: The Haworth Press.
Nuryana, M. (2000). Pekerjaan Sosial Medik di Rumah Sakit. Bandung: STKS Press.
Skidmore, Thackeray, & Farley. (1994). Introduction to Social Work. United Kingdom:
Prentice Hall.
Sy, T. R. L., Padmawati, R. S., Baja, E. S., & Ahmad, R. A. (2019). Acceptability and
feasibility of delegating HIV counseling and testing for TB patients to community
health workers in the Philippines : a mixed methods study. BMC Public Health,
19(185), 1–9.

Anda mungkin juga menyukai