Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

HEMATOSCHEZIA

Disusun Oleh :
Alvita Suci Edgina
01073180008

Pembimbing :
dr. Agus Widodo, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE JUNI – AGUSTUS 2019
RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya, sehingga
referat dengan judul “Hematoschezia” dapat terselesaikan. Tidak lupa penulis
ucapkan terima kasih kepada dr. Agus Widodo, Sp.PD atas bimbingannya, serta
pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan namanya karena telah membantu dalam
proses penyusunan referat ini.
Referat yang penulis buat ini disadari masih memiliki banyak kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Alangkah baiknya apabila ada masukan dan saran sehingga
dapat membuat referat ini menjadi lebih baik dan berguna untuk pengetahuan
pembaca.
Semoga referat ini bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir kata tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf atas segala
kekurangan yang ada dalam referat ini.

Jakarta, 27 Juli 2019

Alvita Suci Edgina

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5


2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI 5
2.2. LEUKOCORIA 10
2.2.1. DEFINISI 10
2.2.2. ETIOLOGI 10
2.2.2.1. RETINOBLASTOMA 10
2.2.2.2. PERSISTENT FETAL VASCULATURE 11
2.2.2.3. RETINOPATHY OF PREMATURITY 11
2.2.2.4. KATARAK 12
2.2.2.5. ABNORMALITAS DISCUS OPTICUS 12
2.2.2.6. UVEITIS 13
2.2.2.7. TOXOCARIASIS 13
2.2.2.8. COATS DISEASE 14
2.2.2.9. PENDARAHAN VITREUS 15
2.2.2.10. RETINAL DYSPLASIA 15
2.2.2.11. RETINAL ASTROCYTOMA 16
2.2.2.12. PENYEBAB LAINNYA 16
2.2.6. DIAGNOSIS 16
2.2.6.1. ANAMNESIS 16
2.2.6.2. PEMERIKSAAN FISIK 17
2.2.6.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG 19
2.2.9. PENGOBATAN 20

BAB III KESIMPULAN 22

DAFTAR PUSTAKA 23

3
4
BAB I

PENDAHULUAN

Hematoschezia merupakan keadaan yang menggambarkan keluarnya darah segar dari


anus, biasanya baik dalam kotoran maupun menyertai keluarnya buang air besar.
Hematoschezia berasal dari 2 kata dalam bahasa Yunani yaitu “aima” yang berarti
darah dan “chezein” yang berarti “buang air besar”. 1 Hematoschezia merupakan
gejala yang menggambarkan adanya pendarahan pada saluran cerna bagian bawah,
namun juga dapat menandakan adanya pendarahan saluran cerna atas, terutama
pendarahan yang bersifat cepat.

Adapun hematochezia ataupun melena dapat menjadi penanda adanya pendarahan


pada saluran cerna bagian bawah. Insidensi dari pendarahan ini, memiliki angka
sebesar 36/10.000 populasi per tahun, dan tingkat perawatan di rumah sakit tinggi
untuk populasi dengan umur yang lebih tua.2 Pada tahun 1950-1960, mortalitas
karena adanya pendarahan saluran cerna bagian bawah sangatlah tinggi, meskipun
intervensi secara surgical telah berkembang.3 Hal ini dikarenakan banyaknya
penyebab pendarahan sehingga seringkali ditemukan banyak kesulitan dalam
menentukan sumber pendarahan. Seiring berjalannya waktu, dengan adanya
peningkatan kemampuan tenaga medis untuk menentukan sumber pendarahan,
mortalitas yang disebabkan oleh pendarahan saluran cerna bawah menurun sekitar 5-
10%.4 Pada sisi lain, banyak kasus yang dapat berhenti sendiri sehingga tidak
memerlukan evaluasi segera. Namun, pada pasien yang memiliki pendarahan yang
berat, penting untuk dilakukan evaluasi dan tindakan sesegera mungkin untuk
mencegah mortalitas.2 Namun, epidemiologi dari pendarahan saluran cerna
mengindikasikan adanya perubahan. Studi mengindikasikan bahwa hospitalisasi

5
untuk pendaran saluran cerna bagian bawah memiliki insidensi yang serupa dengan
pendarahan saluran cerna bagian atas.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Saluran cerna meliputi seluruh organ pencernaan dari mulut hingga anus.
Secara embriologis, saluran cerna dapat dibagi menjadi saluran cerna atas (mulut
hingga duodenum), saluran cerna tengah (duodenal papilla ke kolon midtransverse),
saluran cerna bawah (midtransverse kolon hingga anus) berdasarkan 3 area foregut,
midgut, dan hindgut. Namun, secara konvensional, saluran cerna dibagi menjadi
saluran cerna atas (dari mulut hingga ileum), dan saluran cerna bawah (caecum ke
anus).

 Cecum terletak pada kuadran kanan bawah dan merupakan bagian


paling proksimal dan paling lebar dari saluran cerna. Cecum

6
merupakan bagian kolon asendens yang berbentuk seperti kantung dan
terletak tepat dibawah iliocecal junction. Terminal ileum berada kearah
sekum pada sisi medial dan pembukaannya dibatasi oleh iliocecal
valve.
 Appendix merupakan struktur tubuler yang terbuka kearah sekum dan
biasanya berada pada bagian bawah sekum, inferior iliocecal opening.
Basis dari appendix da[at diidentifikasi dengan adanya penyambungan
3 taeniae coli pada cecum.
 Cecum sendiri akan mengarah keatas kepada colon asenden, yang
terletaksecara vertical pada sisi pasling lateral kavitas abdominalis.
Kolon asendens kemudian akan mengarah ke kanan dibawah liver
(right colic atau hepatic flexure) dan menjadi transverse colon yang
mengarah dari kanan ke kiri.
 Kolon transverse akan mengalami pembelokan kearah kanan tepat
dibawah limpa yang ditandai oleh left colic atau splenic flexure dan
menjadi kolon desendens yang akan terletak kearah vertical lateral
abdomen.
 Kolon desendens menjadi bentuk V yang terinversi dari kolon
sigmoid, yang menjadi rectum pada level S3.
 Rectum turun sejalan dengan sacrum dan menjadi anal canal pada
dentate line. Anal canal akan membuka menjadi anus pada perineum.
Kolon transverse dan sigmoid memiliki mesenteri. Dilain sisi, kolon
asenden, desenden dan rectum merupakan organ retroperitoneal,
namun cecum menembus mesenterium dari ileum. Appendix juga
memiliki mesenteri sendiri (mesoappendix). Selain itu terdapat 3
longitudinal taeniai coli seiring dengan cecum dan kolon, namun tidak
ada pada rectum. Pada kolon asendens dan desendens, taenia coli ada
pada bagian anterior, posterolateral, dan posteromedial.
Pendarahan pada saluran cerna bagian bawah diperdarahi oleh superior
mesenteric artery dan percabangan ileocolic, right colic dan middle colic, selain itu
oleh inferior mesenteric artery melalui percabangan left colic, sigmoid, dan superior

7
rectal (hemorrhoidal) selain itu oleh internal iliac artery melalui percabangan middle
rectal dan inferior rectal. Anastomosis pada bagian distal arteri proximal akan
berjalan sesuai dengan batas dalam kolon dan dapat disebut dengan marginal artery of
Drummond. Cabang terminal dari pendarahan ini akan masuk kepada dinding kolon
dan disebut dengan vasa recta.
Superior mesenteric vein akan berjalan seiring superior mesenteric artery,
namun inferior mesenteric vein tidak berjalan seiring inferior mesenteric artery
namun berada secara vertical pada sisi kiri dudodenojejunal junction dan bergabung
pada vena splenik ataupun bergabung pada superior mesenteric vein dan membentuk
vena porta.
Secara mikroskopik, saluran cerna bawah memiliki 4 lapisan antara lain:
 Mukosa : terdiri dari
epitel kolumnar yang
memiliki goblet cells
yang mensekresi mucus,
lamina propria (basement
membrane), dan
muscularis mucosa
 Submucosa : pada lapisan
submukosa, terdapat
pembuluh darah dan
meissners nerve plexus
 Muscularis propria :
lapisan otot dengan inner
circular dan outer
longitudinal muscles
disertai dengan myenteric
(Auerbach) nerve plexus. Adapuntaeniae coli dibentuk oleh
outer longitudinal muscles.
 Serosa : visceral peritoneum5

8
2.2. Hematoschezia
Hematoschezia adalah keluarnya darah berwarna kemerahan pada kotoran
melalui anus, dengan sumber pendarahan pada saluran cerna bagian bawah, yaitu
pada saluran cerna dibawah ligament Treitz. Melena adalah keluarnya kotoran dengan
pendarahan berwarna kehitaman melalui anus, dengan sumber pendarahan dari
tenggorokkan hingga bagian atas ligament Treitz atau yang dikenal dengan
pendarahan saluran cerna bagian atas. Kedua hal ini perlu dibedakan dengan
pendarahan rektal yang merupakan keluarnya darah berwarna kemerahan melalui
anus, dimana sumber pendarahan berlokasi antara rectum dan anus.6
Keluhan hematoschezia berbeda dengan presentasi klinis pada pendarahan
saluran cerna bagian atas, dimana pasien akan mengalami hematemesis yaitu muntah
darah atau muntahan berwarna seperti kopi), dan/atau melena. Meskipun untuk
membedakan warna dari kotoran akan membantu memberikan gambaran lokasi
pendarahan, namun, hal ini tidak dapat menjadi patokan pasti sumber pendarahan
karena melena dapat ada pada pendarahan saluran cerna dari kolon kanan ataupun
usus halus, dan hematoschezia dapat ada pada pendarahan saluran cerna atas yang
bersifat massif. Dengan demikian, pada pasien dengan hematoschezia, pendarahan
saluran cerna atas belum pasti dapat disingkirkan. Dengan menggunakan nasogastric
tube lavage, jika keluar substansi berwarna seperti kopi, maka hal ini akan
mengkonfirmasi pendarahan saluran cerna atas, namun pemeriksaan ini dapat
negative pada pasien dengan pendarahan yang sudah dalam tahap penyembuhan
ataupun pendarahan melampaui pylorus.7
Pendarahan saluran cerna bagian bawah memiliki tanda dan gejala yang
sangat bervariasi, dari hematoschezia ringan yang tidak mengganggu pasien, hingga
hematoschezia dnegan pendarahan massif yang dapat menyebabkan timbulnya syok
hemorhagik. Pendarahan saluran cerna bawah didefinisikan sebagai pendarahan yang
baru saja timbul, memiliki sumber setelah ligament treitz, menimulkan instabilitas
tanda-tanda vital, dan diasosiasikan dengan gejala anemia, dengan atau tanpa
kebutuhan untuk transfuse darah. Adapun definisi pendarahan saluran cerna bagian

9
bawah oleh American College of Gastroenterology adalah “onset hematoschezia yang
bersumber dari kolon ataupun rectum”8
Pendarahan saluran cerna bagian bawah secara umum dibagi menjadi 3
kelompok berdasarkan banyaknya pendarahan. Adapun pembagian digambarkan
sebagai berikut:

Pendarahan saluran cerna bagian bawah memiliki mortalitas sekitar 10-20%,


dengan faktor resiko untuk prognosis buruk terutama meliputi tingkatan kreatinin
diatas 150 μM, nilai hematocrit inisial dibawah 35%, pasien dengan usia diatas 60
tahun, tanda vital yang abnormal setelah 1 jam, serta terlihat darah secara langsung
pada pemeriksaan rektal.9 Pasien dengan kondisi komorbid (misalnya pada pasien
dengan penyakit multiorgan, pasien dengan kebutuhan transfuse lebih dari 5 unit,
kebutuhan untuk operasi, stress seperti adanya tindakan operasi, trauma, dan sepsis),
juga merupakan resiko untuk terjadinya prognosis yang buruk. Pendarahan saluran
cerna bagian bawah lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut karena tingginya
insidensi diverticulosis dan penyakit vaskular pada kelompok ini. Insidensi
pendarahan saluran cerna bawah lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita.10

10
2.2.1. Epidemiologi
Pendarahan saluran cerna bagian bawah memiliki presentasi sekitar 20-33%
dari seluruh pendarahan saluran cerna, dengan insidensi pertahun sekitar 20-27 kasus
per 100.000 populasi pada negara bagian barat.9 Secara statistic, pendarahan saluran
cerna bagian bawah memiliki insidensi yang lebih sedikit dibandingkan pendarahan
saluran cerna atas, namun, hal ini dicurigai dikarenakan banyaknya kasus pendarahan
saluran cerna bagian bawah yang tidak dilaporkan karena banyak dari pasien yang
tidak mencari pertolongan secara medis. Namun, perlu diketahui bahwa pendarahan
saluran cerna bawah merupakan salah satu penyebab perlunya perawatan dirumah
sakit dan memiliki peran dalam menentukan morbiditas dan mortalitas pasien,
terutama pada pasien usia lanjut.11 Insidensi kondisi ini meningkat terutama pada
dekade ke 3 hingga 9 kehidupan, dimana insidensi diperkirakan meningkat sampai
lebih dari 200 kali lipat.12 Pendarahan saluran cerna bawah juga lebih sering
ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan wanita, karena penyebab yaitu
diverticulosis dan penyakit vaskular cenderung lebih sering ditemukan pada laki-
laki.8
Secara global, pendarahan saluran cerna bagian bawah ada pada 1-2%
kegawat daruratan, dimana sekitar 15% timbul sebagai pendarahan masif dan
membutuhkan intervensi surgical. Usus halus menimbulkan 5% dari keluhan ini,
namun lebih sering menjadi sumber dari pendarahan yang kasat mata.13
Penyebab paling sering dari pendarahan saluran cerna bawah adalah
diverticulosis dan angiodisplasia.14 Dimana diverticulosis (terutama kolon)
menyebabkan 30-50% dari pendarahan saluran cerna bawah yang signifikan, namun
angiodysplasia menimbulkan sekitar 20-30% kasus, terutama pada pasien berusia
lebih dari 65 tahun.15 Selain itu, penyebab lain yang sering timbul adanya kanker dan
polip yang meliputi 19% pasien. Pada pasien yang berusia kurang dari 50 tahun,
maka penyebab yang paling sering adalah hemoroid, dimana pendarahan biasanya
minor.13

11
2.2.2. Etiologi
Penyebab pendarahan saluran cerna bawah yang paling sering dapat dibagi
menjadi 4 penyebab utama yaitu anatomic (misalnya pada pendarahan karena
diverticulitis), vaskular (misalnya pada angiodysplasia, ischemic colitis, radiation-
induced colitis), neoplasma, dan inflammatory. Adapun penyebab dapat disimpulkan
menjadi bagan berikut:

Gayer et al menemukan bahwa etiologi paling sering dari pendarahan saluran


cerna bawah pada 1100 pasien adalah diverticulosis (33.5%), hemorrhoid (22.5%),
dan karsinoma (12.7%). Pada studi ini, keluhan yang paling sering ditemukan adalah
hematochezia (55%), pendarahan berwarna merah tua (16.7%), dan melena (11%).16
Studi lain oleh Vernava yang meneliti populasi 17.941 pasien, menemukan bahwa
pasien dengan pendarahan cerna saluran bawah paling banyak disebabkan karena
penyakit diverticular 60%, Inflammatory bowel disease (13%), anorectal disease
(11%). Penyebab dari pendarahan saluran cerna bawah dapat diamati pada tabel
berikut17:

Pedarahan saluran cerna bawah Pasien (%)


Diverticular disease
 Diverticulosis/diverticulitis dari usus halus 60%
 Diverticulosis.diverticulitis kolon

12
Inflammatory bowel disease
 Crohn disease dari usus halus, colon, keduanya 13%
 Ulcerative colitis
 Noninfectious gastroenteritis dan colitis
Benign anorectal disease
 Hemorrhoid 11%
 Anal fissure
 Fistula in ano
Neoplasia
 Malignant neoplasia usus halus 9%
 Malignant neoplasia kolon, rectum, anus
Coagulopathy 4%
Arteriovenous malformations (AVMs) 3%

Pada populasi bayi, anak, dan remaja, etiologi terjadinya pendarahan berbeda
dari etiologi pada orang dewasa. Penyebab paling sering dari populasi ini adalah
meckel diverticulum, intussusception, polyposis syndrome (juvenile polyps dan
polyposis, Peutz-Jeghers syndrome familial adenomatous polyposis (FAP)), dan IBD
(Chron disease, ulcerative colitis, indeterminate colitis).
Adapun differential diagnosis dari pendarahan saluran cerna bawah antara
lain:
 Pendarahan saluran cerna atas
 Angiodisplasia kolon
 Anorektal abscess
 Colitis
 Kanker kolon
 Polip kolon
 Chron disease
 Diverticulitis
 Endometriosis
 Inflammatory bowel disease
 Intususepsi
 Mekel diverticulum
 Diverticulosis usus halus
 Ulcerative colitis10

13
2.2.3. Patofisiologi
2.2.3.1. Diverticulosis
Diverticulosis merupakan etiologi yang paling dominan, meskipun
pendarahan karena diverticulosis hanya timbul pada 3% kasus diverticulosis. Namun,
karena banyaknya pendarahan yang dapat timbul, diverticulosis menjadi salah satu
etiologi yang paling penting. Banyak dari pendarahan yang disebabkan divertikel
terjadi tanpa adanya diverticulitis, dan diverticulitis tidak meningkatkan resiko dari
pendarahan. Adapun pada pasien dengan divertikel, faktor resiko yang paling sering
ditemukan adalah kurangnya diet berserat, konstipasi, umur yang lebih tua, serta
pemakaian nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAIDS) dan aspirin. Adapun
aspirin dan NSAIDS dapat menyebebabkan pendarahan saluran cerna bawah karena
adanya kerusakan yang berupa erosi pada lumen usus, serta disfungsi platelet.18
Divertikulosis umum ditemukan pada populasi barat, dimana 50% orang
dewasa berumur lebih dari 60 tahun memiliki gambaran diverticulosis pada foto
radiologi.16,17 Diverticulum sendiri merupakan protrusi berbentuk seperti kantung
pada dinding kolon yang timbul pada titik terlemah, dimana pembuluh darah
memprenetasi melalui serat otot sirkuler. Pembuluh ini menjadi pembungkus bagi
kubah diverticulum, yang terpisah dari lumen usus hanya oleh mukosa. Dengan
adanya trauma kronis pada vasa recta, disertai dengan kontraksi dan relaksasi konstan
dari muscularis propria yang mengelilinginya, sehingga membuat adanya penipisan
dari lapisan mukosa diertikulum sehingga erosi dari pembuluh darah rentan terjadi
dan pendarahan dapat terjadi. 19
Pada pemeriksaan histologis, pembuluh darah ini menunjukkan adanya
penebalan tunicaintima eksentrik dengan penipisan tunica media, yang dicurigai
disebabkan karena adanya cedera kronis dari lumen. Hal ini menimbulkan kerentanan
arteri untuk terjadinya rupture kedalam lumen.20
Divertikula biasa terjadi pada kolon sigmoid dan descendens, dan pendarahan
diverticular bersumber dari vasa recta yang berlokasi dari submukosa, yang dapat
mengalami rupture pada kubah dan leher dari diverticulum. Sekitar 20% pasien

14
dengan penyakit diverticular akan mengeluhkan adanya pendarahan, dan pendarahan
ini akan berhenti secara spontan 80% pasien, namun pada 5% pasien dengan penyakit
diverticular, pendarahan dapat terjadi secara massif. 21
Sekitar 75% diverticula timbul pada sisi kiri kolon, namun 50-90%
pendarahan terjadi karena diverticula yang terjadi pada bagian kanan. Hal ini
dikarenakan diverticula bagian kiri memiliki leher diverticula dan kubah yang lebih
lebar sehingga mengekspos vasa recta lebih luas untuk dapat terjadinya cedera.
Namun, insidensi dari diverticula bagian kanan termasuk jarang (1-2%) pada populasi
Amerika, namun cenderung lebih sering ditemukan pada populasi asia. Untuk
diverticula bagian kanan biasanya berbentuk soliter dan terletak pada cecum anterior
sejajar dengan katup iliocecal.19
Pendarahan diverticular dapat terjadi secara massif hingga mengancam nyawa
karena diverticula biasa timbul pada lokasi penetrasi arteri. Pendarahan biasa tanpa
disertai nyeri, namun pasien dapat menyebabkan adanya ketidaknyamanan pada
abdomen dan keram karena spasme kolon yang terisi oleh darah intralumen.
Meskipun 70-80% pendarahan diverticular sembuh sendiri, namun secara jangka
panjang, rata-rata pendarahan berulang timbul 25% setelah pendarahan pertama yang
21
tidak ditatalaksana secara operatif. Untuk mendiagnosis diverticulosis, maka dapat
dilakukan kolonoskopi untuk menemukan lokasi pendarahan serta untuk pemasangan
klip untuk menghentikan pendarahan. Disaat instalasi klip tidak dapat digunakan,
maka tatalaksana lanjutan adalah berupa reseksi atau intervensi secara operatif.22
2.2.3.2. Angiodysplasia
Angiodysplasia menunjukkan adanya dilatasi pembuluh darah submukosa
yang memiliki struktur terbelit (arteriovenous malformation/AVM). Adapun dinding
daripada terdiri atas sel endotel yang memiliki sedikit otot halus. Secara endoskopi,
angiodysplasia terlihat seperti pembuluh darah kapiler yang terekspansi dan dilatasi,
dan biasanya memiliki diameter antara 0.1 sampai 1.0 cm. Angiodysplasia sering
terjadi pada saluran cerna bawah. Studi oleh Foutch et al menemukan bahwa 964
pasien asimptomatik yang menjalani screening colonoscopy memiliki insidensi 1%

15
unutk angiodysplasia, dan pada 3 tahun masa follow up, tidak ditemukan adanya
pendarahan.23 Selain itu, angiodysplasia ditemkan untuk meningkat seiring
bertambahnya usia, biasanya pada pasien berusia lebih dari 60 tahun dimana 2/3
pasien angiodysplasia berusia lebih dari 70 tahun. 22 Hal ini mungkin disebabkan dari
degenerasi dinding vaskuler. Pada angiodysplasia kolon, lesi degenerative pada
pembuluh darah timbul dari adanya kontraksi kolon yang bersifat kronik, intermiten,
dan low-grade sehingga menyumbat drainase vena mukosa. Seiring berjalannya
waktu, maka pembuluh darah kapiler akan berdilatasi, menjadi inkompeten, dan
menimbulkan adanya AVM. Selain itu, ada beberapa kondisi yang diasosiasikan
dengan angiodysplasia yaitu aortic stenosis, von Willebrand disease, dan gagal ginjal
kronis.19
Angiodysplasia dapat timbul dimanapun pada usus besar, namun untuk kasus
yang menimbulkan pendarahan, lesi paling sering ditemukan pada cecum ataupun
kolon ascendens. Selain itu, sama seperti pendaraha pada diverticulosis, pendarahan
pada angiodysplasia biasanya bersifat gradual, intermittent dan berhenti spontan.
Pendarahan dapat terlihat pada tinja, dengan adanya hematoschezia atau melena yang
tidak disertai dengan nyeri, ataupun bersifat tersirat (occult) yang disertai dengan
anemia karena defisiensi besi.24
Adapun sumber pendarahan daripada angiodysplasia berasal dari pembuluh
darah vena (tidak seperti diverticula yang disebabkan karena pembuluh arteri). Hal ini
menyebabkan pendarahan bersifat lebih sedikit, meskipun resiko pendarahan
berulang tetap ada.19
Angiodysplasia didiagnosis dengan menggunakan kolonoskopi dan
angiografi. Selain itu, dapat diberikan vasopressin untuk mengontrol pendarahan yang
banyak dan kemudian dilanjutkan dengan instalasi klip dibantu dengan kolonoskopi.
Jika proses kliping gagal, maka dapat dilakukan hemicolectomy.22
2.2.3.3. Colitis
Infectious dan ischemic colitis dan inflammatory bowel disease dapat
memiliki manifestasi pertama yaitu hematoschezia.

16
Presentasi awal dan penampakan secara endoskopi dari beberapa tipe colitis
hampir tidak dapat dibedakan. Secara klinis, pasien datang dengan nyeri perut,
hematoschezia (dengan atau tanpa diare), demam, dan dehidrasi. Namun, biasanaya
pendarahan sedikit. Secara endoskopi, colon terlihat mengalami edema, rapuh,
dengan adanya eritema dan ulserasi. Secara histologis, ada penampakan sel-sel
inflamasi akut maupun kronis, eksudat fibrin, abscess, dan ulserasi.25
1. Infectious colitis
Ada banyak penyebab dari colitis yang merupakan penyebab infeksi. Kultur
feces rutin dapat mengidentifikasi Salmonella, Campylobacter, Shigella, yang
merupakan 3 penyebab diare bakteri yang paling umum. Namun, pendarahan yang
disebabkan karena infeksi dapat dibedakan dari penyebab pendarahn saluran cerna
bawah yang lain dari anamnesis.25
2. Ischemic colitis
Pasien usia lanjut rentan untuk mengalami ischemic colitis karena adanya
faktor resiko yang meningkat seiring berjalannya usia, misalnya pada hipotensi, gagal
jantung, ataupun aritmia. Namun, biasanya pasien tidak datang dengan ischemic
colitis setelah adanya event yang spesifik. Pasien biasanya datang dengan keluhan
adanya nyeri perut, meskipun tanpa adanya keluhan ini, diagnosis tidak dapat
disingkirkan. Ischemic colitis biasanya bersifat kontinyu, berada pada sisi kiri, dan
diasosiasikan dengan kerapuhan mukosa usus, sehingga menyerupai ulcerative colitis.
Hal yang dapat membedakan dari ulcerative colitis merupakan didapatkannya
pembedaan yang jelas dari mukosa usus yang sakit ataupun yang sehat, tidak adanya
keterlibatan daripada rectum, dan adanya ulcer yang bersifat soliter dan longitudinal.
Pendarahan sendiri bersifat terbatas, dan biasanya dapat terhenti dengan adanya
koreksi dari penyebab utama dan pemberian cairan. Hal ini berkontradiksi dengan
adanya iskemi mesenteric akut yang terjadi pada usus halus, yang biasanya bersifat
mengancam nyawa dan merupakan emergensi.25
3. Inflammatory bowel disease

17
Inflammatory bowel disease meliputi Crohn’s disease dan ulcerative colitis.
Henatoschezia dapat terjadi sebagai gejala awal dari ulcerative colitis, dan biasanya
terjadi pada inflamasi yang bersifat aktif.26
2.2.3.4. Kanker colon
Kanker kolon merupakan penyebab yang jarang ditemukan dari
hematoschezia, namun bersifat sangat serius. Hal ini biasanya terjadi pada 10%
pendarahan rektal pada pasien dengan usia lebih dari 50 tahun, namun jarang terjadi
pada individu yang masih berusia muda. Pendarahan terjadi karena adanya erosi dan
ulserasi dari dinding sel kolon yang terkena kanker yang lebih rapuh. Pendarahan
biasanya bersifat sedikit, namun rekuren. Pada pendarahan yang berwarna merah
darah segar, biasanya hal ini disebabkan oleh lesi sisi kiri, namun pada lesi sisi kanan
pendarahan yang terjadi biasa berwarna merah marun atau melena. Namun, terapi
secara endoskopi untuk kanker kolon yang disertai dengan pendarahan rektal sangat
terbatas. Resiko untuk pendarahan yang signifikan atau menyebabkan adanya
perforasi dengan terapi endoskopi karena kerapihan dan besar lesi. Untuk menetapkan
etiologi, perlu dilakukan biopsy dari masa, serta mencari lesi yang sinkron, dan
mengeksklusi kausa lain dari pendarahan.27
2.2.3.5. Penyebab kelainan anorectal lain
Hemorrhoid menjadi salah satu penyebab hematoschezia yang sering
ditemukan. Hemorrhoid adalah terdilatasinya vena submukosa pada anus yang
berlokasi diatas (internal) atau dibawah (eksternal) dentate line. Hal ini biasanya
asymptomatic namun dapat terjadi dengan hematochezia, thrombosis, strangulasi,
atau pruritus. Hematochezia dapat timbul dari rupture hemorrhoid internal yang di
supply oleh superior dan middle hemorrhoidal artery. Pendarahan karena hemorrhoid
hampir selalu bersifat tidak disertai nyeri. Darah yang keluar merupakan darah merah
segar yang secara umum melapisi tinja pada akhir defekasi. Namun, darah dapat juga
menetes. Biasanya pendarahan dapat bersifat berulang, namun, pendarahan signifikan
karena hemorrhoid jarang ditemukan (pendarahan yang menimbulkan instabilitas
hemodinamik atau menimbulkan anemia). Resiko dari pendarahan yang seirus akan

18
meningkat pada pasien dengan koagulopathy, seperti pada pasien dengan sirosis.
Meskipun hemorrhoid adalah penyebab yang umum pada pasien dengan pendarahan
di usia kurang dari 50 tahun, evaluasi menyeluruh perlu dilakukan pada orang dewasa
secara endoskopi untuk menyingkirkan kausa lain yang lebih serius.
Ada beberapa lesi lain pada anorectum yang dapat diasosiasikan dengan
pendarahan seperti solitary rectal ulcer, anal fissures, rectal varices dan dieulafoy
lesions. 28
2.2.3.6. Radiation telangiectasia or proctitis
Terapi radiasi dari kanker pada abdomen ataupun pada rongga pelvis seperti
kanker serviks atau prostat dapat menimbulkan adanya pendarahan pada saluran
ceran bawah sebagai komplikasi awal maupun komplikasi akhir dari radiasi. Faktor
resiko pada kerusakan yang disebabkan oleh radiasi dapat mencakup imobilisasi dari
saluran cerna pada rectosigmoid, arteriosclerosis, dan kemoterapi konkomitan.
Pendarahan pada rectum dapat timbul secara relative terhadap pemberian
terapi radiasi dan dapat menyingkirkan diagnosis banding. Pada cedera radiasi akut
dapat timbul 6 minggu dari terapi. Gejala mengikutsertakan diare dan urgency rectal
ataupun tenesmus, disertai dengan pendarahan. Untuk radiasi kronik
proctosigmoiditis cenderung timbul lebih lama, dimana gejala awal timbul sekitar 9-
14 bulan setelah adanya radiasi, namun dapat timbul lebih dari 2 tahun sampai 30
tahun setelah radiasi. Namun, ulserasi ataupun rekurensi kanker dapat juga menjadi
komlikasi dari radiasi sehingga perlu dibedakan kausatifnya pada fenomena
pendarahan per rektal.10
2.2.3.7. Pendarahan pasca biopsy atau polypectomy
Pendarahan setelah biopsy endoskopi atau polypectomy biasanya bersifat self-
limiting, namun pada beberapa kasus, pendarahan aktif arteri dapat timbul secara
akut. Biasanya pendarahan ini disebabkan oleh cedera pada arteri ataupun koagulasi
yang tidak adekuat dari batang polyp. Pendarahan dapat timbul hingga 3 minggu
setelah prosedur endoscopic polypectomy, karena adanya pengelupasan dari bekas
luka yang telah terkoagulasi sebelumnya. 29

19
2.2.4. Tanda dan Gejala
Secara klinis, pendarahan saluran cerna bagian bawah dapat memiliki variasi
berdasarkan sumber anatomis pendarahan, antara lain:
 Adanya tinja berwarna merah maroon yang dapat menandakan pendarahan
saluran cerna bawah dari sisi kanan kolon
 Pendarahan berupa darah berwarna merah terang per rectum dengan
pendarahan saluran cerna bawah dari sisi kiri kolon
 Pendarahan er rectal biasanya keluar berupa melena.
Secara umum, pasien dengan pendarahan saluran cerna atas dan pendarahan
pada kolon sisi kanan dapat juga memiliki presentasi berupa pendarahan berwarna
merah terang per rectum jika pendarahan terjadi secara tiba-tiba secara massif.
Presentasi dari pendarahan saluran cerna bagian bawah bervariasi tergantung
daripada etiologi. Adapun pasien dengan colitis infeksi ataupun non infeksi, yang
biasanya terjadi pada pasien usia muda, dapat memiliki gejala seperti demam,
dehidrasi, keram perut, dan hematoschezia.
Pada pasien usia lanjut, biasanya yang terjadi adalah pendarahan karena
divertikel ataupun angiodysplasia. Pada kasus ini, maka keluhan berupa pendarahan
yang tanpa disertai nyeri dan biasanya gejala tidak terlalu parah. Ischemic colitis,
nyeri perut, disertai dengan derajat pendarahan yang bervariasi biasanya diobservasi
pada pasien dengan komorbid seperti gagal jantung, atrial fibrillation, ataupun gagal
ginjal kronis. Pendarahan saluran cerna bawah dapat terjadi secara intermittent dan
biasanya tidak terlalu parah, seperti pada kasus angiodysplasia dan karsinoma kolon,
ataupun pada kasus pendarahan massif seperti pendarahan karena divertikel. Adapun
penyebab karsinoma kolon jarang sekali menyebabkan pendarahan saluran cerna
bawah secara signifikan. Pada pasien usia lebih dari 65 tahun, secara khusus dengan
banyak faktor komorbid lain, pendarahan saluran cerna sedikit maupun banyak dapat
memiliki manifestasi seperti penurunan tekanan darah sistolik menjadi kurang dari 90
mmhg, penurunan hemoglobin menjadi 6 g/dl atau kurang, keluarnya tinja berwarna
merah maroon ataupun darah merah dari rectum.

20
1. Pendarahan divertikel : dikarakteristikkan sebagai pendarahan yang
tidak disertai nyeri, namun dapat disertai dengan keram perut
karena adanya darah intralumen yang menginduksi kontraksi
spasmodic dari kolon. Pendarahan biasanya bersifat akut tanpa
disertai gejala lain, dan bersifat self limiting pada 70-80% kasus.
Kasus pendarahan berulang dapat terjadi pada hingga 25% pasien.
Pada pendarahan massif, maka pasien dapat menjadi hypotensive
dan dapat menunjukkan gejala syok, yakni tachycardia dan
hypotensi.
2. Angiodysplasia : merupakan pendarahan yang bersifat tidak disertai
nyeri, self limiting, berasal dari venokapiler. Pendarahan biasanya
bersifat perlahan dan dapat sering berulang. Dengan demikian,
pasien dapat mengalami iron deficiency anemia, dan sinkop.10
3. Collitis : pasien dapat datang dengan atau tanpa nyeri perut dengan
diare berdarah. Diare berdarah biasanya self limited namun dapat
terjadi secara berulang. Adapun pasien dengan ischemic colitis
biasanya memiliki usia yang lebih tua dengan komorbiditas
kardiovaskular lain. Ischemic colitis dapat berupa fulminant,
dengan nyeri perut akut, rectal bleeding, hipotensi, dengan onset
yang tiba-tiba, disertai dengan nyeri dan pendarahan rektal selama
beberapa minggu.
Pada infectious colitis, hasil pemeriksaan fisik menunjukkan
adanya demam, diare, dehidrasi, dan nyeri perut. Untuk
mengidentifikasikan kausa dari diare dapat dilakukan pengecekan
cairan tubuh. Pada pasien dengan infectious colitis, pasien dapat
hadir dengan adanya gejala dehidrasi disertai dengan malaise, dan
nyeri perut, namun pendarahan biasa bersifat lebih minimal.
Ulcerative colitis secara klinis bergantung pada derajat keparahan
penyakit. Pendarahan dapat minimal pada pasien dengan penyakit
ringan, namun untuk pasien dengan gejala berat, diare berdarah

21
dapat disertai dengan pus, nyeri perut, dan dehidrasi. Selain itu,
dapat timbul penurunan berat badan disertai dengan demam. 10
4. Colon carcinoma
Pada kanker kolorektal, terutama pada pendarahan usus bagian
kanan, pendarahan dapat bersifat minimal dan tidak terlihat,
sehingga pasien dapat datang dengan iron-deficiency anemia
ataupun sinkop. Pada pendarahan kolon kanan, biasanya warna tinja
terlihat maroon ataupun melena, namun pada pendarahan sisi kiri,
pendarahan berwarna merah segar per rectum, sehingga menyerupai
pendarahan hemoroid.10
5. Anorectal disease
Pendarahan hemoroid biasanya tanpa disertai nyeri, namun untuk
pendarahan sekunder karena fisura, maka pendarahan akan nyeri.
Hemoroid dapat juga terjadi dengan strangulasi, hematoschezia, dan
pruritus. Selain itu, adanya darah merah segar yang melapisi tinja
pada akhir defekasi ataupun darah yang nenetes pada tisu toilet.
Namun, pendarahan ini biasa bersifat minimal. 10

2.2.5. Diagnosis
1. Anamnesis
Perlu dilakukan anamnesis lengkap untuk dapat menentukan adanya etiologi
dan sumber anatomic dari pendarahan. Selain itu, dapat dilakukan penggalian dari
riwayat penyakit dahulu (termasuk peptic ulcer, liver disease, sirosis, koagulopati,
inflammatory bowel disease) termasuk pemakaian obat dahulu (seperti pemakaian
NSAIDS, dan/atau warfarin). Pada pasien dengan kanker, masa perlu ditanyakan
riwayat radiasi, kemoterapi atau keduanya. Beberapa gejala kunci yang dapat
ditemukan pada anamnesis meliputi:
 Pendarahan minimal dapat mengindikasikan lesi dekat anal canal, namun hal
ini perlu dibedakan dari melena ataupun pendarahan maroon yang tercampur
dengan darah merah yang dapat mengindikasikan sumber pendarahan dari

22
proximal kolon atau usus halus. Untuk warna pendarahan maka dapat dibantu

dengan color chart.


Nomor 1 menandakan warna darah merah terang yang menandakan
pendarahan dari arteri ataupun caliper. Pada nomor 2 darah mengindikasikan
darah merah yang memiliki warna lebih terang yang dapat mengindikasikan
darah vena dengan saturasi oksigen yang lebih tinggi. Pada nomor 3
mengindikasikan darah berwarna merah marun, yang juga dapat
mengindikasikan darah vena. Pada nomor 4 warna kehitaman
mengindikasikan melena.32
 Keluhan darah menetes pada toilet atau menetes setelah defekasi menandakan
sumber darah berasal dari anorectal.
 Pendarahan pada saat ataupun setelah defekasi biasanya disebabkan oleh
fisura pada anal, namun dapat juga timbul pada karsinoma rektal ataupun pada
penyebab infeksi seperti herpes. Perlu ditanyakan apakah ada riwayat trauma
rektal, biopsy transrektal, atau riwayat seks per rectal.
 Gejala sistemik seperti keringat malam, demam, atau penurunan berat badan
dapat mengindikasikan keganasan ataupun infeksi kronis atau inflamasi.
 Riwayat diare sebelum keluarnya darah dapat mengindikasikan colitis,
tenesmus dapat timbul pada proctitis, dan nyeri abdomen yang tidak spesifik
dapat mengindikasikan proses pada rectum meskipun tidak terbatas pada
rectum. Selain itu, perubahan frekuensi atau caliber dari tinja merupakan
tanda keganasan pada kolon.

23
 Riwayat penyakit dahulu dapat mengindikasikan riwayat pendarahan
sebelumnya pada kanker kolon ataupun polip. Selain itu, riwayat
inflammatory bowel disease penting karena pasien ini dapat memiliki resiko
meningkat untuk neoplasma kolon.
 Kanker kolorectal jarang ditemukan pada pasien usia kurang dari 40 tahun,
insidensi meningkat signifikan pada usia 40-50 tahun, dan insidensi yang
spesifik terhadap umur dapat meningkat lebih pesat pada dekade setelahnya.
 Riwayat keluarga dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kolorektal.
Perlu ditanyakan apakah ada keluarga dengan riwayat polip kolon ataupun
malignansi lain yang diasosiasikan dengan familial colon cancer syndromes.33
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi sumber pendarahan serta
untuk menemukan jika ada lesi bagian distal yang dapat dideteksi pada pemeriksaan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa rectal touché. Hal ini mengikutsertakan
inspeksi eksternal untuk melihat apakah ada prolapse dari hemoroid ataupun
pendarahan pada permukaan lesi. Jika tidak ditemukan pendarahan secara kasat mata,
maka dapat dilakukan fecal occult blood test.10
3. Pemeriksaan penunjang dan modalitas terapi
a. Kolonoskopi
Kolonoskopi dilakukan secara general sebagai modalitas awal untuk
menngevaluasi pendarahan kolon akut atau hematoschezia yang parah sehingga
memerlukan hospitalisasi. Untuk pendarahan yang berhenti secara spontan,
kolonoskopi dapat dilaksanakan secara semi elektif. Intervensi secara kolonoskopi
untuk pendarahan divertikel ditemukan menjadi terapi definitive secara lokal.
Untuk pendarahan diverticula, pada pendarahan aktif, dapat diberikan injeksi
epinefrin untuk kauterisasi dan ujung divertikel dan untuk memberhentikan
pendarahan atau untuk menyusutkan pembuluh darah. Secara alternatif, dapat
diberikan klip endoskopi pada sumber pendarahan atau pembuluh darah setelah
injeksi epinefrin. Selain itu, dapat dilakukan ligase endoskopi.
b. Flexible sigmoidoscopy dan hemostasis
flexible sigmoidoscopi dapat dilakukan untuk mengevaluasi rectum dan sisi
kiri kolon, dan hal ini dapat dilakukan dengan enema ataupun tidak. Hal ini dapat

24
dialukan sebagai diagnosis inisial dan terapi untuk pasien usia muda dengan
pendarahan yang mengindikasikan adanya sumber dari kolon ataupun rectum.
Namun, pada pasien untuk usia lanjut yang sudah beresiko mengalami kanker
kolorektal dan screening polip tanpa pernah kolonoskopi sebelumnya, maka perlu
dilakukan kolonoskopi secara menyeluruh meskipun biasanya sumber pendarahan
berada pada bagian distal. Flexible sigmoidoscopy dapat berguna pada pasien dengan
solitary rectal ulcer, ulcerative colitis, radiation proctitis, infectious colitis, ischemic
colitis, dan postpolypectomy bleeding ataupun internal hemorrhoid. Therapeutic
hemostasis dapat dilakukan tergantung daripada sumber pendarahan. Ulcer rectal dan
post-polypectomy dapat dilakukan dengan pemberian epinephrine pre-injection
(untuk pendarahan aktif ataupun klot) ataupun dengan hemoclip atau thermal probe.
Monopolar electrocautery tidak biasanya dilakukan pada kolon. Untuk kasus internal
hemorrhoid, dapat dilakukan rubber band band ligation.
c. Anoscopy
Anoskopi dapat dilakukan pada pasien dengan pendarahan aktif internal
hemorrhoid ataupun kelainan ano rectal lainnya, seperti pada fisura. Selain itu,
prosedur ini dapat juga memfasilitasi tatalaksana langsung dengan dilaksanakannya
ligase rubber band ataupun tatalaksana lain.
d. Radionuclide imaging
radionuclide imaging pada pendarahan saluran cerna dapat dilakukan untuk
mendeteksi area pendarahan dan menjadi guide untuk endoskopi, angiografi, atau
surgery. Imaging ini dapat mendeteksi pendarahan bahkan pada pendarahan yang
sangat minimal yaitu 0.04 mL/min. Namun, limitasi dari imaging ini adalah tidak
adanya kapabilitas terapeutik pada prosedur ini, dan hanya pendarahan aktif yang
dapat dideteksi, selain itu untuk mendiagnosis etiologi tidak dapat dilakukan. Dengan
demikian, modalitas ini lebih memiliki peran sebagai komplemen untuk evaluasi
pendarahan kolon ataupun usus halus. Imaging ini dapat berguna pada pasien dengan
pendarahan yang diasumsikan dari divertikel kolon, namun evaluasi kolonoskopi
gagal untuk mengidentifikasi pendarahan divertikel.
e. Angiography

25
keunggulan daripada mesenteric angiography dibandingkan dengan
radionuclide imaging, adalah kapabilitas intervensinya. Namun, pendarahan harus ada
pada minimal 0.5 mL/min untuk mendeteksi ekstravasasi ke saluran cerna, dimana
hal ini secara signifikan jauh lebih tinggi dibandingkan radionuclide imaging. Selain
itu, metode ini juga tidak mampu untuk mendeteksi pendarahan non aktif ataupun
menentukan diagnose etiologis. Selain itu, beberapa pasien memiliki kontraindikasi
untuk angiografi. Angiografi paling baik untuk pasien dengan hematochezia yang
massif yang tidak dapat distabilisai untuk dilakukannya persiapan saluran cerna yang
adekuat untuk dilaksanakannya colonoscopy dan deep enteroscopy. Tergantung
daripada tingkat keparahan pendarahan, angiografi dapat diawali dengan adanya
capsule endoscopy untuk lokalisasi pendarahan untuk membantu lokasi injeksi
kontras yang terfokus.33

2.2.6. Tatalaksana
Tatalaksana dari pendarahan saluran cerna bawah perlu mengikutsertakan 3
komponen antara lain :
 Resusitasi dan assesmen awal
 Lokalisasi dari tempat pendarahan
 Intervensi terapeutik untuk menghentikan pendarahan
Ketiga komponen ini digunakan tergantung pada status klinis pasien,
banyaknya pendarahan, dan kemampuan untuk dilakukannya prosedur surgical
maupun non surgical. American Academy of Family Physicians (AAFP) memberikan
rekomendasi untuk evaluasi awal, penilaian resiko, dan resusitasi hemodinamik
sebagai berikut :
 Perlunya untuk dilaksanakan pengambilan anamnesis mendetail, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi severitas pendarahan
dan kausa dan tempat potensial serta melakukan resusitasi hemodinamik.
Adapun pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan pemeriksaan CBC, serum
elektrolit, profil koagulasi, PT, aPTT, platelet count dan bleeding time.

26
 Pada pasien dengan hematoschezia dan instabilitas hemodinamik, dengan
kecurigaan untuk pendarahan saluran cerna atas, maka perlu untuk
dilakukannya endoskopi, ataupun dengan nasogastric aspirate/lavage untuk
dapat melihat sumber pendarahan pada saluran cerna atas. Pada level
hematocrit kurang dari 18% ataupun penurunan 6% mengindikasikan adanya
kehilangan darah yang signifikan dan membutuhkan transfusi darah, dengan
target level hematocrit 20-25% pada pasien usia muda, ataupun pada pasien
usia lebih lanjut 30%, ataupun pada pasien resiko tinggi. INR lebih dari 1.5
perlu dilakukan koreksi dengan fresh frozen plasma, dan pada keadaan
thrombocytopenia, dapat dikoreksi dengan transfuse platelet.
 Diberikan resusitasi cairan IV pada pasien dengan hemodinamik yang tidak
statbil ataupun adanya kecurigaan pendarahan aktif. Pada pasien dengan syok,
maka dilakukan pemberian cairan colloid ataupun crystalloid untuk
merestorasi volume sebelum diberikannya produk darah. Adapun pada pasien
dengan hemodinamik yang sudah buruk, maka beberapa gejala meliputi
adanya perubahan postural dengan dyspnea, tachypnea, dan tachycardia.
Shock ditandai dengan adanya penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10
mmHg ataupun peningkatan nadi lebih dari 10 detak/menit.
 Transfusi dilakukan untuk mempertahankan hemoglobin 7 g/dl. Untuk pasien
dengan pendarahan massif ataupun pasien dengan kondisi komorbid lainnya,
maka target hemoglobin adalah sebesar 9 g/dl. 10
Pada pasien dengan kondisi hemodinamik stabil, dengan pendarahan sedikit
ataupun moderat, ataupun pasien dengan pendarahan hebat yang telah terstabilisasi,
maka dapat dilakukan kolonoskopi sebagai tatalaksana awal. Setelah pendarahan
terlokalisir, maka dapat dilakukan koagulasi dan injeksi dengan vasoconstrictors
ataupun sclerosing agents. Pada kasus pendarahan diverticular, koagulasi dengan
probe, injeksi epinefrin, ataupun klip metalik dapat dilakukan. Untuk pendarahan
rekuren, maka bagian usus yang terkena dapat direseksi. Pada kasus angiodysplasia,
terapi thermal seperti electrocoagulation dapat dilakukan.33

27
Jika pendarahan sudah ditetapkan untuk berasal dari saluran cerna bawah,
maka perlu diperkirakan tempo dari pendarahan dan seberapa banyak darah yang
keluar untuk tatalaksana. Untuk pasien dengan pendarahan massif, yang biasanya
memiliki pendarahan berwarna merah darah per rectum disertai dengan hipotensi dan
penurunan hematorkit, maka dilakukan tatalaksana berupa resusitasi secara agresif,
dan segera dilakukan rujukan kepada gastroenterologist untuk tatalaksana lanjutan. 10
Pada pendarahan per rectal, sumber pendarahan juga dapat berasal dari
saluran cerna atas yang bersifat massif, sehingga untuk memastikannya, dapat
dilakukan pemasangan nasogastric tube dengan dilakukan aspirasi atau lavage untuk
melihat apakah ada darah atau empedu. Jika kemungkinan ada pendarahan saluran
cerna atas, maka dapat dilakukan esophagogastroduodenoskopi.33

2.2.7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infark kolon mengikuti terapi terutama
embolisasi. Komplikasi lain dapat timbul dari anemia karena pendarahan yang
massif, dan pada pasien yang membutuhkan transfuse, maka komplikasi dari
transfuse darah dapat terjadi dan terjadi secara akut atau terlambat. Komplikasi
karena transfuse darah massif merupakan hypothermia, hypocalcemia, hyperkalemia,
dilutional thrombocytopenia, dan defisiensi coagulation factor.
Pasien yang telah mengalami operasi untuk saluran cerna rentan untuk
mengalami komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah adanya pendarahan
intraabdominal atau anastomotic, ileus, obstruksi usus halus (small bowel
obstruction), sepsis intra abdominal, peritonitis, infeksi saluran kemih, deep vein
thrombosis dan pulmonary embolism.
Komplikasi dapat timbul hingga lebih dari 1 minggu setelah operasi,
diantaranya yang paling umum adalah adanya striktur anastomotic, hernia incisional
dan inkontinens.10

2.2.8. Prognosis

28
Pendarahan saluran cerna bawah bervariasi dari hematochezia ataupun
pendarahan massif, dan pendarahan saluran cerna ini berperan dalam 24% kasus
pendarahan saluran cerna. Namun, kondisi ini diasosiasikan dengan morbiditas dan
mortalitas (10-20%). Pasien usia lanjut dan pasien dengan kondisi komorbid memiliki
resiko yang paling tinggi.10

29
BAB III

KESIMPULAN

Hematoschezia adalah keluarnya darah berwarna kemerahan pada kotoran


melalui anus, dengan sumber pendarahan pada saluran cerna bagian bawah, yaitu
pada saluran cerna dibawah ligament Treitz. Penyebab pendarahan saluran cerna
bawah yang paling sering dapat dibagi menjadi 4 penyebab utama yaitu anatomic
(misalnya pada pendarahan karena diverticulitis), vaskular (misalnya pada
angiodysplasia, ischemic colitis, radiation-induced colitis), neoplasma, dan
inflammatory. Adapun tanda dan gejalapenyerta hematoschezia berbeda tergantung
dari penyebabnya. Perlu dilakukan anamnesis lengkap untuk dapat menentukan
adanya etiologi dan sumber anatomic dari pendarahan. Selain itu, dapat dilakukan
penggalian dari riwayat penyakit dahulu (termasuk peptic ulcer, liver disease, sirosis,
koagulopati, inflammatory bowel disease) termasuk pemakaian obat dahulu (seperti
pemakaian NSAIDS, dan/atau warfarin). Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
mengidentifikasi sumber pendarahan serta untuk menemukan jika ada lesi bagian
distal yang dapat dideteksi pada pemeriksaan. Pemeriksaan fisik yang dilakukan
berupa rectal touché. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan kolonoskopi,
sigmoidoscopy, anoscopy, radionuclide imaging, dan angiography. Adapun
tatalaksana harus mengikutsertakan 3 komponen yaitu: resusitasi dan assessmen awal,
lokalisasi dari tempat pendarahan, dan intervensi terapeutik untuk menghentikan
pendarahan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Taber's Cyclopedic Medical Dictionary. Donald Venes. 20th Edition. Page


955.
2. Laine L, Yang H, Chang SC, Datto C. Trends for incidence of hospitalization
and death due to GI complications in the United States from 2001 to 2009.
Am J Gastroenterol. 2012;107:1190–5.
3. Elta GH. Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding. In:
Yamada T, ed. Gastroenterology. Philadelphia: JB Lippincott Co; 1995. p.
685.
4. Stenson WF. Inammatory bowel disease. In: Yamada T, ed.
Gastroenterology. Philadelphia: JB. Lippincott Co; 1995.p. 748.
5. Lower GI Tract Anatomy: Overview, Gross Anatomy, Microscopic Anatomy
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2019 [cited 26 July 2019]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/1899008-overview

6. Wandono, Hadi. (2007). Diagnosis and treatment of hematochezia: guideline


for clinical practice. Acta medica Indonesiana. 39. 202-6. Laine L, Shah A.
Randomized trial of urgent vs. elective colonoscopy in patients hospitalized
with lower GI bleeding. Am J Gastroenterol 2010; 105:2636.

7. [Guideline] Strate LL, Gralnek IM. ACG clinical guideline: management of


patients with acute lower gastrointestinal bleeding. Am J Gastroenterol. 2016
Apr. 111(4):459-74.
8. Talley NJ, Jones M. Self-reported rectal bleeding in a United States
community: prevalence, risk factors, and health care seeking. Am J
Gastroenterol. 1998 Nov. 93(11):2179-83.
9. Cagir B. Lower Gastrointestinal Bleeding: Practice Essentials, Background,
Anatomy [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2019 [cited 26 July 2019].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/188478-overview

31
10. Qayed E, Dagar G, Nanchal RS. Lower gastrointestinal hemorrhage. Crit
Care Clin. 2016 Apr. 32(2):241-54.
11. Longstreth GF. Epidemiology and outcome of patients hospitalized with acute
lower gastrointestinal hemorrhage: a population-based study. Am J
Gastroenterol. 1997 Mar. 92(3):419-24.
http://reference.medscape.com/medline/abstract/9068461
12. Andrei GN, Popa B, Gulie L, et al. Highlighted steps of the management
algorithm in acute lower gastrointestinal bleeding - case reports and literature
review. Chirurgia (Bucur). 2016 Jan-Feb. 111(1):74-9.
http://reference.medscape.com/medline/abstract/26988545
13. Zuckerman GR, Prakash C. Acute lower intestinal bleeding. Part II: etiology,
therapy, and outcomes. Gastrointest Endosc. 1999 Feb. 49(2):228-38.
14. Zuccaro G. Epidemiology of lower gastrointestinal bleeding. Best Pract Res
Clin Gastroenterol. 2008. 22(2):225-32.
15. Gayer C, Chino A, Lucas C, et al. Acute lower gastrointestinal bleeding in
1,112 patients admitted to an urban emergency medical center. Surgery. 2009
Oct. 146(4):600-6; discussion 606-7. [Medline].
16. Vernava AM 3rd, Longo WE, Virgo KS, Johnson FE. A nationwide study of
the incidence and etiology of lower gastrointestinal bleeding. Surg Res
Commun. 1996. 18:113-20.
17. Meyers MA, Alonso DR, Gray GF, Baer JW. Pathogenesis of bleeding colonic
diverticulosis. Gastroenterology. 1976 Oct. 71(4):577-83. [Medline].

18. Rezapour M, Ali S, Stollman N. Diverticular Disease: An Update on


Pathogenesis and Management. Gut and Liver. 2018;12(2):125-132.

19. Rege RV, Nahrwold DL. Diverticular disease. Curr Probl Surg 1989; 26:133.

20. Longstreth GF. Epidemiology and outcome of patients hospitalized with acute
lower gastrointestinal hemorrhage: a population-based study. Am J
Gastroenterol 1997; 92:419.

32
21. Elta GH. Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding. In:
Yamada T, ed. Gastroenterology. Philadelphia: JB Lippincott Co; 1995. p.
685.

22. Foutch PG, Rex DK, Lieberman DA. Prevalence and natural history of
colonic angiodysplasia among healthy asymptomatic people. Am J
Gastroenterol 1995; 90:564.

23. Diggs NG, Holub JL, Lieberman DA, et al. Factors that contribute to blood
loss in patients with colonic angiodysplasia from a population-based study.
Clin Gastroenterol Hepatol 2011; 9:415.

24. Zuckerman GR, Prakash C, Merriman RB, et al. The colon single-stripe sign
and its relationship to ischemic colitis. Am J Gastroenterol 2003; 98:2018.

25. Dignan CR, Greenson JK. Can ischemic colitis be differentiated from C
difficile colitis in biopsy specimens? Am J Surg Pathol 1997; 21:706.

26. Macrae FA, St John DJ. Relationship between patterns of bleeding and
Hemoccult sensitivity in patients with colorectal cancers or adenomas.
Gastroenterology 1982; 82:891.

27. Korkis AM, McDougall CJ. Rectal bleeding in patients less than 50 years of
age. Dig Dis Sci 1995; 40:1520.

28. Rogers BH. Endoscopic diagnosis and therapy of mucosal vascular


abnormalities of the gastrointestinal tract occurring in elderly patients and
associated with cardiac, vascular, and pulmonary disease. Gastrointest Endosc
1980; 26:134.

33
29. McGuire HH Jr. Bleeding colonic diverticula. A reappraisal of natural history
and management. Ann Surg. 1994 Nov. 220(5):653-6.

30. Wilkins T, Embry K, George R. Diagnosis and management of acute


diverticulitis. Am Fam Physician. 2013 May 1. 87(9):612-20.

31. Fine K. Comparison of the color of fecal blood with the anatomical location
of gastrointestinal bleeding lesions: potential misdiagnosis using only flexible
sigmoidoscopy for bright red blood per rectum. The American Journal of
Gastroenterology. 1999;94(11):3202-3210.

32. Ghassemi K, Jensen D. Lower GI Bleeding: Epidemiology and Management.


Current Gastroenterology Reports. 2013;15(7).

34

Anda mungkin juga menyukai