Anda di halaman 1dari 23

Kutara Manawa: Kitab Hukum Federasi Majapahit

Wahai saudaraku. Dalam kesempatan kali ini mari kita kembali mengulik tentang kejayaan
Nusantara lama. Dan khusus di tulisan ini, maka kajiannya masih seputar kejayaan dari
kerajaan Majapahit. Tujuannya adalah agar bangsa ini kembali sadar dan tetap percaya pada
dirinya sendiri. Karena kita adalah orang Nusantara yang tentunya punya karakter dan
budayanya sendiri. Kita tidak bisa disamakan dengan bangsa lain, dalam banyak hal, karena
memang kita ini adalah bangsa yang hebat. Dan kita pun tidak perlu ikut-ikutan dengan
mereka itu, karena kita memang bukan seperti mereka.

Kembali ke sejarah Wilwatikta atau yang biasa disebut dengan Majapahit. Maka sebagai
kerajaan yang besar tentunya ada suatu mekanisme administrasi, birokrasi dan tata hukum
kenegaraan yang dijadikan sebagai landasan utama. Maklumlah saat itu Majapahit adalah
sebuah kekaisaran yang memerintah sebuah wilayah yang bahkan lebih luas dari NKRI
sekarang. Sehingga demi menjalankan roda pemerintahannya dengan lancar, maka khususnya
Maha Patih Gajah Mada saat itu telah menyusun sebuah kitab yang berisikan tentang segala
aturan hukum (pidana dan perdata) yang kemudian dikenal dengan nama Kutara Manawa.

Lalu dalam sejarahnya, kitab Kutara Manawa ini diilhami oleh kitab hukum yang lebih tua,
yang sebelumnya pernah digunakan pada masa kerajaan Singosari. Kitab hukum di zaman
Singosari tersebut terdiri dari dua buah kitab utama, yaitu Kutarasastra dan Manawasastra.
Lalu, perlu diketahui pula bahwa kitab-kitab hukum yang digunakan di masa kerajaan
Singosari itu pun adalah saduran dan atau pengembangan dari hukum yang pernah di
terapkan pada masa kerajaan sebelumnya yaitu kerajaan Medang (Mataram kuno) dan
Kalingga. Dimana hukum tersebut dikenal nama Dharmasastra.

1. Pembuktian tentang keberadaan kitab Kutara Manawa


Dalam Kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora (seorang pembesar Majapahit)
dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan kitab undang-undang Kutara Manawa, akibat
pembunuhannya terhadap Mahisa Anabrang ketika terjadi pemberontakan Rangga Lawe. Dari
uraian Kidung Sorandaka tersebut, kita pun bisa mengetahui tentang adanya kitab undang-
undang yang bernama Kutara Manawa pada masa kerajaan Majapahit. Selanjutnya dalam
penelitian prasasti-prasasti di zaman Majapahit, setidaknya terdapat dua prasasti yang
mencatat nama kitab undang-undang Kutara Manawa ini, yaitu Prasasti Bendasari (sayang
tidak bertarikh) dan Prasasti Trowulan yang berangka tahun 1358 Masehi.

Pada prasasti Bendasari yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Dyah Hayam
Wuruk/Brawijaya III) yang termuat dalam O.J.O LXXXV pada lempengan 6a, tersebut nama
perundang-undangan tersebut dalam kalimat seperti berikut ini:

“Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara


sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama”
Artinya: Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya,
menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu.

Pada Prasasti Trowulan yang juga dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, maka pada lempengan
III baris 5 dan 6, kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa ini, yang
bunyinya seperti berikut:
” …. Ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wicecana tatpara kapwa sama-sama sakte
kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ….”
Artinya: Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara
Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan kitab-kitab undang-undang seperti
Kutara Manawa.

Dari uraian kedua prasasti tersebut, dapatlah kita pastikan bahwa nama kitab perundang-
undangan pada zaman kerajaan Majapahit adalah Kutara Manawa. Terjemahan dari kitab ini
memang pernah diterbitkan oleh Dr. J.C.G Jonker pada tahun 1885. Dan khusus pada pasal
23 dan 65 kitab undang-undang tersebut menyebut nama Kutara Manawa. Oleh karenanya
dalam hal ini semakin dapat dipastikan bahwa kitab perundang-undangan di zaman kerajaan
Majapahit disebut dengan Kutara Manawa.

2. Susunan dan isi kitab Kutara Manawa


Kitab hukum ini di tulis dalam bahasa Jawa kuno. Secara keseluruhan kitab Kutara Manawa
ini terdiri dari 275 pasal yang lebih menitik beratkan kepada perkara-perkara hukum pidana
(jenayah) disamping ada juga yang berkaitan dengan hukum perdata semacam perkawinan,
mahar, jual-beli, hutang-piutang dan lain-lain. Dari penelusuran yang dilakukan, maka semua
pasal-pasal itu termaktub ke dalam 19 Bab sebagai berikut:

1. Bab I : Ketentuan umum mengenai denda.


2. Bab II : Asta Dusta atau Delapan macam pembunuhan.
3. Bab III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula.
4. Bab IV : Asta Corah atau Delapan macam pencurian.
5. Bab V : Sahasa atau Paksaan.
6. Bab VI : Adol-atuku atau Jual-beli.
7. Bab VII : Sanda atau Gadai.
8. Bab VIII : Ahutang-apihutang atau Hutang-piutang.
9. Bab IX : Titipan.
10. Bab X : Tukon atau Mahar.
11. Bab XI : Kawarangan atau Perkawinan.
12. Bab XII : Paradara atau Mesum.
13. Bab XIII : Drewe kaliliran atau Warisan.
14. Bab XIV : Wakparusya atau Caci-maki.
15. Bab XV : Dandaparusya atau Menyakiti.
16. Bab XVI : Kagelehan atau Kelalaian.
17. Bab XVII : Atukaran atau Perkelahaian.
18. Bab XVIII : Bhumi atau Tanah.
19. Bab XIX : Duwilatek atau Fitnah.

Catatan: Dalam Bab umum dari kitab Kutara Manawa ini dinyatakan secara tegas bahwa raja
yang berkuasa (sang amawa bhumi) harus teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya
denda, jangan sampai salah dalam hal penetrapannya. Jangan sampai orang yang bertingkah
salah luput dari tindakan (hukuman). Itulah kewajiban raja yang berkuasa jika sungguh-
sungguh mengharapkan kerahayuan negaranya.

3. Kutipan isi kitab dari Kutara Manawa


Untuk lebih jelasnya, disini akan kami sampaikan cuplikan dari beberapa pasal penting dalam
kitab Kutara Manawa. Yaitu:

1. BAB II (Asta Dusta) pasal 3 dan pasal 4


Pada bab ini diuraikan tentang Asta Dusta yaitu delapan macam pembunuhan, antara lain:
1. Membunuh orang yang tidak berdosa.
2. Menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa.
3. Melukai orang yang tidak berdosa.
4. Makan bersama dengan pembunuh.
5. Mengikuti jejak pembunuh.
6. Bersahabat dengan pembunuh.
7. Memberi tempat kepada pembunuh.
8. Memberi pertolongan kepada pembunuh.

Dari delapan pembunuh tersebut, maka yang nomor 1, 2 dan 3 akan di kenakan hukuman
mati, sedangkan sisanya dikenakan denda uang masing-masing sebanyak dua laksa oleh raja
yang berkuasa.

1) Pasal 3 menyebutkan bahwa: “Barang siapa membunuh orang yang tidak berdosa,
menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa dan melukai orang yang tidak berdosa,
dikenakan hukuman mati. Ketiga dusta (pembunuh) tersebut dikenal dengan istilah dusta
bertaruh jiwa. Jika memang yang terbukti bersalah mengajukan permohonan hidup kepada
raja yang berkuasa, ketiga-tiganya dikenakan denda uang empat laksa masing-masing
sebagai syarat penghapus dosanya”

2) Pasal 4 menyebutkan bahwa: “Barang siapa makan bersama dengan pembunuh,


mengikuti jejak pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, memberi tempat (perlindungan)
kepada pembunuh serta memberi pertolongan kepada pembunuh, jika memang terbukti
bersalah, akan dikenakan denda masing-masing dua laksa oleh raja yang berkuasa”.

Catatan: Seandainya hukuman yang ada pada BAB II (Asta Dusta) ini diterapkan di negeri
ini, niscaya Nusantara akan aman dan terlindungi.

2. BAB IV (Asta Corah) pasal 21, 22, 23, 55, 56, dan 57
Pada bab ini diuraikan tentang Asta Corah atau delapan pencuri, yaitu:
1. Mereka yang menjalankan pencurian.
2. Mereka yang menghasut supaya mencuri.
3. Mereka yang memberi makanan kepada seorang pencuri.
4. Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri.
5. Mereka yang bersahabat dengan seorang pencuri.
6. Mereka yang memberi petunjuk kepada seorang pencuri hingga mendapat kesempatan

untuk mencuri.
7. Mereka yang menolong seorang pencuri.
8. Mereka yang menyembunyikan seorang pencuri.

“Mereka itulah yang disebut Asta Corah (delapan orang pencuri) itu, dan mudah-mudahan
mereka itu dihukum oleh baginda: tetapi ayah mereka, ibu mereka, anak-anak mereka dan
saudara-saudaranya yang lain tidak boleh dihukum oleh baginda, kalau mereka itu tidak ikut
bersalah: hanya delapan orang yang tersebut di atas itu boleh dihukum” (pasal 21).

Hukuman-hukuman yang diberikan kepada delapan orang pencuri itu berlainan. Bagaimana
cara memberikan hukuman itu dapat dilihat dalam pasal 22, 23, 55, 56, dan 57 berikut ini:

1) Pasal 22 menyebutkan bahwa: “Mereka yang mencuri dan mereka yang menghasut
supaya mencuri, kalau ada bukti-buktinya, dapat dikenakan hukuman mati oleh baginda;
isteri, anak pencuri itu dengan segala hak miliknya dibawa kedalam tempat tinggal baginda
untuk dijual oleh baginda atau diberikan kepada orang lain; isteri dan anak mereka yang
menghasut supaya mencuri, boleh tetap ditempat tinggalnya dan dikenakan denda 10.000;
kalau mereka juga ikut menghasut supaya mencuri, maka mereka itu harus mati pula oleh
baginda”.

2) Pasal 23 menyebutkan bahwa: “Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang
pencuri juga mereka yang memberi makan kepada seorang pencuri, kalau ada bukti-
buktinya, dikenakan denda 20.000 oleh baginda; isteri dan anak-anaknya tidak dikenakan
hukuman; mereka yang menyembunyikan seorang pencuri atau menjaga seorang pencuri,
dan mengatakan bahwa ia itu bukan pencuri, atau mereka yang menyingkirkan seorang
pencuri; sedang terdapat bukti-bukti yang menyatakan bahwa orang itu pencuri, dikenakan
denda 40.000 oleh baginda; mereka yang membantu pencuri, sedang tahu bahwa orang itu
pencuri atau berdiam diri, sedang mereka itu telah lama bersahabat dengan orang itu,
dikenakan denda 10.000 oleh baginda; kalau mereka itu menghasut pula supaya mencuri,
maka mereka itu dikenakan hukuman mati pula oleh baginda”.

3) Pasal 55 menyebutkan bahwa: “Jika seorang pencuri tertangkap dalam pencurian,


dikenakan pidana mati ; anak isterinya, miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang
berkuasa. Jika pencuri itu mempunyai hamba laki-laki dan perempuan, hamba-hamba itu
tidak diambil alih oleh raja yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala utangnya kepada
pencuri yang bersangkutan”.

4) Pasal 56 menyebutkan bahwa: “Jika seorang pencuri mengajukan permohonan hidup,


maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat
laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang kena curi dengan
mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat, demikianlah bunyi hukumnya”.

5) Pasal 57 menyebutkan bahwa: “Jika di dalam suatu desa terjadi pembunuhan atas
seorang pencuri, maka barang curian, kepala pencuri, harta miliknya, anak-isterinya,
supaya dihaturkan (diserahkan) kepada raja yang berkuasa. Itulah jalan yang harus
ditempuh. Jika kerabat pencuri itu terbukti tidak ikut serta dalam pencurian, mereka tidak
layak dikenakan denda”.

Catatan: Seandainya hukuman yang ada pada BAB IV (Asta Corah) ini diterapkan di negeri
ini, niscaya Nusantara akan kaya raya dan berjaya.

3. BAB V (Sahasa), pasal 86, 87 dan 92

Pada bab ini dijelaskan tentang hukuman untuk perkara Sahasa atau paksaan dari seseorang
kepada orang lain. Seperti bunyi pasal berikut ini:
1) Pasal 86: “Barang siapa mengambil milik orang tanpa hak, supaya diperingatkan bahwa
barang yang diambil secara haram itu akan hilang dalam waktu enam bulan. Jika belum
hilang dalam enam bulan, peringatkan bahwa barang itu akan hilang dalam waktu enam
tahun. Segala modal milik orang yang mengambil barang tanpa hak itu akan turut hilang.
Ingat-ingatlah akan ajaran sastra : jangan sekali-kali mengambil uang secara haram”.

2). Pasal 87: “Barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi milik orang lain, dikenakan
denda dua laksa. Barang siapa merampas hamba orang lain, dendanya dua laksa. Denda itu
dihaturkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang
dirampas, terutama hamba, dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat”.

3) Pasal 92: “Barang siapa menebang pohon orang lain tanpa ijin pemiliknya, dikenakan
denda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan
pidana mati oleh raja yang berkuasa; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat”.

Catatan: Seandainya hukuman yang ada pada V (Sahasa) ini diterapkan di negeri ini, niscaya
Nusantara akan makmur dan sejahtera.

Selain itu, mengenai hukum waris, maka terdapat 6 jenis anak yang mempunyai hak waris,
yaitu:

1. Anak yang lahir dari penikahan pertama, ketika ibu-bapaknya masih sama sama muda dan
sejak kecil telah dipertunangkan.
2. Anak yang lahir dari istri dari penikahan yang kedua kali, dan mendapat persetujuan orang
tuanya.
3. Anak pemberian saudaranya.
4. Anak yang diminta dari orang lain.
5. Anak yang diperoleh dari istri akibat percampuran dengan iparnya laki laki atas
persetujuan suaminya.
6. Anak buangan yang dipungut dan diakui sebagai anak.

Sedangkan anak yang tidak mempunyai hak waris antara lain:

1. Anak yang tidak diketahui siapa bapaknya, karena diperolehibunya sebelum kawin.
2. Anak campuran laki laki banyak.
3. Anak seorang istri yang diceraikan dan rujuk kembali seteah bercampur dengan laki laki
lain.
4. Anak orang lain yang minta diakui anak.
5. Anak yang diperoleh karena pembelian.
6. Anak hamba yang diakui anak.

Kemudian, yang sangat menarik yaitu peraturan mengenai pemberantasan guna-guna atau
tenung, yang kita sekarang sangat ganjil mendengarnya, oleh karena zaman sekarang hal
semacam itu dianggap sebagai takhayul dan tidak untuk memasukkannya ke dalam suatu ayat
undang-undang. Ini diuraikan dalam pasal 173. Bunyinya sebagai berikut:

“Jika orang menulis nama orang lain pada pakaian atau kain orang meninggal, atau pada
kain yang berbentuk boneka, atau boneka terbuat dari tepung dan mengubur boneka itu di
kuburan, atau meletakkannya di dalam pohon, di tanah yang telah dibubuhi mantera, atau
pada simpangan jalan, maka orang yang demikian itu dianggap sebagai tukang sunglap
yang jahat; kalau kejahatan orang yang demikian itu terbukti, maka baginda harus
membunuhnya dengan semua anak cucunya dan orang tuanya; tidak seorangpun di
antaranya boleh dibiarkan hidup oleh baginda, kalau baginda hendak mencapai
kesejahteraan dunia; semua hak miliknya yang ada di dalam daerahnya boleh diambilnya”.

Ya. Hidup kesusilaan pada waktu itu sangat dijunjung tinggi. Hal itu berhubung dengan
kepercayaan mereka, bahwa masyarakat itu adalah sebagian dari Tuhan. Maka jika kesusilaan
dilanggar, bencana akan menimpa seluruh masyarakat. Oleh karena itu lihat bagaimana
kerasnya tindakan-tindakan untuk memberantas perbuatan-perbuatan yang melanggar
kesusilaan. Dalam hal yang demikian rupa hukuman mati sering dengan lekas diberikan. Ini
dapat dilihat dalam pasal 250 yang berbunyi:

“Kalau ada orang memberi hadiah kepada orang perempuan yang sudah bersuami atau
orang perempuan yang dilarang oleh kasta, atau menerimanya dari orang perempuan itu
karena terdorong oleh cinta hati, tidak perduli terdiri dari apakah hadiah itu, entah bedak,
bunga hiasan telinga, cincin, pisau, sepotong pakaian atau hiasan, pendek kata apa saja
diberikan oleh laki-laki atau perempuan sebagai hadiah, atau jika ada orang diketemukan
sedang bersenda-gurau atau ketawa dengan diam-diam dengan orang perempuan, maka itu
dianggap sebagai strisanggrahana zina dan ia dikenakan hukuman mati”.

Selain itu, pemerintah pada waktu itu juga seperti pemerintah sekarang yang terus berusaha
memberantas bunga (riba) yang sangat besar yang dipungut oleh kaum lintah-darat. Bunga
yang boleh dipungut pada waktu itu hanya 0,5 % tiap-tiap bulan, itupun bunga yang paling
tinggi.

Selain itu, karena masyarakat pada waktu itu sudah terdiri dari beberapa kasta, maka
hukuman yang diberikan kepada tiap-tiap kasta pun berlainan. Perbedaan-perbedaan itu dapat
lihat dari pasal 220 berikut ini:

“Kalau orang ksatriya mencaci maki orang brahmana ia dikenakan denda 2000; kalau
orang waisya mencaci maki orang brahmana, ia dikenakan denda 5000; kalau orang sudra
mencaci-maki orang brahmana, ia dikenakan hukuman mati; baginda harus membunuh
orang yang diperhamba ini. Kalau orang brahmana mencaci-maki orang ksatriya ia
dikenakan denda 1000; kalau ia mencaci-maki orang waisya dikenakan denda 500; jika
orang sudra, dikenakan 250”.

Sayang sekali, bahwa kita tidak dapat mengetahui ukuran uang yang dipakai pada waktu itu.
Dan denda yang paling tinggi saat itu adalah 160.000.

4. Penutup

Dari semua uraian di atas, maka hukum yang termaktub di dalam kitab Kutara Manawa ini
adalah bukti bahwa kerajaan Majapahit telah mampu untuk menjadi induk dari sebuah
Federasi Kerajaan di seluruh Nusantara. Itu terjadi karena ia adalah negara yang memiliki
sumber hukum tertulis yang mengikat bagi semua warganya (koloninya) di seluruh kawasan
bahkan di hampir seluruh wilayah dunia.

Dan seperti apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Djokosutono (seorang sarjana hukum
adat pada Universitas Indonesia Jakarta yang diserahi tugas memimpin Lembaga Hukum
Nasional dan meninggal pada tahun 1965) dengan kalimat: “Seandainya peraturan-
peraturan pada zaman Majapahit yang diterapkan oleh Gajah Mada, tercatat dan catatan
itu sampai kepada kita, maka kita sudah mempunyai dasar hukum nasional. Tidak seperti
sekarang ini!”. Maka disini terlihat jelas bahwa pakar hukum ini telah menyesal karena
sesungguhnya beliau ingin menggunakan perundang-undangan Majapahit sebagai landasan
hukum nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keinginan ini tentu berhubungan erat
dengan kedudukan beliau sebagai kepala Lembaga Hukum Nasional yang didirikan pada
sekitar tahun 50-an dan memperoleh tugas khusus dari Kepala Negara saat itu untuk
menyusun hukum nasional sebagai ganti dari hukum kolonial yang masih berlaku hingga saat
ini. Hasil penelitian beliau tersebut diterbitkan oleh Penerbit Bhratara pada tahun 1967 di
bawah judul Perundang-undangan Majapahit.

Lalu bagaimana dengan kita sekarang sebagai generasi penerus Nusantara masa depan?
Apakah kita tidak bangga dengan hukum karya bangsa sendiri? Lantas apakah kita mau
berpegang teguh pada hukum pribumi itu, atau justru masih saja mengikuti hukum kolonial
yang telah terbukti gagal untuk membuat makmur dan sejahtera rakyat di negeri ini?
Bukankah seharusnya kita segera kembali pada hukum yang adi luhung (Kutara Manawa
Majapahit) itu agar kembali makmur dan sejahtera, sebagaimana yang pernah diharapkan
oleh para leluhur kita? Andalah yang harus menjawabnya.

PERUNDANG-UNDANGAN JAMAN MAJAPAHIT

Di dalam menuliskan sejarah kerajaan Majapahit, perkara perundang-undangan yang berlaku


pada masa itu jarang sekali disinggung, karena kebanyakan di antara sarjana sejarah dalam
bidang Asia Tenggara kurang faham akan hal itu, sedangkan para sarjana dalam bidang Jawa
kuno kurang menaruh perhatian terhadapnya.
Dr. J.C.G Jonker adalah sarjana Belanda pertama yang mengadakan penelitian perbandingan
antara perundang-undangan Jawa kuno dengan perundang-undangan Manawa (India),
karyanya berjudul Een Oud-Javaansch wetboek vergeleken met Indische rechtsbronnen
dimajukan sebagai thesis Universitas Leiden pada tahun 1885, yang dijadikan dasar
penelitiannya ialah kitab Undang-undang Agama yang berasal dari pulau Bali. Pada waktu itu
penelitian tentang Majapahit belum dimulai. Oleh karena itu Jonker tidak menyinggung
Majapahit dalam pembahasannya. Sarjana Belanda kedua yang juga tertarik kepada
perundang-undangan Majapahit ialah Dr. G.A.J Hazeu, sarjana ini menerbitkan Tjebonsch
Wetboek (Papakem Tjerbon) van het jaar 1768, dalam seri VBG LV, 1906. Akibatnya
bidang perundang-undangan Majapahit ini lama terbengkalai, penelitian terhadap undang-
undang jaman Majapahit ini menjadi penting dalam rangka pengetahuan tentang sejarah
perundang-undangan di Asia Tenggara, terutama karena perundang-undangan Majapahit
ditulis dalam abad ke empat-belas, namun perundang-undang ini tidak memiliki kaitan
langsung dengan kehidupan kenegaraan jaman sekarang.

Prof. Djokosutono seorang sarjana hukum adat pada Universitas Indonesia Jakarta yang
diserahi tugas memimpin Lembaga Hukum Nasional (meninggal pada tahun 1965) pernah
menyesalkan demikian : ' Seandainya peraturan-peraturan pada jaman Majapahit yang
diterapkan oleh Gajah Mada, tercatat dan catatan itu sampai kepada kita, maka kita
sudah mempunyai dasar hukum nasional. Tidak seperti sekarang ini !'. Penyesalan
tersebut dapat ditafsirkan bahwa beliau ingin menggunakan perundang-undangan Majapahit
sebagai landasan hukum nasional Negara Republik Indonesia. Keinginan ini tentu
berhubungan erat dengan kedudukan beliau sebagai kepala Lembaga Hukum Nasional yang
didirikan pada sekitar tahun lima puluhan dan memperoleh tugas khusus dari Kepala Negara
untuk menyusun hukum nasional sebagai ganti hukum kolonial yang masih berlaku hingga
saat ini. Hasil penelitian beliau diterbitkan oleh Penerbit Bhratara pada tahun 1967 di bawah
judul Perundang-undangan Majapahit.

Negarakertagama di dalam pupuh LXXIII memberitakan, bahwa dalam soal pengadilan Dyah
Hayam Wuruk Sri Rajasanagara tidak bertindak serampangan, tetapi patuh mengikuti
undang-undang, sehingga adil segala keputusan yang diambilnya, membuat puas semua
pihak. Demikianlah pada jaman pemerintahan Dyah Hayam Wuruk telah ada kitab undang-
undang (agama) yang dijadikan pegangan dalam menjalankan proses pengadilan.

KITAB KUTARA MANAWA

Dalam Kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora dikenakan tuntutan hukuman mati
berdasarkan kitab undang-undang Kutara Manawa, akibat pembunuhannya terhadap Mahisa
Anabrang dalam masa pemberontakan Rangga Lawe. Dari uraian Kidung Sorandaka tersebut
kita mengetahui tentang adanya kitab undang-undang Kutara Manawa pada jaman kerajaan
Majapahit. Selanjutnya dalam penelitian prasasti-prasasti jaman Majapahit setidaknya
terdapat dua prasasti yang mencatat nama kitab undang-undang Kutara Manawa ini, yaitu
Prasasti Bendasari tidak bertarikh dan Prasasti Trawulan berangka tahun 1358.

Pada Prasasti Bendasari yang jelas-jelas dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk)
yang termuat dalam O.J.O LXXXV pada lempengan 6a, kedapatan nama perundang-
undangan tersebut dalam kalimat seperti berikut ini :
"Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara
prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama" artinya :"Dengan
berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan
kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu.

Pada Prasasti Trawulan , 1358 yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, lempengan III baris 5
dan 6 kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa, yang bunyinya
seperti berikut ini :
" .... Ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wicecana tatpara kapwa sama-sama sakte
kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ...." artinya : "Semua ahli tersebut
bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan lain-lainnya.
Mereka itu cakap menafsirkan kitab-kitab undang-undang seperti Kutara Manawa".

Dari uraian kedua prasasti tersebut di atas, dapatlah kita pastikan bahwa nama kitab
perundang-undangan pada jaman kerajaan Majapahit adalah Kutara Manawa. Kitab ini
memang pernah diterbitkan oleh Dr. J.C.G Jonker pada tahun 1885 dan disebut Agama yang
artinya undang-undang. Pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang tersebut menyebut nama
Kutara Manawa, oleh karenanya dalam hal ini semakin dapat dipastikan bahwa kitab
perundang-undangan jaman kerajaan Majapahit disebut dengan Kutara Manawa.
Kitab perundang-undangan jaman Majapahit Kutara Manawa yang dalam Negarakertagama
disebut dengan agama sebagaimana adanya sekarang ini terdiri dari 275 pasal, namun
ternyata bahwa diantaranya terdapat pasal-pasal yang sama atau mirip sekali, sehingga di
dalam terjemahannya hanya disajikan 272 pasal saja, karena salah satu pasal telah rusak dan
dua pasal lainnya merupakan ulangan pasal yang sejenis.
Pada bagian yang pertama telah diuraikan secara panjang lebar perihal kitab undang-undang
pada jaman kerajaan Majapahit yang disebut dengan Kutara Manawa, selanjutnya pada
bagian kedua ini akan sedikit diuraikan perihal susunan atau sistematika dari kitab
perundang-undangan tersebut, sebagai berikut.

SUSUNAN DAN ISINYA


Susunan kitab Kutara Manawa (agama) seperti adanya dalam bahasa Jawa Kuno beraduk
tidak karuan, boleh dikatakan tidak dapat diketahui ujung pangkalnya. Untuk memperoleh
gambaran tentang hal-hal yang dijadikan undang-undang tersebut, maka susunan yang
beraduk tersebut disesuaikan dan diatur kembali ke dalam pelbagai bab, dimana pada tiap-
tiap bab memuat pasal-pasal yang sejenis sehingga ada sekedar sistematik dalam susunannya,
sudah pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem yang tidak diketahui lagi.
Mungkin usaha penyusunan kembali itu sekedar mendekati susunan aslinya. (Prof. Dr.
Slametmulyana, Negarakretagama dan Tafsir sejarahnya, Bhratara Karya Aksara, Jakarta
1979, hal. 184).

Hasil usaha penyusunan kembali tersebut adalah sebagai berikut :


Bab I : Ketentuan umum mengenai denda ;
Bab II : Delapan macam pembunuhan yang disebut astadusta ;
Bab III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula ;
Bab IV : Delapan macam pencurian, disebut astacorah ;
Bab V : Paksaan atau sahasa ;
Bab VI : Jual-beli atau adol-atuku ;
Bab VII : Gadai atau sanda ;
Bab VIII : Utang-piutang atau ahutang-apihutang ;
Bab IX : Titipan ;
Bab X : Mahar atau tukon ;
Bab XI : Perkawinan atau kawarangan ;
Bab XII : Mesum atau paradara ;
Bab XIII : Warisan atau drewe kaliliran ;
Bab XIV : Caci-maki atau wakparusya ;
Bab XV : Menyakiti atau dandaparusya ;
Bab XVI : Kelalaian atau kagelehan ;
Bab XVII : Perkelahian atau atukaran ;
Bab XVIII : Tanah atau bhumi ;
Bab XIX : Fitnah atau duwilatek.

Pada jaman kerajaan Majapahit, pengaruh India meresap dalam segala bidang kehidupan,
pengaruh India tersebut juga terasa sekali dalam bidang perundang-undangannya. Nama
agama dan Kutara Manawa telah jelas menunjukkan adanya pengaruh India dalam bidang
perundang-undangannya. Kitab perundang-undangan India Manawadharmasastra dijadikan
pola dasar perundang-undangan pada masa Majapahit yang disebut dengan agama atau
Kutara Manawa isinya adalah saduran dari kitab perundang-undangan India tersebut yang
telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada waktu itu.

Dalam bab umum dari kitab Kutara Manawa dinyatakan secara tegas bahwa raja yang
berkuasa (sang amawa bhumi) harus teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda,
jangan sampai salah dalam hal pengetrapannya. Jangan sampai orang yang bertingkah salah
luput dari tindakan. Itulah kewajiban raja yang berkuasa jika sungguh-sungguh
mengharapkan kerahayuan negaranya.
Kitab Kutara Manawa ini pada dasarnya adalah merupakan kitab undang-undang jenayah
atau pidana, karena isinya terutama langsung menyangkut penjelasan-penjelasan tentang
tindak-tindak pidana yang dapat dikenai denda atau hukuman berupa uang, barang atau
hukuman mati, dan di dalam kitab ini tidak banyak mengandung nasehat seperti dalam kitab
Manawadhamasastra.

Pada pasal 109 kitab Kutara Manawa dijelaskan bahwa isi kitab perundang-undangan ini
disarikan dari kitab perundang-undangan India Manawadharmasastra dan
Kutaradharmasastra. Bunyinya seperti berikut ini : "Kerbau atau sapi yang digadaikan
setelah lewat tiga tahun, leleb sama dengan dijual menurut undang-undang Kutara, menurut
undang-undang Manawa baru leleb setelah lewat lima tahun. Ikutilah salah satu karena
kedua-duanya adalah undang-undang. Tidak dibenarkan anggapan bahwa yang satu lebih
baik dari yang lain. Manawadharmasastra adalah ajaran Maharaja Manu, ketika manusia
baru saja diciptakan, beliau seperti Bhatara Wisnu. Kutarasastra adalah ajaran begawan
Bregu pada jaman Treptayoga, beliau seperti Bhatara Wisnu, diikuti oleh Rama Parasu dan
oleh semua orang ; bukan buatan jaman sekarang, ajaran itu telah berlaku sejak jaman
purba".

Dalam kitab Kutara Manawa tersebut banyak terdapat pasal-pasal yang dikatakan berasal dari
ajaran bagawan Bregu (Kutarasastra) misalnya seperti pada pasal 46, 141, 176 dan pasal 234.
Adanya beberapa pasal yang sangat mirip dalam kitab Kutara Manawa menunjukkan bahwa
kitab perundang-undangan tersebut selain bersumber dari Manawadharmasastra juga
menggunakan perundang-undangan lainnya sebagai acuan, misalnya seperti pada pasal 192
dan 193, pasal 121 dan pasal 123. Bab paksaan atau sahasa dalam kitab Kutara Manawa
berbeda dengan apa yang terdapat pada Manawadharmasastra.

Didalam bagian yang kedua telah penulis uraikan secara panjang lebar perihal sistematika
atau susunan Kirab Kutara Manawa, selanjutnya pada bagian ketiga ini akan sedikit diraikan
mengenai contoh-contoh pasal yang ada dalam kitab tersebut.

DARI BAB ASTADUSTA pasal 3 dan pasal 4.

Uraian tentang macam-macam astadusta (pembunuhan) : 1. Membunuh orang yang tidak


berdosa; 2. Menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa ; 3. Melukai orang yang tidak
berdosa ; 4. Makan bersama dengan pembunuh ; 5. Mengikuti jejak pembunuh ; 6.
Bersahabat dengan pembunuh ; 7. Memberi tempat kepada pembunuh ; 8. Memberi
pertolongan kepada pembunuh ; itulah yang disebut astadusta, dari delapan dusta tersebut,
tiga yang pertama tebusannya pati, yang lima lainnya tebusannya berupa uang.

Pasal 3 menyebutkan bahwa barang siapa membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh
membunuh orang yang tidak berdosa dan melukai orang yang tidak berdosa, dikenakan
hukuman mati. Ketiga dusta tersebut dikenal dengan istilah dusta bertaruh jiwa. Jika memang
yang terbukti bersalah mengajukan permohonan hidup kepada raja yang berkuasa, ketiga-
tiganya dikenakan denda empat laksa masing-masing sebagai syarat penghapus dosanya.

Pasal 4 menyebutkan bahwa barang siapa makan bersama dengan pembunuh, mengikuti jejak
pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, memberi tempat (perlindungan) kepada pembunuh
serta memberi pertolongan kepada pembunuh, jika memang terbukti bersalah, akan
dikenakan denda masing-masing dua laksa oleh raja yang berkuasa.
DARI BAB ASTACORAH, pasal 55, 56 dan 57.

Jika seorang pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati ; anak isterinya,
miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri itu mempunyai
hamba laki-laki dan perempuan, hamba-hamba itu tidak diambil alih oleh raja yang berkuasa,
tetapi dibebaskan dari segala utangnya kepada pencuri yang bersangkutan (pasal 55).

Jika seorang pencuri mengajukan permohonan hidup, maka ia harus menebus


pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang
berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang kena curi dengan mengembalikan segala
milik yang diambilnya dua kali lipat, demikianlah bunyi hukumnya (pasal 56).

Jika di dalam suatu desa terjadi pembunuhan atas seorang pencuri, maka barang curian,
kepala pencuri, harta miliknya, anak-isterinya, supaya dihaturkan (diserahkan) kepada raja
yang berkuasa. Itulah jalan yang harus ditempuh. Jika kerabat pencuri itu terbukti tidak ikut
serta dalam pencurian, mereka tidak layak dikenakan denda (pasal 57).

DARI BAB SAHASA (PAKSAAN), pasal 86, 87 dan 92.


Barang siapa mengambil milik orang tanpa hak, supaya diperingatkan bahwa barang yang
diambil secara haram itu akan hilang dalam waktu enam bulan. Jika belum hilang dalam
enam bulan, peringatkan bahwa barang itu akan hilang dalam waktu enam tahun. Segala
modal milik orang yang mengambil barang tanpa hak itu akan turut hilang. Ingat-ingatlah
akan ajaran sastra : jangan sekali-kali mengambil uang secara haram (pasal 86).

Barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi milik orang lain, dikenakan denda dua
laksa. Barang siapa merampas hamba orang lain, dendanya dua laksa. Denda itu dihaturkan
kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang dirampas,
terutama hamba, dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat (pasal 87).

Barang siapa menebang pohon orang lain tanpa ijin pemiliknya, dikenakan denda empat tali
oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh
raja yang berkuasa; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat (pasal 92).

KONSTITUSI MAJAPAHIT RAYA

Kitab perundang-undangan Majapahit yang disebut agama atau Kutara-Manawa seperti


adanya sekarang terdiri dari 275 pasal, namun di antaranya terdapat pasal-pasal yang sama
atau mirip sekali. Dalam terjemahan itu hanya disajikan 272 pasal, karena satu pasal rusak
dan yang dua pasal lainnya merupakan ulangan pasal yang sejenis. Pasal-pasal yang mirip
diterjemahkan juga, dikumpulkan jadi satu sebagai bahan perhandingan. Kadang-kadang
yang berbeda ialah perumusannya saja; yang satu lebih panjang daripada yang lain dan
merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek.

Ada dua piagam yang mencatat nama kitab undang-undang Kutara Manawa, yakni piagam
Bendasari, tidak bertarikh, dan piagam Trawulan, 1358 AD

NB: penafsiran Agama pada waktu itu adalah Undang-Undang. Kitab undang-undang
Kutara Manawa ini diterbitkan oleh Dr. J. C. G. Jonker tahun 1885 dengan diberi judul
Agama atau undang-undang. Pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang itu, disebut Kutara
Manawa.

Isi Konstitusi Majapahit dari hasil penafsiran kitab Kutara Manawa yang awalnya berserakan
kemudian disusun kembali:

Bab I – Ketentuan umum mengenai denda


Bab II – Delapan macam pembunuhan, disebut astadusta
Bab III – Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula
Bab IV – Delapan macam pencurian, disebut astacorah
Bab V – Paksaan atau sahasa
Bab VI – Jual-beli atau adol-tuku
Bab VII – Gadai atau sanda
Bab VIII – Utang-piutang atau ahutang-apihutang
Bab IX – Titipan
Bab X – Mahar atau tukon
Bab XI – Perkawinan atau kawarangan
Bab XII – Mesum atau paradara
Bab XIII – Warisan atau drewe kaliliran
Bab XIV – Caci-maki atau wakparusya
Bab XV – Menyakiti atau dandaparusya
Bab XVI – Kelalaian atau kagelehan
Bab XVII – Perkelahian atau atukaran
Bab XVIII – Tanah atau bhumi
Bab XX – Fitnah atau duwilatek

Pasal 1 dan 2: Bab umum dinyatakan secara tegas bahwa raja yang berkuasa (Sang Amawa
Bhumi) harus teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah
dalam hal pengetrapannya. Jangan sampai orang yang bertingkah salah luput dari tindakan.
Itulah kewajiban raja yang berkuasa jika sungguh-sungguh mengharapkan kerahayuan
negaranya.

ASTADUSTA pasal 3 dan 4.

Uraian tentang astadusta:


1. Membunuh orang yang tidak berdosa;
2. Menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa;
3. Melukai orang yang tidak berdosa;
4. Makan bersama dengan pembunuh;
5. Mengikuti jejak pembunuh;
6. Bersahabat dengan pembunuh;
7. Memberi tempat kepada pembunuh;
8. Memberi pertolongan kepada pembunuh.

Itulah yang disebut Astadusta.

Dari delapan dusta itu tiga yang pertama tebusannya pati (hukuman mati), sedangn yang lima
lainnya tebusannya uang. Berikut uraian bagi mereka yang ingin mengetahui satu demi satu.

Astadusta yang ditebus dengan hukuman mati:


1. Barangsiapa membunuh orang yang tidak berdosa, dikenakan hukuman mati;
2. Barang siapa menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa, dikenakan hukuman mati;
3. Barang siapa melukai orang yang tidak berdosa (bersalah), dikenakan hukuman mati.
(Pasal 3).

Astadusta yang ditebus dengan uang:


1. Makan bersama dengan pembunuh;
2. Bersahabat dengan pembunuh;
3. Mengikuti jejak pembunuh;
4. Mernberi tempat kepada pembunuh;
5. Memberi pertolongan kepada pembunuh.
Kelima dusta itu tebusannya uang, tidak dikenakan hukuman mati oleh raja yang berkuasa.

– Membunuh orang yang tidak berdosa,


– menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa,
– dan melukai orang yang tidak berdosa,
ketiga dusta itu, jika terbukti, tebusannya hukuman mati.

Ketiga dusta itu disebut dusta bertaruh jiwa.

Jika mereka yang bersangkutan mengajukan permohonan hidup kepada raja yang berkuasa,
ketiga-tiganya dikenakan denda empat laksa, masing-masing sebagai syarat penghapus
dosanya. Adapun barang siapa makan bersama dengan pembunuh, memberi tempat kepada
pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, dan memberi
pertolongan kepada pembunuh, kelima dusta itu akan dikenakan denda dua laksa, masing-
masing oleh raja yang berkuasa, jika kesalahannya telah terbukti dengan kesaksian. (Pasal 4).

ASTACORAH pasal 55, 56, 57.

Jika pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati; anak isterinya, miliknya
dan tanahnya diambil alih-oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri itu mempunyai hamba laki-
laki dan perempuan, hamba itu tidak diambil-alih oleh raja yang berkuasa, tetapi dibebaskan
dari segala utangnya kepada pencuri yang bersangkutan (Pasal 55).
Jika seorang pencuri mengajukan permohonan hidup, maka is harus menebus pembebasannya
sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar
kerugian kepada orang yang kena curi dengan cara mengembalikan segala milik yang
diambilnya dua kali lipat. Demikianlah bunyi hukumnya. (Pasal 56).

Jika di desa terjadi pembunuhan atas seorang pencuri, maka barang curian, kepala pencuri,
harta miliknya, anak-isterinya, supaya dihaturkan (diserahkan) kepada raja yang berkuasa.
Itulah jalan yang harus ditempuh. Jika kerabat pencuri itu terbukti tidak ikut serta dalam
pencurian, mereka tidak layak dikenakan denda. (Pasal 57).

SAHASA (paksaan), pasal 86, 87, 92.

Barang siapa mengambil milik orang tanpa hak, supaya diperingatkan, bahwa barang yang
diambil secara haram itu, akan hilang dalam waktu enam bulan. Jika belum hilang dalam
enam bulan, peringatkan, bahwa barang itu akan hilang dalam waktu enam tahun. Segala
modal milik orang yang mengambil barang tanpa hak itu akan turut hilang. Ingat-ingatlah
akan ajaran sastra: jangan sekali-kali mengambil uang secara haram. (Pasal 86).

Barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain, dikenakan denda dua laksa.
Barang siapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dihaturkan kepada raja
yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi, dan segala apa yang dirampas, terutama hamba,
dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat. (Pasal 87).

Barang siapa menebang pohon orang lain tanpa izin pemiliknya, dikenakan denda empat tali
oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh
raja yang berkuasa; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat. (Pasal 92).

TANAH pasal 258, 259, 261.

Jika ada orang memperbaiki pekarangan, kebun, taman, selokan, ladang, telaga, bendungan,
kolam ikan, yang bukan miliknya, tanpa disuruh oleh pemiliknya, orang yang demikian itu
tidak berhak minta upah kepada si pemilik. Jika ia mendapat keuntungan dari pebaikan itu,
pemiliknya berhak menuntut, jangan dibiarkan. Malah ia dikenakan denda dua laksa oleh raja
yang berkuasa.

Barang siapa minta izin untuk menggarap sawah, namun tidak dikerjakannya sehingga sawah
itu ringgal terbengkalai, supaya dituntut untuk membayar utang makan sebesar hasil padi
yang dapat dipungut dari sawah (yang akan dikerjakan itu). Besarnya denda ditetapkan oleh
raja yang berkuasa sama dengan denda pengrusak makanan. (Pasal 259).

Barang siapa mengurangi penghasilan makanan, misalnya dengan mempersempit sawah atau
membiarkan terbengkalai segala apa yang menghasilkan makanan, atau melalaikan binatang
piaran apa pun, kemudian hal tersebut diketahui oleh orang banyak, orang yang demikian itu
diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mad. Demikian ajaran sastra (Pasal 261).

TUKON ATAU MAHAR pasal 167, 171, 173.


Jika seorang gadis rela menerima barang yang dimaksud sebagai tukon atau mahar, kemudian
kawin dengan laki-laki lain, karena menaruh cinta kepada laki-laki lain, sedangkan orang tua
gadis itu tinggal diam, bahkan malah mengawinkannya, perbuatan itu disebut: mengawinkan
gadis larangan. Segala tukon pelamar pertama harus dikembalikan lipat dua. Bapa gadis
dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Hal itu disebut amadal tukon:
membatalkan tukon. Suami-isteri yang menikah, masing-masing dikenakan denda empat
laksa oleh raja yang berkuasa. (Pasal 167).

Jika seorang pemuda memberikan peningset atau pengikat (panglarang) kepada seorang
gadis, dengan diketahui oleh orang banyak, dan setelah lima bulan lamanya (perkawinan
belum dilangsungkan), maka pemuda itu tidak mempunyai hak atas pengikat itu. Gadis yang
demikian oleh orang banyak disebut wulanjar (janda yang belum kawin, belum beranak).
Ayah gadis berhak mengawinkannya dengan orang lain. (Pasal 171).

Jika orang tua gadis telah menerima tukon dari pelamar sebagai tanda, bahwa gadisnya telah
laku, dan telah menyetujui waktu berlangsungnya perkawinan, sedangkan jejaka patuh
menanti janji orang tua gadis, namun ketika sampai pada janjinya gadis tersebut dikawinkan
dengan orang lain oleh bapa gadis yang bersangkutan, maka jumlah tukon harus
dikembalikan dua lipat dan orang tua gadis itu dikenakan denda empat laksa oleh raja yang
berkuasa. (Pasal 173).

PERKAWINAN pasal 180, 181, 182.

Jika seorang isteri enggan kepada suaminya, karena is tidak suka kepadanya, uang tukon
harus dikembalikan dua lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (membatalkan
percampuran). (Pasal 180).

Jika perempuan tidak suka kepada suaminya, supaya suami menunggu setahun. Jika setelah
setahun masih tetap tidak suka kepadanya, supaya perempuan itu mengembalikan tukon lipat
dua. Peristiwa itu disebut amancal turon (enggan tidur bersama). (Pasal 181). Jika di dalam
perkawinan suami-isteri ingin mencampur harta milik yang dibawanya masing-masing, ketika
kawin, percampuran itu tidak dibenarkan sebelum lima tahun. Setelah kawin lima tahun,
barulah diizinkan percampuran harta milik suami-istri. Percampuran harta milik itu Baru sah.
Demikian ujar orang pandai. (Pasal 182).

VII. Dari bab titipan, pasal 159, 160, 154.

Penitipan milik sebaiknya dilakukan pada orang yang tinggi wangsanya, haik kelakuannya,
tahu akan darma, setia kepada katanya, bersih hatinya, dan orang kaya. Itulah tempat
penitipan harta milik.

Barang siapa menerima titipan, jika penitipnya mati tanpa meninggalkan ahli waris
(praanantara), yakni kakek, nenek, bapa, ibu, anak, kemenakan, saudara sepupu, saudara
mindo (tingkat dua), maka tidak perlu mengembalikan. Jika penerima titipan itu mati, titipan
itu tidak hilang, karena penitipnya masih hidup, meskipun tidak mempunyai anak sekalipun.
Anak penerirna titipan bertindak sebagai ahli waris, harus menyerahkan kembali titipan itu
kepada penitip. Titipan itu tidak akan disita oleh raja yang berkuasa. Jika anak penerima
titipan itu telah mengembalikan barang titipan itu, ahli penerima titipan bebas dari tuntutan,
namun tidak mempunyai wewenang untuk menahan titipan. (pasal 160).

Barang siapa yang merusak barang titipan, jika terbukti bahwa barang titipannya itu
digunakannya, dipakai, diganti rupa, tanpa meminta izin penitipan, perbuatan itu disebut
merampas. Perbuatan itu sama dengan perbuatan merusak barang titipan dengan sengaja.

Semua barang titipan itu harus dikembalikan kepada penitip dengan nilai dua lipat, ditambah
denda dua laksa oleh raja yang berkuasa, sebabnya ialah merusak titipan sama dengan
mencuri (pasal 154).

Seperti telah dinyatakan pada permulaan bab, kata agama dalam perundang-undangan hanya
dapat berarti: udang-undang. Seperti telah terbukti dalam prasasti Bendasari dalam O.J.O.
LXXXV lempengan 6a, pengadilan Majapahit pada zaman pemerintahan Dyah Hayam
Wuruk Sri Rajasanagara berpedoman pada kitab perundang-undangan Kutara Manawa,
dikeluarkan oleh hakim yang disebut Rajadhikara.

Sebagai sebuah kerajaan besar pada abad ke-14 tentu saja Majapahit memiliki kelengkapan
dan aparat lengkap dalam menjalankan roda pemerintahan. Untuk menjaga kedaulatan negara
dari serangan musuh-musuh, Majapahit memiliki kekuatan militer yang terdiri dari Angkatan
Darat (AD) dan Angkatan Laut (AL). Kemudian sistem ekonomi Majapahit ditopang dengan
perdagangan sebab Majapahit adalah kerajaan dengan corak maritim.

Dalam kaitannya dengan keamanan dan ketertiban, Kerajaan Majapahit juga memiliki aturan
atau undang-undang yang digunakan untuk menegakkan keadilan, menghukum para pelaku
kejahatan dan memulihkan ketertiban umum. Kerajaan Majapahit juga sudah memiliki kitab
undang-undang yang tidak kalah hebat dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Dalam kaitannya dengan persoalan perdata, Kerajaan Majapahit juga sudah
mengatur hukum perdata bagi warga negaranya.

Slamet Muljana dalam bukunya Tafsir Nagara Kretagama terbitan LKIS tahun 1979
menjelaskan kitab undang-undang yang dijadikan acuan pada zaman Kerajaan Majapahit
disebut Kitab Kutara Manawa. Kitab Kutara Manawa sendiri disadur dari kitab-kitab hukum
yang berasal dari tanah India semisal Manawadharmasastra.

Kitab undang-undang Majapahit yang disebut Kutara Manawa disebut dalam Kitab
Negarakretagama, sebuah kitab yang membahas tuntas Kerajaan Majapahit. Kitab Kutara
Manawa terdiri dari 275 pasal. Dalam pasal 23 dan 65 kitab undang-undang itu disebut
Kutara Manawa.

"Kitab undang-undang Majapahit disebut Kutara Manawa atau Agama," tulis Slamet dalam
bukunya.

Pakar sejarah alumnus Universitas Louvain, Belgia tahun 1954 melanjutkan, Kitab Kutara
Manawa adalah sebuah kitab yang berisikan aturan-aturan mengenai hukum pidanadan juga
perdata. Namun antara pidana dan perdata belum ada pemisahan jelas, satu sama lain masih
tercampur.
Secara umum beberapa persoalan pelanggaran pidana yang diatur adalah soal pencurian,
pembunuhan, perbuatan melukai orang lain dan sebagainya. Bab-bab semisal jual beli,
perkawinan, warisan, perceraian, gadai, utang piutang yang semuanya masuk dalam ranah
perdata juga sudah dibahas dalam kitab Kutara Manawa. Sedangkan hukuman yang
diterapkan berupa hukuman mati, atau hukuman berupa denda yang dibayar dengan uang.

Untuk menjatuhkan vonis mati kepada seseorang juga tidak main-main. Dalam pasal 3
undang-undang tersebut dijelaskan bahwa hukuman mati dijatuhkan kepada seseorang yang
membunuh orang tidak berdosa, seseorang atau siapa saja yang menyuruh membunuh orang
tidak berdosa dan barangsiapa melukai orang tidak berdosa, maka mereka dijatuhi hukuman
mati.

"Hukuman mati ini disebut dengan istilah Pati," sambung Slamet.

Hukuman mati juga dijatuhkan kepada seorang pencuri yang tertangkap dalam melakukan
aksi jahatnya. Sedangkan anak-isterinya serta hartanya diambil alih oleh raja. Jika pencuri itu
ingin mengajukan permohonan hidup maka ia harus menebus pembebasannya dengan
membayar denda kepada raja dan membayar ganti rugi dua kali lipat kepada orang yang
hartanya ia curi.

Susunan Pengadilan

Untuk menjatuhkan vonis bersalah kepada seseorang, Kerajaan Majapahit juga memiliki
hakim yang disebut dharmmadyaksa dan terdiri atas dua orang. Semua keputusan dalam
pengadilan diambil atas nama raja yang disebut Sang Amawabhumi, yang memiliki arti orang
memiliki atau menguasai negara.

Orang yang bisa duduk sebagai hakim adalah mereka yang memiliki moralitas dan etika
mumpuni, sebab tugas hakim adalah mengadili seseorang. Karena itu yang duduk dalam
posisi hakim adalah para pemuka agama. Sama seperti pengadilan modern, seorang hakim
dalam menjalankan pekerjaanya dibantu oleh panitera. Pada masa Majapahit panitera disebut
dengan Upapatti.

Dalam memutuskan sebuah perkara, para hakim di Kerajaan Majapahit memegang teguh
prinsip keadilan (justice), sehingga kepastian hukum (certanity) bisa terwujud dan
kebahagiaan bagi sebanyak-banyak orang juga bisa diwujudkan.

Setidaknya ada dua kasus perselisihan yang terjadi antara para pejabat dengan rakyat biasa.
Dalam prasasti Bandasar yang tidak diketahui tanggalnya diuraikan perselisihan milik tanah
Manah di desa Manuk antara Mapanji Sarana dan para pejabat dari daerah Sima Tiga.

Untuk menuntaskan kasus tersebut para hakim memangil pihak berperkara lengkap dengan
keterangan saksi dari kedua belah pihak. Setelah menelaah kasus dengan seksama dan
mendengarkan keterangan saksi, majelis hakim memutuskan para pembesar Sima Tiga yang
diwakili Panji Anawung Harsa kalah. Kemudian tanah tersebut diberikan kepada Mapanji
Sarana yang merupakan penduduk desa di Desa Manuk.
Kasus hukum lain yang terjadi antara penduduk desa Walandit dengan para pejabat dari Desa
Himad. Para penduduk desa Walandit mendapat tugas memelihara dharma kabuyutan (candi
leluhur) di desa Walandit yang merupakan peninggalan Raja Sindok pada pertengahan abad
ke-12.

Dalam perkembangannya desa Himad menguasai desa Walandit dan mengklaim candi beserta
tanah di sekitarnya. Perkara tersebut lantas diadukan kepada raja. Namun perkara tersebut
diputuskan diluar pengadilan (non litigasi). Dalam sengketa tersebut para pejabat Himad
dikalahkan, sedangkan orang-orang walandit tetap menjalankan tugasnya menjaga candi
leluhur peninggalan Raja Sindok.

siapakah yang disebut delapan pencuri itu:


1. Mereka yang menjalankan pencurian
2. Mereka yang mengasut supaya mencuri
3. Mereka yang memberi makanan kepada seorang pencuri
4. Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri
5. Mereka yang bersahabat dengan seorang pencuri
6. Mereka yang memberi petunjuk kepada seorang pencuri hingga mendapat
kesempatan untuk mencuri
7. Mereka yang menolong seorang pencuri
8. Mereka yang menyembunyikan seorang pencuri,

inilah yang disebut delapan orang pencuri itu, dan mudah-mudahan mereka itu dihukum
oleh baginda: tetapi ayah mereka, ibu mereka, anak-anak mereka dan saudara-
saudaranya yang lain tidak boleh dihukum oleh baginda, kalau mereka itu tidak ikut
bersalah: hanya delapan orang yang tersebut di atas itu boleh dihukum.

Hukuman-hukuman yang diberikan kepada delapan orang pencuri itu berlainan.


Bagaimana cara memberikan hukuman itu dapat dilihat dalam bagian 22 dan 23, bagian-
bagian itu sebagai berikut bunyinya :

Bagian 22. Mereka yang mencuri dan mereka yang menghasut supaya mencuri, kalau
ada bukti-buktinya, dapat dikenakan hukuman mati oleh baginda; isteri, anak pencuri itu
dengan segala hak miliknya dibawa kedalam tempat tinggal baginda untuk dijual oleh
baginda atau diberikan kepada orang lain; isteri dan anak mereka yang menghasut
supaya mencuri, boleh tetap ditempat tinggalnya dan dikenakan denda 10.000; kalau
mereka juga ikut menghasut supaya mencuri, maka mereka itu harus mati pula oleh
baginda. 21

Bagian 23. Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri juga mereka
yang memberi makan kepada seorang pencuri, kalau ada bukti-buktinya, dikenakan
denda 20.000 oleh baginda; isteri dan anak-anaknya tidak dikenakan hukuman; mereka
yang menjembunyikan seorang pencuri atau menjaga seorang pen-curi, dan mengatakan
bahwa ia itu bukan pencuri, atau mereka yang menyingkirkan seorang pencuri; sedang
terdapat bukti-bukti yang menyatakan, bahwa orang itu pencuri, dikenakan denda
40.000 oleh baginda; mereka yang membantu pencuri, sedang tahu bahwa orang itu
pencuri, atau berdiam diri, sedang mereka itu telah lama bersahabat dengan orang itu,
dikenakan denda 10.000 oleh baginda; kalau mereka itu menghasut pula supaya
mencuri, maka mereka itu dikenakan hukuman mati pula oleh baginda.
Yang sangat menarik yaitu peraturan mengenai pemberantasan guna-guna atau tenung,
yang kita sekarang sangat ganjil mendengarnya, oleh karena jaman sekarang hal
semacam itu dianggap sebagai takhayul dan tidak untuk memasukkannya kedalam suatu
ayat undang-undang. Ini diuraikan dalam bagian 173. Bunyinya sebagai berikut:

Jika orang menulis nama orang lain pada pakaian atau kain orang meninggal, atau pada
kain yang berbentuk boneka, atau boneka terbuat dari tepung dan mengubur boneka itu
dikuburan, atau meletakkannya di dalam pohon, ditanah yang telah dibubuhi mantera,
atau pada simpang:m jalan, maka orang yang demikian itu dianggap sebagai tukang
sunglap yang jahat; kalau kejahatan orang yang demikian itu terbukti, maka baginda
harus membunuhnya dengan semua anak cucunya dan orang-tuanya; tidak seorangpun
di antaranya boleh dibiarkan hidup oleh baginda, kalau baginda hendak mencapai
kesejahteraan dunia; semua hak miliknya yang ada di dalam daerahnya boleh
diambilnya.

Hidup kesusilaan pada waktu itu sangat dijunjung tinggi. Hal itu berhubung dengan
kepercayaan mereka, bahwa masyarakat itu adalah sebagian dari Tuhan. Maka jika
kesusilaan dilanggar, bencana akan menimpa seluruh masyarakat. Oleh karena itu lihat
bagaimana kerasnya tindakan-tindakan untuk memberantas perbuatan-perbuatan yang
melanggar kesusilaan. Dalam hal yang demikian rupa hukuman mati sering dengan lekas
diberikan. Ini dapat dilihat dalam bagian 250:

Kalau ada orang memberi hadiah kepada orang perempuan yang sudah bersuami atau
orang perempuan yang dilarang oleh kasta, atau menerimanya dari orang perempuan itu
karena terdorong oleh cinta hati, tidak perduli terdiri dari apakah hadiah itu, entah
bedak, bunga hiasan telinga, cincin, pisau, sepotong pakaian atau hiasan, pendek kata
apa saja diberikan oleh laki-laki atau perempuan sebagai hadiah, atau jika ada orang
diketemukan sedang bersenda-gurau atau ketawa dengan diam-diam dengan orang
perempuan, maka itu dianggap sebagai strisanggrahana zina dan ia dikenakan hukuman
mati.

Pemerintah pada waktu itu juga seperti pemerintah sekarang selain berusaha
memberantas bunga yang sangat besar yang dipungut oleh kaum lintah-darat. Bunga
yang boleh dipungut pada waktu itu hanya setengah prosen tiap-tiap bulan, itupun
bunga yang paling tinggi. Masyarakat pada waktu itu terdiri dari beberapa kasta seperti
yang terdapat di India. Juga hukuman-hukuman yang diberikan kepada kasta-kasta itu
berlainan. Hal ini dapat kita samakan dengan sastra yang terdapat di India. Perbedaan-
perbedaan itu-dapat lihat dari bagian 220:

Kalau orang ksatriya mencaci maki orang brahmana ia dikenakan denda 2000; kalau
orang waisya mencaci maki orang brahmana, ia dikenakan denda 5000; kalau orang
sudra mencaci-maki orang brahmana, ia dikenakan hukuman mati; baginda 23
harus membunuh orang yang diperhamba ini. Kalau orang brahmana mencaci-maki
orang ksatriya, ia dikenakan denda 1000; kalau ia mencuci-maki orang waisya,
dikenakan denda 500; jika orang sudra, dikenakan 250. Sayang sekali, bahwa kita tidak
dapat mengetahui ukuran uang yang dipakai pada waktu itu. Denda yang paling tinggi
160.000.
Kitab undang-undang tersebut disebut pertama kali dalam “Piagam BENDASARI
(tidak ber-tarikh)” : Dikeluarkan oleh SRI RAJASANAGARA (Dyah Hayamwuruk /
BRAWIJAYA – III), termuat dalam O.J.O. LXXXV, lempengan ke-6a sebagai berikut :
“makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara
prewettyacara sang pandita wyawaharawiccheda kering malama” (Dengan
berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut
teladan dan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman
dahulu).Disebut juga dalam “Piagam TROWULAN (1358)” yang dikeluarkan oleh
SRI RAJASANAGARA (Dyah Hayamwuruk / BRAWIJAYA – III), lempengan III baris 5
dan 6 sebagai berikut :
” ……. ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wiwecana kapwa sama-sama sakte
kawikek saning sastra makadi Kutara Manawa …….” (……. Semua ahli tersebut
bertujuan hendak mentafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan
lainnya. Mereka itu cakap mentafsirkan kitab-kitab undang-undang seperti
Kutara Manawa …….).Kitab perundang-undangan Kutara-Manawa mempunyai
watak yang mirip sekali dengan Manawadharmasastra, kedua-duanya
menekankan susunan masyarakat yang terdiri dari empat golongan / warna demi
kebaikan masyarakat.

Prof. Mr. Djokosoetono, ahli dan pakar hukum Indonesia yang terkemuka pernah berkata:
“Seandainya peraturan-peraturan pada zaman Majapahit yang diterapkan oleh Gajah Mada
itu tercatat dan catatan itu sampai kepada kita, maka kita sudah mempunyai dasar hukum
nasional. Tidak seperti sekarang ini.” (Prof. Dr. Slamet Mulyana, Perundang-undangan
Majapahit, Bhatara-1967-Djakarta)

Ungkapan kekecewaan Djokosoetono itu, seorang sarjana hukum terkemuka negeri ini,
menyiratkan betapa kitab hukum yang digunakan saat itu pada zaman Majapahit setidaknya
memiliki fasal-fasal yang sangat kapabel untuk digunakan sebagai landasan hukum nasional
Republik Indonesia.

Peraturan-peraturan yang dimaksud oleh Djokosoetono itu adalah Perundangan-undangan


Agama yang digunakan sebagai landasan hukum pada zaman Majapahit sejak lebih dari enam
ratus tahun lalu.

Disebut Perundang-undangan Agama, karena nama ‘Agama’ pada salah satu kitab yang
diketemukan selain dipakai sebagai judul, kata ‘Agama’ itu juga kedapatan pada pasal 2, 8,
25, 39, 71, 119, 139, 211, 213 dan 249. Pada pasal 61 kita dapati sebutan Sang Hyang
Agama.

Kata Agama dalam bahasa Sansekerta berarti: pengetahuan, adat atau ajaran.

Kitab Perundangan-undangan Agama di atas di antaranya ditemukan di Bali seperti


disebutkan oleh Rechtspleging Friederich dalam karangannya Schetsen van het eiland Bali.

Kitab Perundang-undangan Agama itu diduga kuat berasal dari zaman Majapahit dengan
berbagai hipotesa, seperti:
 Ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, tidak dalam bahasa Jawa Tengahan seperti pelbagai
Kidung.

 Tata bahasanya sangat rapi dan sempurna dalam bahasa Jawa Kuno, sehingga kuat
dugaan ditulis pada saat bahasa Jawa Kuno masih dipergunakan saat itu.

Dalam Nagarakretagama pupuh 73/1 dinyatakan dengan tegas bahwa prabhu Hayam Wuruk
berusaha keras untuk dapat bertindak dengan bijaksana. Dalam menjalankan pengadilan
orang tidak boleh bertindak sembarangan, harus patuh mengikuti segala apa yang telah
dinyatakan dalam kitab perundang-undangan yang disebut Agama. Para pelaksana pengadilan
tidak boleh berpihak, harus bertindak secara adil. Hanya dengan jalan demikian maka
kesejahteraan rakyat itu akan tercapai.

Dalam Nagarakretagama pupuh 25/2 diuraikan bahwa ketika prabhu Hayam Wuruk singgah
di Patukangan, dihadap oleh pelbagai pembesar di antaranya dhyaksa, upapati (pembantu
dhyaksa) dan para panji yang paham tentang perundang-undangan yang disebut Agama. Ini
mengisyaratkan betapa eratnya hubungan Kitab Perundang-undangan Agama dengan para
pejabat hukum Negara saat itu.

Dalam Nagarakretagama pupuh 79/3 baris 1 dengan tegas dinyatakan bahwa pulau Bali
dalam segala hal mengikuti pulau Jawa, termasuk tentunya dalam hal-hal yang berkaitan
dengan tatanan hukum. Hal ini dapat kita lihat dari salah satu baris yang menguraikan bahwa
amanat raja Wengker dan raja Singasari (Kertawardhana) patuh diikuti di pulau Bali.

Perundang-undangan Agama itu juga disebut Kutara-Manawadharmasastra, tertuang pada


pasal 23 dan 65. Seperti juga tertulis dalam Kidung Sorandaka yaitu: Demung Sora, salah
seorang manteri Majapahit dikenakan tuntutan hukum mati berdasarkan pasal astadusta
dalam kitab perundang-undangan Kutara-Manawadharmasastra, karena membunuh Mahisa
Anabrang.

Kitab perundang-undangan Agama yang juga disebut dengan Kutara-Manawa Dharmasastra


ini tampak sangat kuat teradopsi dari India. Pengaruh India ini sangat jelas terlihat pada pasal
109 yang berisi penjelasan bahwa pasal tersebut diambil dari kitab perundang-undangan dari
India Manawadharmasastra dan Kutarasastra yang bunyinya sebagai berikut:

‘Kerbau atau sapi gadaian setelah lewat tiga tahun, leleb, sama dengan dijual, menurut
undang-undang Kutara. Menurut undang-undang Manawa, setelah lewat lima tahun.
Ikutilah salah satu, karena keduanya adalah undang-undang. Tidaklah dibenarkan
anggapan, bahwa yang satu lebih baik daripada yang lain. Manawadharmasastra adalah
ajaran maharaja Manu, ketika manusia baru saja diciptakan. Beliau seperti batara Wisnu.
Kutarasastra adalah ajaran bagawan Bregu pada zaman Treptayoga; beliau seperti batara
Wisnu, diikuti oleh Rama Parasu dan oleh semua orang; bukan buatan zaman sekarang.
Ajaran itu telah berlaku sejak zaman purba.’

Dalam teks aslinya, Kitab Perundang-undangan Agama memuat 275 pasal, namun di
dalamnya terdapat beberapa pasal yang sama.

Sebagai bahan disertasinya untuk mencapai gelar doktor di universitas Leiden pada tahun
1885, J.C.G. Jonker, seorang sarjana dari Belanda telah menerbitkan kitab perundang-
undangan Agama ini dalam huruf Latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
Yang menarik dari kitab perundang-undangan Agama ini adalah selain sebagai kitab undang-
undang hukum pidana Majapahit, namun juga kedapatan hal-hal yang termasuk hukum
perdata.

Hal-hal yang termaktub sebagai hukum perdata misalnya antara lain mengenai jual-beli,
pembagian warisan, perkawinan dan perceraian.

Pada prinsipnya, kitab perundang-undangan Agama pada zaman Majapahit menjadi sandaran
hukum yang sangat dipatuhi oleh segenap masyarakat dari strata rendah sampai yang paling
tinggi.

Astadusta dalam Perundang-undangan Majapahit

Pengantar
Di dalam Kitab Perundang-undangan Majapahit yang disebut Kutara Manawa terdapat 19
macam masalah (bab) yang terbagi dalam 275 pasal. Salah satu di antara kesembilan belas
masalah atau bab tersebut adalah astadusta (delapan dusta). Masalah lainnya ialah: kejahatan
yang dilakukan oleh anak di bawah umur, masalah budak, astacorah (delapan pencurian),
sahasa (pemaksaan), jual-beli-gadai, utang-piutang, titipan, tukon (mahar/mas kawin),
perkawinan, paradara (mengganggu isteri orang lain), warisan, parusya (perusakan) dan
daparusya (penyiksaan fisik), kelalaian, perkelahian, tanah, dan fitnah.

Sebagai catatan, kitab perundang-undangan yang dipergunakan di kerajaan Majapahit dalam


abad XIV-XV Masehi ini pernah dijadikan disertasi oleh J.C.G. Jonker dengan judul Een
Oud-Javaansche Wetboek vergeleken met Indische bronnen pada 1885 Masehi, kemudian
diterjemahkan dan disusun berdasarkan kelompok isi oleh Slamet Muljana (Perundang-
undangan Madjapahit), diterbitkan oleh Bhatara tahun 1967.

Astadusta
Istilah astadusta diartikan sebagai delapan macam kejahatan yang harus dihukum berat.
Kedelapan tindak kejahatan yang termasuk dalam golongan astadusta tersebut adalah: (1)
membunuh orang yang tidak berdosa; (2) menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa; (3)
melukai orang yang tidak berdosa; (4) makan bersama dengan seorang pembunuh; (5)
mengikuti jejak pembunuh; (6) bersahabat dengan pembunuh; (7) memberi tempat kepada
pembunuh; dan (8) memberi pertolongan kepada pembunuh.

Seluruh tindak kejahatan yang termasuk dalam kelompok astadusta ini diatur dalam kitab
Kutara Manawa pasal 3 dan 4 (versi Slamet Muljana). Pasal 3 kitab perundang-undangan
Kutara Manawa menyebutkan bahwa membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh bunuh
orang yang tidak berdosa, dan melukai orang yang tidak berdosa, jika terbukti, tebusannya
adalah hukuman mati. Ketiga dusta itu disebut dengan “dusta bertaruh jiwa”. Namun, apabila
yang bersangkutan ingin mengajukan permohonan hidup kepada raja yang sedang berkuasa,
ia dapat menggantinya dengan membayar denda sebanyak empat laksa untuk setiap satu
tindakan. Pembayaran denda tersebut adalah sebagai syarat bagi penghapusan dosa yang telah
dilakukannya.

Sedangkan, pasal 4 dalam kitab tersebut menyebutkan bahwa orang yang makan bersama
pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, memberi tempat
kepada pembunuh dan memberi pertolongan kepada pembunuh, jika terbukti, maka
hukumannya adalah denda berupa uang sejumlah dua laksa untuk setiap satu tindakan.

Selain pasal 3 dan 4, dalam Kitab Kutara Manawa juga memuat sebuah pasal lagi yang
mengatur tentang tindakan yang digolongkan sebagai suatu kejahatan, yaitu pasal 23. Bunyi
pasal 23 tersebut adalah sebagai berikut:

“Kejahatan seperti mencuri, menyamun, membegal, menculik, mengawini wanita larangan


(perempuan yang masih dalam status kawin), membunuh orang yang tidak bersalah,
meracuni, menenung, itu semua disebut sebagai perusuh. Jika perbuatannya itu terbukti,
maka hukumannya adalah mati. Demikianlah ujar para sarjana yang telah putus dalam kitab
hukum Kutara Manawa. Mereka paham membedakan yang jahat dan yang baik; tahu mana
jalan yang menuju duka-nestapa dan menuju surga. Barang siapa memihak perusuh,
merintangi dan menghalangi tindakan raja hanya dengan ucapan, supaya didenda dua laksa
oleh raja yang berkuasa. Perbuatan menghalangi tindakan raja dengan ucapan itu disebut
“meletakkan bahagia pada bangkai”.

Demikianlah uraian singkat mengenai astadusta, yang hanya merupakan salah satu faset saja
dari hukum kuna yang lahir di bumi Indonesia. Sebagai catatan, selain Kutara Manawa,
masih banyak kitab perundang-undangan yang ada di daerah Jawa dan Bali kuna, seperti:
Sarasamuccaya, Swara Jambu, Siwasasana, Purwadhigama, Purwagama, Dewagama,
Kertasima, Kertasima Subak, dan Paswara. Bahkan pada masa kesultanan Yogyakarta,
Cirebon dan Palembang pun juga memiliki kitab perundang-undangannya sendiri. Seluruh
kitab perundang-undangan tersebut dibuat sebagai pedoman untuk mengatur segala tingkah
laku manusia agar tercipta suatu kehidupan yang aman, tenteram dan sentosa.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Aneka Ragam Khasanah
Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai