Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
pertolongannya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang
ditentukan. Penulisan makalah ini dibuat sebagai media pembelajaran di
Universitas Airlangga dalam rangka memenuhi tugas di perguruan tinggi yang
berkaitan dengan beban pembelajaran. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini tentunya banyak kekurangan, kata atau kalimat dan tata
letak. Untuk kebaikan dan sempurnanya makalah ini, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca, penulis dan mahasiswa.

Surabaya, 27 Agustus
2019

Tim Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... 1

DAFTAR ISI .......................................................................................... 2

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... 3

I.1. Latar Belakang ...................................................................... 3

I.2. Rumusan Masalah .................................................................. 4

I.3. Tujuan ................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 6

II.1. pengertian SKPKBT................................................................ 6

II.2. Penerbitan SKPKBT................................................................ 6


II.3. Data Baru................................................................................. 9
II.4. Data yang Semula belum terungkap....................................... 10
II.5. Daluwarsa SKPKBT............................................................... 12
II.6. Sanksi yang dikenakan dalam SKPKBT................................. 13

BAB III PENUTUP ............................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 17

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari
partisipasi masyarakat. Negara berwenang memungut pajak dari rakyatnya karena
pajak digunakan sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyat. Sistem
pemungutan pajak yang dipakai saat ini adalah self assessment system yaitu
sistem pemungutan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk
menghitung, melaporkan hutang pajaknya yang tertuang dalam Surat
Pemberitahuan (SPT), kemudian menyetor kewajiban perpajakannya. Pemberian
kepercayaan yang besar kepada wajib pajak sudah sewajarnya diimbangi dengan
instrumen pengawasan, untuk keperluan itu fiskus diberi kewenangan untuk
melakukan pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan. Sebagai hasil pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan, fiskus berwenang menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP)
dan Surat Ketetapan Pajak ( SKP ).
Pemerintah sudah berupaya menghindari terjadinya pemeriksaan ulang
terhadap satu Wajib Pajak, menyangkut jenis pajak dan tahun pajak yang sama.
Tujuannya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak.
Oleh sebab itu, pemeriksaan ulang dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT) dibatasi dengan rambu-rambu dan persyaratan yang
ketat. Tidak boleh dilakukan sembarangan dan harus memenuhi ketentuan formal
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU
KUP). Dan yang jelas, SKPKBT tidak mungkin diterbitkan tanpa didahului
dengan adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebelumnya, baik berupa Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB), maupun SKP nihil.
Hal yang menyebabkan perlu dibuka peluang terjadinya pemeriksaan
ulang dan penerbitan SKPKBT. Karena dalam sistem self assessment, wajib pajak
diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung sendiri besarnya.
pajak yang terutang sesuai ketentuan peraturan pajak yang berlaku. Seiring

3
dengan hal itu, SPT berikut semua lampirannya harus diisi oleh wajib pajak secara
benar, lengkap dan jelas. Namun tidak semua wajib pajak bisa melaksanakannya
dengan baik, entah disengaja maupun tidak.
Merujuk pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU KUP, Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum tahun 2008 dan 5
(lima) tahun mulai tahun 2008 sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa
pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, apabila diketemukan data baru atau
data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah
pajak yang terutang. Pemeriksaan ulang dan penerbitan SKPKBT hanya dapat
dilakukan apabila fiskus menemukan data baru atau data yang semula belum
terungkap dalam pemeriksaan terdahulu (pemeriksaan yang telah dilakukan
sebelumnya dan menjadi dasar penerbitan SKP). Tanpa adanya novum atau data
yang semula belum terungkap, fiskus tidak boleh melakukan pemeriksaan ulang,
apalagi sampai menerbitkan SKPKBT.
Dalam hal penerbitan SKPKBT tidak didasarkan pada data baru (novum),
wajib pajak dapat melakukan upaya hukum terhadap keputusan tersebut. Wajib
pajak dapat mengajukan keberatan atas SKPKBT tersebut atau Gugatan (setelah
UU KUP No 28 Tahun 2007). Selanjutnya apabila belum puas atas putusan
keberatan maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT) ?
2. Bagaimana Mekanisme Penerbitan SKPKBT ?
3. Bagaimana Mekanisme Penerbitan SKPKBT berdasarkan Data Baru ?

4. Bagaimana Mekanisme Penerbitan SKPKBT Data yang semula belum


terungkap ?
5. Kapan Daluwarsa Penerbitan SKPKBT ?
6. Bagaimana Mekanisme Pengenaan Sanksi pada SKPKBT ?

4
1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud SKPKBT.


2. Untuk mengetahui Prosedur penerbitan SKPKBT.
3. Untuk mengetahui Mekanisme Penerbitan SKPKBT berdasarkan Data
Baru.
4. Untuk mengetahui Mekanisme Penerbitan SKPKBT Data yang semula
belum terungkap.
5. Untuk mengetahui waktu Daluwarsa Penerbitan SKPKBT.
6. Untuk mengetahui mekanisme pengenaan Sanksi pada SKPKBT.

5
BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Pengertian SKPKBT

SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan


atas jumlah yang telah ditetapkan (SKPKB, SKPN, SKPLB). Diterbitkan
oleh Dirjen Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat pajak terutang,
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, apabila
ditemukan data baru (novum) yang mengakibatkan penambahan jumlah
pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
penerbitan SKPKBT.

Diterbitkan oleh Dirjen Pajak dalam jangka 10 tahun sesudah saat


pajak terutang, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun
pajak, apabila ditemukan data baru (novum) dan/atau data yang semula
belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang
terutang. Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

Kenaikan sebesar 100% tersebut tidak dikenakan apabila SKPKBT


tersebut diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari wajib pajak atas
kehendak sendiri, dengan syarat Dirjen Pajak belum mulai malakukan
tindakan pemeriksaan. Apabila jangka waktu 10 Tahun tersebut telah lewat,
SKPKBT tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi bunga sebesar 48% dari jumlah
yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah lewat 10 tahun
tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

II.2. Prosedur Penerbitan SKPKBT

6
Merujuk pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU KUP, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum
tahun 2008 dan 5 (lima) tahun setelah tahun 2008 sesudah saat terutangnya
pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak,
apabila diketemukan data baru atau data yang semula belum terungkap
yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

Dari bunyi ketentuan tersebut dapat ditegaskan bahwa pemeriksaan


ulang dan penerbitan SKPKBT hanya dapat dilakukan apabila fiskus
menemukan data baru atau data yang semula belum terungkap dalam
pemeriksaan terdahulu (pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya dan
menjadi dasar penerbitan SKP). Tanpa adanya novum atau data yang
semula belum terungkap, fiskus tidak boleh melakukan pemeriksaan
ulang, apalagi sampai menerbitkan SKPKBT.

Menyimpang dari ketentuan tersebut, fiskus masih diberi


kewenangan untuk melakukan pemeriksaan ulang dalam hal-hal tertentu,
misalnya dalam hal terdapat indikasi tindak pidana yang mungkin
dilakukan oleh wajib pajak. Meskipun telah dilakukan pemeriksaan ulang
berdasarkan temuan novum, sepanjang hasil pemeriksaan itu tidak
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, maka SKPKBT
tidak akan diterbitkan. Artinya, jika pemeriksaan ulang tidak menimbulkan
kurang bayar atau, timbul lebih bayar pajak atau nihil, selayaknya tidak
perlu terbit SKPKBT. Seandainya hasil pemeriksaan ulang menghasilkan
kelebihan bayar pajak padahal ketentuan Pasal 15 UU KUP tidak
memungkinkan Dirjen Pajak untuk menerbitkan SKP-nya.

SKPKBT hanya dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 (sepuluh)


tahun tahun sebelum tahun 2008 dan 5 (lima) tahun mulai tahun 2008
setelah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun
pajak, atau tahun pajak. Ini terkait dengan daluwarsa penagihan pajak yang
ditetapkan dalam Pasal 22 UU KUP. Misalnya, atas SPT Tahunan PPh

7
Orang Pribadi Tahun Pajak 1996 yang dilaporkan dan telah diterbitkan
SKPKBT pada tahun 1998: Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKPKBT PPh
Orang Pribadi Tahun Pajak 1996 paling lambat pada akhir tahun 2006,
dengan syarat SKPKBT tersebut berdasarkan temuan novum yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

Dalam hal masih diketemukan lagi novum yang belum terungkap


pada saat penerbitan SKPKBT dan sepanjang belum melewati jangka
waktu 10 tahun tersebut, maka Dirjen Pajak masih dapat menerbitkan
SKPKBT lagi. Artinya, SKPKBT dapat diterbitkan hingga dua kali atau
lebih, dengan syarat terbitnya masing-masing SKPKBT itu dilandasi
dengan temuan novum dan masih dalam jangka waktu yang ditentukan.
Melanjutkan contoh di atas, misalnya fiskus telah menerbitkan SKPKBT
atas dasar temuan novum pada tahun 1999. Namun ternyata masih ada lagi
novumyang ditemukan pada tahun 2001 dan menambah jumlah PPh Orang
Pribadi Tahun Pajak 1996 yang seharusnya terutang, maka Dirjen Pajak
masih bisa menerbitkan lagi SKPKBT PPh Orang Pribadi tahun pajak
1996 (yang kedua) pada tahun 2001, sebab SKPKBT terbit berdasarkan
temuan novum yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang
dan penerbitannya masih dalam jangka waktu yang ditentukan.

Undang-undang pajak sudah memberikan batasan yang cukup


memadai mengenai novum yang bisa menjadi dasar penerbitan SKPKBT.
Selain itu, dalam praktek belum pernah terdengar ada Wajib Pajak yang
dikenakan SKPKBT hingga dua kali atau lebih. Apabila jangka waktu 10
tahun tersebut sudah terlewati maka SKPKBT tidak dapat diterbitkan lagi.
Namun apabila Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka terhadap Wajib Pajak tersebut tetap dapat
diterbitkan SKPKBT dengan ditambah sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (4) UU KUP.

8
II.3. Data Baru atau Novum

Pengertian mengenai data baru atau novum sesuai penjelasan


Pasal 15 ayat (1) UU KUP adalah data atau keterangan mengenai segala
sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak terutang
oleh Wajib Pajak, yang belum diberitahukan pada waktu penetapan
semula, baik dalam SPT dan lampiran-lampirannya maupun dalam
pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ.31/1990


tanggal 18 Oktober 1990 juga menjelaskan tentang pengertian Data Baru
dan Data yang Semula Belum Terungkap. Meskipun SE-33/PJ.31/1990
dikeluarkan dalam era berlakunya UU Perpajakan Tahun 1983, namun
substansi yang termuat di dalamnya masih relevan, kecuali menyangkut
jangka waktu penerbitan SKP. Dalam surat edaran itu masih disebutkan 5
(lima) tahun sesuai dengan ketentuan UU KUP 1983, namun untuk saat itu
sudah diubah menjadi 10 tahun sesuai ketentuan UU KUP Tahun 2000.
Data baru atau novum yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1)
UU KUP tersebut bisa dicontohkan sebagai berikut:

Pada tahun 1996 Pak Marto memperoleh penghasilan dari persewaan


mobil miliknya kepada PT Maju Perkasa, sebesar Rp15.000.000. Pak
Marto tidak melaporkan penghasilan sewa mobil tersebut di SPT Tahunan
PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996. Pada saat dilakukan pemeriksaan
pajak atas SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 1996, Pak Marto
tidak memberikan data atau keterangan kepada fiskus mengenai
penghasilan sewa mobil yang belum dilaporkan di SPT. Akhirnya, pada
tahun 1998 fiskus menerbitkan SKPKB PPh Orang Pribadi tahun pajak
1996 kepada Pak Marto tanpa memperhitungkan adanya penghasilan sewa
mobil yang belum dilaporkan.

9
Tahun 1999 fiskus mendapatkan data berupa Bukti Pemotongan PPh pasal
23 atas penghasilan sewa mobil yang dipotong oleh PT. Maju Perkasa.
Dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 itu disebutkan penghasilan bruto
sewa mobil yang diperoleh Pak Marto sebesar Rp15.000.000, telah
dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 6% atau sebesar Rp900.000 (misal
terjadi dalam kurun waktu berlakunya KEP-59/PJ.1/1996). Apa yang
dilakukan fiskus dengan adanya Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut?

Pak Marto terbukti tidak melaporkan penghasilan sewa mobil yang telah
diperoleh pada tahun 1996 sebesar Rp15.000.000 di dalam SPT Tahunan
PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996. Pada saat dilakukan pemeriksaan
atas SPT PPh tahun pajak 1996, Pak Marto juga tidak memberikan data
atau mengungkapkan mengenai adanya penghasilan sewa mobil yang
belum dilaporkan di SPT PPh-nya. Dengan demikian, Bukti Pemotongan
PPh Pasal 23 yang dibuat oleh PT. Maju Perkasa dapat dipergunakan
sebagai data baru (novum) untuk melakukan pemeriksaan ulang dan
menjadi dasar penerbitan SKPKBT PPh Orang Pribadi tahun pajak 1996
kepada Pak Marto.

Dari contoh tersebut jelas bahwa data baru atau novum merupakan
data yang belum pernah dilaporkan oleh Wajib Pajak di SPT dan belum
pernah diungkapkan sama sekali dalam pemeriksaan pajak yang
sebelumnya telah dilakukan oleh fiskus.

II.4. Data yang Semula Belum Terungkap

Selain karena adanya data baru (novum), SKPKBT juga bisa


diterbitkan dalam hal ditemukan data yang semula belum terungkap. Jadi
SKPKBT tidak mutlak harus berdasarkan adanya novum, tetapi apabila
terdapat data yang semula belum terungkap pun sudah cukup untuk
menjadi dasar penerbitan SKPKBT. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1)
UU KUP yang dimaksud dengan data yang semula belum terungkap
adalah data atau keterangan lain mengenai segala sesuatu yang diperlukan
untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang, yang:

10
a. Tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dala SPT beserta lampirannya
(termasuk laporan keuangan); dan atau

b. Pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak


tidak mengungkapkan data dan atau memberikan keterangan lain
secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan
fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dengan benar dalam menghitunga jumlah pajak yang
terutang.

Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan dalam SPT atau


mengungkapkan pada waktu pemeriksaan, akan tetapi apabila
memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian
rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya
jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang
terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, maka hal tersebut
termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.

Pengertian dan contoh yang tertuang dalam penjelasan Pasal 15


ayat (1) UU KUP Tahun 2000 tersebut, ditinjau dari substansinya,
tidak berbeda dengan SE33/PJ.31/1990. Perlu ditambahkan mengenai
klausul “dengan cara sedemikian rupa”yang dimaksudkan antara lain,
dengan cara menyamarkan transaksi, memasukkan suatu transaksi
pengeluaran yang non-deductible ke dalam akun yang umumnya
deductible, mencatat transaksi yang merupakan objek pajak tertentu ke
dalam akun yang susah dilacak fiskus. Wajib Pajak dapat dikatakan
mempunyai itikad tidak baik untuk menghindari atau menggelapkan
pajak yang seharusnya terutang.

Contoh yang berbeda dengan yang tercantum dalam memori


penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU KUP:

Dalam pembukuan PT. Gemilang tahun 2000 terdapat transaksi-


transaksi berikut ini:

11
o Perjalanan wisata direksi dan keluarga yang semestinya non-
deductible dicatat pada akun perjalanan dinas.

o Tunjangan makan karyawan yang semestinya merupakan objek


pemotongan PPh Pasal 21 dicatat pada akun biaya konsumsi
karyawan (natura) yang bukan merupakan objek pemotongan PPh
Pasal 21

o Biaya in-house training yang semestinya merupakan objek


pemotongan PPh Pasal 23 dicatat sebagai biaya registrasi kursus
untuk umum.

o Pembelian komputer untuk anak pemegang saham dicatat sebagai


pembelian komputer untuk operasional dan Pajak Masukannya
dikrMartotkan oleh perusahaan.

PT. Gemilang tidak mengungkapkan transaksi-transaksi tersebut


pada SPT yang dilaporkannya untuk tahun pajak 2000. Kemudian pada
saat dilakukan pemeriksaan atas SPT tahun pajak 2000, PT. Gemilang juga
tidak memberikan keterangan atau data mengenai transaksi-transaksi
tersebut kepada fiskus, sehingga akhirnya fiskus menerbitkan ketetapan
pajak tanpa memperhitungkan hal-hal yang disamarkan oleh PT.
Gemilang.

Jika di kemudian hari diketahui adanya transaksi-transaksi yang


disamarkan tersebut, fiskus dapat melakukan pemeriksaan ulang terhadap
SPT yang dilaporkan oleh PT. Gemilang tahun pajak 2000 dan
menerbitkan SKPKBT atas dasar temuan “data yang semula belum
terungkap.”

II.5. Sanksi yang Dikenakan Dalam SKPKBT

Agar Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan


Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak,

12
atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan
penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan
pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan.

Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, Surat Ketetapan


Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak
setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

II.6. Sanksi yang Dikenakan Dalam SKPKBT

Agar pelaksanaan sistem self assessment bisa berjalan dengan baik,


pemerintah menganggap perlu adanya penerapan sanksi, termasuk sanksi
sehubungan dengan penerbitan SKPKBT. Seperti telah diuraikan, dalam
hal fiskus menemukan data baru atau data yang semula belum terungkap
pada saat diterbitkannya ketetapan pajak terdahulu, maka fiskus dapat
menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Mengacu pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU KUP, jumlah yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak meliputi kekurangan pajak yang terutang,
ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari
kekurangan pajak tersebut.

Contoh: Melanjutkan kasus Pak Marto, fiskus telah melakukan


pemeriksaan atas SPT PPh Orang Pribadi tahun pajak 1996 dan SKPKB
diterbitkan tahun 1998 dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp150.000.000. PPh terutang sebesar Rp36.250.000 1) telah dibayar lunas
oleh Pak Marto. Pada tahun 1999 fiskus menemukan novum berupa Bukti
Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan sewa yang diperoleh Pak
Marto pada tahun 1996, sebesar Rp15.000.000 yang telah dipotong PPh
Pasal 23-nya oleh PT. Maju Perkasa.

13
Berdasar novum tersebut fiskus melakukan pemeriksaan ulang dan
misalnya tidak ada koreksi fiskal selain penghasilan sewa mobil yang
tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 23, maka perhitungan
SKPKBT menjadi sebagai berikut:

 Penghasilan Kena Pajak sesuai SKPKB terdahulu Rp 150.000.000

 Koreksi Positif Penghasilan: Sewa Mobil Rp 15.000.000 +/+

 Penghasilan Kena Pajak dalam SKPKBT Rp 165.000.000

 PPh Tahun Pajak 1996 yang terutang Rp 40.750.000

Kredit Pajak

 PPh yang telah dilunasi sebelumnya Rp 36.250.000

 Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan Rp 900.000 +/+

 Sewa mobil dari PT. Maju Perkasa

Jumlah kredit pajak Rp 37.150.000

 Jumlah PPh yang kurang dibayar Rp 3.600.000

 Sanksi sesuai ketentuan Pasal 15 (2) UU KUP

100% x Rp3.600.000 = Rp 3.600.000 +/+

 Jumlah yang masih harus dibayar menurut

SKPKBT PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996 Rp 7.200.000

Keterangan:

14
1. Contoh kasus terjadi pada tahun pajak 1996, sehingga penghitungan
PPh terutang menggunakan tarif berdasarkan Pasal 17 UU Nomor 7
Tahun 1983 yang telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1994.

2. Penghasilan sewa mobil dikoreksi positif sebagai penghasilan Wajib


Pajak, sehingga Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan sewa
mobil tersebut harus diperhitungkan sebagai kredit pajak.

15
BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil mengenai penerbitan Surat Ketetapan


Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) hasil pemeriksaan ulang

1. SKPKBT PPh Pasal 26 Tahun 1998 yang diterbitkan oleh fiskus dari
Karikpa tidak memiliki dasar hukum. Hal ini karena SKPKBT tersebut,
diterbitkan berdasarkan hasil penelitian kembali atas SKPKB yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh KPP tempat kedudukan Wajib Pajak.
SKPKBT hasil pemeriksaan ulang hanya dapat diterbitkan apabila
terpenuhi syarat formal berikut:

a. Diketemukan data baru (novum) atau data yang semula belum


terungkap yang

b. Mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang; dan

c. Masih dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat


terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak,
atau tahun pajak sesuai UU KUP No 16 tahun 2000, sedangkan
sesuai UU KUP No 28 Tahun 2007 selama 5 (lima) tahun.

Jika ketiga syarat tersebut tidak dipenuhi seluruhnya, maka


pemeriksaan ulang dan SKPKBT yang diterbitkan dianggap tidak
memenuhi ketentuan formal dan semestinya batal demi hukum.

2. SKPKBT masih bisa diterbitkan setelah melewati jangka waktu 10


(sepuluh) tahun sesuai UU KUP No 16 tahun 2000 atau 5 (lima) tahun
sesuai UU KUP No 28 tahun 2007 sesudah saat terutangnya pajak,
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, hanya
apabila Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang

16
perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.

3. Apabila SKPKBT terbit bukan karena kekeliruan Wajib Pajak, tetapi


akibat kesalahan fiskus sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan, maka
Wajib Pajak tidak boleh dikenakan sanksi karenanya. Apabila SKPKBT
terlanjur diterbitkan dengan menerapkan sanksi kenaikan 100%, maka
Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan penghapusan sanksi
berdasarkan ketentuan Pasal 36 UU KUP.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Surat Edaran Direktur Jendaral Pajak Nomor SE-33/PJ.31/1990 Tentang


Pengertian Data Baru dan Data Yang Semula Belum Terungkap.
2. www.ortax.org
3. www.pajak.go.id
4. https://articontohnya.blogspot.com/2013/10/surat-ketetapan-pajak-kurang-
bayar.html?m=1

18

Anda mungkin juga menyukai