Anda di halaman 1dari 13

TERATOMA PADA BALITA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Teratoma merupakan tumor ke-2 terbanyak pada anak prapubertas. Manifestasi
pada usia 18 bulan, namun bisa dijumpai pada masa neonatus. Teratoma yang berasal
dari sel embrional biasanya terjadi di garis tengah tubuh: otak, tengkorak, hidung,
lidah, bawah lidah dan leher, mediastinum, retroperitoneum dan menempel di coccyx.
Teratoma embrional paling sering terjadi di daerah sacrococcygeus. Teratoma bentuk
ini adalah yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir.
Insiden teratoma sakrokoksigeus 1 dari 35.000 sampai 40.000 kelahiran hidup dan
paling sering ditemukan pada wanita dengan Rasio 3:1 sampai 4:1 pernah dilaporkan.
Sakrokoksigeus adalah bagian yang sering terdapat teratoma pada neonatus (46-65%)
Lokasi selanjutnya yang paling sering adalah : gonad (10-35 %), mediastinal (10-12
%),retroperitoneal (3-5%), cervical (3-6%), Presakral (3-5 %), system saraf pusat (2-4
%).
Terjadinya teratoma adalah karena embrio awal (tingkat clivage, blastula,
awal grastula) lepas dari kontrol organizer. Ia seperti tubuh yang kembar tidak
seimbang yang satu dapat tumbuh normal yang lain hanya gumpalan jaringa yang
tdak utuh atau tidak wajar. Teratoma disebut juga fetus in fetu atau bayi dalam bayi.
Untuk terapi biasanya dilakukan pembedahan atau kemoterapi. Prognosis
tergantung dengan stadiumnya. Orkhidektomi umumnya kuratif, karena biasanya
tidak dijumpai adanya metastasis. Tumor biasanya berkapsul, sehingga ada yang
menyarankan tindakan enukleasi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 konsep dasar teori
A. Definisi

Teratoma adalah tumor yang mengandung jaringan derivat dua, tiga lapis
benih. Terjadi saat janin masih embrio. Terjadinya teratoma adalah karena embrio
awal (tingkat clivage, blastula, awal grastula) lepas dari kontrol organizer. Ia seperti
tubuh yang kembar tidak seimbang yang satu dapat tumbuh normal yang lain hanya
gumpalan jaringa yang tdak utuh atau tidak wajar. Teratoma disebut juga fetus in fetu
atau bayi dalam bayi.

Teratoma yang berasal dari sel embrional biasanya terjadi di garis tengah
tubuh: otak, tengkorak, hidung, lidah, bawah lidah dan leher, mediastinum,
retroperitoneum dan menempel di coccyx. Jarang sekali bisa timbul di organ padat
seperti jantung dan hati dan organ rongga seperti usus dan kandung kencing.
Teratoma embrional paling sering terjadi di daerah sacrococcygeus. Teratoma bentuk
ini adalah yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir.

Teratoma sakrokoksigeus adalah neoplasma yang terdiri dari bermacam-


macam jaringan yang berbeda dari ketiga lapisan sel germinal asing pada tempat
anatomi dimana jaringan tersebut muncul yaitu sering terjadi dekat tulang ekor
(coccyx), dimana konsentrasi terbesar sel primitive berada untuk periode waktu yang
lama.

Teratoma diklasifikasikan kedalam tiga kategori histopatologi :


1. Teratoma benigna : Terdapat deferensiasi baik, benigna, matur, hanya jaringan
dewasa
2. Teratoma dengan imatur jaringan embrionik yang bukan maligna seutuhnya, dengan
atau tanpa jaringan matur.
3. Teratoma maligna , dengan jaringan maligna seutuhnya, ditambah jaringan matur
dan /atau embrionik.
C. Etiopatologi
Teratoma terbentuk dan berkembang selama kehidupan intrautrin, dapat
menjadi sangat besar pada teratoma sakrokoksigeus seiring dengan
perkembangan fetus.Teratoma sakrokoksigeus muncul dari primitif knot atau
hensen’s node. Hensen’s node adalah suatu agregasi dari sel totipotensial yang
merupakan pengatur utama pada perkembangan embrionik. Semula terletak di
bagian posterior embrio yang bermigrasi secara caudal pada minggu pertama
kehidupan didalam ekor embrio, akhirnya berhenti di anterior tulang ekor
(coccyx). Alur migrasi dari sel germinal menunjukan lokasi dan patologi yang
paling sering terdapat teratoma (sakrokoksigeus dan gonad). Sel-sel ini dapat
meluas ke postero-inferior masuk daerah glutea dan /atau postero-superior
masuk ke rongga abdominopelvik. Pemisahan sel totipotensial dari hansen’s
node mungkin menyebabkan munculnya teratoma sakrokoksigeus. Sel
pleuripotensial ini melarikan diri dari kontrol pengatur embrionik dan
berdiferensiasi masuk dalam jaringan yang tidak biasa ditemukan pada daerah
sakrokoksigeus. Tumor terjadi dekat dengan tulang ekor, dimana konsentrasi
terbesar primitif sel berada untuk waktu yang lama selama masa
perkembangan. Tumor ini diklasifikasikan berdasarkan Altman classification
of Surgical Section of the American Academy of Pediatrics kedalam 4 tipe
yaitu :

1. Tipe I – tumor terutama di bagian luar mengarah dari daerah sakrokoksigeus dan
muncul dengan distorsi bokong
2. Tipe II – tumor terutama diluar , tetapi ada bagian yang luas didalam pelvis.
3. Tipe III – tumor terutama didalam pelvis dengan sedikit pada bagian luar, benjolan
pada bokong.
4. Tipe IV – tumor deluruhnya didalam tanpa ada dibagian luar atau bagian bokong
Sebagian besar teratoma terdapat daerah baik yang padat dan kistik, walaupun
teratoma padat secara lengkap terjadi. Cairan kista dapat sereus, mukoid, darah, dan
lapisan kista sering terdiri dari epitel skuamous serta sebasea dan gigi. Terutama
tumor kistik lebih mungkin benigna dan insiden malignansi meningkat pada sejumlah
jaringan padat. Teratoma benigna biasanya berkapsul, dan adanya bagian yang
nekrosis atau perdarahan memberi kesan adanya kanker.
Pemeriksaan mikroskopik pada teratoma biasanya menunjukkan variasi jaringan lebih
dari satu lapisan germinal. Pentingnya memiliki keseragaman dalam klasifikasi
histology teratoma agar evaluasi prognosis yang sesuai dan kelangsungan hidup serta
dapat membandingkan hasil dari laporan bertahap dari institut yang berbeda.
Teratoma diklasifikasikan kedalam tiga kategori histopatologi :
1. Teratoma benigna : Terdapat deferensiasi baik, benigna, matur, hanya jaringan
dewasa
2. Teratoma dengan imatur jaringan embrionik yang bukan maligna seutuhnya,
dengan atau tanpa jaringan matur.
3. Teratoma maligna , dengan jaringan maligna seutuhnya, ditambah jaringan matur
dan /atau embrionik.

D. Manifestasi klinis
Secara klinis, Tumor paling sering muncul sebagai massa yang menonjol
antara coccyx dan anus yang biasa ditutupi dengan kulit normal yang intak. Beberapa
pasien, seluruh atau sebagian benjolan terletak pada permukaan retrorektal atau
retroperitoneum. Pada bayi dan anak-anak, Tumor muncul sebagai massa pada daerah
sakropelvis yang menekan kandung kemih dan rectum. Seringnya gejala obstruksi
pada traktus urinarius yang disebabkan oleh kompresi ureter dan urethra terhadap
pubis atau kompresi ureter terhadap pinggiran pelvis dan terjadi kesulitan defekasi
sebagai tanda obstruksi yang mungkin tidak cukup dikenali.
Sebagian kecil pasien dapat mengalami paralysis, nyeri, atau kelemahan pada
kaki, terutama pada stadium lambat dari invasi maligna dari tumor.
Pada teratoma sakrokoksigeus pada fetus, jika tumornya besar, dapat menyebabkan
distosia, kesulitan melahirkan dan perdarahan atau laserasi tumor.

E. Patofisiologi

Teratoma terbentuk dan berkembang selama kehidupan intrautrin, dapat menjadi


sangat besar pada teratoma sakrokoksigeus seiring dengan perkembangan fetus.
Teratoma sakrokoksigeus muncul dari primitif knot atau hensen’s node. Hensen’s
node adalah suatu agregasi dari sel totipotensial yang merupakan pengatur utama
pada perkembangan embrionik. Semula terletak di bagian posterior embrio yang
bermigrasi secara caudal pada minggu pertama kehidupan didalam ekor embrio,
akhirnya berhenti di anterior tulang ekor (coccyx). Alur migrasi dari sel germinal
menunjukan lokasi dan patologi yang paling sering terdapat teratoma (sakrokoksigeus
dan gonad). Sel-sel ini dapat meluas ke postero-inferior masuk daerah glutea dan
/atau postero-superior masuk ke rongga abdominopelvik. Pemisahan sel totipotensial
dari hansen’s node mungkin menyebabkan munculnya teratoma sakrokoksigeus. Sel
pleuripotensial ini melarikan diri dari kontrol pengatur embrionik dan berdiferensiasi
masuk dalam jaringan yang tidak biasa ditemukan pada daerah sakrokoksigeus.
Tumor terjadi dekat dengan tulang ekor, dimana konsentrasi terbesar primitif sel
berada untuk waktu yang lama selama masa perkembangan.
F. Diagnosis

1. Prenatal

USG prenatal dapat mendeteksi tumor ini mulai pada usia kehamilan 13minggu.
USG menunjukkan peningkatan ukuran uterus, placentomegaly,polihidramnion,
hidrops fetalis, massa inhomogen pada sakrum dengan gambaran kalsifikasi. Ibu
pasien bergejala polihidramnion, meningkat kadar alfa fetoproteindarah sebelum
partus dan partus prematur. Bila gejala ini timbul sebelum usia 30 minggu kehamilan
maka prognosis anak adalah buruk. Persalinan akan beresiko
pada ibu sehingga untuk menghindari distosia atau ruptur tumor dianjurkan
untuk dilakukan sectio cesarea bila ukuran tumor lebih dari 5 cm atau tumor lebih
besardari diameter fetus.
2. Postnatal

Teratoma benign hanya sedikit bergejala atau bahkan tidak bergejala samasekali.
Massa pada pelvis yang besar dapat menyebabkan dekompresi traktusurinarius maupun
rektum. Defisit neurologis jarang terjadi, bila terjadi mengindikasikan malignansi.
Tanda metastasis perlu dicari pada anak lebih tua

Diagnosis teratoma sakrokoksigeus biasanya ditegakkan melalui


pemeriksaan fisik. Tumor ini biasanya didiagnosa ketika ditemukan benjolan sacrum
yang besar setelah kelahiran yang sulit atau obstruksi pada kelahiran. Anamnesis
didapatkan adanya nyeri rectum, konstipasi, dan adanya sebuah benjolan.
Teratoma sakrokoksigeus juga sering didiagnosa sebelum bayi lahir dengan
pemeriksaan ultrasonografi fetal. Laporan bertahap diagnosis antenatal
pada teratoma sakrokoksigeus menunjukkan bahwa sebagian besar fetus yang
didiagnosa teratoma sakrokoksigeus kemungkinan meninggal sebelum kelahiran.
Diagnosis prenatal penting karena tumor ini mungkin cukup besar untuk
menyebabkan distosia dan ruptur dari tumor dengan perdarahan masif dapat terjadi
selama kehamilan.
Pada sebagian besar kasus, teratoma sakrokoksigeus sangat khas sehingga
diagnosisnya sangat jelas. Kadang-kadang, bagaimanapun diagnosis tidak begitu jelas
dan adanya lesi lain seperti kondroma, fibroma, duplikasi rektal, terutama
mielomeningocele dan tumor neurogenic presakral, harus dikeluarkan. Apabila sulit
membedakan teratoma sacrococygeal dengan lesi lain, studi diagnostic seperti Foto
polos, Ultrasonografi, computer tomografi (CT) atau MRI.
Foto thoraks membantu menyingkirkan penyakit metastase. Foto polos pada sacral
dapat menunjukkan adanya kalsifikasi dalam tumor. Ultrasonografi berguna untuk
menentukan sifat lesi (padat atau kistik, adanya komponen intraabdominal dan
keterlibatan hati). Baik CT Scan lateral dan magnetic resonance imaging ( MRI )akan
menunjukkan perluasan intrapelvis dan intraspinal dari lesi sacral dengan rincian
yang jelas. Beberapa teratoma mengandung elemen yolk salk, dimana mengeluarkan
alfa–fetoprotein. Deteksi AFP dapat membantu memperjelas diagnosis dan sering
digunakan sebagai marker untuk rekurensi atau efektifitas pengobatan, tapi metode
yang jarang pada diagnosis awal.

STADIUM
Klasifikasi Altman membagi tumor berdasarkan fungsi bentanganatominya ke
dalam 4 kelompok:
1. Altman I : eksternal tumor yang mendominasi, dengan perluasan minimal
2. Altman II : eksternal tumor dengan perluasan signifikan intrapelvis.
3. Altman III : tumor eksternal dengan perluasan intra-abdominal
4. Altman IV : hanya tumor intra pelvis, tidak dapat dilihat dari luar.

G. Penatalaksanaan

Teratoma sakrokoksigeus harus dieksisi lengkap. Lesi Tipe I dan II dapat


dimulai pada daerah posterior melalui chevron insisi dan sagital. Lesi tipe III dan IV
harus insisi tambahan transversal pada perut bagian bawah. Bagian penting pada
prosedur termasuk pengangkatan lengkap pada tumor intak, ligasi arteri sakral
tengah, dan eksisi tulang ekor ( coccyx ) bersama tumor.
Jika tumor secara histologi benigna ( hanya jaringan matur) atau mengandung
jaringan embrionik tanpa maligna seutuhnya, eksisi lengkap adekuat. Jika lesi
benigna (97 %), tidak diindikasikan terapi lanjutan. Untuk Tumor yang agresif dan
terdapat jaringan malignan seutuhnya, pembedahan eksisi sendiri tidak adekuat dan
pasien harus mendapatkan kemoterapi dan atau radioterapi. Pasien dengan rekurensi
kanker dan tidak dapat dieksisi diberikan terapi VAC (vinkristin, dactinomycin,
cyclophosphamide) ditambah radiasi lokal.
Pasien ini harus dievaluasi setiap 3 bulan selama 2 tahun pertama dengan
pemeriksaan rectal dan jumlah AFP. Pasien yang diperkirakan rekurensi harus
dievalusi dengan pemeriksan radiologi yang sesuai, Ultrasonografi dan/ atau CT.
Lesi ini paling baik direseksi dalam 24 jam pertama, sejak usus tidak dikoloni
pada 24 jam pertama setelah kelahiran., mengurangi resiko infeksi pada daerah yang
terkontaminasi feses selama reseksi. Perioperatif antibiotic diberikan segera sebelum
pembedahan dan dilanjutkan 24-48 jam setelah operasi.

2.2 konsep asuhan keperawatan


a. Pengkajian
Tumor ini biasanya didiagnosa ketika ditemukan benjolan sacrum yang besar setelah
kelahiran yang sulit atau obstruksi pada kelahiran. Anamnesis didapatkan adanya
nyeri rectum, konstipasi, dan adanya sebuah benjolan.
Teratoma sakrokoksigeus juga sering didiagnosa sebelum bayi lahir dengan
pemeriksaan ultrasonografi fetal.
Foto thoraks membantu menyingkirkan penyakit metastase. Foto polos pada sacral
dapat menunjukkan adanya kalsifikasi dalam tumor. Ultrasonografi berguna untuk
menentukan sifat lesi (padat atau kistik, adanya komponen intraabdominal dan
keterlibatan hati). Baik CT Scan lateral dan magnetic resonance imaging ( MRI )akan
menunjukkan perluasan intrapelvis dan intraspinal dari lesi sacral dengan rincian
yang jelas.

b. Diagnosa keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d kompresi ureter dan uretra

2. penurunan nutrien b/d penurunan masukan oral, ketidaknyamanan


mulut, mual, muntah,

3. Gangguan aktivitas b/d nyeri dan kelemahan pada kaki

4. Gangguan konsep diri b/d kelainan pada partus

5. Anxietas b/d kurangnya pengetahuan terhadap penyakit

c. Intervensi keperawatan

a) Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d kompresi ureter dan uretra


1. Tentukan riwayat nyeri, lokasi nyeri, frekuensi, durasi
dan intensitas nyeriserta tindakan penghilangan yang digunakan
2. Kurangi adanya kurang pengetahuan klien dengan
menjelaskan sebab-sebabnyeri kepada klien

3. Berikan informasi yang akurat untuk mengurangi rasa takut pada


ibu dan keluarga bayi

4. Bicarakan dengan ibu bayi dan keluarga penggunaan


terapi distraksi

5. . Kolaborasi pemberian analgetik untuk pereda rasa nyeri / sakit

b) penurunan nutrien b/d penurunan masukan oral, ketidaknyamanan mulut,


mual, muntah,
1. Pantau TTV anak
2. Pantau masukan makanan tiap hari.
3. Ukur tinggi, berat badan setiap hari, pantau hasil pemeriksaan laboratorium
4. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat.
5. Beri dorongan klien untuk makan dengan orang lain.
6. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan
7. Ajarkan ibu untuk mengurangi atau menghilangkan bau yang menyebabkan ingin muntah, mual.
8. beri arahan ibu supaya bayi diberi air susu sedikit-sedikit tapi sering supaya
memperkecil pemicu muntah.
9. Kolaborasi Diet / pendukung nutrisi.

c) Resiko infeksi daerah operasi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat
pembedahan

(Tujuan : Selama dalam perawatan, infeksi luka operasi tidak terjadi)Hasil yang diharapkan.
Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen Intervensia.
1. Pantau dan observasi terus tentang keadaan luka operasinya.
( R/ Deteksi dini tentang terjadinya infeksi yang lebih
berat )
2. Lakukan perawatan luka operasi secara aseptik
dan antiseptik
d. Implementasi

1. Catat hasil TTV pada anak


2. Lihat hasil intik out put dengan menanyakan pada ibu px
3. Timbang BB anak setiap hari dan ukur tinggi bayi
4. Beri penjelasan pada ibu bayi pentingnya asupan nutrisi pada bayi
5. Beri dorongan bayi agar mudah minum asi
6. Memberi tau ibu cara member asi yang benar
7. Member tau ibu bayi supaya member minum bayi sedikit – sedikit tapi sering.
8. Melakukan kolaborasi dengan ahli gizi

e. Evaluasi

Prognosis teratoma sakrokoksigeus dapat membaik dipengaruhi oleh deteksi


prenatal, rencana penanganan intrapartum, dan cepat dilakukan pembedahan reseksi.
Prognosis pada neonatus berdasarkan klasifikasi teratoma oleh the American
Academy of Pediatrics Surgical Section dengan adanya perluasan tumor, sedangkan
prognosis fetus didasarkan pada ukuran tumor, laju pertumbuhan tumor dan ada
tidaknya plasentomegali dan hidropsfetalis.

Walaupun sebagian besar tumor ini secara histologi benigna, tumor ini dihubungkan
dengan mortalitas dan morbilitas karena pengaruh sekunder dari teratoma
sakrokoksigeus seperti premature, distosia dan trauma kelahiran, perdarahan tumor
dan kegagalan sekunder output yang tinggi.

Adanya tumor yang berukuran besar baik ada atau tidak adanya kalsifikasi dalam
tumor tidak begitu penting apakah lesi benigna atau maligna. Secara histologi tumor
benigna, prognosisnya sangat baik setelah pembedahan eksisi yang adekuat.
Prognosis buruk jika tumor mengandung jaringan maligna. Resiko maligna
tergantung pada bagian dan luasanya tumor serta umur pada saat didiagnosis

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan saran

Teratoma adalah tumor yang mengandung jaringan derivat dua, tiga lapis benih.
Terjadi saat janin masih embrio. Terjadinya teratoma adalah karena embrio awal
(tingkat clivage, blastula, awal grastula) lepas dari kontrol organizer. Ia seperti tubuh
yang kembar tidak seimbang yang satu dapat tumbuh normal yang lain hanya
gumpalan jaringa yang tdak utuh atau tidak wajar. Teratoma disebut juga fetus in fetu
atau bayi dalam bayi. Teratoma sakrokoksigeus adalah neoplasma yang terdiri dari
bermacam-macam jaringan yang berbeda dari ketiga lapisan sel germinal asing pada
tempat anatomi dimana jaringan tersebut muncul yaitu sering terjadi dekat tulang
ekor (coccyx), dimana konsentrasi terbesar sel primitive berada untuk periode waktu
yang lama. Tumor ini diyakini berasal dari sel multipotensial embrio dari Hensen;s
node yang terletak di dalam tulang ekor (coccyx). Teratoma sakrokoksigeus
berkembang didalam retroperitoium, daerah sakrokoksigeus, atau melibatkan
keduanya. Sebagian besar merupakan kasus primer. Untuk terapi biasanya dilakukan
pembedahan atau kemoterapi. Prognosis tergantung dengan stadiumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Corebima, AD. 1997. Genetika Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press


Hamilton, W.J dkk. 1957. Human Embryology. Cambridge: W. Heffer % Sans
Limited.
Moore, Keith L. 1988. The Developing Human. Canada: W.B Saunders Company.
Sudarwati, Sri.dkk. 1990. Dasar-Dasar Struktur dan Perkembangan Hewan. Bandung:
Penerbit ITB
Tenzer, A dkk. 2001. Petunjuk Praktikum Perkembangan Hewan. Malang: JICA UM
Malang.

Yatim, W. 1982. Reproduksi dan Embriologi. Bandung: Tarsito Penerbit buku

Anda mungkin juga menyukai