Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN SEMINAR KASUS KELOMPOK

KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA BAYI NY. N DENGAN DIAGNOSA MEDIS BBLR ICTERUS NEONATORUM
DI RUANG EDELWEIS (PERINATOLOGI) RSUD NGUDI WALUYO – BLITAR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Seminar Akhir Praktek


Profesi Keperawatan Departemen Keperawatan Anak Di
RSUD Ngudi Waluyo – Blitar

Disusun Oleh:
Kelompok 4

1. Widha Arlyka Duta (P17 2121 95 006)


2. Aldesiana Cahyaningrum (P17 2121 95 026)
3. Normalita Dwi Puspita S. (P17 2121 95 059)
4. Anggita Kusuma Pertiwi (P17 2121 95 068)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PROFESI NERS
TA. 2019 – 2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Seminar Kasus Kelompok Keperawatan Medikal Bedah Di RSUD Ngudi


Waluyo – Blitar ini telah diperiksa dan disetujui pada:
Hari : ……………………………………….
Tanggal : ……………………………………….

Mahasiswa,
Profesi Ners Poltekes
Kemenkes Malang,

(…………………………)

Oleh:
CI Akademik CI Ruang Edelweis
Poltekes Kemenkes Malang, RSUD Ngudi Waluyo,

(…………………………) (…………………………)

Mengetahui,

Kepala Ruang Edelweis


RSUD Mardi Waluyo,

(…………………………)
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah S.W.T. atas berkat rahmat dan hidayah-Nya kami mampu
menyelesaikan pembuatan Laporan Seminar Akhir Keperawatan Anak Di RSUD Ngudi
Waluyo – Kota Blitar ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada Rasulullah Muhammad S.A.W. yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk Laporan Seminar Akhir ini, supaya
Laporan Seminar Akhir ini nantinya dapat menjadi lebih baik lagi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
Bapak/Ibu dosen keperawatan yang telah membimbing kami dalam menulis laporan ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Malang, 10 November 2019

Kelompok 4
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN TEORI SEPTIK OSTEOARTHRITIS
2.1. Konsep Dasar ................................................................................................... 2
2.1.1. Definisi ................................................................................................ 2
2.1.2. Anatomi Fisiologi ................................................................................ 2
2.1.3. Etiologi ................................................................................................ 5
2.1.4. Klasifikasi ............................................................................................ 5
2.1.5. Patofisiologi ......................................................................................... 6
2.1.6. Pathway ................................................................................................ 8
2.1.7. Manifestasi Klinis ................................................................................ 8
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 9
2.1.9. Penatalaksanaan Medis ........................................................................ 10
2.1.10. Komplikasi ........................................................................................... 11
2.2. Konsep Asuhan Keperawatan ........................................................................ 11
2.2.1. Pengkajian Keperawatan ..................................................................... 11
2.2.2. Diagnosa Keperawatan ........................................................................ 12
2.2.3. Intervensi Keperawatan ....................................................................... 14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. R DENGAN DIAGNOSA MEDIS
SEPTIK OSTEOARTHRITIS DI RUANG DAHLIA RSUD MARDI
WALUYO – KOTA BLITAR
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 17
LAMPIRAN :
1. Jurnal Kompres Hangat Menurunkan Nyeri Persendian Osteoartritis Pada Lanjut Usia
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikterus neonatorum adalah ikterus yang terjadi pada neonatus pada minggu
pertama kehidupannya. Ikterus neonatorum merupakan masalah kesehatan yang
sering ditemukan di antara bayi-bayi baru lahir yang jika tidak ditangani sejak dini
dapat berakibat fatal (Tb. Rudy Firmansjah B. Rifai, 2003). Ikterus neonatorum
merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya
ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat
terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Hal ini bisa diakibatkan oleh pemecahan eritrosit yang berlebihan, gangguan
clearance metabolism, gangguan konjugasi atau gangguan ekskresi bersama air
(Sarwono, et al, 2004). Hiperbilirubinemia indirek dijumpai pada 60% bayi cukup
bulan dan 80% bayi kurang bulan (Glasgow, 2000). Ikterus neonatorum dapat
bersifat fisiologis atau patologis. Insidensi ikterus neonatorum patologis merupakan
sebagian kecil saja dari ikterus neonatorum.
Ikterus neonatorum fisiologis timbul akibat peningkatan dan akumulasi
bilirubin indirek <5 mg/dl/24jam yaitu yang terjadi 24 jam pasca salin. Peningkatan
kadar bilirubin indirek pada ikterus neonatorum fisiologis akan meningkat sampai
dengan nilai puncak 6-8 mg/dl antara hari ke 3 – 5 pada bayi cukup bulan (matur)
sedangkan pada bayi kurang bulan (prematur) dapat mencapai 10 – 12 mg/dl bahkan
sampai 15 mg/dl. Ikterus neonatorum fisiologis timbul akibat metabolisme bilirubin
neonatus belum sempurna yaitu masih dalam masa transisi dari masa janin ke masa
dewasa (Glasgow, 2000).
Ikterus neonatorum patologis adalah ikterus yang timbul dalam 24 jam
pertama pasca salin dimana peningkatan dan akumulasi bilirubin indirek >5
mg/dl/24jam dan ikterus akan tetap menetap hingga 8 hari atau lebih pada bayi cukup
bulan (matur) sedangkan pada bayi kurang bulan (prematur) ikterus akan tetap ada
hingga hari ke-14 atau lebih. Tanda-tanda lain ikterus neonatorum patologis yaitu
kadar bilirubin direk >2 mg/dl (Absdurrachman, dkk. 2003). Ikterus neonatorum
patologis dapat ditimbulkan oleh beberapa penyakit seperti anemia hemolitik,
polisitemia, ekstravasasi darah (hematoma), sirkulasi enterohepatik yang berlebihan,
defek konjugasi, berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar, gangguan transportasi
bilirubin direk yang keluar dari hepatosit atau oleh karena obstruksi aliran empedu.
Faktor risiko yang dianggap sebagai pemicu timbulnya ikterus neonatorum
yaitu kehamilan kurang bulan (prematur), bayi berat badan lahir rendah, persalinan
patologis, asfiksia, ketuban pecah dini, ketuban keruh dan inkompatibilitas golongan
darah ibu dan anak (Fx. Wikan I, Ekawaty LH., 1998). Ikterus neonatorum dapat
menimbulkan masalah kesehatan yang serius yaitu gerakan irregular dan kejang
sedangkan gangguan intelektual akibat kern icterus dapat timbul gejala setelah
beberapa tahun kemudian (Cloherty, 2004). Ikterus neonatorum perlu mendapat
perhatian dan penanganan yang baik sehingga menurunkan angka kematian bayi
(Infant Mortality Rate = IMR) yang masih tinggi di Indonesia.

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum:
1. Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatn secara paripurna.
1.2.2. Tujuan Khusus:
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada neonatus.
2. Mahasiswa mampu menganalisa data pada neonatus.
3. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keprawatan aktual dan resiko.
4. Mahasiswa mampu membuat intervensi keperawatan pada neonatus.
5. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan neonatus.
6. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi.
7. Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi.

1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi Penulis
Memahami wawasan dalam memberikan asuhan keperawatan anak
pada pasien neonatus dengan hiperbilirubinemia.
1.3.2. Bagi Pendidikan
Manfaat penulisan ini dimaksudkan memberikan kontribusi laporan
kasus bagi pengembangan praktik keperawatan anak dan pemecahan masalah
dalam bidang atau profesi keperawatan anak.
1.3.3. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan pertimbangan oleh pihak rumah sakit untuk membuat
kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan asuhan
keperawatan anak pada pasien dengan hiperbilirubinemia.
1.3.4. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan masukan khususnya untuk perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan anak yang komprehensif pada pasien dengan
hiperbilirubinemia dan sebagai pertimbangan perawat dalam
penatalaksanaan kasus sehingga perawat mempu memberikan tindakan yang
tepat pada pasien.
BAB II
TINJAUAN TEORI SEPTIK OSTEOARTHRITIS

2.1. Konsep Dasar


2.1.1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam
darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu
kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin indirek pada otak terutama pada
corpus striatum, thalamus, nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan
nukleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara
10 mg / dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg / dl pada bayi kurang bulan
(Ngastiyah, 2005).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum
yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila
kadar bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2008).
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap
tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’.
Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological
Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut
Normogram Bhutani (Lia Dewi, Vivian Nanny, 2010).
Jadi dapat disimpulkan bahwa hiperbilirubin adalah suatu keadaan
dimana kadar bilirubin dalam darah melebihi batas atas nilai normal bilirubin
serum. Untuk bayi yang baru lahir cukup bulan batas aman kadar bilirubinnya
adalah 12,5 mg/dl, sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, batas aman kadar
bilirubinnya adalah 10 mg/dl. Jika kemudian kadar bilirubin diketahui
melebihi angka-angka tersebut, maka ia dikategorikan hiperbilirubin.

2.1.2. Anatomi Fisiologi


Hati merupakan organ terbesar didalam tubuh. Letaknya dikuadaran
kanan atas abdomen, dibawah diafragma dan terlindungi oleh tulang rusuk
(costae). Hati dibagi menjadi 4 lobus dan setiap lobus hati terbungkus oleh
lapisan tipis jaringan ikat yang membentang kedalam lobus itu sendiri dan
membagi massa hati menjadi unit-unit kecil, yang disebut lobulus. Sirkulasi
darah ke dalam dan keluar hati sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi
hati. Hati menerima suplai darahnya dari dua sumber yang berbeda. Sebagian
besar suplai darah datang dari vena porta yang mengalirkan darah yang kaya
akan zat-zat gizi dari traktus gastrointestinal. Bagian lain suplai darah tersebut
masuk ke dalam hati lewat arteri hepatika dan banyak mengandung oksigen.
Kedua sumber darah tersebut mengalir ke dalam kapiler hati yang disebut
sinusoid hepatik. Dengan demikian, sel-sel hati (hepatosit) akan terendam oleh
campuran darah vena dan arterial. Dari sinusoid darah mengalir ke vena
sentralis di setiap lobulus, dan dari semua lobulus ke vena hepatika. Vena
hepatika mengalirkan isinya ke dalam vena kava inferior.
Jadi terdapat dua sumber yang mengalirkan darah masuk ke dalam hati
dan hanya terdapat satu lintasan keluarnya. Disamping hepatosit, sel-sel
fagositosis yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial juga terdapat dalam
hati. Organ lain yang mengandung sel-sel retikuloendotelial adalah limpa,
sumsum tulang, kelenjar limfe dan paru-paru. Dalam hati, sel-sel ini
dinamakan sel kupfer. Fungsi utama sel kupfer adalah memakan benda partikel
(seperti bakteri) yang masuk ke dalam hati lewat darah portal.

Fungsi metabolik hati:


1. Metabolisme glukosa Setelah makan glukosa diambil dari darah vena
porta oleh hati dan diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam
hepatosit. Selanjutnya glikogen diubah kembali menjadi glukosa dan jika
diperlukan dilepaskan ke dalam aliran darah untuk mempertahankan
kadar glukosa yang normal. Glukosa tambahan dapat disintesis oleh hati
lewat proses yang dinamakan glukoneogenesis. Untuk proses ini hati
menggunakan asam-asam amino hasil pemecahan protein atau laktat yang
diproduksi oleh otot yang bekerja.
2. Konversi amonia Penggunaan asam-asam amino untuk glukoneogenesis
akan membentuk amonia sebagai hasil sampingan. Hati mengubah
amonia yang dihasilkan oleh proses metabolik ini menjadi ureum. Amonia
yang diproduksi oleh bakteri dalam intestinum juga akan dikeluarkan dari
dalam darah portal untuk sintesis ureum. Dengan cara ini hati mengubah
amonia yang merupakan toksin berbahaya menjadi ureum yaitu senyawa
yang dapat diekskresikan ke dalam urin.
3. Metabolisme protein Organ ini mensintesis hampir seluruh plasma protein
termasuk albumin, faktor-faktor pembekuan darah protein transport yang
spesifik dan sebagian besar lipoprotein plasma. Vitamin K diperlukan hati
untuk mensintesis protombin dan sebagian faktor pembekuan lainnya.
Asam-asam amino berfungsi sebagai unsur pembangun bagi sintesis
protein.
4. Metabolisme lemak Asam-asam lemak dapat dipecah untuk memproduksi
energi dan benda keton. Benda keton merupakan senyawa-senyawa kecil
yang dapat masuk ke dalam aliran darah dan menjadi sumber energi bagi
otot serta jaringan tubuh lainnya. Pemecahan asam lemak menjadi bahan
keton terutama terjadi ketika ketersediaan glukosa untuk metabolisme
sangat terbatas seperti pada kelaparan atau diabetes yang tidak terkontrol.
5. Penyimpanan vitamin dan zat besi
6. Metabolisme obat Metabolisme umumnya menghilangkan aktivitas obat
tersebut meskipun pada sebagian kasus, aktivasi obat dapat terjadi. Salah
satu lintasan penting untuk metabolisme obat meliputi konjugasi
(pengikatan) obat tersebut dengan sejumlah senyawa, untuk membentuk
substansi yang lebih larut. Hasil konjugasi tersebut dapat diekskresikan
ke dalam feses atau urin seperti ekskresi bilirubin.
7. Pembentukan empedu Empedu dibentuk oleh hepatosit dan dikumpulkan
dalam kanalikulus serta saluran empedu. Fungsi empedu adalah
ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses
pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu.
8. Ekskresi bilirubin Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan
hemoglobin oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup
sel-sel kupfer dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam
darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi
asam glukuronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut didalam larutan
yang encer. Bilirubin terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke dalam
kanalikulus empedu didekatnya dan akhirnya dibawa dalam empedu ke
duodenum. Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika
terdapat penyakit hati, bila aliran empedu terhalang atau bila terjadi
penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada obstruksi
saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai
akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin (Evelyn, 2011).

2.1.3. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum
dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis (pemecahan sel darah merah)
yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-
Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya
diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat
infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Muslihatum, Wafi Nur.
2010).

2.1.4. Klasifikasi
1. Ikterus Prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat
hemolisis sel darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan
konjugasi terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan
kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
2. Ikterus Hepatik
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk
ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak
sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi
dan regurgitasi.
3. Ikterus Kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga
empedu dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus
halus. Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum
dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja
dan urin.
4. Ikterus Neonatus Fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada
hari ke-7. penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses
bilirubin.
5. Ikterus Neonatus Patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu
badan yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.
6. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek
pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus,
Hipokampus, Nukleus merah, dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
(Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008)
2.1.5. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa
lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin
dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini
kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin
tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar
dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk) (Murray, R.K., et al. 2009).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus,
bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen
dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan
sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl
(Cloherty et al, 2008). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan
bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau
disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan
bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati,
obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia.
Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan
berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini
disebut ikterus atau jaundice (Murray et al, 2009).
2.1.6. Pathway

Produksi yang berlebihan, Gangguan dalam proses


uptake dan konjugasi hepar, Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah, Gangguan dalam eksresi

Hiperbilirubinemia

Direk Indirek > 12 mg/dl Lemas, bayi kuning, kurang aktif,


jarang menangis, gangguan
termoregulasi
Bermakna jika Sistemik
melebihi 1,0-1,5 mg/dl

Menembus MK: Ikterus MK:


sawar otak neonatorum Hipertermia

Letargi, kejang, opistotonus,


Bilirubin Kejang
tidak mau menghisap
tinggi menetap

MK: Resiko
MK: Kekurangan Penurunan Resti kernikterus tinggi injuri
volume cairan Kesadaran
Indikasi Fototerapi
Kerusakan otak, cacat
MK: Resiko permanen
tinggi injuri
Sinar dengan intensitas tinggi

MK: Resiko MK: Gangguan Gangguan


MK: Resiko
kekurangan volume integritas kulit Termoregulasi
injuri mata
cairan

MK: Hipertermia /
Hipoteria
2.1.7. Manifestasi Klinis
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus
obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning
kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson,
2007). Gambaran klinis ikterus fisiologis :
1. Tampak pada hari 3,4
2. Bayi tampak sehat (normal)
3. Kadar bilirubin total <12mg%
4. Menghilang paling lambat 10-14 hari
5. Tak ada faktor resiko
6. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et
al, 2005).
Gambaran klinik ikterus patologis :
1. Timbul pada umur <36 jam
2. Cepat berkembang
3. Bisa disertai anemia
4. Menghilang lebih dari 2 minggu
5. Ada faktor resiko
6. Dasar : proses patologis (Sarwono et al, 2005).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta membran
mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi lahir disebabkan
oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik dan infeksi. Jaundice
yang tampak pada hari ke-2 atau ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-3 sampai
ke-4 serta menurun pada hari ke-5 sapai hari ke-7 biasanya merupakan jaundice
fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah, anorexia,
fatique, warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi (lemas), kejang, tak
mau menetek atau reflek hisap kurang, tonus otot meninggi dan akhirnya
opistotonus. (Ngastiyah, 2005).
Tabel 1. Rumus Kramer

Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin


1 Kepala dan leher 5 mg %
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg %
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai 11 mg %
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki di bawah lutut 12 mg%
5 Daeraha 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg %

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium.
a. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi incompatibilitas ABO.
b. Bilirubin total.
1) Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl
yang mungkin dihubungkan dengan sepsis.
2) Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl
dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup
bulan atau 1,5 mg/dl pada bayi praterm tegantung pada berat badan.
c. Protein serum total
1) Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan
terutama pada bayi praterm.
d. Hitung darah lengkap
1) Hb mungkin rendah (< 14 gr/dl) karena hemolisis.
2) Hematokrit mungin meningkat (> 65%) pada polisitemia,
penurunan (< 45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
e. Glukosa
1) Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap <30 mg/dl
atau test glukosa serum < 40 mg/dl, bila bayi baru lahir hipoglikemi
dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam
lemak.
f. Daya ikat karbon dioksida
1) Penurunan kadar menunjukkan hemolisis .
g. Meter ikterik transkutan
1) Mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin serum.
h. Pemeriksaan bilirubin serum
1) Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl
antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl
tidak fisiologis.
2) Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl
antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl
tidak fisiologis
i. Smear darah perifer
1) Dapat menunjukkan SDM abnormal/ imatur, eritroblastosis pada
penyakit RH atau sperositis pada incompabilitas ABO
j. Test Betke-Kleihauer
1) Evaluasi smear darah maternal tehadap eritrosit janin.
2. Pemeriksaan Radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma.
3. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstra hepatic.
4. Biopsy Hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang
sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra
hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis
hati, hepatoma (Murray, R.K., et al. 2009).

2.1.9. Penatalaksanaan Medis


Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :
1. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini
kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya
rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat
ini sudah jarang dipakai lagi.
2. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin
(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan
albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin
bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat
mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini
menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya
karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin
diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah
terapi tukar.
3. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
4. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak
toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
5. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer et
al, 2007).

Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar, yang perlu diperhatikan


sebagai berikut :
1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin
dengan membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel
reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang
terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.

2.1.10. Komplikasi
Bayi kuning di bawah semua jenis perawatan fototerapi akan memiliki
beberapa efek samping. Akan tetapi, tidak perlu khawatir karena efek samping
fototerapi pada bayi kuning hanyalah sedikit dan bersifat sementara waktu asalkan
fototerapi yang dilakukan secara jangka pendek. Berikut ini adalah efek samping
fototerapi pada bayi kuning :
1. Penurunan waktu transit usus, dengan tinja yang encer (diare) karena
bilirubin indirek menghambat laktase
2. Kenaikan suhu akibat sinar lampu jika hal ini terjadi sebagian lampu
dimatikan, terapi diteruskan jika suhu terus naik, lampu semua dimatikan
sementara bayi dikompres dingin dan berikan ekstra minum.
3. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu biru dan mengakibatkan
peningkatan insensible water loss (penguapan cairan). Pada BBLR
kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali lebih besar.
4. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berupa
kulit kemerahan) tetapi akan hilang jika terapi selesai. Atau bronze baby
syndrome, kulit dan urin berwarna bronze yang bisa kembali normal saat
fototerapi dihentikan
5. Ruam kulit, karena terjadinya fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan
pelepasan histamin
6. Penambahan berat badan yang lambat
7. Perubahan warna urin
8. Pemisahan ibu dengan bayi
9. Gangguan retina jika mata tidak ditutup.

2.2. Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1. Pengkajian Keperawatan
1. Pemeriksaan Fisik
Biasa ditemukan pada bayi baru lahir sampai minggu I, Kejadian
ikterus : 60 % bayi cukup bulan & 80 % pada bayi kurang bulan. Perhatian
utama : ikterus pada 24 jam pertama & bila kadar bilirubin > 5mg/dl dalam
24 jam.
a. Aktivitas/ istirahat : letargi, malas
b. Sirkulasi : mungkin pucat, menandakan anemia
c. Eliminasi : Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin lambat,
faeces mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran
billirubin. Urine berwarna gelap.
d. Makanan cairan : Riwayat pelambatan/ makanan oral buruk.
e. Palpasi abdomen : dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
f. Neurosensori :
1) Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran.
2) Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis, mungkin
ada dengan inkompathabilitas Rh.
3) Kehilanga refleks moro, mungkin terlihat.
4) Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih,
aktifitas kejang.
g. Pernafasan : krekels (oedema fleura)
h. Keamanan : Riwayat positif infeksi atau sepsis neonatus, akimosis
berlebihan, pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak ikterik pada
awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh.
i. Seksualitas : mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi
dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia
gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada
bayi pria daripada bayi wanita.

2.2.2. Diagnosa Keperawatan


Aktual
1. Ikterus neonatus b.d neonatus, bayi prematur
2. Hipertermia b.d proses penyakit (hiperbilirubinemia), tindakan medis
fototerapi
3. Gangguan integritas kulit b.d sinar dengan intensitas tinggi fototerapi
4. Kekurangan volume cairan b.d sinar dengan intensitas tinggi fototerapi,
kejang, opistotonus, tidak mau menghisap.

Resiko
1. Resiko injuri mata b.d sinar dengan intensitas tinggi fototerapi.
2. Resiko kekurangan volume cairan b.d letargi, kejang, opistotonus, tidak mau
menghisap, sinar dengan intensitas tinggi fototerapi
3. Resiko tinggi injuri b.d kejang, penurunan kesadaran.
(PPNI, 2018)
2.2.3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Luara Utama dan Kriteria
No. Intervensi
Keperawatan hasil
1. Ikterus neonatus L.10095  Fototerapi Neonatus
D.0024 b.d neonates bayi Setelah dilakukan intervensi Observasi
premature keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor ikterik pada sklera dan kulit bayi
diharapkan adaptasi neonates 2. Identifikasi kebutuhan cairan sesuai dengan usia gestasi dan berat badan
membaik dengan 3. Monitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam sekali
KH : 4. Monitor efek samping fototerapi (misalnya : hipertermi, diare, rush
1. Berat badan cukup pada kulit, penurunan berat badan lebih dari 8-10%)
meningkat (4) Terapeutik
2. Membrane mukosa kuning 1. Siapkan lampu fototerapi dan troli bayi
kuning cukup menurun (4) 2. Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
3. Kulit kuning menurun (4) 3. Berikan penutup mata pada bayi
4. Sklera kuning cukup 4. Ukur antara jarak lamu dan permukaan kulit bayi (30 cm atau
menurun (4) tergantung spesifikasi lampu fisioterapi)
5. Aktivitas ekstremitas cukup 5. Biarkan tubuh bayi terpapar sinar fisioterapu secara berkelanjutan
membaik (4) 6. Ganti segera alas dan popok bayi jika BAK/BAB
6. Respon terhadap stimulus Edukasi
sensorik cukup membaik (4) 1. Anjurkan ibu menyusui sekitar 20-30 menit
2. KIE metode kanguru
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan analisis (laborat), pemeriksaan darah vena bilirubin
direk dan indirek
2. Hepertemia b.d L.14135  Regulasi temperature
D.0130 proses penyakit Setelah dilakukan intervensi Observasi
jiperbilirubinemia keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor suhu bayi sampai stabil (36,5-37,5)\
diharapkan termoregulasi 2. Monitor warna dan suhu kulit
neonates membaik dengan 3. Monitor dan catat tanda dan gejala hipertemia atau hipotermia
KH : Terapeutik
1. Suhu tubuh menurun (5) 1. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi adekuat
2. Suhu kulit menuruun (5) 2. Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
Edukasi
3. Frekuensi nadi cukup 1. Jelaskan cara pencegahan heat echaousiton / heat stroke\
menurun (4) 2. Jelaskan cara pencegahan hipotermia karena paparan udara dingin
3. Demonstrasikan atau ajarkan Teknik perawatan metode kanguru (PMK)
untuk BBLR
Kolaborasi
1. Pemberian antipirerik, jika perlu
(PPNI, 2018)
DAFTAR PUSTAKA

Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in Manual
of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort Williams and Wilkins
Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2006. Hiperbilirubinemia pada neonatus.
Continuing education ilmu kesehatan anak
Hassan, R. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Jakarta :
Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta : Perpustakaan
Nasional.
Lia Dewi, Vivian Nanny, 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak balita. Jakarta : Salemba
Medika.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aeseulupius
Mansyoer, Arid dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Markum, H. (1991). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.
Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition. Alih bahasa
Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC
Muslihatum, Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Yogyakarta : Fitramaya.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC Percetakan Infomedika.
Pearce, C. Evelyn. (2011). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, alih bahasa: Sri
Yuliani Handoyo. PT. Gramedia Pustaka Utama IKAPI. Jakarta.
PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Keriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Sacher, Ronald, A., Richard A., Mc Pherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil Pemeriksaan
Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia: Hartonto, Huriawati. Jakarta: EGC
Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu Kesehatan
Anak. Ikterus Neonatorum(Hyperbilirubinemia Neonatorum). Surabaya: RSUD
Dr.Soetomo.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : JNPKKR/POGI dan Yayasan Bina Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai