KEPERAWATAN ANAK
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Mahasiswa,
Profesi Ners Poltekes
Kemenkes Malang,
(…………………………)
Oleh:
CI Akademik CI Ruang Edelweis
Poltekes Kemenkes Malang, RSUD Ngudi Waluyo,
(…………………………) (…………………………)
Mengetahui,
(…………………………)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah S.W.T. atas berkat rahmat dan hidayah-Nya kami mampu
menyelesaikan pembuatan Laporan Seminar Akhir Keperawatan Anak Di RSUD Ngudi
Waluyo – Kota Blitar ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada Rasulullah Muhammad S.A.W. yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk Laporan Seminar Akhir ini, supaya
Laporan Seminar Akhir ini nantinya dapat menjadi lebih baik lagi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
Bapak/Ibu dosen keperawatan yang telah membimbing kami dalam menulis laporan ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Kelompok 4
DAFTAR ISI
COVER ........................................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN TEORI SEPTIK OSTEOARTHRITIS
2.1. Konsep Dasar ................................................................................................... 2
2.1.1. Definisi ................................................................................................ 2
2.1.2. Anatomi Fisiologi ................................................................................ 2
2.1.3. Etiologi ................................................................................................ 5
2.1.4. Klasifikasi ............................................................................................ 5
2.1.5. Patofisiologi ......................................................................................... 6
2.1.6. Pathway ................................................................................................ 8
2.1.7. Manifestasi Klinis ................................................................................ 8
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 9
2.1.9. Penatalaksanaan Medis ........................................................................ 10
2.1.10. Komplikasi ........................................................................................... 11
2.2. Konsep Asuhan Keperawatan ........................................................................ 11
2.2.1. Pengkajian Keperawatan ..................................................................... 11
2.2.2. Diagnosa Keperawatan ........................................................................ 12
2.2.3. Intervensi Keperawatan ....................................................................... 14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. R DENGAN DIAGNOSA MEDIS
SEPTIK OSTEOARTHRITIS DI RUANG DAHLIA RSUD MARDI
WALUYO – KOTA BLITAR
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 17
LAMPIRAN :
1. Jurnal Kompres Hangat Menurunkan Nyeri Persendian Osteoartritis Pada Lanjut Usia
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum:
1. Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatn secara paripurna.
1.2.2. Tujuan Khusus:
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada neonatus.
2. Mahasiswa mampu menganalisa data pada neonatus.
3. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keprawatan aktual dan resiko.
4. Mahasiswa mampu membuat intervensi keperawatan pada neonatus.
5. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan neonatus.
6. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi.
7. Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi.
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi Penulis
Memahami wawasan dalam memberikan asuhan keperawatan anak
pada pasien neonatus dengan hiperbilirubinemia.
1.3.2. Bagi Pendidikan
Manfaat penulisan ini dimaksudkan memberikan kontribusi laporan
kasus bagi pengembangan praktik keperawatan anak dan pemecahan masalah
dalam bidang atau profesi keperawatan anak.
1.3.3. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan pertimbangan oleh pihak rumah sakit untuk membuat
kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan asuhan
keperawatan anak pada pasien dengan hiperbilirubinemia.
1.3.4. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan masukan khususnya untuk perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan anak yang komprehensif pada pasien dengan
hiperbilirubinemia dan sebagai pertimbangan perawat dalam
penatalaksanaan kasus sehingga perawat mempu memberikan tindakan yang
tepat pada pasien.
BAB II
TINJAUAN TEORI SEPTIK OSTEOARTHRITIS
2.1.3. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum
dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis (pemecahan sel darah merah)
yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-
Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya
diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat
infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Muslihatum, Wafi Nur.
2010).
2.1.4. Klasifikasi
1. Ikterus Prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat
hemolisis sel darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan
konjugasi terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan
kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
2. Ikterus Hepatik
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk
ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak
sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi
dan regurgitasi.
3. Ikterus Kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga
empedu dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus
halus. Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum
dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja
dan urin.
4. Ikterus Neonatus Fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada
hari ke-7. penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses
bilirubin.
5. Ikterus Neonatus Patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu
badan yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.
6. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek
pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus,
Hipokampus, Nukleus merah, dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
(Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008)
2.1.5. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa
lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin
dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini
kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin
tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar
dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk) (Murray, R.K., et al. 2009).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus,
bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen
dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan
sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl
(Cloherty et al, 2008). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan
bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau
disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan
bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati,
obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia.
Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan
berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini
disebut ikterus atau jaundice (Murray et al, 2009).
2.1.6. Pathway
Hiperbilirubinemia
MK: Resiko
MK: Kekurangan Penurunan Resti kernikterus tinggi injuri
volume cairan Kesadaran
Indikasi Fototerapi
Kerusakan otak, cacat
MK: Resiko permanen
tinggi injuri
Sinar dengan intensitas tinggi
MK: Hipertermia /
Hipoteria
2.1.7. Manifestasi Klinis
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus
obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning
kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson,
2007). Gambaran klinis ikterus fisiologis :
1. Tampak pada hari 3,4
2. Bayi tampak sehat (normal)
3. Kadar bilirubin total <12mg%
4. Menghilang paling lambat 10-14 hari
5. Tak ada faktor resiko
6. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et
al, 2005).
Gambaran klinik ikterus patologis :
1. Timbul pada umur <36 jam
2. Cepat berkembang
3. Bisa disertai anemia
4. Menghilang lebih dari 2 minggu
5. Ada faktor resiko
6. Dasar : proses patologis (Sarwono et al, 2005).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta membran
mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi lahir disebabkan
oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik dan infeksi. Jaundice
yang tampak pada hari ke-2 atau ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-3 sampai
ke-4 serta menurun pada hari ke-5 sapai hari ke-7 biasanya merupakan jaundice
fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah, anorexia,
fatique, warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi (lemas), kejang, tak
mau menetek atau reflek hisap kurang, tonus otot meninggi dan akhirnya
opistotonus. (Ngastiyah, 2005).
Tabel 1. Rumus Kramer
2.1.10. Komplikasi
Bayi kuning di bawah semua jenis perawatan fototerapi akan memiliki
beberapa efek samping. Akan tetapi, tidak perlu khawatir karena efek samping
fototerapi pada bayi kuning hanyalah sedikit dan bersifat sementara waktu asalkan
fototerapi yang dilakukan secara jangka pendek. Berikut ini adalah efek samping
fototerapi pada bayi kuning :
1. Penurunan waktu transit usus, dengan tinja yang encer (diare) karena
bilirubin indirek menghambat laktase
2. Kenaikan suhu akibat sinar lampu jika hal ini terjadi sebagian lampu
dimatikan, terapi diteruskan jika suhu terus naik, lampu semua dimatikan
sementara bayi dikompres dingin dan berikan ekstra minum.
3. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu biru dan mengakibatkan
peningkatan insensible water loss (penguapan cairan). Pada BBLR
kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali lebih besar.
4. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berupa
kulit kemerahan) tetapi akan hilang jika terapi selesai. Atau bronze baby
syndrome, kulit dan urin berwarna bronze yang bisa kembali normal saat
fototerapi dihentikan
5. Ruam kulit, karena terjadinya fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan
pelepasan histamin
6. Penambahan berat badan yang lambat
7. Perubahan warna urin
8. Pemisahan ibu dengan bayi
9. Gangguan retina jika mata tidak ditutup.
Resiko
1. Resiko injuri mata b.d sinar dengan intensitas tinggi fototerapi.
2. Resiko kekurangan volume cairan b.d letargi, kejang, opistotonus, tidak mau
menghisap, sinar dengan intensitas tinggi fototerapi
3. Resiko tinggi injuri b.d kejang, penurunan kesadaran.
(PPNI, 2018)
2.2.3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Luara Utama dan Kriteria
No. Intervensi
Keperawatan hasil
1. Ikterus neonatus L.10095 Fototerapi Neonatus
D.0024 b.d neonates bayi Setelah dilakukan intervensi Observasi
premature keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor ikterik pada sklera dan kulit bayi
diharapkan adaptasi neonates 2. Identifikasi kebutuhan cairan sesuai dengan usia gestasi dan berat badan
membaik dengan 3. Monitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam sekali
KH : 4. Monitor efek samping fototerapi (misalnya : hipertermi, diare, rush
1. Berat badan cukup pada kulit, penurunan berat badan lebih dari 8-10%)
meningkat (4) Terapeutik
2. Membrane mukosa kuning 1. Siapkan lampu fototerapi dan troli bayi
kuning cukup menurun (4) 2. Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
3. Kulit kuning menurun (4) 3. Berikan penutup mata pada bayi
4. Sklera kuning cukup 4. Ukur antara jarak lamu dan permukaan kulit bayi (30 cm atau
menurun (4) tergantung spesifikasi lampu fisioterapi)
5. Aktivitas ekstremitas cukup 5. Biarkan tubuh bayi terpapar sinar fisioterapu secara berkelanjutan
membaik (4) 6. Ganti segera alas dan popok bayi jika BAK/BAB
6. Respon terhadap stimulus Edukasi
sensorik cukup membaik (4) 1. Anjurkan ibu menyusui sekitar 20-30 menit
2. KIE metode kanguru
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan analisis (laborat), pemeriksaan darah vena bilirubin
direk dan indirek
2. Hepertemia b.d L.14135 Regulasi temperature
D.0130 proses penyakit Setelah dilakukan intervensi Observasi
jiperbilirubinemia keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor suhu bayi sampai stabil (36,5-37,5)\
diharapkan termoregulasi 2. Monitor warna dan suhu kulit
neonates membaik dengan 3. Monitor dan catat tanda dan gejala hipertemia atau hipotermia
KH : Terapeutik
1. Suhu tubuh menurun (5) 1. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi adekuat
2. Suhu kulit menuruun (5) 2. Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
Edukasi
3. Frekuensi nadi cukup 1. Jelaskan cara pencegahan heat echaousiton / heat stroke\
menurun (4) 2. Jelaskan cara pencegahan hipotermia karena paparan udara dingin
3. Demonstrasikan atau ajarkan Teknik perawatan metode kanguru (PMK)
untuk BBLR
Kolaborasi
1. Pemberian antipirerik, jika perlu
(PPNI, 2018)
DAFTAR PUSTAKA
Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in Manual
of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort Williams and Wilkins
Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2006. Hiperbilirubinemia pada neonatus.
Continuing education ilmu kesehatan anak
Hassan, R. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Jakarta :
Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta : Perpustakaan
Nasional.
Lia Dewi, Vivian Nanny, 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak balita. Jakarta : Salemba
Medika.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aeseulupius
Mansyoer, Arid dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Markum, H. (1991). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.
Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition. Alih bahasa
Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC
Muslihatum, Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Yogyakarta : Fitramaya.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC Percetakan Infomedika.
Pearce, C. Evelyn. (2011). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, alih bahasa: Sri
Yuliani Handoyo. PT. Gramedia Pustaka Utama IKAPI. Jakarta.
PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Keriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
Sacher, Ronald, A., Richard A., Mc Pherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil Pemeriksaan
Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia: Hartonto, Huriawati. Jakarta: EGC
Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu Kesehatan
Anak. Ikterus Neonatorum(Hyperbilirubinemia Neonatorum). Surabaya: RSUD
Dr.Soetomo.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : JNPKKR/POGI dan Yayasan Bina Pustaka.