Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

KONSEP PELAYANAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


PRE HOSPITAL dan IN HOSPITAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Konsep Dasar Keperawatan Kritis
Dosen Koordinator: Heny Suzana Mediana S.Kp., MNg,Ph.D

Oleh
Barkah Waladani
NPM. 220120140020

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala kuasa-Nya yang telah
memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Tak lupa shalawat dan salam kami haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai nabi pembawa risalah kebenaran di muka bumi ini. Makalah
ini dengan tema tentang “konsep pelayanan keperawatan gawat darurat pre hospital
dan in hospital”. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah konsep dasar
keperawatan kritis. Untuk itu, saya ucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Heni dan
tim , yang telah memberikan waktu dan arahannya dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalamnya, sehingga kritik dan
saran sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu penulisan yang akan datang. Akhir
kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, April 2014

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan dan
perawatan selanjutnya serta menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna
bagi kehidupan secara optimal, terarah dan terpadu bagi setiap anggota masyarakat
yang berada dan keadaan gawat darurat. Upaya pelayanan kesehatan pada penderita
gawat darurat pada dasarnya mencakup suatu rangkaian kegiatan yang harus
dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mencegah kematian atau cacat
yang mungkin terjadi.
Pelayanan kegawatdaruratan memerlukan penanganan secara terpadu dari
multi disiplin dan multi profesi termasuk pelayanan keperawatan. Pelayanan
kegawatdaruratan saat ini sudah diatur dalam suatu sistem yang dikenal dengan
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) baik SPGDT sehari- hari
(SPGDT-S) dan akibat bencana (SPGDT-B).
Sebagai bagian integral pelayanan kegawatdaruratan, pelayanan
keperawatan mengutamakan akses pelayanan kesehatan bagi korban dengan tujuan
untuk mencegah dan mengurangi angka kesakitan, kematian dan kecacatan.
Kemampuan perawat sebagai pelaksana pelayanan keperawatan gawat darurat
masih sangat terbatas untuk mendukung terwujudnya pelayanan kegawatdaruratan
yang berkualitas.
Komponen sistem penanggulangan penderita gawat darurat meliputi
penanganan pra rumah sakit/ pre hospital, dan in hospital. Cakupan pelayanan
kesehatan gawat darurat tersebut adalah penanggulangan penderita di tempat
kejadian, transportasi penderita gawat darurat dan tempat kejadian ke sarana
kesehatan yang lebih memadai, upaya penyediaan sarana komunikasi untuk
menunjang kegiatan penanggulangan penderita gawat darurat, upaya rujukan ilmu
pengetahuan, pasien dan tenaga ahli, upaya penanggulangan penderita gawat
darurat di tempat rujukan IGD atau ICU (BNPB, 2010).

3
Pelayanan keperawatan gawat darurat merupakan pelayanan profesional
yang didasarkan pada ilmu dan metodologi keperawatan gawat darurat berbentuk
bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif ditujukan kepada klien/ penderita yang
mempunyai masalah kesehatan aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa
atau terjadinya secara mendadak atau tidak diperkirakan tanpa atau disertai kondisi
lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Disisi lain, oleh karena sifat pelayanan
gawat darurat yang cepat dan tepat, maka sering dimanfaatkan untuk memperoleh
pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita
dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat.
Peran perawat dalam pelayanan kegawatdaruratan dapat dimulai sejak tahap
mitigasi (pencegahan), tanggap darurat dalam penanganan fase pre hospital dan in
hospital. Pengetahuan dan manajemen yang baik dalam penanganan penderita
selam fase pre hospital dapat menjadi penentu kondisi korban selanjutnya.
Pemberian perawatan pre hospital dan in hospital yang tepat dan cepat dapat
menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat trauma.
Berdasarkan hal tersebut, penting artinya bagi seorang perawat untuk
memahami tentang konsep pelayanan gawat darurat pre hospital, in hospital dan
diharapkan mempunyai kemampuan yang kompeten, profesional dalam
mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai
permasalahan kesehatan. Melihat betapa besarnya peran perawat dalam kondisi
kegawatdaruratan, maka penulis tertarik untuk membahas tentang konsep
pelayanan keperawatan gawat darurat pre hospital, in hospital sebagai bahan
kajian.
1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran konsep pelayanan keperawatan gawat darurat.
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan gambaran konsep dasar pelayanan keperawatan gawat
darurat.
b. Memberikan gambaran konsep pelayanan keperawatan gawat darurat pre
hospital.

4
c. Memberikan gambaran konsep pelayanan keperawatan gawat darurat in
hospital.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat


1. Definisi Keperawatan Gawat Darurat
Keperawatan emergensi adalah perawatan individu pada semua usia dengan
gangguan kesehatan fisik atau emosional yang dipersepsikan atau aktual yang
belum terdiagnosa dan memerlukan intervensi lebih lanjut (Emergency Nursing
Association, 2010).
Keperawatan emergensi merupakan praktek unik yang menangani pasien-
pasien tidak stabil, tidak terdiagnosa, pasien dengan penyakit atau injuri minor
sampai dengan mayor dan sering muncul mendadak. Tindakan diberikan pada
semua usia, diberbagai tempat (diluar atau didalam rumah sakit), serta dipengaruhi
oleh ketersediaan sumber (College of Emergency Nursing Australasia, 2007).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, keperawatan
gawat darurat adalah pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan
metodologi keperawatan gawat darurat berbentuk bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprehensif ditujukan kepada klien atau penderita yang mempunyai masalah
aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak
atau tidak diperkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan dengan tujuan mencegah kematian atau kecacatan yang mungkin
terjadi.
Beberapa istilah yang berkaitan dengan pelayanan keperawatan
kegawatdaruratan:
a. Pasien Gawat Darurat
Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan
terancam nyawanya dan atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak
mendapatkan pertolongan secepatnya. Misalnya Acute Myocard Infarc.
b. Pasien Gawat Tidak Darurat

5
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat.
Misalnya, pasien dengan kanker stadium akhir.

c. Pasien Darurat Tidak Gawat


Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam nyawa dan
anggota badannya. Misalnya, pasien vulnus lateratum tanpa pendarahan.
d. Pasien Tidak Gawat dan Tidak Darurat
Pasien yang tidak mengalami kegawatan dan kedaruratan, tidak memerlukan
tindakan segera. Misalnya, pasien TBC kulit, batuk, pilek.
e. Pasien Meninggal
Label hitam (pasien sudah meninggal, merupakan prioritas terakhir).
2. Dasar Hukum
Pelayanan keperawatan gawat darurat di Indonesia diatur beradasarkan
hukum-hukum yang berlaku diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
b. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
c. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana,
d. Undang-Undang RI Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438),
e. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen,
f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota,
g. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1144 tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
h. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1045/2006
tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum,
i. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menkes/SK/II/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit,

6
j. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/Menkes/SK/XII/2003
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/ Kota,
k. Permenkes RI Nomor: 02.02/148/Menkes/SK/I/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat,
l. Kepmenkes RI Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit,
m. Kepmenkes RI Nomor 145/Menkes/SK/IX/2007 tentang Pedoman
Teknis Penyelenggaraan Gawat Darurat dan Bencana.
3. Ruang Lingkup Keperawatan Gawat Darurat
Menurut Tim Pro Emergency (2011), batasan pelayanan keperawatan gawat
darurat adalah sebagai berikut:
a. Pelayanan keperawatan merupakan manajemen klien melintasi rentang
kehidupan dari lahir melewati kematian dan semua kondisi kesehatan yang
mendorong individu untuk mencari perawatan emergensi.
b. Pelayanan keperawatan gawat darurat dibatasi oleh perbedaan
pengetahuan, pasien dan proses penyakit. Perawat gawat darurat memberikan
perawatan terhadap semua usia dan populasi melewati spektrum luas dari
penyakit, pencegahan injuri, penilaian life saving dan limb-saving.
c. Keperawatan gawat darurat memerlukan gabungan dari pengkajian,
intervensi, dan keterampilan manajemen umum dan khusus.
d. Tindakan keperawatan gawat darurat merupakan tindakan sistematik dan
meliputi proses keperawatan, diagnosa keperawatan, pengambilan keputusan,
berfikir analitik, keilmuan, dan inquiry.
e. Karakteristik perilaku profesional dalam tindakan keperawatan
memerlukan kemahiran dan aplikasi badan pengetahuan dan keterampilan
khusus, tanggung gugat, tanggung jawab, komunikasi, otonomi, dan hubungan
kolaboratif dengan profesi lain.
4. Kompetensi Inti dalam Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
Menurut Tim Pro Emergency (2011), kompetensi utama yang harus dimiliki
oleh perawat dalam pelayanan keperawatan gawat darurat adalah:
a. Client Assesment, pengkajian merupakan fondasi pertama dan terpenting
dari keterampilan dasar perawat gawat darurat, perawat tidak hanya harus secara

7
cepat dan akurat melihat kondisi normal dan abnormal, tetapi juga harus
mengkategorikan penemuannya sesuai dengan akuitas dan usia.
b. Priority Setting and Critical Thinking, perawat gawat darurat harus
memiliki keterampilan dalam pengaturan prioritas dan berfikir kritis.
Kompetensi ini dapat dilatih melalui studi kasus, simulasi software, dan
pengalaman penanganan langsung di instalasi gawat darurat.
c. Knowledge of Emergency Care, pengetahuan dasar untuk perawat gawat
darurat sangat luas dan tidak hanya mencakup gambaran klien dengan penyakit
medikal dan bedah, tetapi masalah-masalah yang kurang umum seperti gigitan
ular atau serangga, heat stroke, hipertermia, kontaminasi material-material
berbahaya, bahkan sampai pengenalan, pengelolaan, dan implikasi legal dari
masalah-masalah sosial seperti child abuse, kekerasan rumah tangga, elder
abuse, dan sexual assault. Pengetahuan-penegetahuan tersebut harus dimiliki
oleh perawat gawat darurat karena perawat merupakan orang pertama yang
sering menemukan kasus kegawatan baik diluar atau didalam rumah sakit.
d. Technical Skills, Perawat emergensi harus terampil dalam melakukan
berbagai keterampilan teknis (multitasking) dalam kondisi “stressfull & high
pressure”. Perawat emergensi terampil dalam menggunakan alat-alat yang sering
digunakan pada lingkungan perawatan kritis, mempersiapkan alat dan klien yang
akan dilakukan prosedur yang biasa dilakukan dalam kondisi kegawatdaruratan,
memberikan pendidikan dan perawatan post prosedur. Prosedur yang umum
dilakukan dalam kondisi kegawatdarurat di instalasi gawat darurat adalah
sebagai berilkut: menjahit sederhana dan komplek untuk penutupan luka,
pengangkatan benda asing, central line insertion, intubasi, transvenous
pacemaker insertion, lumbal pungsi, pemeriksaan pelvis, chest tube insertion,
peritoneal lavage, penatalaksanaan fraktur.
e. Communication, komunikasi merupakan aspek penting yang harus
dimiliki oleh perawat terutama perawat emergensi, karena komunikasi yang
tidak efektif dapat memberikan kesalahan dalam penanganan klien sehingga
dapat mengancam kehidupan klien. Selain itu kemahiran dalam berkomunikasi
diperlukan oleh perawat gawat darurat, karena adanya hambatan dan tindakan
yang dilakukan memerlukan kerja tim yang baik. Hambatan komunikasi efektif

8
yang umum ditemukan di instalasi gawat darurat diantaranya banyaknya klien
yang masuk ke IGD tidak sebanding dengan jumlah perawat, tingginya stress di
lingkungan instalasi gawat darurat.
f. Certification, sertifikasi yang dimaksud dalam praktek keperawatan
gawat darurat dan harus dimiliki oleh perawat gawat darurat adalah :
1) Sertifikat pelatihan khusus mengenai penanganan kegawatdaruratan
meliputi Basic Cardiac Life Support (BCLS), Advance Cardiac Life Support
(ACLS), dan Pediatric Advance Life Support (PALS).
2) Sertifikasi spesialis keperawatan gawat darurat yang diberikan melalui
program sertifikasi dan uji kompetensi oleh organisasi profesi keperawatan
gawat darurat, perawat yang telah lulus dalam uji kompetensi diberikan gelar
Certified Emergency Nurse (CEN).
5. Tugas dan Peran Keahlian Khusus Keperawatan Gawat Darurat
Dalam melaksanakan tugas sebagai perawat gawat darurat, ada banyak tugas
dan peran sesuai keahlian yang dimiliki. Tugas dan peran keahlian tersebut adalah
sebagai berikut (Kartikawati, 2011):
a. Tugas-tugas keperawatan gawat darurat adalah:
1) Urgent care center nursing, perawat memberikan perawatan pada “free-
standing facilities” yang melayani perawatan darurat untuk kesakitan dan
injuri minor.
2) Prehospital Nursing, perawat memberikan perawatan di luar rumah sakit.
3) Transport Nursing, perawat yang menyertai selama transportasi pasien.
4) Military nurses, perawat yang memberikan perawatan sebagai bagian
pelayanan militer.
5) Industrial nursing & Occupational health nursing, perawatan yang
memberikan pelayanan keperawatan di perusahan-perusahaan.
6) Correctional nursing, perawat yg memberikan perawatan di penjara.
b. Peran Keahlian Khusus dalam Keperawatan Gawat Darurat
1) Nurse Educator, perawat yg bertanggungjawab untuk kebutuhan
pendidikan bidang kegawatdaruratan, meliputi pendidikan pasien dan
komunitas.

9
2) Emergency Nurse Practitioner (ENP), perawat praktisi spesialis yang
memberikan tindakan perawatan lanjutan.
3) Emergency clinical nurse specialist (ECNS), perawat ini dapat
memberikan perawatan terhadap pasien secara langsung, memberikan
pendidikan, mengembangkan, dan melakukan penelitian, sebagai role model
dan change agent pada bidang kegawatdaruratan.
4) Case manager, memberikan perawatan terhadap individu atau kelompok
pasien. Perawat ini berinteraksi dengan banyak departemen dan agensi di luar
rumah sakit untuk membantu pasien, keluarga, dan staf unit kegawatdaruratan
dengan isu-isu perawatan seperti masalah-masalah kesehatan rumah,
ketergantung obat, dan psikiatrik.
6. Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat
Merupakan sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri
dari unsur, pelayanan pra rumah sakit (pre hospital), pelayanan di rumah sakit (in
hospital) dan antar rumah sakit bila diperlukan. Pelayanan berpedoman pada respon
cepat yang menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan
pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan
ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi.
Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat bertujuan untuk
tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu bagi
setiap anggota masyarakat yang berada daam keadaan gawat darurat. Upaya
pelayanan kesehatan pada penderita gawat darurat pada dasarnya mencakup suatu
rangkaian kegiatan yang harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu
mencegah kematian atau cacat yang mungkin terjadi (Mizam, 2012).
Sistem penanggulangan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah adalah
Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Terpadu terbagi menjadi SPGDT-
S (sehari-hari) dan SPGDT-B (bencana). SPGDT-S adalah rangkaian upaya
pelayanan gawat darurat yang saling terkait yang dilaksanakan ditingkat Pra Rumah
Sakit – di Rumah Sakit – antar Rumah Sakit dan terjalin dalam suatu sistem.
Bertujuan agar korban/ pasien tetap hidup.
SPGDT-B adalah kerja sama antar unit pelayanan pra rumah sakit dan
rumah sakit dalam bentuk pelayananan gawat darurat terpadu sebagai khususnya

10
pada terjadinya korban massal yang memerlukan peningkatan kegiatan pelayanan
sehari-hari. Bertujuan umum untuk menyelamatkan korban sebanyak banyaknya,
mencegah kematian dan cacat, hingga dapat hidup dan berfungsi kembali didalam
masyarakat, merujuk melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang
lebih memadai, menanggulangi korban bencana.
7. Alur Kegiatan

Bagan 1.1 Alur Kegiatan di Ruang Gawat Darurat


(Kemenkes RI, 2012)
2.2 Konsep Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Pre Hospital
Sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur
pelayanan pra rumah sakit (pre hospital), pelayanan di rumah sakit (in hospital).

11
Tujuan dari pelayanan keperawatan gawat darurat pre hospital adalah mencegah
kematian dan cacat (to save life and limb) pada penderita gawat darurat, hingga
dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya dan
memperoleh penanganan yang memadai.
Dampak yang ditimbulkan akibat suatu penyakit, kecelakaan, musibah,
bencana adalah penurunan fungi organ, sistem organ, kecacatan, dampak bencana
atau kecelakaan yang berupa fisik, psikis, sosial, material dan ekonomi serta
kerusakan infrastruktur. Dampak fisik yang sering ditemukan pada kondisi tersebut
adalah gangguan jalan nafas, gagal pernafasan, perdarahan tidak terkontrol, trauma
dan kondisi non-trauma lain yang terkadang juga dapat menimbulkan kematian.
Semua kondisi tersebut membutuhkan manajeman pre hospital bencana yang tepat
dan cepat dari tenaga kesehatan dalam memberikan respon (Mizam, 2012).
Manajemen pre hospital adalah pemberian pelayanan yang diberikan selama
korban pertama kali ditemukan, selama proses transportasi hingga pasien tiba di
rumah sakit. Penanganan koban selama fase pre hospital dapat menjadi penentu
kondisi korban selanjutnya. Pemberian perawatan pre hospital yang tepat dan cepat
dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat trauma (WHO, 2005).
Peran perawat dalam tahap pre hospital dimulai sejak terjadinya bencana (fase
tanggap darurat), selama proses transportasi hingga pasien tiba di rumah sakit
rujukan baik itu rumah sakit lapangan mauapun rumah sakit rujukan. Perawat juga
berperan sebagai fasilitator komunikasi dan koordinasi antara tim tenaga kesehatan,
korban dan keluarga. Komunikasi yang jelas dan tepat selama proses penanganan
korban bencana menjadi hal yang sangat penting dalam perencanaan dan respon
terhadap bencana. Komunikasi dapat berupa komunikasi verbal dan non verbal baik
melalui elektronik maupun dokumentasi keperawatan (AWHONN, 2012).
Pelayanan yang dapat diberikan pada tahap pre hospital adalah langkah-
langkah pertolongan dasar dan dilanjutkan dengan penanganan advanced pre
hospital. Pertolongan dasar dimulai dari initial assasment pada korban, evakuasi
korban, pemberian oksigenasi, pemantauan kondisi pasien, dan perawatan luka.
Perawatan kemudian dilanjutkan dengan penanganan advanced pre hospital seperti
pemberian terapi cairan, krikotiroidektomi, intubasi endotrakeal, dan perawatan

12
selama proses transportasi pasien ke rumah sakit. Selain itu, selama proses transport
juga dibutuhkan monitoring dan observasi kondisi pasien (WHO, 2005).
1. Pertolongan Dasar Manajemen Pelayanan Keperawatan Pre Hospital
a. Initial Assesment
Pelayanan keperawatan kegawatdaruratan dilakukan untuk menangani
masalah mengancam nyawa yang harus segera dilakukan tindakan serta
mengidentifikasi semua penyakit atau masalah yang berkaitan dengan keluhan
pasien. Pengkajian awal yang dilakukan secara terfokus dan berkesinambungan
akan menghasilkan data yang dibutuhkan untuk menolong dan merawat pasien
sebaik mungkin. Dalam melakukan pengkajian dibutuhkan kemampuan kognitif,
psikomotor, interpersonal, etik, dan kemampuan menyelesaikan masalah dengan
baik dan benar.
Sumber daya yang minimal diharapkan dapat menyelamatkan korban
sebanyak mungkin. Oleh karena itu, perlunya partisipasi masyarakat secara
berkesinambungan guna mengurangi dampak yang ditimbulkan dari suatu
penyakit atau bencana melalui suatu aktifitas manajemen proaktif yang tepat
pada proses initial assesment dalam triage guna memberikan pertolongan yang
benar, baik bencana massal maupun di rumah sakit pada ruang gawat darurat
agar hasilnya dapat sesuai, efektif dan maksimal.
1) Definisi Triage
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus
dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia,
peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau
menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan
prioritas penanganannya (Kathleen dkk, 2008).
Triage suatu proses penggolongan pasien berdasarkan tipe dan tingkat
kegawatan kondisinya (Zimmermann dan Herr, 2006). Triage juga diartikan
sebagai suatu tindakan pengelompokkan penderita berdasarkan pada beratnya
cedera yang diprioritaskan ada tidaknya gangguan pada airway (A), breating
(B), dan circulation (C) dengan mempertimbangkan sarana, sumber daya
manusia, dan probabilitas hidup penderita.
2) Tujuan Triage

13
Tujuan dari triage adalah Mengidentifikasi kondisi yang mengancam
nyawa; Memprioritaskan pasien menurut kondisi keakutannya (morbiditas,
mortalitas, kecacatan); Menempatkan pasien sesuai dengan keakutannya
berdasarkan pada pengkajian yang tepat dan akurat; Mengidentifikasi pasien
terhadap pemberian label; Menggali data yang lengkap tentang keadaan
pasien (Kartikawati, 2011).
3) Prinsip Triage
Prinsip dasar pada triage adalah “Time Saving is Life Saving (respon
time diusahakan sesingkat mungkin) dan The Right Place at The Right Time,
with The Right Care Provider yaitu: Triage harus dilakukan dengan segera
dan singkat. Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan
penyakit yang mengancam kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting
di departemen kegawatdaruratan dan sebaiknya tidak lebih dari 60 detik
setiap pasien. Kemampuan untuk menilai dan merespons dengan cepat
kemungkinan yang dapat menyelamatkan pasien dari kondisi sakit atau
cedera yang mengancam nyawa dalam departemen gawat darurat
(Kartikawati, 2011).
Pengkajian harus dilakukan secara adekuat dan akurat yaitu
keakuratan dan ketepatan data merupakan kunci dalam proses pengkajian
dimana keputusan dibuat berdasarkan pengkajian. Tanggung jawab yang
paling utama dari proses triage yang dilakukan perawat adalah keakuratan
dalam mengkaji pasien dan memberikan perawatan sesuai dengan prioritas
pasien. Hal ini termasuk intervensi terapeutik dan prosedur diagnostik dan
tugas terhadap suatu tempat yang dapat diterima untuk suatu pengobatan.
Pengambilan keputusan dalam proses triage dilakukan berdasarkan: Ancaman
jiwa mematikan dalam hitungan menit; Dapat mati dalam hitungan jam;
Trauma ringan; Sudah meninggal.

4) Klasifikasi Triage
Sistem klasifikasi mengidentifikasi tipe pasien yang memerlukan
berbagai level perawatan. Prioritas didasarkan pada pengetahuan, data yang
tersedia, dan situasi terbaru yang ada. Huruf atau angka yang sering

14
digunakan antara yaitu: Prioritas 1 atau emergency ; Prioritas 2 atau urgent;
Prioritas 3 atau non urgent. Banyak tipe dari klasifikasi triage yang digunakan
pada pre-hospital ataupun hospital.
5) Triage Pre-Hopsital
Triage pada musibah massal atau bencana dilakukan dengan tujuan
bahwa dengan sumber daya yang minimal dapat menyelamatkan korban
sebanyak mungkin. Pada musibah massal, jumlah korban puluhan atau
mungkin ratusan, di mana penolong sangat belum mencukupi baik sarana
maupun penolongnya sehingga dianjurkan menggunakan teknik Simple
Triage and Rapid Treatment (START).
a) Metode Simple Triage and Rapid Treatment (START)
Metode START dikembangkan untuk penolong pertama yang
bertugas memilah pasien pada korban musibah massal atau bencana
dengan waktu 30 detik atau kurang berdasarkan tiga pemeriksaan primer
yaitu Respirasi (R); Perfusi atau sirkulasi (dengan mengecek nadi radialis)
(P); Status Mental (M).
Hal yang penting untuk diperhatikan adalah tidak melakukan
tindakan terapi pada korban yang akan dilakukan triage. Tugas utama
penolong triage adalah untuk memeriksa pasien secepat mungkin dan
memilah atau memprioritaskan pasien berdasarkan berat ringannya cedera.
Penolong tidak boleh berhenti saat melakukan pengkajian kecuali untuk
mengamankan jalan napas dan menghentikan perdarahan yang terjadi.
Selain melakukan triage (pemilahan korban), penolong lain akan
melakukan follow up dan perawatan jika diperlukan di lokasi.
Apabila penolong lain sudah datang ke lokasi kejadian, maka
korban akan dilakukan re-triage (dengan pemeriksaan yang lebih lengkap
untuk mengenali kegawatan yang mungkin terjadi), evaluasi lebih lanjut,
resusitasi, stabilisasi dan transportasi. Re-triage dilakukan dengan
menggunakan pemasangan label Metag Sistem yang sudah mencantumkan
identitas dan hasil pemeriksaan terhadap korban.
Pasien diberi label sehingga akan mudah dikenali oleh penolong
lain saat tiba di tempat kejadian. Metode pemasangan label mungkin

15
berbeda di setiap pusat kesehatan, dapat berupa pita atau kertas berwarna
untuk melabeli korban. Pasien dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Korban kritis atau immediate diberi label merah atau kegawatan
yang mengancam nyawa (priortas 1) Immediate Untuk
mendeskripsikan pasien dengan luka parah diperlukan transportasi
segera ke rumah sakit. Kriteria pada pengkajian adalah respirasi > 30
x/menit, tidak ada nadi radialis, tidak sadar/ penurunan kesadaran.
2. Tertunda atau delay diberi label kuning atau kegawatan yang
tidak mengancam nyawa dalam waku dekat (prioritas 2) Delayed
Untuk mendeskripsikan cedera yang tidak negancam nyawa dan dapat
menunggu pada periode tertentu untuk penatalaksanaan dan transportasi
dengan kriteria yaitu respirasi < 30 x/menit, nadi teraba, status mental
normal.
3. Korban luka yang masih dapat berjalan diberi label hijau atau
tidak terdapat kegawatan/penanganan dapat ditunda (prioritas 3) Minor
Penolong pertama di tempat kejadian akan memberikan instruksi verbal
untuk pergi ke lokasi yang aman dan mengkaji korban dari trauma, serta
mengirim ke rumah sakit.
4. Meninggal diberi label hitam atau tidak memerlukan penanganan
Dead
Tahapan metode START yaitu langkah pertama adalah dengan
aba-aba (loudspeaker) memerintahkan pada korban yang dapat berdiri
dan berjalan bergerak ke lokasi tertentu yang lebih aman. Jika pasien
dapat berdiri dan berjalan, maka bisa disimpulkan bahwa sementara
tidak terdapat gangguan yang mengancam jiwa pada korban-korban
tersebut. Jika korban mengeluh nyeri atau menolak untuk berjalan
jangan dipaksa untuk berpindah tempat. Pasien yang dapat berjalan
dikategorikan sebagai Minor.
Langkah kedua, pasien yang tidak berdiri dan bergerak adalah
yang menjadi prioritas pengkajian berikutnya. Bergerak dari tempat
berdiri penolong secara sistemais dari korban satu ke korban lain.
Lakukan pengkajian secara singkat (kurang dari 1 menit setiap pasien)
dan berikan label yang sesuai pada korban tersebut. Ingat tugas

16
penolong adalah untukmenemukan pasien dengan label merah
immediate yang membutuhkan pertolongan segera, periksa setiap
korban koreksi gangguan airway dan breathing yang mengancam
nyawa dan berikan label merah pada korban tersebut.

Gambar 1. Simple Triage and Rapid Treatment (START)


b) Evaluasi Penderita Berdasarkan RPM
START tergantung pada tiga pemeriksaan meliputi: RPM-
respiration, perfusion and mental status. Masing-masing pasien harus
dievaluasi secara cepat dan sistematis, dimulai dengan pemeriksaan
respirasi (breathing).
1. Airway-Breathing
Jika pasien bernapas, maka diperlukan pemeriksaan respirasi rate.
Pasien dengan pernapasan lebih dari 30 kali per menit, diberikan
label merah Immediate (immediare). Jika pasien berpanas dalam laju
pernapasan kurang dari 30 x/menit, pemeriksaan dilanjutkan dengan
pemeriksaan sirkulasi dan mental status pasien untuk dilakukan
pemeriksaan secara lengkap dalam 30 detik. Jika pasien tidak
bernapas, secara cepat bersihkan mulut pasien dari kemungkinan
benda asing. Gunakan teknik head tilt chin lift untuk membuka jalan
napas. Peralatan bantu jalan napas (airway) sederhana seperti

17
orofaring airway dapat digunakan. Selama mengamankan jalan
napas harus dilindungi servikal terutama pada pasien dengan
multipel trauma. Buka jalan napas, jika pasien dapat bernapas,
pasangkan dengan label Immediate. Pasien yang mebutuhkan jalan
napas dipertahankan pasangkan dengan label merah Immediate. Jika
pasien tidak bernapas dan tidak mulai bernapas ketika dilakukan
pembebasan jalan napas dengan airway manuver sederhana, maka
pasien diberi label hitam Dead.
2. Circulation
Langkah kedua pada START yaitu dengan menilai sirkulasi dari
psien. Metode terbaik pada pemeriksaan sirkulasi yaitu dengan
meraba pergelangan tangan dan merasakan pulsasi dari arteri
radialis. Pengecekan dilakukan dalam 5 – 10 detik. Jika pulsasi arteri
radialis tidak dijumpai, maka pasien diberikan lebl merah
Immediate. Jika pulsasi arteri radialis dijumpai, maka dilajutkan
pemeriksaan akhir dengan menilai status pasien. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara lain yaitu dengan menilai capillary refill time,
jika didapatkan hasil lebih dari 2 detik, maka pasien diberi label
merah.
3. Mental Status
Akhir dari pemeriksaan adalah dengan menilai status mental pasien.
Observasi ini dilakukan pada pasien dengan pernapasan dan sirkulasi
yang adekuat. Tes mental status yaitu dengan meminta pasien untuk
mengikuti perintah yang sederhana. “Buka matamu, tutup matamu,
genggam tangan saya”. Pasien yang dapat mengikuti perintah
sederhana diberikan label kuning Delayed, sedangkan pasien yang
tidak responsif terhadap perintah sederhana diberikan label merah
Immediate. Sistem START ini didesain untuk membantu penolong
menemukan pasien dengan cedera paling berat. Ketika penolong lain
telah tiba dilokasi, maka pasien akan dilakukan triage ulang untuk
pemeriksaan lebih lanjut, stabilisasi, dan transportasi. Harap diingat
bahwa pasien dengan cedera dapat mengalami perubahan tanda-
tanda vital.

18
Pada saat jumlah penolong memungkinkan untuk dilakukan
pemeriksaan yang lebih akurat, maka pengkajian terhadap pasien
dapat dilakukan lebih teliti. Tindakan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan kartu Metag (Medical Emergency Triage Tag) dimana
selain pasien diberi label berdasarkan skala prioritas penanganan,
tanggal dan jam, identias baik korban maupun penolong juga
tercantum. Pemeriksaan lebih lengkap dengan tanda vital dan
pengobatan yang telah diberikan.
Sumber: Kartikawati, (2011)
2. Penanganan Advanced Pre Hospital
Pasien dengan harapan hidup yang kecil dengan tersedianya peralatan dan
tenaga medis yang lebih lengkap diharapkan dapat ditingkatkan harapan hidupnya.
Namun apabila tenaga medis dan perlengkapan tidak dapat memenuhi kebutuhan
dari pasien, misalnya pada bencana yang melibatkan banyak korban, tenaga medis
dapat memutuskan untuk lebih memberikan perhatian pada pasien dengan cedera
berat yang harapan hidupnya lebih besar sesuai dengan etika profesional. Hal inilah
yang menjadi tujuan dari triage lanjutan (Yin, 2011).
Pemantauan pada triage lanjutan dapat menggunakan Revised Trauma Score
(RVT) dengan parameter: kesadaran (Glasgow Coma Scale/ GCS), tekanan darah
sistolik (dapat menggunakan per palpasi untuk mempercepat pantauan), dan
frekuensi pernapasan, tabel adalah sebagai berikut:

Glasgow Coma Scale Sistolic Pressure Respiratory Rate


GCS Point SBP Point RR Point
15-13 4 > 89 4 10-30 4
12-9 3 76-89 3 > 30 3
8-6 2 50-75 2 6-9 2
5-4 1 1-49 1 1-5 1
3 0 0 0 0 0
Kesimpulan hasil penilaian RVT adalah dengan penilaian jumlah score, apabila
score 12 adalah delayed; Score 11 adalah urgent/ dapat ditunda; Score 4-10 artinya
immediate, memerlukan penatalaksanaan sesegera mungkin; Score 0-3 yaitu
morgue, cedera serius yang tidak lagi memerlukan tindakan darurat.

19
Ada beberapa variasi dari pedoman dalam penentuan triage lanjutan yaitu dengan
menggunakan 5 macam warna:
Kategori Makna Konsekuensi Contoh
Lesi yang melibatkan
Mengancam Penanganan dan transportasi arteri, pendarahan organ
T1 (I)
jiwa sesegera mungkin dalam, trauma amputasi
mayor
Observasi ketat, penanganan Trauma amputasi minor,
T2 (II) Cedera berat secepatnya, transport cedera jaringan lunak,
sedapat mungkin fraktur dan dislokasi
Ditangani bila
Cedera minor
memungkinkan, transport Laserasi minor, abrasi
T3 (III) atau tidak
dan evakuasi bila jaringan lunak, cedera otot
cedera
memungkinkan
Harapan Observasi dan bila Cedera berat, pendarahan
T4 (IV) hidup kecil memungkinkan pemberian berat, pemeriksaan
atau tidak ada analgetik neurologis negatif
Menjaga jenazah,
T5 (V) Meninggal Dead on arrival
identifikasi

2.3 Konsep Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat In Hospital


Pelayanan gawat darurat di tingkat rumah sakit adalah suatu sistem terpadu
yang bertujuan menyelamatkan kehidupan penderita, sering dimanfaatkan hanya
untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat
jalan. Pendekatan pelayanan keperawatan gawat darurat, perawatan didasarkan
pada pengetahuan dasar-dasar keperawatan dan tambahan pelatihan PPGD
penderita gawat darurat, Advance Trauma Life Support (ATLS), serta mampu
melakukan resusitasi dari semua sistem tubuh dan prinsip tindakan pelayanan
keperawatan dalam memberikan pertolongan pasien dengan tepat, cermat, dan
cepat yaitu melakukan tindakan dengan betul dan benar, melakukan tindakan
dengan penuh minat, perhatian, sabar, tanggap terhadap keadaan pasien, penuh
ketelitian dan berhati-hati dalam bertindak serta hemat sesuai dengan kebutuhan;
Cepat adalah tindakan segera dalam waktu singkat dapat menerima dan menolong
pasien, cekatan, tangkas serta terampil.
1. Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat di Instalasi Gawat Darurat (IGD)

20
Pelayanan Gawat Darurat (Emergency Care) adalah bagian dari pelayanan
kedokteran yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera (imediately) untuk
menyelamatkan kehidupannya (life saving). Instalasi Gawat Darurat adalah salah
satu bagian di rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang
menderita sakit dan cedera, yang dapat mengancan kelangsungan hidupnya. Di IGD
dapat ditemukan dokter dari berbagai spesialisasi bersama sejumlah perawat dan
juga asisten dokter. salah satu ujung tombak pelayanan kesehatan di sebuah rumah
sakit. Setiap rumah sakit pasti memiliki layanan IGD yang melayani pelayanan
medis 24 jam.
Tujuan dari pelayanan gawat darurat ini adalah untuk memberikan
pertolongan pertama bagi pasien yang datang dan menghindari berbagai resiko,
seperti: kematian, menanggulangi korban kecelakaan, atau bencana lainnya yang
langsung membutuhkan tindakan. Pelayanan pada Instalasi Gawat Darurat untuk
pasien yang datang akan langsung dilakukan tindakan sesuai dengan kebutuhan dan
prioritasnya. Bagi pasien yang tergolong emergency (akut) akan langsung dilakukan
tindakan menyelamatkan jiwa pasien (life saving). Bagi pasien yang tergolong tidak
akut dan gawat akan dilakukan pengobatan sesuai dengan kebutuhan dan kasus
masalahnya yang setelah itu akan dipulangkan kerumah.
Menurut Kementerian Kesehatan R.I. (2011), komponen dan indikator
standar pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit adalah:
a. Standar I : Perencanaan Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
1) Ketenagaan
Perencanaan ketenagaan perawat gawat darurat mencakup kebutuhan tenaga,
peran dan fungsi tenaga perawat gawat darurat serta kualifikasi tenaga
perawat berdasarkan kompetensi yang telah ditentukan.
2) Sarana, Prasarana dan Peralatan IGD di Rumah Sakit.
Tersedianya sarana, prasarana, peralatan kesehatan dan logistik untuk
menjamin terlaksananya pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit
yang berkualitas, efektif dan efisien.
b. Standar II : Pengorganisasian Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat.
Pengorganisasian pelayanan keperawatan gawat darurat di instalasi gawat
darurat (IGD) harus memberikan pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari
dalam seminggu. Pengorganisasian pelayanan keperawatan gawat darurat

21
didasarkan pada organisasi fungsional yang terdiri dari unsur pimpinan dan
unsur pelaksana yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan terhadap
pasien gawat darurat dengan tujuan tercapainya mutu pelayanan IGD Rumah
Sakit yang optimal.
c. Standar III : Pelaksanaan Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
Pelaksanaan pelayanan keperawatan gawat darurat dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan gawat darurat dengan cepat, tepat, dan cermat
sesuai standar untuk penyelamatan nyawa dan mencegah kecacatan.
d. Standar IV : Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek
keperawatan kegawatdaruratan diberikan oleh perawat yang kompeten untuk
memberikan asuhan keperawatan di IGD rumah sakit. Proses keperawatan terdiri
atas lima langkah meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan
keperawatan, intervensi keperawatan dan evaluasi keperawatan.
e. Standar V : Pembinaan Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
Pembinaan pelayanan keperawatan gawat darurat meliputi pembinaan terhadap
manajemen keperawatan, penerapan asuhan keperawatan, peningkatan
pengetahuan serta keterampilan keperawatan gawat darurat di Rumah Sakit
secara berkesinambungan.
f. Standar VI : Pengendalian Mutu Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
Pemantauan, penilaian pelayanan keperawatan serta tindak lanjutnya yang
dilakukan secara terus menerus untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan
gawat darurat. Pengendalian mutu pelayanan keperawatan menjamin
keselamatan, menurunkan angka kematian dan kecacatan serta meningkatkan
kepuasan pasien.
Prinsip utama dalam pelayanan di IGD adalah respone time baik standar
nasional maupun standar internasional. Di IGD harus ada organisasi yang baik dan
lengkap, baik pembiayaan, SDM yang terlatih, sarana dengan standar yang baik,
sarana medis maupun non medis dan mengikuti perkembangan teknologi. Pada
pelayanan keperawatan gawat darurat di IGD, bahwa keberhasilan pertolongan
pada fase rumah sakit sangat ditentukan oleh pertolongan pada fase pra rumah sakit
sebelumnya. Oleh karena itu antara penanganan pasien pada fase pra rumah sakit

22
dan fase rumah sakit harus berkesinambungan dalam suatu sistem. Sangat penting
bagi petugas pra rumah sakit untuk memilih rujukan rumah sakit yang tepat, sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan pasien.
Perawat IGD bertanggung jawab dalam menentukan prioritas perawatan
pada pasien. Keakutan dan jumlah pasien, skill perawat, ketersediaan peralatan dan
sumber daya dapat menentukan seting prioritas. Pengkajian primer dilakukan untuk
menangani masalah mengancam nyawa yang harus segera dilakukan tindakan,
sedangkan pengkajian sekunder bertujuan mengidentifikasi semua penyakit atau
masalah yang berkaitan dengan keluhan pasien. Pengkajian yang dilakukan secara
terfokus dan berkesinambungan akan menghasilkan data yang dibutuhkan untuk
merawat pasien sebaik mungkin. Dalam melakukan pengkajian dibutuhkan
kemampuan kognitif, psikomotor, interpersonal, etik, dan kemampuan
menyelesaikan masalah dengan baik dan benar. Perawat harus memastikan bahwa
data yang dihasilkan tersebut harus dicatat, dapat dijangkau, dan dikomunikasikan
dengan petugas kesehatan yang lain. Tujuan pengkajian pasien ini adalah untuk
memberikan panduan pengkajian yang dapat diterapkan pada semua pasien yang
dirawat di Instalasi Gawat Darurat (Rab, 2007).
a. Triage in Hospital
1) Triage
Berdasarkan Emergency Nurses Association (ENA) sistem triage terbagi
menjadi tiga tipe, yaitu sebagai berikut:
a) Tipe 1
Triage tipe 1 dilaksanakan oleh tenaga non-perawat, tipe ini merupakan
sistem yang paling dasar. Seorang penyedia layanan kesehatan ditunjuk
menyambut pasien, mencatat keluhan yang sedang dirasakan pasien dan
berdasarkan dari anamnesis ini petugas tersebut membuat keputusan, apakah
pasien sakit atau tidak. Pasien yang masuk dalam kategori sakit akan dibawa ke
ruang perawatan dan diperiksa langsung. Pada sistem triage tipe 1, catatan
tentang status pasien terbatas dan mungkin hanya terdiri atas nama pasien dan
keluhan utama sehingga hasil dari pendekatan sistem triage ini kurang
profesional karena penempatan staf yang berada di pintu depan/ penerimaan
pasien tidak memenuhi kriteria atau standar sehingga banyak pasien yang
berisiko tinggi tidak tertangani dengan benar atau bahkan tidak tertangani.

23
Sistem triage ini tidak memenuhi standar praktik keperawatan gawat darurat
(Standard of Emergency Nursing Practice) dari ENA.
b) Tipe 2
Pada sistem triage tipe 2, triage dilakukan oleh perawat berpengalaman
(Registered Nurse/ RN) atau dokter yang bertugas di ruang triage. Pasien segara
dilakukan tindakan pertolongan cepat oleh petugas profesional yang berada di
ruang triage. Data subjektif dan objektif terbatas pada keluhan utama.
Berdasarkan hal tersebut pasien diputuskan masuk dalam tingkatan: gawat
darurat, darurat atau biasa. Rumah sakit yang menggunakan sistem triage ini
harus memiliki standar prosedur triage sebagai pedoman dalam penentuan status
kegawatdaruratan pasien.
c) Tipe 3
Sistem triage tipe 3/ triage komprehensif adalah tipe triage yang
memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan sistem triage yang lain.
Sistem triage tipe 3 merupakan proses triage yang disarakan oleh ENA dalam
praktik keperawatan darurat. Perawat berlisensi yang bertugas di unit gawat
darurat memilah pasien dan menentukan prioritas perawatan. Perawat yang
bertugas di ruang triage ialah perawat yang telah berpengalaman dan dinyatakan
lulus uji kompetensi proses orientasi triage. Sistem triage ini memiliki
kebijakan, prosedur dan standar yang digunakan sebagai pedoman. Proses
pengkajian melibatkan pengumpulan data subjektif dan objektif. Tujuan tindakan
triage komprehensif adalah mengumpulkan keterangan penting dalam
mendukung keputusan penentuan prioritas. Tingkatan penentuan triage
bergantung pada institusi atau rumah sakit, apakah rumah sakit tersebut
menggunakan sistem bertingkat tiga, empat, atau lima. Perawat triage akan
mencatat hasil pengkajian awal dalam rekam medis dan mengkaji ulang pasien
sesuai dengan kondisinya. ENA menyarankan pendekatan sistem triage ini
dilakukan tidak lebih dari 2-5 menit.

2) Sistem Tingkat Kedaruratan Triage


Sistem tingkat kedaruratan ditinjau berdasarkan banyak hal, tetapi yang
terpenting adalah dua hal yaitu validitas dan reliabilitas. Validitas ialah tingkat
akurasi sistem kedaruratan. Apakah triage yang dilakukan sudah sesuai dengan

24
standar, apakah tingkatan triage yang berbeda juga membedakan tingkat
kedaruratannya. Sementara itu, reliabilitas ialah mengacu pada derajat
konsistensi. Apakah perawat triage yang berbeda yang menangani pasien yang
sama menentukan tingkat kedaruratan yang sama pula. Hal penting lainnya ialah
kriteria setiap tingkatan triage haruslah konsisten (Kartikawati, 2011).
Sistem tingkat kedaruratan triage mempunyai arti yang penting karena
triage merupakan suatu proses mengomunikasikan kondisi kegawatdaruratan
pasien di dalam IGD. Jika data hasil pengkajian triage dikumpulkan secara
akurat dan konsisten, maka suatu IGD dapat menggunakan keterangan tersebut
untuk menilai dan menganalisis, serta menentukan suatu kebijakan seperti
berapa lama pasien dirawat di IGD, berapa hari pasien harus dirawat di rumah
sakit jika pasien diharuskan untuk rawat inap, dan sebagainya (Kartikawati,
2011).
3) Kategori Triage
a) Triage dua tingkat
Dalam sistem triage dua tingkat, pasien dikategorikan “sakit” atau
“tidak sakit”. Pasien yang sakit membutuhkan perawatan darurat dengan
kondisi yang membahayakan nyawa, tubuh atau organ. Sementara itu,
pasien yang tidak sakit ialah pasien yang tidak menunjukkan tanda-tanda
serius, bisa menunggu jika perawatan sedikit tertunda.
b) Triage tiga tingkat
Pengkategorian dapat ditentukan berdasarkan warna (merah,
kuning, hijau) atau pemberian nomor (kategori 1, 2, 3), tetapi pada
dasarnya kategori tersebut merujuk pada kondisi: (1) Gawat darurat yaitu
suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh gangguan Airway,
Breathing, Circulation-(ABC). Pasien membutuhkan tindakan yang cepat.
Keluhan utama adalah berdasarkan pada ancaman serius terhadap nyawa,
tubuh atau organ, misalnya serangan jantung, trauma berat, gagal napas,
cardiac arrest, trauma mayor abdomen dengan perdarahan hebat. Respon
pasien harus diperhatikan dan perlu dilakukan observasi secara terus-
menerus. (2) Darurat yaitu suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa
tapi memerlukan penanganan cepat dan tepat. Pasien membutuhkan
tindakan segera, tetapi pasien masih memungkinkan menunggu beberapa

25
jam jika mampu. Mialnya: nyeri abdomen, fraktur dan batu ginjal.
Disarankan untuk melakukan observasi setiap 30 menit. (3) Biasa-tidak
gawat darurat yaitu setelah pasien dilakukan pengkajian, karena kondisi
pasien tidak kritis, maka pasien dapat menunggu. Biasanya pasien berada
di ruang ambulatory care, misalnya: konjungtivits, gangguan di
tenggorokan, kulit dan sebagainya. Dilakukan observasi setiap 1 sampai 2
jam.
c) Triage empat tingkat
Penggunaan sistem triage ini dilakukan dengan menambahkan
status life threatening (ancaman nyawa/ gawat) selain status gawat darurat,
darurat dan biasa yaitu suatu keadaan yang mengancam nyawa dan
kecacatan yang memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat, misalnya
pasien kanker tahap lanjut, sickle cell.
d) Triage lima tingkat
Berdasarkan kebijakan yang telah disepakati antara American
College of Emergency Physicians (ACEP) dan ENA pada tahun 2003,
meyakini bahwa kualitas pelayanan pasien akan bertambah dengan
menerapkan skala triage terstandar dan proses kategori akuitas. Pada skala
ini ada penambahan level yaitu tingkat I yang berarti gawat darurat
tertinggi dan tingkat 5 untuk pasien dengan kondisi yang paling ringan.
4) Respon Time
Berdasarkan uraian diatas, secara prosedural proses triage dimulai
ketika pasien masuk ke pintu IGD. Perawat triage harus mulai
memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan
pengkajian, misalnya melihat sekilas kearah pasien berada di brankar sebelum
mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan
cepat, tidak lebih dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk
pengkajian perawat utama. Perawat triage bertanggung jawab Untuk
menempatkna pasien di area pengobatan yang tepat, misalnya bagian trauma
dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor jantung dan tekanan
darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah
triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya
sekali setiap 60 menit.

26
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau
gawat darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit / lebih bila perlu. Setiap
pengkajian ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi
baru dapat mengubah kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area
pengobatan. Misalnya kebutuhan Untuk memindahkan pasien yang awalnya
berada di area pengobatan minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien
tampak mual atau mengalami sesak nafas, sinkop atau diaphoresis (Iyer,
2004).
Bila kondisi pasien datang sudah tampak tanda-tanda objektif bahwa
ia mengalami gangguan pada airway, breathing atau circulation, maka pasien
ditangani terlebih dahulu. Pengkajian awal didasarkan atas data objektif dan
data subjektif sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik,
data pengkajian kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal dari
pasien (data primer).
b. Primary survey and Resuscitation Interventions
Penilaian dan tindakan awal yang harus dilakukan pada klien yang masuk
ke IGD terutama klien yang mengalami ancaman kematian, meliputi penilaian
kondisi dan tindakan pada jalan nafas (Airway), pernafasan (Breathing), sirkulasi
(Circulation), Disability, Exposure/ Environment. Komponen-komponen tersebut
dikenal dengan prinsip ABCDE.
c. Secondary Survey and Resucitation Interventions (Head to toe
assesment)
Penilaian ulang kondisi klien berdasarkan prinsip-prinsip ABCDE
dilanjutkan dengan pemeriksaan klien secara komprehensif (head to toe) untuk
mengidentifikasi masalah keperawatan yang sebenarnya serta penyebab yang
mendasarinya.
d. Care of the Emergency Department Client
Berbagai jenis kasus penyakit dan injuri dari mulai kasus yang
mengancam kematian, memerlukan pertolongan segera sampai pada kasus yang
tidak gawat dan tidak darurat ada di unit gawat darurat, hal ini menuntut perawat
gawat darurat untuk memiliki kompetensi dalam menangani kasus

27
kegawatdaruratan serta kompetensi dalam memberikan perawatan umum pada
kasus-kasus yang tidak gawat dan tidak darurat.
e. Disposition
Disposisi merupakan penempatan klien berdasarkan hasil pemeriksaan,
apakah klien memerlukan perawatan di rumah sakit atau dipulangkan ke rumah.
Tindakan ini seharusnya merupakan tindakan kolaboratif antara perawat dan
dokter.
f. Case Management
Perawat sebagai pengelola kasus (case manager) dapat menyaring klien
dan terlibat ketika diperlukan untuk menyusun penyerahan dan tindak lanjut
yang tepat. Selain itu case manager dapat bekerja dengan staf lain untuk
merencanakan disposisi tunawisma, menempatkan lingkungan aman. Untuk
korban kekerasan rumah tangga atau elder abuse, dan memberikan informasi
terhadap pelayanan perencanaan program dan asuransi kesehatan.
g. Client/ family Health Teaching
Perawat melakukan pendidikan kesehatan pada klien dan keluarga yang
akan dilakukan pemulangan terkait dengan kondisi klien meliputi penilaian awal
kondisi kegawatan, serta penanganan awal yang harus dilakukan oleh klien dan
keluarga sebelum datang bantuan tenaga kesehatan.
2. Komponen Pelayanan Instalasi Gawat Darurat
a. Organisasi, administrasi, catatan medis
Instalasi Gawat Darurat harus mampu memuhi kebutuhan masyrakat dalam
penanggulangan penderita gawat darurat, oleh karena itu dibutuhkan SDM yang
berkompeten seperti:
1) Harus memiliki penanggung jawab IGD (dokter ahli, dokter umum
ataupun perawat) yang memiliki kemampuan sebagai pemimpin serta
kemampuan dalam pengetahuan kegawatdaruratan.
2) Harus ada kerjasama antara IGD dengan unit dan instalasi lain di RS
3) Harus memiliki “Disaster Planning Managemen” Rumah Sakit
4) Dilengkapi dengan sarana ICU
5) Semua penderita yang masuk ke IGD harus melalui “Triase” sebagai
seleksi problem seorang penderita sehari-hari.

28
6) Memiliki penunjang pelayanan medis seperti alat, obat, radiologi,
laboratorium 24 jam, farmasi dan lain-lain.
b. Personalia dan Pimpinan
Personalia IGD mulai dari pimpinan, dokter, perawat dan personalia non medis
harus memenuhi kwalifikasi seperti ilmu kegawatdaruratan. Selain itu jumlah
tenaga medis disesuaikan dengan beban kerja dan kelas Rumah sakit.
c. Fasilitas dan Alat –alat atau Obat-obatan
1) Gedung untuk pelayanan IGD harus mampu menampung 2-5 ambulans
sekaligus tergantung dengan tipe masing-masing RS, memiliki ruang triase,
ruang resusitasi, ruang tindakan, ruang persiapan operasi, ruang X-ray dan
lain-lain.
2) Obat obatan yang tersedia untuk menstabilkan penderita (life Support).
d. Protokol
Protokol penanggulangan penderita gawat darurat harus tertulis dan mutakhir
dan dapat dibaca setiap waktu bagi semua personalia. Serta tersedianya protokol
tentang tiap-tiap penyakit yang ada di masing-masing unit.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Keperawatan Gawat Darurat adalah pelayanan profesional yang didasarkan pada
ilmu dan metodologi keperawatan gawat darurat berbentuk bio-psiko-sosio-spiritual
yang komprehensif ditujukan kepada klien atau penderita yang mempunyai masalah
aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak

29
atau tidak diperkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan dengan tujuan mencegah kematian atau kecacatan yang mungkin
terjadi.
2. Ruang lingkup keperawatan gawat darurat ialah manajemen klien, pelayanan
yang didasarkan pada pengetahuan dan proses penyakit, tindakan yang sistematis,
tindakan yang berdasar pada kemahiran dan body of knowledge.
3. Kompetensi inti dari pelayanan keperawatan gawat darurat ialah Client
Assesment, Priority Setting and Critical Thinking, Knowledge of Emergency Care,
Technical Skills, Communication, Certification.
4. Tugas Keperawatan gawat darurat ialah Urgent care center nursing, Prehospital
Nursing, Transport Nursing, Military nurses, Industrial nursing & Occupational
health nursing, Correctional nursing.
5. Keahlian khusus dalam keperawatan gawat darurat ialah Nurse Educator,
Emergency Nurse Practitioner, Emergency clinical nurse specialist, Case manager.
6. Sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur, pelayanan
pra rumah sakit (pre hospital), pelayanan di rumah sakit (in hospital) dan antar
rumah sakit bila diperlukan.
7. Pelayanan yang dapat diberikan pada tahap pre hospital adalah langkah-langkah
pertolongan dasar dan dilanjutkan dengan penanganan advanced pre hospital.
Pertolongan dasar dimulai dari initial assasment pada korban, evakuasi korban,
pemberian oksigenasi, pemantauan kondisi pasien, dan perawatan luka. Perawatan
kemudian dilanjutkan dengan penanganan advanced pre hospital seperti pemberian
terapi cairan, krikotiroidektomi, intubasi endotrakeal, dan perawatan selama proses
transportasi pasien ke rumah sakit. Selain itu, selama proses transport juga
dibutuhkan monitoring dan observasi kondisi pasien.
8. Pelayanan keperawatan in hospital meliputi pelayanan di instalasi gawat darurat
dengan standar pelayanan keperawatan di instalasi gawat darurat meliputi
perencanaan, pengoranisasian, pelaksanaan pelayanan keperawatan gawat darurat,
asuhan keperawatan, pembinaan pelayanan dan pengendalian mutu pelayanan
keperawatan gawat darurat.
9. Prinsip-prinsip keperawatan instalasi gawat darurat ialah Triage, Primary survey
and Resuscitation Interventions, Secondary Survey and Resuscitation Interventions

30
(Head to toe assesment), Care of the Emergency Department Client, Disposition,
Case Management, Client/family Health Teaching.
10. Komponen pelayanan IGD meliputi Organisasi, administrasi, catatan
medis yaitu harus memiliki penanggung jawab IGD, fasilitas dan alat –alat atau
obat-obatan serta protokol penanganan gawat darurat.

3.2 Saran
Untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan gawat darurat diharapkan
perawat Indonesia khususnya perawat gawat darurat perlu memahami dan
menjalankan prinsip-prinsip kegawatdaruratan, kompetensi inti, ruang lingkup,
standar kompetensi tugas dan keahlian khusus keperawatan gawat darurat,
kompetensi perawat dalam penanggulangan keperawat gawat darurat pra rumah
sakit dan intra rumah sakit atau Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT).

DAFTAR PUSTAKA

Association of Women’s Health Obstetric and Neonatal Nurses (AWHONN). (2012).


The role of the nurse in emergency preparedness. JOGNN. 41: 322-324.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2010). Rencana Nasional


Penanggulangan Bencana 2010-2014. Safe Comunities Through Disaster Risk
Reduction (SC-DRR).

31
Chan, S, S, S., Chan, W., Cheng, Y., Fung, O., Lai, T, K., Leung, A, W, K., Leung, K., Li
Sijian, Yip, A., Pang, S. (2010). Development and Evaluation of an Undergraduate
Training Course for Developing International Council of Nurses Disaster Nursing
Competencies in China. Journal of Nursing Scholarship. 42 (2): 405-413.

College Emergency Nursing Australasia (CENA). 2007. Practice Standards for the
Emergency Nursing Stpecialist. Diakses pada tanggal 22 Februari 2014. Dari
URL: http://cena.org.au/CENA/Documents/Standards.pdf

Emergency Nurse Association. 2010. Sheehy's Emergency Nursing : Principles and


Practice. Elsevier Health Sciences. United Stated America. HIPGABI. 2012. The
1st Upgrading in Emergency Nursing : Knowledge and Skill. Jakarta: HIPGABI

Euis Sunarti (Ed). (2009). Evaluasi Penanggulangan Bencana di Indonesia (Lesson


Learned 2006-2007). Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masayarakat Institust Pertanian Bogor.

Goodwin, V, T (Ed). (2007). Disaster Nursing and Emergency Preparedness: For


Chemical, Biological and Radilogical Terrosism and Other Hazards. Second
Edition. Library of Congress Cataloging. www.ebooke.org

Iyer, P. 2004. Dokumentasi Keperawatan :Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.


Jakarta : EGC

Jones G., Endacott R., Crouch R., 2003. Emergency Nursing Care : Principles and
Practice. Greenwich Medical Media. London

Kartikawati, D., (2011). Buku Ajar Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika

Kementerian Kesehatan R.I. 2009. Pedoman Pelayanan Gawat Darurat. Kemenkes R.I.
Jakarta

32
Kementerian Kesehatan R.I. 2011. Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat.
Kemenkes R.I. Jakarta.
Mizam Ari Kurniyanti. (2012). Peran Tenaga Kesehatan dalam Penanganan Bencana.
Program Studi Keperawatan STIKES Widya Gamahusada. Jurnal Ilmiah
Kesedatan Media Husada I. Vol 01. No. 01. Agustus .

Rab, Thabrani. 2007. Agenda Gawat Darurat (Critical Care) : Jilid 1. Bandung : PT.
Alumni

Raharja, Eddie. (2010). Pengaruh Kompetensi Kepemimpinan dalam Pengorganisasian


Kesiapsiagaan dan Penggerakan Kegawatdaruratan Bencana Terhadap Kinerja
Petugas Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Regional Sumatra Utara.
Universitas Sumatera Utara.

Tim Pro Emergency. 2011 Basic Trauma Life Support (BTLS). Jakarta : Pro Emergency

Toha, M. (2007). Berkawan dengan Ancaman; Strategi dan Adaptasi Mengurangi


Resiko Bencana. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

Training Course for Developing International Council of Nurses Disaster Nursing


Competencies in China. Journal of Nursing Scholarship. 42(4): 405-413.

World Health Organization (WHO). (2005). Pre hospital Trauma Care System.

Yin. H., He. H., Arbon, P., Zhu. J. (2011). A survey of the practice of nurse’s skills in
Wenchuan earthquake disaster sites; implication for disaster training. Journal of
Advanced Nursing. 67(10): 2231-2238.

Zimmermann & Hert. 2006. Triage Nursing Secret. Philadelphia: Elsevier Mosby.

33

Anda mungkin juga menyukai