Anda di halaman 1dari 39

KAJIAN NILAI KEPADATAN TANAH (BULK DENSITY)

DALAM ALIH GUNA LAHAN DARI MONOKULTUR TEBU


MENJADI AGROFORESTRI BERBASIS SENGON DI
KEDUNGKANDANG MALANG

Oleh :
DODDY KURNIAWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2018
RINGKASAN
Doddy Kurniawan. 115040201111117. KAJIAN NILAI KEPADATAN TANAH
(BULK DENSITY) DALAM ALIH GUNA LAHAN DARI
MONOKULTUR TEBU MENJADI AGROFORESTRI BERBASIS
SENGON DI KEDUNGKANDANG MALANG. Di bawah bimbingan Zaenal
Kusuma

Pemadatan tanah adalah penyusunan partikel-partikel padatan di dalam


tanah karena adanya gaya tekan pada permukaan tanah sehingga ruang pori tanah
berkurang. Lahan pertanian di Desa Wonokoyo, Kecamatan Kedungkandang,
Kota Malang banyak terjadi alih guna lahan dari penggunaan lahan yang awalnya
monokultur tebu menjadi agroforestri berbasis sengon. Pada tahun 1960-an di
desa tersebut masyarakatnya menanam komoditas tebu hampir disetiap
pekarangan rumah. Hal tersebut berlansung sampai tahun 2005 produksi tebu di
desa tersebut mengalami penurunan produksi sehingga berdampak pada
perekonomian petani. Mengatasi hal tersebut banyak petani yang beralih fungsi
menanam tanaman sengon. Alasan masyarakat menanam sengon karena
perawatan sengon yang mudah tidak perlu irigasi dan waktu pemupukan yang
tidak berkala. Waktu panen tanaman sengon juga cepat, yaitu sekitar 5-7 tahun.
Pemilihan lahan tanaman sengon di lahan yang jauh dari pemukiman dan susah
untuk akomodasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dirasakan penting untuk
mempelajari perbedaan sifat fisik tanah khususnya pemadatan tanah pada
penggunaan lahan yang awalnya monokultur tebu menjadi agroforestri berbasis
sengon tersebut akan mengalami perubahan kepadatan tanah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui sifat fisika tanah ( Berai Isi tanah (BI), kemantapan
agregat, pF (2,5 dan 4,2)) pada berbagai tipe penggunaan lahan yang beraluh
fungsi dari monokultur tebu menjadi lahan agroforestri sengon di Kecamatan
Kedungkandang Kabupaten Malang. Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah metode survei lapangan.
Bulk Density tanah didapatkan bahwa nilai rata-rata agroforestri sengon
umur 1 tahun di kedalaman 0-10 cm 1,35 g/cm3.dan monokultur tebu di
kedalaman yang sama (0-10 cm) mempunyai rata-rata nilai BI 1,3 g/cm3. Nilai BI
baik penggunaan lahan agroforestri sengon dan monokultur tebu mengalami
peningkatan di kedalaman 10-20 cm sebesar 1,4 g/cm3 (agroforestri sengon) dan
1,3 g/cm3. Penggunaan lahan yang memiliki nilai kemantapan agregat tertinggi
terdapat pada lahan sengon umur 4 tahun dengan kedalaman 0-10 cm dan sengon
4 tahun yang kedalaman 10-20 cm. Sedangkan yang berpengaruh nyata adalah
perlakuan penggunaan lahan (agroforestri sengon 4 tahun) terhadap kemantapan
agregat. Pada nilai kemantapan agregat kedalaman 10-20 cm tidak berpengaruh
nyata terhadap perlakuan penggunaan lahan agroforestri (sengon) dan monokultur
(tebu. Secara umum nilai dari kadar air tanah cenderung semakin tinggi dengan
semakin dalamnya tanah. Penggunaan lahan yang tidak mempunyai penutup
tanah (serasah) akan memiliki nilai kadar air yang rendah daripada yang
mempunyai penutup tanah (serasah) pada lapisan tanah bagian atas.

ii
SUMMARY
Doddy Kurniawan. 115040201111117. REVIEW OF BULK DENSITY VALUE
OF LAND THROUGH PLANT MONOCULTURE BECOME SENGON-
BASED AGROFORESTRY IN KEDUNGKANDANG MALANG. Supervised
by Zaenal Kusuma.

Soil compaction is the preparation of solid particles in the soil due to the
compressive force on the soil surface so that the soil pore space decreases. On
agricultural land in Wonokoyo Village, Kedungkandang District, Malang City has
a lot of land use transfer from land use which was originally sugarcane
monoculture to sengon-based agroforestry. Agricultural land in Wonokoyo
Village, Kedungkandang District, Malang City has a lot of land use transfer from
land use which was originally sugarcane monoculture to sengon-based
agroforestry. In the 1960s in the village the people planted sugarcane commodities
in almost every yard of the house. This took place until 2005, the production of
sugar cane in the village experienced a decline in production so that it had an
impact on the economy of the farmers. Overcoming this problem, many farmers
switched the function of planting sengon plants. The reason for the community to
plant sengon is because the easy sengon treatment does not need irrigation and
irregular fertilizer time. The harvest time of sengon plants is also fast, which is
around 5-7 years. Selection of sengon plant land on land far from the settlement
and difficult for accommodation. Based on this description, it is felt important to
study the differences in soil physical properties, especially soil compaction on
land use, which initially cane sugar into sengon-based agroforestry will
experience changes in soil density. This study aims to determine the physical
properties of the soil (Berai soil contents (BI), aggregate stability, pF (2.5 and
4.2)) in various types of functional land use from sugarcane monoculture to
sengon agroforestry land in Kedungkandang District, Malang Regency . The
method used in this study is a field survey method.
Bulk Density of soil obtained that the average value of agonforest
agroforestry 1 year in depth 0-10 cm 1.35 g / cm3.dan monoculture of sugar cane
at the same depth (0-10 cm) have average BI value 1.3 g / cm3. BI good value of
agroforestry use of sengon and sugarcane monoculture has increased at a depth of
10-20 cm of 1.4 g / cm3 (sengon agroforestry) and 1.3 g / cm3. Land use that has
the highest aggregate stability value is found in 4-year-old sengon field with a
depth of 0-10 cm and sengon 4 years with a depth of 10-20 cm. While the real
effect is the treatment of land use (agroforestry sengon 4 years) against aggregate
stability. In the aggregate stability value of 10-20 cm depth did not significantly
affect the treatment of agroforestry (sengon) and monoculture (sugarcane.In
general, the value of soil moisture content tends to be higher with the deeper the
soil.The use of land that does not have ground cover (litter) will have a low
moisture value rather than having a ground cover (litter) on the topsoil

iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
hasilskripsi yang berjudul Kajian Nilai Kepadatan Tanah (Bulk Density)
Dalam Alih Guna Lahan Dari Monokultur Tebu Menjadi Agroforestri
Berbasis Sengon Di Kedungkandang Malang. Pada kesempatan kali ini, penulis
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof.Dr.Ir. Zaenal Kusuma,SU., selaku Dosen Pembimbing dan Ketua
Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
2. Kedua orang tua dan keluarga yang dirumah selalu memberikan semangat dan
do’a sehingga terselesaikan skripsi ini.
3. Rekan-rekan mahasiswa yang selalu memberikan semangat sehingga
terselesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga masukan dan kritik sangat dibutuhkan oleh penulis. Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat baik bagi rekan-rekan mahasiswa, pihak-pihak di
lokasi penulis melaksanakan penelitian, masyarakat umum dan berbagai pihak
yang lainnya sekedar sebagai bahan ilmu pengetahuan serta bermanfaat bagi
penulis khususnya.

Malang, 29 Agustus 2018

Penulis

iv
DAFTAR ISI

RINGKASAN .................................................................................................................... i
SUMMARY ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ viii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................1
1.2. Tujuan .............................................................................................................2
1.3. Rumusan Masalah ...........................................................................................2
1.4. Manfaat ...........................................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 3
2.1. Berat Isi Tanah ................................................................................................4
2.2. Sistem Agroforestri .........................................................................................5
2.3. Monokultur Tebu ...........................................................................................6
2.4. Faktor yang Mempengaruhi Berat Isi .............................................................7
III. METODE PENELITIAN .......................................................................................... 9
3.1. Waktu dan Tempat ..........................................................................................9
3.2.Pelaksanaan Penelitian...................................................................................10
3.3. Analisis Data .................................................................................................14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 15
4.1. Kondisi Biofisik ...................................................................................................... 15
4.2. Sifat Fisik Pada Lahan Penelitian .................................................................15
4.3. Hubungan Antar Parameter Pengamatan ......................................................20
V.KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................23
5.1. Kesimpulan ...................................................................................................23
5.2. Saran .............................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................24
LAMPIRAN ...........................................................................................................28

v
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Nilai berat isi tanah pada perlakuan ................................................................. 14


2. Nilai kemantapan agregat pada perlakuan ........................................................ 16
3. Nilai pF pada perlakuan ..................................................................................... 17

vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman

Teks

1. Kurva pF ......................................................................................................20
2. Agroforestri Sengon di Lokasi Penelitian ............................................................ 29
3. Monokultur Tebu di Lokasi Penelitian ................................................................ 29

vii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman

Teks

1. Nilai korelasi berat isi tanah (BI) dengan kemantapan agregat .........................28
2. Nilai korelasi kemantapan agregat dengan pF ..................................................... 29
3. Dokumentasi ........................................................................................................ 30

viii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemadatan tanah adalah penyusunan partikel-partikel padatan di dalam tanah


karena adanya gaya tekan pada permukaan tanah sehingga ruang pori tanah berkurang.
Tanah yang belum mengalami gangguan cenderung memiliki stabilitas keremahan dan
porositas yang lebih tinggi serta kepadatan masa tanah (Soil Bulk Density) yang lebih
rendah di banding yang sudah mengalami pembalakan (Annisah, 2014). Kerapatan
lindak atau Berat Isi (BI) menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan
volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bobot isi merupakan petunjuk
kepadatan tanah, makin padat suatu tanah makin tinggi bobot isi (Achmad, 2003 dalam
Manfarizah; 2011). Berat Isi yang makin tinggi yang berarti semakin sulit meneruskan
air atau ditembus akar tanaman. Pada umumnya Berat Isi berkisar 1.1 – 1.6 g/cm3.
Beberapa jenis tanah mempunyai Berat Isi kurang dari 0.9 g/cm3misal tanah Andisol,
bahkan ada yang kurang dari 0.1 g/cm3 misalnya tanah gambut (Hardjowigeno, 2003).
Agroforestri merupakan bentuk pengelolaan lahan yang dapat ditawarkan untuk
memperbaiki sifat fisik tanah. Menurut Lahjie (1992) agroforestri merupakan bentuk
pengelolaan lahan yang memadukan prinsip-prinsip pertanian dan kehutanan. Sistem
pengelolaan lahan dan konservasi tanah berupa agroforestri diharapkan mampu
mengatasi masalah pemanfaatan lahan yang tidak tepat (Hairiah et al., 2003). Menurut
Martin dan Sherman (1992) manfaat agroforestri dibandingkan dengan sistem
pertanian yang biasa dilakukan, sistem agroforestri dapat mempertahankan sifat fisik
tanah lebih beragam (terutama pengaruh bahan organik terhadap perakaran pohon),
dapat memacu siklus hara yang lebih pendek dan mengefisienkan penyerapan unsur
hara.
Lahan pertanian di Desa Wonokoyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota
Malang banyak terjadi alih guna lahan dari penggunaan lahan yang awalnya
monokultur tebu menjadi agroforestri berbasis sengon. Pada tahun 1960-an di desa
tersebut masyarakatnya menanam komoditas tebu hampir disetiap pekarangan rumah.
Hal tersebut berlansung sampai tahun 2005 produksi tebu di desa tersebut mengalami
2

penurunan produksi sehingga berdampak pada perekonomian petani. Mengatasi hal


tersebut banyak petani yang beralih fungsi menanam tanaman sengon. Alasan
masyarakat menanam sengon karena perawatan sengon yang mudah tidak perlu irigasi
dan waktu pemupukan yang tidak berkala. Waktu panen tanaman sengon juga cepat,
yaitu sekitar 5-7 tahun. Pemilihan lahan tanaman sengon di lahan yang jauh dari
pemukiman dan susah untuk akomodasi. Sedangkan untuk tanaman tebu ditanam di
sekitar pekarangan rumah. Berdasarkan uraian tersebut, maka dirasakan penting untuk
mempelajari perbedaan sifat fisik tanah khususnya pemadatan tanah pada penggunaan
lahan yang awalnya monokultur tebu menjadi agroforestri berbasis sengon tersebut
akan mengalami perubahan kepadatan tanah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai BI tanah akibat perbedaan
penggunaan lahan yang awalnya monokultur tebu menjadi agroforestri berbasis sengon
di Kecamatan Kedungkandang, Malang. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan
sebagai sumber informasi atau landasan untuk pengembangan sumber daya lahan
dalam kaitannya dengan penggunaan lahan agroforestri dan monokultur.

1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika tanah Berat Isi tanah (BI)
pada berbagai tipe penggunaan lahan yang beralih fungsi dari monokultur tebu menjadi
lahan agroforestri sengon di Kecamatan Kedungkandang Kabupaten Malang.

1.3. Rumusan Masalah


Masyarakat Kecamatan Kedungkandang Kabupaten Malang mengalih
fungsikan lahan monokultur tebu menjadi lahan agroforestri sengon. Yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah sejauh mana perubahan sifat fisika tanah
(Berat Isi tanah (BI), kemantapan agregat, pF (2,5 dan 4,2) dari lahan monokultur tebu
menjadi lahan agroforestri sengon di Kecamatan Kedungkandang Kabupaten Malang.

1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini dapat memberikan informasi perubahan sifat fisik
tanah dilahan monokultur tebu apabila dirubah menjadi lahan agroforestri berbasis
tanaman sengon di Desa Wonokoyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Berat Isi Tanah


Berat Isi atau kerapatan lindak atau bobot isi atau bobot volume menunjukkan
perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah dan termasuk volume
pori-pori tanah diantaranya. Berat Isi merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin
padat suatu tanah makin tinggi Berat Isi, berarti makin sulit meneruskan air atau
ditembus akar. Pada umumnya Berat Isi berkisar dari 1,1-1,6g/cm3. Beberapa jenis
tanah mempunyai Berat Isi kurang dari 0,90 g/cm3 (misalnya tanah Andisol), bahkan
ada yang kurang dari 0,10 g/cm3 (misalnya tanah gambut). Berat Isi penting untuk
menghitung kebutuhan pupuk atau air untuk tiap-tiap hektar tanah, yang didasarkan
pada berat tanah per hektar (Hardjowigeno, 2003).
Berat Isi atau kerapatan massa tanah banyak mempengaruhi sifat fisik tanah,
seperti porositas, kekuatan, daya dukung, kemampuan tanah menyimpan air, drainase,
dll. Sifat fisik tanah ini banyak bersangkutan dengan penggunaan tanah dalam berbagai
keadaan. Menghitung kerapatan butir tanah, berarti menentukan kerapatan partikel
tanah dimana pertimbangan hanya diberikan untuk partikel yang solid. Oleh karena itu,
kerapatan partikel setiap tanah merupakan suatu tetapan dan tidak bervariasi menurut
jumlah ruang partikel. Untuk kebanyakan tanah mineral kerapatan partikelnya rata–
rata sekitar 2,6 gram/cm3. Kandungan bahan organik di dalam tanah sangat
mempengaruhi kerapatan butir tanah, akibatnya tanah permukaan biasanya kerapatan
butirnya lebih kecil dari subsoil. Meskipun demikian kerapatan butir tanah tidak
banyak berbeda. Jika berbeda maka terdapat variasi yang harus mempertimbangkan
kandungan tanah organik (Madjid, 2010).
Berat Isi sangat berhubungan erat dengan particle density, jika particle density
tanah sangat besar maka Berat Isi juga besar pula. Hal ini dikarenakan partikel density
berbanding lurus dengan Berat Isi, namun apabila sebuah tanah memilki tingkat kadar
air yang tinggi maka pa rtikel density dan Berat Isi akan rendah. Hal ini dikarenakan
partikel density berbanding terbalik dengan kadar air. Dapat dibuktikan apabila di
dalam suatu tanah memilki tingkat kadar air yang tinggi dalam menyerap air maka
kepadatan tanah juga akan rendah, karena pori-pori di dalam tanah besar sehingga
4

tanah yang memilki pori yang besar akan lebih mudah memasukkan air di
dalam agregat tanah (Hanafiah, 2008).

2.2. Sistem Agroforestri


Agroforestri adalah pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara
mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengelolaan lahan
yang sama dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisik, sosoal ekonomi, dan
kebudayaan masyarakat yang berperan serta. Adapun tujuan agroforestri maupun
sistem tumpang sari II. ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa
sekitar hutan dengan cara memberikan peluang kepada masyarakat desa atau petani
pesanggem untuk bercocok tanam tanaman pangan guna peningkatan pendapatan
penduduk. Dengan cara demikian penduduk desa sekitar hutan diharapkan dapat
berperan aktif dalam usaha penyelamatan dan pencegahan kerusakan hutan dan lahan
(Perhutani, 2012).

Agroforestri dikembangkan untuk memberikan manfaat kepada manusia atau


meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri utamanya diharapkan dapat
membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan
guna menjamin dan memperbaiki kehidupan masyarakat; dan dapat meningkatkan
daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan (Mayrowani dan Ashari,
2011).
Sengon yang mempunyai nama latin Falcataria moluccana merupakan salah
satu jenis yang dikembangkan dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri maupun
Hutan Rakyat di Indonesia. Keunggulan ekonomi pohon Sengon adalah jenis pohon
kayu cepat tumbuh (fast growing species), pengelolaan relatif mudah, sifat kayunya
termasuk kelas kuat dan permintaan pasar yang terus meningkat (Nugroho dan
Salamah, 2015). Jenis ini merupakan jenis tanaman cepat tumbuh yang paling banyak
dibudidayakan dengan pola agroforestri oleh masyarakat Indonesia, khususnya di
Jawa. Tanaman sengon mulai banyak dikembangkan sebagai hutan rakyat karena dapat
tumbuh pada sebaran kondisi iklim yang luas, tidak menuntut persyaratan tempat
tumbuh yang tinggi dan mempunyai banyak manfaat seperti bahan bangunan ringan di
5

bawah atap, bahan baku pulp dan kertas, peti kemas, papan partikel dan daunnya
sebagai pakan ternak (Syahri, 1991). Menurut Siregar et al. (2008), prospek penanaman
sengon cukup baik. Hal ini disebabkan oleh karena kebutuhan akan kayu sengon
mencapai 500.000 m per tahun. Pada tahun 2003, harga kayu sengon di pasaran
mencapai Rp. 250.000/m, tetapi kini harga kayu sengon meningkat pesat menjadi Rp.
650.000/m. Riap pertumbuhan sengon baru mencapai 20 m/ha/tahun (Alrasyid, 1997)
Senoaji (2012) menyatakan bahwa sistem agroforestri kebun sengon campuran
ini menjamin konservasi dan pengembangbiakan jenis-jenis tertentu, meningkatkan
produktivitas dan profitabilitas lahan, dan menjamin terjadinya pengelolaan lahan
secara keseluruhan, serta sekaligus menyatukan sistem pengelolaan hutan dengan
sistem pertanian setempat. Sistem agroforestri kebun sengon campuran memiliki arti
yang penting bagi kehidupan masyarakatnya baik dari sisi ekonomi sebagai salah satu
sumber pendapatan atau kapital dan dari sisi ekologi yang dapat meningkatkan
kesuburan lahan dan perlindungan lingkungan.

2.3. Monokultur Tebu


Tebu (Saccharum officinarumL.) merupakan jenis tanaman rumput-rumputan
yang dibudidayakan sebagai tanaman penghasil gula. Loganadhan et al. (2012)
menyatakan bahwa tebu dapat menjadi salah satu tanaman yang dapat menyumbang
perekonomian nasional dan sumber mata pencaharian bagi jutaan petani. Sebagai
produk olahan tebu, gula merupakan komoditas penting bagi masyarakat dan
perekonomian Indonesia baik sebagai kebutuhan pokok maupun sebagai bahan baku
industri makanan atau minuman. Bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan
kebutuhan gula saat ini semakin meningkat, tetapi peningkatan konsumsi gula belum
dapat diimbangi oleh produksi gula dalam negeri.
Monokultur tebu sangat menguntungkan bagi petani dan industri gula, karena
mengurangi biaya produksi sebesar 30-40%. Tapi produktivitas tebu di bawah
multiratooning menurun sebesar 30-50% setiap tahun disebabkan oleh penurunan
kualitas tanah baik fisik 4 maupun kimiawi (kandungan nutrien) (Ghayal et al., 2011).
Industri gula di Australia mengalami penurunan hasil produksi yang mereka definiskan
sebagai hilangnya kapasitas produktif tanah dalam membantu pertumbuhan tebu dalam
6

jangka panjang penerapan sistem monokultur. Penurunan hasil merupakan masalah


yang telah menjangkiti sistem produksi tebu di seluruh dunia selama lebih dari
setengah abad. Penurunan hasil produksi telah jelas terkait dengan degradasi tanah
disebabkan oleh monokultur tanaman tebu jangka panjang, yaitu terjadi pengurasan
unsur hara dari dalam tanah (Garside et al., 1997). Degradasi tanah telah menjadi hasil
dari monokultur jangka panjang tebu. Hal tersebut telah dibuktikan dalam sebuah
penelitian khusus yang menunjukkan bahwa monokultur jangka panjang, lalu lintas
yang tidak terkontrol dari mesin-mesin berat dan pengolahan berlebihan bersama
dengan praktik-praktik yang menguras bahan organik semua berkontribusi untuk
menghasilkan penurunan pada kualitas tanah (Garside et al., 1997). Masalah ini terjadi
pada industri gula di Indonesia yang mengalami penurunan tingkat produktivitas. Luas
areal tebu di lahan sawah beririgasi di Jawa semakin berkurang. Kini areal tebu di lahan
sawah tinggal sekitar 40%, selebihnya telah beralih ke lahan kering.

2.4. Faktor yang Mempengaruhi Berat Isi

2.4.1. Tekstur
Tekstur tanah adalah kasar atau halusnya tanah dari fraksi tanah halus 2mm,
berdasarkan perbandingan banyaknya butir butir pasir, debu dan liat (Hardjowigeno,
2003). Partikel tanah digolongkan menjadi pasir, debu, dan liat. Berdasarkan
perbandingan banyaknya butir – butir pasir, debu dan liat maka tanah dikelompokkan
ke dalam beberapa kelas tekstur tanah, antara lain pasir, lempung berpasir, lempung,
lempung berliat dan sebagainya. Beberapa kelas tekstur tanah dikelompokkan ke dalam
kelas – kelas tekstur tanah yaitu : kasar, agak kasar, sedang, agak halus dan halus
(Hanafiah, 2005). Menurut Gardiner dan Miller (2004), sifat fisik tanah seperti tekstur,
struktur, bobot isi, porositas, suhu, dan konsistensi tanah adalah faktor-faktor dominan
yang dapat mempengaruhi kegunaan tanah. Tekstur tanah halus pada umumnya
mempunyai air lebih banyak dan lebih sulit mengalirkan air dari pada tekstur tanah
yang lebih kasar, karena tekstur tanah yang halus mempunyai lebih sedikit pori
drainase.
7

2.4.2. Kadar Air


Kemampuan tanah menahan air dipengaruhi antara lain oleh tekstur tanah.
Tanah-tanah bertekstur kasar mempunyai daya menahan air lebih kecil daripada tanah
bertekstur halus. Oleh karena itu, tanaman yang ditanam pada tanah pasir umumnya
lebih mudah kekeringan daripada tanah-tanah bertekstur lempung atau liat. Kondisi
kelebihan air ataupun kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
Ketersediaan air dalam tanah dipengaruhi: banyaknya curah hujan atau air irigasi,
kemampuan tanah menahan air, besarnya evapotranspirasi (penguapan langsung
melalui tanah dan melalui vegetasi), tingginya muka air tanah, kadar bahan organik
tanah, senyawa kimiawi atau kandungan garam-garam, dan kedalaman solum tanah
atau lapisan tanah (Madjid, 2010).
Karakteristik air tanah dapat digambarkan dengan cara membuat kurva pF. Air
tanah sebagian besar ditahan oleh potensial matrik, yaitu air yang terjerap oleh
permukaan partikel tanah dan hanya sedikit yang terikat secara osmosis karena
terlarutnya garam mineral dalam tanah. Salah satu faktor yang memengaruhi nilai
kurva pF ialah jenis partikel tanah.Banyaknya air yang tersedia bagi tanaman dicari
dengan jalan penentuan kandungan air pada tanaman lapang (pF 2,5) dikurangi dengan
persentase keadaan tanah pada titik layu permanen (pF 4,2). Dalam hal ini nilai-
nilainya sangat ditentukan terutama oleh tekstur tanah. Hakim et al (1986) yang
menyatakan bahwa diantara sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap jumlah air
yang tersedia adalah daya hisap (matrik dan osmotik) kedalaman tanah dan pelapisan
tanah.
III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei lapang dan
pengambilan contoh sampel tanah dilaksanakan pada bulan April 2018 di Desa
Wonokoyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Analisis sifat fisika tanah dari
sampel tanah dilakukan pada bulan Mei 2018 di Laboratorium Fisika Tanah Fakultas
Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

3.2. Pelaksanaan Penelitian


3.2.1. Pra Survei
Persiapan yang dilakukan sebelum pelaksanaan survei di lapangan diantaranya
adalah perijinan lokasi pengamatan, persiapan pengumpulan data sekunder, persiapan
alat dan bahan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi ring sample
berbentuk silinder (tabung kuningan) dengan diameter dalam 5.08 cm dan tinggi ring
5 cm, skrop untuk mengambil sampel tanah, Pressure Box Apparatus untuk
menghitung nilai pF, oven untuk mengeringkan tanah, timbangan analitik untuk
menimbang tanah, kasa agar tanah tidak lepas dari ring, label untuk menandai ring,
serta peralatan laboratorium yang digunakan selama penelitian berlangsung. Jenis
sampel yang diambil adalah tanah agregat utuh untuk analisis BI dan pF dan sampel
tanah tidak utuh untuk kemantapan agregat. Parameter tanah yang diamati tersaji dalam
tabel 1.
Tabel 1. Parameter dan metode analisis
Parameter sifat fisik tanah Metode
3
Berat Isi (g/cm ) Ring sample
Kemantapan agregat Pengayakan basah
Kurva pF Pressure plate Pf 4,2 dan sand box pF 2,5

3.2.2. Survei
Sampel tanah diambil di Desa Wonokoyo pada penggunaan lahan monokultur
tebu dengan 0 keprasan 1 keprasan dan 2 keprasan. Untuk agroforestri sengon dengan
perlakuan umur 1, 4, dan 8 tahun. Pengambilan sampel 3 kali ulangan. Pengambilan
sampel tanah dilakukan pada 2 kedalaman yang berbeda, yaitu 0-10 cm dan 10-20 cm.
10

Setelah dilakukan pengambilan sampel tanah, selanjutnya tanah dilakukan analisis di


laboratorium.

Gambar 1. Titik Pengambilan Sampel


3.2.3. Pasca survei
Pasca survei meliputi analisis sifat-sifat tanah dilakukan setelah pengambilan
sampel di lapang. Tahapan-tahapan analisis dijelaskan sebagai berikut :
a. Perhitungan Berat Isi Tanah
Perhitungan Berat Isi tanah dilakukan dengan metode ring dengan contoh tanah
utuh. Ring sampel berbentuk silinder dengan diameter 2 inchi (5.08 cm) dan tinggi ring
5 cm. Untuk prosedur kerjanya ditentukan sebagai berikut:
1. Timbang tanah dan silinder.
2. Keluarkan tanah dari silinder dan timbang silinder.
3. Tentukan kadar air untuk konversi terhadap kering muntlak (Kadar air sub
sampel)
4. Timbang 50 g tanah.
5. Keringkan dengan oven ± 110 0C selama 24 jam.
6. Ambil tanah dari oven dan diamkan 15 menit, supaya sesuai suhu ruangan,
sebagai massa kering dan timbang tanah.
7. Untuk perhitungan BI sebagai berikut:
11

Massa padatan (g)


BI (g⁄cm3 ) =
Volume tanah (cm3 )
Massa padatan Mp = Berat total / 1 + ka.sub
Volume tanah = 0,25 x ñ x D 2 x t

Sumber : Laboratorium Fisika Tanah FP UB

b. Perhitungan Kemantapan Agregat Tanah


Perhitungan kemantapan agregat menggunakan metode pengayakan basah.
Alat dan bahan yang digunakan meliputi timbangan, mesin penggerak ayakan, oven,
cawan, baki, botol semprot, corong, tanah dan air. Prosedur kerja sebagai berikut:
1. Timbang 20 atau 50 g tanah lolos ayakan Ǿ 8 mm kondisi kering udara.
2. Susun ayakan dari Ø (4.75 ; 2; 1; 0,5 ; 0.25) mm
3. Masukkan susunanan ayakan Ǿ (4.75 - 0.25) mm kedalam bejana. Usahakan
sampel dalam bejana terendam air.
4. Gerakan selama 5 menit,hendel dorong keatas untuk menghidupkan, dan kebawah
untuk matikan
2
5. Kumpulkan tanah yang tertinggal di masing ayakan kedalam kaleng secara
bertahap dengan cara.
6. Siapkan corong dan alasi baki, tuangkan tanah yang tertinggal pada masing-masing
ayakan satu per satu dengan batuan air yang disemprotkan.
7. Kadar air
(W) = (Tb+K) – (To+K) /(To+K) – (K)
8. BKM =20 / 1 + (W)
20 = berat sampel analisa
9. Tnh hilang = BKM – jumlah seluruh tanah pada ayakan
Keterangan:
Tb = massa tanah basah sebelum dioven
To = massa tanah oven
K = massa kaleng
W = Kadar Air massa
12

Ma = massa air
Mp = massa padatan
BKM = berat tanah kering mutlak
TOL = massa total tanah yang dianalisa
Sumber : Laboratorium Fisika Tanah FP UB

Rerata Ø ayakan sbb.:


1. Ø ayakan(8 + 4,75 ) = (8 + 4,75)/ 2 = 6,375 mm
2. Ø ayakan(4,75 + 2) = (4,75 + 2)/2 = 3,375 mm
3. Ø ayakan(2 + 1) = (2 + 1)/2 = 1,50 mm
4. Ø ayakan(1 + 0,5) = (1 + 0,5)/2 = 0,75 mm
5. Ø ayakan(0,5 + 0,25)= (0,5 + 0,25) = 0,375 mm
6. Ø ayakan (0,25) = 0.25 / 2 = 0.125 mm
DMR (diameter massa rerata) per ayakan sbb.:
DMR Ø(8 + 4.75) = tanah ayakan 1 / BKM x Ø ayakan = mm
DMR Ø( 4.75 + 2) = tanah ayakan 2 / BKM x Ø ayakan = mm
DMR Ø(1 + 0,50) = tanah ayakan 3 / BKM x Ø ayakan = mm
DMR Ø(0,5 + 0,25) = tanah ayakan 4 / BKM x Ø ayakan = mm
DMR Ø( 0.125) = tanah ayakan 5 / BKM x Ø ayakan = mm
∑ DMR = mm
Indek DMR = ( 0.876 x ∑ DMR ) – 0.079 mm = mm
Nilai 0,876 dan 0,079 adalah nilai konstanta

Sumber : Laboratorium Fisika Tanah FP UB

c. Perhitungan pF 2,5 dan 4,5


Perhitungan pF 2,5 dengan metode Pressure plate Pf 4,2 dan sand box pF 2,5 . Alat
dan bahan yang digunakan Kaulin book,oven, Silinder,Timbangan, Baki,kain kasa,
karet, pisau, air dan sampel tanah utuh. Prosedur kerjanya sebagai berikut :
1. Satu sisi dilapisi dengan kain kasa dan ikat karet
2. Masukan di baki dan isi air ¾ dari tinggi ring sampel. Cepat lambatnya mencapai
titik jenuh tergantung besar / kecil ruang pori dan kandungan liat (24 jam)
13

3. Ciri jenuh air , oleskan ujung jari pada permukaan tanah , bila ada air yang
menempel berarti telah jenuh atau sebaliknya.
4. Pindahkan sampel kedalam kotak (kaolin bok / pF) dan agak ditekan.
5. Atur tinggi kolom air raksa sesuai yang di ingingkan(pF2 .5). mencapai titik
kesetibangan tergantung tektur (kasar / halus). Tektur kasar 4 – 7 hari dan 7 – 10
hari tektur halus.
6. Setelah mencapai titik kesetimbangan, sampel di timbang sebagai massa basah.
7. Keringkan dalam oven 110 o C 24 jam.
8. Keluarkan dari oven ,tunggu sampai mencapai suhu ruang (15 mnt) dan timbang
sebagia massa kering.
9. Keluarkan tanah dalam silinder dan timbang silindernya.
Persamaan kadar air pF 0 hingga pF 4,2 seperti di bawah ini.
Ka (w) = Ma / Mp
= (Mb-Mp) / Mp g.g-1
Sumber : Laboratorium Fisika Tanah FP UB

Untuk pF 4,2 menggunakan sampel tanah utuh. Alat dan bahan yang digunakan
yaitu 13ressure plate, plate keramik 15 bar, cicin ,sendok, kompresor, cawan, open,
timbangan, air, gas dan tanah utuh.
1. Jenuhkan piring keramik ± 10 menit Letakkan cicin pada piring keramik Buat
adonan tanah & masukkan dalam cicin.
2. Pindahkan dalam tabung 13ressure plate
3. Tutup rapat-rapat (operator)
4. Berikan tekanan gas berlahan (operator)
5. Hentikan setelah mencapai 15 bar.
6. Tambah tekanan setiap terjadi penurunan (operator)
7. Keluarkan sampel bila tercapai batas waktu (operator)
8. Pindahankan sampel ke dalam cawan allumunium dan timbang sebagai berat basah
9. Keringkan di dalam oven 110oC selama 24 jam ,timbang sebagai berat tanah
kering.
14

Persamaan kadar air pF 0 hingga pF 4,2 seperti di bawah ini.


Ka (w) = Ma / Mp
= (Mb-Mp) / Mp g.g-1
Sumber : Laboratorium Fisika Tanah FP UB

3.3. Analisis Data


Data sifat-sifat fisik dan hidrologi tanah diolah secara statistik
menggunakan Analisis Of Varian (Anova) dan uji lanjut Duncan. Anova pada
penelitian ini digunakan untuk melihat faktor (penggunaan lahan dan kedalaman) yang
mempengaruhi respon (parameter). Kemudian faktor yang berpengaruh pada respon di
uji lanjut menggunakan uji Duncan. Uji Duncan digunakan untuk melihat faktor yang
memiliki nilai berbeda nyata pada taraf 5%
(α = 0,05).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Biofisik


Desa Wonokoyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Desa Wonokoyo
merupakan salah satu desa di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang yang terletak
pada 112036’14”-112040’42” Bujur Timur 77036’38’- 8001’57” Lintang Selatan.
Wilayah kecamatan Kedungkandang jenis tanahnya adalah aluvial kelabu kehitaman
dan asosiasi latosol coklat. Iklim di Kecamatan Kedungkandang merupakan iklim
tropis dengan suhu rata-rata mencapai 24008’ C kelembapan 7,26%. Curah hujan rata-
rata pertahun mencapai 2.279 mm, dengan rata-rata terendah bulan Agustus dan
tertinggi bulan Januari. Sedangkan kelembapan udara rata-rata 73% dengan jumlah hari
hujan terbanyak (19 hari) pada bulan Agustus dan terendah (0 hari) ada bulan Januari.
(Kecamatan Kedungkandang)

4.2. Sifat Fisika Tanah Pada Lahan Penelitian


4.2.1. Berat Isi (BI) Pada Penggunaan Lahan (Monokultur Tebu dan Agroforestri
Sengon)

Berat isi tanah adalah bobot kering suatu unit volume tanah dalam
keadaan utuh, yang dinyatakan dalam gram per sentimeter kubik. Unit volume
terdiri volume yang berisi bahan padat dan volume ruangan diantaranya. Berat Isi tanah
mencerminkan derajat kepadatan tanah. Nilai Berat Isi tanah pada berbagai perlakuan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Berat Isi tanah pada perlakuan (monokultur tebu dan agroforestri)
Perlakuan Bobot isi (g/cm3.)
0 - 10 cm 10 - 20 cm
Sengon 1 tahun 1.35 b 1.37 tn
Sengon 4 tahun 1.20 ab 1.37 tn
Sengon 8 tahun 1.06 a 1.36 tn
Tebu 0 kepraan 1.23 b 1.27 tn
Tebu 1 kepraan 1.35 b 1.26 tn
Tebu 2 kepraan 1.33 b 1. 30 tn
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
16

Dari hasil perhitungan Berat Isi tanah didapat bahwa nilai rata-rata tertinggi
pada kedalaman 0-10 cm terdapat pada sengon umur 1 tahun dan tebu 1 keprasan
1,35g/cm3.dan monokultur tebu di kedalaman yang sama 0-10 cm mempunyai rata-rata
nilai BI 1,3 g/cm3. Nilai BI untuk semua perlakuan pada kedalaman 10-20 tidak
berbeda nyata.
Hal ini sesuai dengan Hardjowigeno (2003) yang menyatakan bahwa Berat Isi
merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah makin tinggi nilai BI
tanahnya, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman.Tanah
yang lebih padat memilki BI yang lebih besar dari tanah yang sama tetapi kurang padat.
Pada umumnya tanah lapisan atas pada tanah mineral mempunyai Berat Isi yang lebih
rendah dibandingkan dengan tanah dibawahnya. Nilai BI tanah mineral berkisar 1-0,7
g/cm3, sedangkan tanah organik umumnya memiliki Berat Isi antara 0,1-0,9 g/cm3.
Menurut (Hardjowigeno, 2003) bahwa umumnya Berat Isi itu berkisar dari 1,1-1,6
g/cm3. Beberapa jenis tanah yang mempunyai Berat Isi kurang dari 0,90 g/cm3
(misalnya tanah andosol), bahkan ada yang kurang dari 0,10 g/cm3 misalnya tanah
gambut.
Makin tinggi Berat Isi makin sulit ditembus air atau ditembus oleh akar tanaman
dan memiliki porositas yang rendah, juga sebaliknya. Berat Isi ini berperan terhadap
infiltrasi, kepadatan tanah, permeabilitas, tata air, struktur, dan porositas tanah
(Manfarizah, 2011). Lapisan bawah permukaan tanah yang lebih padat mengandung
lebih sedikit ruang pori disebabkan oleh penetrasi akar lebih sedikit dibandingkan
dengan lapisan permukaan tanah atas dan kurangnya agregasi tanah. Tanah yang lebih
padat dapat menyebabkan aerasi dan drainase terganggu sehingga perkembangan akar
menjadi tidak normal.

4.2.2. Kemantapan Agregat Pada Penggunaan Lahan (Monokultur Tebu Dan


Agroforestri Sengon)
Kemantapan agregat menggambarkan kemampuan agregat untuk dapat
bertahan terhadap faktor-faktor perusak. Kemantapan agregat terbagi dua menurut
faktor perusak yaitu kematapan agregat kering adalah kemampuan agregat bertahan
terhadap daya perusak yang berasal dari gaya-gaya mekanis. Kemantapan agregat
17

tanah bergantung pada ketahanan tanah melawan daya dispersi dan kekuatan sementasi
atau pengikatan (Notohadiprawiro, 1998). Hasil analisis kemantapan agregat dari
berbagai penggunaan lahan pada kedalaman tanah 0-10 cm dan 20-30 cm disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai kemantapan agregat pada perlakuan (monokultur tebu dan agroforestri)
Perlakuan Kemantapan agregat (mm)
0 - 10 cm 10 - 20 cm
Sengon 1 tahun 2.64 a 2.36 tn
Sengon 4 tahun 3.51 b 2.91 tn
Sengon 8 tahun 2.35 a 2.24 tn
Tebu 0 kepraan 2.24 a 2.45 tn
Tebu 1 kepraan 2.37 a 2.29 tn
Tebu 2 kepraan 2.22 a 2.35 tn
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut
uji DMRT pada taraf 5%.
Pada tabel 3 menjelaskan hubungan kemantapan agregat pada masing-masing
sistem penggunaan lahan dan kedalaman tanah. Terlihat bahwa sistem penggunaan
lahan yang memiliki nilai kemantapan agregat tertinggi pada kedalaman 0-10 terdapat
pada lahan sengon umur 4 tahun dengan nilai 3.51 mm. Sedangkan yang berpengaruh
nyata adalah perlakuan penggunaan lahan agroforestri sengon 4 tahun terhadap
kemantapan agregat. Nilai kemantapan agregat pada kedalaman 10-20 cm tidak
berpengaruh nyata terhadap perlakuan penggunaan lahan agroforestri (sengon) dan
monokultur (tebu). Hal ini disebabkan oleh adanya jenis penutupan vegetasi dan
pengolahan tanah yang dilakukan pada lahan tersebut. Masing–masing komposisi
tegakan tanaman tersebut mempunyai penutupan oleh tajuk tanaman yang beragam dan
semuanya akan mempengaruhi kondisi tanah di bawahnya terutama pada sifat fisika
tanah (Kumalasari et. al, 2011)
Pada lahan agroforestri (sengon) banyak tertutupi oleh vegetasi, sehingga
menyebabkan agregat semakin mantap karena jarang dilakukan pengolahan tanah.
Namun demikian, pada sistem penggunaan lahan monokultur (tebu) memiliki harkat
kemantapan agregat yang cukup teguh. Hal ini didukung oleh adanya kandungan bahan
organik tanah yang sangat rendah dan pengolahan tanah yang dapat mengakibatkan
18

hancurnya agregat tanah menjadi ukuran yang lebih kecil, sehingga akan berpengaruh
pula terhadap porositas tanah. Lebih lanjut lagi dijelaskan oleh Saidi (2006) yang
menyatakan bahwa penyusunan partikel tanah menentukan jumlah dan asal pori tanah.
Ruang pori tanah lembab diisi oleh air dan udara. Jumlah relatif udara dan air yang ada
sangat bergantung pada ukuran dan sifat penyusunan agregat. Partikel-partikel tanah
dengan ukuran yang kecil dapat masuk dan mengisi pori-pori tanah sehingga tanah
menjadi lebih padat dan sulit menahan air.
Hal ini dikarenakan pengolahan tanah yang dilakukan secara menyeluruh
dengan membolak-balikkan tanah mengakibatkan rusaknya struktur tanah,
terganggunya aktivitas mikroba tanah sebagai penghasil perekat agregat tanah,
ketersediaan bahan organik yang rendah, dan terjadinya penyumbatan pori. Stabilitas
agregat tanah menurun berkaitan dengan penurunan kandungan bahan organik tanah,
aktivitas perakaran tanaman dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen
pengikat agregat tanah menyebabkan agregat tanah menjadi mudah pecah dan
terbentuk agregat tanah yang lebih kecil.

4.2.3. Kemampuan Tanah Memegang Air (Kurva pF) Pada Penggunaan Lahan
(Monokultur Tebu dan Agroforestri Sengon)
Kadar air lapang adalah kadar air yang menggambarkan kondisi kandungan air
di dalam tanah di lapang pada saat pengukuran langsung. Kemampuan menyimpan air
pada tanah ditentukan oleh porositas tanah dan kandungan bahan organik yang ada
pada tanah tersebut. Nilai pF untukberbagai penggunaan lahan monokultur tebu dan
agroforestri dan di kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm disajikan pada Tabel 5.
19

Tabel 5. Nilai pF pada perlakuan monokultur tebu dan agroforestri


PF 2.5 PF 4.2
Perlakuan
0 - 10 cm 10 - 20 cm 0 - 10 cm 10 - 20 cm
Sengon 1 tahun 0.62 tn 0.71 tn 0.23 a 0.36 tn
Sengon 4 tahun 0.54 tn 0.61 tn 0.42 b 0.29 tn
Sengon 8 tahun 0.41 tn 0.60 tn 0.22 a 0.25 tn
Tebu 0 keprasan 0.59 tn 0.52 tn 0.30 a 0.37 tn
Tebu 1 keprasan 0.47 tn 0.55 tn 0.30 a 0.37 tn
Tebu 2 keprasan 0.44 tn 0.40 tn 0.31 a 0.35 tn
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut
uji DMRT pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil uji DMRT taraf 5% nilai pF 2,5 pada kedalaman 0-10 cm
dan 10-20 cm berbeda tidak nyata, untuk pF 4,2 kedalaman 0-10 cm berbeda nyata
pada perlakuan sengon 4 tahun. Pada kedalaman 10-20 cm berbeda tidak nyata antara
rerata perlakuan. Tabel 5 menunjukkan bahwa secara umum pada masing-masing nilai
pF mulai nilai pF 2,5 sampai nilai pF 4,2. Rata-rata nilai pF 2,5 dan pF 4,2 di
penggunaan lahan monokultur tebu dan agroforestri sengon mempunyai nilai yang
sama untuk kedalaman 0-10 cm yaitu 0,3 monokultur tebu dan 0,5 agroforestri sengon.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum nilai dari kadar air tanah
cenderung semakin tinggi dengan semakin dalamnya tanah. Secara umum dapat dilihat
bahwa kadar air tanah di kedalaman 0-10 cm lebih rendah dibandingkan pada lapisan
tanah di kedalaman 10-20 cm. Hal ini dikarenakan pada kedalaman 0-10 cm berada
pada lapisan atas sehinggan akan terkena lansung dengan sinar matahari, udara dan
suhu atmosfer sehingga terjadi proses evaporasi yang besar dibandingkan di lapisan
tanah bawah di kedalaman 10-20 cm. Pada lapisan tanah bawah 10-20 cm terjadi
distribusu air dalam profil tanah sehingga kadar air pada tanah lapisan bawah nilai
kadar airnya hebih tinggi (Khairi, 2017). Nilai pF 2,5 (kapasitas lapang) dan nilai pF
4,2 (titik layu permanen) dapat dicari nilai kadar air kapasitas lapang. Grafik dari nilai
kapasitas lapang dapat dilihat pada Gambar 3.
20

Gambar 3. Kadar air tersedia


Menurut Hardjowigeno (2003) kapasitas lapang merupakan keadaan tanah yang
cukup lembab yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah
terhadap gaya gravitasi. Air yang dapat ditahan oleh tanah tersebut terus-menerus
diserap oleh akar-akar tanaman atau menguap sehingga tanah makin lama semakin
kering. Pada suatu saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tersebut sehingga
tanaman menjadi layu. Menurut Kramer (1969) kisaran kadar air tanah yang tersedia
secara optimum berada antara kapasitas lapang (field capacity) dan titik layu permanen
(permanent wilting point).

4.3. Hubungan Antar Parameter Pengamatan


Data hasil pengukuran dan pengamatan sifat fisika tanah (BI, Kemantapan
Agregat dan pF) kemudian dianalisis korelasi sederhana. Analisis korelasi yang
dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat keeratan antar parameter

4.3.1. Hubungan Berat Isi (BI) dengan Kemantapan Agregat


Kemantapan agregat tanah menunjukkan ketahanan tanah terhadap gaya yang
akan merusaknya. Dari hasil analisis korelasi antara nilai Berat Isi (BI) dengan
kemantapan agregat di penggunaan lahan agroforestri sengon dan monokultur tebu
menunjukkan korelasi yang negatif (r=-0,143) atau berbanding terbalik pada
kedalaman tanah 0-10 cm. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila nilai Berat
Isi (BI) tinggi atau terjadi pemadatan maka nilai kemantapan agregat menjadi rendah.
21

Pada kedalaman tanah 10-20 cm pada agroforestri sengon dan monokultur tebu nilai
korelasinya positif (r= 0,34). Nilai Berat Isi tanah (BI) dan kemantapan agregat di
kedalaman 10-20 cm mempunyai hubungan yang positif. Hal ini disebabkan adanya
korelasi positif anatar nilai Berat Isi tanah (BI) dan nilai kemantapan agregat
berbanding terbalik. Bila nilai kemantapan agregat meningkat atau tinggi maka nilai
nilai Berat Isi tanah (BI) semakin menurun. Penurunan nilai Berat Isi tanah (BI) yang
terjadi karena adanya bahan organik tanah. Aerasi tanah akan mempengaruhi populasi
mikroba dalam tanah. Selain itu adanya dominasi porimeso akibat penambahan bahan
organik menyimpan lengas tanah tersedia dalam tanah sehingga bobot volume tanah
menurun (Rahayu, 2012).
Berat volume dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: Pengolahan
tanah, bahan organik, pemadatan oleh alat-alat pertanian, tekstur, struktur, kandungan
air tanah dan lain-lain . Kemantapan agregat berhubungan dengan tekstur tanah, jenis
lempung, jumlah kandungan bahan organik, serta populasi mikrobia alami (Downs, et
al., 1955, dalam Thomson and Troeh, 1979).
Agregat adalah bentuk penyatuan butiran-butiran mineral tanah akibat gaya
fisik, kimiawi maupun biologis sehingga tahan terhadap permasalahan kekeringan,
aliran permukaan atau erosi, pemadatan, serta tetap lepas pada kondisi basah maupun
kering. Tanah yang beragregat baik memiliki drainase yang baik pula sehingga
berperan penting dalam menjadikan tanah sebagai media tumbuh bagi tanaman dan
makrobia tanah (Hanafiah, 2008).

4.3.2. Hubungan Berat Isi (BI) dengan pF


Hasil analisis korelasi nilai Berat Isi (BI) dan pF 2,5 di penggunaan lahan
agroforestri sengon dan monokultur tebu menunjukkan bahwa Berat Isi (BI) dan pF
2,5 berkorelasi positif (r=0,06) pada kedalaman tanah 0-10 cm. Sedangkan pada
kedalaman 20-30 cm menunjukkan bahwa Berat Isi (BI) dan pF 2,5 nilai korelasinya
negatif (r= -0,36).Nilai korelasi nilai Berat Isi (BI) dan pF 4,2 berkorelasi negatif (r=-
0,71) pada kedalaman tanah 0-10 cm. Sedangkan pada kedalaman 10-20 cm
menunjukkan bahwa Berat Isi (BI) dan pF 4,2nilai korelasinya positif (r=0,65).
22

Berat volume tanah berkaitan erat dengan porositas/kepadatan tanah sehingga


akan berpengaruh pula pada kemampuan penyediaan air. Berat volume yang paling
baik adalah mendekati nilai 1 gr/cm3. Hasil penelitian Nurmilah dan Asti (2014)
menyatakan berat volume memberikan hubungan sangat nyata negatif terhadap
kemampuan tanah memegang air. Pemadatan tanah merupakan hasil dari pengolahan
tanah secara terus menerus sehingga mengakibatkan berkurangnya porositas tanah dan
meningkatkan nilai Berat Isi tanah (BI). Pengolahan tanah yang dilakukan pada lahan
monokultur tebu pada jangka pendek akan menyebabkan kondisi aerasi tanah yang
baik. Tetapi dalam jangka panjang akan merusak struktur tanah bahkan akhirnya dapat
mengurangi aerasi tanah. Perubahan tersebut diakibatkan tebentuknya lapisan padas.
Karena itu nilai Berat Isi tanah (BI) mempunyai nilai yang tinggi untuk penggunaan
monokultur tebu daripada agroforestri.

4.3.3. Hubungan Kemantapan Agregat dengan pF


Hasil analisis korelasi kemantapan agregat dan pF 2,5 di penggunaan lahan
agroforestri sengon dan monokultur tebu menunjukkan bahwa kemantapan agregat
dan pF 2,5 berkorelasi positif (r=0,7) pada kedalaman tanah 0-10 cm. Sedangkan pada
kedalaman 20-30 cm menunjukkan bahwa kemantapan agregat dan pF 2,5 nilai
korelasinya negatif (r = -0,22). Nilai korelasi nilai kemantapan agregat dan pF 4,2
penggunaan lahan agroforestri sengon dan monokultur tebu berkorelasi positif
(r=0,31) pada kedalaman tanah 0 - 10 cm. Sedangkan pada kedalaman 20-30 cm
menunjukkan bahwa kemantapan agregat dan pF 4,2 nilai korelasinya positif (r=0,16).
Dari nilai korelasi yang positif dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai
kemantapan agregat tanah maka akan meningkatkan nilai kadar air tanah yang lebih
tinggi saat kondisi kapasitas lapang (pF 2,5) dan kondisi titik layu permanen (nilai pF
4,2). Hal ini sesuai pendapat Gregorich et al., (2002) bahwa bahan organik membentuk
senyawa-senyawa mycelia, lendir dan lumpur akibat aktivitas mikroorganisme dimana
berfungsi sebagai perekat butiran-butiran tanah menjadi agregat-agregat kemudian
menjadi pori-pori yang dapat menyimpan air dan mengalirkan udara.
23
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan
perubahan penggunaan lahan dari monokultur tebu menjadi agroforestry sengon
menurunkan BI tanah. Dari hasil pengamatan pada kedalaman 0-10 cm. menunjukkan
beda nyata pada sengon 4 tahun dan 8 tahun, untuk kedalaman 10-20 cm menunjukan
tidak beda nyata.
5.2. Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan tentang perubahan sifat fisika, kimia dan biologi
tanah terhadap perubahan alih fungsi lahan yang awalnya monokultur tebu menjadi
agroforestry sengon.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai korelasi berat isi tanah (bi) dengan kemantapan agregat

BI pf 4.2
BI k.agregat BI k. agregat BI PF 2.5 BI pf 4.2 BI pf 2.5 (10- (10-
(0-10) (0-10) (10-20) (10-20) (0-10) (0-10) (0-10) (0-10) (10-20) (10-20) 20) 20)
BI
(0-10) 1
k.agregat
(0-10) -0,14 1
BI
(10-20) -0,44 0,61 1
k. agregat
(10-20) -0,11 0,90 0,35 1
BI (0-10) 1,00 -0,14 -0,44 -0,11 1
PF 2.5
(0-10) 0,06 0,70 -0,04 0,89 0,06 1
BI (0-10) 1,00 -0,14 -0,44 -0,11 1,00 0,06 1
pf 4.2
(0-10) 0,37 0,31 0,09 0,38 0,37 0,14 0,37 1
BI (10-20) -0,44 0,61 1,00 0,35 -0,44 -0,04 -0,44 0,09 1
pf 2.5
(20-30) 0,85 -0,41 -0,72 -0,22 0,85 -0,03 0,85 0,49 -0,72 1
BI (10-20) -0,44 0,61 1,00 0,35 -0,44 -0,04 -0,44 0,09 1,00 -0,72 1
pf 4.2
(10-20) -0,16 0,48 0,66 0,16 -0,16 -0,22 -0,16 0,50 0,66 -0,27 0,66 1
Kriteria : a) 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel, b) >0 – 0,25: Korelasi sangat lemah, c) >0,25 – 0,5: Korelasi cukup,
d)>0,5 – 0,75: Korelasi kuat, e)>0,75 – 0,99: Korelasi sangat kuat, f) 1: Korelasi sempurna
28

Lampiran 2. Nilai korelasi kemantapan agregat dengan pF

k.
k.agregat PF 2.5 k. agregat pf 2.5 k.agregat pf 4.2 (0- agregat pf 4.2
(0-10) (0-10) (10-20) (10-20) (0-10) 10) (10-20) (10-20)
k.agregat (0-10) 1
PF 2.5 (0-10) 0,70 1
k. agregat (10-
20) 0,90 0,89 1
pf 2.5 (10-20) -0,41 -0,03 -0,22 1
k.agregat (0-10) 1,00 0,70 0,90 -0,41 1
pf 4.2 (0-10) 0,31 0,14 0,38 0,49 0,31 1
k. agregat (10-
20) 0,90 0,89 1,00 -0,22 0,90 0,38 1
pf 4.2 (10-20) 0,48 -0,22 0,16 -0,27 0,48 0,50 0,16 1

Kriteria :
a 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel
b >0 – 0,25: Korelasi sangat lemah
c >0,25 – 0,5: Korelasi cukup
d >0,5 – 0,75: Korelasi kuat
e >0,75 – 0,99: Korelasi sangat kuat
f 1: Korelasi sempurna
29

Lampiran 3. Dokumentasi

Tebu 0 keprasan Tebu 1 keprasan

Pengambilan BI tebu 2 keprasan Pengambilan BI Tebu

Sengon umur 4 tahun Sengon umur 1 tahun


30

Lampiran 4. Lanjutan

Sengon 1 tahun Sengon 8 tahun

Sengon 8 tahun Analisis pF 2.5

Analisis kemantapan agregat Analisis pF 4.2


31
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, J. 2003. Pengaruh Cara Olah Tanah Minimum dan Kedalaman Saluran
Drainase Terhadap Perubahan Sifat Fisika Tanah dan Hasil Jagung Manis
pada Entisol Darussalam. Tesis. Program Paska Sarjana Universitas
Syiah Kuala, Banda Aceh.

Alrasyid, H. 1997. Evaluasi penerapan TJTI. Makalah Seminar hasil-hasil penelitian.


Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Annisah, N. 2014. Karakteristik Fisik Habitat Leda Eucaliptus deglupta di Jalur


Pendakian Gunung Nokilalaki Kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Warta Rimba 2 (2): 42-48.

Butar butar, J. 2009. Pestisida dan pengendaliannya. Koperasi serba usaha “subur”
Diana. Pp 1-12.

Carvalho, J,L,N, Cerri, C,E,P, Feigl, B,J, Piccolo, M,de,C, Godinho, V, de, P, Herpin,
U, & Cerri C,C. 2009, ‘Conversion of Cerrado into Agricultural Land in
the South Western Amazon, Carbon Stocks and Soil Fertility’, Sci, Agric,
(Piracicaba, Braz), 66(2):233-241

Craig, B. M. 1991. Mekanika Tanah. Erlangga. Jakarta. Pp 1-40

Downs. S. C., T. M. McCalla, and F. A. Haskin. 1995. Stachybotrys atra, an Effective


Agregator of Peorian Loess. Soil Sci. Soc. Am Proc. 19: 178- 181

Eluozo, SN. 2013. Predictive Model to Monitor the Rate Of Berat Isi in Fine and Coarse
Soil Formation Influenced Variation of Porosity in Coastal Area of Port
Harcourt, American Of Journal Engineering Science And Technology
Research, 1(8) : 115-127.

Budiyanto. 2014. Manajemen Sumber Daya Lahan. LP3M UMY. Yogyakarta. Pp 2-


16.

Gardiner, D and Miller, R.W. 2008. Soils In Our Environment. 11th Edition. Pearson,
Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersay, Columbus, Ohio. 600p

Garside, A.L. 1997. Yield decline research in the Australian sugar industry. Proc. S.
Afr. Sugar Technol. Assoc. 71, 3–18.
Ghayal, N., Pravin taware and Kondiram Dhumal. 2011. Influence of sugarcane
Monokultur on rhizosphere Microflora, soil enzymes and npk status.
International Journal of Pharma and Bio Sciences. 2 : 1-15.
25

Gregorich, E. G., D. A. Angers, C. A. Cambell, M. R. Carter, C. F. Drury, B. H. Ellert,


P. H. Groenevelt, D.A. Hlomtorm, C. M. Monreal, H. W. Rees, R. P.
Voroney, and T. J. Vyn. 2002. Changes In Soil Organic Matter.
Agricultura and Agri-Food Canada. Pp 1-3.

Hakim., Nurhajati., Nyakpa., Y. Lubis. 1986. Dasar- Dasar Ilmu Tanah. Lampung.
Universitas Lampung.

Hanafiah, A.K. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Rajawali Press. Pp 1-30.


Hanafiah, Kemas Ali. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Pp 5-35.

Hardiyatmo, H.C. 2003. Mekanika Tanah II. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Pp 10-45.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Pp 1-25.

Hidayat, J. 2002. Informasi Singkat Benih Paraserianthes Falcataria (L) Nielsen. No


23, Juni 2002. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan : Jakarta. Pp 1-29.

Khairi, M.Fuad. 2017. Karakteristik Sifat Fisik Tanah Pada Sistem Pengolahan Tanah
Konservasi (Studi Kasus ; Kebun Percobaan Cikabayan). Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pp 4-50.

Kramer. P.J. 1980. Plant Soil Water Relationship. Tata Mcgraw Hill Public . Co. Ltd.
New Delhi.

Kumalasari, S. W., J. Syamsiah. 2011. Studi Beberapa Sifat Fisika Dan Kimia Tanah
Pada Berbagai Komposisi Tegakan Tanaman Di Sub Das Solo Hulu. J.
Ilmiah Ilmu Tanah dan Agro

Lahjie, A.M. 1992. Agroforestri, Suatu Pengantar. Diktat Kuliah Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman. Samarinda.

Loganandhan. N, B. Gujja, V. Vinad Goud, dan U. S. Natarajan. 2012. Sustainable


Sugarcane Initative (SSI): A Methodology of More Mith Less. Sugar
Tech.

Martin, F. and Sherman, S. (1992). Agroforestry Principles. Echo Technical Note.1-


11.
Mayrowani, H dan Ashari. 2011. Pengembangan Agroforestry untuk Mendukung
Ketahanan Pangan dan Pemberdayaan Petani Sekitar Hutan. Forum
penelitian agro ekonomi, 29(2): 83-98 p.
26

Madjid. 2010. Sifat dan Ciri Tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Manfarizah, Syamaun, Nurhaliza S. 2011. Krasteristik Sifat Fisika Tanah di University


Farm Station Bener Meria. Agrista 15. (1) 1-9

Notohadiprawiro. T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jendral Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Nugroho, T.A. dan Z. Salamah. 2015. Pengaruh Lama Perendaman dan Konsentrasi
Biji Sengon (Paraserianthes falcataria L.). JUPEMASI-PBIO, Vol. 9 No.
3.

Nugroho.Y. 2009. Analisis Sifat Fisik Kimia Dan Kesuburan Tanah Pada Lokasi
Rencana Hutan Tanaman Industri PT Prima Multibuwana. Prodi
Budidaya Universitas Lambung Mangkurat. Kal - Sel. 10 (27) : 1-6.

Rahayu. Umi. 2012. Pengaruh Pemberian Arang dan Molase Terhadap Kemantapan
Agregat Pada Udipsament Colomadu Kabupaten Karanganyar. Fakultas
pertanian Universitas negeri Surakarta. Surakarta. 12 (18) : 1-8.

Saidi, A. 2006. Fisika Tanah dan Lingkungan. INSIST Press. Yogyakarta. Pp 3-40.

Senoaji, G. 2012. Pengelolahan lahan dengan sistem agroforestri oleh


masyarakat baduy di banten selatan. Bumi lestari, 12 (2): 283-293.
Sitohang. 2010. Alat dan Mesin Pertanian Bajak Singkal. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Jakarta. Pp 4-10.

Siregar, I.Z, T. Yunanto dan J. Ratnasari. 2008. Prospek Bisnis, Budidaya, Panen
dan Pasca Panen Kayu Sengon. Penebar swadaya. Jakarta. Pp 5-40.

Syahri dan T. Nurhayati. 1991. Analisis kimia kayu dan kulit kayu jeungjing. Pusat
Litbang Hasil Hutan. Laporan Hasil Penelitian (Tidak diterbitkan).

Anda mungkin juga menyukai