Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH MPK AGAMA PROTESTAN

KESETARAAN PERAN WANITA DALAM GEREJA KATOLIK

DISUSUN OLEH

Grace P.P. Panggo (1906424085)


Nicole Christy (1906362162 )
Gaby Febriani (1906363032)
Putri Aprina (1906362276 )
Estella Nava. P (1906316010)
Catherine Sukutania ( 190636252)
Anggia Sarah Valencia (1906423914)
Lydia Christina Angela. S(NPM: 1906384743)

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2019

1
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puja dan puji syukur kehadiratNya, atas limpahan rahmat, berkat, dan
kasihNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Kesetaraan Peran Wanita
Dalam Gereja Katolik” yang membahas mengenai peran dan kesetaraan wanita dalam gereja
katolik dan gereja protestan sebagai pembandingnya.

Makalah ilmiah ini telah kami susun semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Serta bantuan dan
bimbingan bapak Indri Jatmoko dalam menulisan makala ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat berguna untuk masyarakan serta dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

17 September 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover………………………………………………………………………………………………1
Kata Pengantar…………………………………………...……………………………….............2
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………………………………4
B. Kasus……………………………………………………………………………………4-5
BAB II Landasan Teori
A. Landasan Teori……………………………………………………………………….....6-7
BAB III PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
A. Pembahasan ……………………………………………………………………………….8
B. Kesimpulan…………………………………………………………………………..........8
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………..8

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maraknya gerakan feminis yang mengkritik dan menuntut kedudukan perempuan dalam
agama dan Gereja melatarbelakangi kasus yang akan dibahas pada makalah ini. Isu isu kesetaran
gender menjadi hal yang krusial di lingkungan masyarakat di seluruh dunia. Banyak pihak dari
seluruh lapisan masyarakat menuntut kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan banyaknya
ketidakadilan yang dialami perempuan dari tradisi sosial-budaya yang telah mendarah daging.
Setelah maraknya isu isu feminis, maka berkembanglah semangat menuntut persamaan
hak dan status perempuan dalam gereja. Perempuan selama ini dianggap tidak sekodrat dengan
laki laki, perempuan dianggap sebagai sumber dosa dunia. Hal ini didasarkan oleh kitab suci
yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Yahudi di mana tradisi mereka secara teologis sangat
bersifat patriakhal.
Seiring dengan perkembangan zaman, gereja Katolik mulai mengadakan refleksi. Dalam
Kondili vatikan II di tahun 1960, Paus Yohanes XXIII mengumumkan bahwa gereja Katolik
semakin terbuka. Isu-isu perempuan dan ketidakadilan gender mulai diberi kesempatan untuk
diperdebatkan. Meskipun demikian, kesetaraan gender masih juga belum menemukan titik
terang. Dalam lingkup Gereja Katolik sendiri, perempuan jarang diminta untuk melayani dalam
bidang konsultasi konferensi-konferensi para uskup. Partisipasi perempuan dalam pengambilan
keputusan dalam gereja juga sangat terbatas. Paulus sendiri mengungkapkan bahwa perempuan
tidak boleh berbicara di Gereja (1 Korintus 14:34-35) maupun menjalankan otoritas melampaui
laki-laki (1 Timotius 2:11-15). Santo Paus Yohanes Paulus II juga memiliki perkataan yang jelas
tentang hal ini dan itu berlaku, bahwa mengacu pada dokumen tahun 1994 yang menyatakan
bahwa perempuan tidak akan pernah diperbolehkan bergabung sebagai iman.
Namun banyak teolog feminis yang mengungkapkan pendapat mereka bahwa jika Gereja
mau menginjilkan dan menyebarkan Yesus ke dunia, maka diskriminasi seksual dalam struktur
gereja harus diubah.

B. Kasus
Wanita menjadi pendeta merupakan suatu pernyataan yang diungkapkan dengan penuh
keheranan oleh seorang teolog pria Korea dalam colloquium "Methods of Doing Theology from
an Ecumenical Perspective in Asia" yang diadakan oleh Christian Conference of Asia (CCA) dan
World Council of Churches (WCC) di Kyoto. Pada saat itu beliau mengungkapkan bahwa pada
saat itulah pertama kalinya Ia melihat seorang pendeta wanita memberitakan injil diatas mimbar.
Beliau juga menanyakan serta bercerita dengan beberapa anggota Christian Reformed Church
(CRC) di Michigan, USA dan di Canada pada saat Ia belajar di Calvin Theological Seminary
pada tahun 1992-1993. Pada saat itu memang CRC tidak mengenal adanya pendeta perempuan di
tingkat jemaat. Tahun 1993, hanya laki-lakilah yang bisa menjadi pendeta CRC. Pada tingkat
sinode sudah terjadi diskusi mengenai "penahbisan wanita menjadi pendeta" di CRC sekitar 20
tahun lebih.
Kasus lainnya juga dapat ditemukan oleh seorang pendeta wanita dari gereja Presbyterian di
Taiwan yang menggambarkan partisipasi kaum perempuan di gereja. Dalam jemaat-jemaat lokal
di Taiwan, kaum perempuan biasanya ditemukan dalam jumlah yang terbatas dalam tingkat

4
Majelis. Tanggungjawab mereka biasanya terbatas pada komisi bunga dan musik, sebagai
diakones guru sekolah gereja. Sementara kaum perempuan lebih besar jumlahnya sebagai
anggota gereja yang aktif dan menjadi kekuatan yang mendukung dalam hampir setiap jemaat,
mereka praktis tidak mempunyai kuasa apapun di dalam strukturnya, yang biasanya didominasi
oleh para rohaniwan dan pejabat gereja laki-laki. Seperti dalam masyarakat umumnya. mereka
dipandang sebagai penolong bagi kaum laki-laki, dengan bakat yang hanya terbatas pada hal-hal
estetika atau pekerjaan dengan anak-anak.
Hal serupa pernah dinyatakan oleh seorang pendeta demikian: "The whole of Scripture
witnesses with one accord that to man is confided the heavy task of ruling, to woman the
beautiful task of serving." yang dalam Bahasa Indonesia berarti adanya pendapat-pendapat
semacam ini membuat hal penahbisan wanita menjadi pendeta masih agak kontroversial yang
artinya ada gereja yang memandang boleh dan ada gereja yang memandang tidak boleh.
Tidak dapat disangkal memang bahwa di banyak gereja, wanita boleh dan diharapkan
berperan dalam kehidupan gereja. Namun jika kita perhatikan, tampaknya di beberapa gereja
peran wanita hanya diharapkan pada bidang-bidang tertentu, seperti dalam bidang konsumsi,
paduan suara, sekolah minggu, ataupun komisi wanita, tetapi tidak untuk menjadi pendeta.
Kalaupun seorang wanita lulusan sekolah teologia, di beberapa gereja ia dianggap cukup menjadi
penginjil yang hanya membantu tugas pendeta atau di gereja Batak dikenal istilah "diakones" dan
penginjil atau pengkhotbah wanita.

5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori

1. Kepemimpinan
Kepemimpinan secara etimologi berasal dari kata pimpin yang berarti bimbingan
atau tuntunan. Kata kepemimpinan itu sendiri merupaka tindakan dalam pelaksanaan
tugas memimpin. Menurut Sudarwan Danim kepemimpinan adalah setiap perbuatan yang
dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada
individu atau kelompok yang tergabung di dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya.1
Kepemimpinan dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan dan kelompok tempat
seseorang berada. Di sisi lain kepemimpinan juga dapat mempengaruhi suatu lingkungan
atau kelompok melalui perannya. Hal ini menunjukkan keterkaitan hubungan antara
pemimpin sebagai individu dengan kelompoknyba. Hubungan antara pemimpin sebagai
individu dengan kelompoknbya dilihat sebagai suatu relasi dari hubungan resiprokal,
artinya individuality dan sociality bersifat saling mempengaruhi. Kepemimpinan secara
individuality merujuk pada kepribadian seseorang yang menonjol sebagai seorang
pemimpin sedangkan, kepemimpinan secara sociality menyangkut fungsi organisasi
dengan pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang didasarkan atas pola-
pola kekuasan dan otoritas.2

2. Peran Wanita Menurut Alkitab


Melihat dari perjalanan pelayanan Yesus, wanita memiliki peran yang penting.
Seperti yang tercatat dalam Matius 27:55-56 dan Lukas 23:49 dan 55, banyak dari
sahabat serta pengikut Yesus merupakan wanita. Selain itu para perempuan pulalah
yang terakhir meninggalkan salib Yesus dan juga yang pertama melihat kebangkitanNya..
Namun jika kita perhatikan, tak ada satu ayat Alkitab atau kejadian yang
menunjukkan perempuan melakukan pelayanan, “mengajar” dan “berkhotbah,” Para
perempuan selalu ada di sekitar Yesus dan murid-muridNya tetapi tidak pernah
melakukan pelayanan khotbah dan pengajaran. Selain itu dari kedua belas murid Yesus,
tidak ada satupun yang merupakan perempuan. Yesus juga tidak pernah mengirimkan
perempuan dalam misi untuk mengajar, berkhotbah, ataupun menyembuhkan.
Dalam Perjanjian Baru, Paulus menuliskan petunjuk pelayanan dalam pelayanan
gereja. Ia juga memberikan petunjuk mengenai peran pelayanan wanita. Meski demikian,
Paulus tidak pernah merendahkan wanita. Sebaliknya, ia sangat menghargai pelayanan
perempuan dalam gereja dan pelayanannya (Roma 16), namun Ia menempatkannya
sesuai dengan ketentuan dan kapasitas mereka sebagaimana diatur dalam firman Allah.

1
Sudarwan Danim, Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok, Jakarta: Rineka Cipta,2004, h.56
2
Emory S.Bogardus, Leader and Leadership, Inggris:Oxford,1934

6
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
A. Pembahasan
Saat ini sedang marak seruan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan dalam pelayanan di Gereja pun tidak luput dari sorotan. Seperti yang kita semua
ketahui, di dalam Gereja Katolik ada doktrin yang mengatakan bahwa perempuan tidak bisa
menjadi pemimpin dalam suatu gereja, contohnya seperti menjadi pastor, romo, ataupun paus.
Hierarki atau pemimpin di dalam Gereja Katolik semuanya adalah laki-laki.
Menurut kami, ketidaksetaraan gender yang terjadi dalam Gereja Katolik adalah karena
mereka sangat memegang teguh budaya patriarki. Gereja Katolik percaya bahwa laki-laki
mempunyai peran yang penting dan utama dibandingkan dengan perempuan. Hal paling
mendasar yang melandasi kepercayaan mereka ini adalah karena Yesus Kristus, pemimpin ulung
kita adalah laki-laki. Kedua belas murid Yesus juga semuanya adalah laki-laki. Gereja Katolik
juga percaya bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin di Gereja sesuai dengan 1
Korintus 14:34-35 yang berbunyi:
“Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam
diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara.
Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka
ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab
tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat.”
Contohnya lainnya, dalam kisah penciptaan laki-laki diciptakan lebih dulu sebelum
perempuan dan juga dalam kehidupan keluarga yang menjadi pemimpin adalah seorang Ayah.
Gereja Katolik sangat memegang teguh sejarah dan budaya yang ada ini, maka dari itu mereka
belum bisa menjadikan perempuan sebagai pemimpin dalam Gereja. Sangat jelas sudah terjadi
adanya ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam Gereja Katolik.
Tetapi, bukan berarti Gereja Katolik sepenuhnya tidak menghargai martabat perempuan
dan melarang perempuan untuk dapat berkontribusi di dalam Gereja. Perempuan masih bisa
berkontribusi dalam Gereja namun hanya sebatas sebagai pelayan, contohnya menjadi suster.
Peran perempuan sebagai pelayan juga tidak kalah pentingnya dengan peran laki-laki sebagai
pemimpin dalam Gereja Katolik.
Meskipun perempuan tetap mendapat bagiannya untuk berkontribusi dalam Gereja
Katolik, kami berpendapat bahwa perempuan harus mendapat kesempatan yang sama dengan
laki-laki sebagai pemimpin dalam Gereja.
Di dalam Alkitab tertulis bahwa, laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:27), perempuan juga dipanggil sebagai nabi (Hakim-hakim
4:4), perempuan juga bernubuat dan dipenuhi Roh Kudus (Kisah Para Rasul 2:18), laki-laki dan
perempuan sama-sama bisa mengerti hokum Taurat (Nehemia 8:2), perempuan memiliki iman
yang hebat (Matius 15:28), para perempuan beriman sangat menonjol dalam Gereja (Kisah Para

7
Rasul 17:4), dan masih banyak lagi hal lain yang bisa digali dalam Alkitab mengenai kesetaraan
laki-laki dan perempuan.3 Hal ini membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan karena bahkan di dalam Alkitab sudah dikatakan demikian.
Sejarah dan budaya yang mendasari Gereja Katolik melarang perempuan untuk menjadi
pemimpin juga sudah tidak relevan lagi dengan situasi saat ini. Sekarang, banyak perempuan
yang sudah menjadi pemimpin baik dalam Gereja maupun luar Gereja dan banyak perempuan
yang menjadi kepala keluarga. Jika sejarah dan budaya tersebut sudah berubah, maka bukankah
itu berarti bahwa Gereja Katolik juga harus merubah doktrin mereka?
Alasan lain mengapa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin dalam Gereja adalah
karena perempuan tidak mampu mengendalikan emosi, mudah tergoda, dan juga mudah tertipu.
Hal-hal ini hanyalah pendapat, anggapan, dan prasangka, dan tidak bisa dijadikan alasan pasti
untuk dapat menolak perempuan dalam kepemimpinan Gereja. Semua orang memiliki sifat yang
berbeda-beda dan tidak semua perempuan memiliki sifat demikian. Jika seorang perempuan
mempunyai iman yang lebih besar daripada seorang lelaki, maka akan lebih besar kemungkinan
seorang lelaki untuk tergoda, tertipu, dan jatuh ke dalam dosa.
B. Kesimpulan
Dengan ini kami membuat rangkaian makalah ini sedemikian rupa untuk memenuhi nilai
tugas MPK Agama Kristen. Dapat disimpulkan bahwa peran wanita dalam Gereja Katolik
memang dapat terbilang dipandang sebelah mata oleh para petinggi maupun para jemaat, namun
demikian seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman peran wanita daan Gereja
semakin diterima bahkan tidak sedikit yang ikut mengambil peran penting dalam kepengurusan
Gereja.

Daftar Pustaka
Samson, H. Peranan Perempuan Dalam Gereja. REFORMED COVENANT
PREMILLENNIALISM, February 8, 2019.
Danim Sudarwan. Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta: Rineka
Cipta,2004.

Mory S.Bogardus. Leader and Leadership. Inggris: Oxford,1934.


Meitha Sartikam “ Penabsihan Wanita Sebagai Pendeta”.

3
H, Samson. Peranan Perempuan Dalam Gereja. REFORMED COVENANT PREMILLENNIALISM, February 8, 2019.
http://covenantpremillennialism.info/peranan-perempuan-dalam-gereja/.

Anda mungkin juga menyukai