Kabupaten Sinjai dimulai pada bulan Desember 2001 melalui bantuan ternak sapi
pertumbuhan populasi sapi perah selama tiga tahun terakhir hanya mencapai
1,08% per tahun, sedangkan produksi susu dalam negeri juga hanya mencapai 30-
pada ternak betina. Akibatnya, efisiensi reproduksi akan menjadi rendah dan
pengelolaan ternak yang baik agar daya tahan reproduksi meningkat sehingga
reproduksi bagi suatu usaha peternakan, sehingga penting untuk dilihat dan
diketahui.
1
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelainan/gangguan
reproduksi pada ternak sapi perah betina yang terdapat di Kabupaten Sinjai.
Kabupaten Sinjai.
2
TINJAUAN PUSTAKA
waktu tertentu atau selama masa hidupnya walaupun anak – anaknya sudah
disapih atau tidak disusui lagi. Dengan demikian, susu yang dihasilkan dapat
dimanfaatkan oleh manusia. Jenis ternak perah yang ada antara lain sapi perah,
kambing perah, dan kerbau perah yang dipelihara khusus untuk diproduksi
susunya. Sapi perah Fries Holland (FH) berasal dari propinsi Belanda Utara dan
propinsi Friesland Barat. Bangsa sapi FH terbentuk dari nenek moyang sapi liar
(Bos Taurus) typicus primigenius yang ditemukan di negeri Belanda sekitar 2000
Sapi Fries Holland atau FH, di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian
perah lainya, dengan kadar lemak susu yang rendah (Sudono dkk, 2003).
Kabupaten Sinjai adalah sapi perah Fries Holland (FH) (Anonim, 2011 b). Sapi
Pasuruan Jawa Timur dan sejak tahun 1900 masuk ke daerah Lembang Jawa Barat
(Siregar, 1989). Untuk lebih mengembangkan sapi perah di Indonesia maka pada
tahun 1434 didatangkan 22 ekor pejantan FH dari negeri Belanda dan ditempatkan
di Grati dan Pasuruan. Survei pada tahun 1964 menunjukkan produksi susu sapi
3
Grati mencapai 6,61% atau berkisar 2,02 kg/hari dengan panjang laktasi 8,73
bulan (Rahma, 2006). Pada tahun 1962 didatangkan sapi FH dari Denmark, tahun
1964 didatangkan dari negara Belanda sebanyak 1354 ekor sapi FH, dan pada
tahun 1979 didatangkan lagi sapi FH dari Australia dan Selandia Baru sehingga
lama periode 1979-1984 jumlah sapi perah yang tersebar di Indonesia adalah
2. Pada kaki bagian bawah dan juga ekor juga terdapat warna putih
segitiga
pembawaannya
10. Produksi susu perahannya 4500-5500 liter dalam satu masa laktasi dengan
4
B. Manajemen Reproduksi
Pubertas
Alat reproduksi sapi dara telah terbentuk jauh sebelum dilahirkan. Sesudah
dilahirkan organ tersebut berkembang tahap demi tahap sampai hewan mencapai
dewasa kelamin dan mampu untuk mengandung dan melahirkan anak. Sesudah
akil balik, alat reproduksi berkembang terus, sampai tercapai pertumbuhan yang
Pertumbuhan pubertas yang cepat pada sapi dara Holstein dimulai selama
makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur
berahi, dan ovum memasuki tuba fallopii, dimana kemungkinan ovum tersebut
Sapi dara yang dipelihara dengan baik pada umur 13 sampai 15 bulan
sudah mencapai berat yang cukup untuk dikawinkan, sehingga pada umur sekitar
dua tahun sapi betina telah dapat berproduksi. Menurut Lindsay dkk, (1982)
5
bahwa pada beberapa keadaaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan
maksud agar induk tidak terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil
pada waktu melahirkan maka kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak
betina pada saat pubertas mempunyai variasi yang lebih luas daripada bobot badan
pada saat pubertas (Nuryadi, 2000). Hal ini berarti bahwa bobot badan lebih
Walaupun umur dari sapi dara sudah cukup untuk dikawinkan atau dengan kata
lain sudah mengalami dewasa tubuh tidak berarti mengalami dewasa kelamin.
Alasan bahwa sapi dara harus mengalami dewasa kelamin adalah membantu
dalam proses kelahiran, karena kelahiran yang tidak normal banyak terdapat pada
Deteksi Berahi
tingkah laku sapi yang berahi baik normal ataupun tidak. Deteksi berahi paling
sedikit dilaksanakan dua kali dalam satu hari, pagi hari dan sore/malam hari.
Dalam pelaksanaan deteksi berahi bagi para inseminator maupun peternak sukar
untuk dapat mengetahui saat yang tepat awal terjadinya estrus (berahi). Terjadinya
berahi pada ternak di sore hari hingga pagi hari mencapai 60%, sedangkan pada
pagi hari sampai sore hari mencapai 40% (Lubis, 2006). Menurut Ihsan (1992)
deteksi berahi umumnya dapat dilakukan dengan melihat tingkah laku ternak dan
keadaan vulva.
6
Secara fisiologis, berlangsungnya siklus berahi ini melibatkan aktivitas
sistem syaraf dan sistem hormonal dalam tubuh sapi, sehingga dapat dikatakan
bahwa reproduksi sapi berlangsung secara neuro hormonal. Jika sapi tersebut
masuk dalam pengecekan satu siklus berahi (rata-rata 18-23 hari), tanda chalking
orange pada pangkal ekor menghilang, vulva terlihat bengkak, panas, dan merah
maka sapi tersebut dapat dikawinkan, untuk memastikan estrus lebih tepat lagi,
cervic dapat diraba, jika agak keras (tegang) maka sapi tersebut positif estrus dan
Sistem Perkawinan
cukup singkat, untuk itu diperlukan pengamatan secara teliti terhadap tanda-tanda
berahi seekor ternak agar program perkawinan dapat berjalan sesuai rencana.
Sistem perkawinan ternak dapat dilakukan dengan dua cara yakni perkawinan
1. Perkawinan Alam
Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina dengan menjilati atau
membau di sekitar organ reproduksi betina bagian luar setelah itu pejantan
melakukan penetrasi.
7
2. Perkawinan Buatan
1988).
Service per conception adalah sebuah ukuran kesuburan induk sapi yang
dikawinkan dan berhasil menjadi bunting. Service per conception dapat dihitung
dengan membagi jumlah total perkawinan pada sekelompok ternak dengan jumlah
induk yang bunting. Menurut Toelihere (1985) bahwa nilai S/C yang normal
berkisar antara 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi
kesuburan hewan - hewan betina. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin
dengan container yang terbuat dari stainless steel maupun alumunium (Bearden
Pemeriksaan Kebuntingan
Pemeriksaan kebuntingan sapi dilakukan satu sampai satu setengah bulan setelah
memasukkan tangan pada bagian rektal, jika ovarium terasa asimetris atau adanya
pembesaran di salah satu ovari, bisa dikatakan sapi tersebut bunting. Selain itu
8
perabaan dapat dilakukan pada bagian fetal membran (percabangan uteri) yang
terasa membesar, pemeriksaan ini dilakukan oleh dokter hewan atau veteriner
pecahnya embrio yang masih sangat kecil. Jika sapi tersebut positif bunting maka
diberi tanda dengan chalking green pada pangkal ekor. Sejarah perkawinan sapi
dilakukan pada seekor sapi harus tercatat dengan baik sehingga dapat dipelajari
(Toelihere, 1985).
Kelahiran
Partus sebagai akhir dari suatu proses kebuntingan dan merupakan suatu
plasenta dari uterus sapi yang mengalami kebuntingan. Proses partus sangat
berhubungan dengan siklus hormonal yang melibatkan induk dan fetus dalam
suatu mekanisme partus. Proses ini dimulai dari hipotalamus fetus yang sudah
(ACTH) dari kelenjar korteks adrenal yang menghasilkan kortisol fetus (Peters
Calving Interval
9
ekonomis yang penting. Pada peternakan sapi perah yang ideal, kelahiran harus
perah dapat maksimal ketika rata-rata calving interval untuk sekelompok ternak
bulan. Adanya selang beranak yang panjang dapat disebabkan oleh faktor
Selang beranak juga mempunyai pengaruh terhadap lama laktasi dan produksi
susu.
Umur Sapih
tanpa pembatasan. Pedet bersama induk sampai dengan disapih, yakni pada saat
pedet tersebut berumur 6 sampai 9 bulan. Biasanya kondisi pedet akan tumbuh
lebih cepat dan kuat (Muljana, 1985). Ditambahkan oleh Siregar (1989), pedet
sapi perah sudah boleh disapih pada umur 11 minggu. Namun banyak peternak
sapi perah yang menyapih pedetnya pada umur lebih dari 11minggu.
C. Gangguan Reproduksi
reproduksi yang belum ditangani secara baik. Umur melahirkan pertama kali
dapat dipengaruhi oleh pakan, sehingga membuat siklus berahi selanjutnya tidak
10
Lingkungan
Khususnya dalam hal pemberian pakan, harus diupayakan dengan baik dan
seimbang terutama pada umur muda (Herwiyanti, 2006). Pakan yang kurang
sekresi hormon terganggu. Begitu juga saat pakan yang berlebih menyebabkan
obesitas, pada sapi dara akan mengganggu perkembangannya sedangkan pada sapi
(P) akan terjadi hipofungsi ovari, dan lambat untuk pubertas. Mineral Cuprum
(Cu), Ferum (Fe), Cobalt (Co) dapat menyebabkan kegagalan berahi, begitu juga
dengan induk yang kekurangan iodium maka pedet akan premature dan kondisi
lemah saat kelahiran. Saat sapi masuk dalam tahap menyusui akan menghambat
hormon GnRH. Iklim juga menjadi salah satu faktor, panas yang berlebih dalam
jangka waktu yang lama membuat sapi tidak menunjukkan tanda-tanda berahi.
Hormonal
Silent heat bisa disebabkan kekurangan hormon estrogen, sapi yang sudah tua,
atau berahi setelah melahirkan. Diantara hewan ternak, silent heat banyak
dijumpai pada hewan betina yang masih dara, artinya berahi pertama pada hewan
betina yang baru mencapai dewasa kelamin sering dalam bentuk silent heat.
Demikian juga apabila hewan betina yang mendapat ransum dibawah kebutuhan
normal, atau induk yang sedang menyusui anaknya atau diperah lebih dari dua
kali dalam sehari. Akan tetapi, kasus silent heat ini paling sering terjadi pada
11
induk yang berahi pertama kali setelah melahirkan. Kasus ini juga rentan terjadi
pada hewan yang mengalami defisiensi mineral terutama fosfor dan selenium
(Anonim, 2004c). Kasus silent heat dapat mencapai 77% pada ovulasi pertama
setelah melahirkan, 54% pada ovulasi kedua, dan 30% pada ovulasi ketiga pasca
melahirkan pada sapi perah yang berproduksi tinggi. Menurut Hopkin (1986),
konsentrasi progesteron sangat rendah dalam darah saat ovulasi pertama setelah
yang dikeluarkan oleh hipofisa anterior. Oleh karena itu, pada siklus berahi
Berahi pendek adalah induk sapi yang berahinya berjalan sangat cepat (2-3
jam) disertai ovulasi. Kedua keadaan ini disebabkan oleh karena korpus luteum
hewan betina yang menunjukan gejala berahi secara klinis hanya beberapa jam
saja, disertai terjadinya ovulasi pada ovariumnya. Waktu berahinya pendek dan
kadang-kadang muncul pada malam hari. Oleh karena itu, lama berahinya hanya
3-5 jam saja, sering tidak dapat dideteksi oleh pemiliknya sehingga ternak tersebut
diduga menderita anestrus. Terlebih apabila deteksi berahi hanya dilakukan sekali
dalam sehari, ada kemungkinan sub estrus tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan pada saat ovulasi, induk hewan tidak dapat dikawinkan, akibatnya
pendek/subestrus ini dapat diterangkan mirip dengan pada kasus silent heat.
12
melahirkan. Penanggulangannya adalah dengan menggunakan pejantan pengusik
dengan libido yang tinggi, sehingga keadaan berahi pendek dapat dikenali oleh
penurunan fungsinya dari normal, dapat muncul pada saat yang beragam, sering
terjadi pada sapi dara menjelang pubertas dan sapi dewasa partus atau setelah
berbentuk agak bulat, rata, licin dan agak kecil dibandingkan dengan normal.
disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk dari sapi yang bersangkutan. Pada sapi –
penyakit yang menimbulkan kelemahan kronis dan keadaan yang demikian sering
kali penyebabnya tidak terlihat terutama pada kasus – kasus yang sporadis. Faktor
yang diduga kuat sebagai penyebab sistik ovari adalah kegagalan hipofisa untuk
13
Genetik
pada keduanya maka sapi harus diafkir karena adanya saluran reproduksi yang
tidak berkembang. Untuk sifat yang tidak menurun: ovarium hanya satu,
Penyakit
Penyakit ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa dan
lainnya. Akibat yang ditimbulkan dari bakteri salah satunya adalah Brucellosis
Beberapa gangguan reproduksi yang sering dialami oleh sapi perah adalah sebagai
berikut :
Penyebab dari nimfomania itu sendiri karena produksi susu yang tinggi
tetapi tidak diimbangi dengan nutrisi (intake nutrisi rendah) sehingga kekurangan
ovarium maka akan terasa salah satu ovarium atau kedua-duanya membesar dan
terdapat cairan, dindingnya tipis, diameter lebih dari 2,5 cm serta gejala berahi
terus menerus. Persentase yang terhitung pada kasus seperti ini menunjuk angka
ini sapi akan diberikan injeksi hormon LH (Luteinizing Hormon) sebanyak 3 ml.
postpartum. Apabila selaput tersebut menetap lebih lama dari 8 sampai 12 jam,
14
kondisi ini dianggap patologik dan terjadilah retensio secundinae (Toelihere,
1985). Penyebabnya adalah kegagalan lepasnya vilia kotiledon fetus dari kripta
karankula maternal karena dorongan myometrium yang lemah. Uterus akan terus
berkontraksi dan sejumlah besar darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat
berkurang. Karankula maternal mengecil karena suplai darah berkurang dan kripta
kompleks yang meliputi pengurangan suplai darah diikuti oleh penciutan struktur-
kontraksi uterus yang kuat (Toelihere, 1985). Plasenta tersebut harus keluar,
menempel pada plasenta akan masuk kedalam organ reproduksi. Jasad-jasad renik
menyebabkan placentitis.
paling ringan. Pada umumnya disebabkan oleh infeksi jasad renik yang masuk ke
dalam uterus melalui cervic dan vagina. Kuman-kuman yang sering masuk
dari feses, mungkin pada waktu inseminasi buatan, atau pertolongan distokia
4. Metritis
toksiknya terjadi dalam waktu 3-5 hari setelah melahirkan. Metritis umumnya
15
disertai septicemia berat atau toksemia (metritis septika). Penyebab infeksi yang
biasanya tampak lesu, menahan rasa sakit, produksi susu akan menurun, tidak
mampu untuk berdiri, anoreksia, dan keluarnya discharge (cairan) encer berwarna
coklat dan berbau amis. Pada saat dilakukan palpasi rektal menunjukan uterus
membesar (tidak normal), cervic teraba lebih besar dari biasanya, dan kadang-
kadang bila uterus ditekan maka akan mengeluarkan leleran yang bersifat
5. Pyometra
Pyometra berasal dari dua kata, yaitu pyo yang artinya nanah dan metra
fisik, sapi yang mengalami pyometra akan menunjukkan pembesaran perut yang
simetris. Hal ini terjadi karena nanah yang tertimbun dalam uterus akan mengisi
kedua kornu. Badan kelihatan kurus dengan bulu yang kusam. Pada saat sapi
berbaring, akan keluar kotoran berupa nanah dari lubang vagina. Sebaliknya yang
terjadi pada sapi yang bunting. Pembesaran perut mengarah ke kanan, karena di
sebelah kiri terdapat rumen, sehingga pertumbuhan fetus akan ke kanan. Badan
kelihatan gemuk dengan bulu yang mengkilat. Selain itu, tidak ada kotoran yang
keluar dari lubang vagina. Hasil eksplorasi rektal menunjukkan bahwa penyebab
16
pembesaran perut yang simetris pada pyometra adalah karena nanah mengisi
kedua kornu uterus. Mukosa uterus terasa lebih tebal dari normal, dan jika uterus
ditekan akan berfluktuasi karena ada tekanan balik dari cairan dalam uterus. Tidak
ditemukannya fetus dalam uterus. Beda halnya jika sapi tersebut bunting, melalui
eksplorasi rektal akan ditemukan fetus yang hanya tumbuh pada salah satu
koruna, dan koruna lainnya tetap kecil. Dinding uterus menipis, mengikuti
pertumbuhan fetus. Arteri uterina mediana teraba dan karunkulapun teraba pada
dinding uterus.
6. CL Persisten
secundinae, maserasi dan mumifikasi fetus dan kelainan lain yang mengganggu
luteolitik dari endometrium, sehingga corpus luteum gagal beregresi dan siklus
umumnya menetap selama ada gangguan patologi tersebut, sampai waktu yang
cukup lama. Selama itu pula hewan tidak menunjukkan tanda-tanda berahi.
Apabila corpus luteum persisten. Setelah pelaksanaan inseminasi yang tidak fertil,
17
ternyata hewan betina tidak bunting dan ovariumnya mengandung corpus luteum
persisten. Untuk mendiagnosa adanya corpus luteum persisten, selain gejala klinis
dan eksplorasi rektal, suatu sejarah reproduksi ternak yang bersangkutan akan
sangat membantu. Pada palpasi rektal, corpus luteum persisten dapat dirasakan
berupa benjolan pada permukaan ovarium yang konsistensinya kenyal dan dapat
luteum berlangsung beberapa bulan, maka corpus luteum tersebut akan terletak di
dalam ovarium dan makin sulit didiagnosa. Tanpa diagnosa kebuntingan secara
luteum persisten dapat dilakukan secara manual melalui rektum (Enukleasi) atau
penyuntikan preparat hormon prostaglandin (PGF 2α.) intra uterin atau preparat-
preparat analognya secara intra muscular seperti pada penyerentakan berahi. Pada
dalam rongga perut dan tidak dalam bursa ovarium, dimana ia dapat menyebabkan
adhesi. Adhesi karena manipulasi yang kasar terhadap ovarium adalah sebab
umum dari kemajiran yang permanen (Dowson, 1961). Salah satucara untuk
(PGF 2α), karena selain dapat menyerentakkan berahi juga dapat dipergunakan
18
untuk mengobati gangguan reproduksi pada ternak sapiyang disebabkan oleh
struktur berisi cairan dan lebih besar disbanding dengan folikel masak. Penyebab
dan diet protein. Adanya kista tersebut menjadikan volikel de graf (folikel masak)
granulose dan menetap paling sedikit 10 hari. Akibat sapi-sapi menjadi anestrus
yaitu dengan :
Sista Luteal : PGH 7,5 mg secara intra uterine atau 2,5 ml secara
uterina (12 hari). Dua sampai lima hari setelah pengobatan sapi akan
birahi.
terhadap usaha peternakan sapi perah, karena kelangsungan produksi susu akan
19
terganggu. Ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kegagalan reproduksi
perah yaitu mutu genetik sapi yang dipelihara, pakan yang diberikan (sejak
berfungsi. Jadi inti dari faktor internal ini sebenarnya adalah fertilitas. Fertilitas
seekor hewan/ternak, banyak faktor yang berpengaruh sangat komplek serta saling
terkait. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas masih bersifat
dugaan, walaupun ada yang sudah diketahui secara pasti. Untuk meningkatkan
fertilitas kita perlu pengetahuan tentang anatomi dan fungsi reproduksi ternak
20
MATERI DAN METODE
A. Materi Penelitian
Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai. Dalam peneilitian ini peralatan dan
bahan yang digunakan adalah vaginoscopy, senter, kapas, alkohol, iodium 2%,
B. Metode Penelitian
1. Vaginoscopy
diamati. Jika terdapat cairan (discharge) dengan menggunakan spoit diambil dan
2. Palpasi Rektal
21
Informasi kondisi uterus meliputi : bunting / tidak buntingnya ternak,
D. Analisa Data
pertama pada ternak yang normal dan yang mempunyai salah satu kelainan
22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi BCS dan paritas ternak sapi perah yang digunakan dalam
Tabel 1.Deskrpsi BCS dan Paritas Ternak Sapi Perah di Kecamatan Sinjai
Barat Kabupaten Sinjai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 44 ekor ternak sapi perah yang
digunakan dalam penelitian ini, terdapat 21 ekor atau 47,8% dengan BCS 2.5 atau
kurang dan sebanyak 13 ekor atau 29,6% menunjukkan BCS sedang atau 2,75.
Sedangkan sebanyak 10 ekor atau 22,7% menunjukkan BCS baik 3,00 atau di
atasnya.
Sinjai mungkin disebabkan karena kekurangan nutrisi. Hal tersebut dapat dilihat
dari skor kondisi tubuh sapi perah yang rendah (BCS<2.75). Kondisi tubuh yang
tidak ideal pada sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti manajemen
pemeliharaan teutama asupan nutrisi. Selain itu kondisi sapi tersebut dipengaruhi
23
oleh penyakit. Kondisi sapi yang demikian akan mempengaruhi alat vital yang
lain misalnya alat reproduksi. Metode Body Condition Score adalah suatu metode
pengukuran kritis terhadap keefektifan sistem pemberian pakan pada sapi perah,
dan herd longevity. Pelaksanaan pemeriksaan kondisi tubuh pada bibit sapi perah
lemak tubuh pada pangkal ekor dan sekitar tulang belakang, hips,ribs, pin bone.
Langkah pertama dalam menjelaskan masuk sistem penentuan nilai, maka apabila
garis dari tulang hook, ke thurl sampai ke tulang pin berbentuk sudut
runcing/lancip (V) atau berbentuk bulan sabit (U). Biasanya langkah ini sering
paling sulit untuk membuat penilaian, khususnya jika sapi memiliki nilai BCS
dekat 3,0 atau 3,25. Jika ragu-ragu apakah berbentuk V atau U maka penilaian
belakang. Amati jaringan kulit lemak sampai bagian hook dan tulang pin dan
pangkal ekor dan jaringan pengikat pangkal ekor. Dari poin ini penilaian biasanya
24
2. Kondisi Fisiologi Reproduksi Ternak sapi Perah
hanya terdapat 27,3% ternak yang bunting. Selebihnya sebesar 72,7% dengan
kondisi yang tidak bunting. Dari ternak sapi yang tidak bunting tersebut, terdapat
38,6% dengan berbagai macam kelainan reproduksi dan 34,1% masih bersiklus
tubuh, tidak terkecuali dengan aspek reproduksi. Pola manajemen yang baik akan
sapi perah, yaitu uterus dan ovarium. Seperti halnya Tabel 3 dapat dilihat pada
diagnosa uterus sebesar 38,2% uterus normal atau 13 ekor sapi perah. Sedangkan
pada saat diagnosa ovarium, banyak folikel yang tidak aktif (38,2%).
25
Faktor yang terkait dengan endometritis, yaitu retensio sekundinarum,
distokia, faktor manajemen, dan siklus birahi yang tertunda. Selain itu,
endometrium, dan tingkat perubahan permanen yang merusak fungsi dari glandula
corynebacterium pyogenes dan gram negatif anaerob. Kebanyakan sapi perah post
partum mengalami beberapa derajat enometritis kecuali dapat sembuh antara 40-
hifofungsi ovarium sehingga ovarium tidak aktif. Selain itu corpus luteum
persisten. Kondisi ini terjadi karena tertahannya corpus luteum sehingga Kadar
darah dengan kadar yang cukup, FSH normal maka terjadi pertumbuhan folikel
26
tidak normal pada ovarium. Kondisi tersebut menyebabkan folikel yang tidak
matang bertambah banyak pada ovarium. Pengobatan untuk kondisi ini adalah
diderita oleh sapi yang memproduksi susu tinggi. Pakan, sapi perah yang
produksi susu yang tinggi disertai dengan kista ovarium 48 % kasus terjadi pada
musim dingin didaerah yang mempunyai 4 musim. Genetik, induk sapi yang
menderita kista ovarium, bila dapat bunting dan beranak cenderung untuk timbul
Kondisi uterus dan ovarium ternak sapi perah di Kabupaten Sinjai dapat
Tabel 3.Kondisi Uterus dan Ovarium Ternak Sapi perah yang tidak Bunting di
Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai.
27
4. Interval Antara Melahirkan dan Kembali Bunting
ternak sapi perah di Kabupaten Sinjai pada ternak sapi yang normal yaitu 15 %
dan ternak sapi perah yang mengalami kelainan yaitu 17%. Adapun interval
Tabel 4.Interval antara Melahirkan dan kembali bunting Di Kecamatan Sinjai Barat
Kabupaten Sinjai.
Tidak Bunting
Uraian Fungsi (fx) Bunting
Normal Kelainan
Interval antara N 12 15 17
melahirkan Mean dan STDev 509,5±196,1 - -
dan kembali Minimum 154 - -
bunting Maximum 856 - -
Interval antara Mean dan STDev − 532,8 ± 65,1 581,2±26,9
melahirkan Minimum − 508 549
dan IB
pertama Maximum − 691 581
Satu siklus berahi adalah jarak antara berahi yang satu sampai dengan
besar pada mamalia rnencapai puncak berahi pada saat terjadi pelepasan satu atau
lebih ovum. Ternouth (1983) menyatakan, bahwa panjang siklus berahi pada sapi
dibedakan antara sikIus pendek yang terjadi kurang dari 18 hari, dan siklus
panjang yang berkisar antara 25 - 48 hari. Sedangkan pada sapi perah siklus
berahi berkisar antara 17 - 24 hari, dengan rata-rata 21 hari (Hawk and Bellows
dalam Hafez, 1980). Toelihere (1981) membagi siklus berahi dalam dua tahap,
yaitu tahap folikuler yang meliputi proestrus dan estrus; dan tahap luteal yang
meliputi metestrus dan diestrus. Sedangkan Arthur (1975) dan Fincher (1956)
membagi siklus berahi dalam lima tahap, yaitu tahap proestrus, estrus, metestrus,
28
diestrus dan anestrus. Selain itu Ternouth (1983), Partodihardjo (1980) dan
Toelihere (1981) juga menyatakan, bahwa secara umum sikIus berahi meliputi
tahap proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Proestrus adalah tahap sebelum
Ternouth, 1983). Pada tahap ini keadaan uterus meluas, mukosa uterus padat dan
udemat, dan kelenjar menjadi aktif (Arthur 1975). Disamping itu vagina menjadi
hiperemis, serviks mulai mengalami relaksasi dan sekresi serviks menjadi lebih
cair dan berlebihan (Baker dalam Ternouth, 1983). Pada tahap ini hewan rnulai
pejantan (Arthur 1975). Pada tahap ini serviks dalam keadaan relaksasi, vagina
meluas, vulva merah dan bengkak (Baker dalam Ternouth, 1983 dan
Partodihardjo 1980). Ditambahkan oleh Arthur (1975), bahwa kelenjar serviks dan
kelenjar uterus banyak mengeluarkan cairan lendir yang kental. Dengan palpasi
rektal terhadap ovarium diternukan adanya folikel yang matang. Ovarium terasa
sedikit menonjol, licin dan halus pada salah satu permukaannya. Pada sapi perah
estrus terjadi selama 12 - 24 jam, dan ovulasi terjadi di 10 - 11 jam setelah akhir
Menurut pendapat Hawk and Bellows (dalam Hafez 1980), estrus pada sapi perah
terjadi selama 13 - 17 jam dan ovulasi terjadi 25 - 32 jam setelah mulai estrus,
Metestrus adalah tahap segera setelah estrus, dimana korpus luteum tumbuh
29
secara cepat dari sel-sel granulose folikel yang telah pecah (Arthur 1975 dan
hormon progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum (Toelihere 1981). Selain
itu Partodihardjo (1980) menambahkan, bahwa pada tahap ini sapi telah menolak
pejantan untuk aktivitas kopulasi. Ditambahkan juga oleh Arthur (1975), bahwa
pada tahap ini pembuluh darah dan kelenjar mukosa uterus menjadi sangat aktif,
vagina (Partodihardjo 1980). Pendapat ini diperkuat oleh Baker, 1983 yang
menyatakan, bahwa dalam tahap ini 30% kejadian yang menunjukkan terjadinya
(Yusuf dkk, 2010). Untuk mencapai hasil inseminasi yang maksimum, maka
ternak sapi harus secara regular diinseminasi apabila ternak tersebut belum
berahi pada siklus berikutnya. Secara umum dan normalnya bahwa ternak sapi
secara regular bersiklus dengan rata-rata 21 hari (Peters dan Ball, 1987).
melahirkan sampai IB terakhir yang normal 595,5 dan yang mengalami kelainan
ovarium yang diakibatkan oleh gangguan reproduksi pada ternak sapi yang pada
melahirkan dan kembali bunting serta jarak kelahiran. Oleh karena itu diperlukan
30
kontrol reproduksi sebelum IB dilaksanakan dalam upaya mengefektifkan
yang dilakukan oleh peternak pada keadaan berahi ternak betina termasuk sejauh
mana dan metode yang peternak lakukan dalam mendeteksi berahi. Pengetahuan
31
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Perah di Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
Persisten.
3. Kondisi BCS (Body Condition Score) ternak sapi perah yang rendah
Saran
Kabupaten Sinjai, maka kepada peternak dan Instansi terkait dalam hal ini Dinas
32
DAFTAR PUSTAKA
Baker KF, RJ Cook. 1983. Biological Control of Plant Pathogens. San Francisco:
WH. Freeman.
Bearden HJ, and JW Fuquay. 1992. Applied Animal Reproduction Third Edition
Prentice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey.
Blakely, J. and D. H.Bade, 1988.The Science of Animal Husbandry. Penterjemah:
B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bretzlaff K.1987. Rationale for treatment of Endometritis in The Dairy Cow. Vet
Clin.North Am. Food. Anim. Pract 3: 593-0607.
Fincher, M.G., W.J. Gibbons, K. Mayer, S.E. Park. 1956. Diseases of Cattle.
American Veterinary Publication,ING., Evanston, Illinois.
Hayati dan Choliq, 2009. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya.
Jakarta.
33
Hopkin. 1986. Reproduction in DomesticAnimals. Third edition. Academic
Press, London.
Lubis, O.P, 2006. Makalah Seminar Pelatihan Inseminator pada Sapi/Kerbau BIB
Singosari: Malang
Peters A.R. and P.J.H. Ball. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths. London.
Rahma, 2006. Pengaruh Bangsa Sapi Fries Hollend dan Sahiwal Cross Terhadap
Produksi Air Susu dan Kualitas Dangke yang Di Hasilkan. Skripsi
Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Siregar, S. B. 1989. Sapi Perah, Jenis, Teknik Pemeliharaan, dan Analisa Usaha.
Cetakan Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal.4-88.
Subronto dan Tjahajati, I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta
34
Toelihere M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas
Indonesia Press: Bogor
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Edisi pertama.
Angkasa, Bandung.
Yusuf, M., Nakao, T., Ranasinghe, R.M.S.B.K. Gautam, G., Long, S.T., Yoshida,
C., Koike, K., Hayashi, A. 2010. Reproductive performance of repeat
breeders in dairy herds. Theriogenology 73: 1220-1229
35