Oleh :
VIRNA SAFIRA P.
NIM. 011511233038
Laporan Komprehensif Asuhan Kebidanan pada pasien kista ovarium dengan HBsAg positif
di Ruang Ginekologi RSAL Dr. Ramelan Surabaya Telah disahkan oleh Tim Pembimbing pada
:
Hari, tanggal : 19 Desember 2018
Tempat : Ruang Ginekologi (E2) RSAL Dr. Ramelan Surabaya
Mengetahui,
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT.karena atas rahmat dan izin-Nya
penulis dapat menyelesaikan Laporan Komprehensif Asuhan Kebidanan Nifas Fisiologis.
Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari adanya kekurangan dan kesulitan,
namun karena adanya bantuan dari berbagai pihak laporan ini dapat terselesaikan. Oleh sebab
itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Soetojo, dr. Sp.U(K) selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
2. BaksonoWinardi, dr., SpOG(K) selaku koordinator program studi Pendidikan Bidan
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
3. Ibu Andriyanti, S.Keb. Bd. selaku pembimbing akademik
4. Ibu selaku pembimbing klinik
5. Semua tenaga kesehatan di Ruangan Ginekologi (E2) RSAL Dr. Ramelan Surabaya
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan
ini dan laporan selanjutnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
LANDASAN TEORI
Kista Ovarium adalah sebuah struktur tidak normal yang berbentuk seperti kantung yang
bisa tumbuh dimanapun dalam tubuh. Kantung ini bisa berisi zat gas, cair, atau setengah padat.
Dinding luar kantung menyerupai sebuah kapsul. (Andang, 2013). Kista ovarium biasanya
berupa kantong yang tidak bersifat kanker yang berisi material cairan atau setengah cair.
(Nugroho, 2014).
Kista berarti kantung yang berisi cairan. Kista ovarium (kista indung telur) berarti kantung
berisi cairan, normalnya berukuran kecil, yang terletak di indung telur (ovarium). Kista indung
telur dapat terbentuk kapan saja tidak tergantung pada umur penderita. (Setyorini, 2014).
Kista ovarium merupakan pembesaran dari indung telur yang mengandung cairan.
Besarnya bervariasi dapat kurang dari 5 cm sampai besarnya memenuhi rongga perut, sehingga
menimbulkan sesak nafas. (Manuaba, 2009). Jadi, kista ovarium merupakan tumor jinak yang
menimbulkan benjolan abnormal di bagian bawah abdomen dan berisi cairan abnormal berupa
udara, nanah, dan cairan kental.
2.1.2 Etiologi
Kista ovarium terbentuk oleh berbagai macam sebab. Penyebab inilah yang
nantinya akan menentukan tipe dari kista. Diantara beberapa tipe kista ovarium, tipe
folikuler merupakan tipe kista yang paling banyak ditemukan. Kista jenis ini terbentuk oleh
karena pertumbuhan folikel ovarium yang tidak terkontrol.
Folikel adalah suatu rongga cairan yang normal terdapat dalam ovarium.
Pada keadaan normal, folikel yang berisi sel telur ini akan terbuka saat siklus
menstruasi untuk melepaskan sel telur. Namun pada beberapa kasus, folikel ini
tidak terbuka sehingga menimbulkan bendungan carian yang nantinya akan menjadi kista.
Cairan yang mengisi kista sebagian besar berupa darah yang keluar akibat
dari perlukaan yang terjadi pada pembuluh darah kecil ovarium. Pada beberapa kasus,
kista dapat pula diisi oleh jaringan abnormal tubuh seperti rambut dan jaringan padat seperti
gigi. Kista jenis ini disebut dengan Kista Dermoid.
Penyebab pasti dari penyakit kista Ovarium belum diketahui secara pasti. Akan tetapi
salah satu pemicunya adalah faktor hormonal. Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi
terjadinya kista ovarium adalah
2.1.3 Patofisiologi
Ovarium juga berfungsi dalam menghasilkan hormon estrogen dan progesteron yang
normal. Hal tersebut tergantung pada sejumlah hormon dan kegagalan pembentukan salah
satu hormon dapat mempengaruhi fungsi ovarium. Ovarium tidak akan berfungsi dengan
secara normal jika tubuh wanita tidak menghasilkan hormon hipofisis dalam jumlah yang
tepat. Fungsi ovarium yang abnormal dapat menyebabkan penimbunan folikel yang
terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium. Folikel tersebut gagal mengalami
pematangan dan gagal melepaskan sel telur. Dimana, kegagalan tersebut terbentuk secara
tidak sempurna di dalam ovarium dan hal tersebut dapat mengakibatkan terbentuknya kista
di dalam ovarium, serta menyebabkan infertilitas pada seorang wanita (Manuaba, 2010).
2.1.4 Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keganasannya, klasifikasi kista terbagi menjadi dua, yaitu non-
neoplastik dan neoplastik. Kista non-neoplastik sifatnya jinak dan biasanya akan
mengempis sendiri setelah 2 hingga 3 bulan atau dengan terapi hormon. Sementara kista
neoplastik umumnya harus dioperasi, namun hal itu pun tergantung pada ukuran dan sifat
kista. (Prawirohardjo,2002)
a. Kista Folikel
Kista ini berasal dari Folikel de Graaf yang tidak sampai berovulasi,
namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari beberapa folikel primer
yang setelah tumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak mengalami proses
atresia yang lazim, melainkan membesar menjadi kista. Bisa didapati satu kista
atau lebih, dan besarnya biasanya dengan diameter 1 – 1,5 cm. Kista folikel ini
bisa menjadi sebesar jeruk nipis. Bagian dalam dinding kista yang tipis yang
terdiri atas beberapa lapisan sel granulosa. Cairan dalam kista berwarna jernih
dan sering kali mengandung estrogen. Oleh sebab itu, kista jenis ini kadang-
kadang dapat menyebabkan gangguan haid. Kista folikel lambat laun dapat
mengecil dan menghilang spontan, atau bisa terjadi ruptur dan kista pun
menghilang. Umumnya, jika diameter kista tidak lebih dari 5 cm, maka dapat
ditunggu dahulu karena kista folikel biasanya dalam waktu 2 bulan akan
menghilang sendiri.
b. Kista Korpus Luteum
Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil dan
menjadi korpus albikans. Kadang-kadang korpus luteum mempertahankan diri
(korpus luteum persistens), perdarahan yang sering terjadi di dalamnya
menyebabkan terjadinya kista, berisi cairan yang berwarna merah coklat karena
darah tua. Dinding kista terdiri atas lapisan berwarna kuning, terdiri atas sel-sel
luteum yang berasal dari sel-sel teka. Kista korpus luteum juga dapat
menimbulkan gangguan haid, berupa amenorea diikuti oleh perdarahan tidak
teratur. Adanya kista dapat pula menyebabkan rasa berat di perut bagian bawah
dan perdarahan yang berulang dalam kista dapat menyebabkan ruptur. Rasa
nyeri di dalam perut yang mendadak dengan adanya amenorea sering
menimbulkan kesulitan dalam diagnosis diferensial dengan kehamilan ektopik.
Penanganan kista korpus luteum ialah menunggu sampai kista hilang sendiri.
Dalam hal dilakukan operasi atas dugaan kehamilan ektopik terganggu, kista
korpus luteum dapat diangkat tanpa mengorbankan ovarium.
c. Kista Lutein
Kista biasanya bilateral dan bisa menjadi sebesar ukuran tinju. Pada
pemeriksaan mikroskopik terlihat luteinisasi sel-sel teka. Sel-sel granulosa
dapat pula menunjukkan luteinisasi, akan tetapi seringkali sel-sel menghilang
karena atresia. Tumbuhnya kista ini ialah akibat pengaruh hormon
koriogonadotropin yang berlebihan, dan dengan hilangnya mola atau
koriokarsinoma, ovarium mengecil spontan.
d. Kista Inklusi Germinal
Terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian kecil dari epitel
germinativum pada permukaan ovarium. Kista ini lebih banyak terdapat pada
wanita yang lanjut usia, besarnya jarang melebihi diameter 1 cm. Kista terletak
di bawah permukaan ovarium, dindingnya terdiri atas satu lapisan epitel kubik
atau torak rendah, dan isinya cairan jernih dan serus.
e. Kista Endometriosis
Terbentuk dari jaringan endometriosis (jaringan mirip dengan selaput
dinding rahim yang tumbuh di luar rahim) menempel di ovarium dan
berkembang menjadi kista. Kista ini sering disebut juga sebagai kista coklat
endometriosis karena berisi darah coklat-kemerahan. Berhubungan dengan
penyakit endometriosis yang menimbulkan nyeri haid dan nyeri senggama.
Penyebabnya bisa karena infeksi kandungan menahun, Gejala kista ini sangat
khas karena berkaitan dengan haid. Seperti diketahui, saat haid tidak semua
darah akan tumpah dari rongga rahim ke liang vagina, tapi ada yang memercik
ke rongga perut. Kondisi ini merangsang sel-sel rusak yang ada di selaput perut
mengidap penyakit baru yang dikenal dengan endometriosis.Karena sifat
penyusupannya yang perlahan, endometriosis sering disebut kanker jinak.
f. Kista Stein-Leventhal
Ovarium tampak pucat, membesar 2 sampai 3 kali, polikistik, dan
permukaannya licin.Kapsul ovarium menebal. Kelainan ini terkenal dengan
nama sindrom Stein-Leventhal dan kiranya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan hormonal. Umumnya pada penderita terhadap gangguan ovulasi,
oleh karena endometrium hanya dipengaruhi oleh estrogen, hiperplasia
endometrium sering ditemukan.
Kista ovarium seringkali tidak menimbulkan gejala, terutama bila ukuran kistanya
masih kecil. Kista yang jinak baru akan memberikan rasa yang tidak nyaman apabila kista
semakin membesar, sedangkan pada kista yang ganas kadangkala memberikan keluhan
sebagai hasil infiltrasi atau metastasis kejaringan sekitar.(Sarjadi,1995)
Pemastian penyakit tidak bisa dilihat dari gejala-gejalanya saja karena mungkin
gejalanya mirip dengan keadaan lain seperti endometriosis, radang panggul, kehamilan
ektopik (di luar rahim) atau kanker ovarium. Meski demikian, penting untuk
memperhatikan setiap gejala atau perubahan ditubuh untuk mengetahui gejala mana yang
serius dan memerlukan penanganan khusus. Gejala-gejalanya antara lain:
- perut ,terasa penuh berat dan kembung
- tekanan pada dubur dan kandung kemih (sulit buang air kecil)
- siklus menstruasi tidak teratur dan sering disertai nyeri
- nyeri panggul yang menetap atau kambuhan yang dapat menyebar ke punggung
bawah dan paha
- nyeri saat senggama
- mual, ingin muntah, atau pengerasan payudara mirip seperti pada saat hamil,
- Kadang-kadang kista dapat memutar pada pangkalnya, mengalami infark dan
robek, sehingga menyebabkan nyeri tekan perut bagian bawah yang akut
sehingga memerlukan penanganan kesehatan segera.
2.1.6 Komplikasi
Salah satu hal yang paling ditakutkan dari penyakit kista ovarium ialah kista tersebut
dapat berubah menjadi ganas dan banyak terjadi komplikasi. Komplikasi dari kista ovarium
yang dapat terjadi ialah (Prawirohardjo,2010)
2.1.7 Diagnosa
a. Anamnesis
Suatu kegiatan wawancara pasien dan dokter atau tenaga kesehatan
lainnya yang berwenang untuk memperoleh keterangan-keterangan tentang
keluhan dan penyakit yang diderita pasien.
b. Pemeriksaan fisik
Pemerisaan fisik yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan
pemeriksaan kondisi fisik dari pasien. Pemeriksaan fisik meliputi :
1) Inspeksi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara
melihat/memperhatikan keseluruhan tubuh pasien secara rinci dan
sistematis.
2) Palpasi, yaitu pemeriksaan fisik dengan cara meraba pada bagian tubuh yang
terlihat tidak normal.
3) Perkusi, yaitu pemeriksaan fisik dengan mengetuk daerah tertentu dari
bagian tubuh dengan jari atau alat, guna kemudian mendengar suara
resonansinya dan meneliti resistensinya.
4) Auskultasi, yaitu pemeriksaan fisik dengan mendengarkan bunyi-bunyi
yang terjadi karena proses fisiologi atau patoligis di dalam tubuh, biasanya
menggunakan alat bantu stetoskop
c. Pemeriksaan penunjang/tambahan
Pemeriksaan penunjang yaitu suatu pemeriksaan medis yang dilakuan
atas indikasi tertentu guna memperoleh ketarangan yang lebih lengkap.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dalam kasus kista ovarii antara lain :
1) Laparaskopi : Menentukan asal dan sifat tumor, apakah tumor tersebut
berasal dari ovarium atau tidak, dan apakah jenis tumor tersebut termasuk
jinak atau ganas.
2.1.8 Penatalaksanaan
a. Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan pada klien tentang pemilihan pengobatan
nyeri dengan analgetik / tindakan kenyamanan seperti, kompres hangat pada
abdomen, dan teknik relaksasi napas dalam (Prawirohardjo, 2011).
b. Pemberian obat anti inflamasi non steroid
Seperti ibu profen dapat diberikan kepada pasien dengan penyakit kista
untuk mengurangi rasa nyeri (Manuaba, 2009)
c. Pembedahan
Jika kista tidak menghilang setelah beberapa episode menstruasi atau
kista semakin membesar, lakukan rujukan untuk penatalaksanaan lanjut seperti
pemeriksaan ultrasound dan pembedahan. Ada 2 tindakan pembedahan yang
utama yaitu : laparaskopi dan laparatomi (Yatim, 2008).
1) Apabila kista kecil (misalnya sebesar permen) dan pada pemeriksaan sonogram
tidak terlihat tanda-tanda keganasan, dapat ditangani dengan bedah minor
seperti laparaskopi. Dengan cara ini, alat laparaskopi di masukkan kedalam
rongga panggul dengan melakukan sayatan kecil pada dinding perut, yaitu
sayatan searah dengan garis rambut kemaluan (Yatim, 2008).
2) Apabila kista agak besar (lebih dari 5 cm), pengangkatan kista dilakukan dengan
laparatomi. Tehnik ini dilakukan dengan pembiusan total. Dengan cara
laparatomi, kista sudah dapat diperiksa apakah sudah mengalami proses
keganasan (kanker) atau tidak. Bila sudah dalam proses keganasan operasi
sekalian mengangkat ovarium dan saluran tuba, jaringan lemak sekitar serta
kelenjar limfe (Yatim, 2008).
3) Perawatan luka insisi / pasca operasi
2.2 Hepatitis B
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun
yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.
Infeksi Virus Hepatitis B suatu infeksi sistemik yang menimbulkan peradangan dan
nekrosis sel hati yang mengakibatkan terjadinya serangkaian kelainan klinik, biokimiawi,
imunoserologik, dan morfologik. (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
2.2.2 Etiologi
Virus Hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam famili
Hepadnaviridae. Nama famili Hepadnaviridae ini disebut demikian karena virus bersifat
hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Termasuk dalam famili ini adalah
virus hepatitis Woodchuck (sejenis marmot dari Amerika Utara) yang telah diobservasi
dapat menimbulkan karsinoma hati, Virus Hepatitis B pada bebek Peking dan bajing tanah
(ground squirrel). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari
(Sudoyo et al, 2009).
Virus Hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi alat yang
tidak memadai, selain itu HBV juga tahan terhadap pengeringan dan penyimpanan selama
1 minggu atau lebih. Virus Hepatitis B yang utuh berukuran 42 nm dan berbentuk seperti
bola, terdiri dari partikel genom (DNA) berlapis ganda dengan selubung bagian luar dan
nukleokapsid dibagian dalam. Nukleokapsid ini berukuran 27 nm dan mengandung genom
(DNA) Virus Hepatitis B yang sebagian berantai ganda dengan bentuk sirkular. Selama
infeksi Virus Hepatitis B, terdapat 2 macam partikel virus yang terdapat dalam darah yaitu
virus utuh (virion) yang disebut juga partikel Dane dan selubung virus (HBsAg). Ukuran
kapsul virus berukuran 22 nm, dapat berbentuk seperti bola atau filament. (Hardjoeno,
2007)
2.2.3 Patofisiologi
Pada manusia hati merupakan target organ bagi Virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B
mula-mula melekat pada reseptor spesifik dimembran sel hepar kemudian mengalami
penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma Virus Hepatitis B melepaskan
mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus
dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat Virus Hepatitis B akan keluar dari nukleokapsid
dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi; pada DNA tersebut. Selanjutnya
DNA Virus Hepatitis B memerintahkan gel hati untuk membentuk protein bagi virus baru
dan kemudian terjadi pembentukan virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah,
mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik
penderita terhadap infeksi. Apabila reaksi imunologik tidak ada atau minimal maka terjadi
keadaan karier sehat. Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B dan Non A dan Non B
adalah sama yaitu adanya peradangan akut diseluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati
disertai infiltrasi sel-sel hati dengan histiosit. Bila nekrosis meluas (masif) terjadi hepatitis
akut fulminan. Bila penyakit menjadi kronik dengan peradangan dan fibrosis meluas
didaerah portal dan batas antara lobulus masih utuh, maka akan terjadi hepatitis kronik
persisten. Sedangkan bila daerah portal melebar, tidak teratur dengan nekrosis diantara
daerah portal yang berdekatan dan pembentukan septa fibrosis yang meluas maka terjadi
hepatitis kronik aktif.
a. Host
1) Umur
Penularan secara horizontal sering terjadi pada anak-anak, melalui teman
sepermainannya atau keluarga serumah.
2) Jenis Kelamin
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak menderita
infeksi Virus Hepatitis B dibandingkan dengan wanita. Hal ini disebabkan
perbedaan perilaku dan gaya hidup antara pria dan wanita. Sebagai contoh
penularan tattoo, homoseksual
3) Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang paling berisiko tertular infeksi HVB adalah pekerjaan yang
dialami mereka yang sering kontak dengan produk darah. Hal ini disebabkan karena
Virus Hepatitis B dapat stabil dan bertahan lama didalam darah yang merupakan
sumber penularan utama. Pekerjaan yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
perawat, petugas laboratorium, pelaksana diruang operasi, dan dokter gigi.
4) Imunitas
Bila aktivitas sistem pertahanan ini baik, akan terjadi infeksi Virus Hepatitis B
akut yang diikuti oleh proses penyembuhan, sebaliknya bila salah satu sistem
pertahanan ini terganggu akan terjadi proses infeksi Virus Hepatitis B kronis
5) Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang dialami manusia yang mempunyai risiko terinfeksi HVB
adalah penyakit yang diderita oleh individu dengan kelainan kekebalan seluler
seperti : penderita yang selalu memerlukan transfusi darah dan penderita yang
mendapat terapi imunosuperif.
b. Agent
Penyebab hepatitis B adalah Virus Hepatitis B termasuk DNA virus. Virus
Hepatitis B terdiri atas 3 jenis antigen yaitu HBsAg, HBcAg, dan HBeAg.
c. Lingkungan
Yang termasuk faktor lingkungan adalah :
Lingkungan dengan sanitasi jelek
Daerah dengan angka prevalensi Virus Hepatitis B tinggi
Daerah unit pembedahan : ginekologi, gigi, mata
Daerah unit laboratorium
Daerah unit bank darah
Daerah dialisa dan transplantasi
Daerah unit perawatan penyakit dalam
Cara utama penularan Virus Hepatitis B adalah melalui parenteral dan menembus
membrane mukosa, terutama berhubungan seksual (Price & Wilson, 2012). Penanda
HBsAg telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu
saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa
cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui infeksius (Thedja, 2012).
Jalur penularan infeksi Virus Hepatitis B di Indonesia yang terbanyak adalah secara
parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horizontal (kontak antar
individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik bersama).
Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan
konsentrasi tertinggi pada serum (Juffrie et al, 2010).
Manifestasi klinis infeksi Virus Hepatitis B pada pasien hepatitis akut cenderung
ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya
riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai
hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat (Juffrie et al, 2010).
1) Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus.
Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari.
2) Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus.
Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia,
mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat
terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau
epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan
kolestitis.
3) Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan
munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul
ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi
perbaikan klinis yang nyata.
4) Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali
dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan
kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih
sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan (Sudoyo et al, 2009).
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam
bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi
menjadi tiga fase penting yaitu :
1) Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap Virus Hepatitis B sehingga konsentrasi
virus tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus
Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.
2) Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan Virus Hepatitis B akibat terjadinya
replikasi virus yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak
dari kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai
kehilangan toleransi imun terhadap Virus Hepatitis B.
3) Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati
yang terinfeksi Virus Hepatitis B. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya
dapat menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati
yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang
menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT
normal (Sudoyo et al, 2009).
2.2.7 Diagnosa
1) Pemeriksaan Biokimia
Stadium akut Hepatitis B ditandai dengan AST dan ALT meningkat >10
kali dari nilai normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat sedikit,
peningkatan Alkali Fosfatase (ALP) >3 kali nilai normal, dan kadar albumin
serta kolesterol dapat mengalami penurunan. Stadium kronik VIRUS
HEPATITIS B ditandai dengan AST dan ALT kembali menurun hingga 2-10
kali nilai normal dan kadar albumin rendah tetapi kadar globulin meningkat
(Hardjoeno, 2007).
2) Pemeriksaan serologis
Indikator serologi awal dari Hepatitis B akut dan kunci diagnosis penanda
infeksi Virus Hepatitis B kronik adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di
serum >6 bulan (EASL, 2009). Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan
selubung permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di dalam
darah yang menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier (Hardjoeno,
2007).
Tes-tes yang sangat sensitif telah banyak dikembangkan secara luas untuk menegakkan
diagnosis Hepatitis B dalam kasus-kasus ringan, sub klinis atau yang menetap (Handojo,
2004). Beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis hepatitis adalah
Immunochromatography (ICT), ELISA, EIA, dan PCR. Metode EIA dan PCR tergolong
mahal dan hanya tersedia pada laboratorium yang memiliki peralatan lengkap. Peralatan
rapid diagnostic ICT adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih murah dan tidak
memerlukan peralatan kompleks (Rahman et al, 2008).
Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh jaringan parut
yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama akan mengubah struktur normal dari
hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel hati akan mengalami kerusakan yang
menyebabkan fungsi hati mengalami penurunan bahkan kehilangan fungsinya (Mustofa &
Kurniawaty, 2013).
2.2.9 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas. Pembatasan aktivitas
fisik seperti tirah baring dapat membuat pasien merasa lebih baik. Diperlukan diet tinggi
kalori dan hendaknya asupan kalori utama diberikan pada pagi hari karena banyak pasien
mengalami nausea ketika malam hari (Setiawan et al, 2006).
Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah untuk mengeliminasi atau
menekan secara permanen VHB. Pengobatan dapat mengurangi patogenitas dan
infektivitas akhirnya menghentikan atau mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya
dekompensasi hati, menghilangkan DNA VHB (dengan serokonvers HBeAg ke anti-Hbe
pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir
pengobatan (Soewignjo & Gunawan, 2008).
Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat
menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau HCC (Hepato
Cellular Carcinoma), dan pada akhirnya memperpanjang usia (Setiawan et al, 2006).
Terapi antiviral yang telah terbukti bermanfaat untuk Hepatitis B kronik adalah Interferon,
Lamivudin, Adefovir dipofoxil dan Entecavir (Soewignjo & Gunawan, 2008).
2.3 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan Kebidanan Varney, 1997
langkah I :
pengumpula
n data dasar
Langkah langkah II :
VII : Interpretasi
Evaluasi Data Dasar
Langkah IV :
Langkah V : Mengidentifikasi
Merencanakan dan Menetapkan
Kebutuhan yang
Asuhan yang Memerlukan
Menyeluruh Penanganan
Segera
1) Data Subyektif
Dapat diperoleh melalui anamnesa langsung, maupun meninjau catatan
dokumentasi asuhan sebelumnya
a. Identitas
Digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan status sosial-
ekonomi klien
Nama
Usia : Untuk mengetahui faktor risiko
Pendidikan : Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien atau taraf
kemampuan berpikir pasien, sehingga bidan dapat memberikan KIE
pada pasien dengan lebih mudah.
Pekerjaan : Untuk mengetahui taraf hidup dan sosial ekonomi pasien
serta faktor determinan
Alamat
Agama
b. Alasan Kunjungan
Pasien merasakan ketidaknyamanan dan kekhawatiran dengan tidak
teraturnya siklus menstruasi atau saat menstruasi disertai nyeri.
c. Keluhan Utama
Meskipun kista ovarium yang masih berukuran kecil jarang
menimbulkan gejala namun penderita masih dapat merasakan beberapa
keluhan ringan akibat kista ini, antara lain : siklus menstruasi tidak teratur
dan sering disertai nyeri, nyeri panggul yang menetap atau kambuhan yang
dapat menyebar ke punggung bawah dan paha, nyeri saat senggama
d. Riwayat Menstruasi
Manifestasi klinis kista ovarium adalah tidak teraturnya siklus
menstruasi dan disertai nyeri saat menstruasi.
e. Riwayat Obstetri
Pasien yang dirawat karena infertilitas dengan induksi ovulasi dengan
gonadotropin atau agen lainnya , seperti clomiphene citrate atau letrozole ,
dapat mengembangkan kista sebagai bagian dari sindrom hiperstimulasi
ovarium.(William, 2007)
f. Riwayat KB
Wanita yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal juga merupakan
faktor risiko kista ovarium, yaitu pada wanita yang menggunakan alat
kontrasepsi hormonal berupa implant, akan tetapi pada wanita yang
menggunakan alat kontrasepsi hormonal berupa pil cenderung mengurangi
resiko untuk terkena kista ovarium (Henderson, 2005)
g. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga yang memiliki riwayat kista ovarium akan meningkatkan
kejadian kista ovarium pada keturunan nya. (Wiknjosastro, 2005)
1. Nutrisi
Pola makan yang tidak sehat seperti konsumsi tinggi lemak, rendah
serat, konsumsi zat tambahan pada makanan, konsumsi alkohol dapat
juga meningkatka risiko penderita kista ovarium (Bustam,2007).
2. Eliminasi
Pada penderita kista ovarium akan sering merasakan perut yang
terasa penuh, berat dan kembung, tekanan pada dubur dan kandung
kemih sehingga sulit buang air kecil
3. Istirahat
Pasien dapat mengalami ketakutan dan kekhawatiran yang luar
biasa yang berakibat pada istirahat pasien
4. Aktivitas
Beberapa keluhan seperti siklus menstruasi tidak teratur dan sering
disertai nyeri, nyeri panggul yang menetap atau kambuhan yang dapat
menyebar ke punggung bawah dan paha akan mengganggu aktivitas
pasien.
i. Faktor Sosial-Budaya
2) Data Obyektif
Didapatkan dari pemeriksaan langsung pada pasien.
a. Keadaan Umum
Untuk mengetahui data ini cukup dengan mengamati keadaan secara
keseluruhan, dengan kriteria :
Baik : apabila pasien memperlihatkan respon yang baik terhadap
lingkungan dan orang lain serta secara fisik tidak mengalami
ketergantungan dalam berjalan
Lemah : apabila pasien kurang/tidak memberikan respon yang baik
terhadap lingkungan dan orang lain serta sudah tidak mampu untuk berjalan
sendiri