Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemuaian adalah bertambahnya ukuran panjang, luas, maupun volume


suatu benda yang disebabkan oleh proses pemanasan. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan partikel-partikel penyusun suatu benda saat diberikan panas menjadi
bergetar (bervibrasi). Pemuaian dapat terjadi pada benda padat, cair dan juga gas.
Hal ini dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari.

Pemuaian juga dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari seperti


pada termometer yang memanfaatkan konsep pemuaian zat cair dengan
mengalami perubahan pada volumenya. Makin tinggi kenaikan suhu, maka makin
besar penambahan volume gas zat cair tersebut. Pertambahan volume suatu zat
cair juga tergantung pada jenis dari suatu zat cair seperti pada alkohol dan air
raksa yang yang biasa digunakan sebagai cairan pengisi termometer meskipun
kenaikan suhu yang diberikan pada kedua cairan tersebut sama, pertambahan
volume yang diperoleh dari masing-masing cairan tentu akan berbeda. Hal ini
dikarenakan perbedaan jenis dari suatu zat cair tersebut (Giancoli, 2001 : 54).

Zat padat juga dapat mengalami pemuaian sama halnya dengan zat cair
karena adanya kenaikan suhu. Berbeda dengan zat cair yang hanya mengalami
perubahan volume, zat padat dapat mengalami pertambahan panjang, luas dan
juga volumenya. Sama halnya dengan zat cair, berbeda jenis yang diberikan
kenaikan suhu, maka pertambahan panjang, luas serta volumenya juga akan
berbeda. Perbedaan inilah yang disebabkan karena jenis dari suatu benda diberi
kenaikan suhu yang biasa dikenal dengan koefisien muai. Sehingga pada zat padat
ada koefisien muai panjang, koefisien muai luas serta koefisien muai volume.

Koefisien muai panjang atau linear adalah suatu angka yang menunjukkan
pertmabahan panjang suatu benda apabila suhu benda tersebut dinaikkan sebesar
1°C. Besar koefisien muai yang dimilki oleh tiap bahan akan mempengaruhi
perubahan panjang yang akan diperoleh. Nilai koefisen muai panjang tiap bahan
akan berbeda-beda, sehingga tiap bahan akan mengalami pertambahan panjang
yang berbeda-beda (Abdullah, 2016 : 877).

Contoh bahan yang mengalami pemuaian saat dinaikkan suhunya adalah


logam. Seperti contohnya yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
rel kereta api yang terdapat pemisah antara sambungan-sambungannya, sehingga
pada saat musim panas rel tersebut tidak bengkok. Lalu pada bimetal yang
tersusun atas dua jenis logam yang berbeda, saat dinaikkan suhunya maka logam
akan melengkung ke arah logam yang koefisien muai linearnya lebih kecil.

Pemuaian juga terjadi pada zat cair dan gas. Contoh pemuaian yang terjadi
pada zat cair adalah saat kita merebus air pada sebuah panci. Pada saat awal, panci
dan air sama-sama mengalami pemuaian. Namun mengapa saat air mendidih, air
justru tumpah pada panci, hal ini disebabkan karena koefisien muai zat cair lebih
besar dari pada zat padat yang dalam hal ini adalah panci yang terbuat dari
aluminium. Sama dengan zat cair, zat yang berupa gas juga hanya mengalami
pemuaian berupa pemuaian volume tanpa pemuaian panjang dan luas karena salah
satu sifat gas adalah perubahan volume dan selalu mengisi seluruh ruangan
(Angga, 2015 : 177).

Oleh karena itu, perlu dilakukan percobaan mengenai pemuaian pada


logam yang jenisnya berbeda-beda, sehingga akan terlihat pertambahan panjang
yang akan diperoleh oleh setiap masing-masing logam, dengan begitu kita dapat
mengetahui logam mana yang mengalami pemuaian lebih cepat dan logam mana
yang yang mengalami pemuaian lebih lambat. Serta praktikan akan dapat
mengetahui faktor penyebab dan pengaruh apa-apa saja yang terlibat dalam proses
pemuaian tersebut, sehingga praktikan akan dapat memahami konsep pemuaian
linear dari suatu benda itu sendiri.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut.


1. Mempelajari pemuaian berbagai logam.
2. Menentukan koefisien muai linear logam besi, aluminium dan tembaga.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sebagian besar zat memuai ketika dipanaskan dan menyusut ketika


didinginkan. Bagaimanapun pemuaian dan penyusutan bervariasi, bergantung
pada materi itu sendiri. Percobaan menunjukkan bahwa perubahan panjang ∆L
pada semua zat padat, dengan pendekatan yang sangat baik, berbanding lurus
dengan perubahan temperatur ∆T sebagaimana diharapkan. Perubahan panjang
juga sebanding dengan panjang awal Lo (Giancoli, 2001 : 454).

∆L = α × Lo × ∆T

Keterangan :
∆L = perubahan panjang (m)
α = koefisien muai panjang (Co)-1
Lo = panjang awal benda (m)
∆T = perubahan suhu (°C)
Pada umumnya jika temperatur sebuah benda baik itu padatan, cairan atau
gas naik, maka benda akan memuai (mengembang), kecualoi untuk air pada
kenaikan temperatur 0oC hingga 4oC justru menyusut dan bahkan tidak
mengembang, gejala ini disebut anomali air. Pemuaian berlaku njuga untuk semua
bahan yang tidak hanya memiliki panjang, namun juga memiliki luas (Ishaq, 2007
: 231-232).
∆A = β × Ao × ∆T

Keterangan :
∆A = perubahan luas benda (m)
β = koefisien muai luas (Co)-1
Ao = luas awal benda (m)
∆T = perubahan suhu (°C)
Memuai artinya ukurannya membesar, baik ukuran panjang, lebar, tinggi,
luas maupun volumenya. Besar pemuaian berbeda pada benda yang berbeda. Hal
tersebut tergantung jenis benda yang digunakan, sehingga setiap benda memiliki
massa jenis yang berbeda pula. Ada benda yang sangat mudah memuai sehingga
kenaikan suhu sedikit saja sudah cukup membuat ukuran benda yang dapat
diamati mata membesar, sebaliknya ada benda yang sulit mengalami pemuaian,
sehingga meskipun suhu bertambah besar, ukuran benda pun hampir tidak
mengalami perubahan (Abdullah, 2016 : 877).

Jika benda padat memiliki lubang di dalamnya berekspansi lubang akan


mengecil dikarenakan bahan akan berekspansi ke dalam lubang. Tapi sebenarnya
adalah benda berekspansi dari loubang pun akan berekspansi. Semua dimensi
linear suatu benda berubah pada arah yang sama ketika suhu berubah. Untuk
bahan tertentu, α bervariasi untuk terhadap suhu awal To dan ukuran interval suhu
kesebandingan cukup tepat pada perubahan suhu yang cukup kecil. Hal ini
tidaklah benar-benar tepat (Young, 2002 : 463).

Pada setiap benda, koefisien muai ruang selalu senilai dengan angka 3 kali
koefisien muai panjang (γ = 3α). Ini disebabkan oleh pemuaian ruang adalah
pemuaian panjang dalam 3 arah, yaitu satu arah tegak dan dua arah datar.
Eksperimen penentuan koefisien muai panjang α suatu batang logam dikerjakan
dengan menempatkan batang dalam posisi vertikal. Batang itu berada di dalam
silinder berisi uap air yang suhunya diatur. Bagian bawah batang di klem dan
bagian atasnya dibiarkan bebas. Ujung batang yang bebas dikontakkan dengan
ujung batang bawah mikrometer. Ketika batang memuai, ujung batang sebelah
atas menekan ujung bawah mikrometer, sehingga jarum penunjuknya
menyimpang. Pada kestimbangan termal, suhu uap air sama dengan suhu batang
dan sama pula dengan suhu terbaca di termometer. Nilai α (koefisien muai
panjang) batang dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan dan panjang
batang awal telah ditetapkan. Suhu batang dibaca di termometer batang dan
pertambahan panjangnya diperlihatkan oleh jarum penunjuk mikrometer (Jati,
2013 : 310-312).

Dalam fenomena pemuaian termal, logam asam memuai jika dipanaskan


dan pemuaiannya berbeda-beda untuk jenis logam yang berbeda-beda. Faktor
yang menentukan besarnya pemuaian panjang suatu benda dinamakan koefisien
muai panjang α. Koefisien muai untuk padatan ataupun cairan biasanya tidak
banyak berubah dengan tekanan, tetapi dapat berubah dengan temperatur.
Sehingga koefisien pemuaian panjang adalah kecenderungan bagi perubahan
panjang, luas dan volume sebagai pengaruh dari perubahan suhu. Adapun
rumusnya dapat ditulis sebagai berikut (Wulandari, 2015 : 19-20).

∆𝐿
α=
𝐿 × ∆𝑇

Keterangan :
α = koefisien muai panjang (Co)-1
∆L = perubahan panjang benda (m)
L = panjang awal benda (m)
∆T = perubahan suhu (°C)
Ketika suhu zat menyerap panas atau kalor, maka sifat fisis zat tersebut
juga turut berubah. Sebagai contoh, perubahan temperatur suatu zat (baik zat
padat, cair maupun gas) umumnya diikuti oleh ekspansi atau kontraksi zat
tersebut. Ketika zat mengalami pertambahan temperatur, maka zat tersebut
dikatakan mengalami pemuaian atau ekspansi termal yang merupakan perubahan
ukuran suatu zat akibat adanya perubahan temperatur. Selain itu, dikatakan pula
jika pemuaian dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti volume awal zat,
perubahan temperatur dan koefisien muai zat (Yantidewi, 2018 : 43-44)

Suhu didefinisikan sebagai tingkat atau derajat tertentu dari panas atau
dinginnya sesuatu sebagai referensi pada skala tertentu. Energi panas berkaitan
langsung dengan energi molekular (getaran, gesekan dan osilasi partikel dalam
sebuah molekul, semakin tinggi energi panas maka semakin besar energi
molekul). Dua parameter yang mencirikan pengaruh suhu pada serat optik adalah
koefisien muai termal dan koefisien termo-optik. Koefisien muai termal
mencirikan ekspansi fisik atau kontraksi muai suatu material (Ariani, 2016 : 104).

Koefisien ekspansi linear dapat ditentukan secara akurasi masa perubahan


panjang dari objek terhadap kenaikan temperatur harus diamati dengan seksama.
Banyak metode yang telah dilakukan seperti mikrometer kapasitansi, x-ray,
interferometri ultrasonik, dan sebagainya. Metode-metode tersebut mempunyai
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Oleh karena alasan itu, maka
diperlukan suatu teknik pengukuran yang lebih akurat dan tidak merusak, yaitu
dengan teknik ESPI salah satunya. Metode ESPI yang digunakan salah satunya
adalah teknik berkas ganda.prinsip kerjanya didasarkan pada fenomena
interferensi acak gelombang cahaya koheren yang dihamburkan dari suatu
permukaan objek uji yang difusi, hasil dari penyinaran cahaya laser yang
dikombinasikan dengan komputer pengolah citra. konsep dasarnya adalah
merekam citra spekel dari objek uji sebelum dan sesudah deformasi dengan
kamera CCD. Data citra spekel disimpan di memori komputer untuk selanjutnya
disubstraksikan secara piksel per piksel dan hasilnya ditampilkan di layar monitor
dalam bentuk pola frinji (Astuti, 2009 : 30).

Ketika benda mengalami nperubahan suhu karena perubahan kalor, maka


sebenarnya benda mengalami pemuaian ke segala arah. Tetapi, jika ketebalan
benda tersebut sangat kecil, atau dengan kata lain benda memuai, sangat tipis,
maka yang diperhitungkan hanyalah perubahan luas penampang saja. Inilah yang
dinamakan pemuaian luas, yaitu ketika ketebalan benda dapat diabaikan.
Selanjutnya, jika luas penampang sangat kecil yang disebabkan
ketidaksetimbangan panjang dan lebar suatu benda, maka yang diperhitungkan
adalah perubahan panjang pada sisi terpanjang saja. Inilah yang disebut sebagai
pemuaian panjang, yaitu ketika salah satu panjang sisi dapat diabaikan. Pada
benda cair dan gas, jenis pemuaian yang terjadi hanya pemuaian volume saja
(Angga, 2015 : 177).

Contoh lain, yaitu pemanasan air, rel kereta api, dan pada besi bimetal.
Pada roda kereta api, harus kuat dikarenakan roda menderita gaya tarikan dan
dorongan serta beban yang besar yang pemasangannya didasarkan pada sifat
penyusutan as atau pemusaran lubang roda pada kereta api. Pelat bimetal tersusun
oleh dua lapisan logam yang memiliki perbedaan koefisian muai panjang yang
cukup besar. Pada pemasangan bingkai logam, seperti halnya ban baja pada roda
besi lokomotif dilakukan dengan cara pemanasan. Ban baja yang berdiameter
lebih kecil dari roda besi dipanaskan sehingga memuai dan diameternya menjadi
lebih besar dari pada diameter roda. Selanjutnya, ban tersebut dipasangkan pada
roda. Setelah dingin, ban akan menyusut sehingga menempel sangat kuat pada
roda. Konsep pemuaian ini disebut pemuaian volume/ruang (Jati, 2013 : 314-315).
BAB III
PROSEDUR PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat dari percobaan ini ialah :
1. Peralatan muai panjang: berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan
logam besi dan kuningan yang akan digunakan dalam percobaan.
2. Termometer: berfungsi untuk mengukur suatu zat yang digunakan
dalam percobaan atau untuk mengukur suhu.
3. Dial gauge: berfungsi untuk mengukur perubahan relative panjang
suatu logam.
4. Lampu spiritus: berfungsi untuk membakar logam yang digunakan
dalam percobaan.
3.1.2 Bahan
Bahan dari percobaan ini ialah :
1. Batang logam besi: untuk mengetahui koefisien batang logam
tersebut.
2. Batang logam aluminium: untuk mengetahui perubahan panjang atau
koefisien muainya.
3. Batang logam tembaga: umtuk mengukur koefisien muai panjang dari
logam tersebut.
3.2 Cara kerja
1. Diukur panjang batang logam dan dicatat suhu ruangan.
2. Dimasukkan batang logam yang akan diukur kedalam peralatan muai
logam linier serta panjang termometer.
3. Dipanaskan batang hingga serta tercapai kesetimbangan termal dengan
menghubungkan peralatan muai linear dengan sumber tegangan.
4. Dicatat perubahan (Δl) untuk setiap penurunan suhu 2°C.
5. Diulangi langkah 1sd 4 untuk batang logam yang lain.
3.3 Gambar Alat
1. Peralatan Muai Panjang

4
3 2

Keterangan:
1. Skala
2. Jarum penunjuk
3. Klem double
4. Ketel uap
5. Batang uji

2. Thermometer
1

Keterangan:
1. Pengait
2. Skala
3. Air Hg
3. Dial Gauge

3
4

Keterangan:
1. JarumPanjang
2. JarumPendek
3. Sterm
4. Spindle
5. Bidang Kerja

4. Lampu Spiritus

Keterangan:
1. Tabung kaca
2. Sumbu
3. Tutup
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan


4.1.1 Keadaan Laboratorium
Keadaan Laboratorium Sebelum Pratikum Sesudah Pratikum
Suhu 31ºC 30ºC
Keadaan Relatif 83 % Rh 80 % Rh

4.1.2 Logam Alumunium


Lo = 20,5 cm = 0,0205 m
T1 = 31ºC
Tabel 1. Koefisien muai logam alumunium
Penurunan ΔL (m) ΔT (ºC) α (/ºC) L(m)
Suhu (ºC)
103 0,011 72 7,4 x 10-3 3,14 x 10-2
101 0,009 70 6,2 x 10-3 2,43 x 10-2
99 0,008 68 5,7 x 10-3 2,84 x 10-2
97 0,007 66 5,1 x 10-3 2,74 x 10-2
95 0,0065 64 4,9 x 10-3 2,69 x 10-2
93 0,006 62 4,1 x 10-3 2,57 x 10-2
91 0,006 60 4,8 x 10-3 2,64 x 10-2
89 0,0055 58 4,6 x 10-3 2,59 x 10-2
87 0,005 56 4,3 x 10-3 2,54 x 10-2
85 0,005 54 4,5 x 10-3 2,54 x 10-2
4.1.3 Logam Tembaga
Lo = 20,8 cm = 0,0208 m
T1 = 31ºC
Tabel 2. Koefisien muai logam tembaga

Penurunan ΔL (m) ΔT (ºC) α (/ºC) L(m)


Suhu (ºC)
77 0,0012 46 1,2 x 10-2 2,19 x 10-2
75 0,01 44 1,04 x 10-2 3,07 x 10-2
73 0,0095 42 1,08 x 10-2 3,02 x 10-2
71 0,009 40 1,08 x 10-2 2,97 x 10-2
69 0,0085 38 1,07 x 10-2 2,92 x 10-2
67 0,008 36 1,06 x 10-2 2,87 x 10-2
65 0.007 34 9,8 x 10-2 2,77 x 10-2
63 0,0065 32 9,7 x 10-2 2,72 x 10-2
61 0,006 30 9,6 x 10-2 2,68 x 10-2
59 0,006 28 1,0-2 x 10-2 2,67 x 10-2

4.1.4 Logam Besi


Lo = 20,2 cm = 0,0202 m
T1 = 31ºC
Tabel 3. Koefisien muai logam besi
Penurunan ΔL (m) ΔT (ºC) α (/ºC) L(m)
Suhu (ºC)
70 39 0,003 3,8 x 10-3 2,31 x 10-2
68 37 0,002 2,6 x 10-3 2,22 x 10-2
66 35 0,0015 2,1 x 10-3 2,16 x 10-2
64 33 0,001 1,4 x 10-3 2,11 x 10-2
62 31 0,001 1,5 x 10-3 2,11 x 10-2
60 29 0,001 1,7 x 10-3 2,11 x 10-2
58 27 0,001 1,8 x 10-3 2,11 x 10-2
56 25 0,001 1,9 x 10-3 2,11 x 10-2
54 23 0,0005 1,07 x 10-3 2,06 x 10-2
52 21 0,0005 1,1 x 10-3 2,06 x 10-2
4.2 Perhitungan
4.2.1 Logam Alumunium
∆𝐿 1
1. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡

0,011 1
= = 0.0205(1+ 7,4 x 10-3(72))
0,0205 72
= 0,5365 . 0,0138 = 0,0314
= 0,0074037 = 3,14 x10-2 m
= 7,4 x 10 -3 /ºC

∆𝐿 1
2. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡

0,009 1
= = 0,0205(1+6,2 x 10-3(70))
0,0205 70
= 0,4390.0,0142 = 0,029397
= 0,0062338 = 2,93 x 10-2 m
= 6,2 x 10-3 / ºC

∆𝐿 1
3. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,008 1
= = 0,0205(1+5,7 x 10-3 (68))
0,0205 68
= 0,3902. 0,0147 = 0,0205(1,3876)
= 0,00573594 = 0,0284
= 5,7 x 10-3 / ºC = 2,84 x 10-2 m

∆L 1
4. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
L1 ∆t
0,007 1
= = 0,0205(1+5,1 x 10-3 (66))
0,0205 66
= 0,3414 . 0,0151 = 0,0205. 1,3366
= 0,00515514 = 0,0274003
= 5,1 x 10-3 / ºC = 2,74 x 10-2 m
∆𝐿 1
5. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,0065 1
= = 0,0205(1+ 4,0 x 10-3 (64))
0,0205 64
= 0,3170. 0,0156 = 0,0205 . 1,3136
= 0,0049452 =0,0269288
= 4,0 x 10-3 / ºC = 2,69 x 10-2 m
∆𝐿 1
6. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,006 1
= = 0,0205(1+4,1 x 10-3 (62))
0,0205 62
= 0,2926 . 0,0161 = 0,0205. 1,2524
= 0,00417086 = 0,0257111
= 4,1 x 10-3 / ºC = 2,57 x 10-2 m
∆𝐿 1
7. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,006 1
= = 0,0205(1+4,8x 10-3 (62))
0,0205 60
= 0,2926 . 0,0161 = 0,0205. 1,288
= 0,0048571 = 0,026404
= 4,8 x 10-3 / ºC = 2,64 x 10-2 m
∆𝐿 1
8. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,0055 1
= = 0,0205(1+4,6x 10-3 (62))
0,0205 58
= 0,2682 . 0,0172 = 0,0205. 1,2668
= 0,00461304 = 0,0259694
= 4,6 x 10-3 / ºC = 2,59 x 10-2 m
∆𝐿 1
9. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,005 1
= = 0,0205(1+ 4,3 x 10-3 (62))
0,0205 56
= 0,2682 . 0,0178 = 0,0205. 1,2408
= 0,00434142 = 0,0254364
= 4,3 x 10-3 / ºC = 2,54 x 10-2 m
∆𝐿 1
10. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,005 1
= = 0,0205(1+ 4,5 x 10-3 (62)
0,0205 54
= 0,2439 . 0,0185 = 0,0205. 1,243
= 0,0045125 = 0,0254815
= 4,5 x 10-3 / ºC = 2,54 x 10-2 m
4.1.2 Logam Tembaga
∆𝐿 1
1. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,0012 1
= = 0,0208(1+ 1,2 x 10-3 (46))
0,0208 46
= 0,0576 . 0,0217 = 0,0208 . 1,0552
= 0,00124992 = 0,02194816
=1,2 x 10-3 / ºC = 2,19 x 10-2 m
∆L 1
2. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
L1 ∆t
0,0012 1
= = 0,0208(1+1,09 x 10-2 (44))
0,0208 44
= 0,4807 . 0,0238 = 0,0208 . 1,4796
= 0,0010869445 = 0,03077568
= 1,09 x 10-2 / ºC = 3,07 x 10-2 m
∆𝐿 1
3. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,0012 1
= = 0,0208(1+ 1,08 x 10-2 (42))
0,0208 42
= 0,4567 . 0,0238 = 0,0208 . 1,4536
= 0,01086945 = 0,03023488
= 1,08 x 10-2 / ºC = 3,02 x 10-2 m
∆𝐿 1
4. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,009 1
= = 0,0208(1+ 1,08 x 10-2 (40))
0,0208 40
= 0,4567 . 0,025 = 0,0208 . 1,4536
= 0,010815 = 0,0297856
= 1,08 x 10-2 / ºC = 2,97 x 10-2 m
∆𝐿 1
5. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,0085 1
= = 0,0208(1+ 1,07 x 10-2 (40))
0,0208 38
= 0,4086 . 0,0263 = 0,0208 . 1,4066
= 0,010874618 = 0,02925728
= 1,07 x 10-2 / ºC = 2,92 x 10-2 m
∆𝐿 1
6. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,008 1
= = 0,0208(1+ 1,06 x 10-2 (36))
0,0208 36
= 0,3846 . 0,0294 = 0,0208 . 1,3816
= 0,01065342 = 0,02873728
= 1,06 x 10-2 / ºC = 2,87 x 10-2 m
∆𝐿 1
7. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,007 1
= = 0,0208(1+ 9,8 x 10-3 (34))
0,0208 36
= 0,3365 . 0,0294 = 0,0208 . 1,3332
= 0,0098931 = 0,02773056
= 9,8 x 10-3 / ºC = 2,77 x 10-2 m
∆𝐿 1
8. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,0065 1
= = 0,0208(1+ 9,7 x 10-3 (32))
0,0208 32
= 0,3125 . 0,03125 = 0,0208 . 1,3104
= 0,009765625 = 0,02725632
= 9,7 x 10-3 / ºC = 2,72 x 10-2 m
∆𝐿 1
9. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,006 1
= = 0,0208(1+ 9,6 x 10-3 (30))
0,0208 30
= 0,2884 . 0,0333 = 0,0208 . 1,288
= 0,00960372 = 0,0267904
= 9,6 x 10-3 / ºC = 2,67 x 10-2 m
∆𝐿 1
10. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,006 1
= = 0,0208(1+ 1,02x 10-2 (28))
0,0208 28
= 0,2884 . 0,0357 = 0,0208 . 1,2866
= 0,01029588 = 0,02674048
= 1,02 x 10-2 / ºC = 2,67 x 10-2 m
4.2.3 Logam Besi
∆𝑙 1
1. ∝= L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,003 1
= = 0,0202(1+ 3,8 x 10-3 (39))
0,0202 39
= 0,1485 . 0,0256 = 0,0202 . 1,1482
= 0,0038016 = 0,02319364
= 3,8 x 10-3 / ºC = 2,31 x 10-2 m
∆𝐿 1
2. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,002 1
= = 0,0202(1+ 2,6 x 10-3 (37))
0,0202 37
= 0,099 . 0,027 = 0,0202 . 1,0962
= 0,002673 = 0,02214324
= 2,6 x 10-3 / ºC = 2,21 x 10-2 m
∆𝐿 1
3. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑇
0,0015 1
= = 0,0202(1+ 2,1 x 10-3 (35))
0,0202 35
= 0,0742 . 0,0285 = 0,0202 . 1,0735
= 0,0021147 = 0,0216847
= 2,1 x 10-3 / ºC = 2,16 x 10-2 m
∆𝑇 1
4. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑇
0,001 1
= = 0,0202(1+ 1,4 x 10-3 (33))
0,0202 33
= 0,0495 . 0,0303 = 0,0202 . 1,0462
= 0,00149985 = 0,02113324
= 1.4 x 10-3 / ºC = 2,11 x 10-2 m
∆𝑇 1
5. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑇
0,001 1
= 0,0202 = 0,0202(1+ 1,5 x 10-3 (31))
31

= 0,0495 . 0,0322 = 0,0202 . 1,0465


= 0,0015939 = 0,0211393
= 1.5 x 10-3 / ºC = 2,11 x 10-2 m
∆𝑇 1
6. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,001 1
= = 0,0202(1+ 1,7 x 10-3 (29))
0,0202 29
= 0,0495 . 0,0344 = 0,0202 . 1,0493
= 0,0017028 = 0,02119586
= 1.7 x 10-3 / ºC = 2,11 x 10-2 m
∆𝑇 1
7. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,001 1
= = 0,0202(1+ 1,8 x 10-3 (39))
0,0202 27
= 0,0495 . 0,037 = 0,0202 . 1,0486
= 0,0018315 = 0,02118172
= 1.8 x 10-3 / ºC = 2,11 x 10-2 m
∆𝑇 1
8. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,001 1
= = 0,0202(1+ 1,9 x 10-3 (25))
0,0202 25
= 0,0495 . 0,04 = 0,0202 . 1,0475
= 0,00198 = 0,0211595
= 1.9 x 10-3 / ºC = 2,11 x 10-2 m
∆𝑇 1
9. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,0005 1
= = 0,0202(1+ 1,07 x 10-3 (23))
0,0202 23
= 0,0247 . 0,0434 = 0,0202 . 1,02461
= 0,00107198 = 0,020697122
= 1.07 x 10-3 / ºC = 2,06 x 10-2 m
∆𝑇 1
10. ∝ = L = Lo (1 + 2 ΔT)
𝐿1 ∆𝑡
0,0005 1
= = 0,0202(1+ 1,1 x 10-3 (21))
0,0202 21
= 0,0247 . 0,0476 = 0,0202 . 1,0231
= 0,00117572 = 0,02066662
= 1.1 x 10-3 / ºC = 2,06 x 10-2 m
4.3 Pembahasan

Pada percobaan yang telah dilakukan mengenai koefisien muai linier ini
dengan mengukur pertambahan panjang pada batang logam tembaga, alumunium
serta besi dapat dilihat bahwa pada tembaga mengalami pemuaian hingga suhu
naik menjadi 77ºC diperoleh pertambahan panjang sebesar 0,0012 m. Lalu pada
batang logam alumunium pada suhu 103ºC diperoleh pertambahan panjang
sebesar 0,011 m. Selanjutnya pada batang logam besi dengan pemuaian hingga
suhu naik menjadi 70ºC diperoleh pertambahan panjangnya sebesar 0,003 m.

Pada literatur, koefisien muai linier pada tembaga, yaitu sebesar


0,0000167/ºC, lalu pada alumunium yaitu sebesar 0,000025/ºC, selanjutnya pada
besi, koefisien muai liniernya sebesar 0,000012/ºC. Hal ini menunjukkan bahwa
diantara 3 batang logam tersebut ketika dinaikkan suhunya, maka yang
mengalami pertambahan panjang paling besar yaitu pada alumunium sehungga
alumunium paling cepat mengalami pemuaian karena pada alumunium, molekul
yang terdapat didalamnya lebih renggang diantara molekul satu dengan yang
lainnya. Dikarenakan molekul-molekul berjarak lebih renggang, sehingga saat
diberikan kalor molekul tersebut bergetar lebih cepat dan jarak antar partikel pun
juga ikut bertambah besar sehingga pada alumunium yang jarak antar partikelnya
pun tadi sudah merenggang, maka ketika diberi kalor, jarak antar partikelnya pun
semakin besar atau renggang sehingga pertambahan ukuran pada alumunium lebih
besar dari besi dan tembaga.

Pada percobaan yang telah dilakukan, tembaga mengalami pertambahan


panjang yang lebih besar daripada pertambahan panjang dari batang logam
alumunium dan juga besi. Hal ini berarti tidak sesuai dengan literatur yang telah
dijelaskan. Ketidaksamaan ini bisa terjadi dari banyak factor diantaranya
pertambahan suhu yang dimiliki oleh tembaga juga lebih besar dari alumunium
dan besi. Semakin besar pertambahan panjang, maka pertambahan suhu suatu
bahan tersebut juga lebih besar. Hal ini sesuai pada percobaan yang dilakukan
bahwa pertambahan suhu pada tembaga lebih besar dibandingkan besi dan juga
alumunium sehingga pertambahan panjang pada tembaga juga lebih besar. Faktor
lainnya yaitu panjang awal pada masing-masing logam berbeda, yaitu pada
tembaga panjang awal sebelum dipanaskan sebesar 20,8 cm atau dalam m sebesar
0,0208 m. Alumunium panjang awalnya sebesar 20,5 cm atau 0,0205 m
sedangkan logam besi dengan panjang awalnya sebesar 20,2 cm atau 0,0202 m.

Pada percobaan ini diamati pertambahan panjang pada setiap logam tiap
penurunan sebesar 2ºC. pada tembaga dari suhu 77ºC hingga turun menjadi suhu
sebesar 75ºC, sedangkan untuk pertambahan panjangnnya malah naik atau
semakin bertambah panjang, yaitu dari 0,0012 m menjadi 0,01 m. Sehingga
bertambah panjang ukuran logam tembaga sebesar 0,0088 m. Hal ini tentu terjadi
kesalahan atau kekeliruan dalam melakukan percobaan. Karena jika suatu batang
logam yang telah dipanaskan dengan semakin menurunnya besar suhu, maka
secara otomatis batang logam tersebut akan semakin memuai atau semakin
menyusut ukurannya. Kesalahan tersebut bisa diakibatka karena kekurangtelitian
dari praktikan saat melakukan percobaan, seperti keliru dalam melihat skala suhu
pada thermometer maupun keliru pada saat melihat skala pertambahan
panjangnya. Kemudian pada alumunium diamati pada suhu 103ºC hingga menjadi
suhu 101ºC mengalami penurunan pada perambahan panjangnya yaitu dari
sebesar 0,011 m menjadi 0,009 m sehingga penyusutan batang logam alumunium
yaitu sebesar 0,002 m. Kemudian pula pada batang logam besi dari suhu sebesar
70ºC menjadi 68ºC perubahan panjangnya dari 0,003 m turun menjadi 0,002 m,
sehingga penyusutan pada batang logam besi sebesar 0,001 m.

Penyusutan pada suatu zat juga bergantung pada koefisien muai liniernya,
seperti yang diketahui, alumunium memiliki koefisien muai liniernya lebih besar
dari tembaga dan besi sehingga yang paling besar penyusutannya adalah
alumunium. Pada percobaan, penyusutan paling didapatkan yaitu pada tembaga,
perbedaan yang didapatkan disebabkan oleh beberapa faktor, bisa saja dalam
melihat skalanya yang kurang tepat.

Pada saat pemberian kalor pada masing-masing batang logam, digunakan


sumbu dengan panjang yang sama yaitu sebesar 10 cm hingga api yang menyala
pada sumbunya mati dan tidak ada lagi pertambahan panjang yang diperoleh
Karena tidak ada kalor yang mengalir pada masing-masing logam. Dari percobaan
ini pada tembaga tidak lagi mengalami perubahan panjang yaitu pada suhu 61ºC.
Kemudian pada alumunium pada suhu 87ºC dan pada besi tidak lagi mengalami
pertambahan panjang sebesar pada suhu 54ºC. Semakin menurun suhu pada
masing-masing batang maka pertambahan panjangnya pun menurun hingga tidak
mengalami pertambahan panjang. Pada tembaga api mati pada suhu 67ºC,
kemudian pada alumunium, api mati pada suhu 93ºC dan pada batang logam besi,
api mati pada suhu 64ºC.

Pada saat akan dimulainya percobaan kelembaban relative yang diperoleh


sebesar 83% rh, kemudian setelah praktikum kelembaban relatifnya menjadi 80%
rh. Pada dasarnya kelembaban tidak mempengaruhi pemuaian, pemuaian
dipengaruhi oleh koefisien muai linier, perubahan suhu serta panjang awal
sebelum terjadinya pemuaian. Koefisien muai linier pada percobaan diperoleh dari
perhitungan yang dilakukan tiap penurunan suhu yang diperoleh serta
pertambahan panjang yng didapatkan. Semakin menurun pertambahan panjang
yang diperoleh maka koefisiennya juga ikut menurun. Saat masing-masing logam
tidak lagi mengalami pertambahan panjang, maka koefisien muai linier pada
masing-masing batang logam akan bernilai nol. Ini menunjukkan bahwa saat
benda tidak mengalami pertambahan panjang, maka benda tersebut tidak sedang
mengalami pemuaian, sehingga koefisien muai panjangnya pun bernilai nol.

Pada kehidupan sehari-hari banyak sekali pengaplikasian dari pemuaian


itu sendiri, sera pengaplikasiannya pada pemuaian batang besi, yaitu pemasangan
bingkai besi dan karet. Pemasangan bingkai besi dilakukan pada saat panas
sehingga besi dapat dengan mudah masuk pada kode, karena pemuaian besi yang
telah lunak akibat pemanasan. Hal ini berarti di dalam pemasangannya
memanfaatkan proses pemuaian pada besi yang saat panas besi mengalami
pertambahan besar diameternya didalamnya dan dibagian luarnya juga ikut
bertambah. Sehingga besi dapat dimasukkan. Pada musim dingin besi akan
mengalami penyusutan diameter dalamnya mengecil.

Penerapan prinsip pemuaian juga terdapat pada rel kereta api. Pada rel,
sambungannya ada rongga atau jarak antara rel yang satu dengan yang lainnya.
Rel kereta tidak dipasang berhimpit atau rapat. Hal ini dilakukan untuk mengatasi
terjadinya pemuaian pada saat siang hari sehingga rel tersebut tidak melengkung.
Melengkungnya rel kereta api disebabkan pada saat rel memuai akibat terkena
sinar matahari, sehingga ujung-ujung sambungan rel akan menekan.
Terbengkoknya rel kereta api tersebut sangat membahayakan perjalanan kereta
api. Untuk mengatasi pembengkokan ini maka pada sambungan rel harus
disediakan celah. Dengan demikian, ketika rel kereta api terpanaskan oleh terik
matahari di siang hari akan terdapat ruang antara sambungan untuk pemuaian,
sehingga ujung-ujung sambungan tidak saling menekan.

Pengelingan pelat logam merupakan suatu proses penyambungan dua pelat


logam dengan paku keeling. Paku keeling mela-mula dipanaskan hingga berpijar,
kemudian dimasukkan kedalam pelat logam. Setelah itu, ujung paku keeling
dipukul hingga rata dengan permukaan pelat. Setelah dingin, paku keeling
menyusut, sehingga menjepit kedua pelat dengan kuat. Pengelingan biasanya
digunakan pada pembuatan kontainer dan badan-badan kapal besar.

Inilah pemanfaatan pemuaian dalam kehidupan sehari-hari. Dengan


memakai konsep dari pemuaian, maka dapat melakukan sesuatu hal yang baik
pada benda-benda yang mengalami pemuaian. Berbagai macam logam memiliki
pertambahan panjang yang berbeda-beda saat mengalami pemuaian. Sehingga
dengan begitu tiap logam tidak dapat disamakan satu dengan yang lain.
Diantaranya tiga logam yang digunakan pada percobaan. Logam alumunium
memiliki koefisien terbesar lalu dilanjutkan dengan tembaga kemudian besi.
Setelah melakukan percobaan ini, praktikan dapat memahami lebih jelas
mengenai konsep pemuaian panjang pada beberapa logam, dimana setiap
memiliki nilai koefisien muai linier yang berbeda tergantung sifat dan jenis logam
itu sendiri. Percobaan ini dimanfaatkan untuk mendapatkan nilai besar koefisien
muai panjang (𝛼) dengan perhitungan manual dan grafik pada logam alumunium,
besi, dan tembaga.

Perbedaan hasil data pada percobaan ini dengan literatur disebabkan oleh
kesalahan-kesalahan yang dilakukan selama percobaan, misalnya kurang
ketelitian pada saat pengambilan data, keadaan suhu ruangan, skala bertambah
panjang yang tidak mau memutar serta cepatnya perubahan suhu yang
ditampilkan membuat hasil yang didapatkan menjadi tidak akurat dan acak.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan mengenai koefisien muai


linier didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Besi, alumunium dan tembaga mengalami pemuaian saat diberi kalor


sehingga mengalami pemuaian saat diberi kalor sehingga mengalami
pertambahan panjang yang masing-masing berbeda.
2. Koefisien muai linier besi, alumunium dan tembaga dapat ditentukan
dengan cara perhitungan manual dengan diketahui pertambahan panjangnya,
suhu awal dan akhir serta panjang awal masing-masing. Pada literatur,
koefisien muai linier besi yaitu 0,000012/ º𝐶 alumunium sebesar
0,000025/ º𝐶 dan tembaga 0,0000167/ º𝐶.

5.2 Saran

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dengan menggunakan bahan


batang logam besi, alumunium dan tembaga dilakukan pemberian kalor hanya
sekali untuk masing-masing logam sehingga hasil yang diperoleh tidak dapat
dibandingkan dengan logam sejenis. Sebaiknya dilakukan pengulangan pemberian
kalor dan diamati pemuaiannya pada masing-masing logam sehingga dapat
dilakukan perbandingan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mikrajuddin. 2016. Fisika Dasar I. Bandung : ITB.


Angga, N. M dan S. Mei. 2015. “Perancangan Media Pembelajaran Fisika
Pemuaian”. Jurnal Juisi. Vol. 1 (2) : 177.
Ariani, P. F. dan G. Prijitro. 2016. “Analisis Pengaruh Panjang dan Perubahan
Suhu Terhadap Pencairan Intensitas Pada Serat Optik Plastik Multimade
Tipe FD-G20-10”. Jurnal Sains dan Seni ITS. Vol. 5 (2) : 104.
Astuti, E. T., Suryadi, Z. M. Ishaq dan A. Pariz. 2009. “Menentukan Koefisien
Ekspansi Linear Batang Kuningan dengan Teknik ESPI (Electronic
Speckle Pattern Interferometry)”. Jurnal Fisika Himpunan Indonesia. Vol.
9 (1) : 30.
Giancoli, Douglas C. 2001. Fisika Jilid I Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga.
Ishaq, Mohammad. 2007. Fisika Dasar Edisi Kedua. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Jati, B. M. Eka. 2013. Pengantar Fisika I. Yogyakarta : UGM Press.
Wulandari, P. S dan Y. Radiyono. 2015. “Penggunaan Metode Defraksi Celah
Tunggal Pada Penentuan Koefisien Pemuaian Panjang Aluminium”.
Jurnal SNFPF. Vol. 6 (1) : 19-20.
Yantidewi, M., T. Prastowo dan A. Arief. 2018. “Pengukuran Koefisien Muai
Volume Minyak Nabati dan Air Berdasarkan Relasi Linear Antara
Perubahan Volume dan Perubahan Temperatur”. Jurnal Inovasi
Pendidikan Fisika dan Riset Ilmiah. Vol. 2 (1) : 43-44.
Young, H. D. Dan R. A. Freedman. 2002. Fisika Universitas Jilid I Edisi
Kesepuluh. Jakarta : Erlangga.
PERTANYAAN

1. Apa yang dimaksud dengan koefisien muai linier, koefisien muai luas dan
koefisien muai volume?
Jawab:
a. Koefisien muai linier adalah bilangan yang menyatakan seberapa besar
pertambahan panjang suatu bahan setiap satuan panjang jika suhunya
naik 1ºC.
b. Koefisien muai luas adalah bilangan yang menyatakan seberapa besar
pertambahan luas suatu bahan setiap satuan luas jika suhunya naik 1ºC.
c. Koefisien muai volume adalah bilangan yang menunjukkan pertambahan
volume suatu benda jika suhunya dinaikkan 1ºC tiap satuan volume.
2. Tentukan satuan dan dimensi dari besaran-besaran pada pertanyaan no.1!
Jawab:
a. Koefisien muai linier
Aℓ
α = ℓ0.∆T Satuan α = /ºC
m
= m℃ = ºC-
[L]
= [ L ][ θ ]

= [θ]−1
b. Koefisien muai luas
∆A
𝛽 = A0.∆T Satuan 𝛽 = ℃−1
m2
= m2 ℃
[ L ]2
= [ L ]2 [ θ ]

= [θ]−1
c. Koefisien muai volume
∆V
𝛿= Satuan 𝛿 = ℃−1
V0.∆T
m3
= m3 ℃
[ L ]3
= [ L ]3 [ θ ]

= [θ]−1
3. Apakah pengaruh besar kecilnya koefisien muai?
Jawab:
 Panjang benda, luas benda dan volume benda
 Besarnya perubahan suhu
 Jenis benda yang digunakan
4. Buktikan bahwa:
a. Koefisien muai logam 2 kali koefisien muai linier ?
Misal ukuran suatu benda x, y dan z
∆x ∆y ∆z
X = x.∆T = y.∆T = z.∆T
∆A ∆ ( xy ) x∆y + y∆x x∆y y∆x ∆y ∆x
𝛽= = = = xy.∆T + xy.∆T = y.∆T + x.∆T
A.∆T A.∆T ( xy ) .∆T

𝛽= 𝛼+ 𝛼
= 2𝛼
b. Koefisien muai volume logam 3 kali koefisien muai liniernya ?
∆V ∆ ( xyz ) xy∆z + xz∆y+yz∆x xy∆z xz∆y yz∆x
𝛿= = (xyz).∆T = = xyz.∆T + xyz.∆T + xyz.∆T
V.∆T ( xyz ) .∆T
∆z ∆y ∆x
= z.∆T + y.∆T + x.∆T

𝛿 = 𝛼+ 𝛼+𝛼
=3𝛼
EVALUASI AKHIR

1. Buat grafik yang menunjukan hubungan nantara ΔT dan ΔL!


Jawab :
a. Alumunium
Alumunium
ΔL = 0,011 m ΔT = 72˚C 80
ΔL = 0,009 m ΔT = 70˚C 60
ΔL = 0,008 m ΔT = 68˚C 40
ΔL = 0,007 m ΔT = 66˚C 20
ΔL = 0,0065 m ΔT = 64˚C 0

ΔL = 0,006 m ΔT = 62˚C
ΔL = 0,006 m ΔT = 60˚C
ΔL = 0,0055 m ΔT = 58˚C
ΔL = 0,005 m ΔT = 56˚C
ΔL = 0,005 m ΔT = 54˚C Tembaga
b. Tembaga 50
40
ΔL = 0,0012 m ΔT = 46˚C
30
ΔL = 0,01m ΔT = 44˚C 20
ΔL = 0,0095 m ΔT = 42˚C 10
0
ΔL = 0,009 m ΔT = 40˚C
ΔL = 0,0085 m ΔT = 38˚C
ΔL = 0,008m ΔT = 36˚C
ΔL = 0,007 m ΔT = 34˚C
ΔL = 0,0065 m ΔT = 32˚C
ΔL = 0,006 m ΔT = 30˚C Besi
50
ΔL = 0,006 m ΔT = 28˚C
c. Besi 40

ΔL = 0,003 m ΔT = 46˚C 30

ΔL = 0,002 m ΔT = 44˚C 20
ΔL = 0,0015 m ΔT = 42˚C 10
ΔL = 0,001 m ΔT = 40˚C 0
ΔL = 0,001 m ΔT = 38˚C 0,003 0,002 0,0015 0,001 0,0005

ΔL = 0,001 m ΔT = 36˚C
ΔL = 0,001 m ΔT = 34˚C
ΔL = 0,001 m ΔT = 32˚C
ΔL = 0,0005 m ΔT = 30˚C
ΔL = 0,0005 m ΔT = 28˚C
2. Hitung koefisien muai linear logam dengan gradien dari kurva logam!
Jawab :
a. Logam Alumunium
α1 = 7,4 x 10−3 /˚C
α2 = 6,2x 10−3 /˚C
α3 = 5,7x 10−3 /˚C
α4 = 5,1x 10−3 /˚C
α5 = 4,9x 10−3 /˚C
α6 = 4,1x 10−3 /˚C
α7 = 4,8x 10−3 /˚C
α8 = 4,6x 10−3 /˚C
α9 = 4,3x 10−3 /˚C
α10 = 4,5x 10−3 /˚C
b. Logam Tembaga
α1 = 1,2 x 10−3 /˚C
α2 = 1,09x 10−3 /˚C
α3 = 1,08x 10−3 /˚C
α4 = 1,08x 10−3 /˚C
α5 = 1,07x 10−3 /˚C
α6 = 1,06x 10−3 /˚C
α7 = 9,8x 10−3 /˚C
α8 = 9,7x 10−3 /˚C
α9 = 9,6x 10−3 /˚C
α10 = 1,02x 10−3 /˚C
c. Logam Besi
α1 = 3,8 x 10−3 /˚C
α2 = 2,6x 10−3 /˚C
α3 = 2,1x 10−3 /˚C
α4 = 1,4x 10−3 /˚C
α5 = 1,5x 10−3 /˚C
α6 = 1,7x 10−3 /˚C
α7 = 1,8x 10−3 /˚C
α8 = 1,9x 10−3 /˚C
α9 = 1,07x 10−3 /˚C
α10 = 1,1x 10−3 /˚C
3. Bandingkan hasil percobaan dengan daftar pada buku referensi, dalam hal ini
tentukan jenis logam tersebut!
Jawab :
Pada percobaan yang didapatkan hasil kesimpulan bahwa rata-rata data α
tembaga > α alumunium > α besi. Sedangkan pada literature α tembaga =
0,0000167 /˚C, α alumunium = 0,000021 /˚C, α besi = 0,000012 /˚C. Sehingga
diperoleh α alumunium > α tembaga > α besi dan alumunium memiliki
pertambahan panjang terbesar dilanjutkan dengan tembaga kemudian besi.
4. Buat analisis dari percobaan tersebut!
Jawab :
Pada percobaan didapatkan bahwa temabaga memiliki pertambahan panjang
atau nilai koefisien muai linearnya yang paling besar, hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya panjang mula-mula serta suhu awal dan akhir.
Serta nilai koefisien muai linear dapat dicari perhitungan manual.

Anda mungkin juga menyukai