Redaktur Ahli
Muhammad Amin Suma (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
A Salman Maggalatung (UIN Syarif Hidayatull ah Jakarta)
Asep Saepudin Jahar (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Ahmad Mukri Aji (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
JM Muslimin (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Muhammad Munir (IIU Islamabad Pakistan)
Euis Amalia (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tim Lindsey (Melbourne University Australia)
Raihanah Azahari (University Malaya Malaysia)
Ahmad Tholabi (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Ahmad Hidayat Buang (University Malaya Malaysia)
Pemimpin Redaksi
Nur Rohim Yunus
Sekretaris Redaksi
Muhammad Ishar Helmi
Redaktur Pelaksana
Mara Sutan Rambe
Indra Rahmatullah
Fitria
Tata Usaha
Erwin Hikmatiar
Alamat Redaksi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda 95 Ciputat Jakarta 15412 Telp. (62-21) 74711537, Faks. (62-21) 7491821
Website: www.fsh-uinjkt.net, E-mail: jurnal.salam@uinjkt.ac.id
Permalink: http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam
Menyambut baik kontribusi dari para ilmuwan, sarjana, profesional, dan peneliti dalam disiplin ilmu
hukum untuk dipublikasi dan disebarluaskan setelah melalui mekanisme seleksi naskah, telaah
mitra bebestari, dan proses penyuntingan yang ketat.
DAFTAR ISI
10.15408/sjsbs.v3i2.3655
Abstrak:
Patologi sosial dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen untuk dibersihkan dari
tengah kehidupan umat Islam. Adanya beberapa aturan dalam kitab suci al-Qur’an
dan hadits Nabi Muhammad saw yang secara eksplisit mengharamkan umat Islam
untuk mendekati zina, mengonsumsi minuman yang memabukan, dan berjudi,
sangat jelas membuktikan adanya kepedulian Islam yang begitu tinggi terhadap
upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai penyakit sosial dari tengah
kehidupan publik.
Kata Kunci: Patologi sosial, Kota Tangerang Selatan, Vaksin Sosial.
Abstract:
Social pathology is seen as something very urgent to be cleaned from the lives of
Muslims. The existence of multiple rules in the the Koran and and Hadith that
explicitly forbids Muslims to approach adultery, consuming alcoholic beverages, and
gamble, clearly proving of the high of Islamic awareness on the need of prevention
and control of various of social pathologies from the public life.
Keywords: Patologi sosial, Kota Tangerang Selatan, Vaksin sosial.
Diterima tanggal naskah diterima: 12 Mei 2016, direvisi: 20 Juli 2016, disetujui untuk terbit:
*
14 Agustus 2016.
121
Masalah dan Solusi Patologi Sosial di Kota Tangerang Selatan
Pendahulun
Artikel ini secara spesifik membahas tentang patologi sosial atau penyakit
kemasyarakatan yang ada di kota Tangerang Selatan dan upaya
penanggulangannya. Dalam perspektif Islam, penyakit kemasyarakatan secara
teologis dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen untuk dibersihkan dari
tengah kehidupan masyarakat. Adanya beberapa ayat dalam kitab suci al-Qur’an
yang secara eksplisit mengharamkan umat Islam untuk mendekati zina (QS. al-
Isra [17]: 32) dan mengkonsumsi minuman yang memabukan serta berjudi (QS.
al-Mâidah [5]: 90), misalnya, sangat jelas membuktikan adanya kepedulian Islam
yang begitu tinggi terhadap upaya pencegahan dan pembersihan berbagai
penyakit kemasyarakatan dari tengah kehidupan umat Islam.
Tidaklah mengherankan jika secara historis, sosiologis, dan politis, dalam
banyak variasinya, upaya pembersihan penyakit kemasyarakatan telah
dijalankan di dunia Islam sejak masa klasik Islam di zaman Nabi hingga masa
kontemporer ini. Upaya serupa dalam berbagai bentuknya turut pula dilakukan
oleh pemerintah dan warga masyarakat Republik Indonesia, baik yang berada di
level pemerintah pusat, maupun yang berada pada jajaran pemerintah daerah,
termasuk di dalamnya pemerintah dan warga masyarakat yang berdomisili di
Kota Tangerang Selatan.
Senada dengan apa yang dilakukan oleh penguasa dan komunitas
muslim di berbagai belahan dunia pada umumnya dan penguasa serta warga
masyarakat Kota Tangerang Selatan pada khususnya, banyak pula penguasa dan
masyarakat non-muslim di berbagai penjuru dunia yang turut serta
mencanangkan gerakan pembersihan penyakit kemasyarakatan.
Persoalannya kemudian, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan
penyakit masyarakat, penyakit-penyakit apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai penyakit masyarakat, apa saja yang menjadi akar penyebab lahirnya
penyakit masyarakat, jenis-jenis penyakit masyarakat apa saja yang kini sudah
menggejala di Kota Tangerang Selatan dan upaya apa yang dapat dilakukan
untuk mewujudkan Kota Tangerang Selatan yang bersih dari penyakit
masyarakat? Artikel ini dimaksudkan untuk menjawab beberapa pertanyaan
yang amat fundamental tersebut.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 122
Mujar Ibnu Syarif
5Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11
6Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Pencegahan, Pemberantasan
dan penindakan Penyakit Masyarakat.
7Peraturan Daerah Kabupaten Pelalawan Nomor 03 Tahun 2003 Tentang Penyakit
Masyarakat.
8Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pelarangan dan
Penyakit Masyarakat.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 124
Mujar Ibnu Syarif
Nasional Tahun 2013, Kamis, 2 Mei 2013, lihat kemdikbud.go.id, diakses 12 Mei 2013
11James Lewis, Obama Flunks on Social Pathology, http://www.americanthinker.com
dan/atau sesama jenis terhadap hal-hal yang bertentangan dengan agama, etika,
moral, adat dan susila lainnya, (3) pelacuran (prostitusi), yang berarti praktek
pelacuran atau perbuatan persetubuhan atau hubungan kelamin yang dilakukan
oleh laki-laki atau perempuan tanpa melalui perkawinan yang sah, (4) porno
aksi, yang berarti perbuatan atau tingkah laku secara erotis (membuka aurat)
yang dapat membangkitkan nafsu birahi yang secara langsung dapat dilihat oleh
publik secara umum, (5) hiburan band dan orgen tunggal, yang berarti hiburan
yang menggunakan alat musik dengan penyanyi atau artis di tempat umum
yang dilaksanakan dalam rangka acara tertentu; (6) premanisme, yang berarti
suatu perbuatan yang mengarah pada kekerasan dan anarkis yang dapat
menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 126
Mujar Ibnu Syarif
Kedua; Narkoba dan seks bebas. Penyakit ini diketahui pihak Pemerintah
Kota Tangerang Selatan setelah terungkapnya data dari rumah sakit maupun
puskesmas yang menyebutkan ada sekitar 64 orang warga Tangerang Selatan
yang terjangkit penyakit HIV/AIDS yang diduga tertular HIV/AIDS melalui
konsumsi narkoba dengan menggunakan jarum suntik yang sudah
terkontaminasi virus HIV/AIDS atau karena melakukan praktek seks bebas. 16
Ketiga; Minuman keras (miras). Peredaran miras di Kota Tangerang
Selatan sudah semakin tidak terkontrol dan kian membahayakan generasi muda
di kota Tangerang Selatan yang memiliki motto “cerdas, modern dan religious”.
Sebagai contohnya, menurut penuturan Mahfud, warga Jalan Kertamukti,
Kelurahan Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, tidak adanya
kontrol yang ketat dari pemerintah membuat minuman keras beredar sampai ke
toko-toko kecil. Biasanya, lanjut Mahfud, setiap Sabtu malam banyak anak muda
yang sengaja berkumpul di pinggir jalan sambil mengonsumsi minuman keras,
khususnya di Jalan Kertamukti, Pisangan, Ciputat. Pernyataan senada,
disampaikan juga oleh Ruslan, yang adalah juga warga Kertamukti, Kelurahan
Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur. Menurutnya, lantaran akses untuk
mendapatkan minuman keras sangat mudah di Kota Tangerang Selatan, maka
setiap Sabtu malam banyak anak-anak muda yang sengaja berkumpul di pinggir
jalan sambil menyekal botol minuman keras berbagai merek.17
Keempat; Gelandangan dan pengemis (gepeng), orang terlantar, dan
waria. Adanya kelompok ini diakui Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) Kota Tangerang Selatan yang secara estafet sering melakukan Razia dan
bahkan tak jarang pula terlibat kejar-kejaran dengan mereka di sejumlah ruas
jalan di wilayah Kecamatan Pondok Aren, Ciputat dan Serpong, karena mereka
dianggap mengganggu ketertiban umum. 18 Menurut data yang dikeluarkan
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), pada bulan Juni
2012 saja, pengemis, gelandangan dan orang terlantar (PGOT) yang ada di Kota
Tangerang Selatan berjumlah sebanyak 1.055 orang. Dari angka tersebut yang
terdata di antaranya 47 orang gelandangan, 100 orang pengemis, 118 orang eks
narapidana, 36 orang anak yang terlibat dengan kasus hukum, 215 orang
pecandu Napza (narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya), 326 orang
penderita HIV/AIDS, dan 163 orang anak jalanan.19
Kelima; Prostitusi yang dijalankan oleh Pekerja Seks Komersil (PSK). Dari
hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan, menurut mantan kepala Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang Selatan, H. Sukanta, hampir
seluruh kecamatan di Kota Tangerang Selatan terdapat titik-titik yang biasa
19http://globaltangsel.com/baca/332/jelang-ramadhan-tangsel-dibanjiri-pengemis/
dimanfaatkan para Pekerja Seks Komersil (PSK) untuk mangkal guna menjaring
pria hidung belang. Misalnya di Pondok Aren, lokasi yang biasa dipakai
mangkal adalah Tegal Rotan, kemudian di Ciputat yang biasa dijadikan lokasi
mangkal adalah Serua. Demikian pula di Ciputat Timur. Untuk wilayah yang
disebut terakhir, lokasi mangkal paling favorit yang menjadi pilihan para Pekerja
Seks Komersil (PSK) adalah di wilayah Cimanggis. Kemudian di Serpong Utara
dan Setu, lanjut Sukanta, ada juga lokasi yang sering dijadikan pangkalan PSK.
Jika ditotal, tegas Sukanta, ada sekitar 28 titik yang rawan jadi tempat mangkal
Pekerja Seks Komersil (PSK).20
Keenam; Korupsi. Jenis penyakit ini mulai diketahui keberadaannya,
terutama setelah Petugas Kejaksaan Negeri Tigaraksa Tangerang menangkap
tersangka kasus dugaan korupsi, Tatang Sago. Ia diduga terlibat kasus korupsi
pengadaan alat berat (wheel loader) pada Dinas Kebersihan Pertamanan dan
Pemakaman (DKPP) Kota Tangerang Selatan senilai Rp 650 juta yang alokasi
dananya bersumber dari APBD tahun 2009.21
Ketujuh; Pengangguran. Menurut Pitri Yandri, Peneliti Pusat Studi
Desentralisasi dan Otonomi Daerah (PSDOD) STIE Ahmad Dahlan Jakarta,
pengangguran di Tangerang Selatan (Tangsel) meningkat dari 9.605 orang pada
tahun 2010, menjadi 50.122 orang atau meningkat sekitar 40 ribu orang selama
tahun 2011. Angka ini hampir mencapai 4 persen dari keseluruhan jumlah
penduduk kota Tangerang Selatan.22
Kedelapan; Kemiskinan, buta huruf, dan buta hukum. Menurut catatan
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan, saat
ini jumlah masyarakat miskin, buta huruf, dan atau buta hukum di Tangerang
Selatan mencapai 200 ribu jiwa dari total sekitar 1,3 juta penduduk.23
Kesembilan; Aliran Sesat. Data mengenai adanya aliran sesat di Kota
Tangerang Selatan, antara lain, diketahui lewat laporan dua orang jama’ah
wanita yang mengaku menjadi korban ajaran aliran sesat kepada MUI
Kecamatan serpong Utara pada paruh terakhir tahun 2009. Menurut pelapor
yang menyampaikan kesaksiannya di kelurahan Pakujaya, dari pengajian yang
kerap diikutinya di Puri Pakujaya dan Pondok Jagung Timur, mereka didoktrin
mengenai tidak perlunya shalat. Selain itu, pergi haji juga tidak perlu jauh-jauh
ke Mekkah. Akan tetapi, ibadah haji sudah dianggap cukup memadai jika para
jamaah datang ke rumah sang guru dalam bentu konvoi dengan menggunakan
mobil dan atau sepeda motor untuk kemudian menyerahkan sejumlah uang
20 http://m.tangerangnews.com/baca/2012/07/31/7676/satpol-pp-tangsel-gencar-razia--
pekat-
21http://inpekorjak.wordpress.com/2011/07/18/tersangka-korupsi-alat-berat-tangerang-
selatan-ditangkap-kejari-tigaraksa/
22 http://metrotangsel.com/wooww-76-persen-lahan-di-tangsel-dikuasai-pengembang/
23http://www.rmol.co/read/2012/04/24/61690/200-Ribu-Orang-Tangerang-Selatan-Positif-
Buta-Hukum-
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 128
Mujar Ibnu Syarif
kepada sang guru sebagai pengganti ongkos naik haji (ONH). Kejanggalan lain,
menurut penuturan pelapor, sang guru sering membujuk jamaah wanitanya
untuk dipoligami, kendatipun ada di antaranya yang masih memiliki suami.
Dalam realitanya, lanjut pelapor, ada di antara jamaah wanita yang berdomisili
di Tangerang Selatan yang secara paksa direbut dari suaminya dan kemudian
diperistri sang guru yang kemudian baru mereka sadari bahwa sang guru
dimaksud mengajarkan paham sesat.24
Wawancara dengan dua orang pelapor yang mengaku korban aliran sesat, Pakujaya,
24
Desember 2009
25Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, hadits no. 3965, (t.tp: tp., t. th), jilid 13, h. 201
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 130
Mujar Ibnu Syarif
sama akan menirunya dengan cara yang lebih kreatif. Sebaliknya, jika Walikota
Tangerang Selatan mampu bersikap bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,
niscaya bawahan dan rakyatnya pun akan berusaha melakukan hal yang sama.
Sehubungan dengan hal ini, pakar kepemimpinan John C. Maxwell
dalam The Power of Leadership menyatakan sebagai berikut:
”The most effective leadership is by example, not edict. Ninety percent of people learn
visually, nine percent verbally, and one percent of the rest with other
senses”(Kepemimpinan yang paling efektif adalah yang mampu memberikan
contoh dalam perbuatan nyata, bukan hanya sekedar retorika. Sembilan puluh
persen manusia belajar secara visual, sembilan persen secara verbal, dan satu
persen sisanya dengan indera lainnya).26
menjalani eksekusi hukuman mati sampai tahun 2002 karena terbukti korupsi
dan melakukan kejahatan lain.
Dampak positif yang dapat dipetik setelah pemberantasan korupsi
dilakukan secara tegas adalah mendukung terciptanya kepastian hukum yang
jelas. Sehingga negeri Cina kemudian menjadi tujuan investasi teraman di dunia
yang mapu menghimpun dana masuk 50 miliar dollar AS setiap tahunnya.
Bahkan sejak beberapa tahun terakhir, Republik Rakyat Cina (RRC) juga
menunjukan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, yakni rata-rata di atas
tujuh persen pertahun.
Ibarat tubuh, agar masyarakat Kota Tangerang Selatan dapat tahan
terhadap berbagai macam penyakit, maka daya imunitasnya haruslah
ditingkatkan. Satu di antara upayanya adalah melalui vaksinasi. Selanjutnya,
layaknya penyakit fisik, maka setiap jenis penyakit masyarakat yang ada di Kota
Tangerang Selatan juga perlu dilakukan diagnosa yang tepat sehingga
memungkinkan diberikan obat dan terapi yang berberbeda, tepat, dan akurat
sesuai dengan jenis penyakit yang ada.
Sebagai contoh saja, untuk tiga jenis penyakit sosial yang sangat besar
dampak negatifnya bagi masyarakat Kota Tangerang Selatan khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya, yaitu (1) kemiskinan; (2) ketidaktahuan,
dan (3) keterbelakangan peradaban, maka cara meningkatkan daya tahan
(imunitas) sosial agar terhindar dari ketiga macam penyakit tersebut, meminjam
kerangka yang ditawarkan Mohammad Nuh, mantan menteri pendidikan RI,
adalah melalui kependidikan. Selain sebagai vaksin sosial, pendidikan juga
merupakan elevator sosial untuk dapat meningkatkan status sosial. Selanjutnya,
mengingat akses pendidikan juga dipengaruhi oleh ketersediaan satuan
pendidikan dan keterjangkauan dari sisi pembiayaan maka perlu kiranya
pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk secara terus menerus menyiapkan
ketersediaan satuan pendidikan yang layak. Dari sisi keterjangkauan
pendidikan, pemerintah Kota Tangerang Selatan juga perlu menyiapkan Dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar dan menengah,
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Bantuan Siswa Miskin
(BSM), Bidik Misi dan Beasiswa. 28
Dalam konteks upaya pengentasan kemiskinan, pemerintah Kota
Tangerang Selatan perlu merancang program pemberian bantuan modal usaha
untuk mengangkat kesejahteraan ekonomi kaum miskin. Lebih dari itu, regulasi
khusus juga perlu disusun untuk mengatur supaya para pebisnis dengan modal
besar, semisal para pemilik Alfamart dan Indomart tidak semudah membalikan
telapak tangan dalam membangun dan mengelola bisnis dengan kapital besar
yang berpotensi mematikan usaha para pengusaha kecil dan menengah. Jika
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 132
Mujar Ibnu Syarif
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Patologi sosial atau penyakit masyarakat adalah suatu
perbuatan/perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama, adat
istiadat, nilai-nilai Pancasila, dan juga dapat menganggu ketertiban
umum, keamanan, kesehatan, dan nilai-nilai kesusilaan yang hidup
dalam masyarakat yang semestinya dijunjung tinggi.
2. Penyakit masyarakat, antara lain meliputi kemiskinan, ketidaktahuan,
keterbelakangan peradaban, kecanduan heroin dan alkohol, melahirkan
anak luar nikah, kemiskinan, gratifikasi seks, pelacuran (prostitusi),
korupsi, perkelahian atau tawuran antar pelajar, perdagangan manusia,
Pustaka Acuan
Al-Qur’an al-Karim
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari. hadits no. 3965, t.tp: tp., t. th, jilid 13
Al-Ja’îtsan, Abdullâh. al-Manzhûmah al-Mutakâmilah Taqdhî ‘alâ al-Zhawâhir al-
Khathîrah, http://www.alriyadh.com, diakses 12 Mei 2013
Al-Mayzar, Hindun. Jam’u Muqarrar Musykilât ijtimâ’iyyah, Jâ’mi’ah Malik Sa’ûd,
t. th
Kartono, Kartini. Patologi Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 3 Tahun 2004
Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan penindakan Penyakit
Masyarakat
Peraturan Daerah Kabupaten Pelalawan Nomor 03 Tahun 2003 Tentang Penyakit
Masyarakat
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 134
Mujar Ibnu Syarif
Internet
http://chitoryu.com/leadership.htm, diakses 2 Desember 2010
http://www.merriam-webster.com, diakses pada tanggal 12 Mei 2013
http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/11/masalah-sosial-523482.html, diakses
12 Mei 2013
http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/28/benarkah-uin-jakarta-sarang-teroris-
359316.html
http://www.poskota.co.id , diakses 13 Mei 2013
http://kabartangsel.com/2013/02/mendesak-perda-tentang-pembatasan-miras-di-
tangsel/, diakses 13 Mei 2013
http://geraibanten.com/puluhan-gepeng-waria-terjaring-razia-satpol-pp-tangsel,
diakses 13 Mei 2013
http://globaltangsel.com/baca/332/jelang-ramadhan-tangsel-dibanjiri-pengemis/,
diakses 13 Mei 2013
http://m.tangerangnews.com/baca/2012/07/31/7676/satpol-pp-tangsel-gencar-
razia--pekat-, diakses 13 Mei 2013
http://inpekorjak.wordpress.com/2011/07/18/tersangka-korupsi-alat-berat-
tangerang-selatan-ditangkap-kejari-tigaraksa/, diakses 13 Mei 2013
http://metrotangsel.com/wooww-76-persen-lahan-di-tangsel-dikuasai-
pengembang/ , diakses 13 Mei 2013
http://www.rmol.co/read/2012/04/24/61690/200-Ribu-Orang-Tangerang-Selatan-
Positif-Buta-Hukum- , diakses 13 Mei 2013
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 136
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.137-152, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.7854
---------------------------------------------------------------------------------------
Bachtiar
FH Universitas Pamulang
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisaksi Jakarta
E-mail : bachtiarbaital@gmail.com
10.15408/sjsbs.v3i2.7854
Abstract:
Implementation of legal assistance by local governments that are formalized into a
regional regulation is essential in order to ensure and realize equality before the law
and access to justice for everyone, especially the poor as vulnerable groups with legal
problems. For local governments, the provision of legal aid is a form of commitment
and political will of local governments within the framework of regional autonomy
aimed at providing protection to their citizens, one of which relates to access to
justice as the principle of equal treatment in the face of law and government with no
exception as set forth in Article 27 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia.
Keywords: Legal Aid, Poor People, Local Government
Abstrak:
Penyelenggaraan bantuan hukum oleh pemerintah daerah yang diformilkan ke
dalam suatu peraturan daerah sangat diperlukan dalam rangka untuk menjamin dan
mewujudkan persamaan dihadapan hukum dan akses pada keadilan bagi setiap
orang terutama masyarakat miskin sebagai kelompok masyarakat yang rentan
bermasalah dengan hukum. Bagi pemerintah daerah, penyelenggaraan bantuan
hukum merupakan bentuk komitmen dan political will pemerintah daerah dalam
kerangka otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada
warganya, salah satunya berkaitan dengan akses pada keadilan sebagai
pengejewantahan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan dengan tanpa kecuali sebagaimana dituangkan dalam Pasal 27 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945.
Kata Kunci: Bantuan Hukum, Masyarakat Miskin, Pemerintah Daerah
Diterima tanggal naskah diterima: 9 Mei 2016, direvisi: 12 Juli 2016, disetujui untuk terbit:
*
14 Agustus 2016.
137
Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah
Pendahuluan
Hak untuk memperoleh bantuan hukum merupakan hak asasi bagi
seseorang yang terkena masalah hukum. Sebab memperoleh bantuan hukum
merupakan salah satu bentuk akses terhadap keadilan bagi mereka yang
berurusan dengan hukum. Memperoleh bantuan hukum juga merupakan salah
satu perwujudan dari persamaan di depan hukum. Prinsip equality before the law
ini sudah dimuat dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945),
yaitu bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal
tersebut merupakan konsekuensi Negara Indonesia sebagai negara hukum.
Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Norma ini
menurut Bambang Sutiyoso bermakna bahwa dalam Negara Republik Indonesia,
hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Karena itu, tata
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara harus berpedoman pada
norma hukum.1
Dalam kerangka demikian, maka hukum harus ditempatkan sebagai
acuan tertinggi dalam keseluruhan proses penyelenggaraan negara. Negara
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggara
kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya yang dilakukan di bawah kekuasaan
hukum. Konsekuensi logisnya, seluruh sistem penyelenggaraan ketatanegaraan
harus berdasarkan konstitusi. Penyelenggaraan negara yang didelegasikan
kepada organ-organ negara harus berjalan sesuai dengan koridor hukum yang
ditentukan oleh konstitusi. Singkatnya, setiap penyelenggaraan kekuasaan
negara atau pemerintahan selalu terbangun oleh dan berlandaskan pada prinsip-
prinsip serta ketentuan-ketentuan konstitusi.2 Dalam negara hukum, negara
melalui konstitusi mengakui dan melindungi hak asasi setiap warga negara.
Negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, kesetaraan, keadilan gender, penegakan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.3
Dalam rangka menjamin hak konstitusional bagi setiap warga negara
yang mencakup perlindungan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan
hukum, dan perlindungan hak asasi manusia, pada tanggal 04 Oktober 2011
Pemerintah dan DPR secara bersama-sama telah menyetujui undang-undang
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 138
Bachtiar
5 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi,
Alumni, Bandung, 2008, hlm. 18. Dalam perspektif negara hukum, supremasi hukum (rule of law)
harus ditegakkan secara konsekuen agar hukum berfungsi mengendalikan, mengawasi dan
membatasi kekuasaan. Hukum tidak boleh digunakan sebagai instrumen politik dari kekuasaan
(rule by law) untuk membenarkan tindakan penguasa yang merugikan rakyat dan negara. Karena
itu, negara adalah komponen utama yang harus menegakkan hukum yang dibuatnya sendiri. John
Pieris & Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan
Kadaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, 2007, hlm. 29.
6 Ni’matul Huda & Sri Hastuti Puspitasari (ed.), Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun
Prof.Dr. Moh. Mahfud MD, SH. Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan, FH UII Press-
Pascasarjana FH UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 5.
7 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta, 2008, hlm.
329.
8 Frans Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 121-122.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 140
Bachtiar
9 Pidato Pengukuhan Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Hak Asasi Manusia Di
Indonesia”, dalam Abdul Ghofur Anshori & Sobirin Malian (ed.), Membangun Hukum Indonesia:
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 249-250.
Pengakuan hukum atas HAM sangatlah penting bagi setiap warga negara, karena mereka bebas
beraktivitas tanpa diganggu aparat negara. Begitu juga aparat negara yang melakukan pelanggaran
HAM, dapat diproses secara hukum. Lihat Didit Hariadi Estiko dan Novianto M. Hantoro (ed.),
Reformasi Hukum Nasional Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang Produk Pemerintahan Transisi 1998-
1999, P3I Sekjen DPR RI, Jakarta, 2000, hlm. 105.
10 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm.
74.
11 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, 1983, Bandung, hlm. 3
12 Penegasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formal
karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.
hukum itu sendiri.13 Hanya dalam sistem hukum yang responsif atau
akomodatiflah maka hak-hak warga negara dihormati dan berkembang. Dalam
negara hukum, usaha untuk melindungi, menghormati, memajukan, dan
memenuhi hak-hak warga negara dapat menjadi ukuran tingkat penegakan
hukum, peradaban, kemajuan, dan kematangan demokrasi suatu negara. Dengan
demikian, menempatkan orang perorang sebagai subjek hukum dan bebas
menikmati hak asasinya sebagai warga negara menjadi variabel utama.
Sementara itu, masyarakat kecil dan miskin begitu sulit mendapatkan
keadilan tanpa adanya campur tangan dan bantuan dari negara. Perbedaan
sosial dan permasalahan pada struktur sosial masyarakat tak akan dapat
diselesaikan tanpa adanya campur tangan negara. Hadirnya negara terkait
adanya kesenjangan sosial di masyarakat bertujuan membuka kesempatan
kepada kelompok masyarakat rentan untuk mendapatkan keadilan. Usaha dan
campur tangan negara untuk menciptakan kesejahteraan tidak terpusat pada
bidang ekonomi semata, namun juga dalam bidang hukum seperti pemberian
bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Bantuan hukum dimasukkan sebagai
salah satu program peningkatan kesejahteraan rakyat.14
Dalam literatur bahasa Inggris, Istilah bantuan hukum itu sendiri
dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah yang berbeda yaitu legal aid
dan legal assistance. Istilah legal aid biasanya digunakan untuk menunjukkan
pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa di bidang
hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma
atau probono, khususnya bagi mereka yang tidak mampu atau miskin. Sementara
istilah legal assistance dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan
hukum kepada mereka yang tidak mampu, ataupun pemberian bantuan hukum
oleh para advokat yang mempergunakan honorarium.15
Menurut Adnan Buyung Nasution, bantuan hukum adalah legal aid, yang
berarti pemberian jasa dibidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam
suatu kasus atau perkara : (i) pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan
cuma-cuma; (ii) bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang
tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin; dan (iii) dengan demikian yang
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 142
Bachtiar
menjadi motivasi utama konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan
jalan membela kepentingan hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan buta
hukum.16
Dalam pengertian yang lebih luas maka definisi bantuan hukum
diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan masyarakat yang tidak
mampu dalam bidang hukum. Bantuan hukum bisa diartikan sebagai pemberian
jasa hukum kepada orang yang tidak mampu biasanya diukur secara ekonomi.
Ini juga bisa diartikan, penyediaan bantuan pendanaan bagi orang yang tidak
mampu membayar biaya proses. Karena bantuan hukum itu melekat sebagai
sebuah hak, maka ada dua esensi dari bantuan hukum, yaitu : rights to legal
representation dan access to justice.
Oleh karena itu, mendapatkan bantuan hukum merupakan hak asasi
yang dimiliki oleh setiap orang. Hak asasi tersebut merujuk pada syarat setiap
orang untuk mendapatkan keadilan, tanpa melihat perbedaan. Dengan bahasa
lain, setiap orang yang tidak mampu memiliki hak atas bantuan hukum ketika
dia bermasalah dengan hukum. Terpenuhinya hak atas bantuan hukum
merupakan bagian dari pemenuhan hak atas peradilan yang jujur dan tidak
memihak.
Hak atas bantuan hukum telah diterima secara universal. Hak bantuan
hukum dijamin dalam International Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR),
UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, dan UN
Declaration on the Rights of Disabled Persons. Hak ini dikategorikan sebagai non-
derogable rights, hak yang tak dapat dikurangi dan tak dapat ditangguhkan dalam
kondisi apapun. Hak ini merupakan bagian dari keadilan prosedural, sama
dengan hak-hak yang berkaitan dengan independensi peradilan dan
imparsialitas hakim. Pemenuhan keadilan prosedural ini tidak dapat dilepaskan
dari keadilan substantif, yaitu hak-hak yang dijamin dalam berbagai konvensi
internasional.17
Di Indonesia, hak atas bantuan hukum tidak secara tegas dinyatakan
sebagai tanggungjawab negara. Namun prinsip persamaan di hadapan hukum
dan pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum menunjukkan bahwa
hak bantuan hukum adalah hak konstitusional dan untuk itu negara menjamin
dan memastikan adanya perlindungan hak atas bantuan hukum dari setiap
orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan akses kepada
keadilan hukum. Jaminan dan kepastian tersebut terdapat dalam Pasal 1 ayat (3)
16 Adnan Buyung Nasution, dkk., Bantuan Hukum Akses Masyarakat Marginal terhadap
Keadilan, Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan, LBH Jakarta, Jakarta, 2007,
hlm. 13.
17 ILRC & Forum Solidaritas LKBH Kampus, Menjamin Hak Atas Bantuan Hukum Bagi
Masyarakat Marginal: Position Paper RUU Bantuan Hukum dan Peran LKBH Kampus, ILRC, Jakarta,
2010, hlm. 2.
Perubahan Ketiga UUD 1945, Pasal 27 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 006/PUU-II/2004.18 Menurut Bagir Manan, adanya jaminan dan
perlindungan tersebut merupakan sebuah hal yang memberikan penanda
pentingnya bantuan hukum untuk menjamin hak setiap orang untuk
mempertahankan hak-haknya dari tindakan hukum yang sewenang-wenang dan
diskriminatif, sehingga tujuan negara untuk menciptakan persamaan di hadapan
hukum, dapat terlaksana karena berjalannya fungsi dari bantuan hukum
tersebut.19
Dalam negara hukum (rechtstaat) negara mengakui dan melindungi hak
asasi manusia setiap individu, sehingga semua orang memiliki hak untuk
diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaaan di
hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak statis. Persamaan di
hadapan hukum harus diimbangi oleh persamaan perlakuan (equal treatment).
Hal ini didasarkan pula pada Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
Dalam hal ini negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik
dari fakir miskin. Maka atas dasar pertimbangan tersebut, fakir miskin memiliki
hak untuk diwakili dan dibela oleh advokat/pembela umum baik di dalam
maupun di luar pengadilan (legal aid) sama seperti orang mampu yang
mendapatkan jasa hukum dari advokat (legal service). Penegasan ini memberikan
implikasi bahwa bantuan hukum bagi fakir miskin merupakan tugas serta
tanggung jawab negara dan merupakan hak konstitusional.20
Bantuan hukum biasanya merupakan program hukum untuk membantu
pencari keadilan bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan relatif buta hukum
khususnya,21 agar dapat membantu pencapaian pemerataan keadilan karena
dapat dipermudah oleh usaha-usaha terbinanya sistem peradilan pidana yang
terpadu. Pemberian bantuan hukum sangat berkaitan erat dengan proses
peradilan pidana, yang menganut prinsip-prinsip hukum modern, dan
mengikuti perkembangan masyarakat serta menghargai dan menjunjung tinggi
harkat kemanusiaan. Penegakan hukum melawan perlakuan diskriminatif yang
lahir akibat adanya perbedaan tindakan penegak hukum khususnya di dalam
kerangka NKRI perlu ditindaklanjuti dengan arah kebijakan yang mendorong
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 144
Bachtiar
22 Hak asasi manusia secara universal pada dasarnya terbagi ke dalam tiga kerangka besar
yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak manusia sebagai suatu
bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak sipil dan politik yang dimiliki oleh setiap
individu mencakup juga hak asasi di bidang hukum. Hak asasi manusia di bidang hukum di
antaranya adalah hak untuk mendapat persamaan di hadapan hukum yang dikenal dengan istilah
equality before the law. Lihat Binziad Kadafi, et al., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi Studi Tentang
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia & Asia
Foundation, Jakarta, 2001, hlm. 218.
23 Pengertian definitif dari prinsip equality before the law dalam pengertian Pancasila
mempunyai perbedaan dengan prinsip yang dianut oleh negera-negara demokrasi barat, yaitu
bahwa persamaan kedudukan dan kebebasan di Indonesia adalah kebebasan yang bertanggung
jawab. Artinya, hak asasi manusia tidak bersifat mutlak karena setiap warga negara wajib
mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, pemerintah berhak mengambil
tindakan kepada warganya, asalkan dapat dipertanggungjawabkan.
24 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2007,
hlm. 29.
25 www.wikipedia.com., diakses tanggal 18 September 2015.
26 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007, hlm. 20.
Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek
(KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui
Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik
pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping
hukum kolonial.
27 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya
dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Widya Padjajaran, Bandung, 2009, hlm.113.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 146
Bachtiar
tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukan sama
dihadapan hukum dan pemerintahan. Prinsip ini kemudian dipertegas lebih
lanjut dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun
1945.
Pasal-pasal tersebut pada hakikatnya memberikan makna bahwa setiap
warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal
dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah
ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di
depan hukum. Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan
perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang
setara, maka warga negara ketika berhadapan dengan hukum tidak ada yang
berada diatas hukum. No man above the law, artinya tidak keistimewaan yang
diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang
memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas
hukum.
Subyek hukum dalam prinsip equality before the law diberi perlindungan
dari berbagai diskriminasi hukum, baik aspek substansi hukumnya atau
penegakan hukum oleh aparatnya.28 Oleh karena itu hukum harus ditegakkan
meskipun langit akan runtuh (fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia et pereat
mundus) terutama negara-negara hukum dan demokrasi yang mengedepankan
adanya prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law). Hukum
harus mampu menjadi “panglima” yang adil dan arif bijaksana. Hukum harus
menampakkan keberpihakannya kepada nilai kebenaran dan keadilan sebagai
sumber tertinggi bagi penghargaan eksistensi kemanusiaan.
28 Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, Rajawali
Pers, Jakarta, 2011, hlm. 198.
29 Kemiskinan atau tidak mampu dapat diartikan adalah ketidak-cukupan seseorang
untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang dan papan untuk
kelangsungan hidup dan meningkat posisi sosial ekonominya. Tetapi masalahnya adalah sumber-
sumber daya material yang dimiliki masyarakat miskin keadaanya sangat terbatas hanya dapat
digunakan untuk mempertahankan kehidupan fisiknya dan tidak memungkinkan untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan.
30 Hal tersebut sudah sejak lama terjadi sehingga tak salah jika Oliver Goldsmith, seorang
sarjana Inggris, pernah mengatakan, “Laws grid the poor and rich men rule the law”. Baca lebih lanjut
dalam S. Tasrif, Menegakkan Rule of Law di Bawah Orba, Peradin, Jakarta, 1971, hlm. 31.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 148
Bachtiar
ada lagi terpidana yang dirampas hak-haknya oleh para aparatur penegak
hukum misalnya banyak kasus yang sering dijumpai, banyak terpidana yang
telah ditahan melebihi masa pidana yang semestinya dijalani, kekerasan sering
muncul dalam lembaga pemasyarakatan bahkan intensitasnya menjadi sangat
tinggi, kekerasan menjadi ritual dan mengkristal dalam setiap pemeriksaan.
Kekerasan berlangsung mulai dari yang spesifik, sampai pada bentuk kekerasan
fisik yang menimbulkan cacat permanen.
Dengan melihat berbagai realitas tersebut, tampaknya persamaan di
hadapan hukum dan perlindungan hukum tidak dengan mudah dapat terwujud.
Perbedaan kemampuan, baik secara ekonomis maupun secara intelektual,
menyebabkan sulitnya para pencari keadilan dalam mengakses keadilan (acces to
justice). Diskriminasi sering terjadi terhadap masyarakat marginal, mulai dari
pembuatan aturan hukum, pelaksanaan, sampai penegakan hukum. Oleh karena
itu, demi terwujudnya persamaan dan perlakuan di hadapan hukum, bantuan
hukum mutlak diperlukan. Bantuan hukum bukan hanya prasyarat untuk
memenuhi hak konstitusional warga negara, tetapi juga merupakan salah satu
hak konstitusional warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh
negara. Disinilah titik penting pemenuhan bantuan hukum oleh negara,
termasuk oleh Pemerintah Daerah.
Pemerintah Daerah merupakan institusi penting dalam pelaksanaan
kehidupan bernegara. Sesuai peraturan perundang-undangan Indonesia,
Pemerintah Daerah merupakan pelaksana asas desentralisasi di mana
pemerintah pusat menyerahkan sebagian urusannya kepada daerah untuk
dikelola secara mandiri. Dalam konteks ini Pemerintah Daerah diberi kebebasan
untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah,
antara lain melalui penerbitan produk hukum daerah. Melalui kewenangan yang
dimilikinya, pada dasarnya Pemerintah Daerah mempunyai peluang untuk
mengimplementasikan kegiatan bantuan hukum, terutama bagi masyarakat
tidak mampu.
Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah
Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pada dasarnya juga memikul
tanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban negara dalam menjamin dan
melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Selama ini, pemberian
bantuan hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok
orang yang tidak mampu secara ekonomi, sehingga mereka kesulitan untuk
mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk
mewujudkan hak-hak konstitusional mereka.31
31M. Cappeletti menganggap bahwa bantuan hukum sangat penting, namun di banyak
negara khususnya negara berkembang belum memadai sehingga kesempatan masyarakat miskin
untuk mendapatkan keadilan masih sulit terpenuhi. “In most modern societies the help of lawyer is
Kesimpulan
Pelaksanaan bantuan hukum yang diformilkan ke dalam suatu
Peratuaran Daerah sangat diperlukan dalam rangka untuk menjamin dan
mewujudkan persamaan dihadapan hukum dan akses pada keadilan bagi setiap
orang terutama masyarakat miskin sebagai kelompok masyarakat yang rentan
bermasalah dengan hukum. Hal ini juga dimaksudkan guna terciptanya prinsip
”fair trial” dimana bantuan hukum yang dilaksanakan oleh seorang pemberi
bantuan hukum dalam rangka proses penyelesaian suatu perkara, baik dari
essential, if not mandatory, to decipher increasingly complex laws and arcane procedures encountered in
bringing a civil claim to court...Until very recently, however, the legal aid schemes of most countries were
fundamentally inadequate.” M. Cappelleti & B. Garth, Acces to Justice, Giuffre-Sijthoff, Italy, 1978, hlm.
22.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 150
Bachtiar
Daftar Pustaka
Abdurrahman. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Cendana Press, Jakarta,
1983.
Alkostar, Artidjo. Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta,
2008.
Anshori, Abdul Ghofur; Malian, Sobirin. (ed.), Membangun Hukum Indonesia:
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Kreasi Total Media,
Yogyakarta, 2008.
Anwar, Yesmil; dan Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan
Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Widya
Padjajaran, Bandung, 2009.
Bachtiar, “Kajian Akademik Atas Rancangan Peraturan Daerah Kota Tangerang
Selatan Tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu”,
Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Pamulang,
Tangerang Selatan, 2015.
Bachtiar. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian
UU Terhadap UUD, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2015.
Cappelleti, M.; and Garth, B.. Acces to Justice, Giuffre-Sijthoff, Italy, 1978.
Effendi, A. Masyhur; Evandri, Taufani Sukmana. HAM Dalam Dimensi/Dinamika
Yuridis, Sosial, Politik; Dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham
(Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat, Edisi Revisi, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2010.
El Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945
sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta,
2015.
Ence, Iriyanto A. Baso. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi, Alumni, Bandung, 2008.
Estiko, Didit Hariadi; Hantoro, Novianto M.. (ed.), Reformasi Hukum Nasional
Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang Produk Pemerintahan Transisi
1998-1999, P3I Sekjen DPR RI, Jakarta, 2000.
Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983.
Huda, Ni’matul; & Puspitasari, Sri Hastuti. (ed.), Kontribusi Pemikiran Untuk 50
Tahun Prof.Dr. Moh. Mahfud MD, SH. Retrospeksi Terhadap Masalah
Hukum dan Kenegaraan, FH UII Press-Pascasarjana FH UII,
Yogyakarta, 2007.
ILRC & Forum Solidaritas LKBH Kampus, Menjamin Hak Atas Bantuan Hukum
Bagi Masyarakat Marginal: Position Paper RUU Bantuan Hukum dan
Peran LKBH Kampus, ILRC, Jakarta, 2010.
Kadafi, Binziad. et al., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi Studi Tentang Tanggung
Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia & Asia Foundation, Jakarta, 2001.
Manan, Bagir. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Yayasan Hak Asasi Manusia, Semokrasi dan Supremasi
Hukum, Alumni, Bandung, 2001.
Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007.
Nasution, Adnan Buyung. dkk., Bantuan Hukum Akses Masyarakat Marginal
terhadap Keadilan, Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan
Perbandingan, LBH Jakarta, Jakarta, 2007.
Pieris, John; Widiarty, Wiwik Sri. Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen
Terhadap Produk Pangan Kadaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, 2007.
Aji, Rizqon H Syah; Yunus, Nur Rohim. Filsafat Manusia Dalam Dimensi
Transendental, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2013.
Rukmini, Mien. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Alumni, Bandung, 2007.
Soekanto, Soerjono. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983.
Soemantri, Sri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,
1992.
Sulistia, Teguh; Zurnetti, Aria. Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi,
Rajawali Pers, Jakarta, 2011.
Sunggono, Bambang. Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,
Bandung, 2001.
Suseno, Frans Magnis. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.
Sutiyoso, Bambang; Puspitasari, Sri Hastuti. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005.
Tasrif, S. Menegakkan Rule of Law di Bawah Orba, Peradin, Jakarta, 1971.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 152
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.153-166, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.7855
---------------------------------------------------------------------------------------
Tresia Elda
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangsel
E-mail: tresia@gmail.com
10.15408/sjsbs.v3i2.7855
Abstract:
Criminal act of murder that occurred in the household has special properties and
special sanction. The specialty of this action lies in the relationship between the
perpetrator and the victim. In cases of criminal acts other actors sometimes do not
know the victim at all and often do not have a relationship. But the crime of murder
in the household perpetrators and victims have a special relationship that is related
by blood (parent, child, nephew), for example working relationship bonding
housemaid and living in a house with actors and marital relationships (husband and
wife). Final recent criminal acts of domestic homicide in the city of Padang increased
especially that caused the death of the victim conducted by the husband that caused
by some factors such us economy and other factors.
Keywords: Murder, Victim and Household.
Abstrak:
Tindak pidana pembunuhan yang terjadi di dalam rumah tangga memiliki sifat
khusus dan sanksi khusus. Kekhususan tersebut terletak pada hubungan antara
pelaku dan korban. Dalam kasus tindak pidana yang tidak ada hubungan suami
isteri terkadang tidak mengenal korban sama sekali. Namun tindak pidana
pembunuhan dalam rumah tangga, pelaku dan korban memiliki hubungan khusus
atau hubungan darah (orang tua, anak, keponakan) atau bisa juga ikatan kerja
sebagai pembantu rumah tangga dan hubungan perkawinan (suami istri). Dalam
beberapa waktu terakhir, kasus pembunuhan dalam rumah tangga mengalami
peningkatan secara jumlah di kota Padang yang dilakukan oleh suami yang
disebabkan beberapa faktor seperti faktor ekonomi dan lainnya.
Kata Kunci: Pembunuhan, Korban dan Rumah Tangga.
Diterima tanggal naskah diterima: 10 April 2016, direvisi: 28 Mei 2016, disetujui untuk
*
153
Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup berdampingan antara
satu dan lainnya dalam satu lingkungan dengan hubungan timbal balik
(interaksi). Interaksi hubungan sosial saling berhubungan dan mempengaruhi
antara manusia dan lingkungan. Dalam menjalankan aktivitas sehari-hari terjalin
hubungan yang harmonis atau sebaliknya. Hubungan yang tidak harmonis
cederung mendorong individu atau kelompok melakukan kejahatan. Kondisi
ekonomi dan sosial ikut mempengaruhi terjadinya kejahatan di tengah
masyarakat.
Manusia dalam kehidupan sehari-hari berinteraksi satu dengan yang lain
dipandu oleh nilai-nilai dan dibatasi oleh norma- norma dalam kehidupan sosial.
Norma yang ada dalam masyarakat sekitarnya mampu dijadikan pedoman
masyarakat dalam memperoleh ketenteraman, perdamaian, dan kesejahteraan
sebagai tujuan hidup karena norma memberikan batas-batas pada perilaku
individu. Norma mampu mengidentifikasi individu dengan kelompoknya dan
menjaga solidaritas antara anggota masyarakat. Namun pada kenyataannya
sangat sulit menerapkan norma yang ada dalam masyarakat mengingat tidak
sedikit dari sebagian masyarakat itu melanggar norma dengan keserakahan,
keangkuhan dan lebih mementingkan kepentingan pribadi.1 Hal tersebut dapat
memicu masyarakat untuk melakukan kejahatan.
Masalah kejahatan tidak dapat dihindari dan selalu dialami manusia dari
waktu ke waktu. Tingkat kejahatan atau kriminalitas sebagai suatu
permasalahan sosial tidak berdiri sendiri. Kriminalitas merupakan suatu hasil
interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling
mempengaruhi satu sama lain.2 Kejahatan yang tidak dapat dibongkar dan
diselesaikan akan menimbulkan kegelisahan dalam kalangan masyarakat
terutama berkaitan dengan kejahatan terhadap nyawa manusia seperti
pembunuhan. Masyarakat menghendaki adanya kepastian hukum. Orang yang
telah dinyatakan bersalah harus mendapat hukuman yang setimpal, sedangkan
yang tidak bersalah harus dibebaskan. Hakim dalam menangani suatu kasus
harus dilakukan dengan sebaik-baiknya agar putusan yang diambil sesuai
dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Perspektif teori kontrol sosial menunjukkan pola-pola perilaku jahat
merupakan masalah sosial (dan hukum) yang membawa masyarakat pada
keadaan anomie, yakni keadaan yang kacau karena tidak adanya patokan tentang
perbuatan-perbuatan apa yang baik dan yang tidak baik. Para ahli kriminologi
beranggapan bahwa setiap masyarakat mempunyai warga yang jahat, karena
masyarakat dan kebudayaan yang memberikan kesempatan atau peluang
1 http://asefts63.wordpress.com/materi-pelajaran/pkn-kls-7/norma-norma-yangberlaku-
dalam-kehidupan-bermasyarakat-berbangsa-dan-bernegara/, diakses pada tanggal 29 September
2013.
2 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Aksara Baru, 1998), h. 4.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 154
Tresia Elda
seseorang untuk jahat. Akan tetapi, orang akan berpendapat bahwa perilaku
jahat adalah perbuatan-perbuatan yang menyeleweng dari kaidah-kaidah yang
berlaku dari perbuatan- perbuatan yang secara wajar dapat ditoleransi oleh
masyarakat.3
Kejahatan merupakan bagian dari masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari. Masalah kejahatan pada dasarnya bukan hal yang
baru lagi karena tidak ada satu negarapun di dunia ini yang bebas dari
kejahatan, baik itu negara maju maupun negara berkembang. Naik turunnya
kejahatan sesuai kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pertahanan
keamanan suatu negara. Tidak dapat dipungkiri jika suatu kejahatan selalu
muncul di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena kurangnya
kesadaran dari masyarakat sendiri dalam mentaati segala peraturan yang ada
serta kurangnya menjaga keamanan dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.
Keberadaan hukum dalam masyarakat tidak hanya dapat diartikan
sebagai sarana untuk menertibkan kehidupan masyarakat, melainkan juga
dijadikan sarana yang mampu mengubah pola pikir dan pola perilaku warga
masyarakat. Perubahan kehidupan sosial warga masyarakat yang semakin
kompleks mempengaruhi bekerjanya hukum dalam mencapai tujuannya. Oleh
karena itu, pembuatan hukum seharusnya mampu mengeliminasi setiap konflik
yang diperkirakan akan terjadi dalam masyarakat. Dalam menjalankan
fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai
tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai.
Dalam rangka mewujudkan proses hukum yang adil, maka penegakan
hukum tidak dapat dipandang secara sempit, namun harus secara luas. Dengan
demikian, penegakan hukum tidak hanya selalu dipahami sebagai pelanggaran
norma-norma hukum oleh tersangka melainkan juga penegakan terhadap
norma-norma yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak tersangka dan
terdakwa oleh aparat penegak hukum selama proses pemeriksaan berlangsung.
Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat
yang tertib menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya
ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi. Dalam mencapai tujuannya hukum bertugas membagi hak dan
kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan
mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian
hukum.4
Masalah penegakan hukum dewasa ini semakin sering disorot. Tekanan
kepada instansi penegak hukum semakin gencar dilakukan, baik oleh pencari
keadilan, maupun dari kalangan intelektual. Tekanan ini terjadi karena adanya
2006), h. 214.
4 Moerti Hadianati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis
5 Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
1992), h. 117-118.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 156
Tresia Elda
pembusukan yang cepat berlanjut pada mayat. Hal ini menyebabkan gambaran
mengenai bukti tidak lagi sesuai dengan keadaan semula.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 158
Tresia Elda
mungkin timbul dari dijatuhkannya hukuman tersebut, sehingga teori ini hanya
melihat ke masa lampau, tanpa memperhatikan masa yang akan datang.
Kedua teori gabungan adalah unsur pembalasan dan pencegahan
terhadap terjadinya kejahatan dan pelanggaran, sehingga tata tertib masyarakat
tidak terganggu, serta memperbaiki diri si penjahat. Serta terkaitnya filsafat
dengan teori pemidanaan dalam penegakan sanksi pidana mengenai fungsi
fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang
meberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan
pemidanaan.
Fungsi ini secara normal dan intristik bersifat primer dan terkandung di
dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang ditetapkan
sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau
norma yang wajib ditegakkan dikembangkan dan diaplikasikan. Fungsi teori,
dalam hal ini sebagai meta-teori. Maksudnya, filsafat pemidanaan berfungsi
sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap teori-teori
pemidanaan.
Berdasarkan kedua fungsi asas, dalam proses implementasinya,
penetapan sanski pidana dan tindakan merupakan aktivitas program legislasi
dan/atau yudikasi untuk menormatifkan jenis dan bentuk sanksi (pemidanaan)
sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui penerapan sanksi. Maka
dari itu penulis mengambil kesimpulan bahwa penerapan sanksi pidana yang
diterapkan kepada pelaku (JF) tindak pembunuhan terhadap isteri (AN) sesuai
dengan teori pemidanaan yang dipergunakan.11
Kasus kedua, Perkara Nomor 94/ Pid.B/2011. Padang merupakan tindak
pidana pembunuhan yang terjadi di kota Padang pada tahun 2011 dengan
terdakwa NE yang membunuh isterinya FD. Terdakwa membunuh dengan
sebilah pisau. Terjadi di Kampung Jambak dalam Kelurahan Batipuh. Menurut
pengakuan terdakwa dia membunuh korban pada tanggal 19 Desember 2010.
Penyidikan dimulai pada tanggal 21 Desember 2010 sampai 9 Januari 2011
dengan nomor polisi SP-Han/95/XII/2010.
Proses penahanan terdakwa oleh penutut umum diperpanjang sampai
tanggal 7 Januari 2011. Perkara ini mulai disidangkan pada tanggal 28 Februari
2011 dengan nomor perkara 94/Pid/B/2011/PN.Pdg. Jaksa menuntut terdakwa
dengan mengunakan Pasal 338 KUHP sebagai dakwaan subsidair yaitu:
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” dan Pasal
340 KUHP sebagai dakwaan primer tentang pembunuhan berencana:
‘’Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana
Wawancara dengan terpidana JN, pada hari Rabu, tanggal 17 Oktober 2013 di LP Klas II
11
A Muaro Padang.
mati atau pidana penjara semumur hidup atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.’’
Berdasarkan fakta persidangan, Terdakwa mengakui bahwa awal
kejadian bermula terjadinya pertengkaran karena terdakwa mendengar korban
berselingkuh dengan orang lain. Terdakwa merasa emosi dan membunuh
isterinya dengan senjata tajam berupa belanti panjang sepanjang 15 cm
berdasarkan alat bukti yang ada dan berdasarkan keterangan saksi yang
dihadirkan didepan sidang pengadilan, maka jaksa menuntut terdakwa yakni
lima belas tahun penjara.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada serta keyakinan yang
dimiliki oleh hakim, maka Majelis hakim (John Efrendi, SH, MH., Kamijon, SH.,
dan Zulkifli, SH, MH) melalui putusannya pada tanggal 15 Maret 2011
menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara 15 (lima belas)
tahun karena terbukti melanggar Pasal 338 KUHP.
Kalau dilihat dari putusan majelis hakim terhadap terdakwa yang
berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penulis
berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhi oleh hakim kepada terdakwa
setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya karena telah menghilangkan
nyawa korban/isterinya. Sesuai dengan aturan yang diterapkan dalam Kitab
Undang- Undang Hukum Pidana.
Teori pemidanaan yang terkait dalam penulisan ini dengan kasus yang
diteliti di lapangan yaitu Pertama teori absolut pembalasan yakni setiap
kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa memperhatikan akibat yang
mungkin timbul dari dijatuhkannya hukuman tersebut, sehingga teori ini hanya
melihat ke masa lampau, tanpa memperhatikan masa yang akan datang.
Kedua teori gabungan adalah unsur pembalasan dan pencegahan
terhadap terjadinya kejahatan dan pelanggaran, sehingga tata tertib masyarakat
tidak terganggu, serta memperbaiki diri si penjahat. Serta terkaitnya filsafat
dengan teori pemidanaan dalam penegakan sanksi pidana mengenai fungsi
fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang
memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan
pemidanaan. Fungsi ini secara normal dan intristik bersifat primer dan
terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang
ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran
atau norma yang wajib ditegakkan dikembangkan dan diaplikasikan.12
Kasus ketiga, perkara Nomor 163/Pid.B/ 2013 PN Padang merupakan
tindak pidana pidana pembunuhan yang terjadi di kota Padang terjadi tahun
2013 dengan terdakwa AF yang membunuh isterinya FT. Terdakwa mempunyai
2 (dua) orang isteri, dan FT merupakan isteri pertama (mantan). Terdakwa
membunuh dengan sebilah pisau. Tempat kejadian perkara yaitu di Simpang
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 160
Tresia Elda
Wawancara dengan terpidana AF, pada hari Rabu, tanggal 16 Oktober 2013 di LP Klas II
13
A Muaro Padang.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 162
Tresia Elda
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian di lapangan terhadap 4 (empat) kasus yang ada
tindak pidana pembunuhan dalam rumah tangga yang menyebabkan matinya
isteri di kota Padang, faktor- faktor penyebab terjadi tindak pidana pembunuhan
terhadap isteri yang menyebabkan matinya korban 4 (empat) diantaranya
dilatarbelakangi faktor ekonomi yakni suami tidak menyangupi kebutuhan
keluarganya, masalah isteri siri yang memaksa ingin di masukkan ke dalam
14Wawancara dengan terpidana MZ, pada hari Rabu, tanggal 16 Oktober 2013 di LP Klas
II A Muaro Padang.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 164
Tresia Elda
daftar gaji suaminya, dan 2 (dua) lainnya dilatarbelakangi faktor orang ketiga
dalam rumah tangga yakni diduga adanya laki- laki idaman lain.
Dari beberapa faktor penyebab yang diuraikan tersebut yang
menimbulkan pertengkaran antara suami dan isteri yang berdampak matinya
korban/ isteri dan tindak pidana pembunuhan dalam rumah tangga yang
menyebabkan matinya isteri di kota Padang, proses pemidanaan terhadap
pelaku hanya menggunakan KUHP tidak menggunakan pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Bentuk-bentuk penerapan sanksi hukum terkait pelaku tindak pidana
pembunuhan terhadap isteri yang menyebabkan kematian di Kota Padang yaitu
menggunakan pasal-pasal dalam KUHP yakni tindak pidana pembunuhan biasa
Pasal 338 KHUP dan tindak pidana pembunuhan berencana Pasal 340 KHUP.
Untuk memininalisir faktor terjadinya tindak pidana terhadap isteri, perlu
melibatkan keseriusan banyak pihak dalam penanganannya. Pemerintah dapat
bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk menindak pelaku tindak
pidana pembunuhan terhadap isteri yang berdampak matinya korban.
Dalam bentuk pemidanaan terkait pelaku tindak pidana pembunuhan
terhadap isteri yang menyebabkan kematian, pemerintah dan aparat penegak
hukum dalam menegakkan hukum dalam menindak pelaku tindak pidana
pembunuhan terhadap isteri yang berdampak matinya korban serta memberikan
efek jera bagi pelaku, agar tidak ada lagi korban selanjutnya.
Daftar Pustaka
Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam
di Indonesia, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: Refika
Aditama, 1992.
Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Aksara Baru, 1998.
Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2014).
Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-
1, Bandung: Fajar Media, 2013.
Martha, Aroma Elmina. Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di
Indonesia dan Malaysia, Yogyakarta: FH UII Press, 2012.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006.
Soeroso, Moerti Hadianati. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis
Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 166
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.167-196, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.3676
---------------------------------------------------------------------------------------
10.15408/sjsbs.v3i2.3676
Abstract:
This study aims to determine the authority of LPPOM in establishing halal products
after the enactment of Law no. 33 Year 2014. Based on the research results, it is
concluded that there has been a change of authority of LPPOM MUI before and after
the coming into effect of Law no. 33 year 2014. For 23 years since its establishment,
LPPOM MUI has full authority over the establishment of halal certification, but post-
birth and enactment of Law no. 33 of 2014, it no longer has full rights to the
expenditure and certification of the guarantee of halal products, but only as partners.
The need for halal certification or halal label is very needed in Indonesia. Especially
the common people and especially the Muslim community in Indonesia, because
with the availability of guaranteed halal food products, at least Muslim consumers
no longer worry about the existence of a mixture of materials containing harmful
substances are prohibited, both legally and religiously.
Keywords: Authority, LPPOM MUI, and halal certification.
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wewenang LPPOM dalam penetapan
produk halal pasca berlakunya UU No. 33 Tahun 2014. Berdasakan hasil penelitian
maka diperoleh kesimpulan bahwa terjadi perubahan wewenang LPPOM MUI
sebelum dan sesudah berlakunya UU No. 33 Tahun 2014. Selama 23 tahun semenjak
berdirinya, LPPOM MUI berwenang penuh atas penetapan sertifikasi halal, namun
pasca lahir dan berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014, ia tidak lagi
memiliki hak penuh atas pengeluaran dan penetapan sertifikasi jaminan produk
halal, melainkan hanya sebagai mitra. Kebutuhan sertifikasi halal atau label halal
memang sangat dibutuhkan di Indonesia. Terlebih masyarakat awam dan
khususnya masyarakat muslim di Indonesia, karena dengan tersedianya jaminan
produk makanan halal, setidaknya konsumen muslim tidak lagi khawatir akan
adanya campuran bahan-bahan yang mengandung zat berbahaya yang dilarang,
baik secara hukum negara maupun agama.
Kata kunci: Kewenangan, LPPOM MUI, dan sertifikasi halal.
Diterima tanggal naskah diterima: 11 Maret 2016, direvisi: 21 April 2016, disetujui untuk
*
167
Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Pendahuluan
Dalam kehidupan, manusia membutuhkan makanan sehari-harinya.
Mereka membutuhkan makanan untuk kebutuhan dan kesehatan jasmani serta
rohaninya. Sejak dahulu umat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda dalam
persoalan makanan dan minuman, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.1
Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai umat muslim memilih
makanan yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran Islam banyak peraturan yang
berkaitan dengan makanan, dari mulai mengatur makanan yang halal dan
haram, etika makanan, sampai mengatur idealitas dan kuantitas di dalam perut.
Salah satu peraturan yang terpenting adalah larangan mengonsumsi makanan
atau minuman yang haram.
Mengonsumsi yang haram atau belum diketahui kehalalannya akan
berakibat serius, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Allah menyerukan
kepada umat manusia agar mengonsumsi makananan yang halal lagi baik dan
menyehatkan tidak lain adalah demi tercapainya kemaslahatan bagi umat
manusia itu sendiri. Hikmah dibalik perintah itu adalah agar agama, jiwa, akal
serta keturunan dan harta dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Dengan
terjaganya kemaslahatan tersebut seorang mukallaf diharapkan akan sanggup
menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini dan akan memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dewasa ini, isu tentang produk makanan dan minuman yang
diharamkan dan berbahaya sedang mendapatkan perhatian masyarakat. Produk-
produk makanan instan, makanan cepat saji, restoran sampai jajanan pasar
merupakan hal yang rawan dicemari oleh jenis makanan yang tidak halal baik
dari segi bahan, maupun prosesnya.2 Tuntutan konsumen akan produk halal
belakangan memang semakin kritis, mereka tidak sekedar menuntut produk
yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi bagi yang muslim, salah
satu yang menjadi konsen mereka adalah juga kehalalannya, label halal pun
menjadi ketentuan makanan tersebut dapat dikonsumsi atau tidak.
Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama RI Nomor 518 tanggal 30
November 2001 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal,
pemerintah kembali berusaha menerapkan labelisasi halal pada produk
makanan dan minuman. Keputusan tersebut disusul dengan SK 519 Tahun 2001
yang menunjuk Majelis Ulama Indonesia (MUI)3 sebagai lembaga pelaksana
pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal. Selain itu, melalui SK Nomor 525
Tahun 2001, Menteri Agama juga menunjuk peran percetakan Uang Republik
1 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), hlm.45.
2 Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram, (Malang: U1IN-Malang, 2007), hlm.
Iii.
3Selanjutnya penulis menggunakan singkatan MUI untuk menyebutkan Majelis Ulama
Indonesia.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 168
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
Indonesia (PERURI) untuk mencetak label halal yang nantinya akan diberikan
kepada produk yang dinyatakan halal oleh MUI.4
Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai dengan syariat Islam.5 Sertifikat halal ini merupakan syarat
untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak untuk
dikonsumsi oleh konsumen muslim. Pelaku usaha harus memenuhi syarat
tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh MUI untuk
memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha
memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan pada label
produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan
pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi
kehalalan produknya kembali.
Dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI untuk
menentukan makanan mana yang dapat dan tidaknya dikonsumsi, maka
makanan tersebut harus memenuhi syarat kehalalannya. Selain itu juga dalam
sertifikasi halal ini MUI menerapkan tarif untuk setiap makanan yang akan
diberikan sertifikat halal. Biaya tarif yang diterapkan oleh MUI dalam setiap
sertifikasi produk berkisar antara 3 sampai 4 juta rupiah. Biaya ini dirasakan
cukup mahal untuk dikeluarkan terutama bagi kalangan menengah ke bawah.
Predikat halal yang pada dasarnya merupakan ketentuan hukum Islam
yang memiliki tujuan untuk melindungi dan menjaga kemaslahatan umat dari
perbuatan di luar hukum Islam. Namun sayangnya hal tersebut telah dijadikan
peluang untuk meraih keuntungan dengan dijadikannya sebagai objek bisnis.
Oleh karena itu kewenangan MUI ini telah menjadi bahan perbincangan yang
serius di Parlemen.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia menjamin setiap konsumen
berhak untuk memperoleh informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan suatu produk. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 4 butir c UU
Perlindungan Konsumen; bahwa “konsumen berhak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa”. Hak atas
informasi ini sangat penting karena jika informasi yang diberikan kepada
konsumen tentang suatu produk tidak memadai, maka dapat merupakan salah
satu bentuk cacat produk, yakni disebut dengan cacat instruksi atau cacat karena
informasi yang tidak memadai.6
7 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), hlm.13.
8 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011) Cet. Ke-3. hlm.
313.
9 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, hlm.13.
10 Mara Sutan Rambe, “Proses Akomodasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Pidana
Nasional” Jurnal Cita Hukum [Online], Volume II Number II (Desember 2015), h. 232.
11 Cik Hasan Bisri, Pilar Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. Raja
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 170
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
dimaksud syariat Islam itu adalah fikih Islam?. Syariat Islam adalah hukum
Islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan fikih adalah perumusan
konkret syariat Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu pada tempat
dan suatu masa. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
Hal yang serupa dikemukakan oleh Harahap, ketika menyampaikan
informasi tentang latar belakang penyusunan dan perumusan hukum Islam
(KHI), yang menyatakan adanya kerancuan pemahaman dan penghayatan
masyarakat Islam Indonesia selama ini. Kerancuan itu tidak terbatas pada
masyarakat awam tetapi meliputi kalangan ulama dan lingkungan pendidikan
serta perguruan-perguruan tinggi Islam. Mereka selalu mengindentikan “fikih”
dengan “syariah” atau “hukum Islam”. Pengindentikan fikih dengan hukum
Islam telah melahirkan kekeliruan penerapan yang sangat keterlaluan. Dalam
menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama,
para hakim menoleh pada kitab-kitab fikih.13 Rujukan utama mereka pada kitab-
kitab fikih ulama mazhab.14
Catatan kedua, berkenaan dengan fikih sebagai salah satu dimensi
hukum Islam dan sebagai Ilmu hukum. Secara umum fikih didefinisikan sebagai
ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil-
dalil yang rinci.15 Namun juga diartikan sebagai kumpulan hukum tentang hal
yang bersifat praktis yang digali dari dalil yang rinci16 sebagaimana
dikemukakan oleh ‘Abd Wahab Kallaf. Apabila fikih didefinisikan sebagai ilmu,
maka dinyatakan secara deskriptif. Bahwa ia merupakan wacana intelektual
dengan menggunakan cara berfikir tertentu, tentang penataan kehidupan
manusia. Apabila diindentifikasi sebagai hukum merupakan kumpulan hukum,
atau sebagai salah satu dimensi hukum Islam. Yakni produk pemikiran fuqaha
yang dijadikan salah satu dalam penataan kehidupan manusia.17
Berkenaan dengan hal itu, maka fikih merupakan produk daya nalar
fuqaha, yang di deduksi dari sumber yang autentik kemudian dijadikan patokan
kehidupan yang dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang
sangat panjang. Ia disosialisasikan dan memberikan makna Islami terhadap
pranata sosial yang tersedia atau, bahkan, menjadi cikal bakal pranata sosial
yang baru. Produk pemikiran para fuqaha ini sangat besar pengaruhnya di
kalangan umat Islam sehingga terdapat kecenderungan di kalangan mereka
13 Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, hlm. 39.
14 Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri
(Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos
Wacana Ilmu, 1999, hlm. 21-97.
15 Al-ilmu bil ahkam assyar’iyah al-amaliyyah al-mukhtasabu minn adillatiha al tafshiliyah.
atafshiliyah.
17 Dapat dibaca Tulisan Mohammad Daud Ali dan Yahya Harahap, dalam buku Cik hasan
bahwa fikih indentik dengan hukum Islam dan dapat ditemukan dalam berbagai
kitab fikih dari berbagai aliran mazhab.18
Berkenaan dengan kedua catatan di atas diharapkan kedudukan dan
posisi masing-masing menjadi jelas. Dimensi dan subtansi hukum Islam,
bagaikan bentuk dan isi. Gabungan keduanya dipandang sebagai aspek statis
hukum Islam. Sedangkan aspek dinamisnya terlihat dalam proses pemikiran dan
interaksi pengguna hukum Islam dalam kehidupan masyarakat yang amat luas
dan rumit, terutama dalam sistem masyarakat bangsa, baik dalam perspektif
masa lalu dan masa kini maupun prospeknya pada masa datang.
Hukum Islam berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap
sumber ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab
hadist. Kedua sumber itu kemudian dijadikan patokan dalam menata hubungan
antar hubungan sesama manusia dan antar manusia dan mahluk lainnya.
Hukum, sebagai unsur normatif dalam penataan kehidupan, dalam
bentuk dan jenis apapun, berkenaan dengan pengaturan dan kekuasaan.
Sedangkan kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi atau
mengarahkan manusia untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan sesuai
dengan kehendak (perintah atau larangan) yang berkuasa. Berkenaan dengan hal
itu, kekuasaan melekat pada Tuhan, melekat pada manusia dan melekat pada
organisasi masyarakat yaitu negara. Hal itu menunjukan bahwa kekuasaan itu
bervariasi, baik graduasinya maupun kawasannya. Oleh karena itu, daya atur,
daya ikat dan daya paksa hukum dalam penataan kehidupan manusia
tergantung pada graduasi kekuasaan yang memproduknya. Ada hukum yang
memiliki daya atur dan daya ikat yang longgar dan adapula yang kuat. Di
samping itu ada yang memiliki daya paksa walaupun dalam batas-batas
tertentu.
Prinsip dan fungsi hukum Islam dan hubungannya dengan keyakinan
dan kekuasaan, pada penjelasan di atas, menunjukkan bahwa hukum, dalam hal
ini hukum Islam, dibangun atas prinsip tawhid ‘l-lah. Dengan prinsip itu, ia
memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi transformasi keyakinan terhadap
kekuasaan (al-qudrah) dan kehendak (al-iradah) Allah dan Rasulnya ke dalam
nilai-nilai etik dan moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara
individual maupun secara kolektif. Prinsip itu menjadi dasar dan landasan
dalam rumusan kaidah hukum yang mengatur tentang apa yang harus
dilakukan (al-‘awamir) dan apa yang dilarang dan mesti ditinggalkan (al-nawahi)
oleh manusia.
18 Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri
(Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, hlm.
21-97.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 172
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
1. Dimensi syariah
Berdasarkan prinsip dan fungsi di atas, sumber hukum (mashadir al ahkam
atau al-adillah al-syari’ah) yakni ayat-ayat Al-Qur’an (kalam Ilahi) mencakup ayat
akidah dan ayat hukum kemudian diimplementasikan dalam sunah Rasulullah
(yang didokumentasikan dalam berbagai kitab hadist), dipahami sebagai hukum
Islam. Ia dideduksi dari kedua sumber itu, dengan dasar pandangan bahwa
Allah dan Rasulnya memiliki kekuasaan dan bentuk mengatur kehidupan
manusia (Al-Syar’i) dalam berbagai aspeknya.
Hukum yang didasarkan pada kedua sumber itu dikenal sebagai syariah.
Ia merupakan dimensi hukum Islam yang utama, yang menjadi sumber dalam
pembentukan dan pengembangan hukum Islam dimensi lainnya, dan menjadi
patokan dalam mengarahkan dan memberi makna terhadap berbagai pranata
sosial. Ia bersifat universal dan abadi, memiliki daya atur dan daya ikat terhadap
orang-orang yang beriman dan ia menjadi rujukan serta tolok ukur bagi dan
terhadap hukum Islam dalam dimensi lainnya.
2. Dimensi Ilmu
Upaya untuk mengeluarkan hukum (istinbath al-ahkam) dari kedua
sumber diatas, disusun berbagai perangkat dengan menggunakan cara berpikir
tertentu, terutama cara berpikir logis. Dengan mengacu kepada kedua sumber
hukum di atas, disusun metode dan alat memahami ayat dan hadis hukum. Oleh
19Sebagai bahan perbandingan: menurut Sunayati Hartono (1997: 246-247). Terdapat arti
tentang hukum yakni: 1. Peristiwa hukum, 2. Kaidah hukum 3. Pranata hukum 4. Lembaga hukum
5. Badan hukum 6. Keputusan hukum (Pengadilan) 7. Petugas hukum 8. Profesi hukum.
karena itu, dikenal hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah (al-‘ilm)
postulat yang digunakan bahwa Ulama yang menyusun dan merumuskannya,
memiliki kekuasaan (baca: otoritas atau kompetensi) ilmiah di bidang hukum
Islam.
Oleh karena, dimensi hukum Islam sangat lentur, maka daya atur dan
daya ikat amat longgar. Hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah
memiliki unsur-unsur subtansi, informasi dan metode sebagai penyangga
utamanya. Ia menjadi bagian sistem keilmuan yang bersifat universal dan
otonom, tanpa terikat oleh sistem sosial manapun. Ia seolah-olah anti struktur,
dan hanya menjadi konvensi di kalangan komunitas ilmiah (Ulama). Termasuk
dalam dimensi ini, falsafah hukum, ilmu ushul fiqh,20 ilmu fiqh dan tarikh tasyri’
yang belakangan ini dapat diindentikan dengan apa yang disebut sebagai sejarah
sosial hukum Islam.
3. Dimensi Fiqh
Salah satu hukum Islam yang dikenal di masyarakat, baik umat Islam
maupun komunitas ilmiah adalah fikih. Ia merupakan produk penalaran fuqaha
yang dideduksi dari sumber (ayat Al-Qur’an dan teks hadis) yang otentik.
Produk pemikiran mereka didokumentasikan dalam berbagai kitab fikih yang
disusun secara tematik dan mencakup berbagai bidang kehidupan. Mulai dari
thaharah sampai jihad. Ia dapat diidentifikasi sebagai kumpulan hukum yang
bersifat praktis (amaliah atau terapan).
Sementara itu, menurut al-‘Asymawi, fikih memiliki beberapa
karakteristik. Pertama, selalu disajikan sebagai suatu yang unik, yang tidak
dapat dibandingkan dengan kebudayan-kebudayan lain. Tetapi sebetulnya fikih
sangat dipengaruhi oleh hukum yurisprudensi Romawi-Bizantium. Kedua,
mula-mula fikih berkembang secara kasuistis, tanpa rencana dan sistem, karena
itu tidak mempunyai teori tentang hukum, politik atau ekonomi selain yang
dikembangkan oleh Imam Syafi’i. Ketiga, fikih kurang memberi kebebasan
kepada fuqaha karena situasi-situasi politik sepanjang sejarah Islam. Keempat,
ada kekurangan indenpendensi ijtihad, disebabkan oleh banyak faktor luar.
Keadaan ini memaksa fuqaha untuk tidak mencari pendapat baru tetapi mencari
hilah. Kelima, pembaruan hanya terbatas pada pemilihan terhadap pendapat-
pendapat dalam berbagai mazhab, pandangan yang mengindentikkan fikih
dengan hukum Islam.
20Mahdi Fadhl‘i-Lah (1987:5) mengindentikan Ilmu Ushul Fiqh dengan Ilmu Mantiq Syar’i
dengan mengadaptasi Ilmu Mantiq Aristoteles.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 174
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
4. Dimensi Fatwa
Dimensi lain dari hukum Islam itu adalah fatwa ulama (al ifta). Ia
merupakan respon ulama atas pertanyaan yang diajukan. Salah satu ciri fatwa
adalah kasuistis dan parsial. Berkenaan dengan hal itu, fatwa tidak memiliki
daya ikat bagi penataan kehidupan manusia, termasuk bagi pemohon fatwa itu
sendiri, hanya mengikat secara moral. Namun demikian, kebutuhan terhadap
fatwa semakin meningkat berkenaan dengan munculnya berbagai masalah
dalam kehidupan masyarakat.
Fatwa-fatwa MUI misalnya, merupakan respon ulama terhadap
perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia, berkenaan dengan
perubahan sosial yang dirancang secara nasional.21
5. Dimensi Nizham
Dimensi lainnya adalah tatanan atau sistem hukum (al-nizham). Ia
merupakan suatu kompleks hukum Islam yang tumbuh dan berkembang di
dalam kehidupan masyarakat. Mencakup materi hukum, bagaimana penerapan
hukum, institusi dan badan penyelenggara penerapan hukum, dan sarana
penunjang dalam penerapannya.
berfirman “dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut sebut
oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal ini haram’, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah.” Termasuk dalam kategori ini maka apa yang
mereka ciptakan sebagai bid’ah dengan menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.22 Atas dasar itu penentuan halal haram hanyalah hak
prerogatif Allah. Dengan kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu
termasuk bidang pangan, harus didasarkan pada Al-Qur’an, sunnah dan kaidah-
kaidah hukum.
Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan
peralatan yang canggih, kiranya dapat dikategorikan ke dalam kelompok
pangan yang tidak mudah diyakini kehalalannya. Apalagi jika produk tersebut
berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas nonmuslim, sekalipun bahan
bakunya berupa bahan suci atau tercampur, menggunakan atau bersentuhan
dengan bahan-bahan yang tidak suci atau tercampur dengan bahan haram.
Dari paparan diatas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak
setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya secara pasti
halal tidaknya suatu produk pangan, obat-obatan maupun kosmetika. Karena
untuk mengetahui hal tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup memadai
tentang pedoman atau kaidah-kaidah syariah Islam, itulah kiranya apa yang
jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Nabi Saw, dalam sebuah hadist popular:
“Halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas.
Hadis ini menunjukan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah jelas
kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamannya. Di samping itu,
dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup banyak hal yang samar-samar
(syubhat) status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh
banyak orang. Bagi umat Islam, hal tersebut yakni hal atau pangan kategori
syubhat, tidak dipandang sebagai persoalan yang mendapat perhatian besar dan
serius. Oleh karena tidak setiap orang dapat dengan mudah mengetahui
kehalalan atau keharaman suatu pangan sebagiamana dikemukakan diatas,
maka peranan Ulama sebagai kelompok orang yang dipandang memiliki
pengetahuan memadai tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk
memberikan penjelasan (fatwa) kepada masyarakat luas mengenai status hukum
pangan tersebut.
Perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik telah
terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 168. Berdasarkan ayat
tersebut, maka terdapat garis hukum, yaitu: Pertama, bahwa perintah ditujukan
bagi manusia, tidak saja kaum muslim. Kedua, bahwa manusia diwajibkan
22Muhammad Nasib ar-Rifa’I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir”, jilid
2, (Gema Insani Press, 1999), hlm.1073-1074.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 176
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
memakan makanan yang halal dan baik. Ketiga, bahwa mengikuti langkah-
langkah setan yang merupakan musuh utama manusia.
Konsep makanan berdasarkan ayat itu tidak sekedar halal, baik dari cara
memperolehnya, mengolahnya, hingga menyajikannya. Tetapi makanan juga
harus baik, baik secara fisik yang diharapkan tidak mengganggu kesehatan yang
mengkonsumsinya. Hal menarik adalah bahwa konsep makanan juga terkait
dengan nilai ketuhanan, bahwa ketika kita menolak memakan-makanan yang
halal dan baik, maka Allah menganggap telah mengikuti jejak langkah setan,
padahal setan adalah musuh nyata manusia. Allah menyatakan tentang
kehalalan pangan tertuang dalam Al-Qura’n Surah Al Maidah (5) ayat: 3.
Berdasarkan ayat tersebut maka dapat kita klasifikasikan atas segi fisik
hewan, meliputi: bangkai, darah, dan daging babi. Serta klasifikasi atas cara atau
proses, meliputi: hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, hewan yang
tercekik, hewan dipukul, hewan yang jatuh, hewan yang ditanduk dan hewan
yang diterkam binatang buas.
Tujuan pelaksanaan konsumsi yang harus diperhatikan, yaitu
dilarangnya mengonsumsi pangan yang ditujukan untuk berhala. Secara fisik
hewan: bangkai, darah, dan daging babi merupakan zat yang secara tegas
diharamkan. Zat pangan yang halal akan menjadi haram jika proses serta tujuan
konsumsi tidak sesuai dengan norma hukum yang tertuang dalam Surah Al-
Maidah ayat 3 tersebut.
Menarik untuk dikaji secara mendalam adalah berkaitan pula dengan
peranan negara untuk melindungi masyarakat muslim dalam kaitan dengan hak-
hak konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia masih
belum menyentuh permasalahan ini, mengingat fokus masih terbatas pada sisi
fisik barang serta jasa dan masih belum menyentuh pada kehalalan. Tingkat
kehalalan rupanya diatur oleh lembaga tersendiri yaitu LPPOM MUI padahal
sesungguhnya ini merupakan hal yang harus terintegrasi. Konsumen Muslim
yang sangat besar di Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah
membentuk sebuah lembaga perlindungan konsumen muslim.23
Profil Lembaga
MUI adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama
dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-
langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis
Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah
para ulama, cendekiawan dan zuama yang datang dari berbagai penjuru tanah
air. Antara lain meliputi 26 orang ulama yang mewakili 26 propinsi di Indonesia,
10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat,
yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul
Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, al-Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani
Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang
merupakan tokoh perorangan.24
Dari musyawarah tersebut, menghasilkan sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”,
yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Selain itu kemajuan dan
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 178
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
bagi konsumen. Berkaitan dengan itu, pada 24 Juni 2011, Menteri Koordinator
Perekonomian Republik Indonesia, Dr. Ir. M. Hatta Rajasa telah mendeklarasikan
Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia. Deklarasi tersebut sejalan dengan berbagai
langkah yang dilakukan oleh LPPOM MUI, antara lain dengan mendesain dan
menyusun Sistem Sertifikasi Halal (SSH) dan Sistem Jaminan Halal (SJH) yang
telah diadposi lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri. LPPOM MUI adalah
pelopor dalam Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal secara internasional.
Diadopsinya standar halal Indonesia oleh lembaga luar negeri tentu
sangat menguntungkan Indonesia, baik bagi konsumen maupun produsen.
Sebab, konsumen terlindungi dari produk-produk yang tidak dijamin
kehalalannya. Selain itu, dengan standar yang telah diakui bersama, kalangan
pelaku bisnis juga memperoleh kepastian tentang persyaratan halal yang harus
mereka penuhi sebelum memasarkan produk mereka.
Sejarah perkembangan sertifikasi halal di Indonesia tak luput dari
merebaknya kasus lemak babi pada tahun 1988. Kasus yang berasal dari temuan
peneliti dari Universitas Brawijaya Malang itu tidak hanya menghebohkan umat
Islam, tapi juga berpotensi meruntuhkan perekonomian nasional karena tingkat
konsumsi masyarakat terhadap produk pangan olahan menurun drastis.27
Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat, maka
MUI pada 6 Januari 1989 mendirikan LPPOM MUI sebagai bagian dari upaya
untuk memberikan ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi
pangan, obat-obatan dan kosmetika. Sejak kehadirannya hingga kini, LPPOM
MUI telah berulang kali mengadakan seminar, diskusi dengan para pakar,
termasuk pakar ilmu syariah, dan kunjungan-kunjungan yang bersifat studi
perbandingan serta muzakarah. Semua dikerjakan agar proses dan standar
Sistem Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal yang terus dikembangkan oleh
LPPOM MUI senantiasa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kaidah agama. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan undang-undang yang
mengatur produk halal merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa dielakkan
lagi. Sebab undang-undang tersebut diperlukan untuk menjamin kepastian
penegakan hukum bagi para pelanggarnya. Inilah esensi negara hukum yang
sesungguhnya, yang menjunjung tinggi hak-hak warga negaranya atas prinsip
keadilan (fairness).28
Seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat yang
semakin tinggi, tantangan yang dihadapi oleh MUI dan LPPOM MUI juga
semakin besar. Salah satunya menyangkut keberadaan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal (UU No. 33 Tahun 2014 tentang JPH) yang digodok dan disahkan
27 http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17
Maret 2015.
28 http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17
Maret 2015.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 180
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
oleh DPR-RI Pada tahun 2014. Dari paparan diatas, jelas bahwa Undang0Undang
Jaminan Produk Halal (UU No. 33 Tahun 2014) sebagai payung hukum. Agar
masyarakat Indonesia terhindar dari bahaya produk-produk yang mengandung
zat-zat berbahaya, dan terhindar dari oknum pelaku usaha yang ingin meraup
untung sebanyak-banyaknya tanpa mengeluarkan biaya yang besar.
Dalam menjalankan fungsinya, LPPOM melakukan pengkajian dan
pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika
berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan maka hasil
pengkajian dan pemeriksaan tersebut dibawa ke Komisi Fatwa untuk dibahas
dari tinjauan syariah. Pertemuan antara sains dan syariah inilah yang menjadi
dasar penetapan oleh Komisi Fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam
bentuk sertifikat halal oleh MUI.29
Fatwa memberikan jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai
masalah keagamaan dan berlaku untuk umum. Keputusan fatwa adalah fatwa
MUI tentang suatu masalah keagamaan yang disetujui oleh anggota komisi
dalam rapat.30 Komisi Fatwa MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang
bertugas memberikan nasehat hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan
suatu hukum terhadap persoalan- persoalan yang sedang dihadapi umat Islam.
Keanggotaan komisi fatwa mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di
Indonesia.31
Komisi Fatwa bertugas mengkaji dan memberikan keputusan hukum
terhadap persoalan yang tidak secara (nyata) terdapat dalam al-Quran
maupun Sunnah. Lembaga fatwa ini merupakan lembaga yang independen
yang terdiri atas para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang kompeten dan
memiliki otoritas memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah.32
29 Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal” dalam
Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se- Indonesia III Tahun
2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, hlm. 279-280.
30 Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hlm.
59.
31 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, loc. cit.
32 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Jakarta:
Departemen Agama RI. 2003, hlm. 56-57.
33 Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003, hlm.1
Produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan
syariat Islam, yaitu:
1. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan
yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain
sebagainya.
3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut
tatacara syariat Islam.
4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah
digunakan untuk babi barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu
harus dibersihkan dengan tatacara yang diatur dalam syariat Islam.
5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.34
Dengan kata lain produk halal adalah produk pangan, obat,
kosmetika dan produk lain yang tidak mengandung unsur atau barang haram
atau dilarang untuk dikonsumsi, digunakan atau dipakai umat Islam baik yang
menyangkut bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu dan bahan penolong
lainnya termasuk bahan produksi yang diolah melalui proses rekayasa
genetika dan iradiasi yang pengolahannya dilakukan sesuai dengan syariat
Islam.35
Setelah ditetapkan kehalalanya dalam rapat, dibuat keputusan fatwa
untuk produk-produk yang diputuskan dalam rapat secara tertulis sebagaimana
keputusan fatwa pada umumnya, selanjutnya dikeluarkan “Sertifikat Halal”.
Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan
produk yang diproduksinya dan sertifikat halal tersebut tidak dapat
dipindahtangankan. Sertifikat halal yang sudah berakhir masa berlakunya
termasuk fotokopinya tidak boleh digunakan atau dipasang untuk maksud-
maksud tertentu.36
34 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003, hlm. 2.
35 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal
Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hlm. 131.
36 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, op. cit., hlm. 2.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 182
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
Ya
Ya Produk berbasis daging
Audit
Rapat Auditor
Perlu Ya
Penyerahan Dokumen Analisis Analisis Lab
Sertifikasi Halal Lab?
Tidak
Persyaratan
Tidak terpenuhi ? Tidak Mengandung
Audit
bahan
Memorandum (Status SJH haram?
A/B)
Ya Ya
Tidak Persyaratan
terpenuhi?
Perusahaan Ya
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 184
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
mitra kita adalah pasar global, bukan pihak yang bertikai di dalam negeri dan
menyulitkan diri sendiri. Pada dasarnya setiap manusia ingin mengkonsumsi
produk-produk makanan dan minuman yang sehat dan bermanfaat untuk
kesehatan. Mengonsumsi produk halal merupakan hak asasi umat Islam sebagai
ibadah dan penerapan syariah.39
Dalam hal ini Indonesia melalui MUI telah memenuhi kewajibannya
dalam menjamin penyediaan produk halal bagi umat Islam sejak tahun 1989.
MUI mengeluarkan fatwa tentang sertifikasi halal, dalam rangka untuk
melindungi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam agar terhindar dari
produk makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan yang haram.
Hal ini juga tidak luput dari pada perlindungan konsumen dalam
mengkonsumsi produk makanan dan minuman. Pada Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 tentang hak dan kewajiban
konsumen. Dalam Pasal ini sudah jelas dipaparkan bahwa konsumen memiliki
hak-hak dan kewajibannya. Perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi
suatu produk sangat penting, sebab menyangkut baik atau tidak produk tersebut
untuk dikonsumsi bagi manusia.
Indonesia telah memiliki teknologi pemindai kemasan produk halal.
Regulasi halal hendaknya tidak merusak tatanan jaminan produk halal yang
sudah ada di Indonesia sejak tahun 1989 telah membangun sistem yang diterima
secara sains maupun syariah dan menjadi rujukan lembaga sertifikasi halal
dunia. Peran MUI dalam masalah pangan adalah melakukan sertifikasi halal,
meliputi penetapan standar, pemeriksaan, penetapan fatwa, dan penerbitan
sertifikasi halal. Pada tahun 2014 telah disahkannya Undang-Undang No. 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) tepatnya pada tanggal 25
September 2014 disahkannya UU No. 33 Tahun 2014 oleh pemerintah bersama
DPR RI. Lahirnya undang-undang tersebut adalah sebagai payung hukum bagi
MUI yang diharapkan dapat menjadi pegangan dan untuk melindungi umat
terhadap ketersediaan produk halal. Namun demikian masih belum bisa
menyerap aspirasi ulama dan umat Islam Indonesia.
Sebelum terbentuknya undang-undang, masa berlaku sertifikasi halal
adalah 2 tahun setelah dikeluarkan atau diterbitkan sertifikat halal. Sedangkan
dalam Undang Undang No. 33 tahun 2014 bagian ke tujuh Pasal 42, bahwa telah
terjadi perubahan dalam segi perpanjangan (umur) sertifikat. Perpanjangan ini
bersifat wajib bagi pelaku usaha, termasuk di dalamnya apabila terdapat
perubahan maupun penambahan pengurangan bahan dalam produk.
Dari tahapan yang sudah diatur, penulis mengambil kesimpulan bahwa
proses sertifikasi halal yang ada sudah memenuhi kriteria pembuatan sekrtifikasi
halal, hanya saja harus disediakan juga bagi pelaku usaha menengah ke bawah
39 http://doa-bagirajatega.blogspot.com/2014/10/kontroversi-uu-jaminan-produk-halal.html,
diunduh pada Senin 9 juni 2015.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 186
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
yang jarang, atau bahkan tidak pernah sekalipun menyentuh dunia maya.
Sehingga tidak mengetahui info seperti ini.
Setelah adanya UU JPH, kewenangan MUI “dibatasi”, di mana
penyelenggara jaminan produk halal bukan lagi MUI melainkan BPJPH
(Pemerintah RI). Untuk itu BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau
lembaga terkait atau LPH, baik itu MUI, atau Ormas lainnya. Pasal 6, Pasal 7 dan
Pasal 10 UU JPH, dengan jelas dipaparkan dalam Pasal 6 bahwa yang berwenang
menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk adalah BPJPH. BPJPH
kemudian yang menjalin kerjasama dengan instansi terkait dan atau lembaga
terkait lain (MUI). Dalam Pasal 7 dan 10 dijelaskan bahwa keterlibatan MUI
hanya sebatas mitra, kerjasama antara BPJPH dan MUI. MUI hanya
mengeluarkan fatwa setelah memeriksa kandungan pada produk tersebut, dan
selanjutnya penerbitan sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH.
Pemberlakuan UU No. 33 Tahun 2014 tentang JPH sebagaimana
termaktub dalam Pasal 61 menjelaskan bahwa pada tahun 2016 seluruh LPH
yang ada di Indonesia, baik MUI atau Ormas lainnya wajib menaati UU JPH.
Dalam hal auditor yang telah ada, UU No. 33 tahun 2014 tentang JPH Pasal 62
menyatakan bahwa status hukum auditor halal yang telah ada tetap diakui
keberadaannya dan selanjutnya dibina oleh BPJPH.
Pembentukan BPJPH tidak saat UU ini disahkan, namun menunggu 3
tahun kemudian, yaitu pada tahun 2017. Sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 64. Dalam penjelasan Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga
pemeriksa halal (LPH) yang sudah ada, masih tetap berjalan dan diakui
kedudukannya sebagai lembaga pemeriksa halal, dengan ketentuan memenuhi
syarat yang tertera dalam UU tersebut. LPH yang sudah ada harus memiliki
persyaratan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 13 UU No. 33 Tahun 2014.
Penyelenggara UU tersebut adalah pemerintah sebagai eksekutor atau
pelaksana Undang Undang. Hal tersebut tertulis pada Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU
No. 33 Tahun 2014. Pasal ini menjelaskan bahwa, pemerintah yang bertanggung
jawab atas terselenggaranya JPH, dalam pemerintahan di sini adalah
Kementerian Agama, sebagaimana dicantumkan pada ayat (2), dan dipertegas
dalam ayat (3) bahwa untuk terbentuknya BPJPH berkedudukan atas tanggung
jawab di bawah Kementerian Agama.
Dari paparan diatas, secara jelas menyatakan, bahwa sertifikasi halal
yang masih berjalan saat ini masih berlaku. Sertifikasi halal masih berjalan
sebagaimana mestinya, dibentuknya BPJPH sebagai lembaga di bawah tanggung
jawab Kementerian Agama. Jika dalam batas waktu 3 tahun sampai dengan
tahun 2017 pemerintah belum membentuk lembaga yang dimaksud, maka
kewenangan sertifikasi halal yang sudah ada masih tetap berjalan sebagaimana
adanya.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 188
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
dan/atau lembaga terkait. Pada Pasal selanjutnya, kerjasama BPJPH dengan LPH
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (b) dilakukan pemeriksaan dan/atau
pengujian produk. Kerjasama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf (c) dilakukan dalam bentuk: a. Sertifikasi auditor halal; b.
Penetapan kehalalan produk dan c. Akreditasi LPH.
Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
(b) dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.41
LPH yang dijelaskan pasal 12 UU JPH, pada pasal ini secara terang
dijelaskan bahwa lembaga pemeriksa halal (LPH) dapat didirikan oleh
masyarakat guna membantu kinerja BPJPH dalam pelaksanaan jaminan produk
halal. Undang-undang ini membatasi ruang gerak MUI yang selama ini sudah
berjalan. Di sisi lain memberikan ruang untuk masyarakat dalam membantu
pemerintah. Peran serta masyarakat dalam JPH ini adalah perwujudan dari
demokrasi yang telah dijalankan. Selain itu, peran serta masyarakat menegakkan
nilai utama dari menjadikan negara ini bagian dari good governence. Lembaga
penjamin halal dapat didirikan oleh siapapun dengan memenuhi kriteria yang
tertera dalam pasal 13 UU No. 33 Tahun 2014.
Selain itu, LPH Harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan
hukum. Melihat kasus di Indonesia tentunya banyak ormas yang berbadan
hukum seperti NU dan Muhammadiyah, maka ormas tersebut dapat mendirikan
LPH sebagaimana yang dimandatkan dalam undang-undang, agar tidak
terjadinya bentrok antara ormas satu dengan ormas lainnya.
Dengan penjelasan dalam Pasal ini, bahwa MUI tidak sepenuhnya
sebagai lembaga pemeriksa halal sebagaimana sebelum undang-undang ini ada.
Selanjutnya, tergantung kepada produsen makanan akan mengajukan
pemeriksaan kehalalan produk ke lembaga manapun yang telah sejalan dengan
undang-undang tersebut. Ini berarti produsen bebas menentukan pilihannya.
Dengan berdirinya banyak lembaga pemeriksa halal (LPH) dalam UU
No. 33 Tahun 2014, maka dengan ini akan terjadinya kompetisi yang sehat antar
lembaga. Dengan adanya persaingan ini maka perlu adanya pengendalian mutu
atau kualitas oleh pemerintah terhadap kinerja dan sumber daya manusia LPH.
Dengan demikian proses sertifikasi halal berjalan dengan baik dan lancar, serta
terbentuk nya pemerintahan yang transparan
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 190
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
sertifikasi halal sejak lama. Hampir 80 persen dari perusahaan daging yang ada
di Selandia Baru sudah mendapat sertifikasi halal. Hal ini karena tujuan
ekspornya sebagian besar adalah Timur Tengah. Bahkan saat ini tengah
membidik pasar Asia Tenggara, dimana jumlah penduduk muslim yang
mayoritas.
Malaysia adalah salah satu negara yang cukup serius dalam
mengembangkan produk-produk halal di dunia. Beberapa usaha yang dilakukan
dalam mengambangkan produk halal ini antara lain pendirian Halal Industry
Development Corporation (HDC) dan pembangunan zona industri halal. Bahkan
halal menjadi standar global bagi semua produk dan jasa.42 Usaha Pemerintah
Malaysia lainnya adalah dengan membuat portal internet sebagai mediasi dalam
perdagangan produk-produk halal dan sertifikasi halal di seluruh dunia.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 192
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
Bambang yang juga Ketua KAN menambahkan, di awal tahun 2015 ini,
khususnya setelah penetapan Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal dan beberapa saat sebelumnya Undang-Undang No. 20
tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, KAN akan memulai
pengoperasian Skema Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal sebagai langkah
awal dari realisasi sistem Jaminan Produk Halal di Indonesia.
Sistem ini, kata Prof. Bambang, tentu saja masih jauh dari sempurna dan
memerlukan masukan dari seluruh pihak agar ke depan sistem ini dapat
mencapai tujuannya secara efektif untuk menjamin kehalalan produk bagi
muslim di Indonesia, dan sekaligus mampu menjalankan fungsinya untuk
meningkatkan daya saing produk halal dari Indonesia dalam pasar global, dan
menjaga kedaulatan Bangsa Indonesia.47
Kesimpulan
Dengan disahkannya UU dan hadirnya BP JPH, penulis secara pribadi
berharap perdebatan dan polemik lembaga terkait sertifikasi halalpun dapat
terselesaikan. Dengan demikian, tuduhan terkait penyalahgunaan kewenangan
sertifikasi inipun dapat diselesaikan dan tidak menyebabkan fitnah. MUI dan
pemerintah (Kemenag) serta aparat keamanan harus mampu mengawal
implementasi UU No. 33 tahun 2014 ini. Proses yang transparan pun menjadi
keharusan agar tidak kembali memunculkan tuduhan dan fitnah bagi instansi
yang berwenang, dan perlu juga dibentuknya yayasan konsumen muslim.
Diharapkan UU ini dapat mewajibkan para produsen mendapatkan
sertifikasi halal. Konsekuensi dari hal itu dalam implementasinya, pemerintah
atau BPJPH perlu menekankan pada pembukaan akses sebesar-besarnya bagi
masyarakat untuk mendapatkan sertifikasi halal. Pembukaan akses ini, menurut
penulis, penting agar aturan ini seolah tidak merugikan para produsen kelas
menengah ke bawah yang minim informasi. UU ini harus dapat mengakomodir
segala kepentingan, tidak hanya bagi umat Islam Indonesia, tapi juga seluruh
konsumen di Tanah Air, dan efek kemanfaatannya pun harus segera terlihat.
Pustaka Acuan
Al-Qur’an Al Karim (ayat dan Tarjamah)
Ahmad, Hambal bin. Kitab Musnad Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo, Jilid: 3.
Ahmad, Miru; & Sutarman, Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. ke-7, edisi
ke-1, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 194
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 196
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.197-216, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.7857
---------------------------------------------------------------------------------------
10.15408/sjsbs.v3i2.7857
Abstract:
In reality, consumer as users and passenger’s public transportation (Angkot) have
not received legal protection and maximum service that should be given regarding
the application of minimum service standards. Besides, there are still problems
related to public transportation service sector in the form of the decision of public
transportation tariff that has not been matched by the availability of public
transportation, the proper of public transportation and consumer safety from crime
over public transportation. The result of this study explains that public
transportation (Angkot) still has many weaknesses especially related to the
implementation of minimum service standards.
Keywords: Public Transportation, Angkot, Consumer Protection.
Abstrak:
Konsumen sebagai pengguna jasa maupun penumpang angkutan umum jenis
angkot pada realitasnya belum mendapat perlindungan hukum dan pelayanan
maksimal yang seharusnya diberikan berupa penerapan standar pelayanan
minimal. Disamping masih adanya persoalan mengenai sektor pelayanan angkutan
umum berupa: penetapan tarif angkutan umum yang belum atau tidak diimbangi
dengan ketersediaan jumlah angkutan umum; kelaikan kendaraan angkutan
umum; dan keamanan konsumen dari kejahatan di atas kendaraan angkutan
umum. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa selama ini pelayanan angkutan
umum jenis angkot ini masih memiliki banyak kekurangan terutama menyangkut
penerapan standar pelayanan minimal.
Kata Kunci: Angkutan Umum, Jenis Angkot, Perlindungan Konsumen.
Diterima tanggal naskah diterima: 10 Maret 2016, direvisi: 20 April 2016, disetujui untuk
*
197
Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta
Pendahuluan
Transportasi atau pengangkutan merupakan suatu bidang kegiatan yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi
bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan
geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau kecil dan besar (archipelago),
perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau yang
memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, laut, dan udara guna
menjangkau seluruh wilayah negara.1 Dari sekian banyak jasa yang ditawarkan
kepada konsumen, salah satu jasa yang paling sering digunakan atau
dinikmati konsumen adalah jasa transportasi angkutan umum jenis angkot
yang ada di Jakarta. Sekelumit persoalan mengenai sektor pelayanan angkutan
umum yang masih menyimpan persoalan-persoalan klasik berupa: 1) penetapan
tarif angkutan umum (misal, kenaikan tarif) yang belum atau tidak diimbangi
dengan ketersediaan jumlah angkutan umum; 2) kelaikan kendaraan angkutan
umum (menyangkut soal keamanan konsumen; 3) keamanan konsumen dari
kejahatan di atas kendaraan angkutan umum.2
Wajah angkutan umum di Jakarta tak ubahnya sebuah tontonan yang tak
beradab, bahkan menunjukkan prilaku yang barbarian. Pemerkosaan dan
pembunuhan yang baru-baru ini terjadi adalah fenomena yang tak terbantahkan.
Tentu saja, kasus primitif ini amat menghentak kesadaran publik di Jakarta,
bahkan seantero negeri. Namun demikian, potret buram kualitas pelayanan
angkutan umum di perkotaan, sejatinya bukan tipikal kota Jakarta saja. Nyaris di
seluruh kota besar di Indonesia, kualitas pelayanan angkutan umumnya
amburadul dan tidak beradab.3 Wajar kalau kemudian secara perlahan tetapi
pasti warga tidak berminat menggunakan angkutan umum dan kemudian
meninggalkannya. Di Jakarta pada tahun 2005 kepeminatan warga Jakarta dalam
menggunakan angkutan umum masih 38%, tetapi pada data tahun 2010
kepeminatan itu turun drastis, hanya 11,5%.4 Sebenarnya dengan tersedianya
transportasi massal yang memadai yaitu memenuhi syarat aman, nyaman, dan
tepat waktu, kami yakin konsumen tidak berkeberatan untuk menggunakannya.
Heterogenitas masyarakat kita perlu dijawab dengan penyediaan transportasi
1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1998), h. 7.
2 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: PT. Citra
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 198
Faris Satria Alam
umum yang bervariasi, mulai dari yang kelas rakyat, sampai untuk konsumen
berdasi.5
Kesadaran pengemudi angkutan umum di wilayah hukum Polda Metro
Jaya masih terbilang rendah. Padahal, disiplin berlalu lintas terbilang penting
untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan. Ketidakdisiplinan pengemudi
angkutan umum ini terbukti dari banyaknya angkutan umum yang terjaring
dalam Operasi Patuh Jaya 2012. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda
Metro Jaya pada tanggal 16-23 Juli 2012, ada 7.727 kasus pelanggaran yang
melibatkan angkutan umum. Dari 7.727 kasus pelanggaran yang melibatkan
angkutan umum itu, jenis pelanggaran yang paling banyak dilakukan adalah
melanggar rambu lalu lintas letter P (dilarang parkir) sebanyak 2.927 kasus
pelanggaran. Selanjutnya disusul dengan pelanggaran turun atau naik
penumpang tidak pada tempatnya sebanyak 2.250 kasus pelanggaran. Sementara
pelanggaran rambu letter S (dilarang berhenti) mencapai 1.734 kasus, menerobos
jalur busway ada 772 kasus, dan omprengan yang menggunakan plat hitam
sebanyak 44 kasus. 6
Dari data yang dimiliki Polda Metro Jaya, jumlah perjalanan harian
semakin meningkat setiap tahunnya. Seperti pada tahun 2009 tercatat rata-rata
620.702 jumlah perjalanan dan pada tahun 2010 naik menjadi 791.295 jumlah
perjalanan. Diperkirakan pada tahun 2020 mendatang naik menjadi 1.148.528
jumlah perjalanan. Sementara, untuk jumlah angkutan umum yang beroperasi di
Ibukota hanya berjumlah 76.022 kendaraan. Sedangkan data dari Dinas
Perhubungan DKI Jakarta dan Organda DKI terdapat sedikitnya 22.776 angkutan
umum jenis bus besar, sedang dan bus kecil dinilai telah berusia uzur, bahkan
16.460 bus diantaranya.7
Salah satu langkah yang harus dilakukan Pemerintah Provinsi Ibukota
Jakarta dalam membenahi karut marutnya transportasi yakni dengan membuat
Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi angkutan umum di Jakarta. Azas Tigor
Nainggolan yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Transportasi Kota
Jakarta, berpendapat bahwa SPM itu perlu sebagai bagian dari revitalisasi
angkutan umum di ibukota serta juga berguna melindungi hak konsumen atau
pengguna angkutan umum. Sebab bila tanpa SPM maka konsumen sebagai
pengguna angkutan umum akan banyak terlanggar hak-haknya seperti sekarang
ini. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan
5 Zumrotin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Cet. I, (Jakarta: Puspa Swara, 1996), h.
104.
6 Sudarmanto, Kesadaran Supir Angkot di Jakarta Masih Rendah, sebagaimana di akses dari
http://m.skalanews.com/baca/news/2/34/118658/megapolitan/kesadaran-supir-angkot-di-jakarta-
masih-rendah.html pada 18 September 2012 Jam 15.00 WIB.
7 Wahyono, Polda Desak Pengusaha Angkutan Remajakan Armadanya, sebagaimana di akses
darihttp://m.skalanews.com/baca/news/2/34/103862/megapolitan/polda-desak-pengusaha-
angkutan-remajakan-armadanya-.html pada 18 September 2012 Jam 15.30 WIB.
8 Lihat Pasal 141, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5025.
9 Azas Tigor Nainggolan, Jakarta Perlu Standar Pelayanan Minimum, sebagaimana di akses
dari http://m.skalanews.com/baca/news/2/34/119757/megapolitan/jakarta-perlu-standar-minimun-
pelayanan angkutan-umum-.html Artikel diakses pada 18 September 2012 Jam 15.20 WIB.
10http://118.97.61.233/perundangan/index.php?option=com_dirhukum&task=view&id=889
Indonesia Dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi, (Yogyakarta:Penerbit Genta
Press, 2007), h. 1.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 200
Faris Satria Alam
17 Pasal 1 angka (2), Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821.
18 Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 202
Faris Satria Alam
19 Pasal 1 angka (10), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3480.
20 Ibid, Pasal 1 angka (8).
umum tersebut termasuk kategori pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha dalam
UUPK tidak mengharuskan pelaku usaha itu berbadan hukum.21
Berdasarkan Pasal 4 UUPK disebutkan bahwa konsumen memiliki hak
diantaranya adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa, Hak untuk memilih barang dan/atau jasa,
Hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa, Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya, Hak untuk mendapatkan bantuan hukum (advokasi), perlindungan
dan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, Hak untuk
memperoleh pembinaan dan pendidikan konsumen, Hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif, Hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya, dan Hak-hak yang ditentukan dalam perundang-
undangan lainnya.22 Di sisi lain dalam Pasal 5 UUPK juga mengatur mengenai
kewajiban konsumen diantaranya : Membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan, Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa, Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, dan
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.23
Pengaturan mengenai hak pelaku usaha juga diatur dalam Pasal 6 UUPK,
diantaranya: Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan hukum yang
beritikad tidak baik; Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen; Hak untuk rehabilitasi nama baik
apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak
diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; dan Hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.24 Sedangkan
Berdasarkan Pasal 7 UUPK, Kewajiban Pelaku Usaha adalah : Beritikad Baik
dalam menjalankan kegiatan usahanya;Memberikan informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; Memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur, secara tidak diskriminatif; Menjamin mutu
21 Lihat Pasal 1 angka (3), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821.
22 Pasal 4, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821.
23 Ibid, Pasal 5.
24 Ibid, Pasal 6.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 204
Faris Satria Alam
Hak Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot Terkait Dengan
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Jakarta sebagai ibukota Indonesia memiliki tingkat perekonomian yang
lebih baik dibandingkan dengan kota-kota lain. Perkembangan Jakarta dan
daerah sekitarnya dapat dikatakan sebagai monometric pattern yang
menempatkan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan bisnis. Sebagian besar warga
Jakarta bertempat tinggal di luar kota atau daerah penyangga yang memerlukan
sekitar 1-2 jam waktu tempuh untuk mencapai pusat ekonomi dan bisnis.
Kondisi ini adalah salah satu penyebab kemacetan di Jakarta.26 Pada awal 1970-
an pemakai kendaraan umum jumlahnya sebesar 70 % dari total pemakai
kendaraan di jalan. Angka ini mengalami penurunan yang cukup tajam yaitu
sebesar 57 % di tahun 1985 dan hanya 45 % di tahun 2000. Penurunan minat
pengguna kendaraan umum disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya
karena terjadinya motorisasi besar-besaran, bahkan lebih tinggi dibandingkan
sebelum krisis terjadi, yaitu meningkat sekitar 16-18% per tahun. Sekitar 5 juta
kendaraan bertambah setiap tahun, dan tahun 2007 diperkirakan sekitar 35 juta
populasi kendaraan. Kondisi lain yang menurunkan minat masyarakat untuk
menggunakan kendaraan umum adalah ketidaknyamanan sarana transportasi,
baik dari alat transportasi yang kurang pemeliharaan maupun gangguan
keamanan.27
Perjalanan sejarah transportasi angkutan umum di Indonesia sendiri
pada dasarnya dikelompokkan dalam 5 generasi. Generasi pertama terjadi saat
pemerintah menghentikan pengoperasian tram pada tahun 1970-an di beberapa
kota di Indonesia, lalu muncul kendaraan kecil seperti oplet. Tahun 1985 adalah
generasi kedua dengan munculnya PPD. Saat itu terdapat kurang lebih 5
perusahaan bus besar. Pada era ini pula terjadi penggabungan atau merger dan
restrukturisasi dalam pengelolaan transportasi bus di Indonesia. Tahun 1987
25 Ibid, Pasal 7.
26 Artikel dari Majalah Inovasi, Volume 10/XX/Maret 2008, “Reformasi Transportasi Publik di
Jakarta: Sebuah Kisah Sukses”, h. 14.
27 Ibid,
adalah generasi ketiga yaitu dikembangkannya bus-bus besar seperti bus tingkat
di beberapa kota di Indonesia. Tahun 1992, generasi keempat, yaitu lajur bus
yang diprioritaskan di sebelah kiri, namun sistem ini pun tidak berjalan dengan
baik. Generasi kelima adalah pengoperasian busway. Transportasi busway di
Indonesia dikembangkan berdasarkan analisis faktor-faktor yang menyebabkan
buruknya pengelolaan angkutan umum di Indonesia selama ini.28
Jenis angkutan umum perkotaan di Jakarta yang berjenis “angkot”
menurut Tulus Abadi.29 Pada awalnya angkutan umum perkotaan itu disingkat
angkot. Adapun klasifikasinya terdiri dari bus besar, bus sedang, dan bus kecil.
Namun, dalam perkembangannya di masyarakat pengertian “angkot” itu
mengalami bias makna menjadi Angkutan Kota jenis Bus Kecil (Micro Bus) yang
fungsinya merupakan angkutan pengumpan. Untuk lebih jelasnya, diuraikan
berdasarkan data statistik yang penulis peroleh dari data Dinas Perhubungan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lihat dalam Tabel 1.1. Angkutan Penumpang
dan Barang. 30
TAHUN
NO JENIS KENDARAAN
2008 2009 2010 2011 2012
1 Bus Besar *) 4.822 4.928 4.579 3.529 2.045
2 Bus Sedang 4.960 4.960 4.944 4.959 1.987
3 Bus Kecil /Angkot 12.984 14.130 14.183 14.183 16.671
4 Bajaj & Kancil 14.424 14.424 14.424 14.424 14.424
5 Taksi 24.256 24.489 24.724 24.902 27.301
6 Bus Wisata & Sewa 5.219 5.048 4.707 4.416 5.091
7 Bus Antar Kota 3.587 3.463 3.279 3.279 3.442
JUMLAH ANGKUTAN
PENUMPANG 70.252 71.442 70.840 69.692 70.961
8 Mobil Barang 18.157 20.013 19.138 23.649 36.332
JUMLAH TOTAL
88.409 91.455 89.978 93.341 107.293
Keterangan :
*) Termasuk Busway
*Sumber: Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta
Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari Dinas Perhubungan
Provinsi DKI Jakarta, bahwa terdapat total 6.293 armada angkutan umum jenis
kendaraan mikrolet dengan rincian yang terdiri dari 15 perusahaan angkutan
umum angkot jenis kendaraan mikrolet yang berbadan hukum. Adapun
klasifikasinya terdiri dari: 9 (sembilan) perusahaan yang berbentuk Perseroan
Terbatas (PT) dan 6 (enam) perusahaan yang berbentuk koperasi. Disamping
klasifikasi tersebut juga terdapat Mikrolet yang dimiliki oleh perorangan dengan
Ibid, h. 15-16
28
Wawancara dengan Bapak Tulus Abadi (Pengurus Harian YLKI dan Anggota Dewan
29
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 206
Faris Satria Alam
Pasal 141 ayat (1), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
31
Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5025.
Daerah No. 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api,
Sungai, dan Danau serta Penyeberangan di Provinsi DKI Jakarta yang mana
didalamnya tidak mengatur secara spesifik melainkan secara tersirat. Ketentuan
tersebut dapat dipahami melalui beberapa ketentuan yang mengatur mengenai
sarana, prasarana, dan pengemudi angkutan jalan.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 208
Faris Satria Alam
34 Pasal 19 ayat (1), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821.
35 Ibid, Pasal 4 huruf a, d, dan h.
Jurnal, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas
Katolik Atmajaya, Jakarta), hlm. 8.
oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena
kesalahan penumpang.39 Berdasarkan ketentuan ayat tersebut ada 4 (empat) hal
yang sekaligus diatur, yaitu : (1) Tanggung jawab perusahaan angkutan umum
untuk mengganti kerugian; (2) Ganti kerugian tersebut diberikan kepada
penumpang yang meninggal dunia atau luka-luka; (3) Kerugian terjadi akibat
penyelenggaraan angkutan; (4) Dikaitkan dengan teori prinsip-prinsip tanggung
jawab di bidang angkutan, maka sistem tanggung jawab yang dianut adalah
Presumtion of Liability. Hal ini dapat diketahui dari kalimat ...”kecuali terbukti
oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena
kesalahan penumpang”. Berdasarkan sistem tanggung jawab Presumtion of
Liability, Perusahaan angkutan umumlah yang harus membuktikan adanya
kerugian yang diderita penumpang, sehingga menyebabkan penumpang
meninggal atau luka. Akan tetapi, dalam sistem ini, perusahaan angkutan dapat
membebaskan diri dari tanggung jawabnya untuk membayar ganti kerugian, jika
perusahaan angkutan dapat membuktikan salah satu dari dua hal, yaitu: (a)
Disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau
overmacht atau force majeure; atau (b) karena kesalahan penumpang sendiri.
Sementara limit atau batas jumlah ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh
perusahaan angkutan kepada penumpang yang meninggal dunia atau luka-luka,
ditentukan dalam Pasal 192 ayat (2), yaitu dihitung berdasarkan kerugian yang
nyata-nyata dialami atau bagian biaya perawatan. Ayat ini mengatur sistem
Limitation of Liability atau besarnya jumlah ganti kerugian, yang harus diberikan
oleh perusahaan angkutan kepada penumpang yang meninggal dunia atau
mengalami luka-luka. Sayang sekali di dalam penjelasan ayatnya, tidak
dijelaskan pengertian kerugian yang secara nyata dialami, selain itu juga tidak
diatur mengenai perhitungan kerugian bagi penumpang yang mengalami cacat
tetap.40 Ayat ini masih mempunyai kelemahan, karena perhitungan “berdasarkan
kerugian yang nyata-nyata dialami” itu, menurut penulis ditujukan kepada
penumpang yang meninggal dunia. Seharusnya ganti kerugian yang dihitung
berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami, tidak dapat diterapkan kepada
penumpang yang meninggal dunia, karena jiwa seseorang tidak dapat dinilai
dengan uang, sehingga tidak dapat dihitung kerugiannya. Sedangkan bagi
penumpang yang mengalami luka-luka, perhitungannya didasarkan pada
bagian biaya perawatan.
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Baihaqi selaku Kepala
Seksi Angkutan Orang Dalam Trayek Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta pada 14 Juni 2013 bahwa terhadap kasus-kasus tersebut diatas,
39 Pasal 192 ayat (1), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5025.
40 Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat : Jalan dan Kereta Api, (Jakarta: Penerbit
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 210
Faris Satria Alam
semuanya dikenakan sanksi pidana yang sesuai dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh pelakunya. Pengenaan sanksi pidana tersebut semata-mata hanya
didasarkan pada aspek penegakan hukum pidana saja. Adapun pengenaan
sanksi pidana yang didasarkan atas undang-undang perlindungan konsumen
belum diterapkan. Hal tersebut, dapat terlihat dari putusan hakim yang
menunjukkan bahwa hakim belum mempertimbangkan mengenai tanggung
jawab pelaku usaha angkot dari sisi kerugian konsumen sebagai pengguna jasa
maupun penumpang angkutan umum karena dalam dakwaan dan tuntutannya
Jaksa Penuntut Umum tidak mempertimbangkan mengenai tanggung jawab
pelaku usaha sebagaimana diatur dalam undang-undang perlindungan
konsumen.
Namun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya
sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 199 ayat (1) UULLAJ yang
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal
192, dan Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa: (a) peringatan tertulis; (b)
denda administratif; (c) pembekuan izin; dan (d) pencabutan izin.41 Oleh karena
itu, terhadap kasus-kasus tersebut diatas semuanya telah dikenakan sanksi
administratif berupa Pembekuan Izin.42
Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen terkait dengan
kerugian yang dialami sebagai pengguna jasa angkutan umum jenis angkot di
Jakarta yaitu: Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, yang diatur pada Pasal
47 UUPK; Penyelesaian Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK); Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM); Penyelesaian Sengketa Konsumen
Melalui Pengadilan. Dalam Pasal 48 UUPK menyatakan Penyelesaian sengketa
konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan
umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
Namun yang sangat disayangkan bahwa selama ini belum pernah ada
pengguna jasa maupun penumpang yang melakukan gugatan terhadap
perusahaan angkutan umum jenis angkot. Padahal konsumen menyadari bahwa
angkutan umum jenis angkutan kota atau angkot yang ada di Jakarta ini, belum
memadai dan belum memberikan perlindungan terhadap konsumennya. Secara
sederhana hal tersebut dapat dipahami bahwa dari posisi tawar (bargaining
power) konsumen masih sangat lemah. Sehingga belum ada konsumen yang
menggugat pelaku usaha karena kerugiannya dalam menggunakan angkutan
umum. Kecuali untuk hal-hal yang sifatnya kejahatan atau kriminal. Itupun dari
41 Pasal 199 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5025.
42 Wawancara dengan Bapak Baihaqi, Selaku Kepala Seksi Angkutan Orang Dalam Trayek
beberapa kasus yang kami uraikan diatas, tidak satu pun amar putusan hakim
yang memerintahkan untuk menghukum pelaku usaha untuk bertanggung
jawab terhadap konsumen yang mengalami kerugian dalam menggunakan jasa
angkutannya. Sehingga tidak ada sama sekali yang namanya ganti kerugian oleh
pelaku usaha atau perusahaan angkutan umum terhadap konsumen maupun
pengguna jasanya.
Kesimpulan
Pengaturan bentuk jaminan perlindungan hukum bagi konsumen sebagai
pengguna jasa maupun penumpang angkutan umum diatur dalam hukum
pengangkutan penumpang yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang Buku II Bab V B Pasal 521 sampai Pasal 544a Tentang Pengangkutan
Orang. Disamping pengaturan umum tersebut, bentuk perlindungan hukum
bagi konsumen pengguna jasa maupun penumpang angkutan umum juga diatur
secara spesifik dalam Peraturan perundang-undangan khusus seperti undang-
undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan undang-
undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Standar pelayanan minimal angkutan umum jenis angkot dalam rangka
pemenuhan hak konsumen sebagai pengguna jasa maupun penumpang
angkutan umum jenis angkot di Jakarta secara umum diatur berdasarkan
undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan
dengan ketentuan standar pelayanan minimal yang meliputi keamanan,
keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan. Dengan
rincian penjelasannya yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 81 Tahun 2011 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang meliputi: jaringan pelayanan
angkutan jalan, jaringan prasarana angkutan jalan, fasilitas perlengkapan jalan,
keselamatan, dan sumber daya manusia (SDM) untuk daerah Provinsi dan untuk
daerah Kabupaten/Kota ditambah dengan fasilitas pelayanan pengujian
kendaraan bermotor. Disamping peraturan menteri perhubungan tersebut,
standar pelayanan minimal juga diatur secara tersirat dalam Peraturan Daerah
DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Kereta Api, Sungai, dan Danau Serta Penyeberangan di Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta dengan ketentuan bahwa setiap kendaraan umum dalam trayek
wajib menaikkan dan/atau menurunkan penumpang di tempat pemberhentian
berupa bangunan halte atau tempat pemberhentian kendaraan umum yang
dinyatakan dengan rambu, serta ditetapkan batas umur kendaraan angkutan
umum. Dan juga ditetapkan prosentase penembusan cahaya pada kaca-kaca
kendaraan bermotor, juga mengenai kewajiban pengemudi dalam
mengemudikan kendaraan angkutan umum.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 212
Faris Satria Alam
Pustaka Acuan
Buku-Buku
Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam
di Indonesia, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Brotosusilo, Agus. et.al., Filsafat Hukum: Semester Genap Tahun Ajaran 2010/2011.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.
Kamaludin, Rustian. Ekonomi Transportasi. Padang: Ghalia Indonesia, 1986.
Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2014).
Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-
1, Bandung: Fajar Media, 2013.
Artikel
Majalah Inovasi, Volume 10/XX/Maret 2008, “Reformasi Transportasi Publik di
Jakarta: Sebuah Kisah Sukses”.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 214
Faris Satria Alam
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor: 2626/Pid.B/2011/PN.JKT.BAR
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1563/Pid.B/2011/PN.Jkt.Sel
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1560/PID.B/2011/PN.Jkt.Sel
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1561/Pid.B/2011/PN.Jkt.Sel
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1687/PID.B/2012/PN.JKT.PST
Internet
http://m.skalanews.com/baca/news/2/34/118658/megapolitan/kesadaran-supir-
angkot-di-jakarta-masih-rendah.html diakses pada 18 September 2012
http://www.ylki.or.id/berlomba-mematikan-angkutan-umum.html diakses pada
15 September 2012
http://www.ylki.or.id/ subsidi-bbm-dan-nasib-angkutan-umum.html diakses
pada 18 September 2012
www.dephub.go.id diakses pada 19 September 2012
Wawancara
Wawancara dengan Bapak Tulus Abadi, (Pengurus Harian YLKI dan Anggota
Dewan Transportasi Kota Jakarta) di Jakarta, Personal Interview, pada 12
April 2013.
Wawancara dengan Bapak Baihaqi, Selaku Kepala Seksi Angkutan Orang Dalam
Trayek Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Personal Interview, pada
14 Juni 2013.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 216
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.217-230, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i3.7862
---------------------------------------------------------------------------------------
10.15408/sjsbs.v3i3.7862
Abstract:
Efforts that have been made by the government of the Republic of Indonesia to
reduce conflict in Aceh in the form of various policies. From the pattern of violence,
mediation, enactment of the Regional Military Operation, to finally negotiations for
peace. Negotiations eventually served as the final conflict resolution in order to quell
the raging turmoil. After the Aceh Tsunami in December 2004, an agreement was
finally reached in Helsinki between the government of the Republic of Indonesia and
the elders of the Free Aceh Movement. Among the resolutions obtained are the
enactment of Sharia law or Qonun in Aceh, as a legal law that regulates the life of the
Acehnese in an Islamic manner.
Abstrak:
Upaya yang telah dilakukan pemerintah Republik Indonesia dalam meredam konflik
di Aceh dalam bentuk kebijakan beranekaragam. Dari pola kekerasaan, mediasi,
pemberlakuan Daerah Operasi Militer, hingga perundingan untuk perdamaian.
Perundingan akhirnya dijadikan sebagai resolusi konflik terakhir guna meredam
gejolak yang berkecamuk. Pasca terjadinya Tsunami Aceh pada bulan Desember
2004, akhirnya dibuatkan kesepakatan di Helsinki antar pemerintah Republik
Indonesia dan para tetua Gerakan Aceh Merdeka. Diantara resolusi yang didapatkan
adalah pemberlakukan hukum Syariah atau Qonun di Aceh, sebagai hukum legal
yang mengatur kehidupan masyarakat Aceh secara Islami.
Diterima tanggal naskah diterima: 11 Maret 2016, direvisi: 22 April 2016, disetujui untuk
*
217
Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh
Pendahuluan
Indonesia menetapkan bentuk Negara Kesatuan (unitary state) sebagai
upaya mempersatukan kebhinekaan masyarakat. Dinamika perbedaan suku, ras,
agama, etnis, budaya dan keragaman lainnya menjadikan Indonesia kaya akan
budaya. Namun, kebhinekaan tersebut juga dapat menjadi kelemahan bangsa
apabila pemerintah tidak mampu menjadi pemersatu bangsa, sehingga berubah
menjadi konflik disintegrasi bangsa yang membahayakan masa depan bangsa.
Permasalahan Aceh merupakan salah satu contoh konflik disintegrasi bangsa di
Indonesia akibat ketidakadilan di bidang ekonomi yang berdampak pada konflik
SARA, ditunjang dengan sistem desentralisasi di Indonesia. 1 Hal tersebut
sebagaimana disebutkan Sofyan Tan dalam salah satu tulisannya mengenai
solusi ancaman disintegrasi bangsa bahwa ketidakadilan merupakan faktor
utama tuntutan disintegrasi Aceh.
Pembicaraan tentang Aceh bukanlah hal yang baru, namun merupakan
hal yang sudah lama sejak zaman sebelum kemerdekaan RI hingga pasca
kemerdekaan. Berbagai cara telah ditempuh Pemerintah RI untuk menyelesaikan
permasalahan ini, mulai dari dialog, penetapan Aceh menjadi daerah khusus,
sampai akhirnya menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), namun, hasilnya nihil.
Pada tahun 2005 silam, telah terjadi nota kesepahaman perdamaian (MoU)
antara Pemerintah RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki Finlandia.
Perjanjian Helsinki yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005 tersebut,
menjadi perdebatan sengit di kalangan anggota legislatif, sebagian pengamat
politik, akademisi dan sebagian masyarakat. Perdebatan ini banyak
mempertanyakan isi nota kesepahaman yang notabene banyak merugikan
pemerintahan RI dan mengancam keutuhan NKRI. Peristiwa tersebut
menimbulkan pertanyaan mendasar, tentang cara apa yang dapat digunakan
pemerintah untuk menyelesaikan konflik nasional di Aceh? Bagaimana
tantangan dan solusi mengenai penerapan syariat Islam di Aceh? Kedua
pertanyaan tersebut menjadi fokus bahasan pada artikel ini.
Metode Penelitian
Berangkat dari beberapa pertanyaan mendasar tersebut, penulis berusaha
mengkaji secara jernih, serta berupaya mencari solusi terbaik bagi Aceh dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai langkah untuk mempermudah
pembahasan, maka penulis menggunakan beberapa metode diantaranya:
(1) historical method,2 yaitu dengan mengumpulkan beberapa dokumen,
dan juga data sejarah yang valid berkenaan dengan Aceh, kemudian mengolah
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 218
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati
data tersebut untuk kemudian menganalisa lebih lanjut. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui tentang sejarah Aceh, hingga munculnya pemberontakan dari
sebagian masyarakat Aceh.
(2) Analytic critic method, 3 cara ini digunakan dengan menggambarkan
fakta-fakta yang penulis dapatkan dari sumber-sumber tertentu untuk kemudian
dianalisa dengan sumber-sumber yang lain. Dengan metode kritis analitis
penulis dapat mencerna data-data yang ada untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki.
3 Suriasmantri Jujun, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan, Pusjarlit Nuansa, h.45.
4 Djenar Respati, Sejarah Agama-Agama Di Indonesia: Mengungkap Proses Masuk dan
Perkembangannya, Cetakan I, (Yogyakarta: Araska, Oktober 2014), h.107-108.
5 Saifullah, Sejarah & Kebudayaan Islam Di Asia Tenggara, Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 220
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati
tanpa adanya penyelesaian. Kata orang bijak “Belajarlah dari sejarah” maka kita
perlu membaca dan mengkaji ulang histori Aceh dengan seksama untuk
memahami problem solving yang tepat dan bijak atas kasus Aceh. Perang adalah
hal yang sangat mengerikan, dalam perang diperlihatkan bagaimana seorang
ayah mengubur anak, istri dan bahkan teman sekalipun, begitu juga berapa
banyak harta benda dikorbankan dalam sebuah peristiwa perang.
Diantara langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam
menyelesaikan masalah Aceh adalah dengan membuka peluang dialog guna
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Melalui dialog yang baik, dapat
dipahami lebih lanjut tentang apa yang diinginkan rakyat Aceh untuk
pembangunan wilayah mereka dan pemerintah juga dapat mengetahui sebab-
sebab timbulnya pemberontakan rakyat Aceh yang ingin memisahkan diri dari
pemerintahan Indonesia. Selain itu pemerintah juga dapat menciptakan
fleksibilitas dalam diplomasi guna tercapainya kesepakatan bersama yang tidak
berat sebelah. Hal yang dapat dilakukan diantaranya dengan memperbaiki taraf
hidup rakyat Aceh untuk memupuk kepercayaan rakyat demi perdamaian dapat
diwujudkan.
Sebagai upaya membuka ruang dialog dengan rakyat Aceh, maka
pemerintah membutuhkan langkah-langkah strategis, yaitu menghadirkan pihak
ketiga dari International Non-Governmental Organization (INGO) antara lain
Henry Dunant Centre (HDC) pada tahun 1999 dan berakhir di tahun 2003.
Kemudian menghadirkan Crisis Management Initiative (CMI) pada tahun 2005.
Tarik ulur antara kedua belah pihak berlangsung selama 8 bulan dalam 5 kali
putaran hingga akhirnya menghasilkan nota kesepahaman (MoU) Helsinki.13
Melalui Perjanjian Helsinki yang menghasilkan lima kesepakatan utama,
yait;14 Pertama, tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, yang mencakup
undang-undang tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, partisipasi
politik, perekonomian, dan peraturan perundang-undangan; Kedua, tentang Hak
Asasi Manusia; Ketiga, tentang amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat;
Keempat, tentang pengaturan keamanan, yang dalam hal ini fokus terhadap hak
dan kewajiban antara pemerintah RI dengan GAM; dan Kelima, tentang
pembentukan misi monitoring Aceh yang dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-
negara ASEAN yang mendapat mandat memantau pelaksaan komitmen para
pihak dalam nota kesepahaman tersebut.
Berdasarkan isi perjanjian tersebut, maka disusunlah Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai wujud realisasi dari nota kesepahaman
13 Muhammad Iqbal, “Fenomena Kekerasan Politik Di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki” dalam
Financial Tool Kontan.co.id, Sabtu 6 April 2013, 22.30 WIB, diakses dari
http://nasional.kontan.co.id/news/apa-isi-naskah-perjanjian-helsinki-ri-gam
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 222
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati
15 Suadi Zainal, “Transformasi Konflik Aceh dan Relasi Sosial-Politik di Era Desentralisasi”
dalam Jurnal MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, Vol. 21, No. 1, Januari 2016, h.82.
16 Zaki ‘Ulya, “Refleksi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dalam Kaitan Makna
Otonomi Khusus di Aceh” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014, h.390-391.
17 Aleksius Jemadu, “Proses Peacebuilding di Aceh: Dari MoU Helsinki Menuju Implementasi
Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh” dalam Jurnal Hukum Internasional, Volume 3 Nomor 4
Juli 2006, h.542.
18 Anton Aliabbas, Transformasi Gerakan Aceh Merdeka, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun
Pasca MoU Helsinki, P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, January 2008, h.28-31.
19 Lihat, Muhammad Munir, Public International Law and Islamic International Law, Identical
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 224
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati
22 Radix Wp, “PSI Kontra Perda Syariah” dalam Kolom detiknews, Senin 26 November 2018,
pertama sidang. 25 Hal tersebut tidak terlepas dari histori panjang bangsa
Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan, dimana tidak terlepas dari
peran para ulama dan umat Islam di nusantara termasuk kesultanan Aceh.
Berdasarkan sisi historis, rakyat Aceh telah melalui 5 periode dalam
upaya mewujudkan legalitas hukum dari pemerintahan pusat dalam
menerapkan syariat Islam di Aceh, yaitu; pertama, masa Kesultanan Aceh;
kedua, masa penjajahan Belanda; ketiga, masa awal kemerdekaan; keempat,
masa orde baru; dan kelima, masa reformasi26. Hal tersebut sebagai upaya dalam
mempertahankan jati diri masyarakat Aceh sebagai wilayah Kesultanan Aceh di
masa silam.
Islam bukan agama yang penuh kekerasan dan permusuhan. Islam
adalah agama rahmatan lil’alamin. Islam merupakan kepercayaan, ketundukan,
dan juga jalan yang membatasi hak-hak dari kewajiban-kewajiban. Islam
membawa kebaikan bagi seluruh manusia, mengatur setiap segi kehidupan
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist, baik dalam segi kehidupan sosial
masyarakat, mempertahankan kehormatan dan menjaga dari setiap kerusakan
dan kejahatan. 27 Sehingga penerapannya di bumi Aceh tidak perlu
dikhawatirkan.
Syariat Islam tidak akan mendatangkan problem bagi masyarakat Aceh
maupun masyarakat di luar Aceh. Masyarakat Aceh adalah masyarakat Islam.
Jauh sebelum kemerdekaan, di Aceh telah berdiri kerajaan Islam yang
mengimplementasikan tata hukum Islam. Hukum Islam di Aceh berlaku sejak
abad ke-14 sampai abad ke-19. Hukum Islam adalah bagian dari adat-istiadat
masyarakat Aceh. Baru pada tahun 1907 sampai sekarang, hukum Islam tidak
berlaku di Aceh. Adapun jika ada wilayah lain yang menuntut hal yang sama
seperti Aceh, itu bukan karena penerapan syariat Islam di Aceh, melainkan
karena kurangnya rasa keadilan yang mereka rasakan dari Pemerintahan pusat
sehingga mereka menuntut hak-haknya melalui berbagai macam cara untuk
mencapainya.
Kesimpulan
Aceh sudah lama merasakan penderitaan, sejak zaman sebelum
kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan dan reformasi saat ini. Rakyat Aceh
tidak mendapatkan hak-hak mereka sebagaimana mestinya, sehingga wajarlah
timbul perlawanan yang tak kunjung reda hingga kini. Hendaknya
penandatanganan nota kesepahaman di Helsinki dapat memberikan hal terbaik
25 Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi Kesebelas, (Yogyakarta: Paradigma, 2016), h.15
26 Syamsul Bahri, “Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI)” dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 2, Mei 2012, h.360-361.
27 Sholah As-Showi, Qodiyyatu Tatbiiqu al-Syariat fi al-Alam al-Islami, h.138.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 226
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati
Daftar Pustaka
‘Ulya, Zaki. “Refleksi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dalam Kaitan
Makna Otonomi Khusus di Aceh” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 11,
Nomor 2, Juni 2014.
Abdullah, Abbas. Mengapa Aceh Bergolak Sepanjang Masa, Harian kompas,
Minggu, 15 April 2001.
Ahmad, Kamaruzzaman Bustaman. Wajah Baru Islam di Indonesia, Yogyakarta:
UII Press Yogyakarta, Juni 2004.
Aji, Ahmad Mukri. "Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Analisis
Terhadap Undang-Undang Nomor 15 dan 16 Tahun 2003 Berdasarkan Teori
Hukum)," dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. 1, No. 1 (2013).
Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam
di Indonesia, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.
Aliabbas, Anton. Transformasi Gerakan Aceh Merdeka, Beranda Perdamaian Aceh Tiga
Tahun Pasca MoU Helsinki, P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, January 2008.
Al-Shawi, Sholah. Qodiyyatu Tatbiq As-syariah fi –al-Alam al-Islami, tahun 1990.
Bahri, Syamsul. “Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol.
12 No. 2, Mei 2012.
Fishel, Ruth. Five Minutes for world Peace Forever. Health Communicatioans, Inc.
Florida.
Hanafi, Hasan. At-Tasyri’ al-Jinai al-Islami Baina al-Huquq wa al-Wajibat, Harian
Al-Ittihad, sabtu 4 Juni 2005.
Iqbal, Muhammad. “Fenomena Kekerasan Politik Di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki”
dalam Jurnal Hubungan Internasional, Tahun VII, No. 2, Juli-Desember
2014.
Jemadu, Aleksius. “Proses Peacebuilding di Aceh: Dari MoU Helsinki Menuju
Implementasi Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh” dalam Jurnal
Hukum Internasional, Volume 3 Nomor 4 Juli 2006.
Jujun, Suriasmantri. Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan, Bandung,
Pusjarlit Nuansa, 1998.
Kaelan. Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi Kesebelas, (Yogyakarta: Paradigma,
2016), h.15
Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2014).
Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-
1, Bandung: Fajar Media, 2013.
Majalah al-Mujtama’ Edisi 1667, 3 september 2005.
Microsoft Encarta 2003.
Munir, Muhammad. “Public International Law and Islamic International Law:
Identical Expressions of world Order,” dalam Jurnal Islamabad Law Review,
Vol. 1, 2003.
Ningrat, Koentjara. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta Gramedia
Pustaka Utama, 1991.
Respati, Djenar. Sejarah Agama-Agama Di Indonesia: Mengungkap Proses Masuk dan
Perkembangannya, Cetakan I, (Yogyakarta: Araska, Oktober 2014).
Saifullah, Sejarah & Kebudayaan Islam Di Asia Tenggara, Cetakan I, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010).
Suhardono, Wisnu. “Konflik dan Resolusi” dalam Jurnal Salam: Jurnal Sosial dan
Budaya Syar-i, Vol. 2, No. 1, Juni 2015.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 228
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati
Website:
CNN Indonesia, “Sandi Sebut Perda Syariah Perlu Didukung dan Jangan Diganggu,”
Rabu 21 November 2018, 07.42, Diakses dari
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20181121065828-32-347978/sandi-
sebut-perda-syariah-perlu-didukung-jangan-diganggu
Francisca Christy Rosana, Mahfudz MD: Perda Syariah dan Perda Sejenisnya Hanya
Sia-sia, tempo.co, minggu 18 November 2018, 07.13 WIB, diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1147392/mahfud-md-perda-syariah-dan-
perda-sejenisnya-hanya-sia-sia
Hadian, Amal Ihsan. “Apa Isi Naskah Perjanjian Helsinki RI-GAM?” dalam News
Data Financial Tool Kontan.co.id, Sabtu 6 April 2013, 22.30 WIB, diakses
dari http://nasional.kontan.co.id/news/apa-isi-naskah-perjanjian-helsinki-
ri-gam
Radix Wp, “PSI Kontra Perda Syariah” dalam Kolom detiknews, Senin 26
November 2018, diakses dari
https://m.detik.com/news/kolom/4317388/psi-kontra-perda-syariah
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 230
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.231-244, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.7856
---------------------------------------------------------------------------------------
10.15408/sjsbs.v3i2.7856
Abstract:
The authority of the state is not powered by one person or one institution only, but
also it should be a separation of power. The separation pf power from trias politica
theory is difficult to be implemented because no other state body that untouchable.
That is why the theory of distribution power developed become the check and
balances theory. The development of check and balances theory is signed by the
amandement UUD 1945. The goal of check and balances system is to maximize the
function state body and to limit abuse of power. In fact, there is always conflict
between state bodies because of their power and duty.
Keywords: Check and balances, state body, and conflict.
Abstrak:
Kekuasaan negara tidak terpusat pada satu orang atau lembaga saja, tetapi perlu
adanya pemisahan kekuasaan (separation of power). Separation of power dari trias
politica sebelumnya sulit terlaksana karena satu sama lain lembaga negara tidak
mungkin tidak saling bersentuhan, sehingga berkembanglah menjadi teori
pembagian kekuasaan (distribution of power) dan berujung dengan lahirnya
teori checks and balances. Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia yang mengarah
pada sistem checks and balances ditandai dengan adanya amandeman UUD 1945
yakni lembaga negara yang saling mengawasi dan mengimbangi lembaga negara
lainnya. Tujuan checks and balances adalah memaksimalkan fungsi masing-masing
lembaga negara dan membatasi kesewenang-wenangan lembaga negara. Pada
kenyataanya, mulai ada ketegangan dan konflik antar lembaga negara yang
diakibatkan lembaga negara tersebut merasa memiliki kekuatan yang sama.
Kata kunci: Checks and balances, lembaga negara, dan konflik.
Diterima tanggal naskah diterima: 12 Maret 2016, direvisi: 22 April 2016, disetujui untuk
*
231
Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Bingkai Negara Hukum
Pendahuluan
Menurut perkembangan sejarah ketatanegaraan kata pemisahan
kekuasaan, pertama kali dicetuskan oleh John Locke yang membagi kekuasaan
negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurutnya, fungsi-fungsi
kekuasaan negara meliputi: fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi
federatif. Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John
Locke dikembangkan lebih lanjut setengah abad kemudian dalam abad ke XVIII
oleh Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (1668-1748) dalam
karyanya L’Espirit des Lois (The Spirit of the Laws).1
Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu
kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk
menyelenggarakan undang-undang yang oleh Montesquieu diutamakan
tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif) dan kekuasaan mengadili
terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif). Tegasnya Montesquieu
mengatakan, kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas
(fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang
menyelenggarakannya. Konsepsi ini lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica.
Separation of power dari trias politica sebelumnya sulit terlaksana karena satu sama
lain lembaga negara tidak mungkin tidak saling bersentuhan, sehingga
menyebabkan teori pembagian kekuasaan (distribution of power) lebih
berkembang, digunakan di berbagai Negara, dan berujung dengan lahirnya
teori checks and balances.
Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia yang mengarah pada
sistem checks and balances ditandai dengan adanya amandeman UUDNRI 1945
yakni lembaga negara yang saling mengawasi dan mengimbangi lembaga negara
lainnya. Indonesia membagi kekuasaan pemerintahan kepada eksekutif yang
dilaksanakan oleh presiden, legislatif oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
yudikatif oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Sejarah ketatanegaran Indonesia di masa Orde Baru hampir tidak
mengenal adanya checks and balances di antara lembaga negara karena realitas
kekuasaan terpusat pada Presiden.2 Perubahan UUD 1945 melahirkan satu
kekuatan penyeimbang yang dibangun secara fungsional dalam bentuk
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 232
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty
Gatra News, Selasa/ 2 April 2013, “Korupsi dan Trias Politica”, oleh Abdul Aziz.
3
Tempo, Selasa/30 September 2014, “SBY Siapkan Perpu Batalkan UU Pilkada”, oleh
4
Prihandoko.
5 Kompas, 1 Maret 2015 diunduh pada tanggal 27 Oktober 2015 dari situs
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/01/19475521/Jimly.Kasus.Budi.Gunawan.Berhenti.Abraha
m.Samad.dan.Bambang.Widjojanto.Juga.Harus.Dihentikan.
6 Antara News, Rabu/ 19 Agustus 2015 diunduh pada tanggal 27 Oktober 2015 dari situs
http://www.antaranews.com/berita/513237/ma-tolak-rekomendasi-ky-soal-hakim-sarpin.
7 Hukum Online, Kamis/24 Agustus 2006, diunduh pada tanggal 27 Oktober 2015, pada
situs http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15347/hakim-mk-tak-mau-diawasi-ky.
8 Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007). h. 14
9 Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007). h. 14.
10 Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h.13
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 234
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty
11 Black Law Dictionarry By Henry Campbel, (St. Paul: West Publishing Co., 1990), h. 238.
12 Crince le Roy, Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo,
(Semarang: 1981), h. 42.
13 Crince le Roy, Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo,
Dengan demikian, prinsip checks and balances itu terkait erat dengan
prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat
dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara,
Rizza Zia Agusty, dan Suryanto Siyo, “UUDNRI 1945 Lembaga Negara beserta
17
Pimpinannya, peraturan perundang-undangan dan kabinet trisakti. (Jakarta: Visi Media, 2014), h.
50-51.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 236
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty
seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam
perspektif checks and balances di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan
negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung
dan KY, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa KY dapat diberi peran
pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances
dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan
hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim.
Dalam pandangan Saldi Isra, Hakim Konstitusi merancukan begitu saja
antara separation of power dengan checks and balances. Dalam separation of powers,
pembagian secara kaku atas tiga cabang kekuasaan menjadi benar adanya,
sedangkan dalam checks and balances pembagian seperti itu bukan menjadi hal
yang mutlak. Oleh karenanya, ada pernyataan agak “berbahaya” bagi diskursus
ilmu hukum bila interpretasi MK ini dijadikan patokan dalam kontekstualisasi
prinsip checks and balances di Indonesia. Dikatakan “berbahaya” karena
pertimbangan itu menyempitkan pemahaman cheks and balances pada teks
konstitusi, bukan pada prinsip-prinsip.
John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff menjelaskan bahwa memang
ada tiga pendekatan yang digunakan untuk memahami tempat dan hubungan
lembaga-lembaga negara, yaitu (1) “separation of powers”, (2) “separation of
functions”, dan (3) “checks and balances”. Terkait dengan pendekatan tersebut,
Peter L. Strauss (1984) dalam tulisannya “The Place of Agencies in Government:
Separation of Powers and Fourth Branch” menjelaskan bahwa:
“unlike the separation of powers, the checks and balances idea does not suppose a radical
division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out
among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the
conditions in which the intended struggle at the apex may continue.”
Berikut ini sejumlah kasus dari terdegradasinya prinsip checks and balances
di Indonesia yang menjadi sorotan publik.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 238
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty
ditelisik lebih jauh, dalam Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035 yang
pernah dikeluarkan oleh MA. MA berkomitmen untuk memperbaiki komunikasi
dengan KY dengan mempersiapkan Tim Bersama di dalam melaksanakan proses
rekrutmen seperti membentuk tim rekrutmen yang kredibel, membangun
konsep dan sistem rekrutmen, membangun profil hakim ideal yang diinginkan,
membangun proses, dan membuat sistem monitoring dan evaluasinya. Namun
demikian, implementasi dari Cetak Biru itu masih sebatas angan-angan.
Akhirnya berdasarkan Putusan MK No 43/PUU-XIII/2015, KY sudah
tidak dilibatkan lagi dalam proses rekrutmen hakim tingkat pertama. Ini berarti
MK memenangkan gugatan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Namun banyak
orang yang mengatakan bahwa putusan MK itu mengandung conflict of interest
karena 3 dari 9 hakim di MK adalah anggota IKAHI yaitu Anwar Usman,
Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul. Bahkan masyarakat yang
mengatasnamakan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) akan
melaporkan Putusan MK tersebut ke Dewan Etik MK.
Tidak sampai di situ, tentu masih segar dalam ingatan kita konflik MA-
KY memuncak pada kasus hakim Sarpin. Saat itu MA menolak pemberian sanksi
kepada Sarpin atas rekomendasi Komisi Yudisial. Ini semakin jelas ketika secara
gamblang ada surat berlabel rahasia ke Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial.
Isinya, seluruh pimpinan MA sepakat menolak rekomendasi Komisi Yudisial
agar hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi diberi sanksi.
Buntutnya, penetapan tersangka dua komisioner Komisi Yudisial,
Taufiqurrohman Sahuri dan Suparman Marzuki oleh Badan Reserse Kriminal
(Bareskrim) Polri dinilai menjadi preseden buruk bagi pengawasan hakim.
Bahkan MK dan KY juga pernah beda persepsi kewenangan perihal siapa
yang berhak mengawasi hakim MK. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak
diawasi Komisi Yudisial (KY). Sebab, 9 hakim konstitusi merasa jabatannya
berbeda dengan hakim-hakim biasa. Hal tersebut terungkap dalam salah satu
butir putusan MK No 005/PUU-IV/2006. MK juga berpendapat, jika hakim
konstitusi menjadi objek pengawasan dari KY, maka akan mengganggu
kewenangannya dalam mengawasi konstitusi.
Polemik ini terus berlangsung hingga pada tahun 2013 lalu. Mahkamah
Konstitusi menolak diawasi oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
permanen, yang semestinya dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial dan MK.
Penolakan MK ini termaktub dalam putusan yang membatalkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Ketika itu MK menolak dengan diterapkannya Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi yang di dalamnya terdapat KY dengan dalih prinsip checks and
balances itu adalah sebuah mekanisme yang diterapkan untuk mengatur
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 240
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty
hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Checks and balances tidak
ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman
dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan. Prinsip utama
yang harus dianut negara hukum adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau
kehakiman. Karena itu, setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman
dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan
kehakiman dalam menjalankan fungsinya, akan mengancam prinsip negara
hukum.
MK menilai pelibatan KY seperti yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun
2014 merupakan bentuk penyelundupan hukum karena bertentangan dengan
Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, tertanggal 23 Agustus 2006, yang
menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Konstitusi tak terkait dengan
KY.
Namun demikian, argumentasi MK nyatanya secara tegas disanggah oleh
KY. Menurut KY, Perintah bagi Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan
terhadap Mahkamah Konstitusi seperti yang tercantum di dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diterbitkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, tidak melanggar Undang-Undang KY.
Dalam Perppu itu KY tidak ditugaskan untuk mengawasi hakim
konstitusi, ataupun ikut dalam panel ahli untuk menyeleksi dan mengusulkan
nama-nama calon Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK). Akan tetapi
tugas KY lebih untuk membantu MKHK dan hanya dalam kapasitas panel ahli
yang bersifat ad hoc.
Kesimpulan
Penyebab dari terkikisnya tujuan dari checks and balances di Indonesia
sehingga terciptanya ketegangan antar lembaga negara adalah ketidakfahaman
dari para aparatur negara dari tujuan check and balances yang menekankan
pentingnya hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar berbagai
lembaga negara agar pelaksanaan fungsi lembaga negara menjadi maksimal.
Namun, dewasa ini terlihat dalam pelaksanaan checks and balances yang
dilakukan oleh lembaga negara yang satu kepada lembaga negara lain dianggap
suatu ancaman untuk menjatuhkan eksistensi lembaga negara, dan menciptakan
ego sektoral. Dapat terlihat saat Konstitusi mengamanahkan pada Komisi
Yudisial untuk mengawasi perilaku hakim yang termasuk dalam kekuasaan
kehakiman, namun Mahkamah Konstitusi menolak pengawasan tersebut.
Begitupun Mahkamah Agung, terbukti sejak tahun 2011 sampai dengan
sekarang terhambatnya perekrutan hakim MA, karena MA menolak KY ikut
campur. Begitupula dengan kasus Undang-Undang tentang Pilkada melawan
Pustaka Acuan
Buku-buku
Hadjar, A. Fickar. ed. Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003).
Schmitt, Carl. Constitutional Theory, Translated and edited by Jeffrey Seitzer,
Duke University Press, Durham and London, 2008.
Roy, Crince le. Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh
Soehardjo, (Semarang: 1981).
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum. Jakarta: Gramata Publishing, 2009.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006).
Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-
1, Bandung: Fajar Media, 2013.
Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2014).
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 242
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 244
Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i
1. Artikel adalah benar-benar karya asli penulis, tidak mengandung unsur plagiasi, dan belum pernah
dipublikasikan dan/atau sedang dalam proses publikasi pada media lain yang dinyatakan dengan
surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai Rp 6000;
2. Naskah dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh;
3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, Arab, maupun bahasa Rusia;
4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dalam ranah ilmu hukum Positif;
5. Aturan penulisan adalah sebagai berikut:
a. Judul. Ditulis dengan huruf kapital, maksimum 12 kata diposisikan di tengah (centered);
b. Nama penulis. Ditulis utuh, tanpa gelar, disertai afiliasi kelembagaan dengan alamat lengkap,
dan alamat e-mail;
c. Abstrak. Ditulis dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia antara 80-120 kata;
d. Sistematika penulisan naskah adalah sebagai berikut:
1) Judul;
2) Nama penulis (tanpa gelar akademik), nama dan alamat afiliasi penulis, dan e-mail;
3) Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris, antara 80-120 kata;
4) Kata-kata kunci, antara 2-5 konsep yang mencerminkan substansi artikel;
5) Pendahuluan;
6) Sub judul (sesuai dengan keperluan pembahasan);
7) Penutup; dan
8) Pustaka Acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk dan sedapat mungkin
terbitan 10 tahun terakhir).
e. Ukuran kertas yang digunakan adalah kertas HVS 70 gram, ukuran A4, margin: atas 3,5 cm,
bawah 3.5 cm, kiri 3,5 cm, dan kanan 3,5 cm;
f. Panjang Naskah antara 13 s.d. 15 halaman, spasi 1, huruf Palatino, ukuran 11;
g. Pengutipan kalimat. Kutipan kalimat ditulis secara langsung apabila lebih dari empat baris
dipisahkan dari teks dengan jarak satu spasi dengan ukuran huruf 10 point. Sedangkan
kutipan kurang dari empat baris diintegrasikan dalam teks, dengan tanda apostrof ganda di
awal dan di akhir kutipan. Setiap kutipan diberi nomor. Sistem pengutipan adalah footnote
(bukan bodynote atau endnote). Penulisan footnote menggunakan sistem turabian. Setiap
artikel, buku, dan sumber lainnya yang dikutip harus tercantum dalam pustaka acuan;
h. Pengutipan Ayat Alquran dan Hadis. Ayat yang dikutip menyertakan keterangan ayat dalam
kurung, dengan menyebut nama surah, nomor surah, dan nomor ayat, seperti (Q.s. al-Mu’min
[40]: 43). Pengutipan Hadis menyebutkan nama perawi (H.r. al-Bukhārī dan Muslim) ditambah
referensi versi cetak kitab Hadis yang dikutip. Hadis harus dikutip dari kitab-kitab Hadis
standar (Kutub al-Tis‘ah);
i. Cara pembuatan footnote. Footnote ditulis dengan font Palation size 9, untuk pelbagai
sumber, antara lain:
Pedoman Teknis Penulisan Jurnal
1) Buku: nama utuh penulis (tanpa gelar), judul buku (tempat terbit: penerbit, tahun terbit),
cetakan, volume, juz, halaman. Contoh: Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi
Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), h. 10.
2) Buku terjemahan, contoh: Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III,
diterjemahkan oleh Moh. Radjab, (Jakarta: Bharata, 1963), h. 15;
1) Jurnal, contoh: Nur Rohim, “Kontroversi Pembentukan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang
mahkamah konstitusi dalam ranah kegentingan yang memaksa”, dalam Jurnal Cita
Hukum, Vol. 2, No. 1 (2014), h. 157.
2) Artikel sebagai bagian dari buku (antologi), contoh: Hikmahanto Juwana, “Penegakan
Hukum dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen bagi Solusi
Indonesia”, dalam Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara,
Hukum Pidana, dan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Gorup, 2012), h.
127.
3) Artikel dari internet, contoh: Ahmad Tholabi Kharlie, “Problem Yuridis RUU Syariah” dalam
http://ahmadtholabi.com/2008/03/03/problem-yuridis-ruu-syariah, diunduh pada 20 Maret
2012.
4) Artikel dari majalah, contoh: Susilaningtias, “Potret Hukum Adat pada Masa Kolonial”,
dalam Forum Keadilan, No. 17, 20 Agustus 2006.
5) Makalah dalam seminar, contoh: Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi
dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada 2 Maret 2004.
j. Pustaka Acuan: daftar pustaka acuan ditulis sesuai urutan abjad, nama akhir penulis
diletakkan di depan. Contoh:
1) Buku, contoh: Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers,
1986.
2) Buku terjemahan, contoh: Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III,
diterjemahakan oleh Moh. Radjab, Jakarta: Bharata, 1963.
3) Jurnal, contoh: Rohim, Nur, “Kontroversi Pembentukan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang
mahkamah konstitusi dalam ranah kegentingan yang memaksa”, dalam Jurnal Cita
Hukum, Vol. 2, No. 1 (2014).
4) Artikel sebagai bagian dari buku, contoh: Juwana, Hikmahanto, “Penegakan Hukum dalam
Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen bagi Solusi Indonesia”, dalam
Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan
Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Gorup, 2012.
5) Artikel yang dikutip dari internet, contoh: Kharlie, Ahmad Tholabi, “Problem Yuridis RUU
Syariah” dalam http://ahmadtholabi.com/2008/03/03/problem-yuridis-ruu-syariah, diunduh
pada 20 Maret 2012.
6) Majalah, contoh: Susilaningtias, “Potret Hukum Adat pada Masa Kolonial”, dalam Forum
Keadilan, No. 17, 20 Agustus 2006.
7) Makalah dalam seminar, contoh: Asshiddiqie, Jimly, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi
dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada 2 Maret 2004.
k. Penutup: artikel ditutup dengan kesimpulan;
l. Biografi singkat: biografi penulis mengandung unsur nama (lengkap dengan gelar akademik),
tempat tugas, riwayat pendidikan formal (S1, S2, S3), dan bidang keahlian akademik;
6. Setiap naskah yang tidak mengindahkan pedoman penulisan ini akan dikembalikan kepada
penulisnya untuk diperbaiki.
7. Naskah sudah diserahkan kepada penyunting, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum waktu
penerbitan (April, Agustus. dan Desember) dengan mengupload pada laman OJS jurnal pada
alamat http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam atau dikirim langsung via e-mail ke:
jurnal.salam@gmail.com atau nurrohimyunus@uinjkt.ac.id.[]