Anda di halaman 1dari 132

Masalah dan Solusi Patologi Sosial Di Kota Tangerang Selatan

Mujar Ibnu Syarif


Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah
Bachtiar
Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang
Tresia Elda
Kewenangan LPPOM MUI Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji
Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot Di Jakarta Dalam Perspektif Hukum Perlindungan
Konsumen
Faris Satria Alam
Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati
Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Bingkai Negara Hukum
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty
VOL. 3 NO. 2 (2016)
Diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i mengkhususkan diri dalam
pengkajian ilmu-ilmu Sosial dan Budaya dalam dimensi Syariah.
Terbit tiga kali dalam satu tahun di setiap bulan April, Agustus, dan Desember.

Redaktur Ahli
Muhammad Amin Suma (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
A Salman Maggalatung (UIN Syarif Hidayatull ah Jakarta)
Asep Saepudin Jahar (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Ahmad Mukri Aji (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
JM Muslimin (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Muhammad Munir (IIU Islamabad Pakistan)
Euis Amalia (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tim Lindsey (Melbourne University Australia)
Raihanah Azahari (University Malaya Malaysia)
Ahmad Tholabi (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Ahmad Hidayat Buang (University Malaya Malaysia)

Pemimpin Redaksi
Nur Rohim Yunus
Sekretaris Redaksi
Muhammad Ishar Helmi
Redaktur Pelaksana
Mara Sutan Rambe
Indra Rahmatullah
Fitria

Tata Usaha
Erwin Hikmatiar

Alamat Redaksi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda 95 Ciputat Jakarta 15412 Telp. (62-21) 74711537, Faks. (62-21) 7491821
Website: www.fsh-uinjkt.net, E-mail: jurnal.salam@uinjkt.ac.id
Permalink: http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam
Menyambut baik kontribusi dari para ilmuwan, sarjana, profesional, dan peneliti dalam disiplin ilmu
hukum untuk dipublikasi dan disebarluaskan setelah melalui mekanisme seleksi naskah, telaah
mitra bebestari, dan proses penyuntingan yang ketat.
DAFTAR ISI

121 Masalah dan Solusi Patologi Sosial Di Kota Tangerang Selatan


Mujar Ibnu Syarif

137 Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin


Oleh Pemerintah Daerah
Bachtiar

153 Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan


Negeri Kelas I A Padang
Tresia Elda

167 Kewenangan LPPOM MUI Pasca Pemberlakuan Undang-Undang


Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

197 Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot Di Jakarta Dalam


Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen
Faris Satria Alam

217 Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas


Hukum Syariat di Aceh
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati

231 Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Bingkai


Negara Hukum
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.121-136, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.3655
---------------------------------------------------------------------------------------

Masalah dan Solusi Patologi Sosial


Di Kota Tangerang Selatan*
(Problems and Solutions of Social Pathology in South Tangerang City)

Mujar Ibnu Syarif


FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda 95 Ciputat Jakarta
E-mail: mujarsyarif@yahoo.com

10.15408/sjsbs.v3i2.3655

Abstrak:
Patologi sosial dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen untuk dibersihkan dari
tengah kehidupan umat Islam. Adanya beberapa aturan dalam kitab suci al-Qur’an
dan hadits Nabi Muhammad saw yang secara eksplisit mengharamkan umat Islam
untuk mendekati zina, mengonsumsi minuman yang memabukan, dan berjudi,
sangat jelas membuktikan adanya kepedulian Islam yang begitu tinggi terhadap
upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai penyakit sosial dari tengah
kehidupan publik.
Kata Kunci: Patologi sosial, Kota Tangerang Selatan, Vaksin Sosial.

Abstract:
Social pathology is seen as something very urgent to be cleaned from the lives of
Muslims. The existence of multiple rules in the the Koran and and Hadith that
explicitly forbids Muslims to approach adultery, consuming alcoholic beverages, and
gamble, clearly proving of the high of Islamic awareness on the need of prevention
and control of various of social pathologies from the public life.
Keywords: Patologi sosial, Kota Tangerang Selatan, Vaksin sosial.

Diterima tanggal naskah diterima: 12 Mei 2016, direvisi: 20 Juli 2016, disetujui untuk terbit:
*

14 Agustus 2016.

121
Masalah dan Solusi Patologi Sosial di Kota Tangerang Selatan

Pendahulun
Artikel ini secara spesifik membahas tentang patologi sosial atau penyakit
kemasyarakatan yang ada di kota Tangerang Selatan dan upaya
penanggulangannya. Dalam perspektif Islam, penyakit kemasyarakatan secara
teologis dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen untuk dibersihkan dari
tengah kehidupan masyarakat. Adanya beberapa ayat dalam kitab suci al-Qur’an
yang secara eksplisit mengharamkan umat Islam untuk mendekati zina (QS. al-
Isra [17]: 32) dan mengkonsumsi minuman yang memabukan serta berjudi (QS.
al-Mâidah [5]: 90), misalnya, sangat jelas membuktikan adanya kepedulian Islam
yang begitu tinggi terhadap upaya pencegahan dan pembersihan berbagai
penyakit kemasyarakatan dari tengah kehidupan umat Islam.
Tidaklah mengherankan jika secara historis, sosiologis, dan politis, dalam
banyak variasinya, upaya pembersihan penyakit kemasyarakatan telah
dijalankan di dunia Islam sejak masa klasik Islam di zaman Nabi hingga masa
kontemporer ini. Upaya serupa dalam berbagai bentuknya turut pula dilakukan
oleh pemerintah dan warga masyarakat Republik Indonesia, baik yang berada di
level pemerintah pusat, maupun yang berada pada jajaran pemerintah daerah,
termasuk di dalamnya pemerintah dan warga masyarakat yang berdomisili di
Kota Tangerang Selatan.
Senada dengan apa yang dilakukan oleh penguasa dan komunitas
muslim di berbagai belahan dunia pada umumnya dan penguasa serta warga
masyarakat Kota Tangerang Selatan pada khususnya, banyak pula penguasa dan
masyarakat non-muslim di berbagai penjuru dunia yang turut serta
mencanangkan gerakan pembersihan penyakit kemasyarakatan.
Persoalannya kemudian, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan
penyakit masyarakat, penyakit-penyakit apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai penyakit masyarakat, apa saja yang menjadi akar penyebab lahirnya
penyakit masyarakat, jenis-jenis penyakit masyarakat apa saja yang kini sudah
menggejala di Kota Tangerang Selatan dan upaya apa yang dapat dilakukan
untuk mewujudkan Kota Tangerang Selatan yang bersih dari penyakit
masyarakat? Artikel ini dimaksudkan untuk menjawab beberapa pertanyaan
yang amat fundamental tersebut.

Definisi Penyakit Masyarakat


Secara etimologis, dalam bahasa Arab, menurut ‘Abdullâh al-Ja’îtsan,
penyakit masyarakat disebut dengan istilah al-‘illah al-ijtimâ’iyyah (‫)العلة االجتماعية‬,
yang bentuk pluralnya adalah al-‘ilal al-ijtimâ’iyyah atau al-maradh al-ijtimâ’i
( ‫)المرض االجتماعي‬, yang bentuk pluralnya adalah al-amrâdh al-ijtimâ’iyyah ( ‫األمراض‬

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 122
Mujar Ibnu Syarif

‫)االجتماعية‬.1 Sementara menurut Hindun al-Mayzar, penyakit masyarakat disebut


dengan istilah al-musykilah al-ijtimâ’iyyah (‫ )المشكلة االجتماعية‬yang bentuk pluralnya
adalah al-musykilât al-ijtimâ’iyyah (‫)المشكالت االجتماعية‬, al-‘illah al-ijtimâ’iyyah ( ‫العلة‬
‫)االجتماعية‬, al-tafakkuk al-ijtimâ’i (‫)التفكك االجتماعي‬, atau al-sulûk al-munharif ( ‫السلوك‬
‫)المنحرف‬. Sementara dalam bahasa Inggris, penyakit masyarakat disebut dengan
istilah social pathology, social disorganization, deviant behavior, atau social problem. 2
Sementara secara terminologis, terdapat rumusan definisi patologi sosial
yang bervariasi. Keragaman definisi ini terutama terjadi karena dua hal. Pertama,
karena ragam, jenis, dan akar penyebab lahirnya penyakit masyarakat di suatu
tempat dan atau di suatu zaman tertentu berbeda dengan yang ada di wilayah
atau di masa yang lainnya. Kedua, karena subyek, institusi atau lembaga yang
memformulasikannya memiliki perspektif yang tidak sama dengan institusi
yang lainnya, atau dapat pula karena orang yang mendefinisikannya memiliki
latar belakang akademik, fokus pandangan, dan atau kecenderungan yang
berbeda. Sebagai contoh saja, berikut ini dikemukakan tujuh buah definisi
penyakit masyarakat yang formulasinya berbeda antara satu dari yang lainnya.
Pertama, menurut Hindun al-Mayzar, definisi penyakit masyarakat
adalah sebagai berikut: “Penyakit masyarakat berarti penyimpangan yang terjadi
akibat tidak ditaatinya hukum yang lurus yang telah ditetapkan sebagai pengatur dalam
penataan (kehidupan) masyarakat.”3
Kedua, menurut Merriam Webster Online Dictionary, penyakit masyarakat
atau patologi sosial berarti: a study of social problems (as crime or alcoholism) that
views them as diseased conditions of the social organism4 (Sebuah studi tentang
masalah-masalah sosial seperti tindak kejahatan atau keadaan sakit karena
terlampau banyak mengonsumsi minuman beralkohol) yang menilai contoh-
contoh tersebut sebagai kondisi dari sebuah organisme sosial yang sakit.
Ketiga, menurut Kartini Kartono, penyakit masyarakat diartikan sebagai
tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, moral
dan hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, dan hukum
formal yang berlaku dalam sebuah negara.5
Keempat, menurut Pasal 1 ayat (7) Peraturan Daerah Kota Padang Panjang
Nomor 9 Tahun 2010, penyakit masyarakat berarti: Perbuatan/tingkah laku
seseorang atau sekelompok orang yang terjadi di tengah-tengah masyarakat,

1‘Abdullâh al-Ja’îtsan, “al-Manzhûmah al-Mutakâmilah Taqdhî ‘alâ al-Zhawâhir al-

Khathîrah”, http://www.alriyadh.com, diakses 12 Mei 2013


2Hindun al-Mayzar, Jam’u Muqarrar Musykilât ijtimâ’iyyah, Jâ’mi’ah Malik Sa’ûd, h. 10

3Hindun al-Mayzar, Ibid, h. 10.

4http://www.merriam-webster.com, diakses pada tanggal 12 Mei 2013

5Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11

123 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Masalah dan Solusi Patologi Sosial di Kota Tangerang Selatan

yang tidak menyenangkan atau meresahkan masyarakat karena tidak sesuai


dengan norma, dan adat istiadat yang berlaku.6
Kelima, menurut Pasal 1 ayat (10) Peraturan Daerah Kota Pelawan Nomor
03 Tahun 2003, penyakit masyarakat berarti: Hal-hal atau perbuatan yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau
meresahkan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan agama dan adat serta
tata krama kesopanan.7
Keenam, menurut Pasal 1 ayat (17) Peraturan Daerah Kabupaten Rokan
Hulu Nomor 1 Tahun 2009, penyakit masyarakat berarti: Suatu
perbuatan/tindakan seseorang, sekelompok orang, dan atau badan hukum yang
sangat bertentangan dengan ajaran agama, adat istiadat, nilai-nilai Pancasila, dan
juga dapat menganggu ketertiban umum, keamanan, kesehatan, dan nilai-nilai
kesusilaan yang hidup dalam masyarakat.8
Ketujuh, menurut Pasal 1 ayat (6) Peraturan Daerah Kabupaten Serang
Nomor 5 Tahun 2006, penyakit masyarakat berarti: Setiap perbuatan orang atau
badan hukum yang bertentangan dengan hukum dan merusak sendi-sendi
kehidupan masyarakat.9
Dari uraian di atas dapat digarisbawahi, penyakit sosial atau patologi
sosial adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dua hal, yakni : (1)
Suatu perbuatan/perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama, adat istiadat,
nilai-nilai Pancasila, dan juga dapat menganggu ketertiban umum, keamanan,
kesehatan, dan nilai-nilai kesusilaan yang hidup dalam masyarakat yang
semestinya dijunjung tinggi. (2) Sebuah disiplin ilmu yang secara spesifik
membahas tentang faktor-faktor dan masalah-masalah yang dapat
mengakibatkan munculnya penyakit sosial.

Jenis-Jenis Penyakit Masyarakat


Sama halnya seperti definisi penyakit masyarakat, mengenai jenis-jenis
penyakit masyarakat pun di kalangan para ahli patologi sosial terjadi perbedaan
pendapat. Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Mohammad Nuh, ada tiga penyakit sosial yang sangat besar dampak negatifnya

6Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Perubahan atas

Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Pencegahan, Pemberantasan
dan penindakan Penyakit Masyarakat.
7Peraturan Daerah Kabupaten Pelalawan Nomor 03 Tahun 2003 Tentang Penyakit

Masyarakat.
8Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pelarangan dan

Penertiban Penyakit Masyarakat.


9Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 5 Tahun 2006 tentang Penanggulangan

Penyakit Masyarakat.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 124
Mujar Ibnu Syarif

yaitu: (1) kemiskinan; (2) ketidaktahuan, dan (3) keterbelakangan peradaban.10


Sementara Menurut James Lewis, penyakit sosial meliputi empat hal, yakni: (1)
kecanduan heroin dan alkohol, (2) melahirkan anak luar nikah, (3) tindak
kekerasan di sekolah, dan (4) kemiskinan struktural.11 Sedangkan menurut
Achmad M Akung, penyakit masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
macam, yaitu: (1) gratifikasi seks atau jasa layanan seksual dari seorang
perempuan yang disubordinasikan sebagai umpan dan penggoda pria yang
sedang memegang jabatan tertentu, agar dalam lingkup jabatannya itu ia
bersedia melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh pemberi gratifikasi seks, (2) pelacuran (prostitusi), dan (3)
korupsi.12
Melengkapi pendapat tersebut, Musfi Yendra menyatakan, penyakit
masyarakat dapat dipetakan ke dalam 10 jenis, yakni: (1) perkelahian atau
tawuran antar pelajar, yang biasanya melibatkan geng, termasuk di antaranya
geng pelajar perempuan yang belakangan ini cukup marak bermunculan, (2)
penodongan, (3) perkosaan, (4) mutilasi, (5) penipuan, (6) demonstrasi yang
mematikan, (7) prostitusi, (8) perdagangan manusia, (9) perjudian, (10) illegal
loging, dan (11) kejahatan politik dalam bentuk penipuan terhadap rakyat oleh
oknum elit politik tertentu dengan berbagai bentuk janji politik yang
disampaikannya pada saat kampanye menjelang pemilu, yang kemudian
dikhianatinya setelah ia berhasil menggapai jabatan politik yang
diinginkannya.13
Berbeda dengan pendapat tersebut, menurut Pasal 4 Perda Kabupaten
Serang Nomor 5 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat,
penyakit masyarakat meliputi: (1) minuman keras, (2) pelacuran dan, (3)
perzinaan. Sementara menurut Pasal 2 ayat ( 2) Peraturan Daerah Kabupaten
Pelawan Nomor 03 Tahun 2003 tentang Penyakit Masyarakat, penyakit
masyarakat meliputi perbuatan dan tindakan perilaku: (1) prostitusi, (2)
homosex, (3) lesbian, (4) sodomi, (5) penyimpangan seksual lainnya, (6)
minuman keras, (7) gelandangan dan pengemis, dan (8) waria. Sedangkan
menurut Pasal 2 Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu Nomor 1 Tahun 2009
tentang Pelarangan dan Penertiban Penyakit Masyarakat, penyakit masyarakat
meliputi: (1) minuman yang dapat memabukan (beralkohol), (2) perbuatan
cabul, yang berarti perbuatan yang tidak senonoh yang menimbulkan birahi
atau rangsangan yang dilakukan oleh sesama orang dewasa yang berlainan jenis

10 Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pada Peringatan Hari Pendidikan

Nasional Tahun 2013, Kamis, 2 Mei 2013, lihat kemdikbud.go.id, diakses 12 Mei 2013
11James Lewis, Obama Flunks on Social Pathology, http://www.americanthinker.com

12 Ahmad M Akung, “Patologi Sosial Grafitika Seks”, lihat http://gagasanhukum.wordpress.com,

diakses 12 Mei 2013


13Musfi Yendra, “Genk Perempuan dari Trend ke Patologi Sosial”, lihat http://padang-

today.com, diakses 12 Mei 2013

125 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Masalah dan Solusi Patologi Sosial di Kota Tangerang Selatan

dan/atau sesama jenis terhadap hal-hal yang bertentangan dengan agama, etika,
moral, adat dan susila lainnya, (3) pelacuran (prostitusi), yang berarti praktek
pelacuran atau perbuatan persetubuhan atau hubungan kelamin yang dilakukan
oleh laki-laki atau perempuan tanpa melalui perkawinan yang sah, (4) porno
aksi, yang berarti perbuatan atau tingkah laku secara erotis (membuka aurat)
yang dapat membangkitkan nafsu birahi yang secara langsung dapat dilihat oleh
publik secara umum, (5) hiburan band dan orgen tunggal, yang berarti hiburan
yang menggunakan alat musik dengan penyanyi atau artis di tempat umum
yang dilaksanakan dalam rangka acara tertentu; (6) premanisme, yang berarti
suatu perbuatan yang mengarah pada kekerasan dan anarkis yang dapat
menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

Akar Penyebab Lahirnya Penyakit Masyarakat


Paling sedikit ada tiga hal utama yang menjadi akar atau penyebab
lahirnya penyakit masyarakat, yaitu: (1) Faktor ekonomi. Penyakit masyarakat
yang timbul karena faktor ekonomi antara lain adalah kemiskinan dan
pengangguran, (2) faktor budaya. Penyakit masyarakat yang muncul lantaran
faktor budaya ini, antara lain, ialah kenakalan remaja, dan (3) faktor psikologis.
Contoh penyakit masyarakat yang kemunculannya dipicu oleh faktor yang
disebut terakhir ini adalah aliran sesat.14

Penyakit Masyarakat dalam Konteks Kota Tangerang Selatan


Berdasarkan data-data yang dilansir berbagai media, paling kurang, ada
9 (sembilan) jenis penyakit masyarakat yang saat ini sudah menggejala di kota
Tangeran Selatan. Kesembilan jenis penyakit masyarakat yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
Pertama; Terorisme. Penyakit masyarakat ini, terutama baru disadari
eksistensinya setelah adanya oknum masyarakat di Pamulang, yakni
Muhammad Jibril yang ditangkap polisi karena diduga terlibat jaringan teroris.
Selanjutnya, kesadaran masyarakat Kota Tangerang Selatan akan adanya
terorisme semakin bertambah kuat setelah adanya oknum mahasiswa
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, yakni Syaifuddin Zuhri alias
Ustadz SJ dan M Syahrir yang ditangkap Densus 88 di sebuah rumah kontrakan
di jalan semanggi II, Ciputat, karena diduga merupakan dua orang aktor pelaku
terror Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton. 15

14http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/11/masalah-sosial-523482.html, diakses 12 Mei


2013
15http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/28/benarkah-uin-jakarta-sarang-teroris-
359316.html

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 126
Mujar Ibnu Syarif

Kedua; Narkoba dan seks bebas. Penyakit ini diketahui pihak Pemerintah
Kota Tangerang Selatan setelah terungkapnya data dari rumah sakit maupun
puskesmas yang menyebutkan ada sekitar 64 orang warga Tangerang Selatan
yang terjangkit penyakit HIV/AIDS yang diduga tertular HIV/AIDS melalui
konsumsi narkoba dengan menggunakan jarum suntik yang sudah
terkontaminasi virus HIV/AIDS atau karena melakukan praktek seks bebas. 16
Ketiga; Minuman keras (miras). Peredaran miras di Kota Tangerang
Selatan sudah semakin tidak terkontrol dan kian membahayakan generasi muda
di kota Tangerang Selatan yang memiliki motto “cerdas, modern dan religious”.
Sebagai contohnya, menurut penuturan Mahfud, warga Jalan Kertamukti,
Kelurahan Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, tidak adanya
kontrol yang ketat dari pemerintah membuat minuman keras beredar sampai ke
toko-toko kecil. Biasanya, lanjut Mahfud, setiap Sabtu malam banyak anak muda
yang sengaja berkumpul di pinggir jalan sambil mengonsumsi minuman keras,
khususnya di Jalan Kertamukti, Pisangan, Ciputat. Pernyataan senada,
disampaikan juga oleh Ruslan, yang adalah juga warga Kertamukti, Kelurahan
Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur. Menurutnya, lantaran akses untuk
mendapatkan minuman keras sangat mudah di Kota Tangerang Selatan, maka
setiap Sabtu malam banyak anak-anak muda yang sengaja berkumpul di pinggir
jalan sambil menyekal botol minuman keras berbagai merek.17
Keempat; Gelandangan dan pengemis (gepeng), orang terlantar, dan
waria. Adanya kelompok ini diakui Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) Kota Tangerang Selatan yang secara estafet sering melakukan Razia dan
bahkan tak jarang pula terlibat kejar-kejaran dengan mereka di sejumlah ruas
jalan di wilayah Kecamatan Pondok Aren, Ciputat dan Serpong, karena mereka
dianggap mengganggu ketertiban umum. 18 Menurut data yang dikeluarkan
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), pada bulan Juni
2012 saja, pengemis, gelandangan dan orang terlantar (PGOT) yang ada di Kota
Tangerang Selatan berjumlah sebanyak 1.055 orang. Dari angka tersebut yang
terdata di antaranya 47 orang gelandangan, 100 orang pengemis, 118 orang eks
narapidana, 36 orang anak yang terlibat dengan kasus hukum, 215 orang
pecandu Napza (narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya), 326 orang
penderita HIV/AIDS, dan 163 orang anak jalanan.19
Kelima; Prostitusi yang dijalankan oleh Pekerja Seks Komersil (PSK). Dari
hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan, menurut mantan kepala Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang Selatan, H. Sukanta, hampir
seluruh kecamatan di Kota Tangerang Selatan terdapat titik-titik yang biasa

16 http://www.poskota.co.id diakses 13 Mei 2013


17http://kabartangsel.com/2013/02/mendesak-perda-tentang-pembatasan-miras-di-tangsel/
18http://geraibanten.com/puluhan-gepeng-waria-terjaring-razia-satpol-pp-tangsel

19http://globaltangsel.com/baca/332/jelang-ramadhan-tangsel-dibanjiri-pengemis/

127 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Masalah dan Solusi Patologi Sosial di Kota Tangerang Selatan

dimanfaatkan para Pekerja Seks Komersil (PSK) untuk mangkal guna menjaring
pria hidung belang. Misalnya di Pondok Aren, lokasi yang biasa dipakai
mangkal adalah Tegal Rotan, kemudian di Ciputat yang biasa dijadikan lokasi
mangkal adalah Serua. Demikian pula di Ciputat Timur. Untuk wilayah yang
disebut terakhir, lokasi mangkal paling favorit yang menjadi pilihan para Pekerja
Seks Komersil (PSK) adalah di wilayah Cimanggis. Kemudian di Serpong Utara
dan Setu, lanjut Sukanta, ada juga lokasi yang sering dijadikan pangkalan PSK.
Jika ditotal, tegas Sukanta, ada sekitar 28 titik yang rawan jadi tempat mangkal
Pekerja Seks Komersil (PSK).20
Keenam; Korupsi. Jenis penyakit ini mulai diketahui keberadaannya,
terutama setelah Petugas Kejaksaan Negeri Tigaraksa Tangerang menangkap
tersangka kasus dugaan korupsi, Tatang Sago. Ia diduga terlibat kasus korupsi
pengadaan alat berat (wheel loader) pada Dinas Kebersihan Pertamanan dan
Pemakaman (DKPP) Kota Tangerang Selatan senilai Rp 650 juta yang alokasi
dananya bersumber dari APBD tahun 2009.21
Ketujuh; Pengangguran. Menurut Pitri Yandri, Peneliti Pusat Studi
Desentralisasi dan Otonomi Daerah (PSDOD) STIE Ahmad Dahlan Jakarta,
pengangguran di Tangerang Selatan (Tangsel) meningkat dari 9.605 orang pada
tahun 2010, menjadi 50.122 orang atau meningkat sekitar 40 ribu orang selama
tahun 2011. Angka ini hampir mencapai 4 persen dari keseluruhan jumlah
penduduk kota Tangerang Selatan.22
Kedelapan; Kemiskinan, buta huruf, dan buta hukum. Menurut catatan
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan, saat
ini jumlah masyarakat miskin, buta huruf, dan atau buta hukum di Tangerang
Selatan mencapai 200 ribu jiwa dari total sekitar 1,3 juta penduduk.23
Kesembilan; Aliran Sesat. Data mengenai adanya aliran sesat di Kota
Tangerang Selatan, antara lain, diketahui lewat laporan dua orang jama’ah
wanita yang mengaku menjadi korban ajaran aliran sesat kepada MUI
Kecamatan serpong Utara pada paruh terakhir tahun 2009. Menurut pelapor
yang menyampaikan kesaksiannya di kelurahan Pakujaya, dari pengajian yang
kerap diikutinya di Puri Pakujaya dan Pondok Jagung Timur, mereka didoktrin
mengenai tidak perlunya shalat. Selain itu, pergi haji juga tidak perlu jauh-jauh
ke Mekkah. Akan tetapi, ibadah haji sudah dianggap cukup memadai jika para
jamaah datang ke rumah sang guru dalam bentu konvoi dengan menggunakan
mobil dan atau sepeda motor untuk kemudian menyerahkan sejumlah uang

20 http://m.tangerangnews.com/baca/2012/07/31/7676/satpol-pp-tangsel-gencar-razia--
pekat-
21http://inpekorjak.wordpress.com/2011/07/18/tersangka-korupsi-alat-berat-tangerang-

selatan-ditangkap-kejari-tigaraksa/
22 http://metrotangsel.com/wooww-76-persen-lahan-di-tangsel-dikuasai-pengembang/

23http://www.rmol.co/read/2012/04/24/61690/200-Ribu-Orang-Tangerang-Selatan-Positif-

Buta-Hukum-

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 128
Mujar Ibnu Syarif

kepada sang guru sebagai pengganti ongkos naik haji (ONH). Kejanggalan lain,
menurut penuturan pelapor, sang guru sering membujuk jamaah wanitanya
untuk dipoligami, kendatipun ada di antaranya yang masih memiliki suami.
Dalam realitanya, lanjut pelapor, ada di antara jamaah wanita yang berdomisili
di Tangerang Selatan yang secara paksa direbut dari suaminya dan kemudian
diperistri sang guru yang kemudian baru mereka sadari bahwa sang guru
dimaksud mengajarkan paham sesat.24

Solusi Penaggulangan Penyakit Masyarakat di Kota Tangerang Selatan


Dalam rangka mewujudkan kota Tangerang Selatan yang bersih, tidak
ternoda, atau tidak terkontaminasi berbagai penyakit masyarakat, maka segenap
jajaran pemerintah kota Tangerang Selatan harus berusaha sekuat daya dan
upaya dengan bersinergi dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, ormas, dan
organisasi kepemudaan se-Kota Tangerang Selatan untuk memberantas secara
tuntas berbagai jenis penyakit masyarakat yang sudah mulai menggejala di Kota
Tangerang Selatan sebagaimana dielaborasikan di muka pada khususnya, dan
berbagai jenis penyakit masyarakat lain pada umumnya.
Khusus untuk penyakit masyarakat berupa korupsi, maka jika sungguh-
sungguh serius ingin mewujudkan kota Tangerang Selatan yang benar-benar
bersih dari penyakit masyarakat yang disebut terakhir ini, maka semua elite
politik Kota Tangerang Selatan, mulai dari walikota dan seterusnya, harus
menjadi suri tauladan dalam hal kebersihan diri dari tindakan korupsi. Dalam
kaitannya dengan perang melawan korupsi, maka harus betul-betul
dipertahankan konsistensi antara kata dan perbuatan. Karena itu, jika secara
terbuka, seorang politisi sudah menyatakan ”Jangan korupsi”, maka tentu ia
tidak hanya pandai menyatakan larangan semacam itu, tapi ia juga pasti akan
membuktikannya dalam tindakan nyata, yakni dengan tidak pernah mau
melakukan korupsi, sekalipun peluang korupsi terbuka lebar baginya.
Dalam kaitan ini, maka bila ingin menegakkan supremasi hukum dan
memberantas penyakit masyarakat seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang
sudah menjadi penyakit yang membudaya dan melembaga (institutionalized),
bahkan sudah menjadi way of life, dan dilakukan oleh para pejabat negara di
semua lini, dari tingkat yang paling tinggi hingga tingkat yang paling rendah,
maka harus dimulai dari para politisinya.
Bila ingin memberantas penyakit masyarakat dalam bentuk korupsi,
maka perlu diteladani mekanisme pemberantasan korupsi yang diajarkan Nabi
Muhammad saw, yakni harus dimulai dari pucuk piramida (from the top of the
pyramid). Contoh dimaksud terlihat secara gamblang sewaktu Usâmah Ibn Zaîd

Wawancara dengan dua orang pelapor yang mengaku korban aliran sesat, Pakujaya,
24

Desember 2009

129 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Masalah dan Solusi Patologi Sosial di Kota Tangerang Selatan

yang mendapat mandat dari para pemimpin Quraîsy menemui Nabi


Muhammad saw guna melakukan lobby supaya beliau bersedia membatalkan
hukuman potong tangan terhadap pelaku pencurian, yakni Fatimah binti al-
Aswad, salah seorang wanita terpandang berdarah Quraîsy yang berasal dari
kabilah al-Mahzhûmiyyah. Sebagai respon atas permohonan tersebut, dengan
sangat tegas Nabi Muhammad saw bersabda sebagai berikut:
”Sesungguhnya yang menjadi penyebab kehancuran manusia sebelum kalian
adalah lantaran jika ada seseorang yang berasal dari keluarga terpandang di
antara mereka melakukan pencurian, maka mereka tidak menjatuhkan hukuman
kepadanya. Sebaliknya, jika yang melakukan pencurian bukan berasal dari
kalangan keluarga terpandang di antara mereka, maka mereka segera
menjatuhkan hukuman atasnya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam
genggaman tangan-Nya, seandainya Fâtimah binti Muhammad melakukan
pencurian, niscaya aku akan memotong tangannya”. (HR. Bukhari). 25

Dalam konteks kota Tangerang Selatan, maka pemberantasan korupsi


harus dimulai dari walikota. Bila dalam suatu negara, korupsi sudah menjadi
sebuah penyakit kronis, maka siapa pun yang dipercaya rakyat untuk menjadi
walikota, dan atau bahkan dipercaya rakyat untuk menjadi presiden, maka ia
harus memiliki visi, komitmen, dan keberanian yang memadai untuk melakukan
tindakan keras (crack down) terhadap para pelaku korupsi dan berani mengambil
resiko (risk taker) untuk dilawan barisan kaum korup serta resiko dilawan
preman dan para mafioso.
Dengan kata lain, perbaikan kerusakan mental para pejabat yang sudah
sedemikian parah, harus dimulai dari pucuk piramida. Kalau walikota selaku
pimpinan puncak di wilayah Kota Tangerang Selatan dapat memberikan contoh
yang konsisten, maka bagian-bagian piramida yang di bawahnya, diduga kuat,
akan mengikutinya. Tetapi, kalau politisi yang berada di puncak piramida masih
gamang dan komitmennya kurang jelas untuk merevolusi mental yang sempat
rusak, maka pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, jelas akan nampak
seperti berjalan di sebuah terowongan yang gelap dan panjang atau masih sangat
sulit diwujudkan.
Karena itu, keteladanan harus dimulai dari atas, yakni dari walikota.
Alasannya sederhana, masyarakat dalam sebuah negara pada umumnya masih
feodalistis. Hal ini relevan dengan pepatah Indonesia, guru kencing berdiri
murid kencing berlari atau bahkan menari-nari atau dalam pepatah inggris the
fish rots from the head (ikan membusuk dari kepalanya) masih sangat relevan. Para
pemimpin di tiap-tiap eselon harus menjadi kaca benggala. Kalau walikota
sebagai top elite politik di kota Tangerang Selatan yang berada di pucuk
piramida tidak merasa risih atau tidak punya rasa malu untuk melakukan
korupsi, misalnya niscaya para pejabat yang berada pada level bawahnya persis

25Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, hadits no. 3965, (t.tp: tp., t. th), jilid 13, h. 201

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 130
Mujar Ibnu Syarif

sama akan menirunya dengan cara yang lebih kreatif. Sebaliknya, jika Walikota
Tangerang Selatan mampu bersikap bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,
niscaya bawahan dan rakyatnya pun akan berusaha melakukan hal yang sama.
Sehubungan dengan hal ini, pakar kepemimpinan John C. Maxwell
dalam The Power of Leadership menyatakan sebagai berikut:
”The most effective leadership is by example, not edict. Ninety percent of people learn
visually, nine percent verbally, and one percent of the rest with other
senses”(Kepemimpinan yang paling efektif adalah yang mampu memberikan
contoh dalam perbuatan nyata, bukan hanya sekedar retorika. Sembilan puluh
persen manusia belajar secara visual, sembilan persen secara verbal, dan satu
persen sisanya dengan indera lainnya).26

Berdasarkan pendapat Maxwell tersebut, dapat ditarik kesimpulan


bahwa ternyata seseorang lebih banyak belajar dengan cara mengikuti apa yang
dilihatnya. Karena itu, kredibilitas seorang pemimpin hanya dapat diakui dan
haknya untuk diikuti rakyatnya adalah tidak lain semata-mata didasarkan pada
kemampuannya untuk menampilkan diri sebagai suri tauladan bagi rakyatnya
dalam keseharian hidupnya (a leader’s credibility will only be recognized, earning
him the right to be obeyed in everyday life, if he has been able to demonstrate exemplary
behaviour which deserves to imitated by his people).
Dalam konteks negara non-muslim, jika ingin berhasil memberantas
korupsi, cara Cina dapat dijadikan salah satu teladan yang terbaik. Sewaktu
dipimpin perdana menteri Zhu Rongji, Cina mengkampanyekan slogan anti
korupsi, memberlakukan hukuman mati bagi koruptor dan berani menantang
siapa pun rakyat Cina untuk menembak dirinya di tempat bila dia terbukti
melakukan korupsi. Pada pelantikannya sebagai Perdana menteri pada bulan
Maret tahun 1998, Zhu Rongji melontarkan pernyataan sebagai berikut ”Untuk
melenyapkan korupsi, saya menyiapkan 100 peti mati. Sembilan puluh sembilan
untuk koruptor, dan satu untuk saya bila saya melakukan perbuatan yang
sama”. Ungkapan sedemikian sangar yang kemudian menjadi sangat terkenal itu
kemudian diulang-ulang selama beberapa bulan, lewat koran dan televisi. Hal
ini merupakan bagian dari kampanye pemerintah Cina untuk memberantas
korupsi dari negeri Cina yang kala itu merupakan negara yang berada pada
gugus teratas negara paling korup di dunia.27
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 8 Maret 2002, Zhu Rongji
membuktikan kata-katanya. Hari itu, pengadilan Beijing menjatuhkan hukuman
mati bagi Hu Changqing, mantan wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, karena
terbukti menerima suap sebesar 660.000 dollar AS atau sekitar 5,2 miliar rupiah
dari pengusaha. Itu hanyalah satu di antara 4300 orang Cina yang telah

26http://chitoryu.com/leadership.htm, diakses 2 Desember 2010


27Mujar Ibnu Syarif, “Contemporary Islamic Political Discourse on Political Ethics of The
State Officers”, artikel yang belum dipublikasi, FSH UIN Jakarta, 2013, h. 22

131 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Masalah dan Solusi Patologi Sosial di Kota Tangerang Selatan

menjalani eksekusi hukuman mati sampai tahun 2002 karena terbukti korupsi
dan melakukan kejahatan lain.
Dampak positif yang dapat dipetik setelah pemberantasan korupsi
dilakukan secara tegas adalah mendukung terciptanya kepastian hukum yang
jelas. Sehingga negeri Cina kemudian menjadi tujuan investasi teraman di dunia
yang mapu menghimpun dana masuk 50 miliar dollar AS setiap tahunnya.
Bahkan sejak beberapa tahun terakhir, Republik Rakyat Cina (RRC) juga
menunjukan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, yakni rata-rata di atas
tujuh persen pertahun.
Ibarat tubuh, agar masyarakat Kota Tangerang Selatan dapat tahan
terhadap berbagai macam penyakit, maka daya imunitasnya haruslah
ditingkatkan. Satu di antara upayanya adalah melalui vaksinasi. Selanjutnya,
layaknya penyakit fisik, maka setiap jenis penyakit masyarakat yang ada di Kota
Tangerang Selatan juga perlu dilakukan diagnosa yang tepat sehingga
memungkinkan diberikan obat dan terapi yang berberbeda, tepat, dan akurat
sesuai dengan jenis penyakit yang ada.
Sebagai contoh saja, untuk tiga jenis penyakit sosial yang sangat besar
dampak negatifnya bagi masyarakat Kota Tangerang Selatan khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya, yaitu (1) kemiskinan; (2) ketidaktahuan,
dan (3) keterbelakangan peradaban, maka cara meningkatkan daya tahan
(imunitas) sosial agar terhindar dari ketiga macam penyakit tersebut, meminjam
kerangka yang ditawarkan Mohammad Nuh, mantan menteri pendidikan RI,
adalah melalui kependidikan. Selain sebagai vaksin sosial, pendidikan juga
merupakan elevator sosial untuk dapat meningkatkan status sosial. Selanjutnya,
mengingat akses pendidikan juga dipengaruhi oleh ketersediaan satuan
pendidikan dan keterjangkauan dari sisi pembiayaan maka perlu kiranya
pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk secara terus menerus menyiapkan
ketersediaan satuan pendidikan yang layak. Dari sisi keterjangkauan
pendidikan, pemerintah Kota Tangerang Selatan juga perlu menyiapkan Dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar dan menengah,
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Bantuan Siswa Miskin
(BSM), Bidik Misi dan Beasiswa. 28
Dalam konteks upaya pengentasan kemiskinan, pemerintah Kota
Tangerang Selatan perlu merancang program pemberian bantuan modal usaha
untuk mengangkat kesejahteraan ekonomi kaum miskin. Lebih dari itu, regulasi
khusus juga perlu disusun untuk mengatur supaya para pebisnis dengan modal
besar, semisal para pemilik Alfamart dan Indomart tidak semudah membalikan
telapak tangan dalam membangun dan mengelola bisnis dengan kapital besar
yang berpotensi mematikan usaha para pengusaha kecil dan menengah. Jika

28 Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pada Peringatan Hari Pendidikan


Nasional Tahun 2013, Kamis, 2 Mei 2013, lihat www.kemdikbud.go.id, diakses 12 Mei 2013

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 132
Mujar Ibnu Syarif

dimungkinkan, pemerintah Kota Tangerang Selatan juga perlu menetapkan


regulasi yang dapat memaksa para pengelola Alfamart dan Indomart yang
belakangan ini tumbuh begitu subur layaknya jamur di musim hujan, untuk
mengakomodasi berbagai jenis barang dagangan dan atau kerajinan yang
dihasilkan para pengusaha kecil dan menengah untuk dapat dipasarkan di
Alfamart, Indomart, Giant, atau sentra-sentra bisnis lainnya yang dimiliki atau
dikelola para pebisnis kelap kakap yang ada di wilayah Kota Tangerang Selatan.
Sedangkan untuk mengatasi pengangguran, pemerintah Kota Tangerang Selatan
perlu menciptakan lapangan kerja baru untuk memberi kesempatan bekerja dan
memperoleh penghasilan bagi mereka yang masih menganggur.
Sedangkan untuk menyadarkan masyarakat supaya tidak mengonsumsi
narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba), menjalankan bisnis pelacuran,
perjudian, dan lain-lain kegiatan yang tergolong dalam kategori penyakit
masyarakat, maka perlu juga dirancang program khusus yang dapat
meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama. Dengan
begitu, diharapkan masyarakat luas dapat menghindarkan diri dari melakukan
berbagai tindakan menyimpang yang dilarang agama. Selain itu, Peraturan
Daerah (Perda) yang di dalamnya secara khusus diatur mengenai pelarangan,
penertiban, dan penanggulangan berbagai jenis penyakit masyarakat, terutama
pembatasan peredaran minuman keras (miras), penertiban prostitusi,
perjudian, dan lain-lain, agaknya juga perlu disusun, ditetapkan, dan
diberlakukan di seluruh wilayah Kota Tangerang Selatan. Jika kesemua hal
tersebut dapat diimplementasikan dengan baik, niscaya visi dan misi yang
dicanangkan pemerintah kota Tangerang Selatan untuk mewujudkan
Kota Tangerang Selatan sebagai kota yang bersih dari berbagai penyakit
kemasyarakatan bukan hanya sekedar mimpi. Akan tetapi, akan segera
dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Patologi sosial atau penyakit masyarakat adalah suatu
perbuatan/perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama, adat
istiadat, nilai-nilai Pancasila, dan juga dapat menganggu ketertiban
umum, keamanan, kesehatan, dan nilai-nilai kesusilaan yang hidup
dalam masyarakat yang semestinya dijunjung tinggi.
2. Penyakit masyarakat, antara lain meliputi kemiskinan, ketidaktahuan,
keterbelakangan peradaban, kecanduan heroin dan alkohol, melahirkan
anak luar nikah, kemiskinan, gratifikasi seks, pelacuran (prostitusi),
korupsi, perkelahian atau tawuran antar pelajar, perdagangan manusia,

133 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Masalah dan Solusi Patologi Sosial di Kota Tangerang Selatan

perjudian, homosex, lesbian, sodomi, gelandangan, pengemis, waria,


perbuatan cabul, porno aksi, dan premanisme.
3. Paling sedikit ada tiga hal utama yang menjadi akar atau penyebab
lahirnya penyakit masyaraka yaitu faktor ekonomi, faktor budaya, dan
faktor psikologis.
4. Beberapa jenis penyakit masyarakat yang saat ini sudah menggejala di
Kota Tangerang Selatan, antara lain terorisme, narkoba dan seks bebas,
minuman keras (miras), gelandangan dan pengemis (gepeng), orang
terlantar, waria, prostitusi, korupsi, pengangguran, kemiskinan, buta
huruf, buta hukum, dan aliran sesat.
5. Solusi penanggulangan penyakit masyarakat di Kota Tangerang Selatan,
antara lain, dapat dilakukan dengan tampilnya semua elite politik Kota
Tangerang Selatan, mulai dari walikota dan para pejabat di bawahnya,
untuk menjadi suri tauladan dalam hal menjaga kebersihan diri dari
berbagai penyakit masyarakat, meningkatkan mutu pendidikan,
pemberian bantuan modal usaha, merancang program khusus yang
dapat meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama,
menyusun, menetapkan, dan memberlakukan Peratauran daerah (Perda)
Kota Tangerang Selatan yang di dalamnya diatur secara spesifik
mengenai pelarangan, penertiban, dan penanggulangan berbagai jenis
penyakit masyarakat.

Pustaka Acuan
Al-Qur’an al-Karim
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari. hadits no. 3965, t.tp: tp., t. th, jilid 13
Al-Ja’îtsan, Abdullâh. al-Manzhûmah al-Mutakâmilah Taqdhî ‘alâ al-Zhawâhir al-
Khathîrah, http://www.alriyadh.com, diakses 12 Mei 2013
Al-Mayzar, Hindun. Jam’u Muqarrar Musykilât ijtimâ’iyyah, Jâ’mi’ah Malik Sa’ûd,
t. th
Kartono, Kartini. Patologi Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 3 Tahun 2004
Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan penindakan Penyakit
Masyarakat
Peraturan Daerah Kabupaten Pelalawan Nomor 03 Tahun 2003 Tentang Penyakit
Masyarakat

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 134
Mujar Ibnu Syarif

Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu Nomor 1 Tahun 2009 tentang


Pelarangan dan Penertiban Penyakit Masyarakat
Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 5 Tahun 2006 tentang
Penanggulangan Penyakit Masyarakat
Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pada Peringatan Hari
Pendidikan Nasional Tahun 2013, Kamis, 2 Mei 2013, liha
kemdikbud.go.id, diakses 12 Mei 2013.
Wawancara dengan dua orang pelapor yang mengaku korban aliran sesat,
Pakujaya, Desember 2009

Internet
http://chitoryu.com/leadership.htm, diakses 2 Desember 2010
http://www.merriam-webster.com, diakses pada tanggal 12 Mei 2013
http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/11/masalah-sosial-523482.html, diakses
12 Mei 2013
http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/28/benarkah-uin-jakarta-sarang-teroris-
359316.html
http://www.poskota.co.id , diakses 13 Mei 2013
http://kabartangsel.com/2013/02/mendesak-perda-tentang-pembatasan-miras-di-
tangsel/, diakses 13 Mei 2013
http://geraibanten.com/puluhan-gepeng-waria-terjaring-razia-satpol-pp-tangsel,
diakses 13 Mei 2013
http://globaltangsel.com/baca/332/jelang-ramadhan-tangsel-dibanjiri-pengemis/,
diakses 13 Mei 2013
http://m.tangerangnews.com/baca/2012/07/31/7676/satpol-pp-tangsel-gencar-
razia--pekat-, diakses 13 Mei 2013
http://inpekorjak.wordpress.com/2011/07/18/tersangka-korupsi-alat-berat-
tangerang-selatan-ditangkap-kejari-tigaraksa/, diakses 13 Mei 2013
http://metrotangsel.com/wooww-76-persen-lahan-di-tangsel-dikuasai-
pengembang/ , diakses 13 Mei 2013
http://www.rmol.co/read/2012/04/24/61690/200-Ribu-Orang-Tangerang-Selatan-
Positif-Buta-Hukum- , diakses 13 Mei 2013

135 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Masalah dan Solusi Patologi Sosial di Kota Tangerang Selatan

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 136
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.137-152, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.7854
---------------------------------------------------------------------------------------

Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum


Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah*
(Urgency of Legal Aid for the Poor by Local Government)

Bachtiar
FH Universitas Pamulang
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisaksi Jakarta
E-mail : bachtiarbaital@gmail.com

10.15408/sjsbs.v3i2.7854

Abstract:
Implementation of legal assistance by local governments that are formalized into a
regional regulation is essential in order to ensure and realize equality before the law
and access to justice for everyone, especially the poor as vulnerable groups with legal
problems. For local governments, the provision of legal aid is a form of commitment
and political will of local governments within the framework of regional autonomy
aimed at providing protection to their citizens, one of which relates to access to
justice as the principle of equal treatment in the face of law and government with no
exception as set forth in Article 27 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia.
Keywords: Legal Aid, Poor People, Local Government

Abstrak:
Penyelenggaraan bantuan hukum oleh pemerintah daerah yang diformilkan ke
dalam suatu peraturan daerah sangat diperlukan dalam rangka untuk menjamin dan
mewujudkan persamaan dihadapan hukum dan akses pada keadilan bagi setiap
orang terutama masyarakat miskin sebagai kelompok masyarakat yang rentan
bermasalah dengan hukum. Bagi pemerintah daerah, penyelenggaraan bantuan
hukum merupakan bentuk komitmen dan political will pemerintah daerah dalam
kerangka otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada
warganya, salah satunya berkaitan dengan akses pada keadilan sebagai
pengejewantahan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan dengan tanpa kecuali sebagaimana dituangkan dalam Pasal 27 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945.
Kata Kunci: Bantuan Hukum, Masyarakat Miskin, Pemerintah Daerah

Diterima tanggal naskah diterima: 9 Mei 2016, direvisi: 12 Juli 2016, disetujui untuk terbit:
*

14 Agustus 2016.

137
Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah

Pendahuluan
Hak untuk memperoleh bantuan hukum merupakan hak asasi bagi
seseorang yang terkena masalah hukum. Sebab memperoleh bantuan hukum
merupakan salah satu bentuk akses terhadap keadilan bagi mereka yang
berurusan dengan hukum. Memperoleh bantuan hukum juga merupakan salah
satu perwujudan dari persamaan di depan hukum. Prinsip equality before the law
ini sudah dimuat dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945),
yaitu bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal
tersebut merupakan konsekuensi Negara Indonesia sebagai negara hukum.
Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Norma ini
menurut Bambang Sutiyoso bermakna bahwa dalam Negara Republik Indonesia,
hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Karena itu, tata
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara harus berpedoman pada
norma hukum.1
Dalam kerangka demikian, maka hukum harus ditempatkan sebagai
acuan tertinggi dalam keseluruhan proses penyelenggaraan negara. Negara
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggara
kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya yang dilakukan di bawah kekuasaan
hukum. Konsekuensi logisnya, seluruh sistem penyelenggaraan ketatanegaraan
harus berdasarkan konstitusi. Penyelenggaraan negara yang didelegasikan
kepada organ-organ negara harus berjalan sesuai dengan koridor hukum yang
ditentukan oleh konstitusi. Singkatnya, setiap penyelenggaraan kekuasaan
negara atau pemerintahan selalu terbangun oleh dan berlandaskan pada prinsip-
prinsip serta ketentuan-ketentuan konstitusi.2 Dalam negara hukum, negara
melalui konstitusi mengakui dan melindungi hak asasi setiap warga negara.
Negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, kesetaraan, keadilan gender, penegakan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.3
Dalam rangka menjamin hak konstitusional bagi setiap warga negara
yang mencakup perlindungan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan
hukum, dan perlindungan hak asasi manusia, pada tanggal 04 Oktober 2011
Pemerintah dan DPR secara bersama-sama telah menyetujui undang-undang

1 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan


Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 9.
2 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian UU
Terhadap UUD, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2015, hlm. 1.
3 Bachtiar, “Kajian Akademik Atas Rancangan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan
Tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu”, Laporan Hasil Penelitian, Fakultas
Hukum Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, 2015, hlm. 1.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 138
Bachtiar

yang mengatur bantuan hukum yakni, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011


tentang Bantuan Hukum (selanjutnya disebut UU Bantuan Hukum). Kehadiran
UU Bantuan Hukum ini paling tidak menjawab ekspektasi yang tinggi dari
masyarakat, akan penyelesaian persoalan bantuan hukum di Indonesia, dimana
sampai saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang tak mendapatkan akses
terhadap bantuan hukum.4
Kehadiran Undang-Undang Bantuan Hukum menimbulkan konsekuensi
pembebanan kewajiban kepada Pemerintah untuk mengalokasikan dana
penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBN. Pendanaan penyelenggaraan
bantuan hukum dialokasikan pada anggaran kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM RI. Namun Pembentuk
Undang-Undang Bantuan Hukum menyadari bahwa dana yang dialokasikan
dalam APBN tidak akan mampu untuk memenuhi semua permohonan bantuan
hukum yang ada di seluruh daerah. Untuk itu Undang-Undang Bantuan Hukum
melalui ketentuan Pasal 19 memberi ruang bagi daerah untuk mengalokasikan
dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD. Undang-Undang Bantuan
Hukum memang tidak membebankan kewajiban bagi daerah untuk
mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum. Karena dalam
ketentuan Pasal 19 ayat (1) menggunakan frasa ‘dapat’, sehingga tersedia pilihan
bagi daerah apakah akan mengaturnya atau tidak. Akan tetapi apabila daerah
berkehendak mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam
APBD, maka Pemerintah Daerah dan DPR Daerah harus mengaturnya dalam
Peraturan Daerah.
Dalam kerangka yang demikian, menjadi penting untuk mengetahui dan
menganalisis urgentsi teoritis bagi pemerintah daerah dalam upaya pemenuhan
hak-hak konstitusional warga negara, terutama hak atas bantuan hukum,
khususnya bagi anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu di setiap
Kabupaten atau Kota, yang diwujudkan dengan membentuk suatu Peraturan
Daerah tentang Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin. Kebutuhan tersebut
didasarkan pada kenyataan masih adanya penduduk miskin yang rentan
bermasalah dengan hukum. Selama ini, pemberian bantuan hukum yang
dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang yang tidak
mampu secara ekonomi, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan
karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak

4 Permasalahan untuk mendapatkan keadilan meskipun terbatas pada bantuan hukum,


sebenarnya adalah masalah yang tidak mudah diuraikan. Hal ini disebabkan karena masalah akses
mendapatkan keadilan bukan hanya masalah hukum semata melainkan juga masalah politik,
bahkan lebih jauh lagi adalah masalah budaya. Persoalannya bertambah rumit apabila melihatnya
dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang semakin meluas, tingkat buta huruf yang
tinggi dan keadaan kesehatan yang memburuk. Lihat Adnan Buyung Nasution, dkk., Bantuan
Hukum Akses Masyarakat Marginal terhadap Keadilan, Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan
dan Perbandingan, LBH Jakarta, Jakarta, 2007, hlm. 3.

139 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah

konstitusional mereka. Keberpihakan pemerintah daerah terhadap


masyarakatnya yang bermasalah dengan hukum melalui upaya pemberian
bantuan hukum belum menjadi inisiatif dari Pemerintah daerah

HAM dan Hak Bantuan Hukum Dalam Optik Negara Hukum


Esensi dari negara hukum adalah terwujudnya supremasi hukum sebagai
salah satu sendi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam kaitan inilah hukum harus senantiasa tampil sebagai sarana yang harus
mewarnai kehidupan, baik orang perorangan, masyarakat, maupun lembaga-
lembaga negara dan pemerintahan.5 Dalam berbagai literatur hukum dinyatakan
bahwa salah satu syarat bagi suatu negara hukum adalah adanya jaminan atas
HAM. Semua konsepsi negara hukum yang pernah dikemukakan oleh para
pemikir tentang negara dan hukum selalu meletakkan gagasan perlindungan
HAM sebagai ciri utamanya. Dalam konsep negara hukum baik rechstaat
maupun the rule of law terdapat perlindungan HAM yang tidak hanya menjadi
persyaratan normatif bagi ada tidaknya negara hukum, tetapi secara empirik
persyaratan tersebut harus dilaksanakan oleh negara yang telah mengklaim
sebagai negara hukum.6
Dengan posisi HAM yang sangat sentral dalam makrokosmos maupun
mikrokosmos kehidupan bangsa manusia, maka tidak ada seorang ataupun
penguasa dapat merampas atau mengurangi hak dasar manusia.7 Bahkan hak
asasi manusia itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh
negara. Negara dapat saja tidak mengakui hak-hak asasi manusia, akan tetapi
dengan tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia itu
menunjukkan bahwa negara itu martabat manusia belum diakui sepenuhnya.8
Karena itu, adanya pengakuan dan perlindungan atas hak asasi setiap warga
negara oleh konstitusi baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD

5 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi,
Alumni, Bandung, 2008, hlm. 18. Dalam perspektif negara hukum, supremasi hukum (rule of law)
harus ditegakkan secara konsekuen agar hukum berfungsi mengendalikan, mengawasi dan
membatasi kekuasaan. Hukum tidak boleh digunakan sebagai instrumen politik dari kekuasaan
(rule by law) untuk membenarkan tindakan penguasa yang merugikan rakyat dan negara. Karena
itu, negara adalah komponen utama yang harus menegakkan hukum yang dibuatnya sendiri. John
Pieris & Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan
Kadaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, 2007, hlm. 29.
6 Ni’matul Huda & Sri Hastuti Puspitasari (ed.), Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun
Prof.Dr. Moh. Mahfud MD, SH. Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan, FH UII Press-
Pascasarjana FH UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 5.
7 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta, 2008, hlm.
329.
8 Frans Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 121-122.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 140
Bachtiar

1945 – merupakan bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang berdiri di


atas prinsip negara hukum.9
Dalam pandangan kritis Sri Soemantri, adanya jaminan terhadap hak-hak
dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap penguasa dalam
negara tidak dapat dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang kepada warga
negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga mempunyai arti adanya
keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga
negara.10 Bagi Sudarto Gautama, dalam suatu negara hukum selain terdapat
persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batas-batas kekuasaan ini juga
berubah-ubah, bergantung pada keadaan. Namun, sarana yang dipergunakan
untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik negara maupun
individu adalah subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Karena itu,
dalam suatu negara hukum, kedudukan dan hubungan individu dengan negara
senantiasa dalam keseimbangan. Kedua-duanya mempunyai hak dan kewajiban
yang dilindungi oleh hukum.11
Dalam konsep yang demikian, bukan hanya dipahami bahwa negara
hukum bertujuan mengakui dan melindungi HAM, dalam arti negara menjamin
setiap warga negaranya agar bebas dalam lingkungan hukum yang sesuai
dengan ketentuan undang-undang sebagaimana yang dikemukakan oleh
Frederich Julius Stahl,12 akan tetapi HAM dalam konteks negara hukum harus
juga dipahami sebagai suatu kenyataan dan kesadaran hukum yang hidup
dalam masyarakat yang harus dijunjung tinggi oleh setiap individu masyarakat
sebagai suatu norma atau kaidah hukum dalam tata pergaulan hidup
masyarakat.
Negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum mengakui
supremasi hukum, tetapi dalam praktik tidak mengakui dan menghormati hak
asasi manusia sehingga negara tersebut tidak dapat dan tidak tepat disebut
sebagai negara hukum dan secara diametral bertentangan dengan teori negara

9 Pidato Pengukuhan Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Hak Asasi Manusia Di
Indonesia”, dalam Abdul Ghofur Anshori & Sobirin Malian (ed.), Membangun Hukum Indonesia:
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 249-250.
Pengakuan hukum atas HAM sangatlah penting bagi setiap warga negara, karena mereka bebas
beraktivitas tanpa diganggu aparat negara. Begitu juga aparat negara yang melakukan pelanggaran
HAM, dapat diproses secara hukum. Lihat Didit Hariadi Estiko dan Novianto M. Hantoro (ed.),
Reformasi Hukum Nasional Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang Produk Pemerintahan Transisi 1998-
1999, P3I Sekjen DPR RI, Jakarta, 2000, hlm. 105.
10 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm.
74.
11 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, 1983, Bandung, hlm. 3
12 Penegasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formal
karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.

141 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah

hukum itu sendiri.13 Hanya dalam sistem hukum yang responsif atau
akomodatiflah maka hak-hak warga negara dihormati dan berkembang. Dalam
negara hukum, usaha untuk melindungi, menghormati, memajukan, dan
memenuhi hak-hak warga negara dapat menjadi ukuran tingkat penegakan
hukum, peradaban, kemajuan, dan kematangan demokrasi suatu negara. Dengan
demikian, menempatkan orang perorang sebagai subjek hukum dan bebas
menikmati hak asasinya sebagai warga negara menjadi variabel utama.
Sementara itu, masyarakat kecil dan miskin begitu sulit mendapatkan
keadilan tanpa adanya campur tangan dan bantuan dari negara. Perbedaan
sosial dan permasalahan pada struktur sosial masyarakat tak akan dapat
diselesaikan tanpa adanya campur tangan negara. Hadirnya negara terkait
adanya kesenjangan sosial di masyarakat bertujuan membuka kesempatan
kepada kelompok masyarakat rentan untuk mendapatkan keadilan. Usaha dan
campur tangan negara untuk menciptakan kesejahteraan tidak terpusat pada
bidang ekonomi semata, namun juga dalam bidang hukum seperti pemberian
bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Bantuan hukum dimasukkan sebagai
salah satu program peningkatan kesejahteraan rakyat.14
Dalam literatur bahasa Inggris, Istilah bantuan hukum itu sendiri
dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah yang berbeda yaitu legal aid
dan legal assistance. Istilah legal aid biasanya digunakan untuk menunjukkan
pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa di bidang
hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma
atau probono, khususnya bagi mereka yang tidak mampu atau miskin. Sementara
istilah legal assistance dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan
hukum kepada mereka yang tidak mampu, ataupun pemberian bantuan hukum
oleh para advokat yang mempergunakan honorarium.15
Menurut Adnan Buyung Nasution, bantuan hukum adalah legal aid, yang
berarti pemberian jasa dibidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam
suatu kasus atau perkara : (i) pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan
cuma-cuma; (ii) bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang
tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin; dan (iii) dengan demikian yang

13 A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika


Yuridis, Sosial, Politik; Dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham (Hukum Hak Asasi Manusia) dalam
Masyarakat, Edisi Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 49.
14 Hal tersebut dapat dilihat dalam catatan sejarah Amerika, pada tahun 1964 negara
tersebut mendorong adanya bantuan hukum sebagai bagian dari program untuk mendorong
kesejahteraan masyarakat. Selain di Amerika, masalah bantuan hukum juga terjadi di Inggris yakni
sekitar tahun 1967. Perkembangan tersebut tidaklah terjadi secara kebetulan, akan tetapi agak
banyaknya tersebut disebabkan karena semakin rumitnya kedudukan dan peranan pribadi-pribadi
sebagai warga negara untuk mencapai kesejahteraan. Lihat Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum
Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 55.
15 Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1983,
hlm.17-18.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 142
Bachtiar

menjadi motivasi utama konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan
jalan membela kepentingan hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan buta
hukum.16
Dalam pengertian yang lebih luas maka definisi bantuan hukum
diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan masyarakat yang tidak
mampu dalam bidang hukum. Bantuan hukum bisa diartikan sebagai pemberian
jasa hukum kepada orang yang tidak mampu biasanya diukur secara ekonomi.
Ini juga bisa diartikan, penyediaan bantuan pendanaan bagi orang yang tidak
mampu membayar biaya proses. Karena bantuan hukum itu melekat sebagai
sebuah hak, maka ada dua esensi dari bantuan hukum, yaitu : rights to legal
representation dan access to justice.
Oleh karena itu, mendapatkan bantuan hukum merupakan hak asasi
yang dimiliki oleh setiap orang. Hak asasi tersebut merujuk pada syarat setiap
orang untuk mendapatkan keadilan, tanpa melihat perbedaan. Dengan bahasa
lain, setiap orang yang tidak mampu memiliki hak atas bantuan hukum ketika
dia bermasalah dengan hukum. Terpenuhinya hak atas bantuan hukum
merupakan bagian dari pemenuhan hak atas peradilan yang jujur dan tidak
memihak.
Hak atas bantuan hukum telah diterima secara universal. Hak bantuan
hukum dijamin dalam International Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR),
UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, dan UN
Declaration on the Rights of Disabled Persons. Hak ini dikategorikan sebagai non-
derogable rights, hak yang tak dapat dikurangi dan tak dapat ditangguhkan dalam
kondisi apapun. Hak ini merupakan bagian dari keadilan prosedural, sama
dengan hak-hak yang berkaitan dengan independensi peradilan dan
imparsialitas hakim. Pemenuhan keadilan prosedural ini tidak dapat dilepaskan
dari keadilan substantif, yaitu hak-hak yang dijamin dalam berbagai konvensi
internasional.17
Di Indonesia, hak atas bantuan hukum tidak secara tegas dinyatakan
sebagai tanggungjawab negara. Namun prinsip persamaan di hadapan hukum
dan pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum menunjukkan bahwa
hak bantuan hukum adalah hak konstitusional dan untuk itu negara menjamin
dan memastikan adanya perlindungan hak atas bantuan hukum dari setiap
orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan akses kepada
keadilan hukum. Jaminan dan kepastian tersebut terdapat dalam Pasal 1 ayat (3)

16 Adnan Buyung Nasution, dkk., Bantuan Hukum Akses Masyarakat Marginal terhadap
Keadilan, Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan, LBH Jakarta, Jakarta, 2007,
hlm. 13.
17 ILRC & Forum Solidaritas LKBH Kampus, Menjamin Hak Atas Bantuan Hukum Bagi
Masyarakat Marginal: Position Paper RUU Bantuan Hukum dan Peran LKBH Kampus, ILRC, Jakarta,
2010, hlm. 2.

143 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah

Perubahan Ketiga UUD 1945, Pasal 27 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 006/PUU-II/2004.18 Menurut Bagir Manan, adanya jaminan dan
perlindungan tersebut merupakan sebuah hal yang memberikan penanda
pentingnya bantuan hukum untuk menjamin hak setiap orang untuk
mempertahankan hak-haknya dari tindakan hukum yang sewenang-wenang dan
diskriminatif, sehingga tujuan negara untuk menciptakan persamaan di hadapan
hukum, dapat terlaksana karena berjalannya fungsi dari bantuan hukum
tersebut.19
Dalam negara hukum (rechtstaat) negara mengakui dan melindungi hak
asasi manusia setiap individu, sehingga semua orang memiliki hak untuk
diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaaan di
hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak statis. Persamaan di
hadapan hukum harus diimbangi oleh persamaan perlakuan (equal treatment).
Hal ini didasarkan pula pada Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
Dalam hal ini negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik
dari fakir miskin. Maka atas dasar pertimbangan tersebut, fakir miskin memiliki
hak untuk diwakili dan dibela oleh advokat/pembela umum baik di dalam
maupun di luar pengadilan (legal aid) sama seperti orang mampu yang
mendapatkan jasa hukum dari advokat (legal service). Penegasan ini memberikan
implikasi bahwa bantuan hukum bagi fakir miskin merupakan tugas serta
tanggung jawab negara dan merupakan hak konstitusional.20
Bantuan hukum biasanya merupakan program hukum untuk membantu
pencari keadilan bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan relatif buta hukum
khususnya,21 agar dapat membantu pencapaian pemerataan keadilan karena
dapat dipermudah oleh usaha-usaha terbinanya sistem peradilan pidana yang
terpadu. Pemberian bantuan hukum sangat berkaitan erat dengan proses
peradilan pidana, yang menganut prinsip-prinsip hukum modern, dan
mengikuti perkembangan masyarakat serta menghargai dan menjunjung tinggi
harkat kemanusiaan. Penegakan hukum melawan perlakuan diskriminatif yang
lahir akibat adanya perbedaan tindakan penegak hukum khususnya di dalam
kerangka NKRI perlu ditindaklanjuti dengan arah kebijakan yang mendorong

18 Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi dalam pertimbangannya menegaskan bahwa


UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum yang dengan
demikian berarti, bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagai bagian dari hak asasi
manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara, kendatipun undang-undang
dasar tidak secara eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan karena itu negara wajib menjamin
pemenuhannya.
19 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Yayasan Hak Asasi Manusia, Semokrasi dan Supremasi Hukum, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 59.
20 Ibid., hlm. 3.
21 Bambang Sunggono, Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung,
2001, hlm. 3-4.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 144
Bachtiar

jaminan perlindungan negara terhadap pelaksanaan hak-hak dasar masyarakat.


Jaminan perlindungan tersebut diarahkan kepada adanya akses keadilan bagi
para pencari keadilan, khususnya bagi mereka yang tidak mampu, melalui
suatu instrumen hukum yang membuka ruang bagi mereka untuk memperoleh
hak-hak konstitusional mereka, yaitu hak atas bantuan hukum.

Asas Equality Before The Law Sebagai Basis Bantuan Hukum


Equality before the law merupakan salah satu prinsip terpenting dalam
hukum modern. Equality before the law merupakan hak asasi setiap manusia
untuk diakui sekaligus dijamin adanya persamaan setiap warga negara di
hadapan hukum.22 Equality before the law itu sendiri dalam arti sederhananya
adalah semua orang sama di depan hukum.23 Menurut Subhi Mahssani, equality
before the law, dimaknai sebagai “persamaan secara hukum dan undang-undang
ialah persamaan seluruh manusia di hadapan undang-undang, tanpa ada
perbedaan di antara mereka, baik karena perbedaan etnis, warna kulit, agama,
bangsa, keturunan, kelas dan kekayaan”. Selanjutnya dikatakannya pula, bahwa
persamaan secara undang-undang, meliputi dua aspek, yaitu aspek persamaan
dalam memperoleh perlindungan undang-undang dan aspek persamaan dalam
hak, kemudian dikatakan pula bahwa persamaan yang merupakan hak asasi
manusia, ialah persamaan di depan hukum dan perundang-undangan dimana
persamaan itu meliputi perlindungan yang sama atas hak-hak mereka.24
Prinsip ini menjadi salah satu sendi doktrin rule of law, selain dari
supremasi hukum (supremacy of law) dan hak asasi manusia (human rights).
Equality before the law adalah the principle under which each individual is subject to the
same laws, with no individual or group having special legal privileges.25 Artinya, setiap
warga negara tidak boleh ada yang menikmati keistimewaan dalam setiap proses

22 Hak asasi manusia secara universal pada dasarnya terbagi ke dalam tiga kerangka besar
yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak manusia sebagai suatu
bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak sipil dan politik yang dimiliki oleh setiap
individu mencakup juga hak asasi di bidang hukum. Hak asasi manusia di bidang hukum di
antaranya adalah hak untuk mendapat persamaan di hadapan hukum yang dikenal dengan istilah
equality before the law. Lihat Binziad Kadafi, et al., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi Studi Tentang
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia & Asia
Foundation, Jakarta, 2001, hlm. 218.
23 Pengertian definitif dari prinsip equality before the law dalam pengertian Pancasila
mempunyai perbedaan dengan prinsip yang dianut oleh negera-negara demokrasi barat, yaitu
bahwa persamaan kedudukan dan kebebasan di Indonesia adalah kebebasan yang bertanggung
jawab. Artinya, hak asasi manusia tidak bersifat mutlak karena setiap warga negara wajib
mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, pemerintah berhak mengambil
tindakan kepada warganya, asalkan dapat dipertanggungjawabkan.
24 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2007,
hlm. 29.
25 www.wikipedia.com., diakses tanggal 18 September 2015.

145 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah

penegakan hukum. Apabila ada terjadi kebalikan maka pengingkaran terhadap


prinsip equality before the law akan melahirkan diskriminasi dalam kedudukannya
di depan hukum.
Equality before the law adalah pilar utama dari bangunan negara hukum
(state law) yang mengutamakan hukum di atas segalanya (supreme of law).
Pengakuan kedudukan tiap individu di muka hukum ditempatkan dalam
kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial (social stratum). Karena
itu, equality before the law ini merupakan salah satu manivestasi dari negara
hukum sehingga mengharuskan adanya perlakuan sama bagi setiap orang di
depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet).26 Dalam prinsip ini terkandung
makna perlindungan yang sama di depan hukum (equal justice under the law) dan
mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum. Dalam negara hukum,
negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga
semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum
(equality before the law). Persamaaan di hadapan hukum harus diartikan secara
dinamis dan tidak statis. Persamaan di hadapan hukum harus diimbangi oleh
persamaan perlakuan (equal treatment).
Tujuan utama adanya equality before the law adalah menegakkan keadilan
dimana persamaan kedudukan berarti hukum tidak membedakan siapapun
yang meminta keadilan kepadanya. Diharapkan dengan adanya asas ini tidak
terjadi suatu diskriminasi dalam supremasi hukum di Indonesia dimana ada
suatu pembeda antara penguasa dengan rakyatnya.27 Prinsip equality before the
law menjadi jaminan untuk mencapai keadilan hukum, tanpa ketiadaan pihak
yang bisa lepas dari hukum ketika melakukan terlibat dalam proses penegakan
hukum. Prinsip equality before the law merupakan asas dimana terdapatnya suatu
kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa ada suatu pengecualian.
Prinsip equality before the law bisa dijadikan sebagai standar untuk mengonfirmasi
kelompok-kelompok marjinal atau kelompok minoritas.
Prinsip equality before the law telah diintrodusir dalam konstitusi sebagai
suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Hal itu ditemui dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada pengecualiannya. Dianutnya asas ini dalam Pasal 27 ayat (1)

26 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007, hlm. 20.
Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek
(KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui
Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik
pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping
hukum kolonial.
27 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya
dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Widya Padjajaran, Bandung, 2009, hlm.113.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 146
Bachtiar

tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukan sama
dihadapan hukum dan pemerintahan. Prinsip ini kemudian dipertegas lebih
lanjut dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun
1945.
Pasal-pasal tersebut pada hakikatnya memberikan makna bahwa setiap
warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal
dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah
ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di
depan hukum. Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan
perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang
setara, maka warga negara ketika berhadapan dengan hukum tidak ada yang
berada diatas hukum. No man above the law, artinya tidak keistimewaan yang
diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang
memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas
hukum.
Subyek hukum dalam prinsip equality before the law diberi perlindungan
dari berbagai diskriminasi hukum, baik aspek substansi hukumnya atau
penegakan hukum oleh aparatnya.28 Oleh karena itu hukum harus ditegakkan
meskipun langit akan runtuh (fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia et pereat
mundus) terutama negara-negara hukum dan demokrasi yang mengedepankan
adanya prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law). Hukum
harus mampu menjadi “panglima” yang adil dan arif bijaksana. Hukum harus
menampakkan keberpihakannya kepada nilai kebenaran dan keadilan sebagai
sumber tertinggi bagi penghargaan eksistensi kemanusiaan.

Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin oleh


Pemerintah Daerah
Equality before the law and equal access to justice merupakan suatu prinsip
hukum universal yang menegaskan bahwa semua orang harus mendapat
perlakuan yang sama di muka hukum dan bahwa semua orang harus memiliki
kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan. Namun disadari bahwa
dalam realita sosial di masyarakat tak dapat dikesampingkan adanya keadaan-
keadaan tertentu membuat tidak semua golongan di masyarakat dapat dengan
mudah merasakan kesejahteraan termasuk kesempatan untuk mendapatkan
keadilan (access to justice). Kelompok masyarakat miskin merupakan contoh
kelompok yang sangat rentan mengalami ketidakadilan dalam masyarakat.29

28 Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, Rajawali
Pers, Jakarta, 2011, hlm. 198.
29 Kemiskinan atau tidak mampu dapat diartikan adalah ketidak-cukupan seseorang
untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang dan papan untuk

147 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah

Fakta empiris menunjukkan bahwa tidak semua warga negara Indonesia


menikmati fasilitas bantuan hukum. Mengingat besarnya jumlah penduduk
Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa serta jumlah penduduk miskin yang
mencapai 32 juta jiwa serta wilayah Indonesia yang sedemikian luas, akses
keadilan bagi mereka yang tergolong miskin atau tidak mampu masih jauh dari
tingkat yang ideal. Perilaku pengabaian hak-hak terhadap kelompok miskin
yang berujung pada perlakuan tidak adil, tidak hanya dapat terjadi dalam proses
kehidupan bermasyarakat sehari-hari, namun juga bisa terjadi dalam proses
peradilan.30
Dalam setiap tahapan proses peradilan pidana, mulai dari tahap
praajudikasi maupun tahap ajudikasi kerap kali ditemui adanya tersangka dan
terdakwa, tidak didampingi oleh seorang pengacara/advokat. Pada saat proses
penyidikan hak-hak para tersangka kerap kali diabaikan akibat ketiadaan
pendampingan hukum. Demikian pula pada tahap pemeriksaan persidangan,
pembelaan yang dilakukan terdakwa hanyalah berdasarkan apa yang
diperbuatnya, padahal banyak cara dan argumentasi agar terdakwa tersebut
membela dirinya sendiri supaya keputusan hakim tidak berat sebelah. Lain hal
dengan seseorang narapidana yang didampingi penasehat hukum, dia masih
bisa menceritakan titik terang permasalahannya dan penasehat hukumnya bisa
memberikan yang menjadi dalih di depan persidangan yang meringankan
keputusan hakim terhadapnya. Demikian pula kenyataan tersebut ditemui
dalam sengketa-sengketa keperdataan. Bagi penggugat atau tergugat yang
didampingi oleh seorang advokat/pengacara/pembela umum lebih maksimal
dalam memperjuangkan hak-hak klien mereka, akan tetapi bagi yang tidak
memiliki akses pada pendampingan hukum, maka tidak menutup kemungkinan
dikalahkan dalam persengketaan perdata tersebut. Apalagi sistem penegakan
hukum di bangsa Indonesia belum berjalan sebagaimana mestinya.
Permasalahan lain adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
Bantuan Hukum sebagai hak-haknya yang harus di penuhi dan juga kurangnya
pemberitahuan atau sosialisasi dari pejabat yang berwenang dalam rangka agar
tersangka atau terdakwa mengetahui hak-haknya, sehingga kadang terkesan
menghalang-halangi proses pemberian bantuan hukum sebagai hak dari
tersangka atau terdakwa, dalam segala proses pemeriksaan dan dalam segala
tingka peradilan. Dengan adanya bantuan hukum terhadap terpidana harus
dilakukan oleh Pemerintah sedini mungkin hal ini untuk mencegah agar tidak

kelangsungan hidup dan meningkat posisi sosial ekonominya. Tetapi masalahnya adalah sumber-
sumber daya material yang dimiliki masyarakat miskin keadaanya sangat terbatas hanya dapat
digunakan untuk mempertahankan kehidupan fisiknya dan tidak memungkinkan untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan.
30 Hal tersebut sudah sejak lama terjadi sehingga tak salah jika Oliver Goldsmith, seorang
sarjana Inggris, pernah mengatakan, “Laws grid the poor and rich men rule the law”. Baca lebih lanjut
dalam S. Tasrif, Menegakkan Rule of Law di Bawah Orba, Peradin, Jakarta, 1971, hlm. 31.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 148
Bachtiar

ada lagi terpidana yang dirampas hak-haknya oleh para aparatur penegak
hukum misalnya banyak kasus yang sering dijumpai, banyak terpidana yang
telah ditahan melebihi masa pidana yang semestinya dijalani, kekerasan sering
muncul dalam lembaga pemasyarakatan bahkan intensitasnya menjadi sangat
tinggi, kekerasan menjadi ritual dan mengkristal dalam setiap pemeriksaan.
Kekerasan berlangsung mulai dari yang spesifik, sampai pada bentuk kekerasan
fisik yang menimbulkan cacat permanen.
Dengan melihat berbagai realitas tersebut, tampaknya persamaan di
hadapan hukum dan perlindungan hukum tidak dengan mudah dapat terwujud.
Perbedaan kemampuan, baik secara ekonomis maupun secara intelektual,
menyebabkan sulitnya para pencari keadilan dalam mengakses keadilan (acces to
justice). Diskriminasi sering terjadi terhadap masyarakat marginal, mulai dari
pembuatan aturan hukum, pelaksanaan, sampai penegakan hukum. Oleh karena
itu, demi terwujudnya persamaan dan perlakuan di hadapan hukum, bantuan
hukum mutlak diperlukan. Bantuan hukum bukan hanya prasyarat untuk
memenuhi hak konstitusional warga negara, tetapi juga merupakan salah satu
hak konstitusional warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh
negara. Disinilah titik penting pemenuhan bantuan hukum oleh negara,
termasuk oleh Pemerintah Daerah.
Pemerintah Daerah merupakan institusi penting dalam pelaksanaan
kehidupan bernegara. Sesuai peraturan perundang-undangan Indonesia,
Pemerintah Daerah merupakan pelaksana asas desentralisasi di mana
pemerintah pusat menyerahkan sebagian urusannya kepada daerah untuk
dikelola secara mandiri. Dalam konteks ini Pemerintah Daerah diberi kebebasan
untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah,
antara lain melalui penerbitan produk hukum daerah. Melalui kewenangan yang
dimilikinya, pada dasarnya Pemerintah Daerah mempunyai peluang untuk
mengimplementasikan kegiatan bantuan hukum, terutama bagi masyarakat
tidak mampu.
Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah
Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pada dasarnya juga memikul
tanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban negara dalam menjamin dan
melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Selama ini, pemberian
bantuan hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok
orang yang tidak mampu secara ekonomi, sehingga mereka kesulitan untuk
mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk
mewujudkan hak-hak konstitusional mereka.31

31M. Cappeletti menganggap bahwa bantuan hukum sangat penting, namun di banyak
negara khususnya negara berkembang belum memadai sehingga kesempatan masyarakat miskin
untuk mendapatkan keadilan masih sulit terpenuhi. “In most modern societies the help of lawyer is

149 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah

Selain, keberpihakan Pemda terhadap masyarakatnya yang bermasalah


dengan hukum melalui upaya pemberian bantuan hukum belum menjadi
inisiatif dari Pemerintah Daerah. Selama ini, pendekatan penguatan terhadap
masyarakat tidak mampu pada dasarnya dilakukan melalui program-program
pengentasan dan penguatan ekonomi masyarakat. Kalaupun ada program yang
berkenaan dengan bidang hukum, umumnya dilaksanakan dalam bentuk
penyuluhan hukum ataupun sosialisasi aturan-aturan perundang-undangan.
Berangkat dari situasi tersebut, Pemerintah Daerah hendaknya turut serta
memikul tanggung jawab negara dalam menjamin dan melindungi hak setiap
warga negara untuk mendapatkan akses terhadap keadilan melalui penerapan
program bantuan hukum yang dituangkan ke dalam suatu Peraturan Daerah.
Keberadaan Peraturan Daerah tentang bantuan hukum merupakan suatu hal
yang mendesak untuk diwujudkan sebagai bentuk komitmen dan political will
setiap Pemerintah Daerah terhadap masyarakat tidak mampu di daerahnya.
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum bagi
masyarakat miskin yang akan dibentuk oleh Pemerintah Daerah pada dasarnya
merupakan peraturan yang ditujukan untuk menjamin adanya pelayanan publik
yang disediakan Pemerintah Daerah kepada masyarakatnya. Melalui Peraturan
Daerah tersebut Pemerintah Daerah hendak menegaskan kembali jenis
pelayanan publik yang disediakan, bagaimana mendapatkan aksesnya serta
kejelasan kewajiban Pemerintah Daerah dan hak warganya. Melalui Peraturan
Daerah ini diatur prinsip-prinsip jaminan dan perlindungan hak atas bantuan
hukum yang menjadi bagian dari pelayanan publik bagi warga masyarakat di
daerah. Oleh karena itu, keberadaan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Bantuan Hukum urgen untuk diadakan tidak hanya dalam rangka menjamin hak
atas bantuan hukum dalam rangka untuk meningkatkan pelayanan public, tetapi
juga menjamin hak-hak konstitusional warga masyarakat demi mencapai tujuan
rakyat daerah yang sejahtera.

Kesimpulan
Pelaksanaan bantuan hukum yang diformilkan ke dalam suatu
Peratuaran Daerah sangat diperlukan dalam rangka untuk menjamin dan
mewujudkan persamaan dihadapan hukum dan akses pada keadilan bagi setiap
orang terutama masyarakat miskin sebagai kelompok masyarakat yang rentan
bermasalah dengan hukum. Hal ini juga dimaksudkan guna terciptanya prinsip
”fair trial” dimana bantuan hukum yang dilaksanakan oleh seorang pemberi
bantuan hukum dalam rangka proses penyelesaian suatu perkara, baik dari

essential, if not mandatory, to decipher increasingly complex laws and arcane procedures encountered in
bringing a civil claim to court...Until very recently, however, the legal aid schemes of most countries were
fundamentally inadequate.” M. Cappelleti & B. Garth, Acces to Justice, Giuffre-Sijthoff, Italy, 1978, hlm.
22.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 150
Bachtiar

tahap penyidikan maupun pada proses persidangan, amat penting guna


menjamin terlaksananya proses hukum sesuai dengan norma-norma hukum.
Kehadiran Peraturan Daerah ini paling tidak menjawab ekspektasi yang
tinggi dari masyarakat akan penyelesaian persoalan bantuan hukum di daerah,
dimana sampai saat ini masih terdapat masyarakat miskin yang tidak
mendapatkan akses terhadap bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum yang
dilakukan Pemerintah Daerah melalui suatu Peraturan Daerah merupakan salah
satu cara mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, khususnya dalam bidang
hukum. Bantuan hukum untuk masyarakat miskin ini, selain bertujuan untuk
memberdayakan keberadaan dan kesamaan hukum bagi seluruh lapisan
masyarakat, juga bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dan kepatuhan
hukum masyarakat, yaitu melalui penggunaan hak yang disediakan oleh
pemerintah dalam hal membela kepentingan hukumnya, baik di depan
pengadilan (litigasi) maupun penyelesaian non litigasi.

Daftar Pustaka
Abdurrahman. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Cendana Press, Jakarta,
1983.
Alkostar, Artidjo. Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta,
2008.
Anshori, Abdul Ghofur; Malian, Sobirin. (ed.), Membangun Hukum Indonesia:
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Kreasi Total Media,
Yogyakarta, 2008.
Anwar, Yesmil; dan Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan
Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Widya
Padjajaran, Bandung, 2009.
Bachtiar, “Kajian Akademik Atas Rancangan Peraturan Daerah Kota Tangerang
Selatan Tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu”,
Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Pamulang,
Tangerang Selatan, 2015.
Bachtiar. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian
UU Terhadap UUD, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2015.
Cappelleti, M.; and Garth, B.. Acces to Justice, Giuffre-Sijthoff, Italy, 1978.
Effendi, A. Masyhur; Evandri, Taufani Sukmana. HAM Dalam Dimensi/Dinamika
Yuridis, Sosial, Politik; Dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham
(Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat, Edisi Revisi, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2010.
El Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945
sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta,
2015.
Ence, Iriyanto A. Baso. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi, Alumni, Bandung, 2008.

151 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Urgensi Penyelenggaraan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Oleh Pemerintah Daerah

Estiko, Didit Hariadi; Hantoro, Novianto M.. (ed.), Reformasi Hukum Nasional
Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang Produk Pemerintahan Transisi
1998-1999, P3I Sekjen DPR RI, Jakarta, 2000.
Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983.
Huda, Ni’matul; & Puspitasari, Sri Hastuti. (ed.), Kontribusi Pemikiran Untuk 50
Tahun Prof.Dr. Moh. Mahfud MD, SH. Retrospeksi Terhadap Masalah
Hukum dan Kenegaraan, FH UII Press-Pascasarjana FH UII,
Yogyakarta, 2007.
ILRC & Forum Solidaritas LKBH Kampus, Menjamin Hak Atas Bantuan Hukum
Bagi Masyarakat Marginal: Position Paper RUU Bantuan Hukum dan
Peran LKBH Kampus, ILRC, Jakarta, 2010.
Kadafi, Binziad. et al., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi Studi Tentang Tanggung
Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia & Asia Foundation, Jakarta, 2001.
Manan, Bagir. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Yayasan Hak Asasi Manusia, Semokrasi dan Supremasi
Hukum, Alumni, Bandung, 2001.
Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007.
Nasution, Adnan Buyung. dkk., Bantuan Hukum Akses Masyarakat Marginal
terhadap Keadilan, Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan
Perbandingan, LBH Jakarta, Jakarta, 2007.
Pieris, John; Widiarty, Wiwik Sri. Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen
Terhadap Produk Pangan Kadaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, 2007.
Aji, Rizqon H Syah; Yunus, Nur Rohim. Filsafat Manusia Dalam Dimensi
Transendental, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2013.
Rukmini, Mien. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Alumni, Bandung, 2007.
Soekanto, Soerjono. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983.
Soemantri, Sri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,
1992.
Sulistia, Teguh; Zurnetti, Aria. Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi,
Rajawali Pers, Jakarta, 2011.
Sunggono, Bambang. Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,
Bandung, 2001.
Suseno, Frans Magnis. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.
Sutiyoso, Bambang; Puspitasari, Sri Hastuti. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005.
Tasrif, S. Menegakkan Rule of Law di Bawah Orba, Peradin, Jakarta, 1971.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 152
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.153-166, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.7855
---------------------------------------------------------------------------------------

Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri


Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang*
(Criminal Sanctions Due to Murder Against Wife in
The District Court of First Class A Padang)

Tresia Elda
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangsel
E-mail: tresia@gmail.com

10.15408/sjsbs.v3i2.7855

Abstract:
Criminal act of murder that occurred in the household has special properties and
special sanction. The specialty of this action lies in the relationship between the
perpetrator and the victim. In cases of criminal acts other actors sometimes do not
know the victim at all and often do not have a relationship. But the crime of murder
in the household perpetrators and victims have a special relationship that is related
by blood (parent, child, nephew), for example working relationship bonding
housemaid and living in a house with actors and marital relationships (husband and
wife). Final recent criminal acts of domestic homicide in the city of Padang increased
especially that caused the death of the victim conducted by the husband that caused
by some factors such us economy and other factors.
Keywords: Murder, Victim and Household.

Abstrak:
Tindak pidana pembunuhan yang terjadi di dalam rumah tangga memiliki sifat
khusus dan sanksi khusus. Kekhususan tersebut terletak pada hubungan antara
pelaku dan korban. Dalam kasus tindak pidana yang tidak ada hubungan suami
isteri terkadang tidak mengenal korban sama sekali. Namun tindak pidana
pembunuhan dalam rumah tangga, pelaku dan korban memiliki hubungan khusus
atau hubungan darah (orang tua, anak, keponakan) atau bisa juga ikatan kerja
sebagai pembantu rumah tangga dan hubungan perkawinan (suami istri). Dalam
beberapa waktu terakhir, kasus pembunuhan dalam rumah tangga mengalami
peningkatan secara jumlah di kota Padang yang dilakukan oleh suami yang
disebabkan beberapa faktor seperti faktor ekonomi dan lainnya.
Kata Kunci: Pembunuhan, Korban dan Rumah Tangga.

Diterima tanggal naskah diterima: 10 April 2016, direvisi: 28 Mei 2016, disetujui untuk
*

terbit: 30 Mei 2016.

153
Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang

Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup berdampingan antara
satu dan lainnya dalam satu lingkungan dengan hubungan timbal balik
(interaksi). Interaksi hubungan sosial saling berhubungan dan mempengaruhi
antara manusia dan lingkungan. Dalam menjalankan aktivitas sehari-hari terjalin
hubungan yang harmonis atau sebaliknya. Hubungan yang tidak harmonis
cederung mendorong individu atau kelompok melakukan kejahatan. Kondisi
ekonomi dan sosial ikut mempengaruhi terjadinya kejahatan di tengah
masyarakat.
Manusia dalam kehidupan sehari-hari berinteraksi satu dengan yang lain
dipandu oleh nilai-nilai dan dibatasi oleh norma- norma dalam kehidupan sosial.
Norma yang ada dalam masyarakat sekitarnya mampu dijadikan pedoman
masyarakat dalam memperoleh ketenteraman, perdamaian, dan kesejahteraan
sebagai tujuan hidup karena norma memberikan batas-batas pada perilaku
individu. Norma mampu mengidentifikasi individu dengan kelompoknya dan
menjaga solidaritas antara anggota masyarakat. Namun pada kenyataannya
sangat sulit menerapkan norma yang ada dalam masyarakat mengingat tidak
sedikit dari sebagian masyarakat itu melanggar norma dengan keserakahan,
keangkuhan dan lebih mementingkan kepentingan pribadi.1 Hal tersebut dapat
memicu masyarakat untuk melakukan kejahatan.
Masalah kejahatan tidak dapat dihindari dan selalu dialami manusia dari
waktu ke waktu. Tingkat kejahatan atau kriminalitas sebagai suatu
permasalahan sosial tidak berdiri sendiri. Kriminalitas merupakan suatu hasil
interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling
mempengaruhi satu sama lain.2 Kejahatan yang tidak dapat dibongkar dan
diselesaikan akan menimbulkan kegelisahan dalam kalangan masyarakat
terutama berkaitan dengan kejahatan terhadap nyawa manusia seperti
pembunuhan. Masyarakat menghendaki adanya kepastian hukum. Orang yang
telah dinyatakan bersalah harus mendapat hukuman yang setimpal, sedangkan
yang tidak bersalah harus dibebaskan. Hakim dalam menangani suatu kasus
harus dilakukan dengan sebaik-baiknya agar putusan yang diambil sesuai
dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Perspektif teori kontrol sosial menunjukkan pola-pola perilaku jahat
merupakan masalah sosial (dan hukum) yang membawa masyarakat pada
keadaan anomie, yakni keadaan yang kacau karena tidak adanya patokan tentang
perbuatan-perbuatan apa yang baik dan yang tidak baik. Para ahli kriminologi
beranggapan bahwa setiap masyarakat mempunyai warga yang jahat, karena
masyarakat dan kebudayaan yang memberikan kesempatan atau peluang

1 http://asefts63.wordpress.com/materi-pelajaran/pkn-kls-7/norma-norma-yangberlaku-
dalam-kehidupan-bermasyarakat-berbangsa-dan-bernegara/, diakses pada tanggal 29 September
2013.
2 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Aksara Baru, 1998), h. 4.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 154
Tresia Elda

seseorang untuk jahat. Akan tetapi, orang akan berpendapat bahwa perilaku
jahat adalah perbuatan-perbuatan yang menyeleweng dari kaidah-kaidah yang
berlaku dari perbuatan- perbuatan yang secara wajar dapat ditoleransi oleh
masyarakat.3
Kejahatan merupakan bagian dari masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari. Masalah kejahatan pada dasarnya bukan hal yang
baru lagi karena tidak ada satu negarapun di dunia ini yang bebas dari
kejahatan, baik itu negara maju maupun negara berkembang. Naik turunnya
kejahatan sesuai kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pertahanan
keamanan suatu negara. Tidak dapat dipungkiri jika suatu kejahatan selalu
muncul di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena kurangnya
kesadaran dari masyarakat sendiri dalam mentaati segala peraturan yang ada
serta kurangnya menjaga keamanan dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.
Keberadaan hukum dalam masyarakat tidak hanya dapat diartikan
sebagai sarana untuk menertibkan kehidupan masyarakat, melainkan juga
dijadikan sarana yang mampu mengubah pola pikir dan pola perilaku warga
masyarakat. Perubahan kehidupan sosial warga masyarakat yang semakin
kompleks mempengaruhi bekerjanya hukum dalam mencapai tujuannya. Oleh
karena itu, pembuatan hukum seharusnya mampu mengeliminasi setiap konflik
yang diperkirakan akan terjadi dalam masyarakat. Dalam menjalankan
fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai
tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai.
Dalam rangka mewujudkan proses hukum yang adil, maka penegakan
hukum tidak dapat dipandang secara sempit, namun harus secara luas. Dengan
demikian, penegakan hukum tidak hanya selalu dipahami sebagai pelanggaran
norma-norma hukum oleh tersangka melainkan juga penegakan terhadap
norma-norma yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak tersangka dan
terdakwa oleh aparat penegak hukum selama proses pemeriksaan berlangsung.
Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat
yang tertib menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya
ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi. Dalam mencapai tujuannya hukum bertugas membagi hak dan
kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan
mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian
hukum.4
Masalah penegakan hukum dewasa ini semakin sering disorot. Tekanan
kepada instansi penegak hukum semakin gencar dilakukan, baik oleh pencari
keadilan, maupun dari kalangan intelektual. Tekanan ini terjadi karena adanya

3 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2006), h. 214.
4 Moerti Hadianati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis

Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 127.

155 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang

fenomena dimana para penegak hukum seringkali tidak menjalankan misi


mulianya. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, para penegak hukum (polisi,
jaksa, dan hakim) seringkali melakukan tindakan yang bertentangan dengan
perasaan keadilan masyarakat, seperti perlakuan diskriminatif terhadap para
tersangka/terdakwa.5
KUHAP menghendaki adanya perlakuan yang sama bagi warga negara,
termasuk kepada para tersangka tanpa harus melihat status sosialnya. Demikian
juga halnya fenomena putusan pengadilan yang terkadang menimbulkan
kontroversi di tengah masyarakat yang diwarnai oleh tindakan praktik kolusi,
korupsi, dan nepotisme, sehingga mengakibatkan munculnya krisis kepercayaan
kepada aparat penegak hukum.6
Dalam upaya penegakan hukum, partisipasi masyarakat mempunyai
peranan yang sangat strategis, bahkan dapat dikatakan turut menentukan proses
peradilan pidana. Oleh karena itu, guna menjaga dan mengembangkan
partisipasi masyarakat, hendaknya aparat penegak hukum senantiasa
memberikan apresiasi kepada masyarakat khususnya saksi pelapor.
Dengan demikian, saksi (khususnya pelapor) akan dihargai. Apabila
kondisi ini tidak dipertahankan maka harapan untuk menumbuhkembangkan
partisipasi masyarakat dalam proses peradilan pidana sulit dicapai. Bahkan
sebaliknya, justru akan menimbulkan sikap apatis bahkan antisipasi kepada
aparat hukum yang pada gilirannya menyuburkan perbuatan anti sosial di tegah
masyarakat.
Aparat penegak hukum telah berusaha memberantas masalah kejahatan
yakni dengan melakukan proses hukum terhadap pelaku kejahatan untuk diadili
dan diberi sanksi pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun
sangat sulit bagi aparat untuk menanggulangi masalah kejahatan, hal ini
dibuktikan dengan lemahnya penegakan hukum, terutama lemahnya aparat
kepolisian dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Kesan citra masyarakat
terhadap kepolisian hampir di semua negara tetap masih belum membaik.
Kegagalan dalam menanggulangi kejahatan merupakan sasaran kritik dan celaan
masyarakat. Hal tersebut dapat menimbulkan krisis penegakan hukum dalam
masyarakat.7
Penanganan tindak pidana yang mengakibatkan kematian lebih sulit
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya, karena saksi utama yaitu korban
tidak dapat didengarkan keterangannya. Selain itu apabila terdapat kelainan
pada tubuh mayat, dengan berjalannya waktu akan mengalami perubahan yaitu

5 Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

(Yogyakarta: Laks Bang Pressindo, 2010), h. 95-96.


6 Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

(Yogyakarta: Laks Bang Pressindo, 2010), h. 95-96.


7 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: Refika Aditama,

1992), h. 117-118.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 156
Tresia Elda

pembusukan yang cepat berlanjut pada mayat. Hal ini menyebabkan gambaran
mengenai bukti tidak lagi sesuai dengan keadaan semula.

Kejahatan Terhadap Perempuan


Akhir-akhir ini di Indonesia banyak terjadi kasus tindak pidana terhadap
perempuan. Melalui media cetak dan elektronik dapat diketahui bahwa
kekerasan terhadap perempuan terjadi di berbagai kalangan baik kalangan
khusus atau masyarakat pada umumnya. Terjadinya kejahatan terhadap
perempuan tidak terlepas dari dianutnya budaya patrilinial oleh masyarakat
Indonesia. Perempuan adalah makhluk yang dianggap mempunyai fisik dan
psikis yang lemah sehingga selalu bergantung pada orang lain, dianggap bodoh
dan akan kalah jika berhadapan dengan kekuatan dan kekuasaan karena tidak
ada yang melindungi.8
Pada awalnya tindak pidana terhadap perempuan tidak ubahnya
sebagaimana kejahatan konvesional lainnya, tidak ditempatkan sebagai
kejahatan berkarakter khas yaitu spesifikasi pada korban dengan jenis kelamin
perempuan serta mempunyai dampak yang khas pula, baik secara khusus dari
itu bahkan tidak ada perlakuan khusus terhadap perempuan sebagai korban
yang mengalami dampak atas perilaku tindak pidana yang menimpanya
sehingga dikenal sebutan kejahatan terhadap perempuan.9
Kejahatan tidak mungkin ada tanpa adanya pelaku dan korban.
Viktimologi sebagai bidang ilmu yang lebih menyoroti korban maka viktimisasi
kriminal terhadap perempuan, akan lebih menyoroti perempuan sebagai korban
suatu kejahatan. Berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan terhadap
perempuan biasanya terjadi dalam lingkup rumah tangga. Fakta menunjukkan
bahwa tindak pidana terhadap perempuan sebagai pasangan telah memberikan
dampak negatif yang cukup besar bagi perempuan sebagai korban. Tidak seperti
tindak pidana lainnya, tindak pidana terhadap perempuan dalam rumah tangga
memiliki kekhususan. Kekhususan ini ditunjukkan dengan tipologi pelaku dan
korban yang sama, dengan frekuensi jumlah kejahatan yang terjadi bukan hanya
satu kali dilakukan namun berulang-ulang.10

Implementasi Teori Pemidanaan


Sepanjang periode riset ini, ada beberapa kasus yang ditemukan
khususnya di kota Padang. Kasus pertama, tindak pidana pembunuhan yang
terjadi di kota Padang antara terdakwa (JF) dan korban (AN) terbukti melakukan

8 http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_dalam_rumah_tangga, diakses pada tanggal 8 Juli 2013.


9 M. Munadar Sulaeman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan Dalam
Berbagai Displin Ilmu dan Kasus Kekerasan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), h. 78.
10 Aroma Elmina Martha, Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Indonesia Dan

Malaysia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2012), h. 1.

157 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang

tindak pidana pembunuhan, Peristiwa tersebut terjadi pada Bulan Desember


Tahun 2006.
Terdakwa melarikan diri setelah membunuh isterinya, sehingga pelaku
menjadi buronan polisi setelah memperoleh keterangan dari berbagai informasi
akhirnya polisi berhasil menemukan pelaku, dan pelaku tersebut tidak dapat
melarikan diri lagi karena polisi sudah menemukan tempat persembunyian
tersangka. Tersangka dibawa ke kantor Polresta Padang guna memberikan
kesaksiannya tentang informasi kronologi perkara pembunuhan yang diduga
dilakukan oleh pelaku untuk membunuh isterinya, pelaku mulai ditahan sampai
melewati masa pemeriksaan dan menjalani persidangan.
Berdasarkan fakta persidangan, Terdakwa mengakui bahwa awal
kejadian bermula terjadi pertengkaran. Terdakwa sering dimintai uang oleh
isterinya dengan nominal yang besar, dan terdakwa tidak dapat menyanggupi
kemauan dari korban, karena terdakwa hanya bekerja sebagai buruh dan
mempunyai penghasilan yang pas-pasan bahkan terkadang tidak cukup untuk
menghidupi keluarganya. Motif pembunuhan tersebut dilandasi ekonomi
sehingga terdakwa emosi dan membunuh isterinya dengan sebuah pisau.
Berdasarkan bukti yang ada, keterangan saksi, serta petunjuk dan keterangan
terdakwa itu sendiri. Jaksa mendakwa pelaku dengan dakwaan primer Pasal 340
KUHP, pembunuhan berencana yaitu:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun.”
Di samping itu dakwaan subsidair Pasal 338 KUHP, dengan tindak
pidana pembunuhan yaitu: “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.” Jaksa menuntut terdakwa dengan pidana seumur hidup.
Setelah terdakwa melewati beberapa kali persidangan. Oleh karena itu
berdasarkan pertimbangan dan dengan keyakinan hakim bahwa telah terjadi
tindak pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa. Majelis hakim melalui
putusannya menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara 14
(empat belas) tahun terhitung dari tanggal 16 Januari tahun 2007, karena terbukti
melanggar Pasal 338 KUHP.
Apabila dilihat dari putusan majelis hakim terhadap terdakwa yang
berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penulis
berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhi oleh hakim kepada terdakwa
setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya karena telah menghilangkan
nyawa korban/isterinya. Teori pemidanaan yang terkait dengan kasus yang
diteliti di lapangan yaitu: Pertama, teori absolut pembalasan yakni setiap
kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa memperhatikan akibat yang

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 158
Tresia Elda

mungkin timbul dari dijatuhkannya hukuman tersebut, sehingga teori ini hanya
melihat ke masa lampau, tanpa memperhatikan masa yang akan datang.
Kedua teori gabungan adalah unsur pembalasan dan pencegahan
terhadap terjadinya kejahatan dan pelanggaran, sehingga tata tertib masyarakat
tidak terganggu, serta memperbaiki diri si penjahat. Serta terkaitnya filsafat
dengan teori pemidanaan dalam penegakan sanksi pidana mengenai fungsi
fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang
meberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan
pemidanaan.
Fungsi ini secara normal dan intristik bersifat primer dan terkandung di
dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang ditetapkan
sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau
norma yang wajib ditegakkan dikembangkan dan diaplikasikan. Fungsi teori,
dalam hal ini sebagai meta-teori. Maksudnya, filsafat pemidanaan berfungsi
sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap teori-teori
pemidanaan.
Berdasarkan kedua fungsi asas, dalam proses implementasinya,
penetapan sanski pidana dan tindakan merupakan aktivitas program legislasi
dan/atau yudikasi untuk menormatifkan jenis dan bentuk sanksi (pemidanaan)
sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui penerapan sanksi. Maka
dari itu penulis mengambil kesimpulan bahwa penerapan sanksi pidana yang
diterapkan kepada pelaku (JF) tindak pembunuhan terhadap isteri (AN) sesuai
dengan teori pemidanaan yang dipergunakan.11
Kasus kedua, Perkara Nomor 94/ Pid.B/2011. Padang merupakan tindak
pidana pembunuhan yang terjadi di kota Padang pada tahun 2011 dengan
terdakwa NE yang membunuh isterinya FD. Terdakwa membunuh dengan
sebilah pisau. Terjadi di Kampung Jambak dalam Kelurahan Batipuh. Menurut
pengakuan terdakwa dia membunuh korban pada tanggal 19 Desember 2010.
Penyidikan dimulai pada tanggal 21 Desember 2010 sampai 9 Januari 2011
dengan nomor polisi SP-Han/95/XII/2010.
Proses penahanan terdakwa oleh penutut umum diperpanjang sampai
tanggal 7 Januari 2011. Perkara ini mulai disidangkan pada tanggal 28 Februari
2011 dengan nomor perkara 94/Pid/B/2011/PN.Pdg. Jaksa menuntut terdakwa
dengan mengunakan Pasal 338 KUHP sebagai dakwaan subsidair yaitu:
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” dan Pasal
340 KUHP sebagai dakwaan primer tentang pembunuhan berencana:
‘’Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana

Wawancara dengan terpidana JN, pada hari Rabu, tanggal 17 Oktober 2013 di LP Klas II
11

A Muaro Padang.

159 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang

mati atau pidana penjara semumur hidup atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.’’
Berdasarkan fakta persidangan, Terdakwa mengakui bahwa awal
kejadian bermula terjadinya pertengkaran karena terdakwa mendengar korban
berselingkuh dengan orang lain. Terdakwa merasa emosi dan membunuh
isterinya dengan senjata tajam berupa belanti panjang sepanjang 15 cm
berdasarkan alat bukti yang ada dan berdasarkan keterangan saksi yang
dihadirkan didepan sidang pengadilan, maka jaksa menuntut terdakwa yakni
lima belas tahun penjara.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada serta keyakinan yang
dimiliki oleh hakim, maka Majelis hakim (John Efrendi, SH, MH., Kamijon, SH.,
dan Zulkifli, SH, MH) melalui putusannya pada tanggal 15 Maret 2011
menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara 15 (lima belas)
tahun karena terbukti melanggar Pasal 338 KUHP.
Kalau dilihat dari putusan majelis hakim terhadap terdakwa yang
berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penulis
berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhi oleh hakim kepada terdakwa
setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya karena telah menghilangkan
nyawa korban/isterinya. Sesuai dengan aturan yang diterapkan dalam Kitab
Undang- Undang Hukum Pidana.
Teori pemidanaan yang terkait dalam penulisan ini dengan kasus yang
diteliti di lapangan yaitu Pertama teori absolut pembalasan yakni setiap
kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa memperhatikan akibat yang
mungkin timbul dari dijatuhkannya hukuman tersebut, sehingga teori ini hanya
melihat ke masa lampau, tanpa memperhatikan masa yang akan datang.
Kedua teori gabungan adalah unsur pembalasan dan pencegahan
terhadap terjadinya kejahatan dan pelanggaran, sehingga tata tertib masyarakat
tidak terganggu, serta memperbaiki diri si penjahat. Serta terkaitnya filsafat
dengan teori pemidanaan dalam penegakan sanksi pidana mengenai fungsi
fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang
memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan
pemidanaan. Fungsi ini secara normal dan intristik bersifat primer dan
terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang
ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran
atau norma yang wajib ditegakkan dikembangkan dan diaplikasikan.12
Kasus ketiga, perkara Nomor 163/Pid.B/ 2013 PN Padang merupakan
tindak pidana pidana pembunuhan yang terjadi di kota Padang terjadi tahun
2013 dengan terdakwa AF yang membunuh isterinya FT. Terdakwa mempunyai
2 (dua) orang isteri, dan FT merupakan isteri pertama (mantan). Terdakwa
membunuh dengan sebilah pisau. Tempat kejadian perkara yaitu di Simpang

12 Berkas Perkara Kasus Pidana, dikutip pada tanggal 26 September 2013.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 160
Tresia Elda

Tiga Rambutan, depan Komplek Perumahan Kordang Damai, Kelurahan Balai


Baru, Kecamatan Kuranji.
Setelah terdakwa membunuh isterinya terdakwa melarikan diri ke pesisir
selatan, dan setelah kejadian terdakwa melarikan diri ke kampung halamannya
di pesisir selatan, polisi mengumpulkan semua keterangan dilapangan, akhirnya
terdakwa diciduk oleh lima anggota reskrim Polsek kuranji di kampung
halamannya di pesisir selatan, dan polisi langsung menahan terdakwa di tahan
di Malposek Kuranji pada tanggal 22 Januari 2014. Menurut pengakuan
terdakwa dia membunuh isterinya pada tanggal 21 Januari 2013. Perkara ini
mulai disidangkan pada tanggal 11 April 2013 dengan nomor perkara
163/Pid.B/2013 PN.Padang.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada serta keterangan saksi di depan sidang
pengadilan, maka Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan dakwaan
alternatif mengunakan Pasal 44 (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 yakni
mengakibatkan matinya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima
juta rupiah), Pasal 338 KUHP yakni “Barangsiapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun,” dan Pasal 340 KUHP yakni ‘’Barangsiapa dengan sengaja
dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu terntentu, paling lama dua puluh tahun.”
Berdasarkan fakta persidangan, Terdakwa mengakui bahwa awal
kejadian bermula terjadinya pertengkaran. Pertengkaran berkelanjutan terus
menerus sehingga terdakwa dendam memang sudah menghabisi nyawa
isterinya, disebabkan karena terdakwa berkeinginan untuk rujuk dengan korban
sementara itu korban tidak bersedia disebabkan karena korban ingin menikah
dengan orang lain. Terdakwa sebelum mendatangi tempat kerja korban telah
membawa pisau belati dari rumah, Sebelum membunuh isteri/korban, terdakwa
melakukan penganiayaan berat yaitu menyayat bagian dada isteri.
Motif pembunuhan adalah dilandasi kecemburuan dan balas dendam.
Dengan alat bukti sebuah pisau belanti untuk menghabisi nyawa
korban/isterinya. Berdasarkan alat-alat bukti yang ada beserta keterangan saksi
dan keterangan terdakwa beserta petunjuk lainnya maka jaksa penuntut umum
menuntut terdakwa yakni pidana seumur hidup. Terdakwa AF telah melewati
persidangan selama 12 kali, oleh karena itu maka Majelis hakim (Muchtar agus
Cholif, SH., Jamaluddin, SH, MH, dan Kamijon, SH) melalui putusannya pada
tanggal 16 Juli 2013 menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana
penjara 20 (dua puluh) tahun karena terbukti melanggar pasal 340 KUHP.
Kalau dilihat dari putusan majelis hakim terhadap terdakwa yang
berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penulis
berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhi tersebut kepada terdakwa setimpal

161 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang

dengan perbuatan yang dilakukannya karena telah menghilangkan nyawa


korban/isterinya. Penulis berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhi oleh hakim
kepada terdakwa setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya karena telah
menghilangkan nyawa korban/isterinya sesuai dengan aturan yang diterapkan
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Teori pemidanaan yang terkait dalam penulisan ini dengan kasus yang
diteliti di lapangan yaitu: Pertama, teori absolut pembalasan yakni setiap
kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa memperhatikan akibat yang
mungkin timbul dari dijatuhkannya hukuman tersebut, sehingga teori ini hanya
melihat ke masa lampau, tanpa memperhatikan masa yang akan datang.
Kedua, teori gabungan adalah unsur pembalasan dan pencegahan
terhadap terjadinya kejahatan dan pelanggaran, sehingga tata tertib masyarakat
tidak terganggu, serta memperbaiki diri si penjahat. Serta terkaitnya filsafat
dengan teori pemidanaan dalam penegakan sanksi pidana mengenai fungsi
fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang
memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan
pemidanaan. Fungsi ini secara normal dan intristik bersifat primer dan
terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat.
Maksudnya, setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah
itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan
dikembangkan dan diaplikasikan. Fungsi teori, dalam hal ini sebagai meta-teori.
Maksudnya, filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan
melatarbelakangi setiap teori-teori pemidanaan. Berdasarkan kedua fungsi di
asas, dalam proses implementasinya, penetapan sanksi pidana dan tindakan
merupakan aktivitas program legislasi dan/atau yudikasi untuk menormatifkan
jenis dan bentuk sanksi (pemidanaan) sebagai landasan keabsahan penegakan
hukum melalui penerapan sanksi. Maka dari itu penulisan mengambil
kesimpulan bahwa penerapan sanksi pidana yang diterapkan kepada pelaku
(AF) tindak pembunuhan terhadap isteri (FT) sesuai dengan teori pemidanaan
yang dipergunakan.13
Kasus yang lain yang terjadi di kota Padang, dengan perkara Nomor
334/Pid.B/2013 PN.Padang yaitu seorang suami (MZ) membunuh isteri
mudanya/isteri siri (MR) di Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Provinsi
Sumatera Barat pada tanggal 7 April 2013. Terdakwa mulai disidangkan pada
tanggal 2 Juli 2013 dengan nomor register perkara 334/Pid.B/2013 PN Padang.
Terdakwa membunuh isterinya di Badan Pemberdayaan Masyarakat,
setelah itu terdakwa melarikan diri ke kampung halamannya dimana tempat
isteri pertamanya berada di kota Payakumbuh. Sesudah membunuh isteri sirinya
terdakwa memberitahukan kepada isteri pertamanya bahwa dia telah

Wawancara dengan terpidana AF, pada hari Rabu, tanggal 16 Oktober 2013 di LP Klas II
13

A Muaro Padang.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 162
Tresia Elda

membunuh isteri ketiganya. Sepanjang jalan menuju Payakumbuh terdakwa


mengatakan berniat ingin membeli baygon dan ingin meminumnya, akan tetapi
terdakwa mengurungkan niatnya karena mengingat isteri pertamanya dan
keluarganya beserta anak yang telah diberi korban yang sekarang berusia 3
tahun.
Sesampainya di Payakumbuh terdakwa langsung menceritakan kejadian
yang telah terjadi pada hari itu, akan tetapi keluarga terdakwa menyarankan
kepada pelaku agar terdakwa menyerahkan diri ke pihak yang berwajib di kota
Padang. Keesokan harinya pelaku menyerahkan diri ke pihak yang berwenang
diantarkan oleh keluarganya, terdakwa menyerahkan diri ke polisi dan
menceritakan apa yang terjadi kenapa dia sampai membunuh isterinya, dengan
rasa penyesalan dia menghabisi nyawa isteri yang telah memberinya satu orang
anak. Maka terdakwa mulai ditahan di kantor polisi pada tanggal 22 Januari
2014.
Berdasarkan alat-alat bukti yang ada beserta keterangan saksi dan
keterangan terdakwa beserta petunjuk lainnya, maka Jaksa penuntut umum
menuntut terdakwa dengan mengunakan Pasal 338 KUHP sebagai dakwaan
subsidair yang mana di dalam KUHP yakni “Barangsiapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain, di ancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun,” dan Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan
primer tentang pembunuhan berencana ‘’Barangsiapa dengan sengaja dan
dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
semumur hidup atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.” JPU menuntut terdakwa dengan pidana seumur
hidup.
Berdasarkan fakta persidangan, Terdakwa mengakui bahwa awal
kejadian bermula terjadinya pertengkaran karena terdakwa merasa kesal kepada
korban disebabkan korban sering meminta terdakwa untuk memasukkan nama
isterinya ke dalam daftar gaji suaminya, sementara korban merupakan isteri siri
terdakwa, permintaan korban ditolak oleh terdakwa. Oleh karena itu sering
terjadi pertengkaran antara pasangan suami isteri tersebut yang berujung
dengan pembunuhan yang dilakukan oleh suaminya terhadap korban/isterinya.
Dengan alat bukti yang digunakan oleh terdakwa untuk membunuh
isterinya dengan sebuah sangkur yang telah disediakan di dalam kantor
terdakwa di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan menusukkan sangkur
tersebut ke bagian dada kanan isterinya yang menyebabkan korban meninggal
dunia, terdakwa mulai disidangkan pada tanggal 2 Juli 2013. Setelah melewati
Sembilan kali persidangan maka Putusan majelis hakim (Yuenidar, SH., M.
Salam Giri Basuki, SH, dan Dinahayati Sofyan, SH, MH) pada tanggal 10
September 2013 menjatuhkan vonis pidana penjara selama 14 (empat belas)
tahun.

163 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang

Kalau dilihat dari putusan majelis hakim terhadap terdakwa yang


berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penulis
berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhi oleh hakim kepada terdakwa tidak
setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya karena telah menghilangkan
nyawa korban/isterinya.14
Teori pemidanaan yang terkait dalam penulisan ini dengan kasus yang
diteliti di lapangan yaitu: Pertama, teori absolut pembalasan yakni setiap
kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa memperhatikan akibat yang
mungkin timbul dari dijatuhkannya hukuman tersebut, sehingga teori ini hanya
melihat ke masa lampau, tanpa memperhatikan masa yang akan datang.
Kedua, teori gabungan adalah unsur pembalasan dan pencegahan
terhadap terjadinya kejahatan dan pelanggaran, sehingga tata tertib masyarakat
tidak terganggu, serta memperbaiki diri si penjahat. Serta terkaitnya filsafat
dengan teori pemidanaan dalam penegakan sanksi pidana mengenai fungsi
fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang
memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan
pemidanaan. Fungsi ini secara normal dan intristik bersifat primer dan
terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat.
Maksudnya, setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah
itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan
dikembangkan dan diaplikasikan. Fungsi teori, dalam hal ini sebagai meta-teori.
Maksudnya, filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan
melatarbelakangi setiap teori-teori pemidanaan.
Berdasarkan kedua fungsi di atas, dalam proses implementasinya,
penetapan sanski pidana dan tindakan merupakan aktivitas program legislasi
dan/atau yudikasi untuk menormatifkan jenis dan bentuk sanksi (pemidanaan)
sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui penerapan sanksi. Maka
dari itu penulis mengambil kesimpulan bahwa penerapan sanksi pidana yang
diterapkan kepada pelaku (MZ) tindak pembunuhan terhadap isteri (MR) sesuai
dengan teori pemidanaan yang dipergunakan.

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian di lapangan terhadap 4 (empat) kasus yang ada
tindak pidana pembunuhan dalam rumah tangga yang menyebabkan matinya
isteri di kota Padang, faktor- faktor penyebab terjadi tindak pidana pembunuhan
terhadap isteri yang menyebabkan matinya korban 4 (empat) diantaranya
dilatarbelakangi faktor ekonomi yakni suami tidak menyangupi kebutuhan
keluarganya, masalah isteri siri yang memaksa ingin di masukkan ke dalam

14Wawancara dengan terpidana MZ, pada hari Rabu, tanggal 16 Oktober 2013 di LP Klas
II A Muaro Padang.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 164
Tresia Elda

daftar gaji suaminya, dan 2 (dua) lainnya dilatarbelakangi faktor orang ketiga
dalam rumah tangga yakni diduga adanya laki- laki idaman lain.
Dari beberapa faktor penyebab yang diuraikan tersebut yang
menimbulkan pertengkaran antara suami dan isteri yang berdampak matinya
korban/ isteri dan tindak pidana pembunuhan dalam rumah tangga yang
menyebabkan matinya isteri di kota Padang, proses pemidanaan terhadap
pelaku hanya menggunakan KUHP tidak menggunakan pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Bentuk-bentuk penerapan sanksi hukum terkait pelaku tindak pidana
pembunuhan terhadap isteri yang menyebabkan kematian di Kota Padang yaitu
menggunakan pasal-pasal dalam KUHP yakni tindak pidana pembunuhan biasa
Pasal 338 KHUP dan tindak pidana pembunuhan berencana Pasal 340 KHUP.
Untuk memininalisir faktor terjadinya tindak pidana terhadap isteri, perlu
melibatkan keseriusan banyak pihak dalam penanganannya. Pemerintah dapat
bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk menindak pelaku tindak
pidana pembunuhan terhadap isteri yang berdampak matinya korban.
Dalam bentuk pemidanaan terkait pelaku tindak pidana pembunuhan
terhadap isteri yang menyebabkan kematian, pemerintah dan aparat penegak
hukum dalam menegakkan hukum dalam menindak pelaku tindak pidana
pembunuhan terhadap isteri yang berdampak matinya korban serta memberikan
efek jera bagi pelaku, agar tidak ada lagi korban selanjutnya.

Daftar Pustaka
Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam
di Indonesia, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: Refika
Aditama, 1992.
Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Aksara Baru, 1998.
Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2014).
Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-
1, Bandung: Fajar Media, 2013.
Martha, Aroma Elmina. Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di
Indonesia dan Malaysia, Yogyakarta: FH UII Press, 2012.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006.
Soeroso, Moerti Hadianati. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis
Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

165 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Sanksi Pidana Akibat Pembunuhan Terhadap Istri Di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang

Sulaeman, M. Munadar; dan Homzah, Siti. Kekerasan Terhadap Perempuan


Tinjauan Dalam Berbagai Displin Ilmu dan Kasus Kekerasan, Bandung: PT
Refika Aditama, 2010.
Tahir, Heri. Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia.
Yogyakarta: Laks Bang Pressindo, 2010.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 166
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.167-196, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.3676
---------------------------------------------------------------------------------------

Kewenangan LPPOM MUI Pasca Pemberlakuan


Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal*
(The Authority of Lppom MUI After the Enactment of Law Number 33 Year 2014
about Halal Product Guarantee)

Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangsel
E-mail: ade-septiawan@yahoo.com, mukri.aji@uinjkt.ac.id

10.15408/sjsbs.v3i2.3676

Abstract:
This study aims to determine the authority of LPPOM in establishing halal products
after the enactment of Law no. 33 Year 2014. Based on the research results, it is
concluded that there has been a change of authority of LPPOM MUI before and after
the coming into effect of Law no. 33 year 2014. For 23 years since its establishment,
LPPOM MUI has full authority over the establishment of halal certification, but post-
birth and enactment of Law no. 33 of 2014, it no longer has full rights to the
expenditure and certification of the guarantee of halal products, but only as partners.
The need for halal certification or halal label is very needed in Indonesia. Especially
the common people and especially the Muslim community in Indonesia, because
with the availability of guaranteed halal food products, at least Muslim consumers
no longer worry about the existence of a mixture of materials containing harmful
substances are prohibited, both legally and religiously.
Keywords: Authority, LPPOM MUI, and halal certification.

Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wewenang LPPOM dalam penetapan
produk halal pasca berlakunya UU No. 33 Tahun 2014. Berdasakan hasil penelitian
maka diperoleh kesimpulan bahwa terjadi perubahan wewenang LPPOM MUI
sebelum dan sesudah berlakunya UU No. 33 Tahun 2014. Selama 23 tahun semenjak
berdirinya, LPPOM MUI berwenang penuh atas penetapan sertifikasi halal, namun
pasca lahir dan berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014, ia tidak lagi
memiliki hak penuh atas pengeluaran dan penetapan sertifikasi jaminan produk
halal, melainkan hanya sebagai mitra. Kebutuhan sertifikasi halal atau label halal
memang sangat dibutuhkan di Indonesia. Terlebih masyarakat awam dan
khususnya masyarakat muslim di Indonesia, karena dengan tersedianya jaminan
produk makanan halal, setidaknya konsumen muslim tidak lagi khawatir akan
adanya campuran bahan-bahan yang mengandung zat berbahaya yang dilarang,
baik secara hukum negara maupun agama.
Kata kunci: Kewenangan, LPPOM MUI, dan sertifikasi halal.

Diterima tanggal naskah diterima: 11 Maret 2016, direvisi: 21 April 2016, disetujui untuk
*

terbit: 21 Mei 2016.

167
Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Pendahuluan
Dalam kehidupan, manusia membutuhkan makanan sehari-harinya.
Mereka membutuhkan makanan untuk kebutuhan dan kesehatan jasmani serta
rohaninya. Sejak dahulu umat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda dalam
persoalan makanan dan minuman, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.1
Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai umat muslim memilih
makanan yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran Islam banyak peraturan yang
berkaitan dengan makanan, dari mulai mengatur makanan yang halal dan
haram, etika makanan, sampai mengatur idealitas dan kuantitas di dalam perut.
Salah satu peraturan yang terpenting adalah larangan mengonsumsi makanan
atau minuman yang haram.
Mengonsumsi yang haram atau belum diketahui kehalalannya akan
berakibat serius, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Allah menyerukan
kepada umat manusia agar mengonsumsi makananan yang halal lagi baik dan
menyehatkan tidak lain adalah demi tercapainya kemaslahatan bagi umat
manusia itu sendiri. Hikmah dibalik perintah itu adalah agar agama, jiwa, akal
serta keturunan dan harta dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Dengan
terjaganya kemaslahatan tersebut seorang mukallaf diharapkan akan sanggup
menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini dan akan memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dewasa ini, isu tentang produk makanan dan minuman yang
diharamkan dan berbahaya sedang mendapatkan perhatian masyarakat. Produk-
produk makanan instan, makanan cepat saji, restoran sampai jajanan pasar
merupakan hal yang rawan dicemari oleh jenis makanan yang tidak halal baik
dari segi bahan, maupun prosesnya.2 Tuntutan konsumen akan produk halal
belakangan memang semakin kritis, mereka tidak sekedar menuntut produk
yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi bagi yang muslim, salah
satu yang menjadi konsen mereka adalah juga kehalalannya, label halal pun
menjadi ketentuan makanan tersebut dapat dikonsumsi atau tidak.
Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama RI Nomor 518 tanggal 30
November 2001 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal,
pemerintah kembali berusaha menerapkan labelisasi halal pada produk
makanan dan minuman. Keputusan tersebut disusul dengan SK 519 Tahun 2001
yang menunjuk Majelis Ulama Indonesia (MUI)3 sebagai lembaga pelaksana
pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal. Selain itu, melalui SK Nomor 525
Tahun 2001, Menteri Agama juga menunjuk peran percetakan Uang Republik

1 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), hlm.45.
2 Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram, (Malang: U1IN-Malang, 2007), hlm.
Iii.
3Selanjutnya penulis menggunakan singkatan MUI untuk menyebutkan Majelis Ulama
Indonesia.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 168
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

Indonesia (PERURI) untuk mencetak label halal yang nantinya akan diberikan
kepada produk yang dinyatakan halal oleh MUI.4
Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai dengan syariat Islam.5 Sertifikat halal ini merupakan syarat
untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak untuk
dikonsumsi oleh konsumen muslim. Pelaku usaha harus memenuhi syarat
tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh MUI untuk
memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha
memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan pada label
produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan
pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi
kehalalan produknya kembali.
Dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI untuk
menentukan makanan mana yang dapat dan tidaknya dikonsumsi, maka
makanan tersebut harus memenuhi syarat kehalalannya. Selain itu juga dalam
sertifikasi halal ini MUI menerapkan tarif untuk setiap makanan yang akan
diberikan sertifikat halal. Biaya tarif yang diterapkan oleh MUI dalam setiap
sertifikasi produk berkisar antara 3 sampai 4 juta rupiah. Biaya ini dirasakan
cukup mahal untuk dikeluarkan terutama bagi kalangan menengah ke bawah.
Predikat halal yang pada dasarnya merupakan ketentuan hukum Islam
yang memiliki tujuan untuk melindungi dan menjaga kemaslahatan umat dari
perbuatan di luar hukum Islam. Namun sayangnya hal tersebut telah dijadikan
peluang untuk meraih keuntungan dengan dijadikannya sebagai objek bisnis.
Oleh karena itu kewenangan MUI ini telah menjadi bahan perbincangan yang
serius di Parlemen.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia menjamin setiap konsumen
berhak untuk memperoleh informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan suatu produk. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 4 butir c UU
Perlindungan Konsumen; bahwa “konsumen berhak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa”. Hak atas
informasi ini sangat penting karena jika informasi yang diberikan kepada
konsumen tentang suatu produk tidak memadai, maka dapat merupakan salah
satu bentuk cacat produk, yakni disebut dengan cacat instruksi atau cacat karena
informasi yang tidak memadai.6

4Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram, hlm. iii.


5 Wiku Adi sasmito, “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat
dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, 2008, hlm. 14.
6Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. ke-7, Edisi ke-1, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 41.

169 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Pengertian Halal dan Haram Dalam Islam


Halal adalah sesuatu yang (diperkenankan) atau boleh dikonsumsi, yang
terlepas dari ikatan larangan, dan diizinkan oleh pembuat syariah untuk
dilakukan.7 Halal juga diartikan sesuatu yang jika digunakan tidak
mengakibatkan mendapat siksa (dosa).8 Sedangkan, haram adalah sesuatu yang
dilarang oleh pembuat syariat dengan larangan yang pasti, di mana orang yang
melanggarnya akan dikenai hukuman di akhirat, dan ada kalanya dikenai
hukuman juga di dunia.9
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia,
tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku
pemeluknya tidak lepas dari syariat yang dikandung agamanya. Melaksanakan
syariat agama yang berupa hukum-hukum menjadi salah satu parameter
ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya. Bagi kalangan muslim, jelas
yang dimaksudkan sebagai hukum adalah Hukum Islam, yaitu keseluruhan
aturan hukum yang bersumber dari Al-quran, dan untuk kurun zaman tertentu
lebih dikonkretkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau, yang lazim
disebut Sunnah Rasul.10
Hukum Islam mencakup berbagai dimensi abstrak dan dimensi konkret.
Dalam wujud memola yang bersifat ajeg di kalangan orang Islam sebagai upaya
untuk melaksanakan Titah Allah dan Rasulnya itu lebih konkret lagi, dalam
wujud prilaku manusia (amaliah), baik individual maupun kolektif, hukum Islam
juga mencakup substansi yang terinternalisasi ke dalam berbagai pranata sosial.
Dimensi dan substansi hukum Islam itu dapat disilang yang kemudian disebut
hukum islam dan pranata social. 11.
Terdapat catatan berkenaan dengan pengidentifikasian hukum Islam
dengan fikih, atau sebaliknya. Hal itu mengundang berbagai komentar, bahkan
kecaman, terutama dari kalangan sarjana hukum yang memiliki kepedulian
terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia. Sebagai contoh seperti
dikemukakan Mohammad Daud dan Yahya Harahap, ketika membahas tentang
beberapa masalah hukum Islam, yang berkenaan dengan diundangkan dan
berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,12
menyatakan bahwa manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang

7 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), hlm.13.
8 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011) Cet. Ke-3. hlm.
313.
9 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, hlm.13.
10 Mara Sutan Rambe, “Proses Akomodasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Pidana
Nasional” Jurnal Cita Hukum [Online], Volume II Number II (Desember 2015), h. 232.
11 Cik Hasan Bisri, Pilar Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada 2004), hlm.38.


12 Dapat dibaca tulisan Muhammad Daud Ali 1990: 28, dalam buku Cik hasan bisri, Pilar-

Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 170
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

dimaksud syariat Islam itu adalah fikih Islam?. Syariat Islam adalah hukum
Islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan fikih adalah perumusan
konkret syariat Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu pada tempat
dan suatu masa. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
Hal yang serupa dikemukakan oleh Harahap, ketika menyampaikan
informasi tentang latar belakang penyusunan dan perumusan hukum Islam
(KHI), yang menyatakan adanya kerancuan pemahaman dan penghayatan
masyarakat Islam Indonesia selama ini. Kerancuan itu tidak terbatas pada
masyarakat awam tetapi meliputi kalangan ulama dan lingkungan pendidikan
serta perguruan-perguruan tinggi Islam. Mereka selalu mengindentikan “fikih”
dengan “syariah” atau “hukum Islam”. Pengindentikan fikih dengan hukum
Islam telah melahirkan kekeliruan penerapan yang sangat keterlaluan. Dalam
menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama,
para hakim menoleh pada kitab-kitab fikih.13 Rujukan utama mereka pada kitab-
kitab fikih ulama mazhab.14
Catatan kedua, berkenaan dengan fikih sebagai salah satu dimensi
hukum Islam dan sebagai Ilmu hukum. Secara umum fikih didefinisikan sebagai
ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil-
dalil yang rinci.15 Namun juga diartikan sebagai kumpulan hukum tentang hal
yang bersifat praktis yang digali dari dalil yang rinci16 sebagaimana
dikemukakan oleh ‘Abd Wahab Kallaf. Apabila fikih didefinisikan sebagai ilmu,
maka dinyatakan secara deskriptif. Bahwa ia merupakan wacana intelektual
dengan menggunakan cara berfikir tertentu, tentang penataan kehidupan
manusia. Apabila diindentifikasi sebagai hukum merupakan kumpulan hukum,
atau sebagai salah satu dimensi hukum Islam. Yakni produk pemikiran fuqaha
yang dijadikan salah satu dalam penataan kehidupan manusia.17
Berkenaan dengan hal itu, maka fikih merupakan produk daya nalar
fuqaha, yang di deduksi dari sumber yang autentik kemudian dijadikan patokan
kehidupan yang dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang
sangat panjang. Ia disosialisasikan dan memberikan makna Islami terhadap
pranata sosial yang tersedia atau, bahkan, menjadi cikal bakal pranata sosial
yang baru. Produk pemikiran para fuqaha ini sangat besar pengaruhnya di
kalangan umat Islam sehingga terdapat kecenderungan di kalangan mereka

13 Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, hlm. 39.
14 Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri
(Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos
Wacana Ilmu, 1999, hlm. 21-97.
15 Al-ilmu bil ahkam assyar’iyah al-amaliyyah al-mukhtasabu minn adillatiha al tafshiliyah.

16 al majmu’atu al- akhkami assyariyati al-amaliyyati al-mustafaadatu min adillatiha

atafshiliyah.
17 Dapat dibaca Tulisan Mohammad Daud Ali dan Yahya Harahap, dalam buku Cik hasan

bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial.

171 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

bahwa fikih indentik dengan hukum Islam dan dapat ditemukan dalam berbagai
kitab fikih dari berbagai aliran mazhab.18
Berkenaan dengan kedua catatan di atas diharapkan kedudukan dan
posisi masing-masing menjadi jelas. Dimensi dan subtansi hukum Islam,
bagaikan bentuk dan isi. Gabungan keduanya dipandang sebagai aspek statis
hukum Islam. Sedangkan aspek dinamisnya terlihat dalam proses pemikiran dan
interaksi pengguna hukum Islam dalam kehidupan masyarakat yang amat luas
dan rumit, terutama dalam sistem masyarakat bangsa, baik dalam perspektif
masa lalu dan masa kini maupun prospeknya pada masa datang.
Hukum Islam berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap
sumber ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab
hadist. Kedua sumber itu kemudian dijadikan patokan dalam menata hubungan
antar hubungan sesama manusia dan antar manusia dan mahluk lainnya.
Hukum, sebagai unsur normatif dalam penataan kehidupan, dalam
bentuk dan jenis apapun, berkenaan dengan pengaturan dan kekuasaan.
Sedangkan kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi atau
mengarahkan manusia untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan sesuai
dengan kehendak (perintah atau larangan) yang berkuasa. Berkenaan dengan hal
itu, kekuasaan melekat pada Tuhan, melekat pada manusia dan melekat pada
organisasi masyarakat yaitu negara. Hal itu menunjukan bahwa kekuasaan itu
bervariasi, baik graduasinya maupun kawasannya. Oleh karena itu, daya atur,
daya ikat dan daya paksa hukum dalam penataan kehidupan manusia
tergantung pada graduasi kekuasaan yang memproduknya. Ada hukum yang
memiliki daya atur dan daya ikat yang longgar dan adapula yang kuat. Di
samping itu ada yang memiliki daya paksa walaupun dalam batas-batas
tertentu.
Prinsip dan fungsi hukum Islam dan hubungannya dengan keyakinan
dan kekuasaan, pada penjelasan di atas, menunjukkan bahwa hukum, dalam hal
ini hukum Islam, dibangun atas prinsip tawhid ‘l-lah. Dengan prinsip itu, ia
memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi transformasi keyakinan terhadap
kekuasaan (al-qudrah) dan kehendak (al-iradah) Allah dan Rasulnya ke dalam
nilai-nilai etik dan moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara
individual maupun secara kolektif. Prinsip itu menjadi dasar dan landasan
dalam rumusan kaidah hukum yang mengatur tentang apa yang harus
dilakukan (al-‘awamir) dan apa yang dilarang dan mesti ditinggalkan (al-nawahi)
oleh manusia.

18 Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri
(Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, hlm.
21-97.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 172
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

Kedua, fungsi mengatur berbagai kehidupan manusia yang


diinternalisasikan ke dalam pranata sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal
pranata sosial baru. Ketiga, fungsi mengikat manakala melakukan transaksi (al-
‘uqud) di antara manusia, baik antara individu (al akhwal al syakhshiyyah), maupun
antar individu dengan masyarakat termasuk yang berkenaan dengan hak-hak
kebendaan (al-madaniyah), dengan berpatokan dengan hukum. Keempat, fungsi
memaksa manakala ditetapkan oleh kekuasaan kolektif yang memiliki
kelengkapan alat, dalam hal ini penyelenggara dan aparatur negara, seperti
badan peradilan (al- qadha’).
Berkenaan dengan graduasi dan kawasan hukum Islam dapat dipilah
menjadi beberapa dimensi. Ia merupakan wujud hukum yang relatif konkret,
dibandingkan dengan nilai dan kaidah, dan berhubungan dengan yang
memproduknya. Dimensi-dimensi hukum Islam itu adalah: syari’ah, ilmu, fiqh,
fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha, dan adat.19

1. Dimensi syariah
Berdasarkan prinsip dan fungsi di atas, sumber hukum (mashadir al ahkam
atau al-adillah al-syari’ah) yakni ayat-ayat Al-Qur’an (kalam Ilahi) mencakup ayat
akidah dan ayat hukum kemudian diimplementasikan dalam sunah Rasulullah
(yang didokumentasikan dalam berbagai kitab hadist), dipahami sebagai hukum
Islam. Ia dideduksi dari kedua sumber itu, dengan dasar pandangan bahwa
Allah dan Rasulnya memiliki kekuasaan dan bentuk mengatur kehidupan
manusia (Al-Syar’i) dalam berbagai aspeknya.
Hukum yang didasarkan pada kedua sumber itu dikenal sebagai syariah.
Ia merupakan dimensi hukum Islam yang utama, yang menjadi sumber dalam
pembentukan dan pengembangan hukum Islam dimensi lainnya, dan menjadi
patokan dalam mengarahkan dan memberi makna terhadap berbagai pranata
sosial. Ia bersifat universal dan abadi, memiliki daya atur dan daya ikat terhadap
orang-orang yang beriman dan ia menjadi rujukan serta tolok ukur bagi dan
terhadap hukum Islam dalam dimensi lainnya.

2. Dimensi Ilmu
Upaya untuk mengeluarkan hukum (istinbath al-ahkam) dari kedua
sumber diatas, disusun berbagai perangkat dengan menggunakan cara berpikir
tertentu, terutama cara berpikir logis. Dengan mengacu kepada kedua sumber
hukum di atas, disusun metode dan alat memahami ayat dan hadis hukum. Oleh

19Sebagai bahan perbandingan: menurut Sunayati Hartono (1997: 246-247). Terdapat arti
tentang hukum yakni: 1. Peristiwa hukum, 2. Kaidah hukum 3. Pranata hukum 4. Lembaga hukum
5. Badan hukum 6. Keputusan hukum (Pengadilan) 7. Petugas hukum 8. Profesi hukum.

173 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

karena itu, dikenal hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah (al-‘ilm)
postulat yang digunakan bahwa Ulama yang menyusun dan merumuskannya,
memiliki kekuasaan (baca: otoritas atau kompetensi) ilmiah di bidang hukum
Islam.
Oleh karena, dimensi hukum Islam sangat lentur, maka daya atur dan
daya ikat amat longgar. Hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah
memiliki unsur-unsur subtansi, informasi dan metode sebagai penyangga
utamanya. Ia menjadi bagian sistem keilmuan yang bersifat universal dan
otonom, tanpa terikat oleh sistem sosial manapun. Ia seolah-olah anti struktur,
dan hanya menjadi konvensi di kalangan komunitas ilmiah (Ulama). Termasuk
dalam dimensi ini, falsafah hukum, ilmu ushul fiqh,20 ilmu fiqh dan tarikh tasyri’
yang belakangan ini dapat diindentikan dengan apa yang disebut sebagai sejarah
sosial hukum Islam.

3. Dimensi Fiqh
Salah satu hukum Islam yang dikenal di masyarakat, baik umat Islam
maupun komunitas ilmiah adalah fikih. Ia merupakan produk penalaran fuqaha
yang dideduksi dari sumber (ayat Al-Qur’an dan teks hadis) yang otentik.
Produk pemikiran mereka didokumentasikan dalam berbagai kitab fikih yang
disusun secara tematik dan mencakup berbagai bidang kehidupan. Mulai dari
thaharah sampai jihad. Ia dapat diidentifikasi sebagai kumpulan hukum yang
bersifat praktis (amaliah atau terapan).
Sementara itu, menurut al-‘Asymawi, fikih memiliki beberapa
karakteristik. Pertama, selalu disajikan sebagai suatu yang unik, yang tidak
dapat dibandingkan dengan kebudayan-kebudayan lain. Tetapi sebetulnya fikih
sangat dipengaruhi oleh hukum yurisprudensi Romawi-Bizantium. Kedua,
mula-mula fikih berkembang secara kasuistis, tanpa rencana dan sistem, karena
itu tidak mempunyai teori tentang hukum, politik atau ekonomi selain yang
dikembangkan oleh Imam Syafi’i. Ketiga, fikih kurang memberi kebebasan
kepada fuqaha karena situasi-situasi politik sepanjang sejarah Islam. Keempat,
ada kekurangan indenpendensi ijtihad, disebabkan oleh banyak faktor luar.
Keadaan ini memaksa fuqaha untuk tidak mencari pendapat baru tetapi mencari
hilah. Kelima, pembaruan hanya terbatas pada pemilihan terhadap pendapat-
pendapat dalam berbagai mazhab, pandangan yang mengindentikkan fikih
dengan hukum Islam.

20Mahdi Fadhl‘i-Lah (1987:5) mengindentikan Ilmu Ushul Fiqh dengan Ilmu Mantiq Syar’i
dengan mengadaptasi Ilmu Mantiq Aristoteles.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 174
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

4. Dimensi Fatwa
Dimensi lain dari hukum Islam itu adalah fatwa ulama (al ifta). Ia
merupakan respon ulama atas pertanyaan yang diajukan. Salah satu ciri fatwa
adalah kasuistis dan parsial. Berkenaan dengan hal itu, fatwa tidak memiliki
daya ikat bagi penataan kehidupan manusia, termasuk bagi pemohon fatwa itu
sendiri, hanya mengikat secara moral. Namun demikian, kebutuhan terhadap
fatwa semakin meningkat berkenaan dengan munculnya berbagai masalah
dalam kehidupan masyarakat.
Fatwa-fatwa MUI misalnya, merupakan respon ulama terhadap
perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia, berkenaan dengan
perubahan sosial yang dirancang secara nasional.21

5. Dimensi Nizham
Dimensi lainnya adalah tatanan atau sistem hukum (al-nizham). Ia
merupakan suatu kompleks hukum Islam yang tumbuh dan berkembang di
dalam kehidupan masyarakat. Mencakup materi hukum, bagaimana penerapan
hukum, institusi dan badan penyelenggara penerapan hukum, dan sarana
penunjang dalam penerapannya.

Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Umat Islam


Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu
tidak dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka atau rasa tidak suka.
Sebab, tindakan demikian dipandang sebagai tindakan membuat-buat hukum
atau tahakkum dan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang
Agama. (Q.S al a’raf: 7: 33).
Dalam Firman-Nya yang lain secara tegas melarang tahakkum (penetapan
hukum tanpa didasari argument, dalil) ini dapat dipahami dari Q.S an-Nahl: 16:
116). Allah Swt memerintahkan kepada hambanya agar memakan rezekinya
yang halal lagi baik dan mensyukurinya. Selanjutnya Allah Saw menerangkan
makanan yang diharamkan kepada mereka karena membahayakan mereka, baik
bahaya yang menyangkut agama maupun dunia. Makanan yang diharamkan itu
diantaranya bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah.
Kemudian Allah melarang hambanya untuk menghalalkan dan
mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan mereka semata dan
mengharamkan nama-nama yang mereka istilahkan sendiri, seperti bahirah,
sa’ibah, washilah dan haam yang mereka ciptakan pada masa jahiliah. Maka Allah

21 Lihat tulisan Muhammad Atho Mudzhar. 1993:83-84.

175 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

berfirman “dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut sebut
oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal ini haram’, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah.” Termasuk dalam kategori ini maka apa yang
mereka ciptakan sebagai bid’ah dengan menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.22 Atas dasar itu penentuan halal haram hanyalah hak
prerogatif Allah. Dengan kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu
termasuk bidang pangan, harus didasarkan pada Al-Qur’an, sunnah dan kaidah-
kaidah hukum.
Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan
peralatan yang canggih, kiranya dapat dikategorikan ke dalam kelompok
pangan yang tidak mudah diyakini kehalalannya. Apalagi jika produk tersebut
berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas nonmuslim, sekalipun bahan
bakunya berupa bahan suci atau tercampur, menggunakan atau bersentuhan
dengan bahan-bahan yang tidak suci atau tercampur dengan bahan haram.
Dari paparan diatas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak
setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya secara pasti
halal tidaknya suatu produk pangan, obat-obatan maupun kosmetika. Karena
untuk mengetahui hal tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup memadai
tentang pedoman atau kaidah-kaidah syariah Islam, itulah kiranya apa yang
jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Nabi Saw, dalam sebuah hadist popular:
“Halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas.

Hadis ini menunjukan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah jelas
kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamannya. Di samping itu,
dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup banyak hal yang samar-samar
(syubhat) status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh
banyak orang. Bagi umat Islam, hal tersebut yakni hal atau pangan kategori
syubhat, tidak dipandang sebagai persoalan yang mendapat perhatian besar dan
serius. Oleh karena tidak setiap orang dapat dengan mudah mengetahui
kehalalan atau keharaman suatu pangan sebagiamana dikemukakan diatas,
maka peranan Ulama sebagai kelompok orang yang dipandang memiliki
pengetahuan memadai tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk
memberikan penjelasan (fatwa) kepada masyarakat luas mengenai status hukum
pangan tersebut.
Perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik telah
terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 168. Berdasarkan ayat
tersebut, maka terdapat garis hukum, yaitu: Pertama, bahwa perintah ditujukan
bagi manusia, tidak saja kaum muslim. Kedua, bahwa manusia diwajibkan

22Muhammad Nasib ar-Rifa’I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir”, jilid
2, (Gema Insani Press, 1999), hlm.1073-1074.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 176
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

memakan makanan yang halal dan baik. Ketiga, bahwa mengikuti langkah-
langkah setan yang merupakan musuh utama manusia.
Konsep makanan berdasarkan ayat itu tidak sekedar halal, baik dari cara
memperolehnya, mengolahnya, hingga menyajikannya. Tetapi makanan juga
harus baik, baik secara fisik yang diharapkan tidak mengganggu kesehatan yang
mengkonsumsinya. Hal menarik adalah bahwa konsep makanan juga terkait
dengan nilai ketuhanan, bahwa ketika kita menolak memakan-makanan yang
halal dan baik, maka Allah menganggap telah mengikuti jejak langkah setan,
padahal setan adalah musuh nyata manusia. Allah menyatakan tentang
kehalalan pangan tertuang dalam Al-Qura’n Surah Al Maidah (5) ayat: 3.
Berdasarkan ayat tersebut maka dapat kita klasifikasikan atas segi fisik
hewan, meliputi: bangkai, darah, dan daging babi. Serta klasifikasi atas cara atau
proses, meliputi: hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, hewan yang
tercekik, hewan dipukul, hewan yang jatuh, hewan yang ditanduk dan hewan
yang diterkam binatang buas.
Tujuan pelaksanaan konsumsi yang harus diperhatikan, yaitu
dilarangnya mengonsumsi pangan yang ditujukan untuk berhala. Secara fisik
hewan: bangkai, darah, dan daging babi merupakan zat yang secara tegas
diharamkan. Zat pangan yang halal akan menjadi haram jika proses serta tujuan
konsumsi tidak sesuai dengan norma hukum yang tertuang dalam Surah Al-
Maidah ayat 3 tersebut.
Menarik untuk dikaji secara mendalam adalah berkaitan pula dengan
peranan negara untuk melindungi masyarakat muslim dalam kaitan dengan hak-
hak konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia masih
belum menyentuh permasalahan ini, mengingat fokus masih terbatas pada sisi
fisik barang serta jasa dan masih belum menyentuh pada kehalalan. Tingkat
kehalalan rupanya diatur oleh lembaga tersendiri yaitu LPPOM MUI padahal
sesungguhnya ini merupakan hal yang harus terintegrasi. Konsumen Muslim
yang sangat besar di Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah
membentuk sebuah lembaga perlindungan konsumen muslim.23

Penentuan Kehalalan Dalam Hukum Islam


Islam menetapkan bahwa asal segala sesuatu dan kemanfaatan yang
diciptakan Allah adalah halal, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah
disebutkan oleh nash yang shahih dan tegas dari pembuat syariat yang
mengharamkannya. Apabila tidak terdapat penunjukan-Nya kepada yang haram
maka tetaplah sesuatu itu pada hukum asalnya, yaitu mubah.

23 http://uai.ac.id/2011/04/13/opini-ilmiah-hukum/, Jumat, 6 Maret 2015.

177 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Di dalam menetapkan prinsip bahwa pada asalnya segala sesuatu yang


bermanfaat itu mubah. Allah sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu ini
dan menundukkannya untuk kepentingan manusia dan memberikannya sebagai
nikmat bagi mereka, kemudian mengharamkan semuanya buat mereka.
Bagaimana mungkin Dia menciptakannya untuk mereka, menundukannya buat
mereka, dan memberi mereka nikmat dengannya, lantas semuanya diharamkan-
Nya?, Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja karena
suatu sebab dan hikmah tertentu sebagaimana yang termaktub dalam al-Quran
dan sunnah.
Dengan demikian wilayah haram dalam Syariat Islam sangat sempit,
sedang wilayah halal sangat luas. Hal itu disebabkan nash-nash yang secara
shahih dan tegas mengharamkan itu jumlahnya amat sedikit, sedangkan
mengenai sesuatu yang tidak terdapat nash yang menghalalkan atau
mengharamkannya berarti tetap pada hukum asalnya yaitu mubah, dan
termasuk dalam wilayah yang dimaafkan Allah. Keharaman dapat diketahui
dengan nash, al-Quran dan Hadits.

Profil Lembaga
MUI adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama
dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-
langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis
Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah
para ulama, cendekiawan dan zuama yang datang dari berbagai penjuru tanah
air. Antara lain meliputi 26 orang ulama yang mewakili 26 propinsi di Indonesia,
10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat,
yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul
Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, al-Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani
Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang
merupakan tokoh perorangan.24
Dari musyawarah tersebut, menghasilkan sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”,
yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Selain itu kemajuan dan

24 http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, Rabu, 11 Maret 2015.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 178
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi


sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan
kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat
Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok
(ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin
dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam
yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya
persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.25
MUI bertujuan untuk terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khaira
ummah), dan negara yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan
jasmaniah yang diridhai Allah Swt (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Untuk
mencapai tujuannya, MUI melaksanakan berbagai usaha, antara lain
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat, merumuskan kebijakan
dakwah Islam, memberikan nasehat dan fatwa, serta merumuskan pola
hubungan keumatan, dan menjadi penghubung antara ulama dan umara.
MUI, sesuai niat kelahirannya adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama
dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian MUI tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan
kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri,
Terbinanya kerjasama yang dijalin atas dasar saling menghargai posisi masing-
masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi MUI. Hubungan dan
kerjasama itu menunjukkan kesadaran MUI, bahwa organisasi ini hidup dalam
tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari
tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antar
komponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.26

Sejarah LPPOM MUI


LPPOM MUI, Pelopor Standar Halal & Pendiri Dewan Pangan Halal
Dunia. Dalam sejarahnya, LPPOM MUI yang kini memasuki usia ke-23, mencatat
sejumlah prestasi yang membanggakan. Dalam negeri, kiprah pelayanan LPPOM
MUI semakin meningkat. Sejak tahun 2005 hingga Desember 2011, LPPOM MUI
telah mengeluarkan sedikitnya 5896 sertifikat halal, dengan jumlah produk
mencapai 97.794 item dari 3561 perusahaan. Angka tersebut tentu akan
meningkat jika ditambah dengan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPPOM
MUI daerah yang kini tersebar di 33 provinsi di Indonesia.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim mencapai 200 juta jiwa,
Indonesia sudah seharusnya melakukan langkah-langkah proaktif dalam
mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai pasar sekaligus penyedia produk halal

25 http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, Rabu, 11 maret 2015.


26 http://mui.or.id/sekilas-mui, Selasa, 17 Maret 2015.

179 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

bagi konsumen. Berkaitan dengan itu, pada 24 Juni 2011, Menteri Koordinator
Perekonomian Republik Indonesia, Dr. Ir. M. Hatta Rajasa telah mendeklarasikan
Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia. Deklarasi tersebut sejalan dengan berbagai
langkah yang dilakukan oleh LPPOM MUI, antara lain dengan mendesain dan
menyusun Sistem Sertifikasi Halal (SSH) dan Sistem Jaminan Halal (SJH) yang
telah diadposi lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri. LPPOM MUI adalah
pelopor dalam Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal secara internasional.
Diadopsinya standar halal Indonesia oleh lembaga luar negeri tentu
sangat menguntungkan Indonesia, baik bagi konsumen maupun produsen.
Sebab, konsumen terlindungi dari produk-produk yang tidak dijamin
kehalalannya. Selain itu, dengan standar yang telah diakui bersama, kalangan
pelaku bisnis juga memperoleh kepastian tentang persyaratan halal yang harus
mereka penuhi sebelum memasarkan produk mereka.
Sejarah perkembangan sertifikasi halal di Indonesia tak luput dari
merebaknya kasus lemak babi pada tahun 1988. Kasus yang berasal dari temuan
peneliti dari Universitas Brawijaya Malang itu tidak hanya menghebohkan umat
Islam, tapi juga berpotensi meruntuhkan perekonomian nasional karena tingkat
konsumsi masyarakat terhadap produk pangan olahan menurun drastis.27
Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat, maka
MUI pada 6 Januari 1989 mendirikan LPPOM MUI sebagai bagian dari upaya
untuk memberikan ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi
pangan, obat-obatan dan kosmetika. Sejak kehadirannya hingga kini, LPPOM
MUI telah berulang kali mengadakan seminar, diskusi dengan para pakar,
termasuk pakar ilmu syariah, dan kunjungan-kunjungan yang bersifat studi
perbandingan serta muzakarah. Semua dikerjakan agar proses dan standar
Sistem Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal yang terus dikembangkan oleh
LPPOM MUI senantiasa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kaidah agama. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan undang-undang yang
mengatur produk halal merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa dielakkan
lagi. Sebab undang-undang tersebut diperlukan untuk menjamin kepastian
penegakan hukum bagi para pelanggarnya. Inilah esensi negara hukum yang
sesungguhnya, yang menjunjung tinggi hak-hak warga negaranya atas prinsip
keadilan (fairness).28
Seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat yang
semakin tinggi, tantangan yang dihadapi oleh MUI dan LPPOM MUI juga
semakin besar. Salah satunya menyangkut keberadaan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal (UU No. 33 Tahun 2014 tentang JPH) yang digodok dan disahkan

27 http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17

Maret 2015.
28 http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17

Maret 2015.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 180
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

oleh DPR-RI Pada tahun 2014. Dari paparan diatas, jelas bahwa Undang0Undang
Jaminan Produk Halal (UU No. 33 Tahun 2014) sebagai payung hukum. Agar
masyarakat Indonesia terhindar dari bahaya produk-produk yang mengandung
zat-zat berbahaya, dan terhindar dari oknum pelaku usaha yang ingin meraup
untung sebanyak-banyaknya tanpa mengeluarkan biaya yang besar.
Dalam menjalankan fungsinya, LPPOM melakukan pengkajian dan
pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika
berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan maka hasil
pengkajian dan pemeriksaan tersebut dibawa ke Komisi Fatwa untuk dibahas
dari tinjauan syariah. Pertemuan antara sains dan syariah inilah yang menjadi
dasar penetapan oleh Komisi Fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam
bentuk sertifikat halal oleh MUI.29
Fatwa memberikan jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai
masalah keagamaan dan berlaku untuk umum. Keputusan fatwa adalah fatwa
MUI tentang suatu masalah keagamaan yang disetujui oleh anggota komisi
dalam rapat.30 Komisi Fatwa MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang
bertugas memberikan nasehat hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan
suatu hukum terhadap persoalan- persoalan yang sedang dihadapi umat Islam.
Keanggotaan komisi fatwa mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di
Indonesia.31
Komisi Fatwa bertugas mengkaji dan memberikan keputusan hukum
terhadap persoalan yang tidak secara (nyata) terdapat dalam al-Quran
maupun Sunnah. Lembaga fatwa ini merupakan lembaga yang independen
yang terdiri atas para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang kompeten dan
memiliki otoritas memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah.32

Sistem dan Prosedur Sertifikasi Halal MUI


Sertifikat halal bertujuan untuk memberikan kepastian kehalalan suatu
produk sehingga dapat menenteramkan batin yang mengkonsumsinya.33

29 Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal” dalam
Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se- Indonesia III Tahun
2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, hlm. 279-280.
30 Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hlm.
59.
31 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, loc. cit.

32 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Jakarta:
Departemen Agama RI. 2003, hlm. 56-57.
33 Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003, hlm.1

181 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan
syariat Islam, yaitu:
1. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan
yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain
sebagainya.
3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut
tatacara syariat Islam.
4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah
digunakan untuk babi barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu
harus dibersihkan dengan tatacara yang diatur dalam syariat Islam.
5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.34
Dengan kata lain produk halal adalah produk pangan, obat,
kosmetika dan produk lain yang tidak mengandung unsur atau barang haram
atau dilarang untuk dikonsumsi, digunakan atau dipakai umat Islam baik yang
menyangkut bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu dan bahan penolong
lainnya termasuk bahan produksi yang diolah melalui proses rekayasa
genetika dan iradiasi yang pengolahannya dilakukan sesuai dengan syariat
Islam.35
Setelah ditetapkan kehalalanya dalam rapat, dibuat keputusan fatwa
untuk produk-produk yang diputuskan dalam rapat secara tertulis sebagaimana
keputusan fatwa pada umumnya, selanjutnya dikeluarkan “Sertifikat Halal”.
Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan
produk yang diproduksinya dan sertifikat halal tersebut tidak dapat
dipindahtangankan. Sertifikat halal yang sudah berakhir masa berlakunya
termasuk fotokopinya tidak boleh digunakan atau dipasang untuk maksud-
maksud tertentu.36

Kewenangan Penent uan Jaminan Produk Halal


1. Proses Sertifikasi halal

34 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003, hlm. 2.
35 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal
Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hlm. 131.
36 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, op. cit., hlm. 2.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 182
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

Sebelum mencantumkan label halal suatu produk, produsen harus


mengajukan sertifikat halal bagi produknya. Dalam mengajukan sertifikat
halal, produsen terlebih dahulu diisyaratkan mempersiapkan Sistem
Jaminan Halal seperti diuraikan dalam bagan dalam tulisan ini.
37 Bagan Proses sertifikasi halal dalam bentuk diagram alir:

Persiapan Sistem Jaminan Halal

Pendaftaran / Penyerahan Dokumen Sertifikasi Halal

Pemeriksaan Kecukupan Dokumen


Pembiayaan

Tidak Dapat Tidak Pre Audit


Lunas? diaudit ? Memorandum

Ya
Ya Produk berbasis daging
Audit

Rapat Auditor

Perlu Ya
Penyerahan Dokumen Analisis Analisis Lab
Sertifikasi Halal Lab?

Tidak

Persyaratan
Tidak terpenuhi ? Tidak Mengandung
Audit
bahan
Memorandum (Status SJH haram?
A/B)

Ya Ya

Rapat Komisi Fatwa Tidak dapat


disertifikasi

Tidak Persyaratan
terpenuhi?

Perusahaan Ya

LP POM MUI Penerbitan Sertifikat Halal

Lembaga Sertifikasi Halal Pasca UU No. 33 Tahun 2014


Tanggal 25 September 2014 menjadi hari bersejarah bagi Indonesia
dengan disahkannya UU Jaminan Produk Halal. UU ini digagas sejak UU
Pangan Nomor 7 Tahun 1996 dan sampai UU Pangan yang baru, UU No.

37 Data diambil dari LPPOM MUI atau MUI Jakarta.

183 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

18/2012, keluar belum juga terselesaikan. Beragam kontroversi muncul meski


telah "diketok palu" oleh DPR. Padahal, jaminan halal sangat penting bagi umat
muslim sebagai bagian dari keamanan pangan rohani.
Pada pembukaan UU ini, dalam Paragraf a, dijelaskan bahwa UUD 1945
mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut kepercayaannya.
Esensinya adalah jaminan kemerdekaan memeluk agama masing-masing,
termasuk penyediaan pangan sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
UU Pangan No. 8 Tahun 2012 menyebutkan dalam Pasal 1 ayat (5),
"Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman
untuk dikonsumsi".
Pasal 69 (g) menyebutkan, "Penyelenggaraan keamanan pangan
dilakukan melalui jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan". Demikian
juga Pasal 101 ayat (1) menyebutkan, "Setiap orang yang menyatakan dalam
label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang
dipersyaratkan bertanggung jawab atas kebenarannya". Inilah asas sukarela
halal: yang menyatakan halal wajib mengajukan sertifikasi halal. Hal ini sesuai
dengan kelaziman internasional yang diatur dalam General Guidelines for Use of
the Term "Halal" Codex Alimentarius Commission (CAC/GL 24-1997) bahwa
penggunaan label halal merupakan klaim dan apabila produsen klaim
produknya halal, harus memenuhi ketentuan sesuai dengan hukum Islam.
Namun, dalam UU JPH Pasal 4, bahwa setiap barang yang beredar di
Indonesia wajib bersertifikasi halal. Hal ini merupakan ketentuan wajib halal
yang bertentangan dengan paragraf pembukaan UU Pangan serta kelaziman
internasional di atas. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara yang
menerapkan wajib halal. Pasal 4 ini juga tidak sinkron dengan Pasal lain, seperti
Pasal 26 (1).
Dalam Pasal 1 angka 1 tentang definisi, jelas bahwa semua produk wajib
halal tidak terbatas hanya produk konsumsi. Ini tidak konsisten dengan Pasal 17-
20 tentang bahan, yang tersirat bahwa halal hanya untuk produk konsumsi yang
dikemas (obat, makanan, dan minuman). Padahal, makanan dan minuman
bukan hanya yang kemasan; ada pangan segar, olahan rumah tangga, olahan
siap saji yang juga diedarkan dan diperdagangkan.
Penyelenggaraan JPH menjadi wewenang Pemerintah atau Kementerian
Agama, sesuai dengan Pasal 5 ayat 3. Selanjutnya, salah satu kewenangan BPJPH
adalah melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yang
dalam Pasal 10 huruf c dikerjasamakan dengan MUI. Ini jelas bertentangan

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 184
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

dengan UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) yang baru disahkan


DPR tanggal 26 Agustus 2014, yaitu Pasal 9 ayat (2).38
Mengubah tatanan UU JPH ini akan mengubah tatanan akreditasi standar
nasional sekaligus menyalahi good governance; penyelenggara sertifikasi sekaligus
berfungsi sebagai pelaksana akreditasi dan dikhawatirkan fungsi kontrol rancu.
Seharusnya pemerintah berfungsi sebagai regulator saja serta fokus sebagai
pengawas. Fungsi sertifikasi bisa dijalankan lembaga kredibel seperti saat ini
yaitu LPPOM MUI. Fungsi akreditasi dilaksanakan KAN sesuai dengan UU SPK
dan jika halal dianggap lex specialis, bisa dikoordinasikan kepakarannya dengan
MUI. Dengan demikian, fungsi kontrol dan harmonisasi regulasi bisa berjalan
dengan baik.
Saat ini pengajuan sertifikasi ke LPPOM MUI selaku LPH dan setelah
fatwa MUI, sertifikat juga dikeluarkan LPPOM MUI. Namun, dalam UU JPH
pengajuan ke BPJPH kemudian BPJPH menetapkan LPH. Selanjutnya LPH
melakukan pemeriksaan dan melaporkan ke BPJPH dan BPJPH menyerahkan ke
MUI untuk mendapat keputusan penetapan halal produk (fatwa). Fatwa
diserahkan kembali ke BPJPH untuk diterbitkan sertifikat halal. Penambahan
rantai proses menambah waktu, tenaga, dan biaya. Ujung-ujungnya beban
konsumen tambah dan daya saing produk Indonesia turun. Pasal 37
menyebutkan BPJPH menetapkan bentuk "label halal" yang berlaku nasional.
Saat ini LPPOM MUI telah melakukan terobosan dengan Sertifikasi Halal
Online (CEROL SS23000), tetapi belum bisa memuaskan semua pemohon.
Tenaga auditor seluruh Indonesia yang 737 orang (LPPOM MUI, 2014) hanya
mampu melayani 1.270 perusahaan selama Januari-Juli 2014. Angka ini sudah
jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya melayani 832
perusahaan. Padahal, jumlah industri makanan dan minuman 6.190 perusahaan
menengah-besar serta 1.054.398 kecil dan mikro (BPS, 2013), belum termasuk
yang tak terdaftar. Perbandingan angka ini menggambarkan bahwa masih
banyak yang harus disiapkan dalam menerapkan jaminan halal bagi semua.
Sertifikat dan label hanya sebagian kecil dari Sistem Jaminan Halal. Hal
terpenting yang ada dalam proses produksi sehari-hari adalah tanggung jawab
yang melibatkan semua pelaku internal dan eksternal, pengawasan oleh penyelia
yang profesional, serta penerapan hukum oleh pemerintah selaku agen regulasi.
Juga tantangan terbesar adalah membangun sistem beserta kelengkapan sarana
dan prasarana, serta penegakan hukum yang berkeadilan tak diskriminatif.
UU JPH perlu disempurnakan agar tak jadi kendala dalam menjamin
kehalalan produk yang didambakan umat Muslim, terjangkau, dan tidak
menjadikan Indonesia terkucil dari dunia global yang kian menurunkan daya
saing Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 kian dekat. Mari bersiap diri,

38 Catatan: LPH adalah salah satu bentuk LPK.

185 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

mitra kita adalah pasar global, bukan pihak yang bertikai di dalam negeri dan
menyulitkan diri sendiri. Pada dasarnya setiap manusia ingin mengkonsumsi
produk-produk makanan dan minuman yang sehat dan bermanfaat untuk
kesehatan. Mengonsumsi produk halal merupakan hak asasi umat Islam sebagai
ibadah dan penerapan syariah.39
Dalam hal ini Indonesia melalui MUI telah memenuhi kewajibannya
dalam menjamin penyediaan produk halal bagi umat Islam sejak tahun 1989.
MUI mengeluarkan fatwa tentang sertifikasi halal, dalam rangka untuk
melindungi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam agar terhindar dari
produk makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan yang haram.
Hal ini juga tidak luput dari pada perlindungan konsumen dalam
mengkonsumsi produk makanan dan minuman. Pada Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 tentang hak dan kewajiban
konsumen. Dalam Pasal ini sudah jelas dipaparkan bahwa konsumen memiliki
hak-hak dan kewajibannya. Perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi
suatu produk sangat penting, sebab menyangkut baik atau tidak produk tersebut
untuk dikonsumsi bagi manusia.
Indonesia telah memiliki teknologi pemindai kemasan produk halal.
Regulasi halal hendaknya tidak merusak tatanan jaminan produk halal yang
sudah ada di Indonesia sejak tahun 1989 telah membangun sistem yang diterima
secara sains maupun syariah dan menjadi rujukan lembaga sertifikasi halal
dunia. Peran MUI dalam masalah pangan adalah melakukan sertifikasi halal,
meliputi penetapan standar, pemeriksaan, penetapan fatwa, dan penerbitan
sertifikasi halal. Pada tahun 2014 telah disahkannya Undang-Undang No. 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) tepatnya pada tanggal 25
September 2014 disahkannya UU No. 33 Tahun 2014 oleh pemerintah bersama
DPR RI. Lahirnya undang-undang tersebut adalah sebagai payung hukum bagi
MUI yang diharapkan dapat menjadi pegangan dan untuk melindungi umat
terhadap ketersediaan produk halal. Namun demikian masih belum bisa
menyerap aspirasi ulama dan umat Islam Indonesia.
Sebelum terbentuknya undang-undang, masa berlaku sertifikasi halal
adalah 2 tahun setelah dikeluarkan atau diterbitkan sertifikat halal. Sedangkan
dalam Undang Undang No. 33 tahun 2014 bagian ke tujuh Pasal 42, bahwa telah
terjadi perubahan dalam segi perpanjangan (umur) sertifikat. Perpanjangan ini
bersifat wajib bagi pelaku usaha, termasuk di dalamnya apabila terdapat
perubahan maupun penambahan pengurangan bahan dalam produk.
Dari tahapan yang sudah diatur, penulis mengambil kesimpulan bahwa
proses sertifikasi halal yang ada sudah memenuhi kriteria pembuatan sekrtifikasi
halal, hanya saja harus disediakan juga bagi pelaku usaha menengah ke bawah

39 http://doa-bagirajatega.blogspot.com/2014/10/kontroversi-uu-jaminan-produk-halal.html,
diunduh pada Senin 9 juni 2015.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 186
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

yang jarang, atau bahkan tidak pernah sekalipun menyentuh dunia maya.
Sehingga tidak mengetahui info seperti ini.
Setelah adanya UU JPH, kewenangan MUI “dibatasi”, di mana
penyelenggara jaminan produk halal bukan lagi MUI melainkan BPJPH
(Pemerintah RI). Untuk itu BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau
lembaga terkait atau LPH, baik itu MUI, atau Ormas lainnya. Pasal 6, Pasal 7 dan
Pasal 10 UU JPH, dengan jelas dipaparkan dalam Pasal 6 bahwa yang berwenang
menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk adalah BPJPH. BPJPH
kemudian yang menjalin kerjasama dengan instansi terkait dan atau lembaga
terkait lain (MUI). Dalam Pasal 7 dan 10 dijelaskan bahwa keterlibatan MUI
hanya sebatas mitra, kerjasama antara BPJPH dan MUI. MUI hanya
mengeluarkan fatwa setelah memeriksa kandungan pada produk tersebut, dan
selanjutnya penerbitan sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH.
Pemberlakuan UU No. 33 Tahun 2014 tentang JPH sebagaimana
termaktub dalam Pasal 61 menjelaskan bahwa pada tahun 2016 seluruh LPH
yang ada di Indonesia, baik MUI atau Ormas lainnya wajib menaati UU JPH.
Dalam hal auditor yang telah ada, UU No. 33 tahun 2014 tentang JPH Pasal 62
menyatakan bahwa status hukum auditor halal yang telah ada tetap diakui
keberadaannya dan selanjutnya dibina oleh BPJPH.
Pembentukan BPJPH tidak saat UU ini disahkan, namun menunggu 3
tahun kemudian, yaitu pada tahun 2017. Sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 64. Dalam penjelasan Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga
pemeriksa halal (LPH) yang sudah ada, masih tetap berjalan dan diakui
kedudukannya sebagai lembaga pemeriksa halal, dengan ketentuan memenuhi
syarat yang tertera dalam UU tersebut. LPH yang sudah ada harus memiliki
persyaratan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 13 UU No. 33 Tahun 2014.
Penyelenggara UU tersebut adalah pemerintah sebagai eksekutor atau
pelaksana Undang Undang. Hal tersebut tertulis pada Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU
No. 33 Tahun 2014. Pasal ini menjelaskan bahwa, pemerintah yang bertanggung
jawab atas terselenggaranya JPH, dalam pemerintahan di sini adalah
Kementerian Agama, sebagaimana dicantumkan pada ayat (2), dan dipertegas
dalam ayat (3) bahwa untuk terbentuknya BPJPH berkedudukan atas tanggung
jawab di bawah Kementerian Agama.
Dari paparan diatas, secara jelas menyatakan, bahwa sertifikasi halal
yang masih berjalan saat ini masih berlaku. Sertifikasi halal masih berjalan
sebagaimana mestinya, dibentuknya BPJPH sebagai lembaga di bawah tanggung
jawab Kementerian Agama. Jika dalam batas waktu 3 tahun sampai dengan
tahun 2017 pemerintah belum membentuk lembaga yang dimaksud, maka
kewenangan sertifikasi halal yang sudah ada masih tetap berjalan sebagaimana
adanya.

187 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca Undang Undang No. 33


Tahun 2014
Dalam pembentukan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal ini, banyak terjadi perdebatan. Proses yang sangat
panjang seperti yang diberitakan di media massa, karena menyangkut
kehidupan masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas muslim bahwa
masalah pemberian sertifikasi halal menuai banyak sorotan. UU Jaminan Produk
Halal yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan
pembahasannya hingga akhir masa tugas periode 2009-2014. Hingga akhirnya
disahkan oleh Presiden pada Tahun 2014 yang lalu.
LPPOM MUI sebagai lembaga nonpemerintah yang selama ini
menangani setifikasi halal, atau bisa dikatakan sebagai penjamin kehalalan suatu
produk harus beradaptasi pasca lahirnya UU No. 33 Tahun 2014. Dalam Pasal di
atas, telah jelas dipaparkan, bahwa badan penyelenggara Jaminan Produk Halal
di sini dibentuk oleh pemerintah, pemerintah yang membentuk teamwork untuk
pengesahan sertifikasi halal.
Dalam Pasal lain, tentang pada bab II mengenai penyelenggara jaminan
produk halal UU No.33 tahun 2014 Pasal 5 ayat (1) bahwa penyelenggaraan
jaminan produk halal dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah
Kementerian Agama.
Jika melihat penjelasan dari Pasal dalam UU JPH Huruf (a-j) sudah jelas
bahwa dalam pelaksanaannya, perumusan dan penetapan Jaminan Produk Halal
(JPH) dikerjakan oleh pemerintah, walaupun dalam Hal ini BPJPH belum
terbentuk karena tugas, fungsi dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam
Peraturan Pemerintah.40
Pada ayat selanjutnyapun demikian, penetapan norma, standar,
prosedur, dan kriteria jaminan produk halal, menerbitkan dan mencabut
sertifikat halal dan label halal pada produk, melakukan registrasi sertifikasi halal
pada produk luar negeri, melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk
halal, melakukan akreditasi terhadap Lembaga Produk Halal, melakukan
registrasi auditor halal, melakukan pengawasan terhadap JPH, melakukan
pembinaan auditor halal dan melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan
luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH, dalam hal ini semua keterangan
yang ada pada Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2014 tentang kewenangan BPJPH,
menegaskan kewenangan BPJPH dalam mengurus sertifikasi halal, yang dalam
hal ini belum ditentukan oleh pemerintah.
Di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 33 Tahun 2014 bahwa kerjasama
BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf (a) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian

40 UU No. 33 Tahun 2014 Bab II, Pasal 5 ayat (5).

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 188
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

dan/atau lembaga terkait. Pada Pasal selanjutnya, kerjasama BPJPH dengan LPH
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (b) dilakukan pemeriksaan dan/atau
pengujian produk. Kerjasama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf (c) dilakukan dalam bentuk: a. Sertifikasi auditor halal; b.
Penetapan kehalalan produk dan c. Akreditasi LPH.
Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
(b) dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.41
LPH yang dijelaskan pasal 12 UU JPH, pada pasal ini secara terang
dijelaskan bahwa lembaga pemeriksa halal (LPH) dapat didirikan oleh
masyarakat guna membantu kinerja BPJPH dalam pelaksanaan jaminan produk
halal. Undang-undang ini membatasi ruang gerak MUI yang selama ini sudah
berjalan. Di sisi lain memberikan ruang untuk masyarakat dalam membantu
pemerintah. Peran serta masyarakat dalam JPH ini adalah perwujudan dari
demokrasi yang telah dijalankan. Selain itu, peran serta masyarakat menegakkan
nilai utama dari menjadikan negara ini bagian dari good governence. Lembaga
penjamin halal dapat didirikan oleh siapapun dengan memenuhi kriteria yang
tertera dalam pasal 13 UU No. 33 Tahun 2014.
Selain itu, LPH Harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan
hukum. Melihat kasus di Indonesia tentunya banyak ormas yang berbadan
hukum seperti NU dan Muhammadiyah, maka ormas tersebut dapat mendirikan
LPH sebagaimana yang dimandatkan dalam undang-undang, agar tidak
terjadinya bentrok antara ormas satu dengan ormas lainnya.
Dengan penjelasan dalam Pasal ini, bahwa MUI tidak sepenuhnya
sebagai lembaga pemeriksa halal sebagaimana sebelum undang-undang ini ada.
Selanjutnya, tergantung kepada produsen makanan akan mengajukan
pemeriksaan kehalalan produk ke lembaga manapun yang telah sejalan dengan
undang-undang tersebut. Ini berarti produsen bebas menentukan pilihannya.
Dengan berdirinya banyak lembaga pemeriksa halal (LPH) dalam UU
No. 33 Tahun 2014, maka dengan ini akan terjadinya kompetisi yang sehat antar
lembaga. Dengan adanya persaingan ini maka perlu adanya pengendalian mutu
atau kualitas oleh pemerintah terhadap kinerja dan sumber daya manusia LPH.
Dengan demikian proses sertifikasi halal berjalan dengan baik dan lancar, serta
terbentuk nya pemerintahan yang transparan

41 UU No. 33 Tahun 2014, Pasal 7, 8, 9, 10.

189 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Prospek Sertifikasi Halal di Indonesia


Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim,
juga bervariasi. Terlepas dari ranah yang ada tuntutan akan produk halal selalu
meningkat, seiring meningkatnya agama. Untuk itu sertifikasi halal sudah
berjalan sampai saat sekarang ini. Dengan demikian sertifikasi halal sangat
diperlukan, guna memperjelas dan memberi info produk makanan dan
minuman yang dikonsumsi tidak mengandung zat-zat yang berbahaya dan
dilarang dalam agama.
Sertifikasi halal yang ada selama ini berjalan dengan baik, semakin
dikukuhkan dalam undang-undang No. 33 tahun 2014. Hadirnya UU No. 33
Tahun 2014 ini, merupakan sebuah aturan yang cukup mendesak, dan
memberikan keuntungan bukan hanya untuk melindungi umat Islam saja, tetapi
juga melindungi konsumen nonmuslim. Selain itu di beberapa agama selain
Islam babi juga turut diharamkan untuk dikonsumsi. Dengan tujuan utama
lainnya adalah barang yang tersedia di pasaran telah memenuhi standar
kebaikan dan kesehatan konsumsi.
Dalam ekonomi dalam negeri, Undang-Undang JPH ini dapat
meminimalisir keluar masuknya produk-produk impor dari luar Indonesia pada
tahun ini dan seterusnya. Hal ini tentunya menggiatkan pasar dalam negeri yang
sempat tergerus oleh produk luar negeri. Semakin tingginya permintaan pasar
dalam negeri tentunya akan meningkatkan ekonomi dalam negeri. Tentunya ini
dengan syarat adanya sinergi antara penyelenggara dan mitra (LPH) satu sama
lain, sehingga produk-produk pangan dan minuman impor dapat diselidiki
kelayakan untuk dikonsumsi di Indonesia.
Saat ini permintaan akan produk-produk halal secara global terus
mengalami peningkatan. Untuk pasar Asia Tenggara, ekspor produk halal
mencapai 100 juta dollar. Jumlah ini mengalami peningkatan 100 %
dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya mencapai 50 juta dolar. Sementara
volume perdagangan produk halal dunia mencapai angka 200 miliar dolar. Data
lain menyebutkan bahwa industri produk halal mencapai 547 milyar dolar,
dan dalam waktu dekat mencapai 1 triliyun dollar.
Contoh di Filipina yang merespon dari peningkatan permintaan produk-
produk bersertifikat halal telah mendorong perusahaan untuk melakukan
sertifikasi produknya. Saat ini sekitar 50 perusahaan telah mendapatkan
sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Dewan Dakwah Islam Filipina (IDCP).
Jumlah ini terus mengalami peningkatan, dan saat ini jumlah makanan yang
telah disertifikasi halal mencapai 450 jenis. Selain Filipina, negara minoritas
muslim yang saat ini tengah mempersiapkan diri untuk menjadi produsen
produk halal adalah Thailand. Negara ini juga menyiapkan wilayahnya untuk
menjadi sentra produk halal dunia. Selandia Baru, sebagai negara yang terkenal
akan pengekspor daging ke berbagai penjuru dunia, telah menggiatkan

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 190
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

sertifikasi halal sejak lama. Hampir 80 persen dari perusahaan daging yang ada
di Selandia Baru sudah mendapat sertifikasi halal. Hal ini karena tujuan
ekspornya sebagian besar adalah Timur Tengah. Bahkan saat ini tengah
membidik pasar Asia Tenggara, dimana jumlah penduduk muslim yang
mayoritas.
Malaysia adalah salah satu negara yang cukup serius dalam
mengembangkan produk-produk halal di dunia. Beberapa usaha yang dilakukan
dalam mengambangkan produk halal ini antara lain pendirian Halal Industry
Development Corporation (HDC) dan pembangunan zona industri halal. Bahkan
halal menjadi standar global bagi semua produk dan jasa.42 Usaha Pemerintah
Malaysia lainnya adalah dengan membuat portal internet sebagai mediasi dalam
perdagangan produk-produk halal dan sertifikasi halal di seluruh dunia.

Tiga Alasan Utama mengapa Produk Halal diminati


Mengapa permintaan akan produk halal meningkat?. Setidaknya,
fenomena ini bisa dijelaskan dengan 3 hal. Faktor pertama, aspek halal dan
thoyyib merupakan salah satu aspek yang diperhatikan bagi umat Islam dalam
mengkonsumsi.
Faktor kedua yang meningkatkan permintaan produk halal adalah
meningkatnya preferensi masyarakat nonmuslim untuk mengonsumsi produk-
produk berlabel halal. Fenomena ini terlihat di Filipina, negara dengan
penduduk muslim minoritas (hanya 10 persen dari total penduduk sebanyak 84
juta jiwa). Fenomena ini juga terjadi di Perancis dan negara-negara Eropa
lainnya. Preferensi akan produk-produk halal ini salah satunya terkait dengan
masalah kualitas yang lebih terjamin dan hiegienitas produk-produk halal.43
Faktor ketiga, yang menyebabkan meningkatnya produk-produk halal ini
tidak terlepas dari meningkatnya harga minyak dunia. Beberapa saat lalu harga
minyak dunia mencapai 82 $ dollar per barelnya. Suatu harga yang belum
pernah dicapai sebelumnya. Meningkatnya harga minyak dunia ini, berarti
meningkat pula pendapatan masyarakat Timur Tengah yang secara tidak
langsung akan meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat mereka. Hal
ini mendorong negara-negara pengekspor makanan ke Timur Tengah sangat giat
dalam melakukan sertifikasi halal sebagai upaya peningkatan kualitas
produknya. Termasuk salah satunya New Zealand, negara pengekspor daging
terbesar di dunia.

42 www.eramuslim.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48.


43 www.muallaf.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48.

191 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Bagaimana Peluang pasar bagi Indonesia?


Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar
di dunia. Dengan melihat pasar ini, tentunya sertifikasi halal merupakan suatu
hal yang niscaya. Karena memproduksi, dan mendistribusikan produk-produk
halal berarti melindungi konsumen yang mayoritasnya muslim.
Potensi pasar ini sudah menjadi perhatian banyak negara. Sehingga jika
Indonesia tidak jeli dalam melihat peluang ini, maka pasar produk halal di
dalam negeri akan dimasuki oleh produk-produk halal dari luar negeri. Sehingga
untuk bisa menjadi eksportir produk halal dunia, dan untuk menjadi raja di
negeri sendiri, maka yang harus dilakukan adalah sertifikasi produk halal.
Diharapkan sertifikasi tidak hanya dilakukan untuk perusahaan-
perusahaan yang berskala besar namun juga usaha menengah dan kecil bahkan
kalau bisa untuk usaha-usaha rumah tangga. Mahalnya biaya dalam proses
sertifikasi halal, menjadi peluang khusus bagi bank syariah. Karena sebagaimana
diketahui bahwa bank syariah hanya memberikan pembiayaan untuk usaha-
usaha yang halal, dan tidak untuk yang haram (misalkan pabrik minuman keras,
dll). Dengan sertifikasi halal ini, bisa mengajukan pinjaman ke bank syariah
sehingga bank syariah yang saat ini cenderung over likuiditas karena sulit untuk
mencari nasabah juga jadi dapat menyalurkan pembiayaannya44.
Untuk usaha-usaha mikro, usaha yang dilakukan antara lain dengan
mencantumkan komposisi bahan baku dari produk-produknya secara
transparan. Sehingga dengan demikian masyarakat dapat melihat apakah
produknya halal dan baik untuk dikonsumsi atau tidak. Produk-produk dari
industri rumah tangga ini minimal dapat memenuhi pasar produk halal di dalam
negeri. Sedangkan untuk usaha yang lebih besar dapat meluaskan pangsa
pasarnya sampai kepada pasar luar negeri.45
Bersamaan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014, BPJPH harus
bekerjasama dengan ormas Islam yang ada di Indonesia, agar dapat
berkesinambungan untuk menjalani amanat rakyat dan ummat. Terkait dengan
kehalalan suatu produk. Pemerintah juga harus melihat peluang bisnis dunia,
yang mana negara lainpun mengadopsi sertifikasi halal dari Indonesia. Kendali
ini harus tetap berjalan, karena pelopor keberadaan sertifikasi halal adalah
Indonesia. Harapan masyarakat Indonesia agar pemerintah dapat menjalankan
amanah Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 dengan ekstra kerja keras.
Memperbanyak SDM dalam masing-masing bidang keilmuan terkait dengan
keahlian masing masing bidang.

44www.republika.co.id, diunduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48.


45 Komunitas Peduli Halal, alalcare.blogspot.com/2011/07/produk-halal-perkembangan-
prospek-dan.htm, diunduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 192
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

Selanjutnya, Indonesia sebagai negeri yang mayoritas penduduknya


beragama Islam membutuhkan sistem akreditasi dan sertifikasi produk halal
sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat. Hal itu untuk mendukung
tumbuhnya produk halal di dunia, sistem tersebut harus dapat diterima secara
internasional dengan akreditasi internasional. Oleh karenanya, pemerintah
Republik Indonesia meluncurkan Skema Akreditasi dan Sertifikasi Halal.
Peluncuran dilaksanakan pada acara Tasyakur Milad LPPOM MUI ke-26 di
Jakarta, Selasa (13/01/2015).46
Kepala BSN Bambang Prasetya dalam kesempatan tersebut mengatakan,
BSN yang telah menetapkan lebih dari 8000 Standar Nasional Indonesia (SNI),
dan KAN yang saat ini telah mengakreditasi lebih dari 1200 laboratorium,
lembaga sertifikasi, dan lembaga inspeksi di seluruh wilayah tanah air, dan telah
mendapatkan pengakuan internasional dari seluruh dunia, telah bekerja sama
dengan berbagai pihak terkait, khususnya bersama dengan LPPOM MUI dalam
mengembangkan Standar Nasional persyaratan Halal dan skema akreditasi
untuk lembaga pemeriksa halal. Skema Akreditasi dan Sertifikasi Halal ini, lanjut
Prof. Bambang telah disusun dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan
mensinergikan peran setiap pihak sesuai dengan tanggungjawab, kewenangan,
tugas dan fungsinya masing-masing untuk secara bersama-sama mewujudkan
Sistem Jaminan Produk Halal yang terpercaya.

Bagan Standar Nasional Persyaratan Halal dan Skema Akreditasi LPH

46 http://www.kan.or.id/?p=3399&lang=id, diunduh pada, 20 April 2015, 11.57.

193 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Bambang yang juga Ketua KAN menambahkan, di awal tahun 2015 ini,
khususnya setelah penetapan Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal dan beberapa saat sebelumnya Undang-Undang No. 20
tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, KAN akan memulai
pengoperasian Skema Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal sebagai langkah
awal dari realisasi sistem Jaminan Produk Halal di Indonesia.
Sistem ini, kata Prof. Bambang, tentu saja masih jauh dari sempurna dan
memerlukan masukan dari seluruh pihak agar ke depan sistem ini dapat
mencapai tujuannya secara efektif untuk menjamin kehalalan produk bagi
muslim di Indonesia, dan sekaligus mampu menjalankan fungsinya untuk
meningkatkan daya saing produk halal dari Indonesia dalam pasar global, dan
menjaga kedaulatan Bangsa Indonesia.47

Kesimpulan
Dengan disahkannya UU dan hadirnya BP JPH, penulis secara pribadi
berharap perdebatan dan polemik lembaga terkait sertifikasi halalpun dapat
terselesaikan. Dengan demikian, tuduhan terkait penyalahgunaan kewenangan
sertifikasi inipun dapat diselesaikan dan tidak menyebabkan fitnah. MUI dan
pemerintah (Kemenag) serta aparat keamanan harus mampu mengawal
implementasi UU No. 33 tahun 2014 ini. Proses yang transparan pun menjadi
keharusan agar tidak kembali memunculkan tuduhan dan fitnah bagi instansi
yang berwenang, dan perlu juga dibentuknya yayasan konsumen muslim.
Diharapkan UU ini dapat mewajibkan para produsen mendapatkan
sertifikasi halal. Konsekuensi dari hal itu dalam implementasinya, pemerintah
atau BPJPH perlu menekankan pada pembukaan akses sebesar-besarnya bagi
masyarakat untuk mendapatkan sertifikasi halal. Pembukaan akses ini, menurut
penulis, penting agar aturan ini seolah tidak merugikan para produsen kelas
menengah ke bawah yang minim informasi. UU ini harus dapat mengakomodir
segala kepentingan, tidak hanya bagi umat Islam Indonesia, tapi juga seluruh
konsumen di Tanah Air, dan efek kemanfaatannya pun harus segera terlihat.

Pustaka Acuan
Al-Qur’an Al Karim (ayat dan Tarjamah)
Ahmad, Hambal bin. Kitab Musnad Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo, Jilid: 3.
Ahmad, Miru; & Sutarman, Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. ke-7, edisi
ke-1, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.

47 http://www.kan.or.id/?p=3399&lang=id, diunduh pada, 20 April 2015, 11.57.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 194
Ade Septiawan, Ahmad Mukri Aji

Ar-Rifa’i, Nasib Muhammad. “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu


Katsir, jilid 2”, Gema Insani Press, 1999.
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan
Auditor Internal Halal. Jakarta: Departemen Agama RI. 2003.
Bambang, Sugono. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Cik, Bisri hasan. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004.
Diana, Dewi Candra. Rahasia dibalik Makanan Haram. Malang: UIN-Malang, 2007.
Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram. Jakarta: Rabbani Pers, 2002.
Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia
Propinsi Jawa Tengah. Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006.
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, loc. Cit
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Panduan Umum Sistem
Jaminan Halal LP POM MUI. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2008.
Lukmanul, Hakim. “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal”
dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi
Fatwa Se- Indonesia III Tahun 2009. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet.
ke-1, 2009.
Ma’ruf, Amin. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011) Cet.
Ke-3.
Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2014).
Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-
1, Bandung: Fajar Media, 2013.
Mahdi, Fadhl ‘I-Lah. Mengindentikan Ilmu Ushul Fiqh dengan Ilmu Mantiq
Syar’i dengan Mengadaptasi Ilmu Mantiq Aristoteles, 1987.
Muhammad, Harahap yahya. Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri
(Penyunting), Kompilasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam
Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Naskah Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (UU
JPH).
Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal.

195 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Kewenangan LPPOM MUI Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat


Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Jakarta:
Departemen Agama RI., 2003.
Rambe, Mara Sutan. “Proses Akomodasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum
Pidana Nasional” Jurnal Cita Hukum [Online], Volume II Number II
(Desember 2015).
Sudarman, Danim. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian Studi Kasus. Sidoarjo: CV Mitra
Media, 2003.
Wiku, Sasmito Adi. “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling
Obat dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008.
Yusuf, Qaradhawi. Halal dan Haram. Jakarta: Rabbani Pers, 2002.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 196
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.197-216, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.7857
---------------------------------------------------------------------------------------

Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot


Di Jakarta Dalam Perspektif Hukum
Perlindungan Konsumen*
(Users of Public Transportation Services (Angkot) at Jakarta In Consumer
Protection Law Perspective)

Faris Satria Alam


FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan
Email: faris_satria@yahoo.co.id

10.15408/sjsbs.v3i2.7857

Abstract:
In reality, consumer as users and passenger’s public transportation (Angkot) have
not received legal protection and maximum service that should be given regarding
the application of minimum service standards. Besides, there are still problems
related to public transportation service sector in the form of the decision of public
transportation tariff that has not been matched by the availability of public
transportation, the proper of public transportation and consumer safety from crime
over public transportation. The result of this study explains that public
transportation (Angkot) still has many weaknesses especially related to the
implementation of minimum service standards.
Keywords: Public Transportation, Angkot, Consumer Protection.

Abstrak:
Konsumen sebagai pengguna jasa maupun penumpang angkutan umum jenis
angkot pada realitasnya belum mendapat perlindungan hukum dan pelayanan
maksimal yang seharusnya diberikan berupa penerapan standar pelayanan
minimal. Disamping masih adanya persoalan mengenai sektor pelayanan angkutan
umum berupa: penetapan tarif angkutan umum yang belum atau tidak diimbangi
dengan ketersediaan jumlah angkutan umum; kelaikan kendaraan angkutan
umum; dan keamanan konsumen dari kejahatan di atas kendaraan angkutan
umum. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa selama ini pelayanan angkutan
umum jenis angkot ini masih memiliki banyak kekurangan terutama menyangkut
penerapan standar pelayanan minimal.
Kata Kunci: Angkutan Umum, Jenis Angkot, Perlindungan Konsumen.

Diterima tanggal naskah diterima: 10 Maret 2016, direvisi: 20 April 2016, disetujui untuk
*

terbit: 15 Mei 2016.

197
Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta

Pendahuluan
Transportasi atau pengangkutan merupakan suatu bidang kegiatan yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi
bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan
geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau kecil dan besar (archipelago),
perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau yang
memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, laut, dan udara guna
menjangkau seluruh wilayah negara.1 Dari sekian banyak jasa yang ditawarkan
kepada konsumen, salah satu jasa yang paling sering digunakan atau
dinikmati konsumen adalah jasa transportasi angkutan umum jenis angkot
yang ada di Jakarta. Sekelumit persoalan mengenai sektor pelayanan angkutan
umum yang masih menyimpan persoalan-persoalan klasik berupa: 1) penetapan
tarif angkutan umum (misal, kenaikan tarif) yang belum atau tidak diimbangi
dengan ketersediaan jumlah angkutan umum; 2) kelaikan kendaraan angkutan
umum (menyangkut soal keamanan konsumen; 3) keamanan konsumen dari
kejahatan di atas kendaraan angkutan umum.2
Wajah angkutan umum di Jakarta tak ubahnya sebuah tontonan yang tak
beradab, bahkan menunjukkan prilaku yang barbarian. Pemerkosaan dan
pembunuhan yang baru-baru ini terjadi adalah fenomena yang tak terbantahkan.
Tentu saja, kasus primitif ini amat menghentak kesadaran publik di Jakarta,
bahkan seantero negeri. Namun demikian, potret buram kualitas pelayanan
angkutan umum di perkotaan, sejatinya bukan tipikal kota Jakarta saja. Nyaris di
seluruh kota besar di Indonesia, kualitas pelayanan angkutan umumnya
amburadul dan tidak beradab.3 Wajar kalau kemudian secara perlahan tetapi
pasti warga tidak berminat menggunakan angkutan umum dan kemudian
meninggalkannya. Di Jakarta pada tahun 2005 kepeminatan warga Jakarta dalam
menggunakan angkutan umum masih 38%, tetapi pada data tahun 2010
kepeminatan itu turun drastis, hanya 11,5%.4 Sebenarnya dengan tersedianya
transportasi massal yang memadai yaitu memenuhi syarat aman, nyaman, dan
tepat waktu, kami yakin konsumen tidak berkeberatan untuk menggunakannya.
Heterogenitas masyarakat kita perlu dijawab dengan penyediaan transportasi

1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1998), h. 7.
2 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: PT. Citra

Aditya Bakti, 2008), h. 10.


3 Tulus Abadi, Berlomba Mematikan Angkutan Umum, sebagaimana di akses dari

http://www.ylki.or.id/berlomba-mematikan-angkutan-umum.html pada 15 September 2012 Jam


09.23 WIB. Lihat juga Suara Pembaruan, Berlomba Mematikan Angkutan Umum, Senin, 3 Oktober
2011.
4 Tulus Abadi, Subsidi BBM dan Nasib Angkutan Umum, sebagaimana di akses dari

http://www.ylki.or.id/ subsidi-bbm-dan-nasib-angkutan-umum.html pada 18 September 2012 Jam


15.10 WIB. Lihat juga Seputar Indonesia, Berlomba Mematikan Angkutan Umum, Rabu, 28 Maret 2012.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 198
Faris Satria Alam

umum yang bervariasi, mulai dari yang kelas rakyat, sampai untuk konsumen
berdasi.5
Kesadaran pengemudi angkutan umum di wilayah hukum Polda Metro
Jaya masih terbilang rendah. Padahal, disiplin berlalu lintas terbilang penting
untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan. Ketidakdisiplinan pengemudi
angkutan umum ini terbukti dari banyaknya angkutan umum yang terjaring
dalam Operasi Patuh Jaya 2012. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda
Metro Jaya pada tanggal 16-23 Juli 2012, ada 7.727 kasus pelanggaran yang
melibatkan angkutan umum. Dari 7.727 kasus pelanggaran yang melibatkan
angkutan umum itu, jenis pelanggaran yang paling banyak dilakukan adalah
melanggar rambu lalu lintas letter P (dilarang parkir) sebanyak 2.927 kasus
pelanggaran. Selanjutnya disusul dengan pelanggaran turun atau naik
penumpang tidak pada tempatnya sebanyak 2.250 kasus pelanggaran. Sementara
pelanggaran rambu letter S (dilarang berhenti) mencapai 1.734 kasus, menerobos
jalur busway ada 772 kasus, dan omprengan yang menggunakan plat hitam
sebanyak 44 kasus. 6
Dari data yang dimiliki Polda Metro Jaya, jumlah perjalanan harian
semakin meningkat setiap tahunnya. Seperti pada tahun 2009 tercatat rata-rata
620.702 jumlah perjalanan dan pada tahun 2010 naik menjadi 791.295 jumlah
perjalanan. Diperkirakan pada tahun 2020 mendatang naik menjadi 1.148.528
jumlah perjalanan. Sementara, untuk jumlah angkutan umum yang beroperasi di
Ibukota hanya berjumlah 76.022 kendaraan. Sedangkan data dari Dinas
Perhubungan DKI Jakarta dan Organda DKI terdapat sedikitnya 22.776 angkutan
umum jenis bus besar, sedang dan bus kecil dinilai telah berusia uzur, bahkan
16.460 bus diantaranya.7
Salah satu langkah yang harus dilakukan Pemerintah Provinsi Ibukota
Jakarta dalam membenahi karut marutnya transportasi yakni dengan membuat
Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi angkutan umum di Jakarta. Azas Tigor
Nainggolan yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Transportasi Kota
Jakarta, berpendapat bahwa SPM itu perlu sebagai bagian dari revitalisasi
angkutan umum di ibukota serta juga berguna melindungi hak konsumen atau
pengguna angkutan umum. Sebab bila tanpa SPM maka konsumen sebagai
pengguna angkutan umum akan banyak terlanggar hak-haknya seperti sekarang
ini. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan

5 Zumrotin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Cet. I, (Jakarta: Puspa Swara, 1996), h.
104.
6 Sudarmanto, Kesadaran Supir Angkot di Jakarta Masih Rendah, sebagaimana di akses dari

http://m.skalanews.com/baca/news/2/34/118658/megapolitan/kesadaran-supir-angkot-di-jakarta-
masih-rendah.html pada 18 September 2012 Jam 15.00 WIB.
7 Wahyono, Polda Desak Pengusaha Angkutan Remajakan Armadanya, sebagaimana di akses

darihttp://m.skalanews.com/baca/news/2/34/103862/megapolitan/polda-desak-pengusaha-
angkutan-remajakan-armadanya-.html pada 18 September 2012 Jam 15.30 WIB.

199 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta

mengatur bahwa perusahaan angkutan umum wajib memenuhi standar


pelayanan minimal termasuk keamanan, keselamatan, kenyamanan,
keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan.8 Oleh karena itu, Dinas
perhubungan pemerintah provinsi DKI Jakarta tinggal mengadopsi dan
mengimplementasikan saja aturan SPM tersebut di Jakarta.9
Dengan telah disahkannya Peraturan Menteri Perhubungan No. 10 tahun
2012 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan pada
tanggal 31 januari 201210, sebenarnya pemenuhan terhadap hak-hak dasar
konsumen sebagai pengguna angkutan umum, yaitu kenyamanan, keamanan
dan keselamatan dapat terwujud dan bukan hanya menjadi sebuah dongeng
belaka. Padahal hak pengguna angkutan umum di Indonesia sejatinya
mendapatkan jaminan yang amat kokoh, mulai dari undang-undang no. 8 tahun
1999 tentang perlindungan konsumen dan undang-undang no. 22 Tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan serta berbagai regulasi teknis pendukung
lainnya. Buruknya kualitas pelayanan angkutan umum di perkotaan tidak bisa
dilihat secara sektoral saja. Artinya, bukan semata kesalahan dinas perhubungan
dan pengusaha angkutan umum. Bahkan pula ketidakmampuan pemimpin
kota/daerah ansich. Akan tetapi melibatkan semua stakeholder, mulai dari
pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sebagai konsumen tentunya.

Hukum Pengangkutan dan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia


Dalam kegiatan sehari-hari kata pengangkutan sering diganti dengan
kata” transportasi”. Pengangkutan lebih menekankan pada aspek yuridis
sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan perekonomian,
akan tetapi keduanya memiliki makna yang sama, yaitu sebagai kegiatan
pemindahan dengan menggunakan alat angkut. Abdulkadir Muhammad
mendefinisikan pengangkutan sebagai proses kegiatan pemindahan penumpang
dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan
berbagai jenis alat pengangkut mekanik yang diakui dan diatur undang-undang
sesuai dengan bidang angkutan dan kemajuan teknologi.11 Selanjutnya ia
menambahkan bahwa pengangkutan memiliki tiga dimensi pokok, yaitu

8 Lihat Pasal 141, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5025.
9 Azas Tigor Nainggolan, Jakarta Perlu Standar Pelayanan Minimum, sebagaimana di akses

dari http://m.skalanews.com/baca/news/2/34/119757/megapolitan/jakarta-perlu-standar-minimun-
pelayanan angkutan-umum-.html Artikel diakses pada 18 September 2012 Jam 15.20 WIB.
10http://118.97.61.233/perundangan/index.php?option=com_dirhukum&task=view&id=889

&Itemid=55559 sebagaimana di akses dari www.dephub.go.id Artikel diakses pada 19 September


2012 Jam 15.00 WIB.
11 Abdulkadir Muhammad, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di

Indonesia Dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi, (Yogyakarta:Penerbit Genta
Press, 2007), h. 1.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 200
Faris Satria Alam

pengangkutan sebagai usaha, pengangkutan sebagai perjanjian dan


pengangkutan sebagai proses.12 Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: (1) Berdasarkan suatu perjanjian; (2) Kegiatan ekonomi di
bidang jasa; (3) Berbentuk perusahaan; (4) Menggunakan alat angkut mekanik.
Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian, pada umumnya bersifat lisan
(tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan. Pengangkutan
sebagai proses mengandung makna sebagai serangkaian perbuatan mulai dari
pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa menuju tempat yang telah
ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan.13
Transportasi atau pengangkutan dapat dikelompokan menurut macam
atau moda atau jenisnya (modes of transportation) yang dapat ditinjau dari segi
barang yang diangkut, dari segi geografis transportasi itu berlangsung, dari
sudut teknis serta dari sudut alat angkutannya. Bentuk klasifikasi transportasi
sebagai berikut14: Pertama, Dari segi barang yang diangkut, transportasi meliputi:
(a) angkutan penumpang (passanger); (b) angkutan barang (goods); (c) angkutan
pos (mail). Kedua, Dari sudut geografis. transportasi dapat dibagi menjadi: (a)
Angkutan antar benua: misalnya dari Asia ke Eropa; (b) Angkutan antar
kontinental: misalnya dari Francis ke Swiss dan seterusnya sampai ke Timur
Tengah; (c) Angkutan antar pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;
(d) Angkutan antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung; (e) Angkutan antar
daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur; (f) Angkutan di dalam kota:
misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain. Ketiga, Dari sudut teknis dan alat
pengangkutnya, Jika dilihat dari sudut teknis dan alat angkutnya, maka
transportasi dapat dibedakan sebagai berikut: (a) Angkutan jalan raya atau
highway transportation (road transportation), seperti pengangkutan dengan
menggunakan truk, bus, dan sedan; (b) Pengangkutan rel (rail transportation),
yaitu angkutan kereta api, trem listrik dan sebagainya. Pengangkutan jalan raya
dan pengangkutan rel kadang-kadang keduanya digabung dalam golongan yang
disebut rail and road transportation atau land transportation (angkutan darat); (c)
Pengangkutan melalui air di pedalaman (inland transportation), seperti
pengangkutan sungai, kanal, danau, dan sebagainya; (d) Pengangkutan pipa
(pipe line transportation), seperti transportasi untuk mengangkut atau mengalirkan
minyak tanah, bensin, dan air minum; (e) Pengangkutan laut atau samudera
(ocean transportation), yaitu angkutan dengan menggunakan kapal laut yang
mengarungi samudera; (f) Pengangkutan udara (transportation by air atau air
transportation), yaitu pengangkutan dengan menggunakan kapal terbang yang
melalui jalan udara.

12 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: Penerbit Citra Aditya

Bhakti, 1998), h. 12.


13 Ibid, h. 13.

14 Rustian Kamaludin, Ekonomi Transportasi, (Padang: Ghalia Indonesia, 1986), h.15-19.

201 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta

Di dalam hukum pengangkutan juga terdapat asas-asas hukum, yang


terbagi ke dalam dua jenis, yaitu bersifat publik dan bersifat perdata.15 Asas yang
bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang berlaku dan
berguna bagi semua pihak, yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga
yang berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah. Asas-asas
yang bersifat publik biasanya terdapat di dalam penjelasan undang-undang yang
mengatur tentang pengangkutan, sedangkan asas-asas yang bersifat perdata
merupakan landasan hukum pengangkutan yang hanya berlaku dan berguna
bagi kedua pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu pengangkut dan penumpang
atau pengirim barang.16 Asas-asas hukum pengangkutan bersifat publik meliputi
: asas manfaat, asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata, asas
keseimbangan, asas kepentingan umum, asas keterpaduan, asas kesadaran
hukum, asas percaya pada diri sendiri, dan asas keselamatan penumpang.
Sedangkan asas-asas hukum pengangkutan bersifat perdata meliputi : asas
konsensual, asas koordinatif, asas campuran, asas retensi, asas pembuktian
dengan dokumen.
Dalam UUPK yang dimaksud konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.17 Dalam rumusan ini ditentukan batasan secara jelas limitatif
tentang konsumen, yaitu merupakan orang, memakai atau menggunakan suatu
barang dan/jasa, untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang
lain atau makhluk lain, dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Dalam ilmu
ekonomi pengertian di atas termasuk dalam kategori konsumen akhir.
Pengertian konsumen di atas kurang tepat dan adanya kerancuan, yaitu pada
kata pemakai yang tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan kalimat untuk
kepentingan pihak lain, serta rumusannya hanya terpaku pada orang atau
makhluk lain, padahal dalam kenyataan tidak hanya orang saja yang disebut
konsumen, tetapi masih ada yang lain, yakni badan usaha.18 Dalam kaitan
dengan penelitian ini juga terdapat pengertian pengguna jasa dalam UULLAJ
yaitu perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa perusahaan
angkutan umum (Pasal 1 angka (22)). Definisi ini lebih sempit pengertiannya
dibandingkan dengan definisi yang terdapat dalam Pasal 1 angka (10) UULLAJ
1992, yaitu: ”pengguna jasa adalah setiap orang dan/atau badan hukum yang
menggunakan jasa angkutan, baik untuk angkutan orang maupun untuk

15 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: Penerbit Citra Aditya

Bhakti, 1998), h. 17.


16 Ibid,

17 Pasal 1 angka (2), Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821.
18 Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2005), h. 4.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 202
Faris Satria Alam

barang”.19 Berdasarkan kedua pengertian diatas menunjukkan bahwa pengertian


konsumen dan pengguna jasa memiliki substansi yang berkaitan yaitu orang
yang menggunakan jasa yang dalam hal ini adalah jasa angkutan umum jenis
angkot. Namun demikian, pengertian tersebut agaknya memiliki disparitas dari
sisi definisi operasional, mengingat bahwa yang dimaksud konsumen dalam
UUPK adalah yang menggunakan barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat. Lain halnya dengan pengertian pengguna jasa dalam UULLAJ yang
lebih sempit pengertiannya dibandingkan dengan definisi konsumen dalam
UUPK. Dalam UULLAJ tersebut mengharuskan adanya penggunaan jasa
perusahaan angkutan umum, sementara perusahaan angkutan umum yang
dimaksud dalam UULLAJ tersebut adalah yang berbadan hukum.
Disamping pengertian konsumen diatas juga terdapat pengertian pelaku
usaha dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dibatasi sebagai setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Sementara
itu, dalam pengertian UULLAJ bahwa Perusahaan angkutan umum adalah
badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan
kendaraan bermotor umum (Pasal 1 angka 21). Menurut ketentuan angka 21 ini,
bentuk usaha perusahaan angkutan umum ditegaskan harus berbentuk badan
hukum, yaitu harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT); Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Koperasi, sedangkan yang bukan badan hukum, seperti
Perusahaan Perorangan, Persekutuan Perdata, Firma maupun Commanditaire
Venootschap (CV) tidak boleh menyediakan angkutan umum. Hal ini berbeda
dengan dengan ketentuan lama UULLAJ 1992, yang tidak mengharuskan badan
hukum yang menyediakan jasa angkutan umum, sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 angka (8): “Perusahaan Angkutan Umum adalah perusahaan yang
menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan umum”.20
Apabila dikomparasikan berdasarkan UULLAJ 2009 dan UUPK bahwa dalam
UULLAJ 2009 tersebut tidak mengenal istilah pelaku usaha, akan tetapi yang
dikenal adalah perusahaan angkutan umum. Dari kedua pengertian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat disparitas pengertian pelaku usaha dengan
pengertian perusahaan angkutan umum. Namun demikian, apabila dilihat
pengertian pelaku usaha dalam UUPK maka pengertian perusahaan angkutan

19 Pasal 1 angka (10), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3480.
20 Ibid, Pasal 1 angka (8).

203 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta

umum tersebut termasuk kategori pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha dalam
UUPK tidak mengharuskan pelaku usaha itu berbadan hukum.21
Berdasarkan Pasal 4 UUPK disebutkan bahwa konsumen memiliki hak
diantaranya adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa, Hak untuk memilih barang dan/atau jasa,
Hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa, Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya, Hak untuk mendapatkan bantuan hukum (advokasi), perlindungan
dan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, Hak untuk
memperoleh pembinaan dan pendidikan konsumen, Hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif, Hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya, dan Hak-hak yang ditentukan dalam perundang-
undangan lainnya.22 Di sisi lain dalam Pasal 5 UUPK juga mengatur mengenai
kewajiban konsumen diantaranya : Membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan, Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa, Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, dan
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.23
Pengaturan mengenai hak pelaku usaha juga diatur dalam Pasal 6 UUPK,
diantaranya: Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan hukum yang
beritikad tidak baik; Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen; Hak untuk rehabilitasi nama baik
apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak
diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; dan Hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.24 Sedangkan
Berdasarkan Pasal 7 UUPK, Kewajiban Pelaku Usaha adalah : Beritikad Baik
dalam menjalankan kegiatan usahanya;Memberikan informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; Memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur, secara tidak diskriminatif; Menjamin mutu

21 Lihat Pasal 1 angka (3), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821.
22 Pasal 4, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821.
23 Ibid, Pasal 5.

24 Ibid, Pasal 6.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 204
Faris Satria Alam

barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan


ketentuan standar mutu dan/atau jasa yang berlaku; Memberikan kesempatan
kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi barang yang dibuat
dan/atau diperdagangkan; Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; dan Memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.25

Hak Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot Terkait Dengan
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Jakarta sebagai ibukota Indonesia memiliki tingkat perekonomian yang
lebih baik dibandingkan dengan kota-kota lain. Perkembangan Jakarta dan
daerah sekitarnya dapat dikatakan sebagai monometric pattern yang
menempatkan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan bisnis. Sebagian besar warga
Jakarta bertempat tinggal di luar kota atau daerah penyangga yang memerlukan
sekitar 1-2 jam waktu tempuh untuk mencapai pusat ekonomi dan bisnis.
Kondisi ini adalah salah satu penyebab kemacetan di Jakarta.26 Pada awal 1970-
an pemakai kendaraan umum jumlahnya sebesar 70 % dari total pemakai
kendaraan di jalan. Angka ini mengalami penurunan yang cukup tajam yaitu
sebesar 57 % di tahun 1985 dan hanya 45 % di tahun 2000. Penurunan minat
pengguna kendaraan umum disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya
karena terjadinya motorisasi besar-besaran, bahkan lebih tinggi dibandingkan
sebelum krisis terjadi, yaitu meningkat sekitar 16-18% per tahun. Sekitar 5 juta
kendaraan bertambah setiap tahun, dan tahun 2007 diperkirakan sekitar 35 juta
populasi kendaraan. Kondisi lain yang menurunkan minat masyarakat untuk
menggunakan kendaraan umum adalah ketidaknyamanan sarana transportasi,
baik dari alat transportasi yang kurang pemeliharaan maupun gangguan
keamanan.27
Perjalanan sejarah transportasi angkutan umum di Indonesia sendiri
pada dasarnya dikelompokkan dalam 5 generasi. Generasi pertama terjadi saat
pemerintah menghentikan pengoperasian tram pada tahun 1970-an di beberapa
kota di Indonesia, lalu muncul kendaraan kecil seperti oplet. Tahun 1985 adalah
generasi kedua dengan munculnya PPD. Saat itu terdapat kurang lebih 5
perusahaan bus besar. Pada era ini pula terjadi penggabungan atau merger dan
restrukturisasi dalam pengelolaan transportasi bus di Indonesia. Tahun 1987

25 Ibid, Pasal 7.
26 Artikel dari Majalah Inovasi, Volume 10/XX/Maret 2008, “Reformasi Transportasi Publik di
Jakarta: Sebuah Kisah Sukses”, h. 14.
27 Ibid,

205 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta

adalah generasi ketiga yaitu dikembangkannya bus-bus besar seperti bus tingkat
di beberapa kota di Indonesia. Tahun 1992, generasi keempat, yaitu lajur bus
yang diprioritaskan di sebelah kiri, namun sistem ini pun tidak berjalan dengan
baik. Generasi kelima adalah pengoperasian busway. Transportasi busway di
Indonesia dikembangkan berdasarkan analisis faktor-faktor yang menyebabkan
buruknya pengelolaan angkutan umum di Indonesia selama ini.28
Jenis angkutan umum perkotaan di Jakarta yang berjenis “angkot”
menurut Tulus Abadi.29 Pada awalnya angkutan umum perkotaan itu disingkat
angkot. Adapun klasifikasinya terdiri dari bus besar, bus sedang, dan bus kecil.
Namun, dalam perkembangannya di masyarakat pengertian “angkot” itu
mengalami bias makna menjadi Angkutan Kota jenis Bus Kecil (Micro Bus) yang
fungsinya merupakan angkutan pengumpan. Untuk lebih jelasnya, diuraikan
berdasarkan data statistik yang penulis peroleh dari data Dinas Perhubungan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lihat dalam Tabel 1.1. Angkutan Penumpang
dan Barang. 30
TAHUN
NO JENIS KENDARAAN
2008 2009 2010 2011 2012
1 Bus Besar *) 4.822 4.928 4.579 3.529 2.045
2 Bus Sedang 4.960 4.960 4.944 4.959 1.987
3 Bus Kecil /Angkot 12.984 14.130 14.183 14.183 16.671
4 Bajaj & Kancil 14.424 14.424 14.424 14.424 14.424
5 Taksi 24.256 24.489 24.724 24.902 27.301
6 Bus Wisata & Sewa 5.219 5.048 4.707 4.416 5.091
7 Bus Antar Kota 3.587 3.463 3.279 3.279 3.442
JUMLAH ANGKUTAN
PENUMPANG 70.252 71.442 70.840 69.692 70.961
8 Mobil Barang 18.157 20.013 19.138 23.649 36.332
JUMLAH TOTAL
88.409 91.455 89.978 93.341 107.293
Keterangan :
*) Termasuk Busway
*Sumber: Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta
Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari Dinas Perhubungan
Provinsi DKI Jakarta, bahwa terdapat total 6.293 armada angkutan umum jenis
kendaraan mikrolet dengan rincian yang terdiri dari 15 perusahaan angkutan
umum angkot jenis kendaraan mikrolet yang berbadan hukum. Adapun
klasifikasinya terdiri dari: 9 (sembilan) perusahaan yang berbentuk Perseroan
Terbatas (PT) dan 6 (enam) perusahaan yang berbentuk koperasi. Disamping
klasifikasi tersebut juga terdapat Mikrolet yang dimiliki oleh perorangan dengan

Ibid, h. 15-16
28

Wawancara dengan Bapak Tulus Abadi (Pengurus Harian YLKI dan Anggota Dewan
29

Transportasi Kota Jakarta) di Jakarta pada 12 April 2013.


30 Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 206
Faris Satria Alam

jumlah 386 armada. Sehingga apabila dijumlah secara keseluruhan angkutan


umum (angkot) dengan jenis kendaraan mikrolet berjumlah 6.679 armada.

Pengaturan mengenai perlindungan hak-hak konsumen dalam hal


jasa layanan angkutan umum tercantum di dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ). Dalam undang-
undang tersebut, hak konsumen dijamin melalui adanya pengaturan kewajiban-
kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha jasa angkutan umum dalam
menyelenggarakan kegiatan usahanya. Secara umum kewajiban itu tercantum
dalam Pasal 141 UULLAJ, bahwa perusahaan angkutan umum wajib memenuhi
standar pelayanan minimal yang meliputi : a) keamanan, b) keselamatan, c)
kenyamanan, d) keterjangakauan, e) kesetaraan, dan f) keteraturan.31 Disamping
itu juga diatur kriteria angkutan dalam trayek ini harus memiliki rute tetap dan
teratur, terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan
penumpang di terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara serta
menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk
angkutan perkotaan dan pedesaan (Pasal 143). Perusahaan Angkutan Umum
Wajib: (1) Mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian
pengangkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh penumpang
dan/atau pengirim barang (pasal 186); (2) Mengembalikan biaya angkutan yang
telah dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan
pemberangkatan (Pasal 187); (3) Mengganti kerugian yang diderita oleh
penumpang dan/atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan
pelayanan angkutan (Pasal 188); (4) Mengasuransikan tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.
Berkaitan dengan peraturan dalam UULLAJ tersebut juga terdapat
peraturan teknis yang mengatur mengenai standar pelayanan minimal yaitu (1)
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 81 Tahun 2011 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota yang terdiri atas jenis pelayanan, indikator kinerja, dan target
tahun 2010 - tahun 2014. Terhadap jenis pelayanan tersebut, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tertentu wajib
menyelenggarakan jenis pelayanan sesuai kebutuhan, karakteristik dan potensi
daerah. (2) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 2012 Tentang
Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan Jenis Pelayanan,
yang meliputi (Keamanan, Keselamatan, Kenyamanan, Keterjangakuan,
Kesetaraan, dan Keteraturan). Mutu Pelayanan, yang meliputi (indikator, dan
nilai, ukuran, atau jumlah). Sedangkan dalam kaitannya dengan otonomi daerah,
pengaturan mengenai standar pelayanan minimal juga diatur dalam Peraturan

Pasal 141 ayat (1), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
31

Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5025.

207 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta

Daerah No. 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api,
Sungai, dan Danau serta Penyeberangan di Provinsi DKI Jakarta yang mana
didalamnya tidak mengatur secara spesifik melainkan secara tersirat. Ketentuan
tersebut dapat dipahami melalui beberapa ketentuan yang mengatur mengenai
sarana, prasarana, dan pengemudi angkutan jalan.

Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Sebagai Pengguna Jasa


Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta
Ada beberapa kasus-kasus kejahatan yang terjadi dalam angkutan umum
jenis angkot yang sudah inkracht dalam putusan pengadilan, diantaranya: a).
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1687/PID.B/2012/PN.JKT.PST. ;
b). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor
2626/Pid.B/2011/PN.JKT.BAR; c). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 1563/Pid.B/2011/PN.Jkt.Sel; d). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 1560/PID.B/2011/PN.Jkt.Sel; dan e). Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 1561/Pid.B/2011/PN.Jkt.Sel.
Menurut penulis bahwa semua pemilik angkutan umum dalam semua
kasus diatas termasuk kategori pelaku usaha yang bertanggung jawab penuh
atas kerugian yang diderita pengguna jasa, penumpang maupun pihak ke-3 yang
timbul dari penyelenggaraan pelayanan angkutannya. Tanggung jawab atas
kerugian yang diderita penumpang sebagai konsumen pengguna jasa
transportasi ataupun pihak lain muncul karena pengangkut atau pihak yang
menyediakan fasilitas angkutan umum bertanggung jawab untuk melaksanakan
kegiatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Karena itu, pengangkut dalam
melaksanakan kewajibannya tidak boleh lalai. Hal mengenai
pertanggungjawaban tersebut tercantum dalam Pasal 188 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan yang menyatakan
bahwa Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang di derita
oleh penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan
pelayanan angkutan.32 Disamping itu juga, mengingat betapa pentingnya
tanggung jawab perusahaan angkutan umum yang didelegasikan melalui orang
yang dipekerjakannya yaitu pengemudi/supir angkot, maka berdasarkan Pasal
191 UULLAJ bahwa perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas
kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan
dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.33
Berkaitan dengan tanggung jawab itu, dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sendiri diatur pada Pasal 19 ayat
(1), yang menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan

32 Ibid, Pasal 188.


33 Ibid, Pasal 191.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 208
Faris Satria Alam

ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat


mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.34 Hal
tersebut sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal Pasal 188 dan Pasal 191
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Bentuk tanggung jawab pengangkut sebagaimana diatur dalam dua aturan
hukum di atas sebenarnya merupakan hal yang wajar sebab hal ini merupakan
kompensasi pemenuhan hak konsumen yang tidak dapat dipenuhi oleh pelaku
usaha angkutan umum jenis angkot. Hak konsumen dimaksud adalah hak
seperti yang terdapat dalam Pasal 4 huruf a, d, dan h35 Undang-Undang No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu hak atas keamanan,
kenyamanan, dan keselamatan; hak didengar pendapat dan keluhannya; hak
mendapat ganti rugi. Hak konsumen tersebut sekaligus menjadi kewajiban bagi
pelaku usaha sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 huruf a dan f36
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu
kewajiban untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan
kewajiban untuk memberi kompensasi atau ganti rugi. Namun, tidak
sepenuhnya juga bahwa setiap kerugian yang dialami penumpang atau pihak
ke-3 mutlak dan selalu menjadi tanggung jawab pelaku usaha sebagai
pengangkut penumpang. Sepanjang kerugian tersebut terbukti memang
merupakan kesalahan pelaku usaha angkutan umum jenis angkot maka pelaku
usaha angkutan umum jenis angkot wajib bertanggung jawab.
Jika kerugian tersebut disebabkan kesalahan, kecerobohan, atau kelalaian
penumpang atau pihak ke-3 sendiri, berdasarkan Pasal 19 ayat (5)37 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha
angkutan umum jenis angkot tidak harus bertanggung jawab, artinya
pengangkut tidak harus memberi kompensasi atau ganti rugi pada penumpang
atau pihak ke-3 tersebut. Karena itu, tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh
penumpang atau pihak ke-3 hanya dapat dilakukan dan didasari oleh sebab-
sebab yang terkait atau disebabkan oleh pengangkut sendiri atau pegawainya
atau hal-hal lain yang berhubungan dengan pengangkut.38
Berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan angkutan umum terhadap
penumpang yang diatur dalam Pasal 192 ayat (1), yaitu: Perusahaan angkutan
umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang yang
meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan kecuali disebabkan

34 Pasal 19 ayat (1), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821.
35 Ibid, Pasal 4 huruf a, d, dan h.

36 Ibid, Pasal 7 huruf a dan f.

37 Ibid, Pasal 19 Ayat (5)

38 Benadetta T. Wulandari, Busway vs Kemacetan: Tinjauan Atas Hak Konsumen, dalam

Jurnal, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas
Katolik Atmajaya, Jakarta), hlm. 8.

209 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta

oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena
kesalahan penumpang.39 Berdasarkan ketentuan ayat tersebut ada 4 (empat) hal
yang sekaligus diatur, yaitu : (1) Tanggung jawab perusahaan angkutan umum
untuk mengganti kerugian; (2) Ganti kerugian tersebut diberikan kepada
penumpang yang meninggal dunia atau luka-luka; (3) Kerugian terjadi akibat
penyelenggaraan angkutan; (4) Dikaitkan dengan teori prinsip-prinsip tanggung
jawab di bidang angkutan, maka sistem tanggung jawab yang dianut adalah
Presumtion of Liability. Hal ini dapat diketahui dari kalimat ...”kecuali terbukti
oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena
kesalahan penumpang”. Berdasarkan sistem tanggung jawab Presumtion of
Liability, Perusahaan angkutan umumlah yang harus membuktikan adanya
kerugian yang diderita penumpang, sehingga menyebabkan penumpang
meninggal atau luka. Akan tetapi, dalam sistem ini, perusahaan angkutan dapat
membebaskan diri dari tanggung jawabnya untuk membayar ganti kerugian, jika
perusahaan angkutan dapat membuktikan salah satu dari dua hal, yaitu: (a)
Disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau
overmacht atau force majeure; atau (b) karena kesalahan penumpang sendiri.
Sementara limit atau batas jumlah ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh
perusahaan angkutan kepada penumpang yang meninggal dunia atau luka-luka,
ditentukan dalam Pasal 192 ayat (2), yaitu dihitung berdasarkan kerugian yang
nyata-nyata dialami atau bagian biaya perawatan. Ayat ini mengatur sistem
Limitation of Liability atau besarnya jumlah ganti kerugian, yang harus diberikan
oleh perusahaan angkutan kepada penumpang yang meninggal dunia atau
mengalami luka-luka. Sayang sekali di dalam penjelasan ayatnya, tidak
dijelaskan pengertian kerugian yang secara nyata dialami, selain itu juga tidak
diatur mengenai perhitungan kerugian bagi penumpang yang mengalami cacat
tetap.40 Ayat ini masih mempunyai kelemahan, karena perhitungan “berdasarkan
kerugian yang nyata-nyata dialami” itu, menurut penulis ditujukan kepada
penumpang yang meninggal dunia. Seharusnya ganti kerugian yang dihitung
berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami, tidak dapat diterapkan kepada
penumpang yang meninggal dunia, karena jiwa seseorang tidak dapat dinilai
dengan uang, sehingga tidak dapat dihitung kerugiannya. Sedangkan bagi
penumpang yang mengalami luka-luka, perhitungannya didasarkan pada
bagian biaya perawatan.
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Baihaqi selaku Kepala
Seksi Angkutan Orang Dalam Trayek Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta pada 14 Juni 2013 bahwa terhadap kasus-kasus tersebut diatas,

39 Pasal 192 ayat (1), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5025.
40 Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat : Jalan dan Kereta Api, (Jakarta: Penerbit

Universitas Trisakti, 2009), hlm. 98.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 210
Faris Satria Alam

semuanya dikenakan sanksi pidana yang sesuai dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh pelakunya. Pengenaan sanksi pidana tersebut semata-mata hanya
didasarkan pada aspek penegakan hukum pidana saja. Adapun pengenaan
sanksi pidana yang didasarkan atas undang-undang perlindungan konsumen
belum diterapkan. Hal tersebut, dapat terlihat dari putusan hakim yang
menunjukkan bahwa hakim belum mempertimbangkan mengenai tanggung
jawab pelaku usaha angkot dari sisi kerugian konsumen sebagai pengguna jasa
maupun penumpang angkutan umum karena dalam dakwaan dan tuntutannya
Jaksa Penuntut Umum tidak mempertimbangkan mengenai tanggung jawab
pelaku usaha sebagaimana diatur dalam undang-undang perlindungan
konsumen.
Namun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya
sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 199 ayat (1) UULLAJ yang
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal
192, dan Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa: (a) peringatan tertulis; (b)
denda administratif; (c) pembekuan izin; dan (d) pencabutan izin.41 Oleh karena
itu, terhadap kasus-kasus tersebut diatas semuanya telah dikenakan sanksi
administratif berupa Pembekuan Izin.42
Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen terkait dengan
kerugian yang dialami sebagai pengguna jasa angkutan umum jenis angkot di
Jakarta yaitu: Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, yang diatur pada Pasal
47 UUPK; Penyelesaian Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK); Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM); Penyelesaian Sengketa Konsumen
Melalui Pengadilan. Dalam Pasal 48 UUPK menyatakan Penyelesaian sengketa
konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan
umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
Namun yang sangat disayangkan bahwa selama ini belum pernah ada
pengguna jasa maupun penumpang yang melakukan gugatan terhadap
perusahaan angkutan umum jenis angkot. Padahal konsumen menyadari bahwa
angkutan umum jenis angkutan kota atau angkot yang ada di Jakarta ini, belum
memadai dan belum memberikan perlindungan terhadap konsumennya. Secara
sederhana hal tersebut dapat dipahami bahwa dari posisi tawar (bargaining
power) konsumen masih sangat lemah. Sehingga belum ada konsumen yang
menggugat pelaku usaha karena kerugiannya dalam menggunakan angkutan
umum. Kecuali untuk hal-hal yang sifatnya kejahatan atau kriminal. Itupun dari

41 Pasal 199 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5025.
42 Wawancara dengan Bapak Baihaqi, Selaku Kepala Seksi Angkutan Orang Dalam Trayek

Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta pada 14 Juni 2013

211 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta

beberapa kasus yang kami uraikan diatas, tidak satu pun amar putusan hakim
yang memerintahkan untuk menghukum pelaku usaha untuk bertanggung
jawab terhadap konsumen yang mengalami kerugian dalam menggunakan jasa
angkutannya. Sehingga tidak ada sama sekali yang namanya ganti kerugian oleh
pelaku usaha atau perusahaan angkutan umum terhadap konsumen maupun
pengguna jasanya.

Kesimpulan
Pengaturan bentuk jaminan perlindungan hukum bagi konsumen sebagai
pengguna jasa maupun penumpang angkutan umum diatur dalam hukum
pengangkutan penumpang yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang Buku II Bab V B Pasal 521 sampai Pasal 544a Tentang Pengangkutan
Orang. Disamping pengaturan umum tersebut, bentuk perlindungan hukum
bagi konsumen pengguna jasa maupun penumpang angkutan umum juga diatur
secara spesifik dalam Peraturan perundang-undangan khusus seperti undang-
undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan undang-
undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Standar pelayanan minimal angkutan umum jenis angkot dalam rangka
pemenuhan hak konsumen sebagai pengguna jasa maupun penumpang
angkutan umum jenis angkot di Jakarta secara umum diatur berdasarkan
undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan
dengan ketentuan standar pelayanan minimal yang meliputi keamanan,
keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan. Dengan
rincian penjelasannya yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 81 Tahun 2011 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang meliputi: jaringan pelayanan
angkutan jalan, jaringan prasarana angkutan jalan, fasilitas perlengkapan jalan,
keselamatan, dan sumber daya manusia (SDM) untuk daerah Provinsi dan untuk
daerah Kabupaten/Kota ditambah dengan fasilitas pelayanan pengujian
kendaraan bermotor. Disamping peraturan menteri perhubungan tersebut,
standar pelayanan minimal juga diatur secara tersirat dalam Peraturan Daerah
DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Kereta Api, Sungai, dan Danau Serta Penyeberangan di Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta dengan ketentuan bahwa setiap kendaraan umum dalam trayek
wajib menaikkan dan/atau menurunkan penumpang di tempat pemberhentian
berupa bangunan halte atau tempat pemberhentian kendaraan umum yang
dinyatakan dengan rambu, serta ditetapkan batas umur kendaraan angkutan
umum. Dan juga ditetapkan prosentase penembusan cahaya pada kaca-kaca
kendaraan bermotor, juga mengenai kewajiban pengemudi dalam
mengemudikan kendaraan angkutan umum.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 212
Faris Satria Alam

Upaya yang dapat dilakukan konsumen yang mengalami kerugian dalam


pelayanan angkutan umum jenis angkot di Jakarta ini, terdapat beberapa
alternatif penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan. Dalam memilih penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dapat dilakukan melalui beberapa model penyelesaian sengketa,
diantaranya melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) di Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat,
atau melalui Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-lokasi lain baik
untuk kedua belah pihak yang telah disetujui.
Pengenaan sanksi administratif, sanksi pidana, bahkan hingga sanksi
perdata terhadap pelaku usaha yang melanggar peraturan perundangan-
undangan yang mengatur mengenai Standar Pelayanan Minimal harus
dipertegas, mengingat hal tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap
pengguna jasa, penumpang, maupun konsumen angkutan umum jenis angkot di
Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya dapat meminimalisir tingkat
kejahatan dan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen sebagai pengguna jasa
maupun penumpang yang sering terjadi dalam angkutan umum jenis angkot di
Jakarta dengan melakukan upaya preventif berupa pencegahan terjadinya
penambahan angkot baru yang tidak memenuhi standar pelayanan minimal
pada saat pendaftaran dan perpanjangan izin trayek yang dikenakan retribusi,
dan pada saat retribusi uji KIR di wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah
dan retribusi daerah, serta dalam Perda DKI Jakarta Nomor 3 tahun 2012 tentang
retribusi daerah.

Pustaka Acuan
Buku-Buku
Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam
di Indonesia, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Brotosusilo, Agus. et.al., Filsafat Hukum: Semester Genap Tahun Ajaran 2010/2011.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.
Kamaludin, Rustian. Ekonomi Transportasi. Padang: Ghalia Indonesia, 1986.
Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2014).
Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-
1, Bandung: Fajar Media, 2013.

213 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana, 2011.


Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2008.
Muhammad, Abdulkadir. Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan
Niaga di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi.
Yogyakarta:Penerbit Genta Press, 2007.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1998.
Nurbaiti, Siti. Hukum Pengangkutan Darat : Jalan dan Kereta Api. Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2009.
Rawls, John A. Theory of Justice. Revised Edition, Massachussetts The Belknap of
Harvard University Press Cambridge, 1999.
Shofie, Yusuf. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta:
PT. Citra Aditya Bakti, 2008.
Soekanto,Soerjono. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta; Rajawali Press, 1995.
Soekanto,Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta; UI Press, 1986.
Susilo, Zumrotin K. Penyambung Lidah Konsumen. Cet. I. Jakarta: Puspa Swara,
1996.

Jurnal dan Penelitian


Wulandari, Benadetta T. Busway vs Kemacetan: Tinjauan Atas Hak Konsumen,
Jurnal, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Fakultas
Hukum Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta.

Artikel
Majalah Inovasi, Volume 10/XX/Maret 2008, “Reformasi Transportasi Publik di
Jakarta: Sebuah Kisah Sukses”.

Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 214
Faris Satria Alam

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas


dan Angkutan Jalan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM. 81 Tahun 2011
Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 560.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia,
Nomor PM. 10 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan Minimal
Angkutan Massal Berbasis Jalan, Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 133.
Republik Indonesia. Peraturan Daerah, Nomor 12 Tahun 2003 tentang lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai, dan Danau serta Penyeberangan
di Provinsi DKI Jakarta, Lembaran Daerah Privinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Tahun 2003 Nomor 87.

Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor: 2626/Pid.B/2011/PN.JKT.BAR
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1563/Pid.B/2011/PN.Jkt.Sel
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1560/PID.B/2011/PN.Jkt.Sel
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1561/Pid.B/2011/PN.Jkt.Sel
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1687/PID.B/2012/PN.JKT.PST

Internet
http://m.skalanews.com/baca/news/2/34/118658/megapolitan/kesadaran-supir-
angkot-di-jakarta-masih-rendah.html diakses pada 18 September 2012
http://www.ylki.or.id/berlomba-mematikan-angkutan-umum.html diakses pada
15 September 2012
http://www.ylki.or.id/ subsidi-bbm-dan-nasib-angkutan-umum.html diakses
pada 18 September 2012
www.dephub.go.id diakses pada 19 September 2012

215 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Pengguna Jasa Angkutan Umum Jenis Angkot di Jakarta

Wawancara
Wawancara dengan Bapak Tulus Abadi, (Pengurus Harian YLKI dan Anggota
Dewan Transportasi Kota Jakarta) di Jakarta, Personal Interview, pada 12
April 2013.
Wawancara dengan Bapak Baihaqi, Selaku Kepala Seksi Angkutan Orang Dalam
Trayek Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Personal Interview, pada
14 Juni 2013.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 216
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.217-230, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i3.7862
---------------------------------------------------------------------------------------

Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa


Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh*
(National Disintegration Prevention Conflict Resolution
Through the Legality of Sharia Law in Aceh)
Muhammad Sholeh,1 Nur Rohim Yunus,2 Ida Susilowati3
Institute PTIQ Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Universitas Darussalam Gontor Ponorogo
E-mail: m.sholeh.ptiq@gmail.com, nurrohimyunus@uinjkt.ac.id,
idasusilowati@unida.gontor.ac.id

10.15408/sjsbs.v3i3.7862
Abstract:

Efforts that have been made by the government of the Republic of Indonesia to
reduce conflict in Aceh in the form of various policies. From the pattern of violence,
mediation, enactment of the Regional Military Operation, to finally negotiations for
peace. Negotiations eventually served as the final conflict resolution in order to quell
the raging turmoil. After the Aceh Tsunami in December 2004, an agreement was
finally reached in Helsinki between the government of the Republic of Indonesia and
the elders of the Free Aceh Movement. Among the resolutions obtained are the
enactment of Sharia law or Qonun in Aceh, as a legal law that regulates the life of the
Acehnese in an Islamic manner.

Keywords: Conflict Resolution, Sharia Law, National Disintegration

Abstrak:

Upaya yang telah dilakukan pemerintah Republik Indonesia dalam meredam konflik
di Aceh dalam bentuk kebijakan beranekaragam. Dari pola kekerasaan, mediasi,
pemberlakuan Daerah Operasi Militer, hingga perundingan untuk perdamaian.
Perundingan akhirnya dijadikan sebagai resolusi konflik terakhir guna meredam
gejolak yang berkecamuk. Pasca terjadinya Tsunami Aceh pada bulan Desember
2004, akhirnya dibuatkan kesepakatan di Helsinki antar pemerintah Republik
Indonesia dan para tetua Gerakan Aceh Merdeka. Diantara resolusi yang didapatkan
adalah pemberlakukan hukum Syariah atau Qonun di Aceh, sebagai hukum legal
yang mengatur kehidupan masyarakat Aceh secara Islami.

Kata Kunci: Resolusi Konflik, Hukum Syariah, Disintegrasi Bangsa

Diterima tanggal naskah diterima: 11 Maret 2016, direvisi: 22 April 2016, disetujui untuk
*

terbit: 15 Mei 2016.

217
Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh

Pendahuluan
Indonesia menetapkan bentuk Negara Kesatuan (unitary state) sebagai
upaya mempersatukan kebhinekaan masyarakat. Dinamika perbedaan suku, ras,
agama, etnis, budaya dan keragaman lainnya menjadikan Indonesia kaya akan
budaya. Namun, kebhinekaan tersebut juga dapat menjadi kelemahan bangsa
apabila pemerintah tidak mampu menjadi pemersatu bangsa, sehingga berubah
menjadi konflik disintegrasi bangsa yang membahayakan masa depan bangsa.
Permasalahan Aceh merupakan salah satu contoh konflik disintegrasi bangsa di
Indonesia akibat ketidakadilan di bidang ekonomi yang berdampak pada konflik
SARA, ditunjang dengan sistem desentralisasi di Indonesia. 1 Hal tersebut
sebagaimana disebutkan Sofyan Tan dalam salah satu tulisannya mengenai
solusi ancaman disintegrasi bangsa bahwa ketidakadilan merupakan faktor
utama tuntutan disintegrasi Aceh.
Pembicaraan tentang Aceh bukanlah hal yang baru, namun merupakan
hal yang sudah lama sejak zaman sebelum kemerdekaan RI hingga pasca
kemerdekaan. Berbagai cara telah ditempuh Pemerintah RI untuk menyelesaikan
permasalahan ini, mulai dari dialog, penetapan Aceh menjadi daerah khusus,
sampai akhirnya menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), namun, hasilnya nihil.
Pada tahun 2005 silam, telah terjadi nota kesepahaman perdamaian (MoU)
antara Pemerintah RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki Finlandia.
Perjanjian Helsinki yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005 tersebut,
menjadi perdebatan sengit di kalangan anggota legislatif, sebagian pengamat
politik, akademisi dan sebagian masyarakat. Perdebatan ini banyak
mempertanyakan isi nota kesepahaman yang notabene banyak merugikan
pemerintahan RI dan mengancam keutuhan NKRI. Peristiwa tersebut
menimbulkan pertanyaan mendasar, tentang cara apa yang dapat digunakan
pemerintah untuk menyelesaikan konflik nasional di Aceh? Bagaimana
tantangan dan solusi mengenai penerapan syariat Islam di Aceh? Kedua
pertanyaan tersebut menjadi fokus bahasan pada artikel ini.

Metode Penelitian
Berangkat dari beberapa pertanyaan mendasar tersebut, penulis berusaha
mengkaji secara jernih, serta berupaya mencari solusi terbaik bagi Aceh dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai langkah untuk mempermudah
pembahasan, maka penulis menggunakan beberapa metode diantaranya:
(1) historical method,2 yaitu dengan mengumpulkan beberapa dokumen,
dan juga data sejarah yang valid berkenaan dengan Aceh, kemudian mengolah

1 Sofyan Tan, “Pendidikan Multikulturalisme: Solusi Ancaman Disintegrasi Bangsa,” Jurnal


Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI, Vol. II No. 1, April 2006, h.32.
2 Koentjara Ningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, h.160

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 218
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati

data tersebut untuk kemudian menganalisa lebih lanjut. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui tentang sejarah Aceh, hingga munculnya pemberontakan dari
sebagian masyarakat Aceh.
(2) Analytic critic method, 3 cara ini digunakan dengan menggambarkan
fakta-fakta yang penulis dapatkan dari sumber-sumber tertentu untuk kemudian
dianalisa dengan sumber-sumber yang lain. Dengan metode kritis analitis
penulis dapat mencerna data-data yang ada untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki.

Aceh dan Ancaman Konflik Disintegrasi Bangsa


Jauh sebelum kemerdekaan RI di pertengahan abad ke-12, Islam
diperkirakan telah masuk ke wilayah Sumatera dan terlibat kontak dagang
antara utusan Arab dari Kekhalifahan Abbasiyah dengan kerajaan Sriwijaya.4
Dalam sumber lain dikatakan, bahwa Samudra Pasai (Sekarang Aceh Utara,
Lhokseumawe) merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara dengan Sultan
Malik al-Saleh sebagai raja muslim pertama di kerajaan tersebut. Baru kemudian
di abad ke-16 Kesultanan Aceh mampu mencapai puncak kejayaannya di bawah
kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, sebagai Sultan pertama yang
meletakkan dasar-dasar berdirinya Kesultanan Aceh. Selama periode tersebut
Kesultanan Aceh menguasai perdagangan di wilayah Aceh Besar, Daya, Pidie,
dan Pasai sebagai penghasil rempah-rempah dan kapur barus.5
Berdasarkan historis, Aceh senantiasa mengalami pergolakan sepanjang
masa disebabkan karena etnis Aceh selalu diingkari oleh pihak-pihak yang
pernah memperoleh jasa dan budi baik rakyat Aceh. Termasuk dalam hal ini
Belanda yang pernah berjuang selama 80 tahun merebut kemerdekaan dari
penjajah Spanyol di tahun 1568-1648 M, dan berhasil menjadi negara merdeka
tidak luput dari jasa kesultanan Aceh saat itu. Sultan Aceh-lah yang memberi
pengakuan pertama atas kemerdekaan Belanda, baru kemudian menyusul
negara-negara lain di dunia. Sultan Aceh dengan gelar Sultan Alaidin Riayatsyah
ketika itu mengirim pernyataan pengakuan itu dengan sepucuk surat resmi
kepada Raja Belanda pada tahun 1602 M. Namun, karena tergiur dengan sumber
daya alam yang berlimpah, dengan watak Barat yang berambisi menjajah bangsa
Timur, Belanda melanjutkan niatnya untuk menjajah Nusantara termasuk Aceh.
Belanda mempersiapkan perang semesta untuk menaklukkan Aceh. Hingga
akhirnya Belanda mendapat kemenangan atas Aceh, namun hal tersebut bukan
membuat situasi aman, tenteram dan damai usai perang, justru perang melawan

3 Suriasmantri Jujun, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan, Pusjarlit Nuansa, h.45.
4 Djenar Respati, Sejarah Agama-Agama Di Indonesia: Mengungkap Proses Masuk dan
Perkembangannya, Cetakan I, (Yogyakarta: Araska, Oktober 2014), h.107-108.
5 Saifullah, Sejarah & Kebudayaan Islam Di Asia Tenggara, Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2010), h. 26-28.

219 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh

Belanda bagi rakyat Aceh makin berkecamuk selama 30 tahun (1873-1908), 6


terlebih setelah Sultan Alaiddin Muhammad Dausyah (Sultan Aceh terakhir)
turun di medan perang, bergerilya bersama rakyat melawan serdadu Belanda di
hutan-hutan Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie. Itu sebabnya gejolak yang
paling menonjol di Aceh adalah di ketiga kabupaten ini. Momentum tersebut
dimanfaatkan dengan baik oleh rakyat Aceh, sehingga Belanda tidak pernah
menjamah daerah Aceh sampai menjelang era Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Aceh juga menjadi basis kekuatan yang menggerakkan perang semesta,
tanpa Aceh saat itu bisa jadi NKRI tidak dapat mewujudkan kemerdekaan penuh
atas okupasi Belanda. Pasca kemerdekaan, tepatnya di bulan Juni 1948,
Kesultanan Aceh menjadi tempat pelarian Ir. Soekarno7 ketika Yogyakarta (Ibu
kota Indonesia saat itu) direbut kembali oleh Belanda pada peristiwa agresi
militer Belanda ke-2. Artinya Aceh-lah sebagai wilayah utama NKRI saat itu,
sedangkan wilayah lain di Indonesia menjadi negara bagian yang beribukota di
Den Haag, Belanda. Dalam kunjungan tersebut, Bung Karno meminta rakyat
Aceh untuk berdharma bhakti kepada perjuangan menegakkan RI, sehingga
terhimpun dana sumbangan rakyat Aceh berupa emas murni dan harta benda
lainnya. Karena hal tersebut Aceh disebut sebagai negara modal. Modal tersebut
kemudian digunakan untuk membeli 2 pesawat terbang, yang diberi nama
Seulawah RI 001 dan RI 002. Dalam perjuangan menegakkan dan
mempertahankan kemerdekaan RI, lahirlah pemerintah darurat RI (PDRI) 8 di
bawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara, dan menetapkan Aceh sebagai
ibu kota dan pusat komando Panglima Sumatera di bawah Komando R. Hidayat.
Kutaradja (Banda Aceh) digunakan sebagai pusat pembinaan Angkatan Laut dan
Angkatan Udara RI. Namun, sekembalinya Bung Karno dari Aceh, justru
keluarlah surat keputusan Presiden bahwa Aceh hanya sebagai bagian daerah
Sumatera Utara dan menjadi bagian kecil Sumatera Utara.
Dari sini mulai muncul konflik disintegrasi bangsa di Aceh.
Ketidakpuasan rakyat Aceh atas keputusan tersebut memunculkan gerakan
DI/TII Pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat yang dimanfaatkan rakyat Aceh
untuk mengambil kesempatan menentang RI, dengan memproklamirkan negara
Islam Aceh Darussalam. Sebagai reaksi atas gerakan rakyat Aceh tersebut,
Perdana Menteri Muhammad Natsir bersikap pro-aktif melalui pendekatan
persuasif dan empatif, 9 sehingga situasi damai dan tenteram dapat terwujud.
Aceh mendapatkan gelar "Daerah Istimewa Aceh."

6 Microsoft Encarta 2003.


7 Abbas Abdullah, Mengapa Aceh Bergolak sepanjang Masa, Harian kompas, Minggu, 15
April 2001.
8 Abbas Abdullah, Ibid.

9 Abbas Abdullah, ibid.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 220
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati

Masa Orde Baru, kembali rakyat Aceh teringkari dengan lahirnya


inspirasi baru yang bertentangan dengan NKRI, yaitu Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) yang lahir pada 4 Desember 1976. 10 Ide GAM sangat bertentangan
dengan hukum dan perundang-undangan di Indonesia, namun GAM terus
bergolak tanpa kenal damai. Terhitung sejak Orde Baru hingga era reformasi,
pemerintah tetap bertindak berdasarkan hukum yang tidak pernah tuntas.
Untuk mengamankan Aceh di zaman Orde Baru ditetapkan Aceh sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM), namun justru hanya membuat banyak rakyat Aceh
menjadi korban. Konflik disintegrasi antara rakyat Aceh dan pemerintah pun
semakin runcing.
Di era Reformasi, Aceh semakin bergejolak karena di saat yang sama,
Indonesia juga sedang menghadapi krisis di berbagai bidang lainnya. Janji
Presiden Habibie untuk menuntaskan masalah Aceh juga tidak jadi kenyataan.
Lepasnya Timor Timur makin mendorong semangat GAM untuk melepaskan
diri dari NKRI. Namun anggota Dewan Perwakilan Rakyat menolak referendum
rakyat Aceh, karena bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan.
Ancaman disintegrasi bangsa pun tidak dapat dihindari, sehingga diperlukan
adanya resolusi konflik yang tepat untuk menanganinya.

Perjanjian Helsinki dan Resolusi Konflik di Aceh


Penyelesaian Aceh dengan menggunakan kekerasan seperti yang
dilakukan Orde Baru tidak membawa hasil yang signifikan, bahkan
menimbulkan reaksi luar negeri dengan membawa kedok hak asasi manusia.
Pemerintah RI yang berniat baik menyelesaikan masalah justru dituduh
melanggar HAM. Selain itu, penyelesaian konflik di Aceh dengan cara kekerasan
hanya menambah jumlah penduduk sipil yang menjadi korban operasi.
Resolusi konflik merupakan suatu cara dalam menyelesaikan suatu
permasalahan, dengan menggunakan cara yang demokratis dan konstruktif baik
antara pihak yang berkonflik atau melalui pihak ketiga yang netral dan adil
dalam memecahkan konflik yang terjadi 11 . Dalam hal ini resolusi konflik
merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memecahkan konflik di Aceh
yang berpotensi menjadi konflik disintegrasi bangsa.
Meminjam istilah Albert Einstein “Peace cannot be kept by force. It can only
be achieved by understanding, 12 perdamaian tidak akan pernah tercapai dengan
kekerasan tetapi dia hanya dapat dicapai dengan saling memahami. Perdamaian
tidak akan didapatkan dengan cara membiarkan konflik yang terjadi berjalan

10 Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, h.199.


11 Wisnu Suhardono, “Konflik dan Resolusi” dalam Jurnal Salam: Jurnal Sosial dan Budaya
Syar’i, Vol. II No. 1, Juni 2015, h.5.
12 Ruth Fishel, Five minutes for World Peace Forever, h.29.

221 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh

tanpa adanya penyelesaian. Kata orang bijak “Belajarlah dari sejarah” maka kita
perlu membaca dan mengkaji ulang histori Aceh dengan seksama untuk
memahami problem solving yang tepat dan bijak atas kasus Aceh. Perang adalah
hal yang sangat mengerikan, dalam perang diperlihatkan bagaimana seorang
ayah mengubur anak, istri dan bahkan teman sekalipun, begitu juga berapa
banyak harta benda dikorbankan dalam sebuah peristiwa perang.
Diantara langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam
menyelesaikan masalah Aceh adalah dengan membuka peluang dialog guna
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Melalui dialog yang baik, dapat
dipahami lebih lanjut tentang apa yang diinginkan rakyat Aceh untuk
pembangunan wilayah mereka dan pemerintah juga dapat mengetahui sebab-
sebab timbulnya pemberontakan rakyat Aceh yang ingin memisahkan diri dari
pemerintahan Indonesia. Selain itu pemerintah juga dapat menciptakan
fleksibilitas dalam diplomasi guna tercapainya kesepakatan bersama yang tidak
berat sebelah. Hal yang dapat dilakukan diantaranya dengan memperbaiki taraf
hidup rakyat Aceh untuk memupuk kepercayaan rakyat demi perdamaian dapat
diwujudkan.
Sebagai upaya membuka ruang dialog dengan rakyat Aceh, maka
pemerintah membutuhkan langkah-langkah strategis, yaitu menghadirkan pihak
ketiga dari International Non-Governmental Organization (INGO) antara lain
Henry Dunant Centre (HDC) pada tahun 1999 dan berakhir di tahun 2003.
Kemudian menghadirkan Crisis Management Initiative (CMI) pada tahun 2005.
Tarik ulur antara kedua belah pihak berlangsung selama 8 bulan dalam 5 kali
putaran hingga akhirnya menghasilkan nota kesepahaman (MoU) Helsinki.13
Melalui Perjanjian Helsinki yang menghasilkan lima kesepakatan utama,
yait;14 Pertama, tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, yang mencakup
undang-undang tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, partisipasi
politik, perekonomian, dan peraturan perundang-undangan; Kedua, tentang Hak
Asasi Manusia; Ketiga, tentang amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat;
Keempat, tentang pengaturan keamanan, yang dalam hal ini fokus terhadap hak
dan kewajiban antara pemerintah RI dengan GAM; dan Kelima, tentang
pembentukan misi monitoring Aceh yang dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-
negara ASEAN yang mendapat mandat memantau pelaksaan komitmen para
pihak dalam nota kesepahaman tersebut.
Berdasarkan isi perjanjian tersebut, maka disusunlah Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai wujud realisasi dari nota kesepahaman

13 Muhammad Iqbal, “Fenomena Kekerasan Politik Di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki” dalam

Jurnal Hubungan Internasional, Tahun VII, No. 2, Juli-Desember 2014, h.154.


14 Amal Ihsan Hadian, “Apa Isi Naskah Perjanjian Helsinki RI-GAM?” dalam News Data

Financial Tool Kontan.co.id, Sabtu 6 April 2013, 22.30 WIB, diakses dari
http://nasional.kontan.co.id/news/apa-isi-naskah-perjanjian-helsinki-ri-gam

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 222
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati

(MoU) antara pemerintah RI dan pihak GAM di Helsinki Finlandia tanggal 15


Agustus 2006 tersebut.15 Meskipun banyak yang berpendapat bahwa Undang-
Undang tersebut tidak menghasilkan perdamaian positif di Aceh karena
sebagian isi dari UUPA tidak sesuai dengan isi kesepakatan. Pada dasarnya
pemberian otonomi khusus merupakan pelimpahan wewenang kepada
pemerintah Aceh dalam hal pembangunan dan politik daerah sebagaimana
diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006. Adapun nilai-nilai mengenai keistimewaan
Aceh berlandaskan pada UU No. 44 Tahun 1999.16 Proses pembuatan UU inipun
melibatkan banyak pihak dan menggunakan metode pendekatan bottom up
(unsur-unsur pemerintahan kepada masyarakat Aceh) sekaligus top down
(masyarakat Aceh memberikan masukan kepada pemerintah).17
Dengan dicetuskannya perjanjian Helsinki, rakyat Aceh memulai babak
baru perdamaian Aceh, sehingga diharapkan konflik di Aceh selesai dan
masyarakat berada dalam kedamaian, sehingga mampu berkonsentrasi
membangun daerahnya. GAM sendiri mulai aktif dalam partisipasi politik salah
satunya melalui partai politik di Aceh, meskipun terdapat permasalahan
kepemimpinan dalam tubuh GAM tentang siapa tokoh yang mampu
mempengaruhi GAM pada langkah berikutnya. 18 Bercermin dari perjalanan
Rasulullah saw, ketika orang-orang kafir Mekkah mengadakan perjanjian
dengan kaum Muslimin yang terkenal dengan perjanjian Hudaibiyya,19 dalam
perjanjian tersebut, walaupun banyak sahabat yang menganggap bahwa
perjanjian itu banyak merugikan kaum Muslimin, namun Rasulullah saw tetap
berkomitmen untuk menerima isi perjanjian tersebut. Meskipun akhirnya orang-
orang kafir melanggar perjanjian damai tersebut. Rasulullah saw menindak tegas
bagi mereka yang melanggar perjanjian, sebagaimana Pemerintahan RI yang
bersikukuh dalam menjaga perjanjian dan menindak tegas bagi mereka yang
melanggarnya.
Langkah berikutnya sangat ditentukan oleh pihak-pihak terkait, terutama
pihak GAM dan Pemerintah Indonesia supaya mentaati butir-butir draf
kesepakatan damai dengan tindakan nyata yang mendukung terciptanya
perdamaian.

15 Suadi Zainal, “Transformasi Konflik Aceh dan Relasi Sosial-Politik di Era Desentralisasi”

dalam Jurnal MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, Vol. 21, No. 1, Januari 2016, h.82.
16 Zaki ‘Ulya, “Refleksi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dalam Kaitan Makna

Otonomi Khusus di Aceh” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014, h.390-391.
17 Aleksius Jemadu, “Proses Peacebuilding di Aceh: Dari MoU Helsinki Menuju Implementasi

Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh” dalam Jurnal Hukum Internasional, Volume 3 Nomor 4
Juli 2006, h.542.
18 Anton Aliabbas, Transformasi Gerakan Aceh Merdeka, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun

Pasca MoU Helsinki, P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, January 2008, h.28-31.
19 Lihat, Muhammad Munir, Public International Law and Islamic International Law, Identical

Expressions of World order, Islamabad Law Law Revie, h.391.

223 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh

Seluruh rakyat tentunya memiliki harapan, supaya pihak-pihak yang


selama ini berseteru akan memegang teguh kesepakatan damai yang telah
dihasilkan di Helsinki. Harapan itu sangat besar, karena pada hakikatnya apa
yang dilakukan oleh para pihak yang 'bertikai' -baik GAM maupun Pemerintah
RI- adalah untuk kepentingan rakyat Aceh. Untuk kemajuan dan kesejahteraan
rakyat di tanah rencong dan demi mempertahankan keutuhan NKRI.
Pasca perjanjian Helsinki terdapat empat agenda pembangunan hukum
yang bersifat mendesak sebagai implikasi MoU Helsinki, yaitu; (1) pembentukan
Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh (PPA), (2)
Merumuskan dan menyusun ulang Qanun (Peraturan Daerah), (3)
Pengembangan sistem dan mekanisme penyelesaian klaim tanah pertanian,
kesempatan pekerjaan dan jaminan sosial, serta pembentukan Komisi untuk itu,
(4) Pembenahan aparatur penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, termasuk Mahkamah Syariah.

Penerapan Perda Syariah di Aceh


Islam menjadi pertimbangan penting dalam berbagai kebijakan negara
pada berbagai tingkatnya, seperti tercermin dalam berbagai keputusan dan
langkah yang diambil para pejabat negara, baik dalam lembaga eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif. Penerapan syariat Islam di bumi Nangroe Aceh
Darussalam merupakan hak bagi rakyat Aceh didasarkan pada sejarah Aceh
sebagai wilayah masuknya Islam pertama kali di Indonesia. Aceh juga sebagai
wilayah yang berdaulat pada masa kesultanan Islam dan dari Aceh perlawanan
melawan kolonial Belanda digerakkan.20 Dengan demikian, hak istimewa bagi
Aceh merupakan hak yang memang harus diberikan kepada rakyat Aceh.
Sebagai bangsa yang besar hendaknya mampu memberikan hak-hak
setiap warga negaranya. Sebaliknya, hal yang harus dilakukan masyarakat Aceh
yaitu melakukan kewajiban mereka sebagai warga negara Indonesia dengan
baik, yaitu dengan taat dan patuh dibawah naungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Penerapan syariat Islam bukan hanya diartikan sebagai penerapan
sebagian undang-undang, namun penerapan undang-undang secara
keseluruhan, baik di bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum. Penerapan
syariat Islam merupakan hak yang harus dipenuhi, dan patuh terhadap negara
kesatuan RI adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Karena tidak ada hak-hak tanpa
adanya kewajiban dan tidak ada kewajiban tanpa adanya hak-hak. 21 Hak-hak
masyarakat Aceh adalah mendapatkan hasil bumi mereka dan dapat

20Lihat, Majalah al-Mujtama’ edisi 1667, 3 september 2005, h.15.


21Hasan Hanafi, “At-tasyri’ al-Jinai al-Islami baina al-huquq wa al-wajibat,” Harian al-Ittihad,
sabtu 4 juni 2005.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 224
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati

menerapkan syariat Islam. Apabila hak-hak tersebut sudah dipenuhi, maka


mereka dituntut untuk tetap patuh di bawah naungan NKRI.
Penerapan Perda Syariah di Aceh menuai pro kontra di masyarakat.
Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie, dengan lantang
menyuarakan bahwa PSI menolak perda-perda yang berlandaskan agama, baik
perda syariah di Aceh maupun perda Injil di Papua dengan alasan untuk
membela kebhinekaan.22 Pernyataan tersebut sontak memancing kontroversi di
masyarakat, terutama di kalangan pendukung perda-perda berbasis agama
khususnya perda syariah. Penolakan terhadap perda agama ini pun didukung
oleh Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, perda syariah menurut PDIP tidak
ada, karena semua perundang-undangan harus turunan dari konstitusi.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfudz MD menyatakan bahwa
hukum syariah merupakan hukum perdata yang tidak perlu dirumuskan dalam
bentuk perda dan hanya akan sia-sia.23 Pernyataan tersebut sebagaimana dilansir
dalam tempo pada tanggal 18 November 2018, sebagai reaksi atas kontroversi
penolakan perda syariah oleh ketua umum Partai Solidaritas Indonesia. Dalam
hal ini, mahfudz MD lebih memandang syariah Islam sebagai sebuah sistem nilai
yang sudah seharusnya diinternalisasikan dalam diri individu rakyat Indonesia
dan bukan sebagai produk nilai yang harus dimasukkan dalam sebuah aturan
khusus.
Sementara Sandiaga Salahuddin Uno mendukung penerapan perda
syariah yang menurutnya sebagai bagian dari kearifan lokal suatu daerah yang
tidak perlu digugat dan diperdebatkan lagi eksistensinya. Bagi Sandi, perda
syariah dinilai mampu mendorong penerapan Islam secara kaffah dan mampu
menjadi problem solving dalam hal ekonomi dan moral masyarakat.24 Hal tersebut
dikemukakan saat silaturahmi bersama ulama Aceh di hotel Hermes, Banda
Aceh.
Nilai-nilai Islam sendiri sebenarnya telah menjadi suatu sistem nilai
dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Teks Pancasila sendiri sebelum
menjadi format baku seperti saat ini, sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” sebagaimana
dirumuskan dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 sebagai hasil kesepakatan

22 Radix Wp, “PSI Kontra Perda Syariah” dalam Kolom detiknews, Senin 26 November 2018,

diakses dari https://m.detik.com/news/kolom/4317388/psi-kontra-perda-syariah


23 Francisca Christy Rosana, Mahfudz MD: Perda Syariah dan Perda Sejenisnya Hanya Sia-sia,

tempo.co, minggu 18 November 2018, 07.13 WIB, diakses dari


https://nasional.tempo.co/read/1147392/mahfud-md-perda-syariah-dan-perda-sejenisnya-hanya-
sia-sia
24 CNN Indonesia, “Sandi Sebut Perda Syariah Perlu Didukung dan Jangan Diganggu,” Rabu

21 November 2018, 07.42, Diakses dari https://m.cnnindonesia.com/nasional/20181121065828-32-


347978/sandi-sebut-perda-syariah-perlu-didukung-jangan-diganggu

225 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh

pertama sidang. 25 Hal tersebut tidak terlepas dari histori panjang bangsa
Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan, dimana tidak terlepas dari
peran para ulama dan umat Islam di nusantara termasuk kesultanan Aceh.
Berdasarkan sisi historis, rakyat Aceh telah melalui 5 periode dalam
upaya mewujudkan legalitas hukum dari pemerintahan pusat dalam
menerapkan syariat Islam di Aceh, yaitu; pertama, masa Kesultanan Aceh;
kedua, masa penjajahan Belanda; ketiga, masa awal kemerdekaan; keempat,
masa orde baru; dan kelima, masa reformasi26. Hal tersebut sebagai upaya dalam
mempertahankan jati diri masyarakat Aceh sebagai wilayah Kesultanan Aceh di
masa silam.
Islam bukan agama yang penuh kekerasan dan permusuhan. Islam
adalah agama rahmatan lil’alamin. Islam merupakan kepercayaan, ketundukan,
dan juga jalan yang membatasi hak-hak dari kewajiban-kewajiban. Islam
membawa kebaikan bagi seluruh manusia, mengatur setiap segi kehidupan
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist, baik dalam segi kehidupan sosial
masyarakat, mempertahankan kehormatan dan menjaga dari setiap kerusakan
dan kejahatan. 27 Sehingga penerapannya di bumi Aceh tidak perlu
dikhawatirkan.
Syariat Islam tidak akan mendatangkan problem bagi masyarakat Aceh
maupun masyarakat di luar Aceh. Masyarakat Aceh adalah masyarakat Islam.
Jauh sebelum kemerdekaan, di Aceh telah berdiri kerajaan Islam yang
mengimplementasikan tata hukum Islam. Hukum Islam di Aceh berlaku sejak
abad ke-14 sampai abad ke-19. Hukum Islam adalah bagian dari adat-istiadat
masyarakat Aceh. Baru pada tahun 1907 sampai sekarang, hukum Islam tidak
berlaku di Aceh. Adapun jika ada wilayah lain yang menuntut hal yang sama
seperti Aceh, itu bukan karena penerapan syariat Islam di Aceh, melainkan
karena kurangnya rasa keadilan yang mereka rasakan dari Pemerintahan pusat
sehingga mereka menuntut hak-haknya melalui berbagai macam cara untuk
mencapainya.

Kesimpulan
Aceh sudah lama merasakan penderitaan, sejak zaman sebelum
kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan dan reformasi saat ini. Rakyat Aceh
tidak mendapatkan hak-hak mereka sebagaimana mestinya, sehingga wajarlah
timbul perlawanan yang tak kunjung reda hingga kini. Hendaknya
penandatanganan nota kesepahaman di Helsinki dapat memberikan hal terbaik

25 Kaelan, Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi Kesebelas, (Yogyakarta: Paradigma, 2016), h.15
26 Syamsul Bahri, “Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI)” dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 2, Mei 2012, h.360-361.
27 Sholah As-Showi, Qodiyyatu Tatbiiqu al-Syariat fi al-Alam al-Islami, h.138.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 226
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati

bagi masyarakat Aceh. Memberikan hak-hak rakyat Aceh dengan semestinya,


baik dalam mengatur sumber daya alam ataupun dalam penerapan syariat Islam
berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist. Dengan menerima hak-hak rakyat Aceh
dengan semestinya, diharapkan rakyat Aceh melaksanakan kewajiban mereka
sebagai warga negara Indonesia dan tetap tunduk terhadap NKRI, sebagaimana
yang tertera dalam nota kesepahaman di Helsinki.
Konflik Aceh diharapkan dapat dijadikan sebagai langkah awal
percontohan bagi penyelesaian berbagai macam masalah di tanah air, yaitu
melalui metode persuasif, pendekatan, dan dialog dalam upaya menegakkan
keadilan dengan memberikan hak-hak kepada masyarakat Aceh sesuai
perundang-undangan. Pemenuhan hak diharapkan tidak ada lagi wilayah lain
yang merasa iri. Optimistis terhadap hasil perjanjian Helsinki merupakan awal
yang baik untuk terciptanya perdamaian di bumi Rencong dan menjadi
percontohan bagi wilayah lainnya di Indonesia, yaitu penyelesaian setiap
masalah melalui diplomasi perundingan bukan dengan kekerasan. Diharapkan
juga agar semua pihak menjaga komitmen untuk menjaga isi perjanjian yang
disepakati dalam draf (MoU), baik dari pihak RI, GAM dan pemantau luar negri
atau Aceh Monitoring Mission (AMM).

Daftar Pustaka
‘Ulya, Zaki. “Refleksi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dalam Kaitan
Makna Otonomi Khusus di Aceh” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 11,
Nomor 2, Juni 2014.
Abdullah, Abbas. Mengapa Aceh Bergolak Sepanjang Masa, Harian kompas,
Minggu, 15 April 2001.
Ahmad, Kamaruzzaman Bustaman. Wajah Baru Islam di Indonesia, Yogyakarta:
UII Press Yogyakarta, Juni 2004.
Aji, Ahmad Mukri. "Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (Analisis
Terhadap Undang-Undang Nomor 15 dan 16 Tahun 2003 Berdasarkan Teori
Hukum)," dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. 1, No. 1 (2013).
Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam
di Indonesia, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.
Aliabbas, Anton. Transformasi Gerakan Aceh Merdeka, Beranda Perdamaian Aceh Tiga
Tahun Pasca MoU Helsinki, P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, January 2008.
Al-Shawi, Sholah. Qodiyyatu Tatbiq As-syariah fi –al-Alam al-Islami, tahun 1990.

227 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh

Bahri, Syamsul. “Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol.
12 No. 2, Mei 2012.
Fishel, Ruth. Five Minutes for world Peace Forever. Health Communicatioans, Inc.
Florida.
Hanafi, Hasan. At-Tasyri’ al-Jinai al-Islami Baina al-Huquq wa al-Wajibat, Harian
Al-Ittihad, sabtu 4 Juni 2005.
Iqbal, Muhammad. “Fenomena Kekerasan Politik Di Aceh Pasca Perjanjian Helsinki”
dalam Jurnal Hubungan Internasional, Tahun VII, No. 2, Juli-Desember
2014.
Jemadu, Aleksius. “Proses Peacebuilding di Aceh: Dari MoU Helsinki Menuju
Implementasi Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh” dalam Jurnal
Hukum Internasional, Volume 3 Nomor 4 Juli 2006.
Jujun, Suriasmantri. Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan, Bandung,
Pusjarlit Nuansa, 1998.
Kaelan. Pendidikan Pancasila, Edisi Revisi Kesebelas, (Yogyakarta: Paradigma,
2016), h.15
Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2014).
Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-
1, Bandung: Fajar Media, 2013.
Majalah al-Mujtama’ Edisi 1667, 3 september 2005.
Microsoft Encarta 2003.
Munir, Muhammad. “Public International Law and Islamic International Law:
Identical Expressions of world Order,” dalam Jurnal Islamabad Law Review,
Vol. 1, 2003.
Ningrat, Koentjara. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta Gramedia
Pustaka Utama, 1991.
Respati, Djenar. Sejarah Agama-Agama Di Indonesia: Mengungkap Proses Masuk dan
Perkembangannya, Cetakan I, (Yogyakarta: Araska, Oktober 2014).
Saifullah, Sejarah & Kebudayaan Islam Di Asia Tenggara, Cetakan I, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010).
Suhardono, Wisnu. “Konflik dan Resolusi” dalam Jurnal Salam: Jurnal Sosial dan
Budaya Syar-i, Vol. 2, No. 1, Juni 2015.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 228
Muhammad Sholeh, Nur Rohim Yunus, Ida Susilowati

Tan, Sofyan. “Pendidikan Multikulturalisme: Solusi Ancaman Disintegrasi Bangsa,”


Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI, Vol. II No. 1, April 2006.
Terjemahan Resmi (MoU) yang telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM di
Helsinki, Finlandia, 15 agustus 2005.
Zainal, Suadi. “Transformasi Konflik Aceh dan Relasi Sosial-Politik di Era
Desentralisasi” dalam Jurnal MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, Vol. 21,
No. 1, Januari 2016.

Website:
CNN Indonesia, “Sandi Sebut Perda Syariah Perlu Didukung dan Jangan Diganggu,”
Rabu 21 November 2018, 07.42, Diakses dari
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20181121065828-32-347978/sandi-
sebut-perda-syariah-perlu-didukung-jangan-diganggu
Francisca Christy Rosana, Mahfudz MD: Perda Syariah dan Perda Sejenisnya Hanya
Sia-sia, tempo.co, minggu 18 November 2018, 07.13 WIB, diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1147392/mahfud-md-perda-syariah-dan-
perda-sejenisnya-hanya-sia-sia
Hadian, Amal Ihsan. “Apa Isi Naskah Perjanjian Helsinki RI-GAM?” dalam News
Data Financial Tool Kontan.co.id, Sabtu 6 April 2013, 22.30 WIB, diakses
dari http://nasional.kontan.co.id/news/apa-isi-naskah-perjanjian-helsinki-
ri-gam
Radix Wp, “PSI Kontra Perda Syariah” dalam Kolom detiknews, Senin 26
November 2018, diakses dari
https://m.detik.com/news/kolom/4317388/psi-kontra-perda-syariah

229 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Resolusi Konflik Pencegahan Disintegrasi Bangsa Melalui Legalitas Hukum Syariat di Aceh

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 230
SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Vol. 3 No. 2 (2016), pp.231-244, DOI: 10.15408/sjsbs.v3i2.7856
---------------------------------------------------------------------------------------

Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara


Dalam Bingkai Negara Hukum*
(Strengthening of Coordination Between State Institutions
As Rechstaat Framework)

Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangsel
E-mail: indra.r86@gmail.com, rizza@gmail.com

10.15408/sjsbs.v3i2.7856

Abstract:
The authority of the state is not powered by one person or one institution only, but
also it should be a separation of power. The separation pf power from trias politica
theory is difficult to be implemented because no other state body that untouchable.
That is why the theory of distribution power developed become the check and
balances theory. The development of check and balances theory is signed by the
amandement UUD 1945. The goal of check and balances system is to maximize the
function state body and to limit abuse of power. In fact, there is always conflict
between state bodies because of their power and duty.
Keywords: Check and balances, state body, and conflict.

Abstrak:
Kekuasaan negara tidak terpusat pada satu orang atau lembaga saja, tetapi perlu
adanya pemisahan kekuasaan (separation of power). Separation of power dari trias
politica sebelumnya sulit terlaksana karena satu sama lain lembaga negara tidak
mungkin tidak saling bersentuhan, sehingga berkembanglah menjadi teori
pembagian kekuasaan (distribution of power) dan berujung dengan lahirnya
teori checks and balances. Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia yang mengarah
pada sistem checks and balances ditandai dengan adanya amandeman UUD 1945
yakni lembaga negara yang saling mengawasi dan mengimbangi lembaga negara
lainnya. Tujuan checks and balances adalah memaksimalkan fungsi masing-masing
lembaga negara dan membatasi kesewenang-wenangan lembaga negara. Pada
kenyataanya, mulai ada ketegangan dan konflik antar lembaga negara yang
diakibatkan lembaga negara tersebut merasa memiliki kekuatan yang sama.
Kata kunci: Checks and balances, lembaga negara, dan konflik.

Diterima tanggal naskah diterima: 12 Maret 2016, direvisi: 22 April 2016, disetujui untuk
*

terbit: 20 Mei 2016.

231
Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Bingkai Negara Hukum

Pendahuluan
Menurut perkembangan sejarah ketatanegaraan kata pemisahan
kekuasaan, pertama kali dicetuskan oleh John Locke yang membagi kekuasaan
negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurutnya, fungsi-fungsi
kekuasaan negara meliputi: fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi
federatif. Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John
Locke dikembangkan lebih lanjut setengah abad kemudian dalam abad ke XVIII
oleh Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (1668-1748) dalam
karyanya L’Espirit des Lois (The Spirit of the Laws).1
Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu
kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk
menyelenggarakan undang-undang yang oleh Montesquieu diutamakan
tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif) dan kekuasaan mengadili
terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif). Tegasnya Montesquieu
mengatakan, kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas
(fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang
menyelenggarakannya. Konsepsi ini lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica.
Separation of power dari trias politica sebelumnya sulit terlaksana karena satu sama
lain lembaga negara tidak mungkin tidak saling bersentuhan, sehingga
menyebabkan teori pembagian kekuasaan (distribution of power) lebih
berkembang, digunakan di berbagai Negara, dan berujung dengan lahirnya
teori checks and balances.
Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia yang mengarah pada
sistem checks and balances ditandai dengan adanya amandeman UUDNRI 1945
yakni lembaga negara yang saling mengawasi dan mengimbangi lembaga negara
lainnya. Indonesia membagi kekuasaan pemerintahan kepada eksekutif yang
dilaksanakan oleh presiden, legislatif oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
yudikatif oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Sejarah ketatanegaran Indonesia di masa Orde Baru hampir tidak
mengenal adanya checks and balances di antara lembaga negara karena realitas
kekuasaan terpusat pada Presiden.2 Perubahan UUD 1945 melahirkan satu
kekuatan penyeimbang yang dibangun secara fungsional dalam bentuk

1 Diunduh dari http://www.jimlyschool.com/read/analisis/333/checks-and-balances-dan-

judicial-review-dalam-legislasi-di-indonesia/ pada tanggal 27 Oktober 2015, dapat ditelusuri pada


Carl Schmitt,Constitutional Theory, Translated and edited by Jeffrey Seitzer, Duke University Press,
Durham and London, 2008, h. 230.
2 Diunduh dari http://www.jimlyschool.com/read/analisis/333/checks-and-balances-dan-

judicial-review-dalam-legislasi-di-indonesia/ pada tanggal 27 Oktober 2015, dapat ditelusuri pada


Sekretariat Jenderal MPRR.I., Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-
Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR R.I.
2003) h. 14.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 232
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty

kelembagaan yang setara. Jika dihadapkan dengan doktrin klasik separation of


powers, kekuasaan negara yang diberikan kepada lembaga-lembaga yang
terpisah satu dengan lainnya dalam rangka menghindarkan terjadinya campur
tangan yang satu terhadap yang lain, maka mekanisme checks and balances pasca
perubahan UUD 1945 tampaknya dapat juga dianggap satu pelunakan terhadap
doktrin separation of powers atau pembagian kekuasaan negara dengan
menghubungkan cabang kekuasaan yang saling terpisah. Hal ini dimaksudkan
untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang bersifat mutlak tanpa pengawasan.
Pada check and balance antar-tiga unsur trias politica yang terpisah, yakni
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, ini pun harus didukung dengan penegakan
hukum dan kontrol masyarakat sipil. Pada demokrasi tua seperti Australia, trias
politica tak selalu terpisah nyata. Tapi check and balance terpelihara, utamanya
berkat tradisi oposisi yang jelas dan melembaga. Pada demokrasi seperti
Indonesia, tantangannya justru disfungsi trias politica, sehingga check and balance
tak tercipta.3 Ditambah lagi dengan mentalitas para penjabat yang ada dalam
ketiga lembaga tersebut (eksekutif, legislatif dan yudikatif), yang apabila di
antara mereka sedang melakukan fungsi checks and balances, pihak yang diperiksa
merasa diganggu independensinya.
Pada kenyataanya, mulai ada ketegangan dan kekacauan hubungan antar
lembaga negara yang diakibatkan lembaga negara tersebut merasa memiliki
kekuatan yang sama. Sebagai contoh ialah beberapa polemik pertama kasus UU
Pilkada antara DPR dan Presiden. Pada tanggal 26 September 2014, DPR
mengesahkan Undang-Undang Pilkada yang baru. Dalam putusan yang diambil
melalui voting atau pemunggutan suara, fraksi pendukung Pilkada lewat DPRD,
yakni fraksi PAN, PPP, Gerindra, PKS dan Golkar unggul dengan 256 suara.
Fraksi lain pendukung Pilkada Lansung kalah dengan 135 suara. Presiden Susilo
Bambang Yudoyono (SBY), menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU
Pilkada yang baru dan mempertahankan Pilkada Langsung dengan perbaikan.4
Kasus kedua DPR melawan Presiden yang melibatkan unsur dari Polri
dengan KPK, yang diberi julukan oleh masyarakat yaitu cicak melawan buaya.
Kasus terakhir ini seputar pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri dan kasus
kriminalisasi Abraham Samad dan Bambang Widjajanto. Pada berita Nasional
Kompas, Jimly mengatakan, “saat ini KPK tidak bisa melanjutkan kasus Budi
Gunawan karena kasasinya ditolak. Sementara KPK juga tak bisa mengajukan
peninjauan kembali. Sehingga untuk sementara waktu, kasus Budi Gunawan
berhenti. Dalam kondisi seperti ini, Polri, kata Jimly, harusnya melepaskan
Bambang dan Abraham dari jerat ancaman pidana. Pasalnya, penetapan dua

Gatra News, Selasa/ 2 April 2013, “Korupsi dan Trias Politica”, oleh Abdul Aziz.
3

Tempo, Selasa/30 September 2014, “SBY Siapkan Perpu Batalkan UU Pilkada”, oleh
4

Prihandoko.

233 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Bingkai Negara Hukum

pimpinan KPK non-aktif sebagai tersangka tidak terlepas dari penetapan


tersangka yang dilakukan KPK terhadap Budi Gunawan.”5
Selanjutnya kasus ketiga antara Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Antara ketiga lembaga ini selalu
terdapat selisih pendapat, dimulai dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang
mengajukan judicial review ke MK tentang keikutsertaan KY dalam rekruitmen
calon hakim. Selain itu ditambah dengan kasus “MA memutuskan menolak
rekomendasi KY terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim Sarpin Rizaldy.”6
Di sisi lain hakim MK tak mau diawasi KY. Dengan suara bulat, kesembilan
hakim konstitusi berpendapat bahwa mereka tidak termasuk objek pemeriksaan
Komisi Yudisial.7 Gesekan-gesekan ini seharusnya tidak terjadi jika prinsip checks
and balances dimaknai dan dilaksanakan dengan benar. Ketegangan antar
lembaga negara tersebut tidak pelak ujungnya akan merugikan masyarakat.

Pembagian Kekuasaan dan Ajaran Checks and Balances


Mengenai teori pembagian kekuasaan negara sebagaimana kita ketahui,
teori yang paling terkenal adalah trias politika milik Montesquiue. Namun
seiring perkembangan dunia akademik teori tersebut semakin berkembang,
sebagaimana teori yang disampaikan Van vollen hoven menjelaskan mengenai
pembagian negara menjadi 4, yakni: bestuur (ketataprajaan/pemerintah), regeling
(pengawasan), politie (pengaturan), dan rechtspraak/justitie (penyelesaian
sengketa).8 Sedangkan Lamaire membagi tugas negara dalam jenis yaitu:
perundang-undangan, pelaksanaan yaitu pembuatan aturan-aturan hukum oleh
penguasa sendiri, pemerintahan, kepolisian, dan pengadilan.9
Sebagaimana telah diamanahkan oleh Konstitusi Indonesia yakni
UUDNRI 1945 bahwa dalam hal menjalankan fungsi kenegaraan dengan
menggunakan ajaran pembagian kekuasaan (machtsverdeling atau distribution of
power), yang menekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian
lembaga, dan ajaran checks and balances yang menekankan pentingnya hubungan
saling mengawasi dan mengendalikan antarberbagai lembaga negara, esensi
bahwa kekuasaan negara itu harus dibagi atau dipisah masih tetap relevan.10

5 Kompas, 1 Maret 2015 diunduh pada tanggal 27 Oktober 2015 dari situs
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/01/19475521/Jimly.Kasus.Budi.Gunawan.Berhenti.Abraha
m.Samad.dan.Bambang.Widjojanto.Juga.Harus.Dihentikan.
6 Antara News, Rabu/ 19 Agustus 2015 diunduh pada tanggal 27 Oktober 2015 dari situs

http://www.antaranews.com/berita/513237/ma-tolak-rekomendasi-ky-soal-hakim-sarpin.
7 Hukum Online, Kamis/24 Agustus 2006, diunduh pada tanggal 27 Oktober 2015, pada

situs http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15347/hakim-mk-tak-mau-diawasi-ky.
8 Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007). h. 14

9 Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007). h. 14.

10 Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h.13

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 234
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty

Menurut Black Law Dictionary, checks and balances is arrangement of


governmental power whereby powers of one governmental branch check or balance those
of other branches. See also separation of power.11 Tujuan checks and balances adalah
memaksimalkan fungsi masing-masing lembaga negara dan membatasi
kesewenang-wenangan lembaga negara.
Dalam hal menata kekuasaan lain di luar tiga kekuasaan menurut
Montesquieu, Crince le Roy menyimpulkan membangun sistem checks and
balances. Menurut Crince le Roy negara merupakan lembaga penertib.12 Negara
merupakan organisasi kekuasaan dengan obyek kegiatan penertiban terhadap
suatu masyarakat tertentu secara menyeluruh dengan mempergunakan
kekuasaannya.13 Bertitik tolak dari kegiatan penertiban tersebut, disusunlah
fungsi negara yang dilaksanakan oleh badan-badan negara yang bebas dan
terpisah satu dengan yang lainnya yang ditambah suatu sistem pengawasan
untuk menghindarkan salah satu alat kekuasaan akan menarik seluruh
kekuasaan ke dalam dirinya yang disebut dengan sistem checks and balances.
Checks and balances ini, yang mengakibatkan satu cabang kekuasaan
dalam batas-batas tertentu dapat turut campur dalam tindakan cabang
kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi kerja (seperti yang
dilihat di Inggris dalam fungsi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif), tetapi
untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara efektif.
Hal ini berarti sistem checks and balances dalam penyelenggaraan
kekuasaan memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang
ada dan menghindari tindakan-tindakan hegemonik, tiranik dan sentralisasi
kekuasaan.14 Sistem ini mencegah terjadinya overlapping antar kewenangan yang
ada.15 Begitu pula dengan pendapat Jimly Asshiddiqie adanya sistem checks and
balances mengakibatkan kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan
dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh
aparat penyelenggaraan negara yang menduduki jabatan dalam lembaga negara
dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.16
Bukti sistem di Indonesia melaksanakan ajaran sistem checks and balances
adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif (yang seharusnya

11 Black Law Dictionarry By Henry Campbel, (St. Paul: West Publishing Co., 1990), h. 238.
12 Crince le Roy, Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo,
(Semarang: 1981), h. 42.
13 Crince le Roy, Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo,

(Semarang: 1981), h. 42.


14 A. Fickar Hadjar ed. al, Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003), h. 4.


15 A. Fickar Hadjar ed. al, Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003), h. 4.


16 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006). h. 74.

235 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Bingkai Negara Hukum

memiliki fungsi untuk melaksanakan undang-undang) namun UUDNRI 1945


memberikan hak kepada presiden untuk melaksanakan fungsi legislasi semu
yakni dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, pemerintah
(eksekutif) juga memiliki kewenangan untuk justitie (penyelesaian sengketa), dan
pengawasan (control).
DPR juga sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi legislasi
(membuat undang-undang), namun konstitusi juga melengkapi DPR dengan
fungsi anggaran dan pengawasan:17
a. Membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang
diajukan oleh Presiden.
b. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Untuk mempertajam analisis Penulis, argumentasi Saldi Isra sangat
relevan untuk memperkuat standing Penulis. Saldi Isra memberikan analisis
yang tajam terkait dengan khittah prinsip checks and balances. Menurut Saldi Isra,
sejak selesainya Perubahan UUD 1945 Generasi Pertama (1999-2002), pembedaan
lembaga-lembaga negara tidak lagi didasarkan kepada pembagian hierarkis
berupa lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Setelah perubahan,
lembaga-lembaga negara dibedakan sesuai dengan fungsi dan kewenangan
konstitusional masing-masing.
Namun, MK melalui Putusan No. 005/PUU-IV/2006 kembali
“menghidupkan” pola hubungan antarlembaga negara yang hierarkis. Misalnya,
dalam halaman 178-179 Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 secara eksplisit
dinyatakan:
“...menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-
cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang
tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs,
principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara
instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang
utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya
lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara
utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang
hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”.

Dengan demikian, prinsip checks and balances itu terkait erat dengan
prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat
dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara,

Rizza Zia Agusty, dan Suryanto Siyo, “UUDNRI 1945 Lembaga Negara beserta
17

Pimpinannya, peraturan perundang-undangan dan kabinet trisakti. (Jakarta: Visi Media, 2014), h.
50-51.

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 236
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty

seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam
perspektif checks and balances di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan
negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung
dan KY, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa KY dapat diberi peran
pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances
dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan
hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim.
Dalam pandangan Saldi Isra, Hakim Konstitusi merancukan begitu saja
antara separation of power dengan checks and balances. Dalam separation of powers,
pembagian secara kaku atas tiga cabang kekuasaan menjadi benar adanya,
sedangkan dalam checks and balances pembagian seperti itu bukan menjadi hal
yang mutlak. Oleh karenanya, ada pernyataan agak “berbahaya” bagi diskursus
ilmu hukum bila interpretasi MK ini dijadikan patokan dalam kontekstualisasi
prinsip checks and balances di Indonesia. Dikatakan “berbahaya” karena
pertimbangan itu menyempitkan pemahaman cheks and balances pada teks
konstitusi, bukan pada prinsip-prinsip.
John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff menjelaskan bahwa memang
ada tiga pendekatan yang digunakan untuk memahami tempat dan hubungan
lembaga-lembaga negara, yaitu (1) “separation of powers”, (2) “separation of
functions”, dan (3) “checks and balances”. Terkait dengan pendekatan tersebut,
Peter L. Strauss (1984) dalam tulisannya “The Place of Agencies in Government:
Separation of Powers and Fourth Branch” menjelaskan bahwa:
“unlike the separation of powers, the checks and balances idea does not suppose a radical
division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out
among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the
conditions in which the intended struggle at the apex may continue.”

Berikut ini sejumlah kasus dari terdegradasinya prinsip checks and balances
di Indonesia yang menjadi sorotan publik.

Presiden VS DPR Soal Pilkada Langsung/Tidak Langsung


Rentang Oktober 2014 ramai dibicarakan tentang mekanisme Pilkada
apakah langsung atau tidak langsung. Awalnya, melalui RUU Pilkada Gubernur,
Bupati dan Walikota mengamini mekanisme Pilkada dengan melalui DPRD
dengan berbagai pertimbangan. Atas dasar itu, RUU tersebut kemudian menjadi
UU No. 22 Tahun 2014. Namun demikian, banyak desakan dari masyarakat luas
agar pemilihan kepala daerah tidak melalui DPRD akan tetapi langsung dipilih
oleh rakyat. Mendengar desakan masyarakat luas, akhirnya Presiden SBY kala
itu mengeluarkan dua Perppu yaitu Perppu pertama adalah Perppu Nomor 1
Tahun 2014 tentang pemilihan Gubenur/Bupati/Walikota. Perppu ini sekaligus

237 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Bingkai Negara Hukum

mencabut UU No. 22 Tahun 2014 yang mengatakan pemilihan


Gubernur/Bupati/Walikota yang mengacu pada pemilihan kepala daerah tak
langsung oleh DPRD. Perpppu kedua adalah Perppu Nomor 23 Tahun 2014
tentang pemerintah daerah yang menghapus tugas dan wewenang DPRD
memilih kepala daerah.
Banyak orang yang setuju dengan tindakan cepat SBY kala itu untuk
meredam gejolak penolakan mekanisme pilkada langsung. Namun, efek
sampingnya adalah hubungan yang tidak harmonis antara Presiden dengan
DPR. Presiden dianggap mengganjal agenda DPR di mana fraksi-fraksi pada
waktu itu telah sepakat dengan cara pilkada melalui DPRD. Bahkan SBY
dianggap inkonsistensi karena yang tadinya mendukung pilkada melalui DPRD
lantaran didesak oleh publik kembali dengan cara pilkada langsung oleh rakyat.
Yang lebih ekstrim, SBY dituding menjadi biang kerok hubungan yang tegang
dengan DPR.
Ada juga beberapa orang yang beranggapan bahwa Perppu yang
dikeluarkan oleh SBY sejatinya tidak berdasarkan rambu-rambu yang telah
ditentukan oleh MK dalam mengeluarkan Perppu. Perppu tersebut ditengarai
keluar karena adanya perbedaan arah politik antara Presiden dan DPR bukan
karena kebutuhan yag mendesak. Alhasil, dengan mata telanjang kita disodori
ruwetnya perbedaan pilkada langsung yang menyita energi dan pikiran kita.

Presiden VS DPR dalam Kasus Pencalonan Budi Gunawan


Cerita ini dimulai ketika berakhirnya masa jabatan Jendral Sutarman
sebagai Kapolri. Berakhirnya Jenderal Sutarman, Presiden mengajukan satu
nama sebagai penggantinya yaitu Komjen. Budi Gunawan (BG). Memang di
awal-awal munculnya nama Komjen. Budi Gunawan (BG) sudah menimbulkan
teka-teki karena nama BG dikaitkan dengan sejumlah perwira di Kepolisian yang
memiliki rekening gendut.
Namun demikian, meskipun pencalonan BG diiringi dengan berbagai
kontroversi yang mengirinya, DPR tetap memproses usulan nama tersebut untuk
segera diadakan Uji Kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Komisi III
DPR RI. Pada saat berlangsungnya fit and proper test di DPR, KPK
mengumumkan dengan suara yang lantang bahwa Komjen. BG ditetapkan
sebagai Tersangka oleh KPK. Komjen BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK
karena diduga terlibat kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah
atau janji pada saat menduduki jabatan sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier
Deputi SDM Polri Periode 2003-2006.
Sontak saja kala itu guncangan bagai petir di siang bolong bagi para
anggota Komisi III yang sedang melaksanakan fit and proper test. Reaksi pada saat
itu tetap dilanjutkan bahkan pada sidang paripurna Komjen BG disahkan

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 238
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty

sebagai Kapolri yang baru menggantikan Jenderal Sutarman. DPR berdalih


Presiden tidak dapat semena-mena mengganti Calon Kapolri begitu saja tanpa
melalui proses yang ada di DPR. Presiden juga harus menghormati hubungan
antar lembaga negara terkait dengan pencalonan BG.
Gelombang protes begitu besar kala itu, akhirnya melalui desakan sana-
sini Presiden mengirimkan surat resmi kepada DPR untuk mengajukan nama
lain yang disodorkan untuk mengganti nama Komjen B. Meskipun telah
disahkan oleh DPR, Presiden tidak melantik Komjen BG tetapi mengajukan
nama Komjen Badrodin Haiti atas dasar bahwa pencalonan Komjen BG sebagai
Kapolri telah menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat dan untuk
menciptakan ketenangan dan memperhatikan kebutuhan Kepolisian RI.
Usaha Presiden Jokowi untuk mengganti Komjen BG rupanya mendapat
pertentangan yang cukup rumit dari beberapa fraksi di DPR khususnya dari
partai pendukungnya. Pasalnya PDIP sebagai partai di mana Presiden Jokowi
didukung tetap konsisten untuk segera melantik Komjen. BG walaupun
bersebarangan dengan mayoritas masyarakat. Dengan lobby yang alot antar
Presiden dan DPR, akhirnya Presiden tidak jadi melantik Komjen BG, namun
Presiden mengusulkan Komjen Badrodin Haiti untuk menjadi Calon Kapolri.
Buntutnya, polemik pencalonan BG tersebut rupanya memicu institusi
Kepolisian untuk merespon tindakan KPK yang menjadikan Tersangka BG.
Akhirnya beberapa Pimpinan KPK seperti Abraham Samad dan Bambang
Widjajanto ditetapkan oleh Mabes Polri menjadi tersangka dalam kasus yang
berbeda. Drama inilah yang dikenal dan disorot media sebagai bentuk
kriminalisasi terhadap KPK oleh Polri. Banyak orang menuding, tindakan Polri
merupakan bentuk respon dari status tersangka Komjen BG sebelumnya.
Akhirnya Abraham Samad dan Bambang Wdjojanto dinonaktifkan sebagai
Pimpinan KPK yang menyebabkan KPK lumpuh.

Kisruh Mahkamah Agung (MA)-Mahkamah Konstitusi (MK)-Komisi Yudisial


(KY)
MA-MK-KY selalu terlibat selisih paham. Ada beberapa contoh yang
semakin mentasbihkan hubungan tidak harmonis antar 3 lembaga tersebut
diakibatkan komunikasi yang tidak berjalan dengan baik. Pertama, MA dan KY
beda pandangan dalam hal kewenangan seleksi hakim tingkat pertama.
Beberapa bulan yang lalu, ada kelompok yang mengatasnamakan Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) mengajukan gugatan ke MK. Alasannya cukup sederhana,
mereka berkeberatan dan dapat mengganggu independensi MA apabila KY juga
ikut campur dalam menyeleksi hakim dari tingkat pertama.
Tak kunjung-kunjungnya selesai konflik antara MA dan KY dalam soal
rekrutmen hakim tersebut membuat rekrutmen hakim berhenti. Padahal kalau

239 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Bingkai Negara Hukum

ditelisik lebih jauh, dalam Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035 yang
pernah dikeluarkan oleh MA. MA berkomitmen untuk memperbaiki komunikasi
dengan KY dengan mempersiapkan Tim Bersama di dalam melaksanakan proses
rekrutmen seperti membentuk tim rekrutmen yang kredibel, membangun
konsep dan sistem rekrutmen, membangun profil hakim ideal yang diinginkan,
membangun proses, dan membuat sistem monitoring dan evaluasinya. Namun
demikian, implementasi dari Cetak Biru itu masih sebatas angan-angan.
Akhirnya berdasarkan Putusan MK No 43/PUU-XIII/2015, KY sudah
tidak dilibatkan lagi dalam proses rekrutmen hakim tingkat pertama. Ini berarti
MK memenangkan gugatan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Namun banyak
orang yang mengatakan bahwa putusan MK itu mengandung conflict of interest
karena 3 dari 9 hakim di MK adalah anggota IKAHI yaitu Anwar Usman,
Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul. Bahkan masyarakat yang
mengatasnamakan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) akan
melaporkan Putusan MK tersebut ke Dewan Etik MK.
Tidak sampai di situ, tentu masih segar dalam ingatan kita konflik MA-
KY memuncak pada kasus hakim Sarpin. Saat itu MA menolak pemberian sanksi
kepada Sarpin atas rekomendasi Komisi Yudisial. Ini semakin jelas ketika secara
gamblang ada surat berlabel rahasia ke Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial.
Isinya, seluruh pimpinan MA sepakat menolak rekomendasi Komisi Yudisial
agar hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi diberi sanksi.
Buntutnya, penetapan tersangka dua komisioner Komisi Yudisial,
Taufiqurrohman Sahuri dan Suparman Marzuki oleh Badan Reserse Kriminal
(Bareskrim) Polri dinilai menjadi preseden buruk bagi pengawasan hakim.
Bahkan MK dan KY juga pernah beda persepsi kewenangan perihal siapa
yang berhak mengawasi hakim MK. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak
diawasi Komisi Yudisial (KY). Sebab, 9 hakim konstitusi merasa jabatannya
berbeda dengan hakim-hakim biasa. Hal tersebut terungkap dalam salah satu
butir putusan MK No 005/PUU-IV/2006. MK juga berpendapat, jika hakim
konstitusi menjadi objek pengawasan dari KY, maka akan mengganggu
kewenangannya dalam mengawasi konstitusi.
Polemik ini terus berlangsung hingga pada tahun 2013 lalu. Mahkamah
Konstitusi menolak diawasi oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
permanen, yang semestinya dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial dan MK.
Penolakan MK ini termaktub dalam putusan yang membatalkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Ketika itu MK menolak dengan diterapkannya Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi yang di dalamnya terdapat KY dengan dalih prinsip checks and
balances itu adalah sebuah mekanisme yang diterapkan untuk mengatur

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 240
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty

hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Checks and balances tidak
ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman
dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan. Prinsip utama
yang harus dianut negara hukum adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau
kehakiman. Karena itu, setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman
dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan
kehakiman dalam menjalankan fungsinya, akan mengancam prinsip negara
hukum.
MK menilai pelibatan KY seperti yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun
2014 merupakan bentuk penyelundupan hukum karena bertentangan dengan
Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, tertanggal 23 Agustus 2006, yang
menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Konstitusi tak terkait dengan
KY.
Namun demikian, argumentasi MK nyatanya secara tegas disanggah oleh
KY. Menurut KY, Perintah bagi Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan
terhadap Mahkamah Konstitusi seperti yang tercantum di dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diterbitkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, tidak melanggar Undang-Undang KY.
Dalam Perppu itu KY tidak ditugaskan untuk mengawasi hakim
konstitusi, ataupun ikut dalam panel ahli untuk menyeleksi dan mengusulkan
nama-nama calon Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK). Akan tetapi
tugas KY lebih untuk membantu MKHK dan hanya dalam kapasitas panel ahli
yang bersifat ad hoc.

Kesimpulan
Penyebab dari terkikisnya tujuan dari checks and balances di Indonesia
sehingga terciptanya ketegangan antar lembaga negara adalah ketidakfahaman
dari para aparatur negara dari tujuan check and balances yang menekankan
pentingnya hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar berbagai
lembaga negara agar pelaksanaan fungsi lembaga negara menjadi maksimal.
Namun, dewasa ini terlihat dalam pelaksanaan checks and balances yang
dilakukan oleh lembaga negara yang satu kepada lembaga negara lain dianggap
suatu ancaman untuk menjatuhkan eksistensi lembaga negara, dan menciptakan
ego sektoral. Dapat terlihat saat Konstitusi mengamanahkan pada Komisi
Yudisial untuk mengawasi perilaku hakim yang termasuk dalam kekuasaan
kehakiman, namun Mahkamah Konstitusi menolak pengawasan tersebut.
Begitupun Mahkamah Agung, terbukti sejak tahun 2011 sampai dengan
sekarang terhambatnya perekrutan hakim MA, karena MA menolak KY ikut
campur. Begitupula dengan kasus Undang-Undang tentang Pilkada melawan

241 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Bingkai Negara Hukum

Peraturan Pengganti Undang-Undang tentang Pilkada. Selain itu ego sektoral


antar lembaga negara terlihat pula pada kasus KPK dengan Polri.
Penyebab lain terkikisnya prinsip checks and balances antara lain: Pertama,
masih banyaknya oknum dari aparatur negara yang dalam melaksanakan
tugasnya tidak mengutamakan kepentingan masyarakat, dan malah
mementingkan kepentingan partai politik yang dianggap paling berjasa. Kedua,
tersendatnya komunikasi antar lembaga negara yang menyebabkan lembaga
negara tersebut seringkali berselisih faham terkait dengan tugas dan fungsinya.
Oleh karena itu, cara untuk merejuvinasi wujud dari sistem checks and
balances dalam ketatanegaraan di Indonesia yakni: pertama, membenahi seleksi
rekrutmen calon pemimpin lembaga negara. Hal ini penting karena rekrutmen
seleksi pimpinan lembaga negara selama ini sangat kental dengan aroma politik
sehingga deal-deal politik tidak dapat dihindari. Kedua, mengupayakan agar
aparatur negara melaksanakan tugasnya dengan berlandaskan asas-asas good
governance, agar dapat menciptakan aparatur negara yang bersih,
mengedepankan transparansi dan tanggung jawab, yang bebas korupsi, kolusi
serta nepotisme. Ketiga, memperbaiki kembali paradigma bahwa checks and
balances bukan merupakan suatu ancaman bagi setiap lembaga negara tetapi
sebagai saran satu alat negara untuk menciptakan tata kelola negara yang baik.

Pustaka Acuan

Buku-buku
Hadjar, A. Fickar. ed. Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003).
Schmitt, Carl. Constitutional Theory, Translated and edited by Jeffrey Seitzer,
Duke University Press, Durham and London, 2008.
Roy, Crince le. Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh
Soehardjo, (Semarang: 1981).
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum. Jakarta: Gramata Publishing, 2009.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006).
Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-
1, Bandung: Fajar Media, 2013.
Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum,
Vol. 2, No. 2 (2014).

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 242
Indra Rahmatullah, Rizza Zia Agusty

Prins, WF; Adisapoetra, R. Kosim. Pengantar Ilmu Hukum Adiminstrasi Negara.


Jakarta: Pradnya Paramita,1983.
Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007).
Agusty, Rizza Zia; Siyo, Suryanto. “UUDNRI 1945 Lembaga Negara beserta
Pimpinannya, peraturan perundang-undangan , dan kabinet trisakti.”
(Jakarta: Visi Media, 2014).
Sekretariat Jenderal MPRR.I., Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-
Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses
dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR R.I. 2003).

Kamus, Artikel, dan lain-lain.


Black Law Dictionarry By Henry Campbel, (St. Paul: West Publishing Co., 1990).
Tempo, Selasa/30 September 2014, “SBY Siapkan Perpu Batalkan UU Pilkada”,
oleh Prihandoko.
Gatra News, Selasa/ 2 April 2013, “Korupsi dan Trias Politica”, oleh Abdul Aziz.
Kompas, 1 Maret 2015 diunduh pada tanggal 27 Oktober 2015 dari situs
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/01/19475521/Jimly.Kasus.Budi.
Gunawan.Berhenti.Abraham.Samad.dan.Bambang.Widjojanto.Juga.Har
us.Dihentikan.
http://www.jimlyschool.com/read/analisis/333/checks-and-balances-dan-judicial-
review-dalam-legislasi-di-indonesia/ pada tanggal 27 Oktober 2015.
http://www.jimlyschool.com/read/analisis/333/checks-and-balances-dan-judicial-
review-dalam-legislasi-di-indonesia/ pada tanggal 27 Oktober 2015
Antara News, Rabu/ 19 Agustus 2015 diunduh pada tanggal 27 Oktober 2015
dari situs http://www.antaranews.com/berita/513237/ma-tolak-
rekomendasi-ky-soal-hakim-sarpin.
Hukum Online, Kamis/24 Agustus 2006, diunduh pada tanggal 27 Oktober 2015,
pada situs http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15347/hakim-
mk-tak-mau-diawasi-ky.

243 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Memperkuat Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Bingkai Negara Hukum

Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 3 No. 2 (2016). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 244
Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i

PEDOMAN TEKNIS PENULISAN BERKALA ILMIAH

1. Artikel adalah benar-benar karya asli penulis, tidak mengandung unsur plagiasi, dan belum pernah
dipublikasikan dan/atau sedang dalam proses publikasi pada media lain yang dinyatakan dengan
surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai Rp 6000;
2. Naskah dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh;
3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, Arab, maupun bahasa Rusia;
4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dalam ranah ilmu hukum Positif;
5. Aturan penulisan adalah sebagai berikut:
a. Judul. Ditulis dengan huruf kapital, maksimum 12 kata diposisikan di tengah (centered);
b. Nama penulis. Ditulis utuh, tanpa gelar, disertai afiliasi kelembagaan dengan alamat lengkap,
dan alamat e-mail;
c. Abstrak. Ditulis dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia antara 80-120 kata;
d. Sistematika penulisan naskah adalah sebagai berikut:
1) Judul;
2) Nama penulis (tanpa gelar akademik), nama dan alamat afiliasi penulis, dan e-mail;
3) Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris, antara 80-120 kata;
4) Kata-kata kunci, antara 2-5 konsep yang mencerminkan substansi artikel;
5) Pendahuluan;
6) Sub judul (sesuai dengan keperluan pembahasan);
7) Penutup; dan
8) Pustaka Acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk dan sedapat mungkin
terbitan 10 tahun terakhir).
e. Ukuran kertas yang digunakan adalah kertas HVS 70 gram, ukuran A4, margin: atas 3,5 cm,
bawah 3.5 cm, kiri 3,5 cm, dan kanan 3,5 cm;
f. Panjang Naskah antara 13 s.d. 15 halaman, spasi 1, huruf Palatino, ukuran 11;
g. Pengutipan kalimat. Kutipan kalimat ditulis secara langsung apabila lebih dari empat baris
dipisahkan dari teks dengan jarak satu spasi dengan ukuran huruf 10 point. Sedangkan
kutipan kurang dari empat baris diintegrasikan dalam teks, dengan tanda apostrof ganda di
awal dan di akhir kutipan. Setiap kutipan diberi nomor. Sistem pengutipan adalah footnote
(bukan bodynote atau endnote). Penulisan footnote menggunakan sistem turabian. Setiap
artikel, buku, dan sumber lainnya yang dikutip harus tercantum dalam pustaka acuan;
h. Pengutipan Ayat Alquran dan Hadis. Ayat yang dikutip menyertakan keterangan ayat dalam
kurung, dengan menyebut nama surah, nomor surah, dan nomor ayat, seperti (Q.s. al-Mu’min
[40]: 43). Pengutipan Hadis menyebutkan nama perawi (H.r. al-Bukhārī dan Muslim) ditambah
referensi versi cetak kitab Hadis yang dikutip. Hadis harus dikutip dari kitab-kitab Hadis
standar (Kutub al-Tis‘ah);
i. Cara pembuatan footnote. Footnote ditulis dengan font Palation size 9, untuk pelbagai
sumber, antara lain:
Pedoman Teknis Penulisan Jurnal

1) Buku: nama utuh penulis (tanpa gelar), judul buku (tempat terbit: penerbit, tahun terbit),
cetakan, volume, juz, halaman. Contoh: Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi
Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), h. 10.
2) Buku terjemahan, contoh: Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III,
diterjemahkan oleh Moh. Radjab, (Jakarta: Bharata, 1963), h. 15;
1) Jurnal, contoh: Nur Rohim, “Kontroversi Pembentukan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang
mahkamah konstitusi dalam ranah kegentingan yang memaksa”, dalam Jurnal Cita
Hukum, Vol. 2, No. 1 (2014), h. 157.
2) Artikel sebagai bagian dari buku (antologi), contoh: Hikmahanto Juwana, “Penegakan
Hukum dalam Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen bagi Solusi
Indonesia”, dalam Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara,
Hukum Pidana, dan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Gorup, 2012), h.
127.
3) Artikel dari internet, contoh: Ahmad Tholabi Kharlie, “Problem Yuridis RUU Syariah” dalam
http://ahmadtholabi.com/2008/03/03/problem-yuridis-ruu-syariah, diunduh pada 20 Maret
2012.
4) Artikel dari majalah, contoh: Susilaningtias, “Potret Hukum Adat pada Masa Kolonial”,
dalam Forum Keadilan, No. 17, 20 Agustus 2006.
5) Makalah dalam seminar, contoh: Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi
dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada 2 Maret 2004.
j. Pustaka Acuan: daftar pustaka acuan ditulis sesuai urutan abjad, nama akhir penulis
diletakkan di depan. Contoh:
1) Buku, contoh: Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers,
1986.
2) Buku terjemahan, contoh: Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III,
diterjemahakan oleh Moh. Radjab, Jakarta: Bharata, 1963.
3) Jurnal, contoh: Rohim, Nur, “Kontroversi Pembentukan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang
mahkamah konstitusi dalam ranah kegentingan yang memaksa”, dalam Jurnal Cita
Hukum, Vol. 2, No. 1 (2014).
4) Artikel sebagai bagian dari buku, contoh: Juwana, Hikmahanto, “Penegakan Hukum dalam
Kajian Law and Development: Problem dan Fundamen bagi Solusi Indonesia”, dalam
Muhammad Tahir Azhary, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan
Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Gorup, 2012.
5) Artikel yang dikutip dari internet, contoh: Kharlie, Ahmad Tholabi, “Problem Yuridis RUU
Syariah” dalam http://ahmadtholabi.com/2008/03/03/problem-yuridis-ruu-syariah, diunduh
pada 20 Maret 2012.
6) Majalah, contoh: Susilaningtias, “Potret Hukum Adat pada Masa Kolonial”, dalam Forum
Keadilan, No. 17, 20 Agustus 2006.
7) Makalah dalam seminar, contoh: Asshiddiqie, Jimly, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi
dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada 2 Maret 2004.
k. Penutup: artikel ditutup dengan kesimpulan;
l. Biografi singkat: biografi penulis mengandung unsur nama (lengkap dengan gelar akademik),
tempat tugas, riwayat pendidikan formal (S1, S2, S3), dan bidang keahlian akademik;
6. Setiap naskah yang tidak mengindahkan pedoman penulisan ini akan dikembalikan kepada
penulisnya untuk diperbaiki.
7. Naskah sudah diserahkan kepada penyunting, selambat-lambatnya tiga bulan sebelum waktu
penerbitan (April, Agustus. dan Desember) dengan mengupload pada laman OJS jurnal pada
alamat http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam atau dikirim langsung via e-mail ke:
jurnal.salam@gmail.com atau nurrohimyunus@uinjkt.ac.id.[]

Anda mungkin juga menyukai