Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


TENTANG
ADANYA PERUBAHAN POLA PENYAKIT DAN KEBUTUHAN OBAT YANG
MEMPENGARUHI PENYALAHGUNAAN OBAT

Dosen Mata Kuliah : Ridha Hayati, SKM., M.Kes


Mata Kuliah : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Disusun Oleh:

Noor Eka Cahyani 2207010013


Vanny Frida 2207010290
Dhisya Wahyudhiya Ranti 2207010138
Farhana Hayati 2207010148
Muhammad Qosim Al-Banjari 2207010340
Muhammad Safwani 2207010098

PRODI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI BANJARMASIN

2022
MAKALAH
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
TENTANG
ADANYA PERUBAHAN POLA PENYAKIT DAN KEBUTUHAN OBAT
YANG MEMPENGARUHI PENYALAHGUNAAN OBAT

Dosen Mata Kuliah : Ridha Hayati, SKM., M.Kes


Mata Kuliah : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Disusun Oleh:

Noor Eka Cahyani 2207010013


Vanny Frida 2207010290
Dhisya Wahyudhiya Ranti 2207010138
Farhana Hayati 2207010148
Muhammad Qosim Al-Banjari 2207010340
Muhammad Safwani 2207010098

PRODI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI BANJARMASIN

2022

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah Subhanahu


Wata’ala serta Shalawat dan salam pada Nabi besar Muhammad
Shollaullahhualaihi’wasallam, sehingga kami selaku penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Ilmu Kesehatan Masyarakat tentang Adanya
Perubahan Pola Penyakit dan Kebutuhan Obat yang mempengaruhi
Penyalahgunaan Obat”.
Dalam penyelesaian makalah ini kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak terdapat kekurangan dan kelemahan, baik dari teknik penulisan maupuan
materi. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna
penyempurnaan dalam pembuatan makalah ini dimasa yang akan datang.
Penyelesaian makalah ini kami banyak mendapat bantuan, bimbingan dan
saran, baik secara tertulis dan lisan. Kemudian kami juga mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof.Abd Malik, S.Pt., M.Si., Ph.D selaku Rektor Universitas Islam Kalimantan
Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin.
2. Meilya Farika Indah, SKM., M.Sc selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari dan
3. Chandra, SKM., M. Kes selaku Ketua Prodi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari.
4. Ridha Hayati, SKM., M.Kes selaku dosen mata kuliah organisasi Kesehatan
masyarakat.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan balasan yang sesuai atas
segala amal yang telah diberikan. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Amin.

Banjarmasin, 11 November 2022


Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 4
C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Perubahan Pola Penyakit.................................................................. 5
B. Ketersediaan Obat Esensial.............................................................. 6
C. Penyalahgunaan Obat....................................................................... 10
D. Strategi Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Obat... 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................... 14
B. Saran................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pola kejadian penyakit pada saat ini telah mengalami perubahan yang

ditandai dengan transisi epidemiologi. Secara garis besar transisi epidemiologi

ditandai dengan perubahan pola penyakit dan kematian yang semula didominasi oleh

penyakit infeksi beralih ke penyakit non infeksi (non-communicable disease) atau

penyakit tidak menular. Perubahan pola penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan

demografi (pendidikan, umur, dan jenis kelamin), sosial ekonomi (pendapatan) dan

sosial budaya (Rahajeng, 2012).

Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyakit yang bukan disebabkan

oleh proses infeksi (tidak infeksius) dan tidak dapat berpindah dari satu orang ke

orang lain. Faktor risiko penyakit tidak menular dipengaruhi oleh kemajuan era

globalisasi yang telah mengubah cara pandang penduduk dunia dan melahirkan

kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak sesuai dengan gaya hidup sehat (Maryani dan

Rizki, 2010).

Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia

pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh

penyakit tidak menular akibat gaya hidup yang tidak sehat. Penyakit tidak menular

juga membunuh penduduk dengan usia yang lebih muda. Di negaranegara dengan

tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang terjadi pada

orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh penyakit tidak

menular, sedangkan di negara-negara maju menyebabkan 13% kematian. Proporsi

1
2

penyebab kematian penyakit tidak menular pada orang-orang berusia kurang dari 60

tahun meliputi: penyakit kardiovaskular merupakan penyebab terbesar (39%),

diikuti kanker (27%), sedangkan penyakit pernafasan kronis, penyakit pencernaan

dan penyakit tidak menular yang lain bersama-sama menyebabkan sekitar 30%

kematian, serta 4% kematian disebabkan diabetes melitus. Dalam jumlah total, pada

tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit

tidak menular (WHO, 2013).

Dalam penanganan penyakit tentunya diperlukan pengobatan yang memadai.

Akan tetapi berdasarkan data yang diperoleh, sepertiga penduduk dunia memiliki

akses yang rendah terhadap obat esensial, bahkan di Afrika dan Asia Tenggara

mencapai 50% dari jumlah penduduk. Ketersediaan obat esensial generik di

Malaysia hanya 25% disektor pemerintah sedangkan disektor swasta sebesar 43-

45%. Di Indonesia ketersediaan obat esensial juga masih rendah. Rata-rata

ketersediaan obat tahun 2008 masih belum mencukupi yaitu 78% dari kebutuhan riil

pengobatan dasar. Menurut Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan bahwa

ketersediaan obat sesuai kebutuhan dasar paling tidak sekitar 90%. Ketersediaan

obat esensial yang rendah ini mendorong berbagai pihak untuk mengoptimalkan

sistem pengelolaan obat yang ada. Sistem pengelolaan obat terdiri atas seleksi,

pengadaan, distribusi dan penggunaan obat. Pengelolaan obat yang baik harus

memiliki suatu sistem yang menjamin ketersediaan obat diunit-unit pelayanan

kesehatan.

Akan tetapi, dengan masih rendahnya ketersediaan obat ini masih banyak

penyalahgunaan obat-obatan, salah satunya penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

Penyalahgunaan obat-obatan terlarang atau narkoba (narkotika dan obat-obatan


3

berbahaya) kasus yang semakin hari semakin meningkat, baik dalam hal kuantitas

maupun kualitas. Hal ini merupakan masalah yang tidak bisa dianggap ringan karena

kasus narkoba ini menjerat semua kalangan umur, orang dewasa, remaja, anak-anak,

laki-laki dan perempuan. Di Indonesia kasus penyalahgunaan narkoba dewasa ini

semakin meningkat. Hal ini bisa dilihat dari pemberitaan di beberapa media massa

yang semakin sering memuat kasus-kasus narkoba.

Oleh karena itulah diperlukan strategi pencegahan dan penanggulangan obat-

obatan terlarang yang telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, pasal 111 ayat 1 dan 2. Menurut undang-undang

ini seseorang dapat dikategorikan melawan hukum atau kriminal adalah yang

memiliki dan menyediakan narkoba, karena telah diatur dalam undang-undang

narkotika nomor 35 tahun 2009. Menurut hasil survei dari Badan Narkotika

Nasional (BNN) Ganja, Shabu, Ekstasi, Heroin keempat jenis narkoba ini yang

sering dikonsumsi di Indonesia.

Berdasarkan hal inilah yang mempengaruhi penulis untuk menulis makalah

tentang adanya perubahan pola penyakit, kebutuhan akan obat esensial dan faktor

penentunya, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang, serta strategi mencegah dan

menanggulanginya, dalam makalah berjudul “Ilmu Kesehatan Masyarakat tentang

adanya Perubahan Pola Penyakit dan Kebutuhan Obat yang mempengaruhi

Penyalahgunaan Obat”.
4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan rumusan masalahnya bahwa

“bagaimana perubahan pola penyakit dan kebutuhan obat mempengaruhi

peyalahgunaan obat?”

C. Tujuan Penulisan

a. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui adanya

hubungan perubahan pola penyakit dan kebutuhan obat yang mempengaruhi

penyalahgunaan obat.

b. Tujuan Khusus

Berikut tujuan khusus agar mampu mencapai tujuan umum penulisan:

1) Untuk mengetahui adanya perubahan pola penyakit

2) Untuk mengetahui adanya kebutuhan obat esensial dan faktor penentunya

3) Untuk mengetahui adanya penjelasan penyalahgunaan obat disertai data

terkait penyalahgunaan obat-obatan

4) Untuk mengetahui adanya strategi pencegahan dan penanggulagan

penyalahgunaan obat
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perubahan Pola Penyakit

Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi epidemiologis,

suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut

hendak mencoba menghubungkan hal-hal tersebut dengan morbiditas dan mortalitas

beberapa golongan penduduk dan menghubungkannya dengan faktor sosioekonomi

serta demografi masyarakat masing-masing (Slamet Suyono, 2006).

Dikenal 3 periode dalam transisi epidemiologis. Hal tersebut terjadi tidak

saja di Indonesia tetapi juga di negara-negara yang sedang berkembang.

1) Periode I. Era pestilence dan kelaparan. Kedatangan orang-orang barat ke

Asia pada akhir abad ke-15 menyebabkan datangnya pula penyakit-penyakit

menular seperti pes, kolera, influenza, tuberkulosis dan penyakit kelamin

yang meningkatkan angka kematian. Harapan hidup bayi-bayi rendah dan

pertambahan penduduk juga sangat rendah pada waktu itu.

2) Periode II. Pandemi berkurang pada akhir abad ke-19. Perbaikan gizi,

higiene, serta sanitasi menyebabkan penyakit menular berkurang dan

mortalitas menurun. Rata-rata harapan hidup pada waktu lahir meningkat dan

jumlah penduduk seperti di Pulau Jawa nampak bertambah.

3) Periode III. Periode ini merupakan era penyakit degeneratif dan pencemaran.

Komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat barat serta adopsi cara

kehidupan barat menyebabkan penyakit-penyakit degeneratif, seperti

hipertensi, penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus meningkat, tetapi

5
6

apabila kontak dengan barat kurang dan masih terdapat kehidupan

tradisional, seperti di daerah pedesaan, penyakit-penyakit tersebut umumnya

jarang ditemukan (Slamet Suyono, 2006).

B. Kebutuhan Obat Esensial dan Faktor Penentunya

1. Obat Esensial

Konsep Obat Esensial di Indonesia mulai diperkenalkan dengan

dikeluarkannya Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang pertama pada

tahun 1980, dan dengan terbitnya Kebijakan Obat Nasional pada tahun 1983.

Selanjutnya untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di

bidang kedokteran dan farmasi, serta perubahan pola penyakit, DOEN direvisi

secara berkala sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, maka DOEN akan direvisi setiap 2 (dua) tahun sekali. DOEN yang

terbit pada tahun 2013 ini merupakan revisi dari DOEN 2011.

Pada tahun 2007, Organisasi Kesehatan Dunia-World Health

Organization (WHO) telah melaksanakan program Good Governance on

Medicines (GGM) tahap pertama di Indonesia dengan melakukan survey

tentang proses transparansi 5 (lima) fungsi kefarmasian. Salah satunya adalah

proses seleksi DOEN, yang dari segi proses transparansi dinilai kurang

memadai. Dari pertemuan peringatan 30th Essential Medicine List WHO di

Srilanka (2007), diberikan tekanan kembali pentingnya transparansi proses

seleksi baik dari tim ahli yang melakukan revisi, proses revisi, dan metoda

revisi yang harus semakin mengandalkan Evidence Based Medicine (EBM),

dan pentingnya pernyataan bebas conflict of interest dari para anggota tim ahli.
7

Obat esensial adalah obat terpilih yang paling mendasar dibutuhkan

untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan

rehabilitasi, yang harus tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai fungsi dan

tingkatnya. Penerapan konsep Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) ini

diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan dan suplai obat serta

kerasionalan penggunaan obat.

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki system fisiologi atau keadaan

patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Nor, 2017).

Obat merupakan suatu komponen esensial yang harus tersedia di sarana

pelayanan kesehatan termasuk puskesmas, obat merupakan bagian hubungan

antara pasien dan sarana pelayanan kesehatan, karena ketersediaan obat di

sarana pelayanan kesehatan akan memberikan dampak positif atau negative

terhadap mutu pelayanan (Chaira et al., 2016). Obat merupakan suatu benda

atau zat yang dapat digunakan untuk menjaga kesehatan, mencegah penyakit,

dan juga untuk menyembuhkan sakit. Obat dikategorikan menjadi beberapa

jenis seperti, obat bebas, obat terbatas, obat keras, obat herbal, obat tradisional,

obat bius atau narkotika dan lainnya. Sedangakan obat modern dapat dibagimen

jadi 4 golongan:

a. Obat bebas, adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli

tanpa resep dokter, etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis

tepi berwarna hitam.


8

b. Obat bebas terbatas, adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras

tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai

dengan tanda peringatan, etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru

dengan garis tepi berwarna hitam.

c. Obat keras dan psikotropika, adalah obat yang hanya dapat dibeli di

apotek dengan resep dokter. Obat psikotropika adalah obat keras baik

alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif

melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan

perubahan pada aktivitas mental dan perilaku, etiket dari obat keras dan

psikotropika adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi

berwarna hitam.

d. Obat narkotika, adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan (Rahayuda,

2016). Dilambangkan dengan lingkaran bergaris tepi merah dengan tanda

+ di tengah lingkaran.

2. Faktor Penentu Kebutuhan Obat Esensial

Faktor yang menentukan penentu kebutuhan obat sebaiknya diawali

dengan dasar-dasar seleksi kebutuhan obat yang meliputi:

1) Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang

memberikan efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek

samping yang akan ditimbulkan


9

2) Jumlah obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari

duplikasi dan kesamaan jenis

3) Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang

lebih baik;

4) Dihindarkan penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi

tersebut mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan obat tunggal;

5) Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan drug of

choice dari penyakit yang prevalensin yang tinggi.

Sedangkan untuk Penggunaan obat dikatakan baik jika penggunaannya

tepat secara medik dan memenuhi persyaratan tertentu. Kriteria penggunaan obat

yang sesuai dan sudah baik adalah sebagai berikut:

1) Tepat diagnosis, penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk

diagnosis yang tepat.

2) Tepat indikasi penyakit, setiap obat memiliki efektivitas terapi masing –

masing terhadap suatu penyakit

3) Tepat pemilihan obat, obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek

terapi sesuai dengan spectrum penyakit.

4) Tepat dosis, agar suatu obat dapat memberikan efek terapi yang

maksimal diperlukan penentuan dosis, cara dan lama pemberian yang

tepat.

5) Tepat cara pemberian, obat harus digunakan sesuai dengan petunjuk

penggunaan, waktu dan jangka waktu terapi sesuai anjuran.

6) Tepat pasien, respon individu terhadap efek obat sangat beragam maka

diperlukan pertimbangan yang seksama, mencakup kemungkinan adanya


10

kontra indikasi, terjadinya efek samping, atau adanya penyakit lain yang

menyertai

7) Tepat informasi, kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum

atau digunakan pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan

keberhasilan pengobatan, informasi yang diberikan meliputi nama obat,

aturan pakai, lama pemakaian, efek samping yang ditimbulkan oleh obat

tertentu, dan interaksi obat tertentu dengan makanan.

8) Waspada efek samping, pemberian obat potensial menimbulkan efek

samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat

dengan dosis terapi.

9) Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk

keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan

pemborosan dan sangat membebani pasien.

C. Penyalahgunaan Obat

Penyalahgunaan obat-obatan berbahaya (narkoba) di Indonesia beberapa

tahun terakhir ini menjadi masalah serius dan telah mencapai masalah keadaan yang

memperihatinkan sehingga menjadi masalah nasional.

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah sampai pada titik yang

menghawatirkan. Permasalahan terkait narkoba menjadi salah satu permasalahan

yang sejak dahulu memerlukan penanganan secara serius. Menurut data Badan

Narkotika Nasional (BNN) pengguna narkotika di Indonesia mencapai 3,6 juta

orang pada tahun 2019 (Kemensos RI 10/07/2020). Selengkapnya bisa dilihat pada

data gambar berikut:


11

Berdasarkan data diatas dapat dilihat pada 5 tahun terakhir dari 2017 sampai

dengan 2021 jumlah kasus cenderung menurun. Akan tetapi pada survei nasional

penyalahgunaan narkoba oleh BNN pada tahun 2021 didapati Angka prevalensi

penyalahgunaan narkoba mengalami peningkatan pada tahun 2021, dari 1,80%

tahun 2019 menjadi 1,95% untuk setahun pakai. Peningkatan juga terjadi pada yang

pernah pakai, dari 2,40% menjadi 2,57%. Kenaikan angka prevalensi terutama

terjadi:

a) Perkotaan;

b) Kelompok perempuan di perkotaan dan perdesaan;

c) Kelompok usia 15-24 tahun dan 50-64 tahun di perdesaan dan

perkotaan;

d) Memiliki kegiatan utama tidak bekerja di perkotaan dan perdesaan;

e) Memiliki kegiatan utama mengurus rumah tangga di perkotaan dan

perdesaan.

Sedangkan untuk penurunan angka prevalensi secara umum terjadi:


12

a) Perdesaan;

b) Kelompok laki-laki di perdesaan dan perkotaan;

c) Kelompok umur 25-49 tahun di pedesaan dan perkotaan;

d) Memiliki kegiatan utama bekerja di perdesaan. Penyalahguna narkoba di

perkotaan yang bekerja meningkat, namun jumlahnya sedikit.

Ciri-ciri penyalahgunaan narkoba, berikut:

 Penyalahguna narkoba cenderung permisif menghadapi teman maupun

keluarga yang menyalahgunakan narkoba. Mereka lebih banyak memiliki

perilaku berisiko dibandingkan yang bukan penyalahguna, terutama

kebiasaan merokok, minum-minuman keras dan nongkrong malam hari

di luar rumah.

 Penyalahguna narkoba cenderung memiliki kedekatan emosional sedikit

lebih rendah dengan orang tua atau pasangan dibanding yang bukan

penyalahguna. Frekuensi komunikasi dengan keluarga tidak menjamin

terhindar dari penyalahgunaan narkoba jika tidak disertai kualitas

komunikasi.

 Penyalahguna narkoba umumnya tinggal di lingkungan yang memiliki

permasalahan sosial serta mudah mengakses fasilitas umum.

D. Strategi Pencegahan Dan Penanggulangan Penyalahgunaan Obat

Pencegahan dan penanggulangan adalah kegiatan penyuluhan dan bimbingan

untuk memberi pengetahuan dan kesadaran, tentang akibat buruk/bahaya

penyalahgunaan obat-obatan, untuk meningkatkan ketahanan daya tangkal


13

perseorangan, keluarga atau masyarakat terhadap masalah penyalahgunaan obat-

obatan.

Upaya pencegahan ini dilaksanakan melalui kegiatan diskusi, peningkatan

kemampuan teknis, penyuluhan sosial (Depsos RI; 2003: 119). Lebih lanjut

dikemukakan bahwa tujuan dari upaya pencegahan penyalahgunaan obat-obatan

dalam hal ini narkotika ini, yaitu:

a. Terhindar dan terbebasnya generasi muda dari penyalahgunaan obat-obatan,

menumbuhkan, memulihkan, dan mengembangkan keberfungsiaan sosial eks

korban penyalahgunaan obat-obatan sehingga dapat hidup secara wajar

sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat; dan

b. Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam upaya penanggulangan

penyalahgunaan obat-obatan sehingga masyarakat memiliki ketahanan sosial

dan daya tangkal terhadap permasalahan penyalahgunaan obat-obatan.

Upaya pencegahan, penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan

peredaran Informasi, Vol. 16 No. 01 Tahun 2011 39 gelap Narkoba diperlukan

peranserta masyarakat. Masyarakat perlu mengembangkan program

dilingkungannya masing-masing secara bertanggung jawab dan profesional. Agar

program di lingkungan masyarakat dapat berjalan baik diperlukan pemberdayaan

masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu asas penting dalam

pengembangan program tersebut (Anonim; Jakarta, 2007:105), yaitu: (1) bekerja

bersama masyarakat, sehingga menggeser tanggung jawab perencanaan dan

pengambilan keputusan dari lembaga pemerintah dan profesional kepada

masyarakat; dan (2) melibatkan semua komponen masyarakat.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pola penyakit dapat dipahami dalam rangka transisi epidemiologis, suatu

konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan penyakit. Perubahan pola penyakit

sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi (pendidikan, umur, dan jenis kelamin), sosial

ekonomi (pendapatan) dan sosial budaya.

Obat esensial adalah obat terpilih yang paling mendasar dibutuhkan untuk

pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi,

yang harus tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai fungsi dan tingkatnya.

Sedangkan untuk penyalahgunaan obat, berdasarkan data yang dapat dilihat

pada 5 tahun terakhir jumlah kasus cenderung menurun. Tetapi pada untuk angka

prevalensi penyalahgunaan narkoba cenderung mengalami peningkatan.

Pencegahan dan penanggulangan adalah kegiatan penyuluhan dan bimbingan

untuk memberi pengetahuan dan kesadaran, tentang akibat buruk/bahaya

penyalahgunaan obat-obatan, untuk meningkatkan ketahanan daya tangkal

perseorangan, keluarga atau masyarakat terhadap masalah penyalahgunaan obat-

obatan.

B. SARAN

1. Bagi pembaca diharapkan dapat memahami sepenuhnya perubahan pola

penyakit yang terjadi secara epidemiologis, dan kebutuhan obat yang ada

disertai faktor penentunya, dan juga penyalahgunaan obat khususnya dalam

14
15

hal ini penyalahgunaan narkotika, disertai strategi pencegahan dan

penanggulangannya.

2. Bagi pelaksana pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan obat di

instansi terkait diharapkan ini menjadi bahan bacaan pendukung dalam

menentukan kebijakan dan perencanaan kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA

Wijoreni, Nur Astuti; Dwi Astuti, S. K. M.; Ambarwati, S. Pd. Pengaruh Pendidikan

Kesehatan Tentang Gaya Hidup Sehat Terhadap Tingkat Pengetahuan

Dan Sikap Dalam Mencegah Penyakit Tidak Menular. 2014. Phd Thesis.

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Nugraheni, R., & Oktaviasari, D. I. (2019). Pengabdian Masyarakat “Penyuluhan

Pola Hidup Sehat untuk Mencegah Penyakit Hipertensi dan Senam

Lansia” di Desa Wonoasri Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri.

In Prosiding (SENIAS) Seminar Pengabdian Masyarakat.

World Health Organization. 2013. Global Status Report on Non-communicable

Diseases: Geneva diakses pada tanggal 01 Januari 2022 dari

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/.

Suyono, Slamet. (2006). Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam

Quick JD, Hogerzeil HV, Velasquez G, Rago L, Twenty-five Years of Essential

Medicines, Bulletin of the WHO 80, 2002.

Babar ZU, Ibrahim MIM, Singh H, Bukahri N, Creese A, Evaluating Drug Prices,

Availability, Affordability and Price Components: Implication for Acces

to Drugs in Malaysia. Plos Med, 2007;4(3):82e.

Putri AE, Siahaan S, Tjahyono L, Budiharto M, Sundari S, Angkasawati T, Helmi R,

Ariningrum R, The Prices People Have to Pay for Medicine in Indonesia.


Center for Health Service and Technology Research National Institute of

Health Research and Development, Ministry of Health Indonesia in

Collaboration with WHO, Health Action International, Jakarta, 2007.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Roadmap Reformasi Kesehatan

Masyarakat, Jakarta, 2010.

Quick JD, Hume ML, Rankin IR, Laing RO, O’Connor, Managing Drug Supply,

Second Edition Revised and Expanded, Kumarian Press, West Harford,

1997.

Chaira, S., Erizal, Z., & Augia, T. (2016). Evaluasi Pengelolaan Obat pada

Puskesmas di Kota Pariaman. JSFK, 3(1), 35–41.

Anda mungkin juga menyukai