Anda di halaman 1dari 4

Tugas Mata Kuliah

Manajemen Berbasis Sekolah

Tutor Pembimbing : M. Faizal Huda, M.Pd. Mat

Disusun Oleh : Kelompok 6

1. Ariza Fitri Ramadhani


2. Rafika Dian Caya Suhadi

KEMENTRIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS TERBUKA
UPBJ-UT BENGKULU
POKJAR LEBONG
2019
IDIK4012/2KS/MODUL 1- 6 Kelompok 6

BANGUNAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Manajemen berbasis sekolah sebagai pendekatan dalam pengelolaan sekolah yang


dianut di dalam siistem pendidikan nasional, secara resmi baru berlaku pada tanggal 8 Juli 2003,
yaitu mulai berlakunya undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional. Di dalam undang – undang tersebut pada pasal 51 ayat (1) di nyatakan bahwa
pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah di
laksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip Manajemen Berbasis
Sekolah .
Sampai saat ini belum ada rumusan resmi yang baku (di ikuti oleh semua unit organisasi
di lingkungan Depdiknas) tentang prinsip Manajemen Berbasis Sekolah, selain adanya
penjelasan Pasal 51 ayat (1) undang-undang Sisdiknas yang menyatakan bahwa Manajemen
Berbasis Sekolah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan.
Dalam hal ini, kepala sekolah dan guru di bantu oleh komite sekolah dalam mengelola kegiatan
pendidikan. Dimungkinkan, perumusaan MBS belum secara baku agar konsep dan pelaksanaan
MBS lebih fleksibel dan dinamis.
Di luar formalitas landasan hukum yang lebih kuat (pencatuman dalam pasal-pasal UU
Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003), pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan yang
sejalan dan senapas dengan prinsip-prinsip MBS baik melalui kebijakanan-kebijakan maupun
progam-program pembangunan yang bertujuan memandirikan sekolah bersama masyarakat.

1. Bagunan Segi Empat MBS dan Daerah Lingkaran

Bangunan segi empat MBS merefleksikan proses pengelolaan pendidikan. Proses


pengelolaan pendidikan terbangun dari 4 sisi atau 4 aspek, yaitu panduan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), Sumber Daya Pendidikan (SDP), Peran Komite Sekolah (Komsek), serta
dengan pengelolaan satuan pendidikan manajemen berbasi sekolah (MBS). Pengaruh masing
masing sisi digambarkan dalm garis-garis membnetuk segi 4 kecil-kecil. Pengelolaan proses
pendidikan berlingkup sekolah, lebih luas dari pengelolaan proses belajar-mengajar (PBM) yang
digambarkan dalam lingkaran dengan garis-garis yang lebih tebal.
Di dalam proses pembelajaran, guru yang bertugas bertanggung jawab secara
profesional, dan sungguhpun ia bebas menentukan metode, materi dan evaluasinya, tetapi
dalam konteks MBS disarankan menggunakan pendekatan Contextual Learning (CtL) atau
pendekatan pembelajaran kontekstual.
Sumber Daya Pendidikan (SDP) merupakan sisi penopang penting untuk keberhasilan
proses pembelajaran maupun proses pendidikan pada umumnya pada suatu sekolah. Ia terdiri
dari sumber daya manusia (guru dan staf sekolah dan narasumber lain), sarana prasarana, serta
keuangan sekolah, komite sekolah sesuai fungsinya ( mendukung, memberi saran, turut
mengawasi, dan mediasi) membantu memperkuat dan memajukan sekolah. Sementara KBK,
merupakan skenario tentang kemana, bagaimana, dan hasilnya seperti apa proses pendidikan
dan pembelajaran dilakukan atau dilaksanakan disuatu sekolah. Dalam hal ini MBS dengan
kaidah-kaidah fungsi manajemen dan kepemimpinan sekolah bertugas mensinergikan unsur KBK
(skenario lakon yang harus dimainkan), dengan pelaku dan peralatan serta dana (SDP), serta
pendukung, penasihat dan pengawas (Komite Sekolah) untuk menampilkan kinerja sekolah yang
bermutu sehingga memuaskan yang membiayai dan memanfaatkan hasil pendidikan (konsumen
pendidikan).
Dalam pendekatan MBS guru dituntun lebih mandiri karena diharapkan lebih
profesional mengingat kewenangan yang diberikan kepada mereka dalam penjabaran kurikulum
untuk sekollah masing-masing lebih besar dari sebelumnya. diantara SDP lainya yang penting
adalah pendanaa sekolah. Didalam penerapan MBS perlu kejelasan dana hibah yang dikelola
langsung oleh sekolah, sejalan dengan pemberian kewenangan pengambilan keputusan yang

Universitas Terbuka Page 2


IDIK4012/2KS/MODUL 1- 6 Kelompok 6
lebih luas. Sementara komite sekolah diperlukan agar kewenangan yang lebih besar diberikan
kepada satuan pendidikan tidak menyimpang (ada yang mengawasi) dan sekaligus agar satuan
pendidikan juga tanggap terhadap aspirasi masyarakat.
Pendekatan MBS didalam pengelolaan satuan pendidikan seolah olah memberikan
kebebasan dan keleluasaan penuh kepada sekolah (dalam hal ini kepala sekolah dan guru
dibantu komite) untuk mengelola satuan pendidikan sesuai keinginan mereka. Dalam batas
batas tertentu ada benarnya, tetapi kalau ditinjau lebih lanjut sesuai pasal-pasal dalam UU
Nomor 20 tahun 2003, satuan pendidikan dalam melaksanakan MBS [Pasal 51, ayat (1)], terikat
oleh standar nasional (Pasal 35), kurikulum[Pasal 36, 37, dan 38 ayat (1) dan (2)], evaluasi [Pasal
57, 58, dan 29 ayat (1) dan (2)], akreditasi (Pasal 60), dan sertifikasi (Pasal 61), yang semuanya
merupakan bagian penting dari akuntabilitas pengelolaan pendidikan dalam rangka menjaga dan
meningkatkan mutu.

2. Atap Segitiga Akuntabilitas

Dalam bangunan MBS, terdapat atap segitiga akuntabilitas yang merujuk kepada
Standar Nasional, Akreditasi Sekolah, dan Evaluasi Independen oleh lemabaga mandiri.
Akuntabilitas mencakup semua masalah yang dikerjakan oleh satuan pendidikan, baik yang
bersifat administratif, maupun teknis edukatif, terutama berkaitan dengan mutu pendidikan
(baik dalam pengertian prosesnya maupun hasilnya). Segitiga akuntabilitas berfungsi dalam
menangani, menjaga, dan memberi acuan berbagai ragam satuan pendidikan agar meskipun
memperoleh kebebasan dalam pengelolaan pendidikan tidak keluar dari koridor kebijakan
nasional, baik dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun standar-standar mutu
ayng diharapkan secara nasional. Di samping batasan-batasan (koridor, parameter) yang bersifat
nasional, ada juga parameter yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan.

Inti dari Pasal 35, yang berkaitan dengan standar nasional adalah berikut ini :
a. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan yang harus ditingkatkan secara berkala. Artinya, standar nasional itu pun
bersifat dinamis.
b. Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga
pendidikan, sarana prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

Khusus mengenain kurikulum pendidikan dasar dan menengah, sungguhpun setiap


kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah dibawah koordinasi dinas pendidikan
kabupaten/kota atau provinsi sesuai jenjangnya, akan tetapi kerangka dasar dan strukturnya
ditetapkan oleh pemerintah (pusat), seperti dipesankan oleh Pasal 38, ayat (1) dan (2).
Sudut berikutnya adalah evaluasi yang dilakukan oleh lembaga mandiri pasal 58, ayat (2)
atau Evaluasi Independen (EI) yang bertujuan menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Di dalam pasal-pasal tentang evaluasi sesungguhnya evaluasi dilakukan oleh berbagai pihak,
seperti pemerintah (pusat), pemerintah daerah, oleh pendidik, dan oleh masyarakat dan/atau
organisasi profesi yang membentuk lembaga mandiri.

Dari butir-butir pasal dan ayat yang mengatur tentang evaluasi, perlu diberikan
beberapa catatan berikut,
Pertama, Evaluasi yang dimaksud pada Atap Segitiga Akuntabilitas adalah evaluasi yang
berkaitan dengan pencapaian standar nasional, pengendalian nasional, serta akuntabilitas yang
berlingkup nasional, baik yang dilakukan oleh lembaga mandiri maupun pemerintah.
Kedua, ada evaluasi yang menjadi kewajiban dan hak pendidik, yaitu evaluasi hasil
belajar peserta didik.
Ketiga, ada evaluasi yang secara khas merupakan kewajiban dan hak pemerintah dan
pemerintah daerah, yaitu evaluasi terhadap pengelolaan satuan pendidikan.

Universitas Terbuka Page 3


IDIK4012/2KS/MODUL 1- 6 Kelompok 6

Sudut segi tiga akuntabilitas lainnya pada sebelah kiri adalah Akreditasi Sekolah. Sebagai
bahan dari instrumen akuntabilitas, akreditasi bertujuan memberikan gambaran tentang kinerja
sekolah dan tingkat kelayakan suatu sekolah dalam pelayanan pendidikan.
Sementara itu pasal 60, UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, merumuskan tentang
akreditasi sebagai berikut,
a. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada
jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan [Pasal
60, ayat (1)].
b. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh pemerintah
dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik [Pasal
60, ayat (2)].
c. Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka [Pasal 60, ayat (3)].

Pelaksanakan akreditasi sekolah dilakukan oleh Badan Akreditasi Provinsi dan Badan
Akreditasi Kabupaten/Kota. Namun demikian, kebijakan, kriteria, dan pedomannya ditentukan
oleh Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS) yang berlaku secara nasional. Dengan
demikian, akreditasi merupakan jabaran dari kebijakan dan standar nasional. Sebelum RUU
Sisdiknas disahkan, Mendiknas telah mengeluarkan kepmendiknas No. 087/U/2002 tentang
Akreditasi sekolah yang berlaku untuk semua jenjang (TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB) baik
negeri maupun swasta.
Titik sudut yang lain pada atap segi tiga akuntabilitas adalah sertifikasi. Sertifikasi
merupakan proses untuk memperoleh pengakuan atas kemampuan kinerja atau hasil kerja
seseorang atau lembaga/institusi.

3. Lantai Prasyarat (SPM), Fondasi (Kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota), dan Lahan


(Aspirasi Masyarakat)

Pelaksanaan MBS yang berwawasan mutu (MBS) akan sulit diwujudkan, bahkan dalam
kondisi tertentu tidak dapat dilaksanakan, kalau Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal
Sekolah (P-SPM-S) tidak dilaksanakan untuk mendukung sumber daya pendidikan (SDM) yang
memadai. Pemenuhan standar pelayanan minimal sesuai perundangan yang berlaku, menjadi
kewenangan dan tugas pemerintah Kabupaten/kota, kecuali Sekolah Luar Biasa penanganannya
oleh pemerintah provinsi.
Dalam kaitan ini kebijakan pemerintah kabupaten/kota menjadi pondasi yang kuat, yang
operasionalnya diwujudkan melalui APBD Kabupaten/kota yang bersangkutan. Aspirasi
masyarakat yang lebih luas (dalam lingkup wilayah kabupaten/kota) diharapkan tersalur melalui
Dewan Pendidikan. Sesuai dengan kepmendiknas Nomor 044/U/2002, Dewan Pendidikan
berperan menampung dan menyalurkan aspirasi tersebut, dengan fungsinya sebagai pendukung
(turut mencari solusi dan pemecahan masalah), penasihat (pemberi saran), pengawas (ikut
mengontrol), dan mediator (penghubung berbagai pihak untuk membantu pendidikan). Muara
dari dukungan ini adalah memperkuat posisi sekolah untuk mengembangkan diri.
Dalam praktik saling hubungan antar elemen tersebut sungguh pun merupakan
parameter, tetapi pelaksaannya elastis/fleksibel dan dinamis dan sangat ditentukan oleh
loyalitas serta kesungguhan berbagai pihak terkait terhadap pelaksanaan sistem yang berlaku
(garis putus-putus).

Universitas Terbuka Page 4

Anda mungkin juga menyukai