Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TEKNIK RADIOGRAFI DASAR 1

CASE STUDY
HIP JOINT, PELVIS, DAN CV. CERVICAL

Kelompok 3
1. Agustin Kurnia Putri
2. Ahmad Tasori
3. Akbar Ade Nugroho
4. Dewi Yulianingsih
5. Fredy Bayu Adi Prastiyo
6. Galuh Hadi C.K
7. Ketut Puspa Adi Suartama
8. Lutfiana Desy Saputri
9. Pratiwi Neny Rahmahwati
10. Zona Dewi Utari

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG


DIII TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
TAHUN AJARAN 2010 / 2011
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dibidang kesehatan, khususnya dibidang radiologi, banyak hal dan kejadian mungkin
akan dijumpai. Seseorang yang bekerja dibidang ini, pastinya akan menjumpai berbagai jenis
pasien dengan keluhan dan trauma yang tentunya butuh penanganan medis yang tepat.
Seorang radiografer dalam menangani kasus pasien, tidak mungkin hanya menemui pasien
dengan kasus yang monoton. Sehingga, satu ilmu saja tidak cukup. Ataupun teori saja juga
belum mencukupi. Dalam hal ini, praktek juga sangat berpengaruh, bahkan yang paling
dibutuhkan dalam pembelajaran. Selain hal tersebut, pengetahuan patologi juga sangat
diperlukan agar nantinya radiografer bisa memperkirakan trauma ataupun nontrauma yang
dialami pasien agar lebih mudah dalam mempersiapkannya, mempermudah menentukan
proyeksi yang digunakan dan bisa memperkirakan faktor-faktor lain yang perlu diatur
sebelum melakukan eksposi.
Sebagai calon radiografer, kita harus belajar hingga nantinya mampu bertugas dan
melayani pasien dengan sebaikmungkin. Dalam hal ini, di rumah sakit dijumpai tiga pasien
yang mengalami kecelakaan namun dengan kasus yang berbeda-beda. Pasien pertama
mengeluhkan sakit pada hip joint bagian kanan dan diindikasikan mengalami dislokasi,
pasien kedua mengeluhkan sakit pada pelvis kanan bagian bawah, diperkirakan bagian
symphysis pubis, serta pasien ketiga mengeluhkan sakit pada leher hingga susah untuk
ditegakkan dan diperkirakan mengalami fraktur yang disertai luksasi. Ketiganya baru saja
mengalami kecelakaan.
Dalam hal ini akan dibahas mengenai tindakan yang diambil oleh seorang radiografer
untuk mendapatkan radiograf yang mempu memberikan informasi yang baik dan jelas serta
mampu memperlihatkan trauma (patologi) yang dialami, sehingga dapat diambil tindakan
lebih lanjut.
1.2. Masalah
Berdasarkan indikasi patologis yang dialami pasien pada ketiga jenis kasus, untuk
mendapatkan radiograf yang jelas, ada hal-hal penting yang menjadi permasalahan bagi
radiografer, yakni :
1. Bagaimana persiapan alat dan bahannya sebelum melakukan ekspose pada
pasien?
2. Bagaimana anatomi tulangnya?
3. Bagaimana teknik radiografi yang digunakan dalam melakukan eksposi? (dari
proyeksi yang digunakan, posisi pasien, posisi obyek, central ray, CP, FFD, faktor
eksposi, serta kriteria radiografnya)
4. Berdasarkan proyeksi yang dipilih, Analisa dan teori yang digunakan seperti apa
serta mengapa dipilih proyeksi yang bersangkutan?
BAB II
ISI

2.1. Case Study – Hip Joint


A. Indikasi Patologis
Seorang mahasiswa berumur 21 tahun dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami
kecelakaan motor, pasien tertabrak mobil dari arah kanan. Pasien mengeluhkan sakit
pada pangkal pahanya dan pahanya tidak mampu diluruskan. Terlihat pahanya lemas dan
tidak tegak serta tidak mampu difiksasi. Setelah diperiksa oleh dokter, diindikasikan
pasien mengalami dislokasi pada hip joint kanannya. Untuk itu perlu gambaran radiograf
terlebih dahulu agar bisa ditentukan arah dan besarnya dislokasi serta penanganan
nantinya menjadi lebih mudah.
B. Anatomi Hip Joint

Gambar diatas menunjukkan posisi hip joint normal (tanpa adanya trauma)
dari arah depan. Untuk kasus ini, dislokasi yang dialami pasien terjadi pada bulatan
yang berwarna putih tersebut, yakni caput femoris, yang terlepas dari mangkoknya
(acetabulum). Caput femoris berartikulasi dengan pelvis pada bagian acetabulum dan
membentuk hip joint. Namun pada kasus ini, trauma yang dialami pasien pada kaki
kanan (hip joint kanan).
Bagian-bagian yang berhubungan dengan hip joint yakni
 Caput femoris
 Collum femoris
 Acetabulum
 Trochanter mayor dan minor
C. Persiapan (Alat dan Bahan)
 2 keping kaset (IR) ukuran 24 x 30 cm untuk proyeksi AP unilateral hip : hip dan
femur kanan proksimal dan untuk proyeksi axiolateral inferosuperior : hip dan
femur kanan proksimal - trauma
 Cassette tray dan Bucky Grid
 Marker
 Screen, tabletop
 Softbag dan Sandbag
 Bantal
 Cairan processing
 Mesin x-ray
 Mesin pengering
 Apron
D. Teknik Radiograf
Dalam pemeriksaan ini, digunakan dua jenis proyeksi, yakni proyeksi AP unilateral hip
: hip dan femur proksimal kanan dan untuk proyeksi axiolateral inferosuperior : hip
dan femur proksimal kanan - trauma
1) Proyeksi AP Unilateral Hip : Hip dan Femur Proksimal Kanan
Posisi Pasien
 Dengan pasien dalam posisi supine, letakkan lengan pada samping tubuh atau
diatas dada.
Posisi Obyek
 Lokasikan collum femoris serta luruskan ke CR dan ke garis tengah tabel
dan/atau IR
 Pastikan tidak ada rotasi pelvis (jarak dari ASIS ke meja sama)
 Putar kaki 15 ᵒ sampai 20 ᵒ ke arah internal
Central Ray
 CR tegak lurus ke IR diarahkan sekitar 1 atau 2 inci (2,5-5 cm) distal ke
pertengahan collum femoris (untuk mendapatkan semua kenampakan
ortopedi hip jika ditampilkan). CP berada di lokasi tersebut. Collum femoris
bisa diterletak sekitar 1 hingga 2 inci (3 sampai 5 cm) medial serta 3 sampai 4
inci (8 sampai 10 cm) distal ASIS.
FFD (Film Focus Distance)
 FFD minimum sekitar 100 cm (40 inci)
 Kaset diletakkan pada cassette tray (Bucky Grid) yang ada dibawah meja
pemeriksaan dengan posisi lengthwise.
Faktor Eksposi
 Tegangan : 80 kV
 Arus listrik : 100 mA
 Waktu : 0,12 sekon
12 mAs
Kriteria Radiograf
 Struktur yang tampak :
⅓ femur bagian proksimal harus terlihat, bersama dengan bagian acetabulum
dan bagian yang berdekatran dengan pubis, ischium, dan ilium; Kenampakan
ortopedis yang ada harus terlihat seluruhnya.
 Posisi :
Trochanter mayor serta caput dan collum femoris harus terlihat seluruhnya
tanpa foreshortening. Trochanter minor tidak harus menonjol melewati sisi
medial pada dfemur atau beberapa pasien hanya ujungnya saja yang terlihat
dengan rotasi internal kaki secukupnya.
 Kolimasi dan CR :
Bidang kolimasi harus memperlihatkan keseluruhan hip joint serta ortopedis
yang tampak pada keseluruhannya; Collum femoris berada pada pusat bidang
kolimasi menandakan tepat pada pusat CR.

 Kriteria Eksposur :
Eksposur yang optimal memperlihatkan tepi caput femoris dan acetabulum
sepanjang bentangan struktur pelvis tanpa overexposing pada bagian yang
lain dari femur bagian proksimal atau struktur pelvis. Tanda-tanda trabecular
atau trochanter mayor serta area collum harus terlihat tajam, menandakan
tidak ada gerakan (no motion).
2) Proyeksi Axiolateral Inferosuperior : Hip dan Femur Proksimal Kanan - Trauma
Posisi Pasien
 Pasien supine dengan bantal untuk tumpuan kepala, angkat pelvis 1 sampai 2
inci (3 – 5 cm) jika memungkinkan dengan menambahkan sandaran dibawah
pelvis.
Posisi Obyek
 Tekuk dan angkat kaki yang tidak sakit sehingga paha mendekati posisi vertikal
dan diluar bidang kolimasi. Berikan sandaran pada posisi ini. Jika kaki
diletakkan diatas kolimator, seperti pada gambar, sediakan kain atau bantalan
untuk mencegah terbakarnya kaki karena panasnya kolimator.

 Periksalah untuk memastikan tidak ada putaran pada pelvis ( jarak dari ASIS
ke meja sama )
 Tempatkan kaset di atas puncak illium dan atur sehingga berada sejajar
terhadap collum femoris dan tegak lurus pada CR. Gunakan tempat kaset jika
memungkinkan, atau gunakan sandbag untuk menahan posisi kaset.
 Rotasi internal kaki pada sudut 15-20 derajat kecuali kalau kontra indikasi oleh
fraktur yang memungkinkan atau proses patologi yang lain.
Central Ray
 CR tegak lurus terhadap collum femoris dan ke IR
FFD (Film Focus Distance)
 FFD minimum sekitar 100 cm (40 inci)
 Kaset diletakkan pada cassette tray (Bucky Grid) yang ada dibawah meja
pemeriksaan dengan posisi lengthwise.
Faktor Eksposi
 Tegangan : 75 kV
 Arus listrik : 200 mA
 Waktu : 0.2 sekon
40 mAs
Kriteria Radiograf
 Struktur yang tampak :
Keseluruhan caput dan collum femoris, trochanter, dan acetabulum harus
terlihat.
 Posisi :
Trochanter minor yang terlihat hanya sebagian kecil dengan bagian kaki yang
sakit dengan posisi inversion. Hanya bagian yang paling distal dari caput
femoris yang seharusnya superimposisi dengan trochanter mayor.Soft tissue
dari kaki kiri yang di angkat tidak akan superimposisi pada hip yang sakit jika
kaki terangkat dengan pas dan CR pada posisi yang benar.
 Kolimasi dan CR :
Tidak ada gridlines yang terlihat.
 Kriteria Eksposure :
Eksposur yang optimal memperlihatkan garis luar dari keseluruhan caput
femoris dan acetabulum tanpa overexposing pada collum femoris proksimal.
E. Analisa
 Hip Joint
Hip joint diklasifikasikan kedalam tipe synofial, yang memiliki karakteristik
dengan kapsul fibrous yang lebar yang berisi cairan synofial. Sendi ini
tergolong dalam sendi diartrosis karena bisa digerakkan bebas,
penggambarannya contohnya tipe pergerakan spheroid, yang terdiri dari bola
dan soket.
Collum femoris membentuk lebih dari setengah bulatannya selama pas
masuk dengan kedalaman yang relatif, pada acetabulum yang berbentuk
mangkok. Hubungan ini membuat hip joint memang sifatnya kuat selama
sendi ini menopang berat badan. Kapsul artikular yang menyelimuti
persendial ini kuat dan tebal. Pergerakan yang bisa dilakukan meliputi fleksi
dan ekstensi, abduksi dan adduksi, rotasi medial maupun lateral, serta
circumduction.
 Dislokasi
Dislokasi merupakan istilah untuk terlepasnya sendi dari mangkok sendi.
 Kaset (IR)
Berdasarkan kasus ini, kaset yang digunakan dengan ukuran 24 x 30 cm
karena gambaran yang diperlukan tidaklah terlalu lebar, melainkan hanya
gambaran pada hip joint, proksimal femur dan beberapa struktur pelvis yang
ber-artikulasi dengan hip joint.
Kaset diatur lengthwise agar keseluruhan bagian proksimal femur, hip joint,
dan sebagian kecil dari struktur pelvis yang berhubungan dengan hip joint
terlihat jelas.
Pada proyeksi axiolateral inferosuperior, kaset diatur tegak lurus terhadap
meja dan sejajar dengan paha, untuk mendapatkan gambaran hip joint dan
proksimal femur dari arah lateral.
Kaset diletakkan pada cassette tray (Bucky grid) karena jika diletakkan
langsung dibawah obyek di atas meja, kaset akan mudah tergelincir dan
kemungkinan memberikan tekanan pada bagian joint yang sakit.
 Proyeksi
1) Proyeksi AP Unilateral Hip : Hip dan Femur Proksimal Kanan
Pada kasus ini dipilih proyeksi AP unilateral untuk mendapatkan
gambaran trauma dari arah depan. Sehingga dislokasi dapat dianalisis,
arah terlepasnya ke arah mana dan berapa jaraknya, hal itu dapat
diperhitungkan. Selain itu karena trauma disebabkan oleh tekanan yang
keras, kemungkinan terjadi trauma lain seperti fraktur maupun fisura,
sehingga ada baiknya ⅓ femur proksimal dan sebagian kecil struktur
pelvis yang berhubungan dengan hip joint juga diperlihatkan. Pada
proyeksi ini, tegangan yang dipakai 80 kV, sementara mAs-nya 12 mAs,
untuk mendapatkan densitas dan kontras yang merata, karena jika mAs-
nya kurang, maka densitasnya tidak akan merata, meskipun tegangan
sudah diatur dengan tepat. Begitu juga dengan tegangannya jika terlalu
kuat ataupun terlalu rendah, kontras yang dihasilkan juga tidak akan pas,
yakni mungkin terlalu cerah ataupun terlalu buram. Paduan antara
tegangan dan mAs yang tepat, juga akan menghasilkan detail gambar
yang baik. Pada kasus ini, tegangan yang diatur cukup tinggi karena
susunan caput dan collum femoris yang cukup padat serta kuat.
Selain faktor eksposi diatas, alasan digunakannya proyeksi ini adalah
karena keterbatasan pasien dalam melakukan gerakan. Dari keseluruhan
proyeksi yang ada, posisi supine dengan proyeksi AP merupakan posisi
yang paling memungkinkan dan mudah dilakukan posisi pasien.
2) Proyeksi Axiolateral Inferosuperior : Hip dan Proksimal Femur Kanan –
Trauma
Pada kasus ini juga digunakan proyeksi ini untuk mendapatkan
gambaran anatomi obyek dari arah lateral. Melalui proyeksi ini
diharapkan arah dislokasi bisa terlihat dari sisi medial, apakah nanti
dislokasinya mengarah ke anterior tubuh ataupun posterior tubuh. Pasien
masih dalam posisi supine karena memang lebih nyaman dan tidak sulit
dilakukan.
Pada proyeksi ini, tegangan diturunkan dan mAs ditambah menjadi 40
mAs untuk mendapatkan gambaran caput femoris yang lebih tajam dan
ruang artikulasi terlihat jelas.
2.2. Study Case – Pelvis
A. Indikasi Patologis
Seorang buruh bangunan (pria) berumur 32 tahun mengalami kecelakaan saat
bekerja, terjatuh dari tempat tinggi dalam posisi menyamping (pinggul kanan
terbentur dengan tanah) saat mengecat bangunan. Penopang yang digunakan saat
mengecat roboh. Selain terjatuh, saat berbalik ke kiri, salah satu balok kayu yang
digunakan untuk menopang tadi kembali menimpa pinggul kanannya. Pasien
mengeluhkan sakit pada bagian tersebut. Pasien kemudian dilarikan ke rumah sakit
dan setelah diperiksa oleh dokter, pasien mengalami fsura pada bagian ilium kanan.
Dan untuk memastikannya, dokter menganjurkan agar di ekspose terlebih dahulu
untuk mendapatkan gambaran anatominya.
B. Anatomi Pelvis
Gambaran pelvis anterior
Gambar diatas menunjukkan anatomi pelvis dari arah anterior beserta bagian-bagian
anatominya. Pada kasus tersebut, kemungkinan ruptur terjadi pada bagian ilium
kanan, yang ditunjuk oleh arah panah.
C. Persiapan (Alat dan Bahan)
 IR ukuran 30 x 40 cm
 Moving atau stationary grid
 Marker
 Grid
 Screen, tabletop
 Softbag dan Sandbag
 Bantal
 Cairan processing
 Mesin x-ray
 Mesin pengering
 Apron
D. Teknik Radiograf
Dalam kasus ini, untuk mendapatkan gambaran, hanya digunakan satu proyeksi
pemeriksaan yakni Proyeksi AP Pelvis (Hip Bilateral) - Pelvis
a) Proyeksi AP Pelvis (Hip Bilateral) – Pelvis Kanan
Posisi Pasien :
 Dengan pasien dalam posisi supine, letakkan lengan diatas dada, letakkan
bantal di kepala dan dibawah lutut agar pasien lebih nyaman.
Posisi Obyek :
 Luruskan bidang midsagital pasien pada garis pertengahan meja dan CR.
 Pastikan pelvis tidak bergerak, jarak dari tabletop dgn ASIS harus sama.
 Beri jarak antara betis dan kaki,kemudian panjang rotasi internal antara
kaki dan extremitas bawah 15°-20°. Sebaiknya letakkan sandbag pada kaki
agar pasien nyaman.
 Letakkan IR pada cassette tray / bucky grid yang berada dibawah meja
pemeriksaan.
Central Ray
 CR tegak lurus terhadap IR, mengarah ke pertengahan antara ASIS dan
symphysis pubis.
 Pusatkan kaset ke CR (garis tengah kaset sejajar dengan garis pertengahan
meja pemeriksaan).
FFD (Focus Film Distance)
 FFD minimum 100 cm (40 inci)
 Atur kaset crosswise.
Faktor Eksposi
 Tegangan : 80 kV
 Arus listrik : 100 mA
 Waktu : 0,1 sekon 10 mAs
Kriteria Radiograf
 Struktur yang tampak
Garis pada pelvis, L5, sacrum dan coccyx, kepala dan leher femur, serta
trochanter mayor terlihat jelas. Bagian yang mengalami fisura juga terlihat
dan panjang fisura bisa diukur.
 Posisi
Trochanter minor sebenarnya tidak harus terlihat, trochanter major terlihat
sama ukuran dan bentuknya. Tidak ada rotasi yang diperlihatkan oleh
kenampakkan yang simetris dari iliac ala, spina ischial, dan kedua foramina
obturator. Spina Ischial kanan dan kiri (jika tampak) harus terlihat sama
ukurannya.
 Kolimasi dan CR
Pemusatan yang tepat ditunjukkan oleh terlihatnya keseluruhan pelvis dan
femur bagian atas tanpa pemendekan bagian depan pada bidang kolimasi.
MSP pasien harus lurus dengan sumbu tengah dari IR. Sisi kolimasi minimal
seukuran dengan objek (pasien).
 Kriteria Eksposure
Eksposure yang optimal akan memperlihatkan L5 dan area sacrum serta
tepi dari caput femoris dan acetabullus, yang terlihat sepanjang bentangan
struktur pelvis, tanpa overexposing ischium dan tulang pubis.

E. Analisis
 Pelvis
Pelvis merupakan suatu tulang yang kaku, berperan sebagai rangkaian
hubungan yang besar antara trunk dan ekstremitas inferior. Setiap tulang pelvic
dibentuk oleh 3 tulang : os ilium, ischium dan pubis. Kedua tulang pelvic (kiri
dan kanan) bersambung membentuk pelvic griddle. Kedua tulang pelvic secara
kuat melekat pada sacrum melalui sacroiliaca joint. Pelvis adalah daerah batang
tubuh yang berada di sebelah dorsokaudal terhadap abdomen dan merupakan
daerah peralihan dari batang tubuh ke extremitas inferior. Pelvis bersendi
dengan vertebra lumbalis ke-5 di bagian atas dan dengan caput femoris kanan
dan kiri pada acetabulum yang sesuai. Pelvis dibatasi oleh dinding yang
dibentuk oleh tulang ligamentum, dan otot. Cavitas pelvis yang berbentuk
seperti corong, memberi tempat kepada vesicaurinaria, alat kelamin pelvic,
rectum, pembuluh darah dan limfe, dan saraf.
Kerangka pelvis terdiri dari:
• Dua os coxae yang masing-masing dibentuk oleh tiga tulang : os ilii, os ischii,
dan os pubis.
• Os sacrum
• Os coccyges
 Fisura
Atau dikenal dengan retak tulang, merupakan suatu keadaan dimana bagian
tulang tertentu mengalami retak/ keretakan akibat trauma.
 Kaset (IR)
Berdasarkan kasus ini, kaset yang digunakan dengan ukuran 30 x 40 cm dan
diatur crosswise karena anatomi pelvis yang melebar dan luas.
Kaset diletakkan pada cassette tray (Bucky grid) karena jika diletakkan langsung
dibawah obyek di atas meja, kaset akan mudah tergelincir dan kemungkinan
memberikan tekanan pada bagian yang sakit.
 Proyeksi
Pada kasus ini dipilih proyeksi AP Pelvis (bilateral hip) untuk mendpatkan
gambaran pelvis dari arah anterior dan letak fisura terlihat jelas. Dosis yang
dipakai yakni 80 kV dan 10 mAs agar garis retakan terlihat jelas.
Pada kasus ini tidak menggunakan proyeksi PA dengan alasan keselamatan
pasien, menghindari agar daerah gonad tidak terkena radiasi serta karena
pasien lebih nyaman dalam pemeriksaan dengan proyeksi AP.
2.3. Case Study C.V. Cervical
A. Indikasi Patologis
Seorang mahasiswi berumur 23 tahun mengalami kecelakaan motor. Lehernya
kaku dan tidak dapat ditegakkan. Tonjolan di pertengahan lehernya sangat terlihat
dan kemungkinan persendian lehernya mengalami luksasi serta beberapa bagiannya
mungkin mengalami fraktur. Pasien dilarikan ke rumah sakit dan setelah diperiksa
oleh dokter, pasien dinyatakan mengalami fraktur yang disertai dislokasi. Jadi untuk
memastikan arah dan bagian yang mengalami trauma, dianjurkan untuk diekspose
terlebih dahulu untuk mendapatkan gambaran anatomisnya.
B. Anatomi
Gambar diatas menunjukkan struktur anatomi collumna vertebral cervical dari
arah lateral kanan. Untuk kasus ini, kemungkinan bagian yang mengalami fraktur
luksasi adalah bagian C4.
C. Persiapan (Alat dan Bahan)
 IR ukuran 24 x 30 cm
 Cassette Tray
 Marker
 Screen, tabletop
 Softbag dan Sandbag
 Bantal
 Cairan processing
 Mesin x-ray
 Mesin pengering
 Apron
D. Teknik Radiograf
Dalam kasus ini hanya digunakan dua proyeksi pemeriksaan, yakni proyeksi AP
AP Axial : Spina Cervical dan Lateral position, horizontal beam : spina cervical.
1) Proyeksi AP Axial : Spina Cervical
Posisi Pasien
 Pasien berada pada posisi supine, lengan diletakkan disamping tubuh dan
diluruskan.
Posisi Obyek
 Luruskan bidang midsagital ke CR dan ke garis pertengahan meja dan atau
kaset
 Atur kepala sehingga garis dari occlusal plane sampai ke base pada

tengkorak tegak lurus pada meja dan atau IR.Garis pada tip dari mandibula

pada dasar dari tengkorak harus pararel dengan sudut CR.

 Pastikan tidak ada rotasi pada kepala atau daerah pusat.

Central Ray
 CR disudutkan 15° sampai 20° kearah cephalad,untuk menampilkan pada
tingkat sisi bawah dari karilago tiroid
 Kaset dipusatkan pada CR
FFD
 Jarak FFD minimal 100 cm.
 Kaset diletakkan pada cassette tray dan diatur dalam posisi lengthwise.
Faktor Eksposi
 Tegangan : 75 kV
 Arus listrik : 100 mA
 Waktu : 0,1 sekon 10 mAs
Kriteria Radiograf
 Struktur yang tampak
C3 sampai T2 bagian vertebra,ruang antara pedicle dan intervetebral
terlihat jelas. Posisi dan arah fraktur serta dislokasi juga akan tampak jelas.

 Posisi :
No motion (tidak ada gerakan) : Prosesus spinosus dan sendi

sternoclavicular terlihat dari spinal colum spinal bortlers. Mandibula dan

base pada tengkorak akan superimposisi pada servikal vertebra satu dua.

 Kolimasi dan CR
Dekatkan collimasi lateral ke tepi soft tissue leher ,tepi collimasi bagian
atas dan bawah ke tepi IR.Pusat bidang collimasi pada C4.Ruang
intervertebral disk terbuka,menandakan pengaturan sudut CR yang benar
 Kriteria Eksposure
Eksposure yang optimal harus memperlihatkan densitas kedua tulang dan

soft tissue.Tepi tulang dan tanda-tanda trabecular yang terlihat tampak

tajam menandakan tidak ada pergerakan (no motion).

2) Lateral Position, Horizontal Beam : Spina Cervical (Trauma Patient)


Posisi Pasien
 Pasien berada pada posisi supine, lengan diletakkan disamping tubuh dan
diluruskan.
Posisi Obyek
 Jangan memanipulasi atau menggerakan kepala atau leher. Pastikan teher
terfiksasi dengan baik.
 Sandarkan kaset secara vertikal menghadap ke bahu atau tambahkan
penopang untuk menempatkan kaset agar kaset tetap tegak.
 Pusatkan kaset ke CR, kaset harus diletakkan sekitar 1 sampai 2 inci diatas
EAM.
 Atur posisi bahu.
Central Ray
 CR tegak lurus pada IR,mengarah secara horisontal ke C4
FFD
 Jarak 60 – 72 inci (150 - 180 cm).

Faktor Eksposi
 Tegangan : 75 kV
 Arus listrik : 400 mA
 Waktu : 0,12 sekon 24 mAs
Kriteria Radiograf
 Struktur yang tampak
Bagian vertebra cervikal,ruang sendi intervertebral, articular pillar,
prosessus spinous,dan sendi zygapophyseal.
 Posisi :
C1 – C7 harus diperlihatkan. Jika punggung dari C7 – T1 tidak
diperlihatkan,gambaran tambahan seperti metode radiograf
swimmer,harus diberlakukan.
 Kolimasi dan CR
Tempatkan collimasi lateral terdekat sampai ke soft tissue leher meliputi
pemanjangan spinal selama memungkinkan ke tepi IR.
 Kriteria Eksposure
Eksposure optimal harus memperlihatkan soft tissue sebaik densitas tulang

dari semua aspek pada cervikal vertebra.Tepi tulang dan tanda trabecular

harus nampak tajam,mengindikasikan tidak ada gerakan.

E. Analisa
 Collumna Vertebral Cervical
Collumna vertebral cervical merupakan collumna vertebral yang membentuk
dan menegakkan leher. Semua vertebra cervical memiliki foramina transversal
untuk lintasan arteri vertebra. Vertebra cervical 1 dan 2 dimodifikasi untuk
menyangga dan menggerakkan kepala. Sebutannya adalah tulang atlas dan
axis. Kemudian diikuti dibawahnya oleh susunan C3 sampai C7. Untuk C3
sampai C6, susunan dan bentuknya masih mirip. C7 perbedaannya adalah
adanya vertebra prominens yang menonjol ke arah posterior.
Pada kasus ini, kemungkinan yang mengalami fraktur luksasi antara C3
sampai C6.
 Fraktur dan Luksasi
Merupakan istilah untuk patah tulang. Definisinya fraktur adalah hilangnya
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang disebabkan oleh
rudupaksa. Umumnya fraktur terjadi karena tulang tidak mampu menahan gaya
regang yang terjadi pada tulang. Bila tulang panjang mendapat suatu gaya
bending (angulary force) pada permukaan tulang panjang akan sedikit
melengkung tapi bila gaya regang telah terlampaui maka akan terjadi suatu
fraktur pada daerah convex pada tulang yang melengkung tersebut, dan
gayanya akan diteruskan se seluruh tebal tulang sehingga menimbulkan fraktur
yang transversal dan oblik. Fraktur pada cv cervical karena terdapat banyak
articulatio, kemungkinan fraktur yang terjadi juga disertai dengan luksasi pada
beberapa bagian sendinya. Luksasi merupakan pergeseran posisi tulang.
 Kaset (IR)
Berdasarkan kasus ini, kaset yang digunakan dengan ukuran 24 x 30 cm dan
diatur lengthwise karena bentuk anatomis leher yang tidak begitu besar dan
tidak begitu panjang meskipun susunan tulangnya tergolong memanjang.
Pada proyeksi AP axial, kaset diletakkan pada cassette tray (Bucky grid) karena
jika diletakkan langsung dibawah obyek di atas meja, kaset akan mudah
tergelincir dan kemungkinan memberikan tekanan pada bagian yang sakit.
Sementara untuk proyeksi lateral position, horizontal beam, kaset diatur
vertikal pada sisi tubuh untuk memperoleh gambaran lateral yang lebih mudah,
dengan mempertimbangkan posisi leher pasien yang harus terfiksasi dengan
baik.
 Proyeksi
1) Proyeksi AP Axial : Spina Cervical
Pada kasus tersebut digunakan posisi ini untuk mendapatkan gambaran
tulang dari arah anterior. Posisi dan arah fraktur serta luksasi juga bisa
diukur, baik dari arah lateral kiri maupun lateral kanan. Pasien lebih
nyaman dalam posisi AP karena keadaan leher yang kaku dan tidak bisa
ditegakkan.
Dosis yang digunakan yakni 75 kVp dan 10 mAs, dengan untuk
mendapatkan densitas yang merata serta kriteria radiograf dapat
terpenuhi.
2) Lateral Position, Horizontal Beam : Spina Cervical (Trauma Patient)
Pada kasus tersebut, digunakan proyeksi ini untuk mendapatkan
gambaran tulang dari arah lateral, apakah nanti fraktur terkjadi di bagian
ini atau tidak. Selain itu, jika memang terjadi luksasi, arah luksasi dapat
dilihat, ke arah anterior ataupun posterior. Pada proyeksi ini digunakan
dosis 28 mAs agar ruang artikulasi dan garis-garis antar tulang terlihat
jelas. FFD diatur cukup panjang untuk meningkatkan magnifikasi yang
disebabkan oleh peningkatan OID (Object Image Distance), yakni jarak
antara kaset dengan objek dengan akibat kehilangan ketajaman gambar.
Pasien tetap dalam posisi supine karena lebih memungkinkan bagi
keadaan pasien, dengan mempertimbangkan collumna vertebral cervical
yang mengalami trauma.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan:
Dari ketiga kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa :
1. Sebelum melakukan ekspose pada pasien, radiografer perlu mengetahui riwayat
indikasi pasien agar lebih mudah nantinya dalam melakukan ekspose. Komunikasi
dengan pasien mengenai riwayat indikasi dalam hal ini sangatlah perlu.
2. Sebelum melakukan ekspose, radiografer juga harus mampu mengetahui anatomi
bagian yang diperiksa, sehingga mempermudah radiografer dalam menentukan
posisi CP dan bisa memperkirakan daerah yang sakit.
3. Pengaturan dosis pasien harus memperhitungkan objek dan bagian yang fokus
ingin diperiksa. Untuk meratakan densitas dan meningkatkan kontras caranya
dengan menambah nilai mAs dan menurunkan nilai kVp. Pengaturan mAs dan Kv
yang tepat sangat membantu untuk mendapatkan detail gambar yang baik.
4. Sebelum melakukan ekspose, radiografer bisa menentukan teknik radiografi yang
digunakan seperti dari proyeksi, posisi pasien, posisi obyek, central ray, central
point, FFD, faktor eksposi yang tepat serta kriteria radiografnya. Sehingga akan
mempermudah radiografer dan mempercepat dilakukannya ekspose.
5. Saat melakukan ekspose, keselamatan pasien harus tetap diperhatikan seperti
pemakaian apron dan perlindungan pada daerah gonad.
6. Untuk proyeksi lateral, tidak hanya posisi pasien saja yang harus diatur. Jika
keadaan pasien tidak memungkinkan, yang perlu dilakukan adalah dengan
memanipulasi arah dan posisi penyinaran seperti pada kasus fraktur luksasi pada
cv. Cervical diatas.

3.2. Saran
Seorang radiografer dalam melakukan tugasnya, jangan pernah lupa untuk
mengutama perlindungan pada pasien dan memperhatikan faktor-faktor keselamatan
kerja, selain itu profesionalisme sangat diperlukan, karena ruang lingkup kerja
menggunakan radiasi yang berbahaya bagi tubuh jika penggunaannya berlebihan.
Berkomunikasi dengan pasien juga sangat membantu dalam kelancaran kerja sebelum
melakukan ekspose.
REFERENSI

Ballinger, Philip W, dkk.2003. Merrill’s Atlas of Radiographic Positions and Radiologic


Procedures, Tenth Edition,Volume I.Philadelphia,USA:Mosby, Inc.
Bontrager, Kenneth L.2001.Textbook of Radiographic Positioning and Related
Anatomy-Fifth Edition.USA:Mosby, Inc.
Sloane, Ethel.2003.Anatomi dan Fsisiologi untuk Pemula.Jakarta:EGC

Sumber Website :
http://www.hipsurgery.co.il/english/index_english.htm
http://evan-biomekanik-ankle.blogspot.com/2009/11/struktur-anatomi-pelvic.htm
http://painclinic.org/jointpain-hip.htm

Anda mungkin juga menyukai