Tugas ini diberikan oleh Bapak Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc., Apt untuk
memenuhi tugas mata kuliah Radio Farmasi
Disusun oleh :
Rizqita Atikah Sari 11151020000029
Farmasi A 2015
PET dapat mengukur fungsi fisiologis dengan mencitrakan aliran darah, metabolisme,
neurotransmitter dan obat yang dilabel zat radioaktif. Alat ini dapat menampilkan analisis secara
kuantitatif, mengikuti perubahan relatif selama pemantauan sesuai dengan perjalanan dan
pengaruh penyakit terhadap jaringan tubuh anusia atau respons terhadap organ tubuh stimulus
spesifik (Berger, 2003).
Gambar 2. Prinsip Koinsidensi Positron Emission Tomography (PET)
Sumber: (Westera & Schubiger, 2015)
Dasar kinerja utama PET adalah positron yaitu partikel yang memiliki massa yang sama
dengan elektron tetapi bermuatan positif. Setelah positron diemisi dari nukleus atom, ia harus
menghilangkan energi kinetiknya dan bergabung dengan electron (Kumar, 2006). Kedua partikel
tersebut saling menghilangkan muatan (anihilasi), kemudian mengemisikan dua radiasi gamma
511-keV ke arah yang berlawanan. Jika dalam dua detektor yang diletakkan berlawanan satu sama
lain, suatu radiasi gamma 511-keV dihasilkan pada waktu yang bersamaan (koinsiden), anihilasi
akan terjadi pada garis yang menghubungkan kedua detektor. Apabila banyak detektor diatur
dalam suatu cincin, membentuk suatu silinder, maka kejadian dapat ditampilkan dalam bentuk tiga
dimensi. Berdasarkan data tersebut, maka distribusi spasial radioaktif dalam tubuh dapat
direkonstruksi oleh algoritme komputer yang sesuai (Westera & Schubiger, 2015).
1. Kamera PET
Kamera PET memiliki kejernihan citra yang lebih baik dibandingkan kamera
gamma yang secara umum digunakan pada kedokteran nuklir. Hal ini dikarenakan
pendeteksiannya didasarkan pada coincidence detection (Riaz, Wolden, Gelblum, & Eric,
2016).
Ketika positron dilepaskan, partikel ini akan segera bergabung dengan elektron dan
terjadilah anihilasi. Dari anihilasi ini dihasilkan radiasi gelombang elektromagnetik dengan
energi sebesar 511 V dengan arah berlawanan (180o). Adanya dua buah proton yang
dilepaskan secara bersamaan ini memungkinkannya dilakukan coincidence detection. Pada
coincidence detection ini, sinyal yang ditangkap oleh detektor akan diolah jika dua buah
sinyal diperoleh secara bersamaan. Jika hanya satu buah sinyal yang ditangkap, maka
sinyal tersebut dianggap sebagai pengotor. Oleh karenanya, hampir seluruh sinyal pengotor
dapat dieliminasi dengan cara ini (Riaz et al., 2016).
Dari hasil pendeteksian, dilakukan image reconstruction untuk mendapatkan
gambaran sebaran glukosa di dalam tubuh. Perangkat kamera PET biasanya telah
dilengkapi dengan program untuk keperluan ini, sehingga hasil image reconstruction dapat
diperoleh dengan mudah (Riaz et al., 2016).
Detektor PET terdiri dari sebuah array dari ribuan kilau kristal dan ratusan tabung
photomultiplier (PMTS) diatur dalam pola melingkar di sekitar pasien. Kilau kristal
mengkonversi radiasi gamma ke dalam cahaya yang dideteksi dan diperkuat oleh PMTS.
Gambar 4. Detektor PET
Sumber: (MaximIntegrated, 2010)
Sinyal dari setiap output PMT dikonversi menjadi tegangan dan amplitudo oleh low noise
amplitudo (LNA). Sinyal yang dihasilkan oleh PMT berupa sinyal pulsa yang lambat. Kekuatan
sinyal dari setiap PMT ditentukan dengan mengintegrasikan sinyalnya menjadi pulsa. Setelah
LNA, sistem ini menggunakan variabel-gain amplifier (VGA) untuk mengkompensasi variabilitas
sensitivitas dari PMTS. Output dari VGA dilewatkan melalui lowpass filter, offset kompensasi,
dan kemudian dikonversi menjadi sinyal digital dengan bit 10 sampai 12-bit analog-ke-digital
(converter ADC sampling) dengan 50Msps untuk menilai 100Msps (MaximIntegrated, 2010).
Sinyal-sinyal dari beberapa PMTS harus dijumlahkan, oleh karena itu gabungan sinyal
masukan berupa ultra-high-speed. Sebuah DAC menghasilkan tegangan referensi komparator
untuk mengkompensasi offset DC. Akurasi yang sangat tinggi diperlukan untuk menghasilkan
sinyal output komparator dengan waktu yang berkecepatan tinggi. Sinyal output dari DAC
kemudian masuk ke bagian processing unit untuk dikirim ke image processing (MaximIntegrated,
2010).
PET-scan bekerja dengan memberikan suntikan FDG (suatu radionuklida glukosa-based) dari
jarum suntik ke pasien. Sebagai FDG perjalanan melalui tubuh pasien itu memancarkan radiasi
gamma yang terdeteksi oleh kamera gamma, dari mana aktivitas kimia dalam sel dan organ dapat
dilihat. Setiap aktivitas kimia abnormal mungkin merupakan tanda bahwa tumor yang hadir
(Ogunbiyi et al., 2010).
Sel-sel kanker memiliki tingkat metabolisme yang lebih tinggi dari sel-sel lain. Salah satu
karakteristik adalah bahwa sel-sel kanker memerlukan tingkat yang lebih tinggi glukosa untuk
energi. Ini adalah langkah-langkah proses biologis PET. Positron emisi tomografi (PET)
membangun sistem pencitraan medis gambar 3D dengan mendeteksi gamma sinar radioaktif yang
dikeluarkan saat glukosa (bahan radioaktif) tertentu disuntikkan ke pasien. Setelah dicerna, gula
tersebut diolah diserap oleh jaringan dengan tingkat aktivitas yang lebih tinggi / metabolisme
(misalnya, tumor aktif) daripada bagian tubuh (Riaz et al., 2016).
Sinar gamma yang dihasilkan ketika sebuah positron dipancarkan dari bahan radioaktif
bertabrakan dengan elektron dalam jaringan. Tubrukan yang dihasilkan menghasilkan sepasang
foton sinar gamma yang berasal dari situs tabrakan di arah yang berlawanan dan terdeteksi oleh
detektor sinar gamma diatur di sekitar pasien (Westera & Schubiger, 2015).
Citra (image) yang diperoleh dari PET adalah citra yang menggambarkan fungsi organ
tubuh. Fungsi utama PET adalah mengetahui kejadian di tingkat sel yang tidak didapatkan dengan
alat pencitraan konvensional lainnya. Kelainan fungsi atau metabolisme di dalam tubuh dapat
diketahui dengan metode pencitraan (imaging) ini. Hal ini berbeda dengan metode visualisasi
tubuh yang lain seperti foto rontgen, computed tomography (CT), magnetic resonance imaging
(MRI) dan single photon emission computerized tomography (SPECT) (Kumar, 2006).
CT Scan dan MRI hanya mampu mendeteksi kanker terbatas pada aspek anatomi tubuh.
Misalnya, CT Scan dan MRI hanya mampu mendekteksi kanker di payudara, kepala, hati, dan
sejumlah titik tubuh lainnya. Sedangkan mekanisme kerja organ tubuh yang disebut metabolisme
tubuh tidak dapat dipantau oleh CT Scan atau MRI. Sedangkan pada PET-Scan, aspek anatomi
dan metabolik sekaligus masuk radar deteksi alat canggih ini. Dimana pun atau kemana pun kanker
merambat PET-Scan dapat mendeteksinya. Bahkan kemampuan deteksi alat ini mencakup semua
aspek penting tentang kanker seperti jenis, tingkat keganasan (stadium), lokasi, serta cara rambat
penyakit mematikan ini (Amin et al., 2007).
PET dapat pula digunakan pula untuk menganalisa hasil penanganan kanker yang telah
dilakukan. Setelah penanganan kanker melalui operasi perlu dilakukan pemeriksaan apakah masih
ada sisa sisa kanker yang tersisa. Untuk keperluan ini, PET merupakan metode yang paling tepat,
karena pada kondisi ini keberadaan kanker sulit dilihat secara fisik. Yang diperlukan adalah
melihat keberadaan metabolisme sel kanker. Selain itu, PET dapat pula digunakan untuk melihat
kemajuan pengobatan kanker baik dengan chemotherapy maupun radiotherapy. Kemajuan hasil
pengobatan kanker dapat diketahui dari perubahan metabolisme di samping perubahan secara fisik.
Untuk keperluan ini, kombinasi PET dan CT memberikan informasi yang sangat berharga untuk
menentukan tingkat efektivitas pengobatan yang telah dilakukan (Amin et al., 2007).
Pemeriksaan PET tidak menyakitkan dan seperti pemeriksaan CT, pasien tetap
menggunakan pakaian (Berger, 2003). Persiapan yang perlu dilakukan untuk PET ialah puasa 4-6
jam sebelum pemeriksaan. Untuk pemeriksaan PET otak, puasa sejak 4 jam sebelum pemeriksaan,
sedangkan untuk pemeriksaan seluruh tubuh paling sedikit puasa selama 6 jam. Pasien masih tetap
dapat minum obat yang diresepkan (Berger, 2003; Kumar, 2006).
1. Peran PET dalam Diagnosis, Staging dan Evaluasi Pengobatan Kanker Paru
Tabel 1. Penyebab Hasil Positif Palsu atau Negatif Palsu pada Penggunaan PET
Sumber: (Amin et al., 2007)
Positif Palsu Negatif Palsu
Infeksi Keganasan derajat rendah
Inflamasi akut Fokal keganasan yang kecil atau
mikroskopik
Luka karena bedah Hiperglikemia
Hipermetabolisme otot Fokus metabolik yang sangat berdekatan
Selain sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi, kelebihan PET adalah
akurasi dibandingkan CT dalam deteksi atau eksklusi metastasis nodul mediastinum
(Hollings & Shaw, 2002). Keunggulan PET dibanding radiologi konvensional seperti
CT adalah kemampuan untuk membedakan maligna dengan benigna. Lebih jauh, PET
mampu mendeteksi perubahan signifikan yang tidak tampak dengan pemeriksaan
pencitraan lain (Westera & Schubiger, 2015). Keterbatasan PET adalah pemeriksaan
tersebut tetap hanya merupakan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti kanker paru
tetap hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan invasif seperti biopsi transtorakal
dan mediastinoskopi (Hollings & Shaw, 2002; Shankar & Sullivan, 2005).
b. Staging
Ketika diagnosis kanker paru, terutama kanker paru bukan sel kecil telah
ditegakkan, maka tujuan selanjutnya adalah melakukan staging dan rencana
pengobatan (Rohren, Turkington, & Coleman, 2004). Penentuan staging menggunakan
sistem TNM, T berdasarkan besar tumor, N menunjukkan keterlibatan kelenjar getah
bening, dan M menyatakan adanya penjalaran jauh (Lowe & Naunheim, 1998; Rohren
et al., 2004).
PET tidak dapat menentukan besar tumor, tidak akurat pada lesi yang sangat
kecil, dan tidak dapat mendeteksi tumor yang kecil karena pembatasan anatomi dan
resolusi yang kurang (Lowe & Naunheim, 1998). Pengukuran besar tumor dapat
ditampilkan oleh pencitraan PET, namun kesalahan pengukuran dapat terjadi karena
ketidaktepatan gambaran pencitraan akibat membesarnya lesi dan overestimasi ukuran
lesi (Rohren et al., 2004). Untuk mengukur lesi, CT lebih akurat dibanding PET. PET
tidak dapat menentukan besar tumor yang mengenai dinding bronkus, pleura dan
vaskular, namun PET dapat menyatakan derajat keganasan melalui perhitungan semi
kuantitatif standard uptake values (SUVs) dan prognosisnya. Pasien kanker paru bukan
sel kecil dengan SUVs > 10 mempunyai survival rate setengah dari pasien kanker paru
bukan sel kecil dengan SUVs < 10. CT scan merupakan metode yang baik untuk
menentukan besar tumor, namun kombinasi dengan PET (PET/CT )memberikan hasil
jauh lebih baik. PET berperan penting dalam menentukan efusi pleura maligna. Pleura
yang tebal atau adanya keterlibatan kelenjar getah bening pada pemeriksaan CT tidak
dapat menyimpulkan apakah lesi tersebut jinak atau ganas. Schrevens et al (2004)
mengatakan bahwa PET sangat bermanfaat dalam mencitrakan efusi pleura maligna
dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas 67% (Lung & Group, 2004).
Metastasis (M)
PET dapat mencari metastasis jauh yang sulit dilakukan dengan pencitraan
seperti CT scan dan MRI (Lowe & Naunheim, 1998). PET merupakan alat bantu dalam
mencari metastasis jauh. Berbagai tempat dapat terpengaruh oleh metastasis kanker
paru bukan sel kecil, di antaranya paru, tulang, otak, hati dan kelenjar adrenal. Evaluasi
metastasis dengan teknik pencitraan konvensional membutuhkan serangkaian
pemeriksaan, termasuk CT scan toraks, abdomen, dan pelvis; CT scan atau MRI otak
serta bone scintigraphy. FDG PET merupakan pemeriksaaan alternatif yang dapat
menggantikan semua pemeriksaan tersebut dan menghasilkan pemeriksaan yang
superior dibandingkan teknik pencitraan lain. Pada hampir 10% pasien kanker paru
bukan sel kecil didapatkan pembesaran kelenjar adrenal sebagaimana yang terlihat
pada pencitraan CT, yang sebagian besar (2/3) jinak atau asimptomatik. PET dapat
mendeteksi dengan baik apakah ada penyebaran di kelenjar adrenal atau tidak, sehingga
mampu mengurangi biopsi yang tidak perlu. Hal yang perlu diperhatikan adalah
interpretasi PET untuk lesi yang sangat kecil (< 1 cm). Banyak penelitian membuktikan
bahwa PET lebih baik dalam menentukan penyebaran di adrenal. Saat ini, untuk
mencari metastasis ke tulang, pemeriksaan yang digunakan adalah bone scintigraphy
dengan 99m Technetium methylane diphosphate (99m Tc MDP). Pemeriksaan itu
memiliki sensitivitas yang baik yaitu sekitar 90%, namun spesifitasnya rendah sekitar
60%. Karena sering terjadi hasil positif-palsu akibat peningkatan aktivitas tulang
seperti pada kondisi degeneratif atau perubahan pasca-trauma, proses inflamasi, dll,
seringkali diperlukan pemeriksaan tambahan seperti x-ray tulang, CT tulang atau MRI.
Dalam hal ini terlihat keunggulan PET memiliki sensitivitas dan spesifitas tinggi,
masing-masing > 90% dan > 98%, dengan akurasi > 96%. Pemeriksaan baku untuk
mendeteksi metastasis di hati adalah USG atau CT. Beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa PET lebih unggul daripada CT atau USG, namun ada penelitian
lain yang memperlihatkan bahwa tidak ada bedanya penggunaan PET dengan USG
atau CT sehingga USG/CT masih tetap merupakan pemeriksaan baku untuk melihat
keterlibatan hati. PET tidak disarankan untuk mencari metastasis di otak, sehingga PET
tidak dapat menggantikan MRI untuk mendeteksi metastasis di otak (Lung & Group,
2004; Rohren et al., 2004).
c. Evaluasi Pengobatan
Tujuan penggunaan PET adalah untuk deteksi dini kanker paru dan menilai respons
terhadap terapi. Kanker paru bukan sel kecil dan kanker lainnya seperti limfoma serta
kanker kolorektal menunjukkan penurunan ambilan F-FDG bila terdapat respons
terhadap pengobatan yang biasanya sejalan dengan respons klinik, gambaran
radiografi, atau penilaian histopatologis. Sebaliknya, bila tidak ada respons maka tidak
terjadi penurunan ambilan 18F-FDG. Dalam penelitian lain didapatkan bahwa pasien
dengan kanker gastroesofageal menunjukkan penurunan ambilan F-FDG18 dua
minggu sesudah kemoterapi seri pertama. Selain untuk evaluasi pengobatan, PET juga
dapat digunakan untuk restaging. PET dapat digunakan untuk restaging kanker
payudara, kanker kolorektal, esofagus, leher dan kepala, serta kanker paru bukan sel
kecil. Waktu yang tepat untuk restaging kanker paru bukan sel kecil adalah 2-6 bulan
sesudah kemoradioterapi lengkap selesai atau satu sampai dua bulan sesudah
pembedahan (Amin et al., 2007).
Pencitraan sangat penting dalam diagnosis dan manajemen kanker pankreas (PC).
FDG-PET / CT semakin dipandang sebagai modalitas yang berguna dan akurat dalam
mendiagnosis, menentukan dan mengelola neoplasma ini, tetapi penelitian lebih lanjut
diperlukan pada saat ini untuk mengonfirmasi hal itu. Untuk mendiagnosis PC, FDG-PET
/ CT memiliki sensitivitas dan spesifisitas gabungan yang dapat diterima masing-masing
sebesar 91% dan 81%, menurut meta-analisis baru-baru ini (30 penelitian, 1582 pasien).
The SUVMax dari FDG-PET / CT dapat digunakan dalam diagnosis diferensial lesi
pankreas soliter dan juga dapat membantu dalam prediksi aktivitas proliferatif kanker
pankreas. Memang, dalam beberapa pengamatan, SUVMax yang lebih tinggi dari tumor
pankreas primer dikaitkan dengan prognosis yang buruk; beban tumor metabolik seperti
MTV dan TLG mungkin juga merupakan beberapa faktor prognosis. Mengenai subtipe
histologis, sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa tidak hanya
adenokarsinoma duktus pankreas, tetapi juga tumor pseudopapiler sekunder memiliki
peningkatan metabolisme FDG. Seperti pada tumor lainnya, PC kadang-kadang harus
dibedakan dari lesi inflamasi yang meniru kanker seperti pankreatitis pembentuk massa:
dalam pengaturan ini FDG-PET / CT terbukti memiliki nilai terbatas baik karena nilai-nilai
SUVMax dari lesi inflamasi tumpang tindih dengan yang terdeteksi pada kanker pankreas,
dan volume kecil dari kedua lesi (Bohigian et al., 1988).
Stadium pra operasi kanker head and neck squamous cell carcinoma (HNSCC)
meliputi pemeriksaan klinis dan metode pencitraan seperti CeCT atau MRI. Bahkan teknik-
teknik ini dapat mendeteksi invasi morfologis, tumor kecil jauh lebih baik dideteksi dengan
FDG-PET / CT. Kami harus memperhatikan bahwa lesi nekrotik tidak menumpuk FDG,
dan diagnostik CECT mungkin bermanfaat untuk memperbaiki stadium lokal dalam kasus
tersebut. Untuk pementasan N, tahap N plus tidak dapat dikesampingkan oleh FDG-PET /
CT, bahkan dengan beberapa teknik pencitraan dinamis titik waktu, dan ahli bedah harus
terus mengandalkan evaluasi klinis untuk tahap pasien dan mempertimbangkan
pementasan bedah jika metastasis nodal secara klinis dicurigai. Namun demikian, dampak
klinis FDG-PET / CT yang digunakan untuk pementasan awal kepala dan leher telah
ditunjukkan dalam beberapa publikasi. Misalnya, dalam penyelidikan prospektif (76
pasien), FDG-PET / CT menyebabkan perubahan klasifikasi TNM di 34%, dan perubahan
dalam teknik perencanaan radioterapi dan / atau dosis dalam 29% (Bohigian et al., 1988).
Pengamatan lain terkait bahwa akurasi PET dan PET / CT untuk mendeteksi tumor
primer dan metastasis serviks sebanding, tetapi secara signifikan lebih tinggi daripada CT
/ MRI (98% -97% vs 86% -88% untuk primer; 92% - 93% vs 85% –86% untuk leher) [74].
Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa pretreatment FDG-PET / CT lebih
unggul dari pencitraan konvensional dan dapat mengubah tahap TNM di sekitar 30%.
Demikian pula, pada pasien dengan dugaan kanker kepala dan leher berulang, meta-analisis
baru-baru ini menunjukkan bahwa FDG-PET / CT memiliki sensitivitas tinggi (92%),
spesifisitas (95%) dan akurasi (97%) untuk skrining metastasis jauh sebelum pengobatan
penyelamatan. Selain itu, FDG-PET / CT juga dapat mendeteksi tumor primer lainnya
seperti kanker paru-paru, lambung dan esofagus. Untuk meringkas, FDG-PET / CT adalah
teknik yang berguna dalam HNSCC untuk merencanakan perawatan yang paling tepat,
menawarkan kemungkinan untuk mendeteksi tumor primer, keterlibatan metastasis
locoregional dan jauh, serta keganasan primer lainnya (Bohigian et al., 1988).
Untuk pementasan N, biopsi kelenjar getah bening sentinel yang dipandu imaging
(SLNB) dengan Tc99colloid tetap menjadi standar emas, dengan sensitivitas dan
spesifisitas tinggi untuk deteksi penyakit nodal. Pada pasien dengan penyakit stadium awal
dan nodus aksila negatif secara klinis, SLNB direkomendasikan. Namun, pencarian untuk
teknik non-invasif telah menyebabkan beberapa studi mengevaluasi kemanjuran pencitraan
konvensional dan / atau fungsional. Sensitivitas FDG-PET / CT dalam aplikasi ini adalah
variabel dalam literatur. Sebuah meta-analisis (862 pasien) mengamati sensitivitas rata-rata
FDG-PET / CT 56% dan spesifisitas rata-rata 96%; PET memiliki kinerja yang kurang baik
untuk metastasis kecil (sensitivitas rata-rata: 11% untuk metastasis mikro ≤2 mm, dan 57%
untuk metastasis makro> 2 mm). Dalam penelitian ini, MRI menunjukkan sensitivitas yang
lebih tinggi dalam mendeteksi metastasis okultisme daripada FDG-PET / CT. Dalam
penelitian lain (311 pasien), sensitivitas yang lebih baik diamati (sensitivitas = 82%,
spesifisitas = 92%) dalam mengevaluasi node aksila. Meskipun sensitivitas terbatas FDG-
PET / CT untuk pementasan nodal, itu umumnya mengungguli pencitraan konvensional
mengenai deteksi metastasis kelenjar getah bening ekstra-aksiler. Selain itu, spesifisitas
dan nilai prediktif positif FDG-PET / CT tinggi (sering melebihi 90%), yang berarti bahwa,
dalam kasus simpul aksila FDG-avid, prosedur kelenjar getah bening sentinel dapat
dilewati dan diseksi kelenjar getah bening aksila segera dapat direncanakan. FDG-PET /
CT juga dapat mendeteksi situs metastasis nodal lainnya, seperti rantai mammae internal
dan rantai periclavicular. Oleh karena itu dapat memainkan peran dalam pementasan nodus
pasien dengan faktor risiko klinis dan / atau histologis. Dalam evaluasi pretreatment kanker
payudara, beberapa penelitian mengamati bahwa FDG-PET / CT dapat mengubah stadium
awal dibandingkan dengan pencitraan konvensional. Misalnya, dalam sebuah penelitian
prospektif (106 pasien dengan tumor primer lebih besar dari 3 cm), FDG-PET / CT
mengubah stadium awal pada 42% pasien, dan pada 14% pasien, lokasi keganasan ekstra-
aksila hanya terdeteksi. oleh FDG-PET / CT. Modifikasi pengobatan berdasarkan hasil
FDG-PET / CT dilakukan pada 8%. Publikasi lain menggarisbawahi bahwa temuan FDG-
PET / CT dapat memiliki dampak klinis pada kanker payudara, seperti Riegger et al., Yang
menemukan bahwa 14% pasien memiliki perubahan dalam manajemen penyakit menurut
hasil PET.
Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa FDG-PET / CT memiliki peran yang
meningkat dalam pengelolaan kanker ovarium, dengan indikasi utamanya untuk
mendeteksi kekambuhan tumor dengan adanya peningkatan nilai serum CA-125 dan studi
pencitraan konvensional yang negatif. Manfaat penggunaan FDG-PET / CT dalam
pengaturan ini telah dilaporkan beberapa kali dalam literatur, dengan sensitivitas lebih dari
90% dalam mendeteksi metastasis okultisme. Dalam studi Zimny et al., FDG-PET / CT
mendahului diagnosis konvensional dengan median 6 bulan pada pasien yang dinilai secara
klinis bebas dari penyakit. Menzel dkk. menunjukkan bahwa indikasi PET bermanfaat pada
level CA 125 sekitar 30 U / mL [96]. Sebuah studi kohort prospektif multi-pusat yang lebih
baru (90 pasien) mengkonfirmasi dampak FDG-PET / CT pada dugaan kanker ovarium
berulang, yang mempengaruhi keputusan manajemen penyakit pada 60% kasus (49%
dengan tinggi). % dengan dampak klinis sedang) dengan tingkat deteksi yang jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan pencitraan konvensional [97]. Untuk karakterisasi temuan
adneksa asimptomatik, FDG-PET / CT tidak memiliki tempat karena kurangnya
sensitivitas, dan MRI tetap menjadi pilihan modalitas pencitraan terbaik. Untuk stadium
awal kanker ovarium, FDG-PET / CT tidak digunakan secara rutin (Bohigian et al., 1988).
FDG-PET / CT terbukti menjadi teknik pencitraan yang lebih sensitif dan spesifik
daripada modalitas konvensional lainnya, termasuk Gallium dan CT untuk penentuan
tingkat penyakit nodal dan ekstranodal [136]. Migrasi tahap terjadi pada hampir 25%
pasien, sebagian besar ke atas penyakit, menyebabkan perubahan dalam strategi
pengobatan di hampir 10% -15% dari mereka. Peran CeCT dilakukan secara bersamaan
dalam sesi diagnostik yang sama dengan pemindaian PET (PET / CeCT) masih menjadi
bahan perdebatan. Perbandingan langsung dari dosis rendah, FDG-PET / CT dan PET /
CeCT yang tidak ditingkatkan, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan secara
statistik dalam jumlah situs nodal dan ekstranodal yang terdeteksi, tetapi limfoma kadang-
kadang dikalahkan dengan bantuan CeCT atau temuan klinis relevan lainnya adalah.
diidentifikasi. PET / CeCT mungkin berguna pada pasien dengan keterlibatan perut dan
panggul untuk menggambarkan kelenjar getah bening dari loop usus yang berdekatan dan
pembuluh darah (Bohigian et al., 1988).
Dalam sebuah penelitian retrospektif baru-baru ini, peran BMB rutin dinilai dalam
kelompok 454 pasien HL yang dipentaskan dengan FDG-PET / CT: BMB mengungguli
hanya lima pasien dari stadium III ke IV dan tidak ada BMB yang mengalokasikan pasien
dalam kelompok pengobatan atau risiko lain. Meskipun BMB tetap penting untuk
pemeriksaan diagnostik, keterlibatan sumsum tulang jarang ditemukan pada awal penyakit
pada HL, sehingga pada pasien yang dipentaskan dengan FDG-PET / CT, BMB seharusnya
tidak lagi menjadi prosedur rutin. Sedangkan untuk penyakit HL, FDG-PET / CT sedang
digunakan secara rutin dalam pementasan DLBCL karena kemampuannya untuk
mengevaluasi situs penyakit nodal dan ekstranodal seperti keterlibatan tulang, hati, dan
paru-paru.
Baru-baru ini, dalam tinjauan retrospektif yang dilakukan pada 130 pasien DLBCL,
Khan et al. menemukan akurasi keseluruhan yang lebih tinggi dari FDG-PET / CT dalam
mendeteksi invasi tulang dan sumsum tulang (B / BM) oleh limfoma dibandingkan dengan
BMB, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 94%, 100%, dan 40%, 100%.
Nilai prediksi negatif dan positif masing-masing adalah 98% dan 100%. Namun, data ini
harus ditafsirkan dengan hati-hati. Faktanya, para penulis mengklaim bahwa kriteria untuk
keterlibatan sumsum tulang adalah kehadiran DLBCL yang terbukti secara histologis
dalam biopsi sumsum atau keterlibatan B / BM positif-PET dengan pola serapan FDG
fokus, fokus dan difus, atau difus-saja, terlepas dari apa pun. biopsi krista iliaka atau pola
difus atau fokus pengambilan FDG. Hasil ini entah bagaimana dikritik atau dilemahkan
oleh Avigdor et al. yang menunjukkan bahwa keterlibatan sumsum tulang yang terdeteksi
oleh FDG-PET / CT memiliki Kemajuan yang Bebas-Kemajuan (PFS) dan Kelangsungan
Hidup Keseluruhan (OS) yang serupa dengan individu dengan penyakit stadium IV tanpa
sumsum yang terlibat, sedangkan keterlibatan sumsum tulang yang diidentifikasi oleh
BMB dikaitkan. dengan hasil yang lebih buruk (Bohigian et al., 1988).
Penerimaan yang cepat dari pengobatan nuklir dalam bidang kardiovaskular adalah
karena kemampuannya untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi anomali perfusi miokard
dan untuk memberikan bukti peningkatan fungsi ventrikel kiri saat istirahat dan/atau
selama latihan bertingkat. Hal ini memudahkan identifikasi pasien berisiko tinggi dengan
penyakit arteri koroner, dan membantu penentuan perbaikan manajemen dan tindak lanjut.
Baru-baru ini, SPET miokard telah digunakan untuk mendokumentasikan miokard yang
layak, misalnya, dengan skintigrafi reinjeksi iT12° sebelum revaskularisasi. Di seluruh
dunia, tampak bahwa 30% pemindaian perfusi miokard dilakukan dengan 99mTc-
sestamibi (Hor, 1996).
Radionuklida yang biasa digunakan dalam pencitraan PET beserta karakteristiknya ditunjukkan pada tabel
Ratusan senyawa kimia yang menggabungkan radionuklida pemancar positron telah dikembangkan
dan diselidiki untuk mempelajari sejumlah proses biokimia dan fisiologis. 2- (18F) Fluoro-2-deoxyglucose
(FDG) sejauh ini merupakan radiofarmasi PET yang paling penting dan banyak digunakan. (15-O) air, (15-
O) karbon monoksida, (13-N) amonia (11C) -1-metionin, dll., Adalah radiofarmasi PET lainnya yang biasa
digunakan. Beberapa radionuklida lain yang saat ini sedang diselidiki sebagai sumber positron termasuk
76
Br, 86Y, 89Zr, dan 64Cu.
Radionuklida pemancar positron diproduksi dalam sistem siklotron yang saat ini tersedia secara
komersial. Cyclotron saat ini memiliki desain yang dibuat khusus untuk memproduksi empat radionuklida,
yaitu, 15O, 11C, 18F, 13N dengan cara khusus. Perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi cyclotron
termasuk CTI Cyclotron System, Japan Steel Works, Siemens, General Electric Medical Systems. Untuk
radionuklida yang berbeda, bahan target yang berbeda digunakan untuk mencapai reaksi yang diinginkan,
seperti yang digambarkan di bawah ini dalam Tabel 4. Karakteristik operasi berbagai siklotron yang
diproduksi oleh berbagai perusahaan juga telah digambarkan dalam Tabel 5.
Pencitraan dengan radiotracer tunggal menawarkan kesempatan untuk memilih hanya satu bagian
khusus dari seluruh skenario interaksi fisiologis. Dengan demikian, penting untuk memilih protein-protein
utama tersebut sebagai target rasional yang sebagian besar diubah dalam keadaan patofisiologis. Idealnya,
mereka terlibat secara kausal dalam etiologi penyakit, memberikan kemungkinan bahwa pencitraan mereka
mungkin berdampak pada diagnosis dan pengembangan obat terapeutik (Brust, van den Hoff, & Steinbach,
2014).
Radiotracer (S) - [11C] nikotin, salah satu ligan reseptor pemancar positron, pada awalnya
dikembangkan untuk menyelidiki distribusi nikotin in vivo dan kemudian diuji untuk pencitraan
PET nAChR di otak manusia. Namun, pemberian bersama nikotin yang tidak berlabel gagal
menggantikan banyak radioligand, menunjukkan bahwa sinyal PET tidak secara sensitif
mengungkapkan pengikatan spesifik terhadap nAChR. Serapan nikotin serebral (S) - [11C]
terbukti terutama ditentukan oleh aliran darah, bukan dari kelimpahan lokal nAChRs in vivo. Ini
menunjukkan pentingnya tidak hanya target tetapi juga identifikasi struktur timbal. Jelas, nikotin
gagal untuk keperluan pencitraan nAChR. Penemuan berbagai subtipe nAChR selama dua dekade
terakhir dan penyelidikan mereka telah mengungkapkan distribusi dan fungsi yang berbeda di
berbagai daerah otak. Oleh karena itu, struktur timah yang berbeda diperlukan untuk gambar
mereka secara terpisah. Proses seleksi untuk pengembangan radiotracer berlabel 18F menyerupai
strategi yang digunakan oleh industri farmasi dalam penemuan obat. Meskipun beberapa fitur
radiotracer dan obat-obatan berbeda, kebutuhan utama tetap: pengikatan target spesifik. Seperti
dibahas di bawah ini, beberapa kriteria seleksi, seperti afinitas, selektivitas, perilaku kinetik, dan
metabolisme mungkin bahkan lebih kuat untuk radiotracer daripada obat-obatan umum. Di sisi
lain, karakteristik seperti bioavailabilitas, efek samping, dan kemanjuran farmakologis diabaikan.
Terlepas dari perbedaannya, struktur timbal dari kepentingan farmasi biasanya menjadi dasar
untuk pengembangan radiofarmasi. (Brust et al., 2014).
Sejauh ini radiotracer yang paling umum digunakan dalam pemindaian PET klinis
adalah fluorodeoxyglucose (juga disebut FDG atau fludeoxyglucose), analog glukosa yang diberi
label dengan fluorine-18. Radiotracer ini digunakan pada dasarnya semua pemindaian untuk
onkologi dan sebagian besar pemindaian dalam neurologi, dan dengan demikian membentuk
sebagian besar dari semua radiotracer (> 95%) yang digunakan dalam pemindaian PET dan PET-
CT. Radionuklida yang digunakan dalam pemindaian PET biasanya isotop dengan
waktu paruh pendek seperti karbon-11 (~ 20 menit), nitrogen-13 (~ 10 menit), oksigen-15 (~ 2
menit), fluor-18 (~ 110 mnt), galium-68 (~ 67 mnt), zirkonium-89 (~ 78,41
jam), atau rubidium-82 (~ 1,27 mnt). Kit yang digunakan dalam PET yang umum digunakan
yakni dari gallium yaitu Reagent Kit for production of 68Ga-Peptide with Trasis miniAIO
Module RK-128 (Kumar, 2006).
Radionuklida ini dimasukkan ke dalam senyawa yang biasanya digunakan oleh tubuh
seperti glukosa (atau analog glukosa), air , atau amonia , atau ke dalam molekul yang berikatan
dengan reseptor atau tempat kerja obat lainnya. Senyawa berlabel tersebut dikenal
sebagai radiotracers . Teknologi PET dapat digunakan untuk melacak jalur biologis senyawa apa
pun pada manusia yang hidup (dan banyak spesies lain juga), asalkan dapat radiolabeled dengan
isotop PET. Dengan demikian, proses spesifik yang dapat diperiksa dengan PET sebenarnya tidak
terbatas, dan radiotracer untuk molekul target baru dan proses terus disintesis; pada tulisan ini
sudah ada puluhan dalam penggunaan klinis dan ratusan diterapkan dalam penelitian (Kumar,
2006).
Reagent Kit for production of 68Ga-Peptide with Trasis miniAIO Module RK-128
Sumber: (Kumar, 2006)
REFERENSI
Amin, Z., Kadarsan, D., Ayudyasari, W., & Dm, M. (2007). Peran Positron Emission
Tomography dalam Diagnosis dan Evaluasi Kanker Paru. (April 2007), 118–122.
Bohigian, G. M., Estes, E. H., Friedlander, I. R., Kennedy, W. R., Moxley, J. H., Numann, P. J.,
… Doege, T. C. (1988). Positron Emission Tomography in Oncology. JAMA: The Journal
of the American Medical Association, 259(14), 2126–2131.
https://doi.org/10.1001/jama.1988.03720140046032
Brust, P., van den Hoff, J., & Steinbach, J. (2014). Development of 18F-labeled radiotracers for
neuroreceptor imaging with positron emission tomography. In Neuroscience Bulletin (Vol.
30). https://doi.org/10.1007/s12264-014-1460-6
Hollings, N., & Shaw, P. (2002). Diagnostic imaging of lung cancer. European Respiratory
Journal, 19(4), 722–742. https://doi.org/10.1183/09031936.02.00280002
Hor, G. (1996). What is the current status of quantification and nuclear medicine in cardiology?
European Journal of Nuclear Medicine, 23(7), 815–851.
https://doi.org/10.1007/bf00843713
Lowe, V. J., & Naunheim, K. S. (1998). Current role of positron emission tomography in
thoracic oncology. Thorax, 53(8), 703–712. https://doi.org/10.1136/thx.53.8.703
Lung, L., & Group, C. (2004). O ncologist and Management of Non-Small Cell Lung Cancer.
Lung Cancer, 633–643.
Ogunbiyi, O. A., Flanagan, F. L., Dehdashti, F., Siegel, B. A., Trask, D. D., Birnbaum, E. H., …
Steinbach, J. (2010). Detection of recurrent and metastatic colorectal cancer: Comparison of
positron emission tomography and computed tomography. Annals of Surgical Oncology,
4(8), 613–620. https://doi.org/10.1007/BF02303744
Riaz, N., Wolden, S. L., Gelblum, D. Y., & Eric, J. (2016). HHS Public Access. 118(24), 6072–
6078. https://doi.org/10.1002/cncr.27633.Percutaneous
Rohren, E. M., Turkington, T. G., & Coleman, R. E. (2004). Clinical Applications of PET in
Oncology. 305–332.
Shankar, L. K., & Sullivan, D. C. (2005). Functional Imaging in Lung Cancer. Journal of
Clinical Oncology, 23(14), 3203–3211. https://doi.org/10.1200/JCO.2005.08.854