Anda di halaman 1dari 9

RISALAH TASAWUF SYEKH ABU HAMID ABULUNG

Pendahuluan

Naskah Risalah Tasawuf Syekh Abdul Hamid Abulung ini dianggap sebagai salah satu
representasi dari berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan otentik dalam memberikan
informasi tentang perkembangan ajaran tasawuf falsafi yang berkembang di Kalimantan Selatan
pada abad ketujuh belas dan delapanbelas..
Ajaran tasawuf falsafi yang diajarkan H. Abdul Hamid Abulung ini menimbulkan pro dan kontra di
kalangan komunitas Banjar saat itu. Oleh karena itu, Muhammad Arsyad al-Banjari mempelajari
secara mendalam dan akhimya memfatwakan bahwa ajaran Syekh Abdul Hamid Abulung adalah
salah, sesat dan merusak kehidupan beragama.
Untuk menjaga stabiltas dan gangguan yang membahayakan negara dan berdasarkan fatwa
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di atas, maka Sultan Tahmidullah II mengambil keputusan
untuk rnenghukum mati Syekh Abdul Hamid Abulung dan dimakamkan di tepian sungai Abulung
di kampung Sungai Batang Martapura (Basuni, 1986 : 50-51).
Dari berbagai informasi yang diperoleh bahwa Syekh Abdul Hamid Abulung telah berjasa dalam
merintis dakwah Islam di daerah kesultan Banjar bahkan agama Islam diakui sebagai agama
resmi kerajaan Banjar. Diketahui bahwa komunitas rakyat Banjar sebelum memeluk agama Islam
adalah sebagai penganut agama Hindu atau Kaharingan. Oleh karena itu, dakwah Islam yang
disampaikan Abdul Hamid Abulung melalui ajaran tasawuf mendapat resfek yang baik dari
kalangan rakyat Banjar. Ajaran tasawuf yang diajarkan Abdul Hamid tidak terlalu jauh berbeda
dengan ajaran yang dianut rakyat Banjar saat itu. Karena itu konversi atau perpindahan agama
rakyat Banjar ke agama Islam secara
'Penulis adalah Peneliti pada Pusat Penelitian IAIN Antasari Banjarmasin.

damai, tidak menimbulkan gejolak yang berarti dalam masyarakat. Namun, harus diakui secara
jujur bahwa Abdul Hamid Abulung belum mampu mengajarkan Islam secara murni sesuai
dengan yang terdapat dalam Alquran dan hadis. Tapi jasanya tak boleh dilupakan bahkan
dipinggirkan dalam lintasan sejarah Islam Kalimantan. Daya pesona ajaran tasawuf inilah yang
banyak memikat rakyat Banjar pindah kepada Agama Islam, tetapi akidah mereka masih
bercampur aduk dengan kepercayaan agama yang dianut sebelumnya. Bahkan sampai saat ini
keberagamaan masyarakat Banjar masih banyak mempercayai tahayul dan khurafat yang
notabenenya bertentangan dengan akidah Islam. Rasionalisasinya setelah Muhammad. Arsyad
al-Banjari mengajarkan Islam sesuai dengan Alquran dan hadis belum juga mampu merubah
keyakinan masyarakat Banjar secara totalitas. Di samping itu Abulung juga telah meninggalkan
warisan yang tertulis untuk dipelajari dan dipahami oleh masyarakat Islam, yaitu sebuah kitab
Risalah Tasawuf^ karena itu kitab tersebut perlu dikaji secara mendalam dan dijadikan obyek
penelitian ini.
Studi naskah ini hanya mencoba menterjamahkan dan menganalisis secara deskriptif tentang isi
naskah Risalah Tasawuf Abdul Hamid Abulung. Terjemah yang dilakukan adalah melalaui
terjemahan agak bebas, yaitu menterjemahkan secara bebas, tetapi masih dalam standar ilmiah.
Dengan kata lain, penulis menterjamahkan ide tulisan dengan tidak terlalu tarikat dengan
susunan kata demi kata. Penterjamahkan mencoba mengungkap secara obyektif dan tidak
memaksakan pendapat lain dalam terjemahannya. (Nabilah Lubis, 2001 :82).
Dalam membahas dan menganalisa kitab Risalah Tasawuf tersebut penulis tidak sampai kepada
kritik naskah secara tuntas, karena dibatasi oleh waktu dan tenaga, namun pnulis secara tidak
langsung dalam analisa dan gambaran atau deskripsi naskah telah mengkritik naskah tersebut.
Menurut hasil pengumpulan data dilapangan bahwa Risalah Tasawuf yang ditulis Syekh Abdul
Hamid Abulung penukilan ada dua orang, yaitu Bahransyah bin Muhammad Daman, ia hanya
menukil kitab tersebut satujilid, namun penulkulanya tidak memakai tahun (tahun tidak diketahui).
dan H. Zaini

Muhdar, ia telah menukil kitab Risalah Tasawuf tersebut terdiri dari dua jilid, jilid pertama
sebanyak 25 pasal dan jilid kedua sebanyak 4 pasal. Kitab itu dinukilnya sejak tahun 1974. Hasil
nukilan kedua kitab tersebut isinya sama dan jugaditulis huruf Arab Malayu dengan tulisan
tangan dan tinta hitam, namun yang lebih lengkap kitab tersebut adalah yang ditulis oleh H. Zaini
Muhdar. Hasil nukilah H. Muhdar inilah yang dijadikan obyek penelitian naskah klasik ini.
Permasalahan penelitian adalah.isi naskah kitab Risalah Tasawuf termasuk nomor kode, asal
naskah, ukuran, tebal naskah, huruf, bahasa, bentuk tulisan dan kitab tersebut apakah berisi
tentang nuansa keilmuan Islam, seperti kerukunan, pendidikan moral, pembinaan HAM dan lain-
lain. B. Deskripsi Risalah Tasawuf
Risalah Tasawuf peninggalan Syekh Abdul Hamid Abulung terdiri dari dua jilid, jilid pertama
terdiri 25 pasal dan 88 halaman dan jilid kedua terdiri dari 4 pasal dan 37 halaman.
Kitab Risalah Tasawuf ini dinukil oleh H. Zaini Muhdar Sungai Batang Martapura atas kehendak
dan perintah Syekh Abdul Hamid Abulung. Penukilan risalah tasawuf tersebut diterima melalui
mimpi yang bertemu dengan Abulung. Risalah Tasawuf itu ditulis dengan huruf Melayu Arab
(pegon) dalam bahasa Melayu. Menurut H. Zaini Muhdar bahwa Risalah Tasawuf jilid I dinukil
pada tahun 1974-1975. Sedangkan Risalah tasawuf jilid II dinukil pada 2 Rajab 1406 H/14 Maret
1986 kumpulan dari berbagai kitab seperti Ad-Dur Nafts, Al-Hikam. Kitab Risalah Tasawuf ini
tidak pernah dicetak dan diterjemahkan. Walaupun tidak pernah dicetak dan diterjemahkan, kitab
ini telah beredar dan dipelajari oleh masyarakat Banjar. Baik masyarakat dari kalangan
menengah dan awam.
H. Zaini Muhdar lahir di Sungai Batang Martapura pada tahun 1936, Sedangkan pendidikan
yang pernah dilaluinya adalah di Pesantren Babus Salam di Sungai Batang Martapura dan
mengaji duduk mempelajari kitab-kitab klasik/kuning kepada Tuan Guru yang ada di seputar Kota
Martapura.
H. Zaini Muhdar juga pemelihara Makam.dan keluarga dekat Syekh Abdul Hamid Abulung. .
Menurut penuturan H. Zaini Muhdar sendiri, ia selalu

mengadakan haulan Syekh Abdul Hamid Abulung setiap tanggal 12 Dzulhijjah di makam Syekh
Abdul Hamid Abulung.
Kendatipun Kitab Risalah Tasawufditulis dalam bahasa Melayu, namun banyak kata-kata yang
diambil dari bahasa daerah seperti bahasa Banjar. Di samping itu tulisannya mempergunakan
huruf pegon. Hal itu kemungkinan karena dua faktorvyang menyebabkan kitab ini di masyarakat
Banjar kurang mendapat perhatian, terutama di kalangan generasi muda dan masyarakat
intelek.
Menurut kami, bahwa Kitab Risalah Tasawuf karya tulis oWr Abulung adalah sebuah kitab
tasawuf dalam bahasa Melayu yang cukup tersebar di masyarakat Islam Banjar, jelain tebal,
uraiannya cukup luas, dianggap sebagai salah satu representasi dari berbagai sumber lokal yang
paling otoritatif dan otentik dalam memberikan informasi tentang perkembangan ajaran tasawuf
falsafi yang berkembang di Kalimantan Selatan pada abad ketujuh belas dan delapan belas.
Pada era itu keberagamaan masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) masih dalam suasana
sinkeritis artinya ajaran Islam yang dianut masyarakat masih bercampur aduk dengan
kepercayaan Animisme, Dinamisme, Hindu dan Budha. ^hamun sangat disayangkan kitab itu
tidak ada kitab yang menjadi rujukannya, layaknya kita-kitab termashur lainnya, seperti Kitab
Sabilal Muhtadin dan lain-lainnya. Dalam mengemukakan pendapat selalu diiringi dengan
dalil^baik dari Alquran dan Sunnah. C. Analisis
Mencermati sebagian ajaran Abulung itu secara hati-hati :"Tiada yang maujud melainkan
hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah Aku, dan Aku adalah Dia". Kesan dari kata-kata di
atas seakan-akan Abulung mengajarkan tasawuf wujudiyah (ittihad, hulul dan wihdatul \vujud).
Perlu diketahui bahwa ajaran wujudiyah dimunculkan dan dikembangkan oleh Abu Yazid al-
Bisthami, Al-Hallaj dan Ibnu Arabi.
Ajaran ini dalam memaknai keesaan Tuhan memang terasa seakan-akan sangat berlebihan yaitu
adanya kesatuan Tuhan dan makhluk. Tuhan dapat turun memilih tubuh manusia tertentu dan
mengambil tempat padanya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh tersebut
dilenyapkan. Hal itu bisa terjadi

karena Tuhan mempunyai dua sifat, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Lebih dan itu,
segala yang ada (wujud) selalu mempunyai sifat ketuhanan dan kemakhlukan. Dalam ungkapan
lain, pada Tuhan ada sifat kemakhlukan dan pada makhluk terkandung sifat ketuhanan. Sebelum
Tuhan menjadikan makhluk, la hanya sendirian, Tuhan hanya melihat diri-Nya dengan segala
kemuliaan dan ketinggian-Nya, dan lapun cinta kepada zat-Nya sendiri. Cinta Tuhan itulah yang
menjadi sebab wujud dan keadaan yang banyak ini. Dengan demikian makhluk adalah
merupakan cermin Tuhan manakala Tuhan ingin melihat diri-Nya, di luar diri-Nya. Di kala Dia
ingin melihat diri-Nya, la melihat kepada makhluk-Nya. Oleh karena makhluk mengandung diri-
Nya, maka Dia memandang diri-Nya sendiri sebab diri-Nya adalah satu jua. Dengan demikian
dapat berwujud persatuan Tuhan dengan makhluk dalam bentuk inkarnasi termasuk pada
manusia dan alam semesta.
Dengan demikian apakah ajaran Abulung termasuk ke dalam tasawuf wujudiyah? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, maka terlebih dahulu dibandingkan dengan kata-kata Abu Yazid
al-Bisthami sebagai tokoh aliran Ittihad. Abulung masih berjarak dengan Tuhan ketika
mengatakan aku adalah Dia, sedangkan Abu Yazid sudah bersatu dengan Tuhan ketika ia
mengatakan ;"Tuhan berfirman : semua merka kecuali Engkau adalah makhluk-Ku. Akupun
berkata Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku dan Aku adalah Engkau.
Kata kunci perbedaan adalah Abulung masih berDia-Dia, sedangkan Abu Yazid sudah sampai
ber-Engkau-Engkau dengan Tuhan. Kata Dia masih terasa jauh dan berjarak, sementara kata
Engkau jelas sudah sedemikian dekat dan terasa sudah bersatu.
Dapat dikatakan bahwa ajaran Abulung tidak bisa dimasukkan ke dalam aliran Ittihad. Dia masih
berada pada tingfcat A/-fana wal baqa yang masih bisa diterima dalam pandangan syariat.
Kedua, jika dibanding ajarannya dengan ajaran Al-Hallaj tokoh aliran Hulul, terdapat juga
perbedaan yang signifikan bahkan sangat prinsipil. Ketika Abulung mengatakan: Tiada Aku
melainkan Dia, terasa betul ia telah melenyapkan dirinya yang tertinggal hanya wujud Tuhannya,
Berbeda dengan Al-Hallaj mengatakan '"Padu sudah roh-Mu dengan rohkujadi

satoi bagaikan khamat dengan air bening terpadu Monday jika sesuatu menyentuh-Mu
tersentuhlah aku karena itu Kai, dalam segata hat adalah aku"
Al-Hallaj telah lebur jadi satu dengan Tuhan, yang dalam istilah tasawuf telah mencapai Hulul.
Artinya, Tuhan ada di dalam din Al-Hallaj dan Al-Hallaj ada dalam Tuhan. Jelas ajaran Abulung
tidak bisa disamakan begitu saja dengan aliran Hulul ajaran Al-Hallaj, karena ia tidak lebur ke
dalam Tuhan, ia tetap masih berjarak dengan Tuhan.
Selanjutnya, jika dibandingkan ajarannya dengan ajaran Ibnu Arabi tokoh aliran Wihdatul Wujud,
juga terdapat perbedaan yang jauh sekali. Kalau Abulung mengatakan : Dialah aku, jelas masih
terdapatjarak dengan Tuhan, karena masih berDia-Dia, sedangkan bagi Ibnu Arabi sudah
berEngkau-Engkau dengan tidak lagi memakai kalimat aku karena Tuhan meliputi segala-
galanya seperti katanya : "7a Allah, dari diri-Mulah asal dari segala sesuatu, Engkau Tuhan,
mengapa Engkau jadikan semuanya satu, Engkau jadikan barangyang tak berhenti adanya, Baik
di tempat sempit maupun lapang, Kau ada di sana"
Di antara tiga aliran tasawuf di atas meskipun kelihatannya serupa namun sebenarnya terdapat
perbedaan-perbedaan. Perbedaan Ittihad dengan Hulul adalah dalam Ittihad diri Abu Yazid
hancur dan yang ada hanya Diri Allah, sedangkan dalam Hulul diri Al-Hallaj tidak hancur. Juga
dalam Ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sedangkan Hulul yang dilihat ada dua wujud, tetap
bersatu dalam satu tubuh. Sementara dengan Wihdatul Wujud, Tuhan meliputi segalanya. la
adalah mutlak yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu
apapun.
Jadi sudah semakin jelas bahwa ajaran Abulung berbeda sekali dengan aliran Ittihad, Hulul dan
Wihdatul Wujud, maka tentunya, tidak bisa digolongkan sebagai aliran wujudiyah, ia sekali lagi
masih berada pada atau mirip aliran Al-Fana wal-Baqa dari Dzunun al-Mishri.
Kalau boleh disederhanakan perbedaan antara keempat tokoh ini, bisa berbentuk kalimat :
"Abulung sebatas aku adalah Dia, Abu Yazid sudah memasuki Aku adalah Engkau, Al-Hallaj
lebih ke dalam Aku dalam Engkau, Engkau dalam Aku, Ibnu Arabi sudah mencapai kesatuan
Engkau-Engkau".

Ajaran Abulung ini masih bisa ditolerir oleh syariat, bahkan ittihad menurut As-Sulaimi, At-Tusi
dan Al-Qusyairi masih sejalan dengan Alquran dan As-Sunnah. Demikian juga aliran Hulul dan
Wihdatul Wujud masih sesuai dengan ajaran Islam bahkan menurut Abdussamad Al-Palembani
cocok bagi orang yang sudah mencapai tingkat muntahi yaitu orang yang telah sampai
pengetahuan hakikatnya. Hatinya telah dibukakan oleh Allah. la telah dilimpahi ilmu ladunni dan
telah mencapai makrifat dengan ainulyaqin dan haqqulyaqin,
Untuk tidak mudah mengkafirkan dan menyesatkan seseorang, kata K.H. Muslih Abdurrahman
dalam menyikapi ucapan para sufi apalagi yang sudah mencapai tingkat makrifat-yang ditinjau
dari kalimat lahiriyahnya bertentangan dengan syariat, maka kita berhenti saja di situ, tidak usah
mengambil kesimpulan yang salah, bahkan kalau perlu mohonlah petunjuk kepada Allah agar
kita mengerti maksud yang sebenarnya, karena sebagian ucapan dari ahli sufi yang sudah
sampai ditingkat kesempurnaan itu adalah isyarat-isyarat yang samar dan tidak mudah
dipahami.
Kata Ahli sufi tidak boleh diartikan harfiah seperti kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani : "Anta
\vahidun fis sama-i \va Ana wahidunfil ardli"^ tidak diartikan Engkau Maha Esa di langit,
sedangkan aku Maha Esa di bumi, melainkan diartikan: Ya Allah Engkau zat Maha Esa, yang
menguasai langit dan bumi, adapun saya adalah orang yang mempersatukan seluruh jiwa
ragaku di bumi ini semata-mata untuk musyahadah, munasabah dan menyembah ke pada-Mu.
Susunan kalimat seperti yang diucapkan Abdul Qadir ini dalam tata bahasa Arab menurut ilmu
balaghah disebut badi' mitsyakalah yakni makna yang jauh dari pengertian harfiahnya. Atau bisa
juga dalam memahami ucapan-ucapan aneh para sufi tersebut sebagai kalimat syatahat (theo
pattrical stamering) yakni, ucapan itu muncul pada seorang sufi dalam kata ganti orang pertama
di luar sadarnya. Hal ini berarti bahwa dia telah fana dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat
yang Maha Besar, bukan ucapannya sendiri. Ungkapan-ungkapan yang diucapkan seorang sufi
dalam kondisi begini, tidak ia ucapkan dalam kondisi

normal. Sebab jika ungkapan demikian terjadi dalam keadaan normal, jelasakan ditolak sendiri
oleh orang yang mengucapkannya.
Kondisi tidak normal di sini berarti seorang sufi berbicara di bawah pengaruh ketidaksadaran dari
ekstasi, di mana ia berada dalam keadaan dikendalikan Tuhan. Apa yang dia ucapkan
sebenarnya bukan ucapan dia lagi, tetapi sudah ucapan Tuhan yang meminjam ucapannya.
Begitulah cara memahami tokoh-tokoh sufi yang kelihatan sepintas bertentangan dengan syariat,
tetapi sebenarnya justru memberi roh kehidupan sedemikian bermakna pada syariat. Abulung
(termasuk Hamzah Fansuri, Siti Jenar, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Al-Hallaj dan Abu Yazid) dia tidak
kafir dan sesat, masih berjalan di atas rel ajaran Islam.
Abulung tampaknya juga menganut faham Nur Muhammad, menurutnya bahwa asal kejadian
makhukini berasal dari Nur Muhammad. Meskipun banyak kalangan yang menentang begitu
keras tentang konsep ini, terutama kelompok Muhadditsin dan ulama yang rasional dan
menempatkan pemahaman yang bersifat detail mengenai berbagai ajaran agama terutama jika
didudukkan dalam konteks penegasan dan pemahaman akan dalil agama. Namun, adasebagian
kaum sufi yang memegang konsep ini, yaitu aliran tasawuf falsafi.
Selanjutnya, Abulung mengatakan bahwa manusia akan melihat kesempurnaannya Zat Wajibul
Wujud. Karena tubuh manusia yang kasar ini sekali-kali tidak dapat mengenai Allah. Sebab fana
yang dapat mengenai Allah adalah dengan Nur Muhammad saw. Maka barang siapa mengenai
atau meresapkan Nur Muhammad saw. berarti ia mengenai atau meresapkan Tuhannya, karena
itu merupakan kenyataan wujud Allah yang kita miliki, seperti : penglihatan, pendengaran,
pengrasaan, dan sebagainya, baginya yaitu Nur jua.(Abulung, 1975 :47).
Dalam kitab Risalah Tarawwfdikatakan yang dimaksud dengan fana al-fana artinya bersatunya
batin manusia (syuhud) dengan Allah, bukan bersatunya zat manusia dengan zat Tuhan. Karena,
antara manusia dan Tuhan merupakan dua eksistensi yang berbeda. Adapun cara mematikan
diri itu ialah seperti diiktikadkan dengan tiada yang kuasa dan tiada yang berkehendak dan tiada
yang mengetahui tiada yang hidup dan tiada yang mendengar dan tiada yang melihat dan tiada
yang berkata-kata hanya Allah sendiripada hakikatnya.
Menurut Humaidi, Syekh Abdul Hamid Abulung termasuk penganut tarekat Naqsyabandiyah
yang sejak pemunculannya terkenal sangat berpegang teguh pada syariat. Namun berdasarkan
isi Risalah Tasawuf Abulung sendiri tampaknya ia menganut tarekat Syatariyah. Pada intinya
kedua analisis ini sama-sama memiliki argumen yang kuat karena kebiasaan ulama sufi tidak
hanya berguru kepada seorang tokoh sufi saja atau lazimnya mempejari dan mengikuti beberapa
tarekat.
Dalam kitab Risalah Taxawuf juga diungkapkan tentang Tuhan, manusia dan zikir . Zikir tersebut
dibaginya kepada tiga, yaitu : zikir JU yaitu 4J1V -iiVl, zikir ^sL± yaitu tiada kata dengan lidah
hanya ingat A\ -M - M , dan zikir pin "'" yaitu umpama kucing mengintai tikus hingga didapatnya,
maka ia lenyap pada zikir hati. Sedang zikir 4—*_£ yaitu tiada lain seperti zikir »J^, sebab ia
mengenal dan senantiasa ia berzikir seperti firman Allah artinya : Dimana hadap kamu di
sanalah zat Allah swt.
Aku sir (jiilj—«) - Aku J—<&>* j*» Aku >* bapak = Aku sir ibu maka berdirilah kalimat La ila
illallah dan mesrakan pada jasad kita. Zat umpama air La hakikat Allah yang sebenar-benarnya
Allah itu. Rahasia la, adalah akal itu
bayang-bayang af al Allah. Zikirnya la ilaha illallah yakni ilmu al-yaqin.
Melihat zikir yang diajarkan oleh Abulumg tersebut maka diduga bahwa
zikir Abulung itu lebih cenderung ke tarekat Syatariyah, karena tarekat ini juga membicarakan
tujuh macam zikir Ketujuh macam zikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan
sampai kepada Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam zikir itu
sebagai berikut:
1. Zikir Thawaf, yaitu zikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan,
dengan mengucaokan laa ilaha ( 4JIV) sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan,
nafas di tank lalu mengucapkan illallah (<&W) yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang
letaknya kira-kiraduajari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamahL

10
2. Zikir nafi itsbat, yaitu zikir dengan (
memasukkan suara ke dalam Empunya asma Allah.
\\\
3. Zikir itsbat faqat, yaitu berzikir dengan ( &\ VI ), (<&' VI), (<&l VI), yang
dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4. Zikir ismu zat, yaitu berzikit dengan ( •&!), (<3il), (Jil), yang dihujamkan ke
tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya roh yang menandai adanya hidup
dan kehidupan manusia.
\\
5. Zikir Taraqi, yaitu zikir ( a &\ ,« <3it), Zikir Allah diambil dari dalam dada dan
Hu dimasukkan ke dalam bait al-Makmur (otak, markas pikiran). Zikir ini
dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Tlahi.
6. Zikir Tanazul, yaitu zikir ( <5)l «,^Jl »),. Zikir Hu diambil dari bait al-makmur^
dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Zikir ini dimaksudkan agar seorang salik
senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
7. Zikir Isim Ghaib, yaitu zikit ( « ,« , «)» dengan mata dipejamkan dan mulit
dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah
ke
dalam rasa.(Salahuddin, 2001; 32-33 dan Masyhudi, 1998 ; 124-127)
Salah satu ajaran Syekh Abd. Al-Hamid Abulung yang cukup unik
adalah mengenai salat daim, Salat daim adalah salat lima waktu sehari semalam
yang dilakukan oleh muslimin dan muslimat selama hidupnya secara terus-
menerus, kecuali bila azal telah tiba. Namun, di kalangan sufi falsafi yang
dimaksud salat daim adalah selalu ingat atau zikir kepada Allah tanpa putus-
putusnya. Jadi, hakikat salat itu adalah untuk selalu ingat dan dekat kepada
Allah. Maka hendaklah sembahyang Qadha al-Fawail dikerjakan setiap malam
Jumat, kalau tak bisa mengerjakannya pada setiap malam Jumat, hendaknya
dikerjakan sebulan sekali, kalau tidak bisa, hendaknya dikerjakan setahun sekali,
jika tidak bisa juga, maka hendaknya dikerjakan sekali dalam seumur hidupnya.
(Abulung, 11, 1986 : 28-30).

Salat dalam pandangan kaum syariat atau tasawuf Sunni merupakan kewajiban
seorang hamba kepada Allah. Tujuannya agar manusia selalu ingat dan dekat
kepada Allah agar terhindar dari perbuatan munkar. Salat merupakan amal orang
Islam yang paling utama dan yang pertama dihisab di hari pembalasan nanti.
Bahkan merupakan tiang agama, barang siapa yang melaksanakan secara
kontuitas, maka ia telah memperkokoh agama Islam. Dan barang siapa yang
meninggalkannya atau tidak melakukan salat berarti merusak agama Islam.
Salat daim dalam pandangan kaum sufi merupakan suatu ibadat yang wajib
dilakukan kaum niuslimin. Namun pelaksanaan salat daim melalui tahapan-
tahapan tertentu, bagi orang awam harus membiasakan atau melatih diri
melakukannya dari setiap malam Jumat (seminggu sekali) sebagaimana tata
cara tersebut di atas. Tujuan salat daim adalah untuk menghapuskan dosa-dosa
yang dia tidak kerjakan. Sedangkan bagi kalangan arifbillah salat daim hanya
dilaksanakan sekali dalam seumur hidup.
Berdasarkan pemahaman di atas, ajaran salat daim mempunyai dayak tarik
tersendiri, terutama kalangan awam dari komunitas Islam. Karena mereka
mempelajari ajaran salat daim atau qadha al-fa\vait ini, sehingga mereka juga
tidak melaksanakan salat lima waktu sehari sebagaimana yang diwajibkan
kepada umat Islam.
Ajaran salat daim ini telah mewabah di kalangan masyarakat Islam kelas bawah,
khususnya di Kalimantan Selatan. Salat daim dikenal di kalangan masyarakat
muslim Banjar dengan istilah llmu Sabuku, yaitu orang tnuslim cukup melakukan
salat sekali seumur hidup atau salat bisa ditamatkan (sembahyang hatamat\
seperti umat Islam mempelajari Alquran yang bisa ditamatkan. D. Kesimpulan
dan saran.
Dalam Risalah Tasawuf Abdul Hamid Abulung, sekurang-kurangnya terdapat
empat hal yang cukup penting untuk di kaji secara mendalam, yaitu : Pertama,
ajaran Nur Muhammad menurutnya adalah sebenar-benar kejadian manusia
(alam semesta)ini berasal dari roh dan roh itu berarasal dari Nur Muhammad.
Kedua, Fana ialah bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi bukan bersatunya
zat manusia dengan Tuhan. Ketiga, memperhatikan zikir yangada

12
pada Risalah Tasawuf kearah tarekat Syatariyah, walaupun Abdul Hamid Abulung
tidak mengatakan tarekat yang dianutnya. Keempat, Safat Daim ialah salat yang
dilakukan untuk mengingat kepada Allah, tetapi dilakukan seminggu sekali,
sebulan sekali, setahun sekali atau bila tidak bisa melakukannya cukup sekali
seumur hidup. Dalam bahasa Banjar dikenal dengan istilah ilmu sahuku ialah
melakukan salat sekali seumur hidup.
Dalam penelitian naskah kono (klasik Islam) ini, penulis mnyampaikan saran-
saran sebagai berikut:
1. Kepada masyarakat terutama masyarakat Muslim di daerah ini dihimbau
dalam mempelajari kitab Risalah Tasawuf yang ditulis oleh Syekh Abdul Hamid
Abulung hendaknya berhati-hati, karena kitab tersebut dianggap mengajarkan
dokrin tasawuf yang menyesatkan (menyebarkan ilmu sahuku) serta bisa
mengakibatkan orang menjadi bid'ah, sesat, zindik dan kafir.
2. Kepada masyarakat terutama masyarakat Muslim di daerah ini dihimbau
dalam memilih dan mempelajari kitab-kitab dan ajaran-ajaran tasawuf harus
selektif, agar terhindar dari ajaran-ajaran tasawuf yang bertentangn dengan
Alquran dan Sunnah, karena telah banyak beredar kitab-kitab dan ajaran-ajaran
tasawuf yang dipegang dan dianut serta dipelajari di masyarakat.
3. Kepada para pengambil kebijakan terutama MajelisUlama Indonesia (MUI)
Propinsi Kalimantan Selatan dan Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi
Kalimantan Selatan diharapkan untuk meningkatkan pengawasan dan
pembinaan terhadap kitab-kitab dan pengajian-pengajian tasawuf yang adadi
masyarakat, karena telah banyak kitab-kitab yang beredar dan pengajian
tasawuf yang menyimpang dari syariat agama Islam, pada hal ajaran tasawuf
merupakan salah satu solusi dalam menghadapi kehidupan modern dewasa ini.
4. Diharapkan ada yang berminat untuk mengadakan penelitian lebih lanjut
terutama pada pemikiran tasawuf Abdul Hamid Abulung. Karena sampai saat ini
belum ada penelitian yang komprehensif tentang figur Ulama sufi ini.

r
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Abulung, Risalah Tasawuf, Jilidl dan //, Banjarmasin, 1986.
Abdul Karim al-Qusyairiyah, Al-Risalah al-Qusyairiyah ft llmu Tasawuf, Karo,
1966.
Abdul Mujib, Fitrah Dan Kepribadian Islam, Sebuah Pendekatan Psikologis,
Jakarta, Darul Falah, 1999.
Abdul Shamad al-Palimbani, Sayr al-Salikin, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah Juz
III.
Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Bandung,
Mizan, 1995.
Abdul Muis, Masuk dan Tersebarnya Islam di Kalimantan Selatan, Makalah yang
disampaikan pada Pra Seminar Sejarah Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1973.
Abu Bakar Aceh, Pengantar llmu Tasawuf Solo, Ramadhani, 1984.
Abu Daudi, Riwayat HidupSyekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Makalah yang di
sampaikan pada Seminar Internasional Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari di Banjarmasin, 2003.
Abu Hamid Muhammad al-Gazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, Dar al-Sya'b, t.t.
Ahmad al-Santanawi (et-al), Dairul al-Maarif al-lslamiyah, Beirut, Dar al-Fikr, t.tp.
Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Surabaya, Bina llmu, 1986.
Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis Dalam Perbandingan, Jakarta, Sri
Gunting, 2001
Al-Attas, Sayed Muhammad Naguib, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala
Lumpur University of Malayu Press, 1970
Al-Fani Daud, Beberapa ciri Etos Budaya masyarakat Banjar, Banjarmasin, IAIN
Antasari, 2001.
Asmaran AS., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1990.
Asywadie Syukur, M., llmu Tasawuf, Surabaya, Bina llmu, 1988.

, Kritik Terhadap Hadis Nur Riwayat Abdurrazak, Banjarmasin, IAIN


Antasari Fakultas Dakwah, t.tp.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara A bad
XVH-XVllI, Bandung, Mizan, 1994.
Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Jakarta, Sri Gunting, 2001.
Hamka, Tasawuf; Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta, Pustaka, Panjimas,
1979.
Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf, Bandung, Mizan, 1995.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,
1973.
Hasan, Abdul Hakim, at-Tasawuf Fis Syi'ril Arabi, Mesir, Maktabul Anjalul Misriyah,
1954.
Humaidy, Tragedi Datu Abulung: Manipulasi Kuasa Atas Agama, Dalam Jurnal
Kebudayaan Kandil Melintas Tradisi, Edisi 2, Tahun I September 2003.
Ibn Arabi, Al-Futuhat al-Makiyyahy Kairo, Al-Haat al-Muhriyat al-Amanah al-Kitab,
1972/1392.
————, Fushusul Hi/cam, Kairo, Mustaia Babil Halabi, 1967. Ibrahim Basuni,
Nasat al-Tasawuffil Islam, Kairo, Dar al-Maarif. 1969. Ibrahim Madkur, Aliran dan
Teori Filsafat Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1995. Ilyas Ismail, A., Pintu-Pintu
Kebaikan, Jakarta. Raja Graflndo Persada, 1997.
Mashudi, Tare/cat Qadariyah, Rifaiyah, Naqsyabandiyah, Syathariyah Dalam
Naskah Kono Dari Penegeri Tandes, Gresek, 1998.
Masignon, Lois, al-Halajj, Sang Sufi Syahid, Terj. Devvi Camdraningrum,
Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2000.
Nabillah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Peneiitian Filologi, Jakarta, Yayasan
Media Ala Indonesia, 2001,
Rivay Sireger, A., Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta, Raja
Gratmdo Persada, 1999.

Salahuddin, Tarekat Syathariyah Dalam Majalah Sufi, 12/Tahun IJ/Mei 2001.


Simuh Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 1996.
Syahrudi, Nur Muhammad Antara Fiisafat Dan Tasawuf, Dalam Tabloid Jumat
Serambi Ummah No.186, tanggal 6-12 Juni 2003.
Tim, Ensikolopedia Islam Indonesia, Jakarta, IA1N Syarif Hidayatullah, 1992. Tim,
Pengantar llmu Tasawuf, Medan, IAIN Sumatera Utara, 1982.
Yusnaril Ali, Membersihkan Tasawuf Dari Bid'ah dan Khurafat, Jakarta, Pedoman
Ihnu Jaya, 1992.
____, Pllar-Pilar Tasawuf, Jakarta, Kalam Mulia, 1999.
Yusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan Selatan, Banjarmasin Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari, Surabaya, Al-Ihsan, 1972..
Zamzam, Zafri, Syekh Muhammad Arsyad ai-Banjari; Ulama Besar Juru Dakwah,
Banjarmasin, Karya, 1979.
Zurkani Jahja, Hubungan Ajaran tare/cat Sammaniyah Dengan tare/cat yang
Lainnya, Makalah seminar Bulanan Lembaga kaj ian Keislaman dan
Kemasyarakatan (LK3), Jumat, 19 April 2002.

Anda mungkin juga menyukai