Anda di halaman 1dari 6

Assalamualaikum w.w.

Yang kami hormati, bapak dosen, Dr. Muhammad


Hariyadi.
Teman-teman, mahasiswa S2 IAT kelas 2B, Institut PTIQ
Jakarta yang berbahagia.
Hari ini kita akan berdiskusi bersama tentang Tafsir Al-Iklil
fi Ma‘ani at-Tanzil karya KH. Misbah Musthofa.
Beliau lahir dan besar di Jawa, sehingga beliau merasa
ikut bertanggung jawab untuk memudahkan pemahaman
masyarakat Jawa atas Al-Qur’an. Tafsir ini tidak
mengesampingkan pengetahuan dan kearifan lokal dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Karakter penafsiran di dalamnya
pun tidak lepas dari karakter pribadi dan kecenderungan
sang penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, kami
hendak membahas tentang macam-macam unsur
lokalitas dalam Tafsir al-Iklil sekaligus berupaya
menyingkap karakter penulis yang disajikan dalam bentuk
kritik-kritik sosio-religinya melalui karyanya tersebut.

BIOGRAFI PENULIS
Misbah bin Zainal Musthofa lahir pada 1919 M, di
kampung Sawahan, Gang Palen, Rembang, Jawa Tengah.
Misbah memiliki beberapa saudara dari beberapa
perkawinan ayahnya, H. Zainal Musthofa, seorang
saudagar kaya. Sepeninggal sang ayah, beliau diasuh
kakak sulungnya, H. Zuhdi. Setamat Sekolah Rakyat (SR)
pada 1933, ia dan kakaknya, Bisri nyantri ke Pesantren
Kasingan, Rembang, di bawah asuhan K.H. Cholil bin
Harun. Pada 1357 H, Misbah belajar di Pesantren
Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan K.H. Hasyim
Asy’ari.
Usai nyantri di Tebuireng, Misbah dijodohkan oleh KH.
Ahmad bin Su‘aib dengan cucunya, Masrurah, putri KH.
Ridwan, pengasuh Pesantren al-Balagh Bangilan, Tuban.
Misbah pada akhirnya juga diamanahi untuk mengelola
pondok pesantren tersebut. Dari pernikahan ini, beliau

1
dikaruniai lima orang anak, yakni Syamsiyah, Hamnah,
Abdul Malik, Muhammad Nafis, dan Ahmad Rafiq.
Beliau dikenal tegas dan teguh, tidak segan menentang
kebijakan pemerintah. Beliau wafat pada usia 78 tahun,
Senin, 7 Zulkaidah 1414 H/18 April 1994 M, meninggalkan
dua istri dan lima anak. Beliau juga meninggalkan sebuah
kitab tafsir yang belum selesai, Taj al-Muslimin min Kalam
Rabb al-‘Alamin (baru selesai 4 jilid) dan 6 kitab
berbahasa Arab yang belum diberi judul.
Ada puluhan karya dalam berbagai disiplin ilmu, baik
tulisan sendiri maupun terjemahan, yang beliau hasilkan.
Beliau digolongkan sebagai satu di antara ulama-ulama di
tanah air yang paling produktif.1
Selain mengurus pesantren, beliau juga berpolitik, di
antaranya dengan menjadi anggota Partai Masyumi, Partai
Nahdlatul Ulama’, Partai Persatuan Indonesia (PPP), dan
Golkar.

SELAYANG PANDANG TAFSIR AL-IKLIL FI MA’ANI AT-


TANZIL
Penulisan Tafsir al-Iklil dilatarbelakangi setidaknya oleh
dua hal. Pertama, sebagai sarana dakwah dalam Islam.
Menurutnya, dakwah dengan tulisan lebih efektif daripada
dakwah melalui ceramah. Kedua, mencari rezeki untuk
menafkahi keluarga dan mengembangkan pondoknya.
Nama al-Iklil yang berarti “mahkota” (Jawa: “kuluk”)
dipilih dengan harapan supaya orang-orang Islam
menjadikan Al-Quran sebagai mahkota atau pelindung
bagi dirinya yang dapat membawa ketenteraman batin
baik di dunia dan akhirat.
Seperti disebut sebelumnya, beliau juga mengarang Tafsir
Taj al-Muslimin. Penulisan buku ini dilatarbelakangi dua
hal. Pertama, beliau sadar ada ada beberapa bagian dari
tafsir al-Iklil yang dihilangkan oleh penerbit tanpa
konfirmasi. Kedua, keprihatinan beliau melihat banyak
1
Dikutip dari suluk.id, “Merawat Islam yang Ramah”, diakses pada
24 Maret 2020, pukul 18.00.

2
orang Islam yang meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kitab
petunjuk, tetapi mereka malas mendalami isinya.
Adapun dalam menyajikan Tafsir al-Iklil, Kiai Misbah
mempunyai preferensi tersendiri. Beliau menggunakan
metode analitis (tahlili), dengan corak adabi ijtima’i. Di
dalamnya, kita jumpai sajian sebagai berikut. Pertama,
menyebutkan nama surah, jumlah ayat, status makiyah-
madaniyah, asbabun nuzul, dan kandungan surah secara
umum. Kedua, menerjemahkan dengan “makna gandul”,
diikuti dengan terjemahan secara naratif. Ketiga,
penjelasan, yang terbagi dua: penjelasan secara umum
dan penjelasan ayat per ayat dari makna kosakata, makna
kalimat, munasabah ayat, asbabun nuzul, serta riwayat
sahabat, tabiin, dan ulama. Beliau juga menambahkan
istilah khusus yang menunjukkan sesuatu yang penting:
dengan sub judul yang dinamai “Keterangan”, “mas’alah”,
“tanbih”, “fa’idah”, dan “kisah”. Kitab ini terdiri atas 30
juz dan dicetak sebanyak 30 jilid. Setiap jilid berisi
penafsiran terhadap setiap juz dari Al-Qur’an.
Sedikitnya ada dua bentuk lokalitas yang dijumpai pada
tafsir ini. Pertama, lokalitas dalam penampilan, berupa
penggunaan aksara Arab pegon dan penggunaan “makna
gandul”. Mengapa memakai Arab pegon? Pertama, memu-
dahkan kaum muslim Jawa dalam memahami gagasan
yang dikemukakan. Kedua, bagi seorang santri,
pemakaian huruf pegon membantu mereka memahami
struktur kebahasaan Al-Qur’an. Lalu, mengapa memakai
makna gandul? Karena memungkinkan seseorang yang
membacanya mengetahui secara persis arti setiap kata
dalam ayat-ayat Al-Qur’an dalam bahasa Jawa.
Kedua, lokalitas dalam penafsiran. K.H. Misbah tidak
jarang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memasukkan unsur-unsur lokalitas dalam masyarakat
Jawa, baik itu berupa tradisi maupun budaya, respons
terhadap penafsiran-penafsiran tertentu, dan semisalnya.
Di antaranya, respons kritis atas tradisi masyarakat Jawa,
kritik terhadap terjemahan kata atau ayat dalam Al-Qur’an
di Indonesia, kritik terhadap kegiatan MTQ, dan
sebagainya.

3
KRITIK SOSIO-RELIGI DALAM TAFSIR AL-IKLIL FI
MA’ANI AT-TANZIL
Topik Pertama, tentang kebermazhaban. Mazhab berposisi
sebagai transmitter yang memiliki otoritas religius untuk
menyampaikan substansi agama kepada umat Islam.
Secara garis besar, dalam tafsirnya ini, KH. Misbah
menekankan seseorang untuk menganut sebuah mazhab
dalam menjalankan agama agar tidak tersesat ketika
mengambil istinbat hukum dari Al-Qur’an dan hadis.
Beliau menilai kekuatan ijtihad para imam mazhab lebih
baik dibandingkan berijtihad secara mandiri. Selain itu,
keempat mazhab ini juga memiliki landasan yang cukup
kuat dan juga dapat dipertanggungjawabkan validitasnya
dengan kejelasan dan kelengkapan kodifikasinya. Beliau
meng-counter kelompok pembaharu Islam abad ke-20
yang menyeru setiap muslim untuk beristinbat secara
langsung dari Al-Qur’an dan hadis.
Topik Kedua, tentang tradisi tahlilan dan tawasul. Bila
para “pembaharu Islam” memandang dua tradisi ini
sebagai bidah, berlawanan dengan ajaran Islam, bahkan
syirik, K.H. Misbah punya pandangannya sendiri. Ia
mengkritik tajam tradisi tahlilan, bukan soal halal-
haramnya, melainkan mengkritik prosesi pelaksanaannya.
Beliau mengajukan beberapa persyaratan agar tahlilan
tidak terlarang: dilakukan sederhana dan tidak
memaksakan diri, dan perlu dipikirkan matang untung-
ruginya dari sudut agama dan ekonomi. Sementara itu,
mengenai tawasul dan pengiriman pahala kepada mayit,
beliau meyakini orang yang sudah meninggal tidak dapat
memberi atau menerima manfaat pahala dari orang yang
masih hidup, kecuali doa dari anak yang saleh dan amal
sedekah dari ahli warisnya, berdasarkan hadis.
Topik Ketiga, tentang KB. Berbeda dengan kalangan
pesantren pada umumnya, Kiai Misbah menganggap KB
sama saja dengan program “zero population” ala Fir’aun
yang diterapkan kepada Bani Israel. Hukumnya haram
karena, pertama, kekhawatiran bahwa KB yang masif

4
disuarakan kepada umat Islam, akan menurunkan jumlah
umat Islam secara signifikan dan mematikan peran politis
umat Islam di masa mendatang. Kedua, program KB
adalah suatu sikap meremehkan Tuhan dan tidak sejalan
dengan surah al-An‘am/6: 15.
Topik Keempat, tentang kepemimpinan nonmuslim. Saat
menjelaskan ayat-ayat kepemimpinan dalam Al-Qur’an,
beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud menjadikan
nonmuslim sebagai “wali” adalah larangan membantu
mereka dalam urusan agama, seperti membantu
keuangan kaum Nasrani dalam menyebarkan agamanya.
Beliau tidak melarang menjalin kerja sama dengan
nonmuslim dalam urusan keduniaan, baik itu urusan
sosial, ekonomi, maupun politik. Beliau membagi
hubungan antara muslim-nonmuslim menjadi tiga macam.
Pertama, kaum muslim mengakui kekufuran orang kafir
dengan memberi mereka bantuan. Relasi ini dilarang
karena dikhawatirkan akan menjerumuskan kaum mukmin
untuk membenarkan agama mereka. Kedua, kaum
muslim menjalin kerja sama dengan orang kafir dalam
urusan dunia. Relasi ini tidak dilarang. Ketiga, kaum
muslim dan kaum kafir saling membantu karena adanya
hubungan persaudaraan. Menurutnya, hal ini dilarang
karena terkadang dapat menyebabkan orang Islam
menganggap bagus dan meridai agama orang kafir.
Pada akhirnya, Tafsir Al-Iklil karya K.H. Misbah Musthofa
adalah kitab tafsir yang mempunyai kekhasan tersendiri,
baik dari sistematika penulisan maupun kandungannya
yang sarat akan muatan lokal. Tafsiran di dalamnya juga
cukup menarik karena menyajikan hal-hal yang jarang
“disentuh” atau “diutak-atik” oleh ulama lain. Kitab ini
sarat akan kritik sosial maupun keagamaan yang mencer-
minkan pandangan sang penulis. Tidak hanya mengkritisi
tradisi-tradisi keagamaan yang berlaku di tengah
masyarakat Islam Jawa, penulis juga tidak segan
mengkritisi kebijakan pemerintah Orde Baru, saat di mana
tafsir ini ditulis. Tentu, masih banyak sisi-sisi “kritis”
dalam tafsir ini yang bila dieksplorasi lebih lanjut, akan
membuat pengkaji mampu memetakan pemikiran K.H.

5
Misbah Musthofa secara utuh. Namun, terlepas dari sisi
“kontroversial” ini, Tafsir al-Iklil telah memperkaya
khazanah tafsir Al-Qur’an di Jawa, hal yang menjadikan
beliau mendapatkan apresiasi yang tinggi. []

Anda mungkin juga menyukai