Anda di halaman 1dari 8

POKJA PELAYANAN KEFARMASIAN DAN

PENGGUNAAN OBAT

PKPO 7.1
EP.1
(KEBIJAKAN PENGAWASAN,
PENGGUNAAN OBAT DAN KEAMANAN
OBAT)

RSUD MASSENREMPULU
KABUPATEN ENREKANG
2019
1
PEMERINTAH KABUPATEN ENREKANG
RUMAH SAKIT UMUM MASSENREMPULU
JL. Jenderal Sudirman Keppe Telp. (0420) 22128 Fax (0420) 21770 Enrekang
Website enrekangkab.go.id E-mail rsudmaspul@yahoo.com

KEPUTUSAN
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MASSENREMPULU
KABUPATEN ENREKANG

NOMOR : 013/KBJ/RSUM/VI/18

TENTANG
PENGAWASAN, PENGGUNAAN OBAT, DAN KEAMANAN OBAT
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MASSENREMPULU
KABUPATEN ENREKANG

DIREKTUR ,

Menimbang : a. Bahwa Rumah Sakit harus menetapkan obat-obat yang harus


tersedia untuk diresepkan dan dipesan oleh praktisi pelayanan
kesehatan.
b. Bahwa obat-obat yang tersedia di Rumah Sakit harus diawasi
penggunaan dan keamanan obatnya melalui penunjukkan Komite
dan pemilihan metode yang tepat dalam pengawasan.
c. Bahwa untuk menjamin mutu pengawasan, penggunaan obat dan
keamanan obat tersebut maka perlu ditetapkan Surat Keputusan
Direktur tentang pengawasan, penggunaan obat dan keamanan
obat.
Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negera
Republik Indonesia Nomor 4437)
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063)

2
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 44 Tahun
2009 Tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indoneisa Nomor 5072)
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996
Tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3637)
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
7. Permenkes No. 34 tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Status: mengubah
Permenkes No. 58 Tahun 2014.
8. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian

MEMUTUSKAN
Menetapkan : Pengawasan, penggunaan obat dan keamanan obat di Rumah Sakit
PERTAMA : Pengawasan, penggunaan obat dan keamanan obat di Rumah Sakit
dilakukan oleh Komite Farmasi dan Terapi (KFT).
KEDUA : Program kerja pengawasan, penggunaan obat dan keamanan obat
dilakukan oleh Komite Farmasi dan Terapi (KFT) bekerja sama
dengan Instalasi Farmasi.
KETIGA : Metode pengawasan, penggunaan obat dan keamanan obat
dilakukan dengan cara melakukan pemantauan atau monitoring
terhadap daftar baru yang ditambahakan dalam formularium.
KEEMPAT : Monitoring pengawasan dan keamanan obat berpedoman pada :
1. Indikasi penggunaan (dosis obat dan rute pemberian obat)
2. Efektivitas obat dan keamanan obat (safety)
3. Resiko obat
4. Biaya obat

3
5. Setiap Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang tidak diantisipasi
atau kondisi yang berhubungan dengan obat baru selama
periode pengenalan.
KELIMA : Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi
minimal 1 tahun sekali.
KEENAM : Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Enrekang
PadaTanggal : 1 Juni 2018
Direktur,

dr. H. Muh. Yusuf, KS.

Lampiran : Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah


Massenrempulu Enrekang
Nomor : 013/KBJ/RSUM/VI/18
Tanggal : 1 Juni 2018
Tentang : Pengawasan, Penggunaan obat, Keamanan obat di RSUD
Massenrempulu Enrekang

PENGAWASAN, PENGGUNAAN OBAT DAN KEAMANAN OBAT


1. Pengamatan mutu obat.

4
Istilah mutu obat dalam pelayanan farmasi berbeda dengan istilah mutu obat secara
ilmiah, yang umumnya dicantumkan dalam buku-buku standard seperti farmakope.
Secara teknis, kriteria mutu obat mencakup identitas, kemurnian, potensi, keseragaman,
dan ketersediaan hayatinya.
Beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian sehubungan dengan mutu obat, oleh
karena di samping berkaitan dengan efek samping, potensi obat, juga dapat
mempengaruhi efek obat aktif, yaitu:
a) Kontaminasi.
Beberapa jenis sediaan obat harus selalu berada dalam kondisi steril, bebas
pirogen dan kontaminan, misalnya obat injeksi. Oleh sebab itu proses manufaktur,
pengepakan, dan distribusi hingga penyimpanannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Dalam prakteknya kerusakan obat jenis ini umumnya berkaitan dengan
kesalahan dalam penyimpanan dan penyediaannya. Sebagai contoh, di kamar suntik
pusat pelayanan kesehatan acap kali ditemukan obat injeksi yang diatasnya diletakkan
jarum dalam posisi terbuka. Dengan alasan apapun (misalnya segi kepraktisan saat
pemindahan obat ke dalam spuit), cara ini jelas keliru dan harus dihindari, oleh karena
memungkinkan terjadinya kontaminasi dengan udara luar dan berbagai bakteri,
sehingga prinsip obat dalam kondisi steril sudah tidak tercapai lagi. Untuk sediaan lain
seperti cream, salep atau sirup, meskipun risikonya lebih kecil, tetapi sering juga terjadi
kontaminasi, misalnya karena udara yang terlalu panas, kerusakan pada
pengepakannya, dsb, yang tentu saja mempengaruhi mutu obatnya.
b) Medication error.
Keadaan ini tidak saja dapat terjadi pada saat manufaktur (misalnya kesalahan
dalam mencampur 2 atau lebih obat sehingga dosisnya menjadi terlalu besar atau
terlalu kecil), tetapi dapat juga terjadi saat praktisi medik ingin mencampur beberapa
jenis obat dalam satu sediaan sehingga menimbulkan risiko terjadinya interaksi obat-
obat. Akibatnya efek obat tidak seperti yang diharapkan bahkan dapat membahayakan
pasien.
c) Berubah menjadi toksik (toxic degradation).
Beberapa obat, karena proses penyimpanannya dapat berubah menjadi toksik
(misalnya karena terlalu panas atau lembab), misalnya tetrasiklin. Beberapa obat yang
lain dapat berubah menjadi toksik karena telah kadaluwarsa. Oleh sebab itu obat yang
telah expired (kadaluwarsa) atau berubah warna, bentuk dan wujudnya, tidak boleh lagi
dipergunakan.

5
d) Potensi Kehilangan (loss of potency).
Obat dapat kehilangan potensinya sebagai obat aktif antara lain apabila
ketersediaan hayatinya buruk, telah melewati masa kadaluwarsa, proses pencampuran
yang tidak sempurna saat digunakan, atau proses penyimpanan yang keliru (misalnya
terkena sinar matahari secara langsung). Setiap obat sebenarnya telah memiliki batas
keamanan (margin of safety) yang dapat dipertanggung jawabkan
Adapun Tanda-tanda perubahan mutu obat sesuai standar yang di tetapkan yaitu :
1) Tablet.
 Terjadinya perubahan warna, bau atau rasa
 Kerusakan berupa noda, berbintik-bintik, lubang, sumbing, pecah, retak dan
atau terdapat benda asing, jadi bubuk dan lembab
 Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat
2) Kapsul.
 Perubahan warna isi kapsul
 Kapsul terbuka, kosong, rusak atau melekat satu dengan lainnya
3) Tablet salut.
 Pecah-pecah, terjadi perubahan warna dan lengket satu dengan yang lainnya
 Kaleng atau botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik
4) Cairan.
 Menjadi keruh atau timbul endapan.
 Konsistensi berubah
 Warna atau rasa berubah
 Botol-botol plastik rusak atau bocor
5) Salep.
 Warna berubah
 Konsistensi berubah
 Pot atau tube rusak atau bocor
 Bau berubah
6) Injeksi.
 Kebocoran wadah (vial, ampul)
 Terdapat partikel asing pada serbuk injeksi
 Larutan yang seharusnya jernih tampak keruh atau ada endapan
 Warna larutan berubah
Persyaratan Penyimpanan Narkotika
6
 Harus terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat (tidak boleh terbuat
darikaca).
 Harus mempunyai kunci yang kuat, kunci lemari harus dikuasai oleh
penanggung jawab atau pegawai yang dikuasakan.
 Dibagi menjadi dua bagian dengan masing-masing kunci yang berlainan.
 Apabila lemari memiliki ukuran kurang dari 40 cm x 80 cm x 100 cm, maka
dibuat pada tembok / lantai / lemari khusus.
 Tidak boleh menyimpan atau meletakkan barang-barang selain narkotika,
kecuali ditentukan lain oleh Menteri Kesehatan (Menkes).

Beberapa evaluasi yang digunakan dalam penyimpanan obat adalah (Pudjaningsih,


1996):
1. Persentase kecocokan antara barang dan stok komputer atau kartu stok
2. Proses pencocokan harus dilakukan pada waktu yang sama untuk menghindari
kekeliruan karena adanya barang yang keluar atau masuk (adanya transaksi).
Apabila tidak dilakukan bersamaan maka kemungkinan ketidakcocokan akan
meningkat.
3. Ketidakcocokan akan menyebabkan terganggunya perencanaan pembelian
barang dan pelayanan terhadap pasien.
4. Turn Over Ratio (TOR)
5. TOR = perbandingan Harga Pokok Penjualan (HPP) dalam 1 tahun dengan nilai
rata – rata persediaan pada akhir tahun.

TOR digunakan untuk mengetahui berapa kali perputaran modal dalam 1 tahun,
menghitung efisiensi dalam pengelolaan obat. Apabila TOR rendah, berarti masih
banyak stok obat yang belum terjual sehingga mengakibatkan obat menumpuk dan
berpengaruh terhadap keuntungan (Jati, 2010).

Direktur,

dr. H. Muh. Yusuf, KS.

7
8

Anda mungkin juga menyukai