Anda di halaman 1dari 29

BAB 3.

EKOLOGI FORAMINIFERA
Mikroorganisme yang hidup dan berkembang dalam kondisi air khususnya di laut sangat dipengaruhi
oleh beberapa faktor lingkungan. Dalam mempertahankan keberadaannya, mikroorganisme khususnya
Foraminifera yang jumlah individu dan genusnya sangat banyak tampaknya harus mampu beradaptasi
dengan lingkungan yang penuh dengan dinamika dan berhadapan dengan predator yang setiap saat siap
memangsanya. Ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dikenal
dengan istilah ekologi. Bila organisme tersebut merupakan jenis Foraminifera maka lahirlah ilmu ekologi
Foraminifera. Ekologi Foraminifera bertitik tolak pada pembelajaran dan pencermatan kehidupan
masa kini, sering disebut dengan istilah Foraminifera resen, yang tidak lain Foraminifera yang
ditemukan hidup dan berkembangbiak hingga sekarang. Selain itu ada juga ilmu yang disebut dengan
istilah Paleoekologi yaitu ekologi masa lampau yang diturunkan berdasarkan pelbagai temuan fosil
yang terdapat pada batuan sedimen. Bila fosil yang dimaksud adalah fosil Foraminifera maka lahirlah
ilmu Paleoekologi Foraminifera. Dalam pembelajaran dan pencermatan Paleoekologi Foraminifera
bertitiktolak dan mengacu pada ekologi Foraminifera yang dijumpai hidup hingga sekarang, mestinya
dengan suatu asumsi dan bertitik tolak pada konsep geologi yang sudah dikenal oleh para geolog yaitu:
The present is the key to the past.

3.1. SIMBIOSE
Penelitian mikroorganisme yang ditemukan di daerah lingkungan air khususnya pada liingkungan laut
menunjukkan bahwa Foraminifera bukan satu-satunya mikroorganisme yang hidup dan ditemukan di
lingkungan laut. Foraminifera ditemukan hidup bersama dengan mikroorganisme yang lain,
diantaranya Radiolaria, Ostracoda, Diatomea, Algae dan ganggang laut bahkan golongan invertebrata
makro, dan golongan vertebrata. Oleh sebab itu tampaknya Anda juga perlu mempelajari organisme
mikro yang lain karena di alam organisme-organisme itu hidup saling bercampur baur, bersimbiose.
Paling tidak Anda mengetahui bahwa mikroorganisme yang Anda pelajari di laboratorium itu betul-
betul organisme mikro jenis Foraminifera. Penelitian selanjutnya (Lipps & Valentine, 1970, vide Haq &
Boersma, 1983) mendapatkan kesimpulan bahwa mikroorganisme jenis Foraminifera yang sebagian
besar hidup di laut bersifat herbivores maupun carnivores dengan populasi sebanyak 1.000 hingga
2.000.000 individu per meter persegi di dasar laut. Sifat herbivores diketahui karena pernah dijumpai
Foraminifera itu makan algae, dan diatomea, sedang sifat carnivores dibuktikan Foraminifera juga
memakan bakteri dan hewan mikro lainnya. Bila demikian halnya, Foraminifera hidup bersimbiose
dengan organisme mikro yang lain, juga dengan jenis invertebrata dan bahkan dengan vertebrata yang
bersama-sama hidup dalam lingkungan laut.
Kesimpulan: Foraminifera hidup bersimbiose dengan organisme lain, baik dalam bentuk flora maupun
fauna, baik yang berukuran mikro maupun berukuran makro yang bersama-sama mendiami lingkungan
laut. Foraminifera juga bersifat herbivores maupun carnivores.

Sebelum mempelajari ekologi Foraminifera ataupun paleoekologi Foraminifera tampaknya Anda perlu
mengenal beberapa istilah yang berkaitan dengan ekologi. Istilah tersebut antara lain:
 Habitat: adalah lingkungan dimana organisme itu hidup dan berkembangbiak, dapat dalam
lingkungan laut dengan dasar laut berbentuk batuan, merupakan padang tanaman laut,
hamparan pasir ataupun hamparan lempung dan lain sebagainya. Dapat juga bersimbiose
dengan organisme lain, baik yang bersifat simbiose parasitis, simbiose mutualistis , ataupun
simbiose ephipitis.
 Ecologic niche, merupakan posisi organisme (organism position) termasuk cara hidup dan
peranannya dalam ekosistem kehidupan yang lain.
 Populasi merupakan kumpulan organisme yang terdiri dari dua spesies atau lebih yang
menempati habitat yang sama dan sesuai.
 Komunitas sering disebut dengan istilah community, merupakan populasi yang dominan dengan
ruang lingkup penyebaran yang lebih luas, misalnya komunitas lingkungan laut dangkal,
komunitas lingkungan marshes, komunitas lingkungan muara sungai, komunitas lingkungan
lagoon, komunitas lingkungan algae dan lain sebagainya
 Producers, merupakan penyedia makanan dalam bentuk organisme berkhloropil dengan sinar
matahari sebagai energi yang memunculkan kehidupan. Contoh: algae merupakan producers
untuk hampir semua kehidupan mikro. Makin banyak producers berarti akan makin “subur”
perkembangan organisme mikro yang lain.
 Parasitis adalah jenis simbiose tanpa harus membunuh inang yang ditempatinya namun bersifat
merugikan organisme inangnya. Jenis scavengers, adalah organisme yang memakan bangkai,
tanpa harus membunuh. Berbeda dengan parasitis, kehidupan yang bersifat herbivores dan
carnivores serta omnivores , memakan mangsanya dengan terlebih dahulu membunuh.
 Predator atau sering disebut dengan istilah pemangsa binatang jenis lain dengan cara
membunuh kehidupan yang menjadi mangsanya terlebih dahulu.
 Rantai makanan sering disebut dengan istilah food chain atau food web merupakan siklus
makanan yang dibentuk oleh producers hingga sampai pada mikroorganisme, untuk
selanjutnya disantap oleh organisme tingkatan yang lebih tinggi.
Catatan
Kehidupan di laut sangat bervariasi, beberapa diantaranya bersifat predator dan memakan
Foraminifera, khususnya pada Foraminifera benthos. Studi pada Foraminifera resen pernah
ditemukan beberapa predator yang memakan Foraminifera. Hal ini ditunjukkan dengan
penemuan test Foraminifera (yang telah mati) pada alat pencernaan predator. Hal ini
memperkuat dugaan bahwa binatang tersebut bertindak sebagai predator dan memakan
Foraminifera. Disamping itu pernah ditemukan test Foraminifera yang telah mati tampak
berlubang-lubang. Keberadaan lubang-lubang ini diduga kuat sebagai cara predator untuk
menghisap protoplasma yang terdapat di dalam test Foraminifera. Christiansen (1958) menduga
kuat bahwa populasi Foraminifera yang jumlahnya relatif sedikit di perairan teluk Oslo,
Norwegia salah satu penyebabnya adalah keberadaan predator yang memakan Foraminifera
hidup. Beberapa peneliti telah mencoba membuktikan hipotesa ini seperti terlihat ada tabel
berikut.
Tabel 3.1. Berbagai jenis predator yang memakan Foraminifera (Boltovskoy & Wright, 1976).

Peneliti Jenis spesies Foraminifera Jenis predator


Meyers, 1940 tidak disebutkan Polychaetes
Meyers, 1943 tidak disebutkan Crustaceans, annelida
Perkins, 1958 tidak disebutkan Nereis divercsicolour
(pPolychaeta)
Reyment, 1966 Spiroplectammina sp. Gastropoda
Quinqueloculina sp
Green, 1968 tidak disebutkan Gabius (teleost)
Mateu, 1968a banyak Holothurians
Mateu, 1968b banyak Pinna noblis (pelecypod)
Mateu, 1969b banyak Spangangus purpureus
(Echinoderm)
Saidova, 1968 banyak Echinoderms
Lutze, Grabert & Seibold, Heterostegina depressa Echinoida
1971
Sliter, 1971 Rotalia globularis, Bolivina Nematoda,
dunkeri
Walker, 1971 Rosalina floridana Littoria littorea (gastropod)
Ross. 1072 Marginopora vertebralis Holothurians

Secara alamiah, macam kehidupan baik flora mupun fauna yang merupakan sasaran dan mangsa
predator selalu berkembang biak sangat cepat dalam jumlah yang sangat banyak. Inilah salah
satu cara untuk mempertahankan keberadaannya di alam. Salah satu contohnya adalah
binatang mikro Foraminifera.

3.2. ADAPTASI FORAMINIFERA TERHADAP LINGKUNGAN


Foraminifera merupakan binatang mikro, pada umumnya hidup dalam lingkungan laut bersama-
sama dengan zooplangton maupun phytoplangton. Diantara zooplangton ada yang bersifat predator
sehingga sangat memungkinkan jumlah Foraminifera dapat menyusut. Kematian Foraminifera
merupakan penyebab turunnya populasi Foraminifera dalam perairan. Apabila hal ini terjadi, sangat
dimungkinkan menjadi sedikit jumlah individu Foraminifera yang akan menjadi fosil. Terdapat
paling tidak 4 cara dimana Foraminifera dapat mati, yaitu: (a). pada saat berlangsung reproduksi, (b).
dimakan oleh predator, (c). terkubur oleh sedimen sebagai akibat longsor bawah permukaan laut,
(d) sebagai akibat penyakit. Uraian berikut akan memperjelas pernyataan diatas.
(a).Pada saat berlangsung reproduksi. Meski Foraminifera mengalami berbagai cara reproduksi
(seksual, nonseksual, modifikasi dari seksual ke aseksual dan sebaliknya) namun dalam
berlangsungnya proses tersebut induknya mati. Bentuk generasi yang baru tidak hanya berkurang
jumlah protoplasma dari induknya, namun juga memanfaatkan bagian yang keras sebagai
pembentuk test individu Foraminifera baru “yang dilahirkan”. Indukan Foraminifera harus
mengorbankan sebagian dari materal dinding test. Hal ini tampak jelas pada cara berkembangbiak
aseksual, bahwa “anakan” akan membentuk dinding test pada tahapan pembentukan kamar
pertama. Spesies Patellina, Discorbis, dan Cymbalopora akan melarutkan septa dan dinding test
bagian ventral dari kamar yang relatif besar dalam usaha untuk menyediakan material pembentuk
test Foraminifera. Dinding test Bulimina, Cornuspira dan Miliolidae menjadi lebih tipis selama proses
reproduksi secara seksual. Elphidium melarutkan bagian pinggir dari permukaan aperture, dengan
konsekuensi lubang aperturenya bertambah lebar (Arnold, 1967) Bila demikian halnya, kejadian ini
dapat mengganggu perkembangan dari zygote yang dihasilkan, dan dapat juga memperlemah daya
tahan hidup, yang akhirnya mati dari “indukannya”. Perkembangan “anakan” yang terganggu sangat
memungkinkan dapat menurunkan populasi Foraminifera yang sedang mengalami proses dewasa.
Hal yang serupa dapat terjadi juga pada “indukannya”.
(b). Dimakan oleh predator. Jenis kehidupan di laut seperti Foraminifera bersimbiose dengan
zooplangton ataupun phytoplangton yang lain. Diantara zooplangton ada yang bersifat predator.
Mereka ingin memakan protoplasma yang ada di dalam test Foraminifera, baik dengan cara
menghisap protoplasma dari dalam test, ataupun memakan Foraminifera yang masih hidup, atau
melalui dengan membuat lubang pada dinding test. Kejadian ini dapat berakibat matinya
Foraminifera. Beberapa bukti diperoleh, antara lain beberapa test Foraminifera ditemukan masih
berada dalam tubuh predator yang memakan Foraminifera dalam keadaan hidup. Walker (1971)
mengamati test Foraminifera Rosalina floridana yang dimakan oleh Gastropoda jenis Littorina
littorea. Kejadian yang sama, diamati oleh Mateu (1969) dengan mendapatkan test Foraminifera
dalam Echinoderma.
(c). Foraminifera mati karena tertimbun sedimen akibat terjadinya longsoran bawah laut.
Sebetulnya Foraminifera masih mampu bermigrasi melalui celah-celah bahan sedimen yang masih
lepas, namun demikian mereka keburu mati sebelum mencapai permukaan atau terhancurkan oleh
pergerakan material sedimen. Myers (1943) mendeskripsi lingkungan di Plymouth, England, dimana
didapatkan hampir 8% Foraminifera benthos terkubur oleh sedimen pada saat terjadi angin tornado.
Beberapa spesimen mati dalam waktu beberapa hari atau minggu, dan protoplasmanya mengalami
pembusukan oleh bakteri. Anaerobic bacteria mengurangi kandungan phospat untuk mendapatkan
sulphur, yang untuk selanjutnya dapat membentuk hydrogen sulfida, yang selanjutnya menjadi
mineral pyrite yang cukup mematikan. Frankel (1964) menambahkan bagaimana proses terjadinya
pyrite yang terdapat mengisi rongga test Foraminifera, dan menyimpulkan bahwa pyrite tersebut
terbentuk sebagai akibat lingkungan anaerobic yang menurunkan kondisi lingkungan, yang
diindikasikan oleh rendahnya tingkat salinitas, dan keadaan substrate yang kaya akan kaolinite-illite.
(d). Foraminifera dapat juga mati karena terserang oleh penyakit, keadaan lingkungan yang
terpolusi oleh bahan berbahaya dan beracun. Pembuangan limbah industri kimia yang tidak
terkontrol, polusi air laut dalam bentuk minyak dan sejenisnya dapat berakibat kematian
zooplangton termasuk Foraminifera. Terjadinya letusan gunungapi yang menghamburkan berjuta-
juta meter kubik batuan pyrokastik halus dalam waktu yang cukup lama, akan menambah
malapetaka yang mengena pada mikroplangton, termasuk Foraminifera. Hal ini akan membuat sinar
matahari tidak mampu menembus lapisan air sehingga dapat berakibat berkurangnya kemampuan
fotosintesa yang dapat berakibat berkurangnya phytoplangton. Pembuangan air panas dari kapal
dan industri yang beroperasi di darat menambah kemungkinan kematian Foraminifera.
Pada masa lalu pada saat manusia masih sedikit dan belum ada kegiatan industri masalah polusi air
laut tidak pernah mendapat perhatian. Pada saat sekarang manusia semakin banyak, timbul
berbagai macam industri yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B-3) yang
dibuang ke perairan laut. Kejadian tersebut dipastikan akan mengganggu perkembangan
Foraminifera. Oleh sebab itu, studi tentang Foraminifera yang hidup dilingkungan yang terkena
kontaminasi atau terkena polutan B-3 sangat mendesak, bukan karena secara teori hal tersebut
sangat mengganggu, namun dapat dikembangkan lebih lanjut dalam usaha mendeteksi Foraminifera
sebagai indikator terjadinya polusi. Sayangnya hingga saat ini studi Foraminifera yang berkaitan
dengan polusi air laut masih sangat sedikit. Studi tentang hal itu telah dirintis oleh Bandy, Ingle &
Resig (1964) di pantai California Selatan, yang kemudian diikuti dengan beberapa penelitian. Dari
penelitian-penelitian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan limbah domestik dan
limbah industri di laut dangkal dapat berakibat pada makin terbatasnya penyebaran, produktivitas
dan morphologi baik pada Foraminifera plangton maupun Foraminifera benthos. Secara umum dari
hasil penelitian Reuvillois (1972) mendapatkan bahwa populasi Foraminifera benthos makin
berkurang mendekati pada sumber pencemar. Meskipun demikian Buliminella elegantissima tetap
masih berkembang cukup baik di daerah yang kena polusi di pantai California, dan Quinqueloculina
rhodiensis, Ammonia beccarii dan Fursenkoina pontoni berkembang semakin dominan di daerah
yang terkena polusi di pantai Puerto Rican. (Seiglie, 1971). Hasil penelitian Seiglie (1968) mencatat di
laut Carribean, Buliminella, Bulimina, Florilus, Fursenkoina, Nonionella dan Uvigerina tampaknya
masih mampu berkembang di daerah dengan kandungan karbon organik yang cukup tinggi dan
mungkin dapat dipergunakan sebagai indikator untuk lingkungan laut yang terkontaminasi. McCrone
& Schafer (1966) mencatat Ammonia beccarii bersifat toleran pada lingkungan yang terpolusi di
estuary Hudson, New York. Schafer (1973) mencatat Buccella frigida dan beberapa spesies dari
Elphidium bersifat toleran pada lingkungan yang kena polusi di estuary Restigouche, Kanada, Namun
demikian beberapa spesies bersifat intoleran: Nonionella spp di California, Fursenkoina spinicostata
di Puorto Rico dan Ammonium cassis, Ammomarginulina fluvialis, Pseudopolymorphina novangliae,
Reophax fusiformis, R.arcticus,R.scotti dan R.nodulosus di Nova Scotia. Olsson (tahun ?) mencatat
peningkatan jumlah Elphidium excavatum-Cribononion incertum menunjukkan kenaikan polusi di
lingkungan Byfjorden, Sweden. Tampaknya, dari hasil penelitian tersebut diatas belum dapat
diambil kesimpulan akhir pengaruh yang spesifik terhadap perkembangan Foraminifera pada
lingkungan yang terkena polusi limbah domestik maupun limbah industri. Masih perlu dilakukan
penelitian lanjutan untuk mengambil kesimpulan akhir dalam mencermati Foraminifera sebagai
indikator pencemaran lingkungan.

3.2. EKOSISTEM LAUT


Berdasarkan atas cara hidupnya, Foraminifera dikelompokkan menjadi dua, yaitu Foraminifera
plangton dan Foraminifera benthos. Terminologi plangton diterapkan pada organisme yang
hidupnya mengambang pada kolom atau badan air, namun bergerak pasif mengikuti gerakan arus
air. Dalam hal untuk Foraminifera gerakan arus laut. Terminologi benthos diterapkan pada
organisme yang hidup di dasar perairan sering disebut dengan istilah substrat, baik yang sesil,
merayap maupun menggali lubang. Benthos hidup dilingkungan berpasir, berlumpur, pada batuan
ataupun rombakan koloni koral yang sudah mati. Keadaan substrat perairan dan kedalamannya akan
berpengaruh pada penyebaran dan morfologi fungsional, tingkah laku mikroorganisme benthos
yang berkaitan dengan makanannya. Seperti diketahui, keberadaan mikroorganisme benthos dan
plangton pada suatu perairan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor biotik dan abiotik.
 Faktor biotik yang berpengaruh antara lain producers yang merupakan salah satu sumber
makanan bagi mikroorganisme. Untuk Foraminifera sumber makanan itu tidak lain adalah algae,
diatomea dan fauna mikro lainnya. Disamping itu faktor biotis dapat dalam bentuk kehidupan
mikro ataupun makro lainnya. Fosil Foraminifera sering dijumpai pada batugamping bersama
dengan fosil Coelenterata dan fosil Foraminifera besar, fosil Mollusca dan jenis fauna laut
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat Foraminifera masih hidup bersimbiose dengan
kehidupan laut lainnya.
 Faktor abiotik tidak lain merupakan sifat fisika dan kimia air meliputi salinitas, suhu, arus,
keberadaan oksigen terlarut (Disolve Oksigen, disingkat dengan DO), kebutuhan oksigen terlarut
(Biological Oksigen Demant sering disingkat dengan kata BOD), serta kandungan Nitrogen (N),
kedalaman air, dan keadaan substrat dasar laut. Keberadaan organisme ini sangat penting dalam
perairan antara lain berperan dalam proses dekompoisi dan mineralisasi material organik yang
memasuki perairan lingkungan laut. Dari berbagai penelitian Foraminifera resen, diambil
kesimpulan bahwa keberadaan jumlah dan keberagaman Foraminifera benthos relatif lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah dan variasi Foraminifera plangton. Analisa rasio plangtonik:
benthonik dari beberapa kedalaman mengungkapkan bahwa daerah neritik tengah hingga
transisi laut dalam (- 100 meter) ditandai dengan 20-60% plangtonik, naik ke 60-90% plangtonik
pada kedalaman -200 meter. Foraminifera plangtonik merupakan karakteristik dari laut dengan
salinitas normal. Namun rasio ini juga akan ditentukan oleh kehadiran nutrisi pada permukaan
maupun bawah permukaan laut yang akan mempengaruhi rasio plangtonik/benthonik, sehingga
faktor tersebut maupun faktor lainnya perlu dipertimbangkan, misalnya keberadaan upwelling
yang terjadi di tepi benua dapat mengurangi jumlah oksigen terlarut di kedalaman yang
membuat Foraminifera benthos berkurang sehingga dapat merubah rasio plangtonik/benthonik.

Kesimpulan: Faktor abiotik dan biotik berpengaruh pada penyebaran dan perkembangbiakan
Foraminifera. Peranan producers juga sangat menentukan jumlah populasi Foraminifera pada
lingkungan perairan laut.

Ekosistem laut, dikenal pula dengan istilah marine ecosystem, dipergunakan oleh paleoekolog
sebagai model dasar untuk melakukan interpretasi proses sedimentasi dilaut pada masa lampau
dan kehidupan yang ada padanya. Mereka memakai dogma dengan latar belakang utama bahwa
iklim panas menempati dua pertiga periode waktu sejak mulai dari Kambrium (Dorf, 1960 vide Raup
& Stanley, 1971). Demikian juga benua yang sering disebut dengan istilah kontinen, saat ini lebih
tenggelam digenangi samudra yang dapat diartikan menjadi lebih sempit bila dibandingkan
selama masa Paleozoikum, Mesozoikum dan Kenozoikum. Sebagian besar daerah kontinen
tenggelam berubah menjadi daerah epikontinen sering disebut dengan istilah pinggir benua.
Dengan demikian batas pinggir kontinen disebut dengan istilah pinggir kontinen yang disebut pula
dengan istilah continental shelf. Pinggiran kontinen berada kurang lebih hingga pada kedalaman
200 meter dari permukaan laut. Dari kedalaman ini terdapat lereng kontinen yang disebut pula
dengan istilah continental slope hingga pada kedalaman kurang lebih 5.000 meter, yang merupakan
dimulainya dasar samudra, lebih dikenal dengan istilah the ocean basin floor. Pinggir dari daerah
laut, yang dikenal pula dengan istilah marginal marine environment merupakan daerah lingkungan
pasang surut ,yang merupakan daerah tergenang air laut pada saat pasang, dan merupakan daratan
pada saat air laut surut, disebut sebagai daerah litoral, disebut pula dengan nama intertidal atau
littoral zone. Permukaan dasar pinggir kontinen atau continental shelf disebut dengan istilah
sublittoral zone atau sering disebut dengan istilah level bottom. Sedang dasar permukaan dari
continental slope disebut dengan istilah bathyal zone. Dasar dari samudra disebut sebagai abyssal
plain dengan diselingi lembah-lembah yang cukup luas di dasar laut dengan bukit-bukit yang
menjulang cukup tinggi dari dasar laut dalam serta rangkaian pegunungan bawah laut. Daerah
photic dikenal pula dengan istilah photic zone merupakan wilayah kolom air laut yang masih mampu
ditembus sinar matahari, kurang lebih hingga kedalaman 200 meter dari permukaan laut. Bagian
atas dari photic zone, kurang lebih hingga kedalaman 100 meter mulai dari permukaan laut, sangat
potensial terjadi proses photosintesa. Namun demikian kedalaman photic zone sangat bervariasi
dan dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Hal ini tergantung pada tingkat
kekeruhan air laut sering disebut dengan istilah turbidity air laut. Makin tinggi tingkat turbidity air
laut akan dapat lebih dangkal daerah photic-nya. Hampir semua endapan masa kini diendapkan
pada bagian laut pinggiran kontinen, sering disebut dengan istilah epicontinental sea, dan hanya
sedikit yang diendapkan pada kedalaman hingga abyssal. Kehidupan organisme pada umumnya
dapat diklasifikasikan berdasar pada cara hidup di lingkungan. Bottom dweller, disebut pula dengan
istilah kehidupan merayap didasar laut, dikenal dengan istilah benthos, yang hidup pada permukaan
dasar laut disebut dengan istilah epifaunal sedang yang menggali dasar laut, dan berada di dalam
endapan sedimen dikenal dengan istilah infaunal. Kata benthonic atau benthic sering dipakai
sebagai kata ajektive, misalnya benthic fauna, atau benthonic fauna. Bentuk benthonic yang sering
disebut dengan istilah benthos digolongkan menjadi bentuk vagil dan bentuk sesil. Sebagai bentuk
vagile, bila organisme mampu bergerak dengan kekuatan sendiri dan bentuk sesil bila organisme
hidup mengikatkan diri pada benda yang tetap didasar laut. Organisme yang hidup diatas dasar laut
pada kolom air dikenal dengan istilah pelagic, yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu
yang dapat bergerak bebas dengan kekuatan sendiri dikenal dengan nama nekton, sedang yang
terhanyut oleh arus laut dalam artian bergerak secara pasif dikenal dengan istilah plangton.
Phytoplankton merupakan istilah untuk flora dan zooplankton istilah untuk fauna. Untuk daerah
photic dihuni oleh flora sebagai zone producers, sedang di lereng kontinen dominan dihuni oleh flora
benthos antara lain rumput laut. Foraminifera dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
Foraminifera plangton yang mengambang di kolom air, bergerak pasif tergantung pada arus laut,
dan Foraminifera benthios yang menambatkan diri pada flora laut, misal pada rumput laut atau
ganggang laut. Seperti diketahui Foraminifera berkembangbiak utamanya dengan cara aseksual
(dengan membelah diri), namun kadang-kadang dengan seksual. Itulah sebabnya Foraminifera dapat
berkembang sangat cepat. Bila populasi Foraminifera disuatu tempat menjadi sangat banyak, yang
terjadi bahwa diantara mereka ada yang migrate memisahkan diri mencari lokasi yang baru,
membentuk simbiose dengan algae. Simbiose keduanya dikenal dengan istilah zooxanthelette.
Foraminifera plankton masih tetap dijumpai hingga pada kedalaman 200 meter. Ditempat seperti
itu Foraminifera masih berkembangbiak cukup cepat sejauh masih ada algae sebagai simbiosan
yang berfungsi sebagai penyedia makanan utama. Oleh sebab itu keberadaan dan
perkembangbiakan Foraminifera dapat menjadi cukup pesat bila diiringi dengan
perkembangbiakan algae (yang merupakan producers) yang cukup pesat pula. Perkembangbiakan
algae yang cukup cepat dikenal dengan istilah algae bloom. Penelitian pada Foraminifera resen
khususnya jenis benthos, mereka yang bersifat sesil (misalnya: Cibicides) ataupun vagil dapat
bergerak dengan pseudopodianya dipermukaan dasar laut, pada algae ataupun pada jenis
substrate yang lain dengan kecepatan kurang lebih 1 cm/jam dengan ukuran panjang individu
sekitar 0,5 mm. Pada beberapa jenis Foraminifera plangton, mereka dapat bergerak berpindah
tempat (migrate) pada kolom air menuju permukaan air dengan mengandalkan pada sifat kimia
khususnya dengan perubahan kandungan gas pada protoplasma. Mereka juga dapat menyebar di
semua kolom air sebagai akibat dari gerakan air laut/gelombang (Haq & Boersma, 1983). Karbonat
flatforms, reef merupakan tempat yang cukup baik untuk berkembangnya Foraminifera besar. Reef
yang terbentuk hingga sekarang sering disebut dengan istilah modern reef terbentang pada
daerah diantara 30o lintang utara hingga 30o lintang selatan, merupakan daerah dengan air laut
yang cukup hangat, penetrasi sinar matahari yang cukup baik dan tingkat kelarutan kalsium
karbonat yang cukup kaya. Ditempat yang demikian dicirikan dengan tingkat salinitas yang cukup
tinggi dengan arus laut yang cukup dinamis pada lingkungan laut dangkal. Ditempat-tempat seperti
itu merupakan lingkungan berkembangbiaknya Foraminifera jenis epifauna antara lain Calcarina,
Amphistegina, Marginopora yang berasosiasi dengan perkembangan reef. Foraminifera jenis yang
lain menambatkan diri pada rumput laut, algae, ataupun pada detrital koral reef yang sering
terpengaruh oleh peningkatan pasang air laut. Foraminifera besar berkembang ditempat yang
demikian bersama dengan jenis mikrofauna yang lain sebagai tempat proteksi diri. Dengan demikian
suatu hal yang wajar bila fosil Foraminifera besar terperangkap dan terdapat pada batugamping
reef. Lingkungan laut dapat dirinci lebih lanjut sebagai berikut:
(1). Lingkungan brackish (setengah asin/setengah tawar)
Lingkungan brackish dicirikan oleh butiran sedimen yang halus, kaya material detritus organic yang
berasal dari jenis tumbuhan, turbiditasnya cukup tinggi, sangat terpengaruh oleh gerakan air
sehingga kandungan oksigennya cukup tinggi, tingkat salinitasnya cukup rendah. Temperatur air
dapat berubah sewaktu-waktu. Sinar matahari dapat menembus hingga dasar cekungan sedimentasi
Bila terdapat Foraminifera dicirikan oleh jenis yang seragam, pada umumnya mempunyai dinding
test agglutine
(2). Lingkungan marshes (air payau/rawa)
Merupakan lingkungan laut dengan cirri: banyak tumbuhan air, rumput laut dan sejenisnya yang
tumbuh lebat. Tanaman bakau dominan tumbuh subur. Ditempat yang demikian kedalaman air
dapat berubah-ubah secara fluktuatif, demikian juga halnya temperatur, salinitas cukup rendah,
turbiditas dan susunan kimia air dapat berubah setiap saat. Banyaknya detritus material organik
seringkali dapat berakibat lingkungan bersifat reduktif. Ditempat yang demikian masih terdapat
pengaruh gerakan ombak. Sinar matahari masih mampu menembus tubuh air hingga sampai dasar
cekungan sedimentasi Ditempat ini dicirikan juga oleh banyak biomassa organik, melimpahnya
nutrisi dan berbagai macam kehidupan mikro. Material sedimen terdiri dari yang berukuran butir
pasir halus yang bersih terpilah baik dan kaya material organik. Namun demikian sering juga
terdapat butir sedimen yang berukuran lanau hingga lempung. Beberapa tempat mungkin sekali
terbentuk lingkungan reduksi yang dicirikan dengan pembentukan gambut. Foraminifera resen
dengan test agglutine, berkembang cukup baik. Foraminifera dengan dinding test hyaline dan
porcelin jarang dijumpai.
(3). Lingkungan epineritik
Merupakan lingkungan yang selalu dipengaruhi oleh air pasang dan air surut. Ditempat ini terjadi
agitasi yang membuat material penyusun sedimen tercuci oleh gerakan gelombang laut sehingga
menjadi bersih. Material pembentuk sedimen didominasi berukuran butir pasir kadang-kadang
bercampur dengan ukuran lanau ataupun ukuran lempung. Materal organik sebagai producers tidak
melimpah. Foraminifera benthos bila ditemukan mempunyai test dengan ukuran kecil, didominasi
oleh beberapa spesies dengan komposisi agglutine. Foraminifera plangton hampir tidak pernah
dijumpai.
(4). Lingkungan neritik
Lingkungan neritik mulai dari daerah surut laut terendah hingga kedalaman 200 meter. Pada kolom
air setebal 200 meter ini, sinar matahari mampu menembus hingga dasar laut. Daerah ini dikenal
sebagai daerah photic. Namun demikian daerah photic yang paling potensial hanya hingga
kedalaman 100 meter saja. Daerah photic untuk masing-masing tempat tidak sama, tergantung pada
kekeruhan atau turbiditas air laut. Pada umumnya makin tinggi tingkat kekeruhan air laut makin
dangkal kedalaman daerah photic. Ditempat yang demikian, semua jenis mikroflora dan mikrofauna
yang dapat bertindak sebagai producers berkembang cukup baik, fluktuasi temperatur, turbiditas
cukup bervariasi. Salinitas cukup bervariasi namun masih berkisar pada normal marine.Pada
lingkungan ini pergerakan gelombang laut cukup dinamis, makin dekat dengan permukaan laut
dinamika gelombang laut makin kuat. Material pembentuk sedimen mempunyai ukuran butir
pasir, lanau hingga lempung. Dasar cekungan sedimen dapat berupa material lepas, dasar batuan
yang keras sering bersifat karbonatan ataupun tumbuhan laut antara lain dalam bentuk rumput laut,
ganggang laut ataupun algae. Foraminifera benthos berkembang cukup baik seirama dengan makin
pesatnya producers. Jenis Foraminifera benthos dengan test agglutine masih didapatkan namun
ukuran testnya relatif kecil, sedang jenis benthos yang lain dengan komposisi hyaline semakin
banyak, disusul dengan keberadaan Foraminifera dengan test porcelin. Jenis Foraminifera besar
mulai berkembang di daerah dekat reef. Beberapa jenis Foraminifera plangton khususnya yang
termasuk kelompok Globigerina berkembang cukup baik. Pada lingkungan neritik bagian atas sering
terbentuk lingkungan lagoon. Lingkungan yang demikian dicirikan oleh perubahan tingkat salinitas
seirama dengan terjadinya proses transgresi dan regresi. Kondisi lingkungan lagoon dicirikan oleh
muncul dan berkembangnya Foraminifera dengan test porcelain, sedang ciri lingkungan laut
terbuka ditandai dengan semakin banyaknya Foraminifera plangton. Kedalaman lingkungan
sedimentasi dapat diinterpretasikan dengan nilai PB ratio (perbandingan jumlah individu
Foraminifera plangton dibagi dengan total individu Foraminifera plangton dan Foraminifera
benthos).
(4). Lingkungan bathyal
Lingkungan mempunyai kedalaman 200 meter hingga 1.000 meter yang disebut sebagai lingkungan
bathyal bagian atas, dan kedalaman 1.000 meter hingga 3.000 meter yang disebut sebagai
lingkungan bathyal bagian bawah. Lingkungan bathyal dicirikan oleh material sedimen dengan
butiran halus. Pada kedalaman ini termasuk lingkungan aphotic, dimana sinar matahari sudah tidak
dapat menembus kolom air laut. Fluktuasi temperatur, turbiditi, salinitas, dan kimia air laut relatif
rendah . Ditempat yang demikian seolah – olah merupakan dunia yang gelap, tanpa cahaya, dengan
kondisi air laut yag relatif tenang. Perkembangan organisme yang merupakan asal producers
menjadi sangat terbatas. Hal ini akan berakibat jumlah spesies Foraminifera benthos menjadi sedikit
dengan ukuran test yang relatif kecil. Foraminifera plangton khususnya yang mempunyai komposisi
test hyaline berkembang cukup pesat dengan ukuran test yang relatif cukup besar. Konsep CCD
tampaknya belum berperan dengan nyata, terhadap test Foraminifera plangton (yang sudah mati)
sehingga masih dijumpai test Foraminifera plangton khususnya yang berdinding test hyaline cukup
melimpah. Tingkat resistensi test Foraminifera benthos terhadap CCD tampaknya lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat resistensi test Foraminifera plangton. Oleh sebab itu ditempat yang
demikian masih tetap dijumpai test Foraminifera benthos (yang sudah mati) dalam jumlah yang
relatif banyak kurang lebih sama dengan perkembangkan Foraminifera plangton.
(5). Lingkungan abyssal
Lingkungan abyssal mempunyai kedalaman dasar laut lebih dari 3.000 meter. Pada kedalaman ini
boleh dikatakan laut dalam lingkungan yang tenang, tidak ada gerakan air atau gelombang yang
berarti. Pada kedalaman ini peranan CCD telah mampu melarutkan sebagian besar test
Foraminifera plangton yang bersifat karbonatan. Oleh sebab itu jumlah test Foraminifera benthos
yang diendapkan didasar laut relatif lebih banyak dibandingkan dengan jumlah test Foraminifera
plangton. Beberapa spesies Foraminifera benthos yang mempunyai dinding test arenaceous masih
dapat ditemukan pada kedalaman ini. Meskipun demikian, keadaan lingkungan laut terbuka
dicirikan oleh keberadaan Foraminifera plangton.
Beberapa spesies Foraminifera benthos yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk kedalaman
lingkungan sedimentasi antara lain:

Tabel 3.2. Asosiasi fosil Foraminifera Lingkungan sedimentasi (Haynes, 1981)

Lingkungan sedimentasi Kelompok Foraminifera benthos


Marshes Ammoastuta insepta, Ammonium solsum, Arenoparella mexicana,
Discorinopsis aguayoi, Jamdammina polystoma, Miliammina fusca,
Palmerinella palmerae, Tiphotrocha comprinata, Trochammina inflata.
Lagoon Ammobaculites dilalatus, Ammpunia beccarii, Bolivina stratulla,
Elphidium gunteri.
Open ocean, inner neritic, Elphidium advenum, E.discoidale, E.poeyanum, Epistomella vitrea,
0-100 feet, euryhaline Hanzawaia strattoni, Palmerinella gardenis landensis
Inner neritic, 0-100 feet, Quinqueloculina poeyama, Q.tenagos, Amphistegina lessonii, Archaias
stenohaline angulatus, Asterigerina carinata, Eggerella advena
Middle neritic Bigenerina irregularis, Buliminella bassendorfensis, Cassidulina
subglobosa, Nonionella atlantica, Nonionella opima, Rosalina concinna,
R.floridana, Cibicides sp.aff.C.floridanus, Goesella mississippiensis,
Textularia barrettii, Uvigerina peregrine parvula.
Outer neritic Bolivina subaenariensis Mexicana, Globobulimina ovula, Marginulina
marginilinoides, Pseudoclavulina Mexicana, Siphonina pulchra,
Uvigerina auberriana laevis, Bulimina marginata, Cribrostomatoides
scitulus, Cibicides caorpullenstus, Dentalina sp., Gaudryna atlantica,
Liebusella soldanii, Planulina faveolata, Pullenia quinqueloba, Siphonina
bradyana, Uvigerina flintii
Upper bathyal Bulimina striata Mexicana, Glomospira choides, G.gordialias,
Rotamorphina laevigata, Sphaeroidina bulloides, Uvigerina peregrine
peregrine peregrine, Bolivina plicata, Uvigerina hispidocostata,
Strononion tumidum, Planulina arimiensis, Valvulineria Mexicana,
Bulimina alazanensis, Osangularia culter, Gyroidina soldanii altiformias.
Middle bathyal Cyclammina cancellata, Hoeglundina elegans, Cassidella tessellate,
Chilostomella oolina, Cibicides rugosus, Globobulimina affinis,Gyroidina
orbicularis.
Lower bathyal Cibicides robertsonianus,C.wuellerstorfi, Rhabdamina linearis,
Sigmoilopsis schlumbergeri, Tolypammina schaudinni, Laticarinina
pauperata, Pullenia bulloides, Pyrgo murrhina, Trochammina globusa,
Cribrostomoides subglobosus,C.bradyi, Eopinides polius, Melonis
barleanus, Oridorsalis umbonatus, Uvigerina hispida.
Abyssal Astrorhiza crassatina, Bulimina rostrata, Epoinides tumidulus, Reophax
nodulosus, R.pilufer, Uvigerina ampullaceal, Eggerella bradyi, Gyroidina
soldanii, Melonis pompilioides, Uvigerina senticosa, Francesita advena,
Cibicides kullenburgi, Pleurostomella acuminate,P.alternans,
Stilostomella antilea, Bathysiphon sp., Cribrostomoides bradyi,
Recurvoides turbinatus.

Berkaitan dengan kandungan Foraminifera dan kaitannya dengan paleoekologi, Haynes (1981)
menyebutkan antara lain:
 Trochammina, Jadammina, Haplophragmoides dengan dinding test tipis dan berukuran
butiran halus menunjukkan lingkungan marginal marine atau lingkungan daerah pinggiran
laut. Reophac, Ammobacultes uncoiled (dengan test tidak terputar) bersama dengan
Miliammina, khas untuk lingkungan marsh (air payau) atau rawa.
 Rhabdammina sebagai indikator lingkungan abyssal, sedang Bathysiohon pernah ditemukan
pada kedalaman lebih dari 4.000 meter.
 Asosiasi Haplophragmoides, Trochammina. Miliammina dan Ammobaculites sebagai
indikator lingkungan daerah pinggiran laut.
 Dijumpainya sedikit spesies Foraminifera dengan dinding test arenaceous (diantara lapisan
batubara dan fosil tumbuhan) menunjukkan lingkungan delta front ( dibagian depan delta)
dengan salinitas rendah
 Dijumpai spesies Foraminifera terbatas dengan dinding test arenaceous saja menunjukkan
lingkungan prodelta atau inner neritic (foreset beds) dengan salinitas dan kandungan
oksigen yang rendah
 Dominan Foraminifera dengan dinding test arenaceous menunjukkan lingkungan prodelta
atau inner neritic, normal marine
 Dominan Foraminifera plankton menunjukkan offshore (bottomset beds) moderate depth,
normal marine
 Ditemukan Foraminifera dengan dinding test porcelin mencirikan lingkungan laut dangkal,
kandungan karbonat tinggi dalam suasana hypersaline

Tabel 3.3. Asosiasi Nodosariida versus kedalaman

Laut dangkal (shallow) atau brackish (Euguttulida liassica/Astacolus stillus),(Lingulina


tenera/Eoguttulina liassica)
Laut terbuka dekat pantai (open marine near (Lingulina tenera/Astocolus stillus), (Astocolus
shore) stillus/Lingulina tenera)
Laut terbuka (open marine) Marginulina prima/Lingulina tenera), (Brizalina
liassic/ Marginulina prima)
Laut terbuka dan dalam (most open marine, (Rheinholdella/Brizalina liassina/(Lenticulina
deepest) gottingensis/Rheindella)

Lebih lanjut disebutkan oleh Boersma (dalam Haq & Boersma, 1983) pada tingkatan genus asosiasi
Foraminifera tertentu juga dapat dipakai sebagai fosil indeks bathymetri (tabel 6.3)
Tabel 3.4. Asosiasi Foraminifera kaitannya dengan kedalaman lingkungan sedimentasi resen
Lingkungan Tingkat genus dominan
Zone brackish (photic zone) Trochammina, Vulvulineria, Ammobaculites + Foraminifera
plangton
Inner shelf (photic zone) Nonionella, Siphonina, Trochammina, Amonia,
Quinqueloculina+ Foraminifera plangton
Deep inner shelf (photic zone) Discorbinella, Eponides, Lenticulina, Textularia+ Foraminifera
plangton
Middle shelf (photic zone) Lenticulina, Liebucella+ Foraminifera plangton
Outer shelf (photic zone) Bolivina, Bulimina, Discorbis, Nodosaria, Globigerina
Continental slope (aphotic zone) Globigerina, Globorotalia, Globigerinoides, Pyrgo, Nodosaria,
Epistominella
Abyssal zone (aphotic zone) Bentuk sederhana Foraminifera dengan test agglutinate

Penelitian ditempat lain oleh Courtesy, Berggren & Aubert (dalam Haq & Boersma, 1983)
mendapatkan asosiasi fosil Foraminifera sebagai berikut:
Tabel 3.5. Asosiasi Foraminifera penunjuk kedalaman sedimentasi endapan Tersier
Tempat penelitian Asosiasi
Early Tertiery deeper shelf dari Angola Cibicides, Anomalina, Osangularia, Bolivina,
Gavelinella, Anomalina, Loxostomoides
Early Tertiary outer shelf dari Tunisia Gavelinella, Dentalina, Gyroidina, Vaginulinopsis,
Tritaxis, Alabamina, Anomalina, Tappanina,
Marginulinopsis, Osangularia.
Tertiary benthic foraminifera association the slope Osangularia, Uvigerina Pullenia, Bolivina,
to abyssal Gyroidina, Trochammina, Cibicides, Anomalina,
Stilostomella, Oridosalis.
3.1. PARAMETER FISIKA
Parameter fisika merupakan salah satu faktor abiotis yang berperan dalam penyebaran dan
perkembangbiakan Foraminifera plangton maupun Foraminifera benthos. Parameter fisika tersebut
antara lain:
(1). Temperatur
Temperatur merupakan faktor penentu dalam perkembangan Foraminifera. Khususnya Foraminifera
benthos dijumpai hidup pada lingkungan laut dengan suhu 1O hingga lebih dari 50O C. Foraminifera
yang hidup di daerah dingin menempati dasar samudra dan pada daerah dengan garis lintang tinggi
(makin jauh dari equator) . Foraminifera yang hidup di lingkungan panas berada di daerah tropik dan
daerah dengan garis lintang rendah (dekat equator) hingga 23o30’ yaitu merupakan garis balik lintang
utara dan garis balik lintang selatan. Daerah sesudah garis balik lintang, temperatur laut dapat berubah
menjadi lebih dingin seirama dengan posisi matahari. Adanya perbedaan temperatur air laut dapat
mengakibatkan terbentuknya arus laut. Timbulnya arus laut ini akan menyebarkan producers sebagai
penghasil bahan makanan untuk mikroorganisme termasuk Foraminifera dan penyebaran Foraminifera
plangtonik itu sendiri. Oleh sebab itu keberadaan fosil Foraminifera plangtonik dalam batuan sedimen
ditafsirkan batuan sedimen tersebut diendapkan pada lingkungan laut terbuka (open marine), sedang
keberadaan Foraminifera benthos pada batuan sedimen ditafsirkan batuan tersebut diendapkan dalam
lingkungan laut dangkal. Berikut disebutkan Foraminifera plangton yang mencirikan lingkungan
berkaitan dengan suhu.
Tabel 3.6. Foraminifera plangton sebagai indeks temperatur
Spesies Subarctic fauna Transitional fauna Central fauna Equatorial-Central
Foraminifera fauna
Globigerina ++++++++++++++
pachyderma
Globigerinoides cf ++++++++++++++
minuta
Globigerina ============== ++++++++++++++ ++++++++++++++ ++++++++++++++
quinqueloba
Globigerina ============== ++++++++++++++ ++++++++++++++ ++++++++++++++
bulloides
Globigerina eggeri ============== ++++++++++++++ +++++++++++++++
(small)
Globigerina
glutinata
Globigerina eggeri
(large)
Orbulina universa
Globorotalia
scitula
Globigerinoides
rubra
Globigerinella
aequilateralis
Globigerina spp
Globigerina
hexagona
Hastigerina
pelagica
Globorotalia
truncatulinoides
Globigerina inflata
Candeina nitida
Globigerinoides
sacculifera
Globorotalia
menardii
Globigerinoides sp
Globigerinoides
conglobata
Globorotalia
tumida
Globorotalia
hirsuta
Pulleniatina
obliquiloculata
Globigerinella sp
Sphaeroidinella
dehiscens
Globigerina
conglomerata
Hastigerinella
digitata
Sumber: Loeblich & Tappan, 1964 Part C hal C127.
(2).Tekanan hidrostatik
Tekanan hidrostatik juga mempengaruhi perkembangan Foraminifera khususnya Foraminifera benthos.
Tekanan hidrostatik secara tidak langsung berpengaruh pada keberadaan karbon dioksida (CO2) yang
terlarut dalam air laut, yang secara tidak langsung pula berpengaruh pada pembentukan kalsium
karbonat (CaCO3) sebagai bahan pembentuk test Foraminifera. Keberadaan karbon dioksida dalam air
laut merupakan salah satu dari hasil samping metabolisme organisme fauna laut. Makin banyak
organisme laut berada, terutama dilingkungan producers, utamanya di daerah photik akan makin
banyak karbon dioksida dihasilkan. Dalam metabolisme pada flora laut, baik yang merupakan
mikroorganisme maupun makroorganisme akan menghasilkan oksigen (O2) sebagai hasil samping yang
diperlukan oleh organisme fauna untuk kelangsungan hidupnya. Dengan demikian keberadaan simbiose
antara flora dan fauna laut akan saling melengkapi. Makin banyak flora laut makin banyak pula
oksigen yang dihasilkan dan karbon dioksida yang diperlukan. Fauna mikro, termasuk Foraminifera
mampu berkembangbiak cukup pesat, dengan catatan lingkungannya masih terjangkau oleh sinar
matahari.
3.3. PARAMETER KIMIA
Salah satu parameter kimia pada air khususnya air laut yang perlu diperhatikan adalah salinitas.
(1). Salinitas
Sering disebut dengan istilah kadar garam, merupakan ukuran tingkat kelarutan NaCl dalam air, diukur
dengan ppm (part per million/per seribu ). Nilai kadar garam di air laut berkisar pada nilai 33 ppm,
berada pada rentang nilai salinitas air laut normal, disebut pula dengan istilah normal marine. Tabel 3.6.
menunjukkan berbagai jenis tingkatan salinitas air
Tabel 3.7. Tingkat salinitas air

Terminologi Nilai salinitas (dalam ppm atau permil)


Air tawar (fresh water) 0-0,5
Air setengah tawar/setengah asin (brackish water) 0,5-30
Air asin/air laut (sea water/ normal marine) 30-40
Air keliwat/lebih asin (hypersaline water) 40-80
Air garam (brine) Lebih dari 80

Hyposaline adalah tingkat salinitas yang berada di bawah normal marine. Lingkungan muara sungai
merupakan lingkungan dengan suasana brackish. Laut terbuka didominasi dengan normal marine,
sedang lingkungan lagoon dan Laut Mati merupakan lingkungan hypersaline. Tempat-tempat
pembuatan garam dapur (air laut yang diuapkan, dengan rumus kimia NaCl) merupakan lingkungan
brine. Ditempat yang demikian organisme mikro termasuk Foraminifera tidak tahan hidup. Pada
umumnya golongan Foraminifera dengan dinding test porceline mampu hidup pada lingkungan yang
hypersaline.
Klasifikasi tingkat kadar garam yang dikenal denga istilah Venice System, yang dadopsi oleh Symposium
of the classification of brackish waters, diusulkan oleh Venice (1958) adalah sebagai berikut:
Hypersaline lebih besar (>) 40 ppm
Euhaline 30-40 ppm
Mixohaline 0,5-30 ppm
Fresh lebih kecil (< )0,5 ppm
Dalam hal ini, kadar garam pada tingkat mixohaline, oleh beberapa ahli dibagi menjadi beberapa
subtype, sehingga klasifikasi menjadi sebagai berikut:
Ultrahaline Lebih besar (>) 75 ppm
Hyperhaline 40-75 ppm
Euhaline 30-40 ppm
Mixohaline 18-30 ppm
Brackish 0,5-18 ppm
Fresh lebih kecil (<) 0,5 ppm

Perubahan salinitas air laut akan berpengaruh pada variasi perkembangbiakan semua organisme
yang hidup di laut termasuk Foraminifera. Meskipun demikian, hal ini sangat tergantung pada jenis
Foraminiferanya. Istilah stenohaline diaplikasikan pada organisme dengan toleransi tingkat kadar
garam yang sempit (terbatas), artinya Foraminifera sulit untuk hidup dan berkembang, serta
beradaptasi. Euryhaline dipergunakan untuk organisme dengan toleransi tingkat kadar garam yang
cukup lebar, artinya Foraminifera dapat hidup dan berkembang, dan mempunyai tingkat adaptasi yang
cukup besar. Foraminifera ada yang bersifat stenohaline dan ada yang bersifat euryhaline. Perubahan
salinitas air laut akan sangat berpengaruh pada perkembangan organisme Foraminifera, dapat
berakibat organisme berkembang kerdil, yang dikenal dengan istilah drawfed fauna. Kekerdilan
Foraminifera terutama terjadi bila berada pada lingkungan laut dengan tingkat salinitas rendah. Hal ini
dicirikan oleh ukuran test Foraminifera yang relatif kecil, dinding test yang relatif tipis atau terjadi
reduksi pada hiasan test (ornamentation). Bradshaw (1966) mempelajari dampak dari perubahan
lingkungan salinitas air laut pada perkembangan Ammonia, diperoleh hasil pada hubungan langsung
antara salinitas dan ukuran test. Salinitas yang rendah berkorelasi dengan reduksi ukuran test.
Foraminifera umumnya menempati lingkungan laut dengan tingkat salinitas antara 35 permil hingga 45
permil. Genus Discorbinopsis ditemukan pada salinitas hingga 57 permil. Terdapat lingkungan yang
sangat ekstrem, yaitu lingkungan sungai dan estuary yang mempunyai tingkat salinitas bervariasi antara
15 permil hingga 0,5 permil, pada tempat yang demikian sering masih ditemukan Foraminifera. Namun
demikian, makin rendah tingkat salinitas air laut akan makin sedikit keragaman Foraminifera yang
hidup ditempat seperti itu.

(2). Alkalinitas
Alkalinitas merupakan sifat kimia lain yang dapat mempengaruhi perkembangan Foraminifera. Sifat
alkalinitas merupakan gambaran dari kemampuan air laut dalam melarutkan kalsium karbonat (CaCO3).
Sebagai fungsi keberadaan CO2 dalam air, alkalinitas utamanya dikendalikan oleh temperatur, tekanan
dan proses biologi terutama pada proses respirasi. Pada kedalaman air laut kurang dari 500 meter, air
laut dapat dikatakan kaya akan CO2 yang menunjukkan tingkat salinitas tinggi. Ini berarti kedua ion Ca
dan ion CO3 terdapat dalam jumlah yang banyak, dan siap untuk bereaksi membentuk kalsium
karbonat. Dibawah kedalaman 500 meter, air laut bertendensi melarutkan kalsium karbonat yang
merupakan test Foraminifera, Dibawah kedalaman ini penurunan alkalinitas bertendensi melarutkan
kalsium karbonat. Sejalan dengan penurunan alkalinitas dan meningkatnya kedalaman (=peningkatan
CO2, tekanan dan penurunan temperatur) dapat berakibat pada kedalaman yang lebih besar, kalsium
karbonat belum juga larut. Dalam hal ini dikenal istilah Carbonate Compensation Depth (CCD). CCD
adalah kondisi lingkungan kedalaman dasar laut yang mampu melarutkan kalsium karbonat (yang
merupakan test Foraminifera) yang hidup didasar laut. Perlu diketahui bahwa tingkat resistensi test
Foraminifera sangat tergantung pada jenis komposisi test Foraminifera, dan dapat berbeda antara
Foraminifera plangton dan Foraminifera benthos. Hasil penelitian membuktikan bahwa:
 Test Foraminifera plangtonik akan lebih mudah larut dibandingkan dengan test Foraminifera
benthos.
 Ornamentation akan larut lebih awal, dinding test dan bagian yang lain akan larut kemudian.
 Spine yang merupakan bagian dari test Foraminifera lebih resisten dibandingkan dengan
dinding test.
 Pada kedalaman 5.000 meter merupakan kedalaman kritis, artinya hampir semua test
Foraminifera plangtonik sudah larut. Kedalaman kritis didaerah garis lintang yang rendah dan
tengahan, artinya dekat dengan garis equator dan dekat garis balik Lintang Selatan maupun
Lintang Utara ternyata lebih dalam bila dibandingkan dengan daerah pada garis lintnag yang
lebih tinggi (artinya makin mendekati daerah kutub).
 Ada hal yang cukup menarik, yaitu untuk Foraminifera benthos yang dalam keadaan hidup, test
yang ada diselimuti protoplasma sehingga mampu berada pada kedalaman yang cukup tinggi.
 Pada kedalaman 4.500 hingga 5.000 meter, hampir semua test Foraminifera yang terdiri dari
kalsium karbonat boleh dikatakan sudah larut semua, yang tersisa adalah test Foraminifera
yang mempunyai komposisi agglutinate.
Apabila Foraminifera plangton telah mati, testnya segera mengendap melalui kolom air menuju kedasar
laut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Berger & Piper (1972) menunjukkan ada perbedaan kecepatan
dalam proses pengendapan menuju kedasar laut (tempat sedimentasi). Adapun urutan kecepatannya
adalah sebagai berikut:
Tabel 6.7. Urutan kecepatan tenggelam test Foraminifera plangtonik, mulai cepat (rapidly sinking)ke
lambat (low sinking).
1 Globorotalia tumida (paling cepat) 2 Pulleniatina obliqueloculata
3 Sphaeroidinella dehiscens 4 Globoquadrina conglomeratae
5 Globorotalia inflate 6 G.crassaformis
7 Globigerina pachyderma 8 G.falconenis
9 Globoquadrina dutertrei 10 Globigerinoides conglobatus.
11 Globorotalia menardii 12 G. truncatulinoides
13 G.hirsuta 14 Globigerinoides tenellus.
15 Globigerinoides sacculifera 16 G.ruber
17 Globigerinella siphonifera 18 Globigerina calida
19 Globigerina bulloides 20 G.rubescens
21 Globoquadrina hexagona 22 Globigerinita iota
23 G.glutinata 24 Orbulina universa
25 Globigerina digitata 26 Candeina nitida
27 Hastigerina pelagic (paling lambat)

Makin lambat tenggelamnya (low sinking), test Foraminifera plangtonik maka testnya makin
bertendensi larut, sehingga test Foraminifera plangtonik akan dijumpai makin relatif sedikit.

Meskipun kecepatan tenggelamnya test Foraminifera plangtonik juga ditentukan oleh tebal, keberadaan
dan keseragaman pori-pori, hasil penelitian ini paling tidak dapat menjelaskan mengapa fosil
Foraminifera plangtonik dengan nomor urutan kecil pada tabel tersebut diatas banyak dijumpai (dalam
kuantita) pada sampel batuan.

Parker & Berger (1971) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa test Foraminifera plangtonik
mempunyai tingkat resistensi yang berbeda dalam hal tingkat kelarutan didalam air laut. Lebih lanjut
Berger menjelaskan, peristiwa kelarutan pada test Foraminifera plangtonik dapat terjadi pada semua
tingkat kedalaman kolom air laut, yang paling intensif terjadi pada kedalaman lebih dari 1.000 meter,
namun pasti terjadi pada kedalaman 3.000 himgga 5.000 meter. Perhatikan tabel berikut ini

Tabel 6.8 Tingkat kelarutan test Foraminifera plangtonik ketika berada di kolom air laut (mulai dari yang
paling tidak resisten (least resistant) hingga paling resisten (most resistant)

1 Hastigerina pelagica (kurang resisten) 2 Globorotalia anfracta


3 Globigerinoides ruber 4 Globigerina rubescens
5 Globigerinoides tennelus 6 Globigerinella siphonifera
7 G.adamansi 8 Globigerinoides sacculifer
9 G.conglobatus 10 Globigerina quiqueloba
11 G.bulloides 12 G.calida
13 Globorotalia fimbriata 14 Globigerinita uvula
15 G.glutinata 16 G.iota
17 Globorotalia sp.A 18 G.sp.B
19 Globigerina falconensis 20 Candeina nitida
21 Orbulina universa 22 Globorotalia scitula
23 Globorotali hexagona 24 Globigerina digitata
25 Globoquadrina conglomerata 26 Globorotalia hirsuta
27 G.truncatulinoides 28 G.inflata
29 G.crassaformis 30 G.cultrata
31 Globoquadrina dutertrei 32 Globigerina pchyderma
33 Globorotalia pumilio 34 Pulleniatina obliquiloculata
35 Sphaeroidinella dehiscens 36 Globorotalia tumida (paling resisten)
37 Turborotalia humilis

Tingkat resistensi dinding test Foraminifera plangtonik juga ditentukan oleh ketebalan, keberadaan dan
keseragaman pori-pori. Disamping itu sifat kimia (alkalinitas dan salinitas air laut) juga akan ikut
berperan dalam proses pelarutan. Keberadaan contoh batuan pada kedudukan lintang (Lintang Utara
dan Lintang Selatan) pengaruhnya pada keberadaan individu Foraminifera juga perlu mendapat
perhatian.

Makin resisten dinding test Foraminifera plangtonik (pada tabel ditunjukkan dengan urutan nomor
makin besar), akan makin banyak dijumpai test Foraminifera plangtonik tersebut sebagai fosil. Dari tabel
tersebut juga dapat menjelaskan mengapa tingkat kelimpahan fosil pada nomor urut dengan angka
besar dibandingkan dengan kelimpahan fosil pada nomor urut dengan angka kecil, tampaknya berbeda
pada sampel batuan. Dengan kata yang lebih singkat dengan mengacu pada tabel tersebut dapat
menjelaskan tingkat fertilitas fosil pada sampel yang dapat berbeda-beda.
Catatan

Boltovskoy mengamati lebih lanjut bahwa Hastigerina pelagica yang terawetkan pada pH air laut yang
rendah pada sampel yang diambil dari equatorial Pasifik keadaannya lebih baik bila dibandingkan
dengan spesimen Globigerinides dan Globorotalia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

 H.pelagica dinding testnya memiliki pori-pori relatif kecil dengan tingkat kerapatan rendah.
Meskipun Pulleniatina obliquiloculata memiliki kesamaan pada tingkat kerapatan dan diameter
pori-pori, tingkat resistensinya tampak lebih rendah meskipun dinding testnya tampak lebih
tebal. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lain selain keberadaan pori-pori dan ketebalan
dinding test yang mempengaruhi kecepatan tingkat kelarutan.
 H.pelagica yang masih hidup memiliki lapisan protoplasma yang membungkus seluruh testnya.
Ketika H.pelagica mati, lapisan protoplasma ini masih tetap ada dan dapat melindungi dinding
test dari proses pelarutan. Boltovskoy & Lena (1970a) menunjukkan bahwa lapisan protoplasma
ini baru akan mengalami dekomposisi sekitar beberapa minggu hingga beberapa bulan, dan
selama itu test H.pelagica tetap terlindungi dari proses kelarutan. Dengan demikian, H.pelagica
paling tidak pada sampel batuan menampilkan lebih resisten dibandingkan dengan jenis
Foraminifera plangtonik lainnya. Ketidak hadiran H.pelagica pada sampel dasar laut lebih
disebabkan oleh karena tingkat fragility (mudah rusak) pada testnya bila dibandingkan dengan
tingkat kelarutan test yang relatif tinggi. Keadaan anomali ini yang perlu penjelasan lebih lanjut
dengan didukung berbagai penelitian berkaitan dengan sifat fisika dan kimia air laut yang sangat
mungkin menampakkan perbedaan.

Tidak perlu diragukan lagi bahwa, trace element dan nutrisi elemen diperlukan dalam perkembangan
test Foraminifera baik untuk Foraminifera benthos maupun Foraminifera plangton.. Dalam
pembentukan test Foraminifera, tampaknya memerlukan unsur Ca, Fe, Si, Mg, Sr dan Ti, namun tidak
diketahui dengan pasti berapa kuantita yang diperlukan. Elemen dalam hal sebagai nutrisi yang
terlarut dalam air laut antara lain bikarbonat, posphat dan nitrat. Pengetahuan tentang berapa jumlah
nutrisi yang diperlukan oleh Foraminifera belum banyak diketahui. Genus Bulimina dan Bolivina
memerlukan konsentrasi nutrisi yang cukup tinggi, namun beberapa jenis menunjukkan kenaikan
konsentrasi nutrisi dapat berakibat penurunan jumlah spesies, namun meningkatkan jumlah individu.
Lingkungan dengan nutrisi tinggi meskipun terdapat oksigen dalam jumlah sedikit, diperlukan dalam
proses dekomposisi material organik untuk mendapatkan nutrisi. Terdapat suatu indikasi bahwa
penyebaran Foaminifera benthos tertentu antara lain Bulimina, Bolivina dan Uvigerina (dan beberapa
jenis Foraminifera plangton) mampu beradaptasi pada lingkungan dengan kandungan oksigen terbatas,
namun tidak demikian halnya dengan kandungan nutrisi.

Kesimpulan yang dapat diambil bahwa perkembangan Foraminifera ditentukan oleh banyaknya elemen
nutrisi bukan oleh keberadaan oksigen yang berlimpah.

Mempelajari Foraminifera hidup sungguh cukup menarik. Jumlah individu Foraminifera benthos kurang
lebih terdapat 1.000 hingga 2.000 individu tiap satu meter persegi dasar laut. Bila lingkungan terlalu
banyak Foraminifera, sebagian akan melakukan migrasi ke tempat lain. Beberapa jenis Foraminifera
diindikasi bersifat simbiose parasitis ataupun simbiose mutualistis. Seperti dilaporkan oleh Lipp dan
Valentine (1970) vide Haq dan Boersma (1983) , Foraminifera bersifat herbivores maupun carnivores.
Kondisi parasitis oleh Gastropoda dan Nematoda ditunjukkan oleh Silver (1970), dimana tampak
dinding test Foraminifera berlubang dalam usaha untuk menyedot protoplasma dari dalam test
Foraminifera. Sifat simbiose antara Foraminifera dengan algae yang dikenal dengan istilah zooxanthelle
tampaknya sangat umum. Foraminifera plangton dapat hidup dan berkembang pada kedalaman hingga
200 meter tanpa keberadaan makanan sejauh mereka hidup bersimbiose dengan algae. Terketahui
lebih lanjut bahwa Foraminifera semakin banyak jumlahnya pada saat terjadi algal bloom (peledakan
pertumbuhan algae)

Mempelajari ekologi Foraminifera plangton, keadaannya serupa dengan jenis organisme yang lain.
Mereka juga tergantung pada suatu sistem air yang sangat komplek. Sistem air tersebut meliputi
temperatur dan salinitas lingkungan air laut. Keduanya disebut dengan istilah water mass, yang dapat
berbeda antara satu tempat dengan lain tempat. Seperti diketahui Foraminifera plangton hidup pada
kolom air laut hingga kedalaman lebih dari 1.000 meter. Kerapatan jumlah individu Foraminifera
plangton dilaporkan hanya 10 individu/meter kubik alir laut. Penyebaran individu Foraminifera dapat
berubah seirama dengan keadaan harian atau musim, yang merupakan fungsi dari kepekatan air laut
dimana Foraminifera hidup dan beradaptasi. Pada musim lebih dingin atau pada daerah dengan lintang
yang lebih tinggi, hampir semua spesies hidup dekat dengan permukaan laut, bila dibandingkan pada
musim/lingkungan yang lebih hangat atau pada daerah dengan lintang yang rendah (dekat equator) .
Penelitian selanjutnya, melaporkan bahwa Foraminifera plangton yang masih muda (juvenail) dan
spesies yang mempunyai banyak hiasan dalam bentuk duri (spinose species) hidup lebih dekat
permukaan, sedang Foraminifera plangton non-spinose atau yang halus (smooth test) hidup pada
lingkungan yang lebih dalam. Namun demikian, dilaporkan lebih lanjut bahwa kedalaman, penyebaran
kelompok Foraminifera dengan permukaan test yang halus ataupun yang spinose dilingkungan laut
selama Paleogene tidak sama dengan keadaan masa kini. Oleh sebab itu analogi kesamaan antara
lingkungan laut pada masa Paleogen dengan masa sekarang tidak sepenuhnya dapat diterapkan.
Meskipun demikian, masih terdapat kemiripan, yaitu individu spesies dengan ukuran test yang kecil
pada umumnya hidup pada lingkungan laut yang lebih dingin atau berada pada daerah dengan garis
lintang tinggi (misal Globigerina pachyderma) dan menjadi individu spesies yang lebih besar bila berada
pada lingkungan laut yang lebih hangat atau berada pada daerah dengan garis lintang yang rendah
(dekat equator, misal Pulleniatina, Globotruncana). Keberagaman (diversity) yang rendah akan terjadi
pada lingkungan garis lintang yang tinggi , dan menjadi meningkat pada lingkungan yang mendekati
katulistiwa. Beberapa spesies dari Foraminifera plangton (Chilogumbelina, Heterohalix), mampu hidup
pada lingkungan laut yang kekurangan oksigen, dan mampu mentoleransi pada lingkungan dengan
kandungan oksigen yang rendah.Asosiasi Foraminifera yang termasuk dalam kelompok Nodosariida
menunjukkan lingkungan sebagai berikut:

3.4. IINTERPRETASI KEDALAMAN LINGKUNGAN SEDIMENTASI


Boltovskoy &Wright (1976) meneliti penyebaran genus Foraminifera versus kedalaman. Dari asosiasi
Foraminifera benthos dapat dimanfaatkan untuk interpretasi paleokologi yang berkaitan dengan
kedalaman lingkungan sedimentasi masa lampau. Fosil-fosil sebagai indeks kedalaman adalah sebagai
berikut:
Tabel 6.9. Genus Foraminifera versus kedalaman (Boltovskoy & Wright, 1976)

Genus Near shore Outer shelf Bathyal zone Bathyal zone Abyssal
zone and (70-200 (transition)(200- (1.000-3.000 (>3.000
inner shelf (0- meter) 1.000 meter) meter) meter)
70 meter)
Acervulina +
Allomorphina + +
Alveolinella +
Alveolophragmium + + +
Amphistegina +
Angulogerina + + + + +
Archaias +
Asterigerina +
Baculogypsina +
Bathysiphon + + + +
Bigenerina + + +
Bolivina + + + + +
Borelis +
Bucella + +
Bulimina + + + + +
Buliminella + + + + +
Calcarina +
Cancris +
Cassidulina + + + + +
Chilostomella + + + +
Cibicides + + + + +
Cornuspira + + +
Cribrostomoides + + + + +
Cyclammina + + + +
Dentalina + + + + +
Discorbis + + +
Ehrenbergina + + + + +
Elphidium +
Epistominella + + + + +
Eponides + + + + +
Fissurina + + + + +
Gaudryna + + +
Glabratella +

Tabel 3.2 (lanjutan)

Globobulimina + + + +
Globulina +
Guttulina + + +
Gyroidina + + + + +
Heterostegina +
Hoeglundina + + +
Hyalinea + + +
Karreriella + + +
Lagena + + + + +
Laticarinina + + +
Marginopora +
Martinottiella + + + +
Massilina +
Milionella + +
Nodosaria + +
Nodosinella + +
Nonion + + _ +
Nonionella + + + +
Oolina + + + +
Operculina +
Parafissurina + + + + +
Patellina + +
Peneroplis +
Planorbulina + +
Planulina + + + +
Poreponides +
Pullenia + + + + +
Pyrgo + + + + +
Pyrulina + + + +
Quinqueloculina + + + + +
Reophax + + + + +
Rhabdammina + + + +
Robulus + + + +
Rotalia +
Saccammina + + + + +
Sigmoilina + + + + +
Sigmomorphina + +
Spirilllina + + + +
Spiroloculina + + + +

Textularia + + + +
Trifarina + + + +
Triloculina + + + +
Trochammina + + + + +
Uvigerina + + + + +
Valvulineria + + + +
Vertebralina +
Virgulina + + + + +
Catatan
Apabila dalam satu sampel batuan didapatkan lebih dari satu genus, untuk menentukan kedalaman
lingkungan sedimentasi, disarankan mempergunakan fosil asosiasi, (tanda +: didapatkan). Yakinkan
bahwa fosil indeks kedalaman merupakan jumlah dominan. Bila Anda hanya mendapatkan satu atau dua
spesimen saja dari genus diantara populasi Foraminifera yang diperiksa, perlu diyakinkan bahwa genus
tersebut bukan hasil transportasi dari lingkungan laut yang lebih dangkal.
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari studi Foraminifera resen antara lain:
 Rotaliid ukuran kecil (small rotaliid) dijumpai mulai dari lingkugan shelf hingga abyssal, namun
merupakan ciri khas untuk shallow shelf.
 Dominan famili yang menunjukkan inner shelf adalah: kelompok Elphidiidae (Elphidium dan
Paraelphidium), kelompk Discorbidae (Discorbis dan Rosalina), kelompok Asterigerinidae
(Asterigerina dan Amphistegina), kelompok Nonionidae (Nonion dan Nonionella), kelompok
Anomalinidae (Cibicides), kelompok Planorbulinidae (Planorbulina)
 Elphidium dijumpai dalam jumlah banyak di marginal marine dan turbulent zone. Spesies yang
mempunyai keel umum dilingkungan laut, sedang untuk spesies dengan pinggiran bulat khas
untuk brackish berlumpur (hyposaline marshes).
 Amphistegina lessonii dan Rosalina rosacea berkembang baik didaerah reef.
 Amphistegina lessonii, Elphidium antillarum dan Poroeponides lateralis, khas untuk lingkungan
laut dangkal, laut terbuka, kadang di rumput laut.
 Roraliid yang menunjukkan lingkungan outer shelf dan lingkungan bathyal adalah: kelompok
Cancrisidae (Cancris, Gyroidina, Gyroidinoides dan Valvulineria), kelompok Chilostomellidae
(Pullenia, Allomorphina dan Chilostomella), kelompok Alabamanidae (Alabamina, Osangularia),
kelompok Nonionidae (Nonionella, Melonis), kelompok Anomalinidae (Cibicidoides, Planulina
dan Hyalinea).
 Trochammina dan Haplophragmoides, walaupun termasuk pada kelompok Foraminifera dengan
test arenaceous, namun menunjukkan lingkungan laut dalam dengan dasar lunak (soft mud)
 Jenis spesies dari Nodosariids bersama-sama dengan Alabmina, Gyroidioides, dan Pullenia serta
Cyclammina mencirikan endapan laut dalam.
Murray (1973) melakukan interpretasi paleoekologi, khususnya lingkungan sedimentasi dengan
memanfaatkan Foraminifera kecil benthos, yaitu jenis Famili Textulariidae (yang mempunyai dinding
test arenaceous), Miliolidae (yang mempunyai dinding test porcelinaceous) dan Rotaliidae (yang
mempunyai dinding test hyaline). Perangkat interpretasi memanfaatkan Triangular Plot Diagram
Standart Murray dan Diversity Index Alfa Fisher Diagram Standart dikombinasikan dengan beberapa
genus/spesies Foraminifera kecil benthos sebagai indeks.
3.5.INTERPRETASI PALEOSALINITAS
Jaringan tubuh faunamikro khususnya Foraminifera yang hidup dalam lingkungan air sangat peka
terhadap salinitas air (tingkat kadar garam dalam air). Salinitas dihitung terhadap keberadaan garam
NaCl sebagai larutan dalam air. Berdasarkan tingkat salinitas, air dialam digolongkan menjadi:
 Lingkungan air tawar (fresh water), dengan tingkat kadar garam 0 (nol) hingga 0,70 permil
 lingkungan air payau (brackish water=hyposaline ), dengan tingkat kadar garam 0,50 hingga 30
permil
 Lingkungan air laut normal (sea water=normal marine water) dengan tingkat kadar garam 30
hingga 40 permil
 Lingkungan hypersaline dengan tingkat kadar garam 40 hingga 80 permil
 Lingkungan brine dengan tingkat kadar garam lebih dari 80 permil.
Terdapat dua jenis kelompok Foraminifera yang dapat bertahan dan berkembang pada lingkungan air
laut, yaitu:
 Kelompok stenohaline, artinya Foraminifera tersebut mampu bertahan hidup pada lingkungan
air dengan kadar garam normal (normal salinity) dan
 Kelompok euryhaline, artinya Foraminifera tersebut sangat toleran pada lingkungan dengan
kadar garam yang relatif rendah dari seharusnya.
Semula Foraminifera berada pada lingkungan normal marine water berpindah dan mampu bertahan
hidup pada hypsaline water. Timbul pertanyaan: bagaimana dengan perpindahan pada lingkungan
hypersaline water ?.
Hasil penelitian Foraminifera resen membuktikan bahwa Foraminifera yang semula hidup pada
lingkungan brackish (lingkungan hyposaline water) dipindahkan ke lingkungan normal marine water,
akan segera mati. Hal ini terjadi karena semua protoplasma yang berada didalam dinding test
Foraminifera akan terserap keluar semuanya sebagai akibat perbedaan konsentrasi kadar garam.
Perbedaan kadar garam ini yang berakibat pada terjadinya perubahan metabolisme dalam tubuh
Foraminifera, air yang terdapat dalam protoplasma akan diserap keluar, yang akhirnya Foraminifera
akan mati. Mengetahui paleosalinitas diperlukan antara lain, dalam usaha mengetahui keberadaan
tambang garam NaCl, memanfaatkan lahan tepi pantai untuk budidaya ikan laut. Kehidupan jenis
mikroflora misalnya algae karena terjadi perubahan kadar garam akan menjadi kurang subur dan
akhirnya mati. Untuk mikrofauna yang bersifat nekton akan berusaha berpindah menyesuaikan dengan
lingkungan kadar garam semula, sedang untuk jenis mikrofauna plankton akan mengikuti mekanisme
gerakan air. Mekanisme yang bersifat alamiah dapat diamati pada percobaan kultur Foraminifera, yang
diyakini terjadi juga pada masa lampau. Keyakinan ini dilandasi dengan konsep geologi, yang juga
dipergunakan dalam interpretasi paleosalinitas yaitu: The present is the key to the past.
Kemampuan Foraminifera tertentu yang membuat test arenaceous menunjukkan bahwa jenis
Foraminifera tersebut berada pada kondisi lingkungan salinitas rendah, alkalinitas dan kandungan
oksigen rendah. Lebih lanjut Murray (1973) menyebutkan kondisi hyposaline marshes (kondidi brackish
dengan salinitas kurang dari 30 permil, didominasi oleh Foraminifera dengan test arenaceous, sedikit
test hyaline dan tidak ada atau sedikit sekali test porcelinaceous. Normal marine marshes dicirikan
dominan Foraminifera dengan test arenaceous, sedikit Foraminifera dengan test hyaline dan sedikit
Foraminifera dengan test porcelinaceous

Ekologi fauna khususnya Foraminifera benthos, tidak hanya berkaitan dengan salinitas, namun juga
melibatkan keadaan substrate dan kedalaman. Murray (1973) telah berhasil menyusun nama-nama
genus dan parameter ekologinya, sebagai berikut:
Tabel 6.10. Genus dan parameter ekologi
Nama genus Parameter ekologi
Ammobaculites Hyposaline, sediment, temperate ?, tropical, hyposaline marshes dan lagoon,
inner shelf
Acerfulina Normal marine, mengikatkan diri pada dasar?, temperate, kedalaman air laut 0
(nol) meter hingga 6 meter, inner shelf.
Alveolinella Salinitas 39 - 50 permil, shell sand, suhu 18oC - 26o C, kedalaman air laut ) (nol)
meter - 6 meter, inner shelf dan lagoon, Indo Pasifik.
Alveolophragmium Normal marine,muddy sediment, suhu < 10oC, kedalaman air laut 20 meter -
700 meter, shelf dan bathyal atas
Ammobaculites Hyposaline,sediment, temperate ?, tropical, hyposaline marshes dan lagoon,
inner shelf
Ammoniua Hyposaline, marine, hypersaline, sediment, suhu 15oC - 30oC, inner tidal,
kedalaman 0 (nol) meter - 50 meter, hyposaline dan hypersaline lagoon, inner
shelf
Ammotium Hyposaline-hypersaline, sediment, suhu 0 (nol)C - 30oC, inter tidal kedalaman
1 meter - 10 meter, tidal marshes dan hyposaline lagoon, estuaries meliputi
shelf.
Amphistegina Salinitas < 34 permil, sea grass, sediment, coral reef, suhu 25o - 26oC.
kedalaman air laut 5 meter - 20 meter, inner shelf
Archaias Normal marine - hypersaline, sediment dan vegetasi, tropical, inner shelf
Arenoparella Hyposaline - hypersaline, sediment, suhu 0 (nol) C - 30oC, inter tidal, tidal
marshes, beberapa spesies tercatat pada kedalaman 82 meter - 460 meter.
Asterigerina Normal marine, sediment, tropical - subtropical, inner shelf
Baculogypsina Normal marine, algae, coral fragment, tropical >25oC, inter tidal - 10 meter,
coral reef
Bigenerina Normal marine, muddy sediment, dingin, kedalaman > 100 meter, outer shelf
dan bathyal.
Bolivina Salinitas 32-34 permil, muddy sediment, suhu 1oC - 30oC, bathyal-marginal
marine
Borelis Kemungkinan seperti Alveolinella, dijumpai pula di Atlantik
Brizalina Salinitas 32-36 permil, muddy sediment, suhu 1oC - 30oC, bathyal-marginal
marine
Bucoella Normal marine, muddy sediment, dingin - hangat, temperate, kedalaman 1
meter - 180 meter, shelf
Bulimina Salinitas 32 -36 permil, muddy sediment, suhu 1oC - 30o,C, bathyal, inner shore
Buliminella Normal marine, muddy sediment, temperate, kedalaman 0 (nol) meter - 800
meter, terutama di shelf, kadang-kadang sampai bahtyal
Calcarina Normal marine, algae, coral fragment, tropical, suhu > 25oC, inter tidal - 10
meter, coral reef
Cancris Normal marine, sediment, temperate hingga subtropical, kedalaman 50 meter -
150 meter, shelf
Cassidulina Normal marine, muddy sediment, dingin hingga temperate, kedalaman 5
meter - lebih 3.000 meter, shelf hingga bathyal
Chilostomella Normal marine, muddy sediment, dingin, kedalaman 80 meter - 1.190 meter,
outer shelf dan bathyal
Cibicides Normal marine, menambat pada vegetasi, batuan atau shell, kehidupan laut
lain, artic - tropical, kedalaman 0 (nol) meter - 2.000 meter, shelf - bathyal.
Cribrostomoides Agak hyposaline (30 permil) - normal marine, muddy sediment, suhu kurang
dari 15oC, kedalaman 0 (nol) meter - 150 meter, shelf.
Cyclammina Normal marine, sediment, suhu 10oC, kedalaman lebih dari 100 meter, outer
shelf dan bathyal atas
Cyclogyra Normal marine, sediment, dingin - tropical, kedalaman 0 (nol) meter - 100
meter, inner shelf
Discorbis Salinitas normal marine, bervegetasi, suhu lebih dari 12oC, kedalaman 0 (nol)
meter - 50 meter, inner shelf.
Eggerella Suhu 20o C hingga 37OC, sediment, artic - temperate, kedalaman 0 (nol) meter -
100 meter, inner shelf, shelf sea, lagoon, hyposaline.
Elphidium (dengan Salinitas 35 – 50 permil, sediment dan bervegetasi, suhu > 15oC, kedalaman 0
keel) (nol) meter-50 meter, inner shelf.
Elphidium (tanpa keel) Salinitas 0-70 permil, sediment dan vegetasi, suhu 1oC-30oC, kedalaman 0 (nol)
meter-50 meter, hyposaline-hypersaline, tidal marshes, lagoon, near shore.
Eponides Normal marine, sediment, dingin, temperate, kedalaman 10 meter – lebih
6.000 meter, shelf - bathyal.
Fissurina Normal marine, muddy sediment, dingin - temperate, kedalaman 0 (nol) meter
– 150 meter.
Fursenkoina Hyposaline - normal marine, muddy sediment, temperate, kedalaman 0 (nol)
meter - 1.190 meter, lagoon, shelf, bathyal.
Gaudryina Normal marine, sandy sediment, temperate, kedalaman 50 meter - 460
meter, shelf, bathyal atas.
Gavelinopsis Normal marine, inner shelf, marine, menambat pada vegetasi, batuan ataupun
shell, temperate, kedalaman 0 (nol) meter - > 1.000 meter, shelf dan bathyal.
Glabratella Salinitas > 35 permil, sediment atau bervegetasi, temperate - tropical,
kedalaman 0 (nol) meter- 50 meter, hypersaline, tidal marshes dan lagoon,
normal marine, inner shelf.
Globobulimina Agak hyposaline (< 32 permil), normal marine, muddy sediment, suhu < 10oC,
kedalaman 20 meter - 2.000 meter, shelf - bathyal.
Globulina Normal marine, sediment, temperate hingga tropical, kedalaman 0 (nol) meter
- 60 meter, inner shelf.
Gyroidina Normal marine, muddy sediment, dingin, shelf dan bathyal.
Heterostegina Normal marine - hypersaline, sediment atau bervegetasi, tropical, inner shelf
Hoeglundina Normal marine, muddy sediment, suhu 5oC, kedalaman 140 meter – 1.140
meter, shelf dan bathyal.
Hyalinea Normal marine, muddy sediment, dingin, temperate, kedalaman 140 meter-
1.140 meter, shelf dan bathyal.
Islandiella Salinitas 32-35 permil, muddy sediment, temperate, suhu < 10oC, kedalaman >
20 meter, shelf.
Jadammina Salinitas 0-50 permil, sediment, suhu 0o (nol)-30oC, inter tidal, tidal marshes.
Karreriella Normal marine, muddy sediment, suhu < 10oC, kedalaman > 100 meter, outer
shelf dan bathyal atas.
Lagena Normal marine, muddy sediment, dingin – tropical, kedalaman 0 (nol) meter-
180 meter.
Lenticulina Normal marine, muddy sediment, dingin, kedalaman > 100 meter, outer shelf
dan bathyal.
Marginopora Normal marine – hypersaline, rumput laut, ganggang laut, suhu 18oC-26oC.
Martiotiella Normal marine, muddy sediment, dingin, kedalaman > 120 meter, outer shelf
dan bathyal.
Massilina Normal marine, vegetasi dan sandy sediment, temperate-subtropical,
kedalaman 0 (nol) meter – 40 meter, inner shelf
Melonis Normal marine, muddy sediment, suhu < 10oC, kedalaman 5 meter-1.000
meter, shelf dan bathyal.
Miliammina Salinitas 0-50 permil, sediment, suhu 10oC-30oC, kedalaman 0 (nol) meter-10
meter, hyposaline lagoon, hyposaline-hypersaline, tidal marshes.
Miliolinella Salinitas 32-50 permil, sediment, suhu 10oC-30oC, kedalaman 0 (nol) meter-
100 meter, inner shelf, normal marine lagoon dan tidal mashes, hypersaline
lagoon.
Nonion Hypersaline-normal marine, sediment, dingin-tropical, kedalaman 0 (nol)
meter-180 meter, shelf
Nonionella Normal marine, muddy sediment, temperate-subtropical, kedalaman 10 meter-
1.000 meter, shelf dan bathyal.
Oolina Normal marine, muddy sediment, dingin-tropical, kedalaman 0 (nol) meter-
180 meter, shelf.
Operculina Normal marine-hypersaline, sediment, tropical, kedalaman 0 (nol) meter-180
meter, shelf.
Paromalina Normal marine, muddy sediment, suhu < 10oC. kedalaman < 150 meter, outer
shelf dan bathyal.
Parrina Hypersaline, sediment, bervegetasi, suhu 15oC-30oC, kedalaman 0 (nol) meter-
20 meter. Lagoon dan near shore.
Patellina Normal marine, menempel pada kerakal atau shell, dingin-subtropical,
kedalaman 0 (nol) meter-100 meter, inner shelf.
Peneroplis Salinitas 35-37 permil, rumput laut, ganggang laut, algae, suhu 18oC-27oC.
kedalaman 0 (nol) meter-35 meter, pada umumnya 0 (nol) meter – 10 meter,
lagoon dan near shore.
Planorbulina Normal marine, menempel pada vegetasi, batuan dan shell, temperate-
subtropical, kedalaman 0 (nol) meter-50 meter, inner shelf.
Proelphidium Salinitas 0-35 permil, sediment, kedalaman 0 (nol) meter -10 meter,
hyposaline, tidal marshes, lagoon dan estuary
Pullenia Normal marine, muddy sediment, suhu > 10oC, kedalaman 150 meter - 6.000
meter, outer shelf, laut dalam.
Pyrgo (golongan I) Normal marine, bervegetasi dan sediment, temperate, kedalaman 0 (nol)
meter-50 meter, inner shelf.
Pyrgo (golongan II) Normal marine, muddy sediment, suhu < 5oC, kedalaman 50 meter-2.000
meter, shelf dan bathyal
Quinqueloculina Salinitas > 32 permil, sandy sediment dan bervegetasi, terutama temperate-
tropical, kadang-kadang di daerah artic, kedalaman 0 (nol) meter- 40 meter,
inner shelf, normal marine dan hypersaline lagoon.
Reophax Normal marine, sediment, artic-tropical, kedalaman 0 (nol) metr- 150 meter,
shelf.
Rosalina Normal marine, menambat pada vegetasi, shell, batuan, temperate-
subtropical, kedalaman 0 (nol) meter – 100 meter, inner shelf.
Sachammina Salinitas 32-36 permil, muddy sediment, suhu < 15oC. kedalaman 0 (nol) meter-
100 meter, inner shelf.
Siphotextularia Normal, muddy sediment, suhu < 10oC, kedalaman 150 meter hingga > 1.000
meter, outer shelf-bathyal.
Sorites Salinitas > 37 Permil, rumput laut, suhu 18oC-26oC, kedalaman 0 (nol) meter –
35 meter, lagoon dan near shore.
Spirilina Normal marine, menambat pada batuan dan shell, dingin-temperate,
kedalaman 0 (nol) meter-100 meter, inner shelf.
Spirolina Salinitas > 37 permil, rumput laut, suhu 18oC-26oC, kedalaman 0 (nol) meter-35
meter, lagoon dan near shore.
Stetsonia Normal marine, muddy sediment, temperate-subtropical, kedalaman 0 (nol)
meter-60 meter, inner shelf.
Textularia Normal marine, sandy sediment, artic-tropical, kedalaman 50 meter-640
meter, shelf dan bathyal atas
Trifarina Normal marine, muddy sediment, temperate, kedalaman 0 (nol) meter-400
meter, shelf-bathyal atas
Triloculina Salinitas > 32 permil, sandy sediment dan bervegetasi, terutama temperate-
tropical, kedalaman 0 (nol) meter-40 meter, inner shelf, normal marine-
hypersaline lagoon, beberapa merupakan bathyal spesies
Trochammina Hyposaline-hypersaline, muddy sediment, suhu 0o (nol)C-30oC, intertidal, tidal,
(golongan I) marshes
Trochammina Normal marine, sediment, dingin-temperate, kedalaman 0 (nol) meter- 200
(golongan II) meter, shelf-bathyal
Uvigerina Normal marine, muddy sediment, dingin, kedalaman 100 meter hingga > 4.500
meter, outer shelf-bathyal.
Vertebralina Normal marine-hypersaline, bervegetasi, suhu 15oC-30oC, kedalaman 0 (nol)
meter-20 meter, lagoon dan inner shelf.

6.6. INTERPRETASI LINGKUNGAN PALEOSUBSTRATE


Dimaksudkan substrate adalah dasar dimana kehidupan itu semula tinggal dan beradaptasi. Substrate
dapat merupakan sea weed, dasar berpasir, dasar berlumpur, dasar batuan keras, atau pada
batugamping. Fauna mikro dan flora mikro hanya mampu berkembang baik pada substrate tertentu.
Terjadinya perubahan substrate akan mampu mengurangi tingkat perkembangbiakan, yang akhirnya
dapat menimbulkan perkembangan drawfed fauna, yang dapat berakhir dengan kepunahan. Simbiose
antara Foraminifera dengan kehidupan yang lain ikut mendukung dalam melakukan interpretasi
paleosubstrate. Beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan antara lain:
 Foraminifera kerapkali berasosiasi dengan phylum Porifera dan phylum Coelenterata yang
bertendensi hidup dan berkembang pada dasar laut yang keras dan tidak berlumpur, jauh dari
muara sungai. Sirkulasi air laut sangat menentukan dalam mendapatkan nutrisi makanan.
 Foraminifera besar dapat hidup dan berkembang pada dasar laut yang keras, misalnya pada
batugamping klastik ataupun batugamping nonklastik. Foraminifera yang mempunyai dinding
test arenaceous, mampu hidup dan berkembang cukup baik pada dasar dengan lingkungan
berpasir. Murray (1973), Boltovskoy & Wright (1976) telah berhasil menyusun berbagai jenis
Foraminifera benthos sebagai indikator substrate. Seperti diketahui Murray (1973) melakukan
penelitian Foraminifera resen kaitannya dengan ekologi menggunakan konsep Triangular Plot
Diagram Standart, Diversity Index alpha Fisher Diagram Standart, dikaitkan dengan salinitas
dan keadaan substrate serta asosiasi fosil yang mencirikan,
Tabel 6.11. Foraminifera benthos sebagai indicator substrate (Boltovskoy & Wright, 1976)
Genus/Spesies Dasar Dasar butir Dasar butir Dasar Dasar
lempung pasir halus pasar kasar gravel beralgae
Acervulina +
Ammobaculites +
Ammoniacatesbyana +
Asterigerinita mamilla +
Bigenerina nodosaria + +
Bolivina +
Bucella planidorso +
Bulimina buchiana +
Bulimina marginata +
Bulimina spp +
Buliminella elegantissima +
Cassidulina norcrossi + +
Cassidulina spp + +
Cibicides lobatulus +
C.pseudoungerianus +
C.refulgens +
Cibicides spp +
Cornuspira spp +
Criboelphidium cuvilleri +
Discorbis spp +
Eggerella advena +
E,scabra +
Elphidium crispum +
E.gunteri +
E.incertum + +
Eponides repandus +
Gaudryina pseudoturis +
Guttulina spp +
Hemisphaerammina +
Hyalinea baltica +
Hyperammina fragilis +
Lagena striata +
Massilina secans + +
Melonis zaandamae + +
Millilidae + +
Nonion pakerae +
Nonionella turgida +
Operculina +
Proelphidium orbiculare +
Proteonina aff.micacea +
Qiunquelloculina aspera +
Q.seminulum +
Q.viennensis +
Rectuvigerina phlegri +
Rotalia beccarii +
Rotalia japonica +
Sigmoilina schlumbergi +
Spiroloculina depresa +
Stainforthia fusiformis +
Textularia becki +
T.sagittula +
T.truncata +
Trifarina angulosa +
T.bermudezi +
T.trigonala +
Tritaxis fusca +
Uvigerina peregrina +
Valvulinera +
Catatan: tanda + : terdapat di-substrate
Dilaut, Foraminifera sering dijumpai bersama dengan Ostracoda. Perkembangan Foraminifera
antagonistik dengan perkembangan Ostracoda, artinya bila Foraminifera dijumpai dalam jumlah
banyak, Ostracoda didapatkan dalam jumlah sedikit, demikian juga sebaliknya. Berikut fosil Ostracoda
sebagai ideks substrate.
Tabel 6.12. Spesies Ostracoda sebagai indeks substrate
Substrate Spesies Ostracoda
Shallow shelf, dasar substrate berbutir pasir kasar Hemicytherura scf.H.clauthrana
Branchycythere lincolnensis
Cytherura bajacala
Bradleya diegoensis
B.pennata
B.aurita
Paracytheridea granti
Cythereis glauca
Bairdia s.aff.B.verdensis
Brachycythere driveri
Quadracythere regalia
Hemicythere jollaensis
H.californiensis
Shallow shelf, dasar substrate pasir halus dan Brachycythere sp
lanau Palmenella carida
Cytherura bajacala
Leguminocythereis corrugate
Cytherura s.cf.C.gibba
Paracypris pacifica
Cytherella banda
Hemycythere californensis
Pterigocythereis semitranslucens

Catatan kerja

Anda mungkin juga menyukai