Anda di halaman 1dari 11

SURAT KEPUTUSAN

PENGURUS PUSAT IKATAN OKUPASI TERAPIS INDONESIA


NOMOR : 046/SKEP/IOTI.PUSAT/ XII/2017

TENTANG
KODE ETIK OKUPASI TERAPIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


KETUA IKATAN OKUPASI TERAPIS INDONESIA (IOTI)

MENIMBANG : 1. Bahwa diperlukan panduan bagi anggota terhadap etika tindakan


dalam perannya sebagai profesional dan atau relawan,
2. Bahwa Okupasi Terapis perlu memahami prinsip dan standar
perilaku yang berlaku untuk anggota IOTI.

MENGINGAT : 1. Bahwa dalam menjalankan praktek pelayanan Okupasi Terapi,


Okupasi terapis perlu dijamin hak-hak nya.
2. Bahwa untuk memenuhi persyaratan hak Okupasi terapis dalam
memberikan pelayanan, maka Ikatan Okupasi Terapis
Indonesia (IOTI) perlu menetapkan kode etik bagi Okupasi
Terapis.
3. Undang Undang No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan,
Pasal 57 Butir (f).
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN
Kesatu : Surat Keputusan tentang Kode Etik Okupasi Terapis
Kedua : Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan, dengan catatan
apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan diadakan
perbaikan sebagaimana mestinya

Surakarta, 10 Desember 2017

Ikatan Okupasi Terapis Indonesia,

Ketua Umum,

Tri Budi Santoso, Ph.D.OT.


Lampiran SK Ketua IOTI Nomor 046/S.Kep/IOTI.PUSAT/XII/2017

KODE ETIK OKUPASI TERAPIS


Kode Etik Okupasi Terapi Ikatan Okupasi Terapis Indonesia (IOTI) dirancang untuk
mencerminkan sifat dinamis dari profesi okupasi terapis, pengembangan kesehatan berbasis
lingkungan dan teknologi dalam lingkup penelitian, pendidikan, dan pelatihan. Anggota IOTI
berkomitmen untuk mempromosikan sistem inklusi, partisipasi, keamanan, dan kesejahteraan
untuk individu, kelompok, keluarga, organisasi, masyarakat, dan atau populasi di berbagai
tahap kehidupan dan tingkat kesehatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan okupasi mereka.
Kode etik ini merupakan dokumen resmi IOTI dan pernyataan publik yang disesuaikan untuk
mengatasi masalah etis yang paling umum dari profesi okupasi terapis.
Tujuan:

1. Menjadi pedoman untuk memandu anggota terhadap etika tindakan dalam perannya
sebagai profesional dan atau relawan, dan
2. Menjadi prinsip dan standar perilaku yang berlaku untuk anggota IOTI.

Kode etik ini memberikan panduan dan menentukan parameter dalam pengambilan
keputusan, etika bertindak sesuai prinsip dan standar perilaku serta merupakan manifestasi
dari karakter moral dan refleksi sadar sebagai komitmen yang saling menguntungkan,
memiliki dasar etika dan ilmu pengetahuan, mencerminkan perilaku benar dan baik, serta
tindakan yang berani dan tepat. Mengenali dan menyelesaikan masalah etika adalah proses
sistematis yang mencakup analisis dinamika kompleks dari sebuah situasi, pertimbangan
terhadap konsekuensi, pengambilan keputusan yang beralasan, pengambilan tindakan, dan
perenungan hasil. Okupasi terapis, termasuk mahasiswa di program okupasi terapi,
diharapkan untuk mematuhi prinsip dan standar perilaku dalam Kode Etik ini.
Proses untuk menangani pelanggaran etika oleh anggota IOTI diuraikan dalam Prosedur
Penegakan Kode Etik sesuai kaidah dan perundangan yang berlaku.
Meskipun Kode Etik dapat digunakan dalam hubungannya dengan peraturan hukum yang
memandu standar praktek okupasi terapis, Kode Etik ini dimaksudkan untuk menjadi
dokumen yang berdiri bebas, membimbing dimensi etika perilaku profesional, tanggung
jawab profesi, dan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan okupasi terapi.
Core Values
Nilai-nilai yang menjadi inti pelayanan Okupasi Terapi adalah:

1. Altruisme, menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain.


2. Equality, kesetaraan merupakan perlakuan terhadap semua orang tanpa memihak dan
bebas dari bias.
3. Freedom, kebebasan menggambarkan bahwa pilihan pribadi adalah hal yang
terpenting dalam profesi di mana nilai-nilai dan keinginan klien menjadi perhatian
dalam intervensi.
4. Justice, keadilan mengungkapkan keadaan di mana masyarakat beragam adalah
inklusif; beragam komunitas diatur dan disusun sedemikian rupa sehingga semua
anggota dapat berfungsi, berkembang, dan hidup yang layak.
5. Dignity, bermartabat memperlakukan klien dengan hormat dalam semua interaksi.
6. Truth, kebenaran menunjukkan bahwa dalam segala situasi, okupasi terapis harus
memberikan informasi yang akurat secara lisan dan atau tertulis.
7. Prudence, bijaksana di mana okupasi terapis menggunakan pemikiran klinis dan etis,
penilaian yang baik, dan refleksi untuk membuat keputusan dalam perannya sebagai
profesional dan atau relawan.

Tujuh Nilai Inti ini memberikan landasan untuk membimbing okupasi terapis dalam
interaksi mereka dengan orang lain.

Prinsip dan Standar Perilaku


Prinsip dan Standar Perilaku yang dilaksanakan untuk perilaku profesional okupasi terapis
meliputi:

1. Beneficence, Kemurahan Hati


Okupasi terapis harus menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan
keselamatan klien. Kemurahan hati mencakup semua bentuk tindakan yang
dimaksudkan untuk menguntungkan klien yang digambarkan dengan sifat senang
membantu. Contoh dari kemurahan hati termasuk dalam hal melindungi dan
membela hak-hak klien, mencegah potensi bahaya yang mungkin terjadi kepada klien,
meminimalkan kondisi yang mungkin akan menyebabkan kerugian bagi klien.
Standar perilaku okupasi terapis untuk prinsip beneficience adalah:
A. Memberikan evaluasi yang tepat dan rencana intervensi untuk klien okupasi terapi
sesuai dengan kebutuhan mereka.
B. Mengevaluasi dan menerima penilaian tentang layanan yang diberikan pada waktu
yang tepat untuk menentukan apakah tujuan telah tercapai dan apakah rencana
intervensi harus direvisi.
C. Melakukan evaluasi, perencanaan, teknik intervensi, penilaian, dan peralatan
terapi yang berbasis bukti, terkini dan dalam lingkup praktek okupasi terapi.
D. Pastikan bahwa semua tugas didelegasikan kepada okupasi terapis lainnya sesuai
dengan mandat, kualifikasi, pengalaman, kompetensi dan ruang lingkup praktek
okupasi terapi sehubungan dengan pelayanan, pengawasan, pendidikan lapangan,
dan penelitian.
E. Memberikan layanan okupasi terapi, termasuk pendidikan dan pelatihan, yang
berada dalam tingkat masing-masing praktisi kompetensi dan ruang lingkup
praktek okupasi terapi.
F. Mengambil langkah-langkah (misalnya: melanjutkan pendidikan, penelitian,
pengawasan, pelatihan) untuk memastikan kemampuan, berhati-hati dalam
pengambilan keputusan, dan menimbang potensi bahaya ketika standar umumnya
tidak ada dalam area praktek okupasi terapi.
G. Menjaga kompetensi melalui partisipasi berkelanjutan dalam pendidikan yang
relevan dengan area praktek okupasi terapi.
H. Hentikan layanan okupasi terapi dengan klien atau pihak yang bertanggung jawab
pada saat jasa okupasi terapi tidak lagi saling menguntungkan.
I. Merujuk kepada profesi lain ketika terindikasikan kebutuhan klien yang tidak
sesuai dengan layanan okupasi terapi.
J. Melakukan penelitian sesuai dengan pedoman etik yang berlaku saat ini dan
standar untuk perlindungan peserta penelitian, termasuk penentuan potensi risiko
dan manfaat.

2. Nonmaleficence
Okupasi terapis diharapkan mampu menahan diri dari tindakan yang
membahayakan klien. Nonmaleficence "mewajibkan kita untuk menjauhkan diri dari
hal yang menyebabkan kerugian bagi orang lain". Prinsip nonmaleficence juga
mencakup kewajiban untuk tidak memaksakan layanan dalam bentuk aktivitas yang
memiliki potensi bahaya baik disengaja maupun tidak disengaja. Misalnya, dalam
praktek okupasi terapi, terjadi situasi di mana klien mungkin akan merasa sakit atau
tidak nyaman dari intervensi okupasi terapi sehingga penjelasan yang berbasis bukti
mutlak disampaikan terhadap klien sebelum memulai intervensi.
Standar perilaku okupasi terapis untuk prinsip nonmaleficence adalah:
A. Hindari menimbulkan kerugian atau cedera kepada klien, siswa, peserta
penelitian.
B. Hindari meninggalkan klien dengan cara memfasilitasi transisi yang tepat ketika
tidak mampu menyediakan layanan okupasi terapi dengan alasan apapun.
C. Kenali dan mengambil tindakan yang tepat untuk memperbaiki masalah pribadi
dan keterbatasan yang mungkin membahayakan klien, rekan kerja, siswa, peserta
penelitian.
D. Hindari pengaruh yang tidak semestinya yang dapat mengganggu latihan,
keamanan dan kompetensi penyediaan layanan terapi, pendidikan, atau penelitian.
E. Menjelaskan gangguan dalam praktek okupasi terapi dan bila perlu memberikan
laporan kepada pihak yang berwenang.
F. Hindari hubungan ganda, konflik kepentingan, dan situasi di mana seorang
praktisi, pendidik, siswa, peneliti, atau klien tidak dapat mempertahankan batas-
batas profesional yang jelas atau bersifat objektif.
G. Hindari terlibat dalam aktivitas seksual dengan klien, termasuk keluarga klien atau
orang penting lainnya, siswa, peserta penelitian dan atau rekan kerja, sementara
terjadi hubungan profesional dalam pelayanan okupasi terapi.
H. Hindari mengorbankan hak atau kesejahteraan orang lain berdasarkan arahan yang
sewenang-wenang (misalnya, memberi harapan produktivitas yang tidak realistis,
pemalsuan dokumentasi, coding tidak akurat) dengan melatih penilaian
profesional dan analisis kritis.
I. Hindari mengeksploitasi segala hubungan dalam posisinya sebagai okupasi terapis
klinis, pendidik, atau peneliti lebih jauh secara fisik, emosional, finansial, politik,
atau kepentingan bisnis seseorang dengan mengorbankan klien, siswa, peserta
penelitian dan atau rekan kerja.
J. Hindari barter untuk layanan ketika ada potensi eksploitasi dan konflik
kepentingan.
3. Otonomi,
Okupasi terapis harus menghormati hak individu untuk menentukan nasib sendiri,
privasi, kerahasiaan, dan persetujuan.

Prinsip Otonomi mengungkapkan konsep bahwa praktisi memiliki kewajiban


untuk memperlakukan klien sesuai dengan keinginan klien, dalam batas-batas standar,
dan untuk melindungi informasi rahasia klien.
Standar perilaku okupasi terapis untuk prinsip otonomi adalah:

A. Menghormati dan menghargai keinginan klien dalam menerima pelayanan.


B. Sepenuhnya mengungkapkan manfaat, risiko, dan potensi hasil intervensi;
personil yang akan memberikan intervensi; dan alternatif yang masuk akal untuk
intervensi yang diusulkan.
C. Mendapatkan persetujuan setelah mengungkapkan informasi yang tepat dan
menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh klien atau peserta penelitian
untuk memastikan kesediaan dalam menerima layanan.
D. Membangun hubungan kolaboratif dengan klien dan pemangku kepentingan,
untuk menentukan pengambilan keputusan bersama.
E. Menghormati hak klien untuk menolak layanan okupasi terapi sementara atau
permanen, bahkan ketika penolakan yang memiliki potensi untuk menghasilkan
hasil yang buruk.
F. Menahan diri dari ancaman, memaksa, atau menipu klien untuk mempromosikan
kepatuhan dengan rekomendasi okupasi terapi.
G. Hormati hak peserta penelitian untuk menarik diri dari studi penelitian tanpa
hukuman.
H. Menjaga kerahasiaan dari semua komunikasi lisan, tertulis, elektronik,
augmentatif, dan nonverbal, sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk semua
aspek hukum privasi dan pengecualian dengannya.
I. Menunjukkan perilaku bertanggung jawab dan kebijaksanaan ketika terlibat dalam
jejaring sosial, termasuk namun tidak terbatas pada menahan diri dari posting
informasi kesehatan.
J. Memfasilitasi pemahaman dan hambatan komunikasi (misalnya, afasia, perbedaan
bahasa, melek huruf, budaya) dengan klien (atau pihak yang bertanggung jawab),
siswa, atau peserta penelitian.
4. Keadilan
Okupasi terapis akan menyampaikan keadilan dan objektivitas dalam penyediaan
layanan okupasi terapi.Prinsip keadilan berkaitan dengan perlakuan yang adil, merata,
dan tepat orang. Okupasi terapis harus menjalin hubungan secara hormat, adil, dan
tidak memihak individu dan atau kelompok yang sedang berinteraksi. Mereka juga
harus menghormati hukum dan standar yang berlaku yang berkaitan dengan
profesionalitas. Sebagai okupasi terapis, mampu bekerja untuk mewujudkan kondisi
lingkungan di mana semua individu memiliki kesempatan yang adil untuk mencapai
keterlibatan dalam aktivitas sebagai komponen penting dalam pencapaian kualitas
hidup.

Standar perilaku okupasi terapis untuk prinsip keadilan adalah:


A. Menanggapi permintaan untuk layanan okupasi terapi (misalnya, rujukan) secara
tepat waktu yang ditentukan oleh hukum, peraturan, atau kebijakan.
B. Membantu mereka yang membutuhkan layanan okupasi terapi untuk memperoleh
akses melalui sarana yang tersedia.
C. Menjelaskan hambatan dalam akses ke layanan okupasi terapi dengan
menawarkan atau merujuk klien untuk mendapatkan bantuan keuangan, layanan
amal dan asuransi kesehatan dalam parameter kebijakan organisasi.
D. Advokasi untuk perubahan sistem dan kebijakan yang diskriminatif atau tidak
adil yang membatasi atau mencegah akses ke layanan okupasi terapi.
E. Menjaga kesadaran hukum terhadap kebijakan dan peraturan organisasi yang
berlaku untuk profesi okupasi terapi.

F. Mejaga mandat yang diperlukan untuk layanan okupasi terapi yang mereka
berikan di bidang klinis, akademik, penelitian dan atau bidang lainnya.
G. Memberikan pengawasan yang tepat sesuai dengan hukum, peraturan, kebijakan,
prosedur, standar, dan pedoman organisasi.
H. Mendapatkan semua persetujuan yang diperlukan sebelum memulai kegiatan
penelitian.
I. Menahan diri dari menerima hadiah yang mungkin akan mempengaruhi hubungan
terapeutik atau memiliki potensi untuk mengaburkan batas-batas profesional.
J. Memberikan laporan kepada pihak yang berwenang setiap tindakan dalam
praktek, pendidikan, dan penelitian yang tidak etis atau ilegal.
K. Berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam merumuskan kebijakan dan prosedur
sesuai dengan standar hukum, peraturan, dan etika serta bekerja untuk
menyelesaikan setiap konflik atau inkonsistensi.
L. Memberikan tarif dan biaya dengan cara yang adil, wajar, dan sepadan dengan
layanan yang diberikan.
M. Memastikan kepatuhan dengan hukum dan mendorong transparansi ketika
berpartisipasi dalam perjanjian bisnis sebagai pemilik, pemegang saham, mitra
dan atau karyawan.
N. Memastikan dokumentasi sesuai dengan hukum yang berlaku, pedoman, dan
peraturan organisasi.
O. Menahan diri dari berpartisipasi dalam tindakan apapun yang mengakibatkan
akses tidak sah ke konten pendidikan atau ujian (termasuk namun tidak terbatas
pada berbagi pertanyaan tes, penggunaan yang tidak sah atau akses ke konten atau
kode, atau menjual akses atau otorisasi kode).

5. Kejujuran

Okupasi terapis akan memberikan informasi lengkap, akurat, dan objektif ketika
mewakili profesi. Prinsip kejujuran mengacu pada penyampaian informasi yang
komprehensif, akurat, dan objektif. Dalam berkomunikasi dengan orang lain, okupasi
terapis secara implisit berjanji untuk jujur dan tidak menipu. Ketika memasuki
hubungan terapeutik atau penelitian, klien atau peserta penelitian memiliki hak untuk
memperoleh informasi yang akurat.
Konsep kejujuran harus seimbang secara etika, keyakinan budaya, dan kebijakan
organisasi. Kebenaran akhirnya dinilai sebagai sarana untuk membangun kepercayaan
dan memperkuat hubungan profesional. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap prinsip
kejujuran juga memerlukan analisis mendalam tentang bagaimana penyampaian
informasi dapat mempengaruhi hasil.
Standar perilaku okupasi terapis untuk prinsip kejujuran adalah:

A. Mewakili kredensial, kualifikasi, pendidikan, pengalaman, pelatihan, peran, tugas,


kompetensi, kontribusi, dan temuan akurat dalam segala bentuk komunikasi.
B. Menahan diri dari menggunakan atau berpartisipasi dalam penggunaan segala
bentuk komunikasi yang berisi kepalsuan, menipu, menyesatkan, atau klaim yang
tidak adil.
C. Membuat dokumentasi dan laporan secara akurat dan tepat waktu serta sesuai
dengan peraturan yang berlaku berkaitan dengan kegiatan profesional atau
akademis.
D. Mengidentifikasi dan menyampaikan mengenai efek samping yang
membahayakan keselamatan klien.
E. Memastikan bahwa semua pemasaran dan periklanan adalah benar dan akurat,
serta hati-hati dalam penyajiannya untuk menghindari informasi yang dapat
menyesatkan klien, peserta penelitian, atau publik.
F. Menjelaskan jenis dan durasi layanan okupasi terapi secara akurat dalam kontrak
profesional, termasuk tugas dan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.
G. Bertindak jujur, adil, akurat, hormat, dan tepat waktu dalam mengumpulkan dan
melaporkan informasi berdasarkan fakta mengenai kinerja karyawan dan kinerja
siswa.
H. Berikan kredit dan pengakuan bila menggunakan ide-ide dan karya orang lain
secara tertulis, lisan, atau media elektronik (yaitu, tidak menjiplak).
I. Menyampaikan informasi yang akurat mengenai persyaratan pendidikan dan
kebijakan akademik dan prosedur terhadap program okupasi terapi atau lembaga
pendidikan.
J. Menjaga privasi dan kebenaran ketika menggunakan telekomunikasi di pelayanan
okupasi terapi.

6. Fidelity, Kesetiaan
Okupasi terapis akan memperlakukan klien, kolega, dan profesional lainnya
dengan rasa hormat, keadilan, kebijaksanaan, dan integritas. Dalam profesi kesehatan,
komitmen ini mengacu pada janji-janji yang dibuat antara penyedia dan klien atau
pasien berdasarkan harapan, bekerjasama dengan klien dalam waktu sesuai
kebutuhan, dan sesuai dengan kode etik. Janji-janji ini dapat tersirat atau eksplisit.
Mengungkapkan informasi yang berpotensi memiliki makna dalam pengambilan
keputusan adalah salah satu kewajiban dari kontrak moral antara okupasi terapis dan
klien.
Hubungan profesional sangat dipengaruhi oleh kompleksitas lingkungan di mana
okupasi terapis bekerja. Praktisi, pendidik, dan peneliti harus konsisten
menyeimbangkan tugas mereka untuk klien, siswa, peserta penelitian, dan profesional
lainnya serta organisasi yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan
praktek profesional.

Standar perilaku okupasi terapis untuk prinsip kesetiaan adalah:

A. Preserve, menghormati, dan melindungi informasi pribadi tentang karyawan,


rekan kerja, dan siswa kecuali diamanatkan oleh undang-undang atau diizinkan
secara relevan.
B. Menjelaskan kompetensi, etika, atau gangguan praktek yang membahayakan
keselamatan atau kesejahteraan orang lain dan atau efektivitas tim.
C. Hindari konflik kepentingan atau konflik komitmen dalam pekerjaan, peran
relawan, atau penelitian.
D. Hindari menggunakan posisi seseorang (karyawan atau relawan) atau pengetahuan
yang didapat dari posisi yang sedemikian rupa untuk menimbulkan konflik nyata.
E. Menahan diri dari eksploitasi sumber daya ini untuk keuntungan pribadi.
F. Menahan diri dari pelecehan secara verbal, fisik, emosional, atau seksual terhadap
klien dan atau rekan kerja.
G. Menahan diri dari komunikasi yang menghina, mengintimidasi, atau tidak sopan
ketika berpartisipasi dalam dialog profesional.
H. Menunjukkan tindakan kolaboratif dan komunikatif sebagai anggota tim
interprofessional untuk memfasilitasi kualitas pelayanan dan keamanan untuk
klien
I. Menghormati praktek, kompetensi, peran, dan tanggung jawab profesi sendiri dan
orang lain untuk mewujudkan lingkungan kolaboratif reflektif dari tim
interprofessional.
J. Gunakan resolusi konflik dan sumber daya internal dan alternatif penyelesaian
sengketa yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik organisasi dan
interpersonal, serta pelanggaran etika kelembagaan.
K. Mematuhi kebijakan, prosedur, dan protokol ketika melayani atau bertindak atas
nama organisasi profesional atau institusi.
L. Menahan diri dari tindakan-tindakan yang mengurangi kepercayaan publik
terhadap profesi okupasi terapi.
M. Mengidentifikasi diri ketika nilai-nilai pribadi, budaya, atau agama memberikan
pengaruh negatif, hubungan profesional yang tidak harmonis yang memungkinkan
timbulnya konflik hati nurani.

Anda mungkin juga menyukai