Anda di halaman 1dari 53

Oleh :

GATOT SUBIYAKTO, SH., MM.

gts/shi/2010 1
Tujuan

 Memahami hakikat dan karakteristik sistem hukum di


Indonesia
 Memahami kaidah dasar dalam pembentukan hukum dan
sumber hukum di Indonesia
 Memahami perkembangan sistem hukum di Indonesia
 Memahami komponen substansi hukum
 Memahami substansi hukum positif di Indonesia
 Memahami susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan
di Indonesia
 Memahami kekuasaan kehakiman
 Memahami penafsiran, penggolongan dan klasifikasi hukum
 Memahami unsur-unsur bangunan sistem hukum di
Indonesia.
gts/shi/2010 2
BAB I
Hakekat dan Karakteristik Sistem Hukum di Indonesia
 Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas
berdasarkan keadilan yang mengatur hubungan manusia dalam
masyarakat yang berlaku sekarang di Indonesia.

 Subyek hukum Indonesia adalah warga negara Indonesia dan


warga negara asing yang berdomisili di Indonesia.

 Objek hukum Indonesia adalah semua benda bergerak atau


tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwujud yang
terletak di wilayah hukum Indonesia.

 Hukum Indonesia berfungsi mengintegrasikan kepentingan-


kepentingan anggota masyarakat sehingga tercipta ketertiban
dan keteraturan.
gts/shi/2010 3
BAB I
Hakekat dan Karakteristik Sistem Hukum di Indonesia
Mazhab-mazhab (Aliran) dalam Hukum
Beberapa aliran hukum yang telah berkembang sesuai dengan jamannya dan
memberi pengaruh serta mewarnai sistem hukum di dunia adalah:

 Aliran legisme (sistem hukum kontinental) merupakan suatu mazhab yang


menganggap undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Diasumsikan
bahwa hukum identik dengan undang-undang, sehingga tidak ada hukum yang
lain di luar itu. Sebagai konsekuensi dari aliran ini, hakim bersifat pasif dan
hanya berkewajiban untuk menerapkan undang-undang saja.
 Aliran freie rechtlehre berpendapat bahwa undang-undang tidak cukup mampu
mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga hakim diberi kebebasan untuk
menciptakan hukum sendiri sesuai dengan keyakinannya (judge made law),
bebas untuk melakukan interpretasi bahkan hakim bebas untuk menyimpangi
undang-undang.
 Aliran rechtsvinding, pada aliran ini hakim tetap terikat pada undang-undang
tetapi tidak seketat seperti aliran legisme. Hakim bertugas untuk menemukan
hukum, dan diberi kebebasan untuk menyelaraskan undang-undang dengan
perkembangan jaman. Pada aliran ini yurisprudensi mempunyai kedudukan
yang penting sebagai sumber hukum formil setelah undang-undang.

Aliran rechtsvinding ini gts/shi/2010


sedikit banyak mempengaruhi sistem hukum di Indonesia
4
BAB I
Hakekat dan Karakteristik Sistem Hukum di Indonesia
Karakteristik Hukum di Indonesia (Positif dan Progresif)
Salah satu hal yang spesifik dari hukum Indonesia sehingga membedakannya
dari hukum negara lain adalah tekad untuk tidak melanjutkan hukum warisan
pemerintah kolonial yang pernah menjajahnya. Tekad ini direalisasikan dengan
melakukan perubahan fundamental pada hukum "warisan" kolonial.

Perubahan yang sudah dilakukan meliputi:


1. melakukan unifikasi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. menghapus sistem pembagian golongan
3. memberlakukan satu sistem peradilan umum di seluruh Indonesia
dengan menghapuskan perbedaan sistem peradilan yang sempat ada
pada masa pemerintahan kolonial.

Ciri khas yang lain dari hukum Indonesia adalah:


1. diberlakukannya keanekaragaman (pluralistis) hukum perdata
2. berlakunya hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis
3. membentuk hukum nasional yang mampu mengikuti
perkembangan masyarakat dan tetap mewadahi keanekaragaman
hukum adat.
gts/shi/2010 5
BAB I
Hakekat dan Karakteristik Sistem Hukum di Indonesia
Pluralisme Hukum di Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia berlaku bermacam-macam hukum
perdata, yaitu hukum perdata Eropa (KUHPerdata), hukum adat dan
hukum Islam. Pluralisme hukum perdata ini disebabkan karena
berdasarkan Pasal 163 IS, penduduk Hindia Belanda digolongan
menjadi golongan Eropa, Bumi Putra dan Timur Asing. Dan
berdasarkan Pasal 131 IS kepada masing-masing golongan
diberlakukan hukum perdata yang berbeda.

Untuk mengatasi kevakuman hukum setelah Indonesia merdeka,


berdasar pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, ketentuan-
ketentuan tersebut di atas masih diberlakukan. Tetapi UU Nomor 62
Tahun 1958 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/1966,
hanya mengenal pembagian penduduk menjadi warga negara
Indonesia dan warga negara Asing dan menghapuskan penggolongan
penduduk. Sehingga meskipun hukum perdata dalam hukum positif
Indonesia masih bersifat pluralistis, tetapi tidak lagi ditujukan pada
golongan penduduk tertentu, melainkan ditujukan kepada warga
negara Indonesia secara umum.

gts/shi/2010 6
BAB II
Kaidah Dasar Pembentukan Hukum dan Sumber-sumber
Hukum di Indonesia
Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pandangan hidup bangsa merupakan kesatuan dari rangkaian nilai-nilai luhur,
yang berfungsi sebagai kerangka acuan untuk menata kehidupan individu,
interaksi antar individu, dan individu dengan alam sekitarnya dalam suatu
lingkup kehidupan berbangsa. Pandangan hidup mengandung dua konsepsi
dasar mengenai kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh bangsa
Indonesia.
 bersifat khusus yaitu "..melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa...".
 bersifat umum dengan artian dalam lingkup kehidupan sesama bangsa di dunia,
yang dalam pembukaan UUD 1945 berbunyi: "…dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial…".
Bangsa Indonesia merupakan kausa materialis Pancasila atau asal dari
nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila pada hakikatnya merupakan kristalisasi
nilai-nilai yang digali dari bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai Pancasila telah
ada dan tercermin dan terkandung dalam kehidupan masyarakat yang berupa
adat-istiadat, kebudayaan, dan kebiasaan dalam memecahkan permasalahan
mereka sehari-hari.
gts/shi/2010 7
BAB II
Kaidah Dasar Pembentukan Hukum dan Sumber-sumber
Hukum di Indonesia
Susunan isi, arti, dan esensi nilai-nilai Pancasila dapat
dikategorikan ke dalam tiga lingkup:

 Umum-universal, yaitu sebagai pangkal tolak penjabarannya


dalam bidang-bidang kenegaraan dan tertib hukum
Indonesia, serta penerapannya dalam berbagai bidang
kehidupan.
 Umum-kolektif, yaitu sebagai pedoman kolektif negara dan
bangsa Indonesia terutama dalam menegakkan tertib hukum
Indonesia.
 Khusus-kongkrit, dalam artian isi, arti, dan esensi Pancasila
dapat dijabarkan dalam berbagai bidang kehidupan.
gts/shi/2010 8
BAB II
Kaidah Dasar Pembentukan Hukum dan Sumber-Sumber Hukum
di Indonesia
Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara amat penting dan mendasar
bagi Indonesia. Pancasila merupakan landasan fundamental bagi
penyelenggaraan negara. Unsur-unsur Pancasila telah dimiliki oleh
bangsa Indonesia sebagai kristalisasi dari asas-asas dalam
kebudayaan, nilai-nilai ketuhanan, yang kemudian diformulasikan
oleh para pendiri negara sebagai dasar negara oleh Panitia
Sembilan (asal mula tujuan/kausa finalis), dan selanjutnya Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Pancasila
sebagai dasar negara yang sah (asal mula karya/kausa efisien).
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
membawa konsekuensi logis, yakni kekuatan imperatif atau
memaksa secara hukum. Kekuatan imperatif atau memaksa
artinya menuntut warga negara untuk taat dan tunduk kepada
Pancasila dan aturan hukum yang dijiwainya. Pelanggaran
terhadap Pancasila dan peraturan-peraturan yang dijiwainya
diikuti dengan sanksi hukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
gts/shi/2010 9
BAB II
Kaidah Dasar Pembentukan Hukum dan Sumber-Sumber Hukum
di Indonesia
Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya tercantum sila-sila
dalam Pancasila tidak dapat diubah, oleh karena secara tegas
tidak dijadikan sebagai salah satu objek perubahan ketentuan
Pasal 37 tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Dengan
demikian, kedudukan Pancasila secara konstitusional tidak dapat
diubah. Menurut ketentuan Pasal 37 ayat (1) sampai ayat (5) UUD
1945. hanya pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai perubahan.
Dasar negara menjiwai dan dijabarkan dalam bentuk perundang-
undangan, dengan tujuan untuk mengatur ketertiban masyarakat
dan mencapai tujuan hidup bernegara. Menurut UU No. UU No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Tata urutan perundang-undangan adalah sebagai
berikut : gts/shi/2010 10
BAB II
Kaidah Dasar Pembentukan Hukum dan Sumber-Sumber Hukum
di Indonesia

1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)


2. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu)
3. Peraturan Pemerintah (PP)
4. Keputusan Presiden (Keppres)
5. Peraturan Daerah (Perda), terdiri dari :
- Perda Propinsi
- Perda Kabupaten/Kota
- Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat

gts/shi/2010 11
BAB II
Kaidah Dasar Pembentukan Hukum dan Sumber-Sumber Hukum di
Indonesia
Kaidah Pancasila, Peran dan Fungsi Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan
yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan
yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber-
sumber hukum diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu:

1. Sumber hukum materiil, yaitu sumber hukum yang menentukan isi suatu
norma hukum. Sumber hukum materil dapat ditinjau dari banyak sudut
pandang, misalnya sudut pandang ahli sejarah; sudut pandang ahli
sosiologi; sudut pandang para filsuf; dan sebagainya.
2. Sumber hukum formil, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata
cara penyusunannya. Yang termasuk sumber hukum formil adalah
sebagai berikut : Undang-Undang (statute), Kebiasaan (custom),
Keputusan-keputusan Hakim (Jurisprudensi), Traktat (treaty), dan
Pendapat Sarjana Hukum (doktrin)
gts/shi/2010 12
BAB II
Kaidah Dasar Pembentukan Hukum dan Sumber-sumber Hukum di
Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia, hukum lahir dari berbagai
sumber hukum formil tersebut. Dalam kesatuan integral hukum
di Indonesia, menurut Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004, Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Fungsi dan peranan Pancasila sebagai sumber hukum,
antara lain, pertama, sebagai perekat kesatuan hukum nasional,
dalam arti Setiap aturan hukum yang mengatur segi-segi
kehidupan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar filsafat, pandangan hidup dan dasar negara. Dan,
kedua, sebagai cita-cita hukum nasional, bermakna bahwa
seluruh peraturan yang timbul dan mengatur kehidupan
masyarakat dibentuk untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan
bernegara yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila secara utuh.
gts/shi/2010 13
BAB II
Kaidah Dasar Pembentukan Hukum dan Sumber-sumber Hukum di
Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia, hukum lahir dari berbagai
sumber hukum formil. Dalam kesatuan integral hukum di
Indonesia, menurut Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004, Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Fungsi dan peranan Pancasila sebagai sumber hukum,
antara lain, pertama, sebagai perekat kesatuan hukum nasional,
dalam arti Setiap aturan hukum yang mengatur segi-segi
kehidupan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar filsafat, pandangan hidup dan dasar negara. Dan,
kedua, sebagai cita-cita hukum nasional, bermakna bahwa
seluruh peraturan yang timbul dan mengatur kehidupan
masyarakat dibentuk untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan
bernegara yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila secara utuh.
gts/shi/2010 14
BAB III
Perkembangan Sistem Hukum Indonesia

Perkembangan Hukum di Indonesia pada Masa Pendudukan


Belanda dan Jepang
 Sepanjang sejarah, Indonesia pernah dijajah beberapa negara
antara lain Belanda, Inggris dan Jepang. Negara penjajah
mempunyai kecenderungan untuk menanamkan nilai serta
sistem hukumnya di wilayah jajahan, sementara masyarakat yang
terjajah juga mempunyai tata nilai dan hukum sendiri.
 Ketika Indonesia dikuasai Belanda pertama kali, yaitu oleh VOC,
tidak banyak perubahan di bidang hukum. Namun ketika diambil
alih oleh Pemerintah Belanda, banyak peraturan perundangan
yang diberlakukan di Hindia Belanda baik itu dikodifikasi (seperti
BW, WvK, WvS) maupun tidak dikodifikasi (seperti RV, HIR).
Namun ternyata Belanda masih membiarkan berlakunya hukum
adat dan hukum lain bagi orang asing di Indonesia.

gts/shi/2010 15
BAB III
Perkembangan Sistem Hukum Indonesia

 Kemudian pada tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda memberi kemungkinan


bagi golongan non Eropa untuk tunduk pada aturan Hukum Perdata dan Hukum
Dagang golongan Eropa melalui apa yang dinamakan "penundukan diri".
Dengan demikian terdapat pluralisme hukum atau tidak ada unifikasi hukum
saat itu, kecuali hukum pidana yaitu pada tahun 1918 dengan memberlakukan
WvS (KUH Pidana) untuk semua golongan. Selain itu badan peradilan dibentuk
tidak untuk semua golongan penduduk. Masing-masing golongan mempunyai
badan peradilan sendiri

 Pada tahun 1942 Pemerintahan Bala Tentara Jepang menguasai Indonesia.


Peraturan penting yang dikeluarkan pemerintah yaitu beberapa peraturan
pidana, kemudian ada Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942 yang dalam salah satu
pasalnya menentukan badan/lembaga pemerintah serta peraturan yang sudah
ada masih dapat berlaku asalkan tidak bertentangan dengan Pemerintahan Bala
Tentara Jepang. Hal ini penting untuk mencegah kekosongan hukum dalam
sistem hukum di Indonesia pada masa itu.

gts/shi/2010 16
BAB III
Perkembangan Sistem Hukum Indonesia
Perkembangan Hukum di Indonesia pada Awal Kemerdekaan,
Masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
 Setelah kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk membangun
hukum nasional yang berdasarkan kepribadian bangsa melalui
pembangunan hukum. Secara umum hukum Indonesia diarahkan
ke bentuk hukum tertulis. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi
yang belum stabil, masih belum dapat membuat peraturan untuk
mengatur segala aspek kehidupan bernegara. Untuk mencegah
kekosongan hukum, hukum lama masih berlaku dengan dasar
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS
(pada saat berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950
(ketika berlaku UUDS 1950). Sepanjang tahun 1945-1959
Indonesia menjalankan demokrasi liberal, sehingga hukum yang
ada cenderung bercorak responsif dengan ciri partisipatif,
aspiratif dan limitatif.

gts/shi/2010 17
BAB III
Perkembangan Sistem Hukum Indonesia

 Pada masa Orde Lama Pemerintah (Presiden) melakukan


penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945. Demokrasi
yang berlaku adalah Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan
kepemimpinan yang otoriter. Akibatnya hukum yang terbentuk
merupakan hukum yang konservatif (ortodok) yang merupakan
kebalikan dari hukum responsif, karena memang pendapat
Pemimpin lah yang termuat dalam produk hukum.
Pada tahun 1966 dimulainya Orde Baru yang membawa semangat
untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Namun Soeharto sebagai penguasa cenderung
otoriter. Hukum yang lahir kebanyakan hukum yang kurang/tidak
responsif. Hukum "hanya" sebagai pendukung pembangunan
ekonomi karena pembangunan dari PELITA I - PELITA VI dititik
beratkan pada sektor ekonomi.
gts/shi/2010 18
BAB III
Perkembangan Sistem Hukum Indonesia

 Setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada tahun


1998, Indonesia memasuki era reformasi yang bermaksud
membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pembenahan sistem hukum termasuk agenda
penting reformasi. Langkah awal yang dilakukan yaitu
melakukan amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945,
karena UUD merupakan hukum dasar yang menjadi acuan
dalam kehidupan bernegara di segala bidang. Setelah itu
diadakan pembenahan dalam pembuatan peraturan
perundangan, baik yang mengatur bidang baru maupun
perubahan/penggantian peraturan lama untuk disesuaikan
dengan tujuan reformasi.

gts/shi/2010 19
BAB III
Perkembangan Sistem Hukum Indonesia

Peranan Pemerintah dalam Implementasi Hukum pada Masing-


masing Periode
 Berbicara bagaimana peranan Pemerintah dalam implementasi
hukum di Indonesia terkait dengan politik hukum yang dijalankan
Pemerintah, karena politik hukum itu menentukan produk hukum
yang dibuat dan implementasinya. Pada masa Penjajahan
Belanda, politik hukumnya tertuang dalam Pasal 131 IS (Indische
Staatsregeling) yang mengatur hukum mana yang berlaku untuk
tiap-tiap golongan penduduk. Adapun mengenai penggolongan
penduduk terdapat pada Pasal 163 IS. Berdasarkan politik hukum
itu, di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum.

gts/shi/2010 20
BAB III
Perkembangan Sistem Hukum Indonesia

 Setelah Indonesia merdeka, untuk mencegah kekosongan


hukum dipakailah Aruran peralihan seperti yang terdapat pada
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS
dan Pasal 142 UUDS 1950. Hukum tidak terlalu berkembang
pada masa awal kemerdekaan, akan tetapi implementasinya
relatif baik yang ditandai lembaga peradilan yang mandiri. Hal
ini merupakan efek dari berlakunya demokrasi liberal yang
memberi kebebasan kepada warga untuk berpendapat.
Sebaliknya pada masa Orde lama, peran pemimpin (Presiden)
sangat dominan yang menyebabkan implementasi hukum
mendapat campur tangan dari Presiden. Akibatnya lembaga
peradilan menjadi tidak bebas.
gts/shi/2010 21
BAB III
Perkembangan Sistem Hukum Indonesia
 Ketika Orde Baru berkuasa, politik hukum yang dijalankan
Pemerintah yaitu hukum diarahkan untuk melegitimasi kekuasaan
Pemerintah, sebagai sarana untuk mendukung sektor ekonomi
dan sebagai sarana untuk memfasilitasi proses rekayasa sosial. Hal
ini dikarenakan Pemerintah Orde Baru lebih mengutamakan
bidang ekonomi dalam pembangunan. Perubahan terjadi ketika
memasuki era reformasi yang menghendaki penataan kehidupan
masyarakat di segala bidang. Semangat kebebasan dan
keterbukaan (transparansi) menciptakan kondisi terkontrolnya
langkah Pemerintah untuk mendukung agenda reformasi
termasuk bidang hukum. Langkah-langkah yang diambil antara
lain pembenahan peraturan perundangan, memberi keleluasaan
kepada lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya serta
memberi suasana kondusif dalam rangka mengembangkan sistem
kontrol masyarakat untuk mendukung penegakan hukum.

gts/shi/2010 22
BAB IV
Komponen Substansi Hukum
1. Sistem Hukum Adat dan Hukum Perdata
 Hukum Adat merupakan hukum tidak tertulis yang dibentuk dan dipelihara oleh
masyarakat hukum adat tanpa campur tangan dari penguasa, yang dilengkapi
dengan sanksi sebagai upaya pemaksa. Hukum adat merupakan hukum yang
bersifat lokal, dan karena dibentuk oleh masyarakat hukum adat yang tata
susunannya sangat tergantung pada faktor pembentuknya, mengakibatkan hukum
adat menjadi plural dan berbeda diantara tiap daerah dan tiap masyarakat.
Sesuai dengan faktor genealogis maka ada 3 masyarakat hukum adat, yaitu
masyarakat matrilineal, patrilineal dan parental. Sedangkan berdasar pada faktor
teritorial terbentuk 3 macam masyarakat, yaitu: persekutuan desa, persekutuan
daerah dan perserikatan kampung.

 Hukum Perdata merupakan hukum yang mengatur hubungan antar perorangan,


mengatur hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan dan dalam
pergaulan masyarakat. Sistematika Hukum Perdata berdasarkan Undang-Undang,
terdiri atas 4 buku: Buku I tentang orang, Buku II tentang Benda, Buku III tentang
Perikatan, Buku IV tentang Pembuktian dan daluwarsa.

gts/shi/2010 23
BAB IV
Komponen Substansi Hukum
2. Sistem Hukum Acara Perdata Indonesia
Dalam rangka menegakan hukum perdata materil diperlukan hukum perdata
formil (hukum acara perdata), yakni aturan hukum yang mengatur bagaimana
menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan hakim di pengadilan
sejak pemajuan gugatan sampai pada pelaksanaan putusan. Asas-asas yang
perlu diperhatikan dalam bercara perdata, antara lain: Hakim bersifat
menunggu; Hakim bersikap pasif; Sidang terbuka untuk umum; mendengar
kedua belah pihak; beracara itu dikenakan biaya, terikatnya hakim pada alat
bukti; dan putusan hakim harus disertai alasan-alasan.
Beracara perdata itu melalui 3 (tiga) tahap, yaitu pendahuluan, penentuan, dan
pelaksanaan.
3. Sistem Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur
hubungan antara negara dengan warga negara. Hukum Pidana dalam
pengertian sempit hanya mencakup hukum pidana materiil saja, sedangkan
Hukum Pidana dalam arti luas mencakup hukum pidana materil dan hukum
pidana formil atau Hukum Acara Pidana.
gts/shi/2010 24
BAB IV
Komponen Substansi Hukum
Hukum Pidana materIil diatur dalam KUHP, sedang Hukum Acara Pidana diatur dalam UU
No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hukum Acara Pidana atau hukum formil merupakan ketentuan tentang tata cara proses
perkara pidana sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan tindak pidana hingga
pelaksanaan keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan, mengatur hak dan
kewajiban bagi mereka yang bersangkut paut dengan proses perkara pidana berdasarkan
undang-undang, serta diciptakan untuk penegakan hukum dan keadilan. Fungsi dan
tujuan Hukum Acara Pidana adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana
untuk mencari kebenaran materil.
Hak dan kewajiban bagi pihak yang bersangkut paut dengan proses perkara pidana
mengacu pada asas hukum Acara Pidana, antara lain: perlakuan di muka sidang;
perintah tertulis dari yang berwenang, memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya;
hadirnya terdakwa, sidang terbuka untuk umum dll.

Selanjutnya dalam proses berita acara pidana meliputi beberapa tahap, yaitu:
1. Penyidikan oleh penyidik (penyidik polisi dan penyidik PNS)
2. Penuntutan yang dilakukan oleh jaksa atau penuntut umum
3. Pemeriksaan di depan sidang oleh hakim
4. Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga pemasyarakatan.
gts/shi/2010 25
BAB V
Substansi Hukum Positif Indonesia
1. Sistem Hukum Tata Negara Indonesia dan Sistem Hukum Administrasi
Negara
Negara merupakan pangkal tolak dari HTN dan HAN. Rakyat
sebagai salah satu unsur negara secara otomatis menjadi warga
negara, sedangkan penduduk adalah warga negara Indonesia dan
Orang asing yang bertempat tinggal secara sah di Indonesia. Di
samping Rakyat unsur negara yaitu Wilayah dan Pemerintahan
yang berdaulat. Wilayah negara tidak hanya daratan saja, tetapi
juga perairan (laut). Pemerintah yang berdaulat tercermin dalam
bentuk negara sebagai organisasi kekuasaan yang berdaulat
kedalam dan keluar.
Sesuai UUD 1945 kekuasaan negara tersebut didistribusikan ke
dalam berbagai lembaga negara secara horisontal maupun vertikal.
Sifat hubungan antara lembaga negara terutama antara eksekutif
dan legislatif akan menentukan corak sistem pemerintahannya.
gts/shi/2010 26
BAB V
Substansi Hukum Positif Indonesia
 HTN dan HAN mempunyai hubungan erat. HAN meliputi
semua aturan hukum yang bersifat teknis (negara dalam
keadaan bergerak), sedang HTN meliputi semua aturan hukum
yang bersifat fundamental (negara dalam keadaan diam/tidak
bergerak).

 Alat Administrasi Negara dalam menjalankan fungsinya untuk


mewujudkan kesejahteraan masyarakat berwenang untuk
melakukan perbuatan hukum dengan pihak masyarakat, baik
di lapangan hukum privat maupun lapangan hukum publik. Di
samping itu alat administrasi negara diperbolehkan melakukan
kebebasan bertindak (freis ermessen). Akan tetapi agar dalam
menjalankan fungsinya tidak sewenang-wenang.
gts/shi/2010 27
BAB V
Substansi Hukum Positif Indonesia
2. Sistem Hukum Internasional
 Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur pergaulan
negara-negara berdaulat memiliki subyek hukum yang antara lain
terdiri dari: negara, organisasi internasional, Palang Merah
Internasional, tahta suci, manusia, dan perusahaan transnasional.
 Hukum internasional mencakup hukum perang dan damai, yang
mengatur bagaimana hubungan antara negara-negara yang sedang
berperang maupun sedang menjalin perdamaian. Dalam
pergaulan internasional, diantara negara-negara tersebut terjalin
hubungan diplomatik. Sehingga diantara mereka terjadi saling
penempatan wakil diplomatik seperti duta, konsul ataupun atase.

gts/shi/2010 28
BAB VI
Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan di Indonesia
1. Macam-macam Badan Peradilan di Indonesia.
 Badan-badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung merupakan suatu bagian
sebagai pelaku kekuasan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan.
Badan-badan Peradilan yang dimaksud, yakni :
a. Lingkungan Peradilan Umum terdiri dari
- Pengadilan Negeri yang merupakan peradilan tingkat pertama
- Pengadilan Tinggi merupakan peradilan tingkat banding.
Dalam lingkungan Peradilan Umum dibentuk pengadilan khusus, antara lain:
-Pengadilan Anak
-Pengadilan Niaga
-Pengadilan HAM
-Pengadilan Korupsi
-Pengadilan Hubungan Industrial
-Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
gts/shi/2010 29
BAB VI
Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan di Indonesia
b. Lingkungan peradilan khusus terdiri dari:
PA Tingkat Pertama
- Peradilan Agama PA Tingkat Banding

Pengadilan Militer
- Peradilan Militer Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan Utama
Pengadilan Pertempuran

- Peradilan Tata Usaha Negara PTUN Tingkat Pertama Pengadilan


PTUN Tingkat Banding Pajak

Pembinaan teknis, organisatoris, administrasi, dan keuangan badan-badan


pengadilan tersebut di atas di bawah Mahkamah Agung, kecuali Pengadilan Pajak
pembinaan keuangan di bawah Departemen Keuangan.
gts/shi/2010 30
VI. Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan di
Indonesia
2. Kekuasaan Badan-badan Peradilan di Indonesia
Badan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) dan badan
peradilan khusus (peradilan Agama, Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara)
merupakan badan-badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai bagian
dari pelaku kekuasaan kehakiman dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.

Keempat badan pengadilan tersebut masing-masing mempunyai


kekuasaan/wewenang untuk mengadili, yaitu kekuasaan/kewenangan/ kompetensi
Absolut maupun Relatif. Kompetensi absolut, adalah wewenang yang berhubungan
dalam memeriksa jenis perkara tertentu secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh
badan peradilan lain, baik dalam lingkungan yang sama (Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) maupun dalam lingkungan peradilan lain
(pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama).
Kekuasaan relatif adalah suatu pembagian wewenang suatu pengadilan yang
berkaitan dengan suatu perkara yang dapat diperiksa oleh pengadilan di tempat
lain.

gts/shi/2010 31
VI. Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan di
Indonesia
Kekuasaan/wewenang badan peradilan Umum adalah memeriksa dan
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada umumnya perkara
perdata dan perkara pidana. Pengadilan Negeri berwenang memeriksa,
dan memutuskan perkara pada tingkat pertama, sedang Pengadilan Tinggi
memeriksa dan memutus di tingkat banding. Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara tertinggi mempunyai wewenang mengadili pada tingkat
kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua
lingkungan peradilan yan berada di bawah Mahkamah Agung.
 Kekuasaan pengadilan khusus :
(1).Pengadilan Anak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara anak nakal
(2) Pengadilan Niaga , memeriksa dan memutus permohonan pernyataan
pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, di
pengadilan wilayah hukum Debitur dan perkara lain di bidang perniagaan
yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang
(3) Pengadilan HAM, memeriksa dan memutus Pelanggaran HAM yang
berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan Kemanusiaan;

gts/shi/2010 32
VI. Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan di
Indonesia
(4) Pengadilan Korupsi, memeriksa dan memutus tindak pidana
korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK
(5) Pengadilan Hubungan Industrial, memeriksa dan memutus
a. perselisihan hak
b. perselisihan kepentingan
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja
d. perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh satu
tempat perusahaan.

(6) Peradilan Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


yang dilakukan oleh Mahkamah Syariah sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

gts/shi/2010 33
VI. Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan di
Indonesia
Kekuasan Peradilan Agama, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, pewarisan,
Wasiat, Hibah, Wakaf, Infak. Shadaqoh dan ekonomi syariah.
Kekuasaan badan Peradilan Militer berwenang mengadili tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan
tindak pidana adalah prajurit atau yang berdasarkan Undang-
Undang dipersamakan dengan prajurit.
Kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pengadilan Pajak yang
merupakan pengadilan khusus dari Lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara, mempunyai wewenang memeriksa dan memutus
sengketa pajak.

gts/shi/2010 34
VII. Kekuasaan Kehakiman
1. Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan Tidak Memihak
Indonesia dikatakan sebagai negara hukum, hal ini dapat dilihat dalam
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan bukan
berdasar atas kekuasaan semata-mata. Ini menunjukkan bahwa segala tindakan
harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum. Negara hukum mempunyai ciri-ciri antara lain:
a. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap HAM
b. Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan/kekuatan lain dan tidak
memihak
c. Adanya legalitas dalam arti hukum.
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
yakni Pasal 24 ayat (1) dan (2) dan Pasal 25. Menurut UUD 1945 kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh
kekuasaan lain seperti pemerintah maupun badan lain selain pemerintah
sehubungan dengan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka,

gts/shi/2010 35
VII. Kekuasaan Kehakiman
Faktor yang menyebabkan kekuasaan kehakiman dapat
bebas dan tidak memihak adalah landasan yuridis tentang
Mahkamah Agung, hal ini karena Mahkamah Agung
merupakan puncak dari proses peradilan yang dilakukan di
Indonesia, di mana semua peradilan-peradilan yang berada
di bawahnya bernaung di bawah Mahkamah Agung. Faktor
kualitas dan integritas para hakim sangat penting, karena
menyangkut hakim dalam mengambil suatu keputusan
dan kemudian tradisi hukum dalam masyarakat yakni
bahwa adanya hukum untuk dapat memenuhi tuntutan
rasa keadilan bagi masyarakat.

gts/shi/2010 36
VII. Kekuasaan Kehakiman
2. Kekuasaan Mengadili
Kekuasaan mengadili adalah kekuasaan yang dimiliki oleh hakim di
peradilan dalam usaha menerima, memeriksa dan memutus
perkara. Berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak pada
sidang pengadilan, menurut cara yang diatur dalam undang-
undang.
Ada empat tiang peradilan yang kita kenal menurut UU No. 14
Tahun 1970 j.o UU Nomor 5 Tahun 2004 yakni
 Peradilan Umum
 Peradilan Agama
 Peradilan Militer
 Peradilan Tata Usaha Negara.

gts/shi/2010 37
PN
Pengadilan PT
Umum MA
Pengadilan
Sipil

ADAT
Pengadilan
macam AGAMA
Khusus
pengadilan ADM. NEGARA

Pengadilan Tentara
Pengadilan
Pengadilan Tentara Tinggi
Militer
Pengadilan Tentara Agung

gts/shi/2010 38
VII. Kekuasaan Kehakiman
 Pengadilan Negeri adalah suatu pengadilan yang umum atau
sehari-hari, yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan
pidana sipil untuk semua golongan penduduk pada tingkat
pertama.
 Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding yang mengadili pada
tingkat kedua suatu perkara perdata atau pidana yang telah diadili
atau diputus pada Pengadilan Negeri.

Jika segala upaya hukum telah dilakukan dan belum mencapai


hasil yang memuaskan terhadap putusan Pengadilan Negeri
maupun pengadilan Tinggi, maka seseorang dapat mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung merupakan badan
peradilan tertinggi dan terakhir di Indonesia di dalam memutuskan
suatu perkara baik perkara perdata maupun perkara pidana.

gts/shi/2010 39
VII. Kekuasaan Kehakiman
 UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang
Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum.
 Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu
substansi penting perubahan UUD 1945 adalah keberadaan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam
rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk
menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil,
dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda
terhadap konstitusi.

gts/shi/2010 40
VII. Kekuasaan Kehakiman
 Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di
samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
dan ayat (2) UUD 1945.
 Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya
dalam menegakkan hukum dan keadilan.
 Mahkamah Konstitusi berwenang untuk:
a. menguji undang-undang terhadap UUD 1945
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945
c. memutus pembubaran partai politik
d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum
e. memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
gts/shi/2010 41
VIII. Penafsiran, Penggolongan dan Klasifikasi Hukum
1. Penafsiran Hukum
Untuk terciptanya suatu kepastian hukum syarat yang paling
utama yang harus dipenuhi adalah adanya hukum atau
peraturan perundangan yang dengan jelas. Peraturan
perundangan yang ada terkadang masih ada hal-hal yang
sangat penting tetapi tidak dimuat. Hal tersebut bisa
disebabkan oleh dinamika kehidupan masyarakat yang lebih
cepat dibandingkan dengan saat penetapan peraturan
perundangan yang bersangkutan. Keadaan seperti ini
mengharuskan Badan-badan Peradilan (Hakim) untuk
melakukan tindakan guna mencapai keadilan. Untuk mencapai
ke arah itu tentu hakim dapat melakukan pembentukan
hukum, pengisian, kekosongan hukum, melakukan konstruksi
hukum atau harus menafsirkan hukum. Semua itu dilakukan
hanya untuk terciptanya suatu kepastian hukum dalam
masyarakat.
gts/shi/2010 42
VIII. Penafsiran, Penggolongan dan Klasifikasi Hukum
Penafsiran hukum meliputi:
a. Penafsiran Tata Bahasa
b. Penafsiran Sahih (Authentic, Resmi)
c. Penafsiran Historis (sejarah hukum dan sejarah undang-undang)
d. Penafsiran Sistematis
e. Penafsiran Nasional
f. Penafsiran Teleologis (Sosiologis)
g. Penafsiran Eksekutif
h. Penafsiran Restriktif
i. Penafsiran Analogis
j. Penafsiran acontrario (Menurut Peringkaran)

gts/shi/2010 43
VIII. Penafsiran, Penggolongan dan Klasifikasi Hukum
2. Penggolongan dan Klasifikasi Hukum
Penggolongan ditinjau dari sumber-sumbernya, hukum dapat
kita golongkan ke dalam :
1. Hukum undang-undang
2. Hukum persetujuan
3. Hukum traktat (perjanjian antar negara)
4. Hukum kebiasaan dan hukum adat
5. Hukum yurisprudensi

Sumber hukum ada yang berbentuk naskah (tertulis) dan ada yang
tidak berbentuk naskah (tidak tertulis).
Hukum tertulis, meliputi hukum undang-undang, hukum
perjanjian, hukum traktat. Sedangkan Hukum tidak tertulis,
meliputi hukum kebiasaan dan hukum adat.

gts/shi/2010 44
VIII. Penafsiran, Penggolongan dan Klasifikasi Hukum
 Di tinjau dari sudut kepentingan yang diaturnya, hukum dapat
digolongkan ke dalam hukum privat dan hukum publik.
Hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan
orang perseorangan dan juga kepentingan-kepentingan negara dalam
kedudukannya bukan sebagai penguasa.
Hukum publik adalah hukum yang mengatur/melindungi kepentingan-
kepentingan negara sebagai penguasa. Mengikuti susunan tradisional,
terdapat penggolongan hukum sebagai berikut:
 Hukum Privat meliputi Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum
Privat Internasional.
 Hukum Publik meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara,
Hukum Antar Negara, Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum
Acara Perdata dan Hukum (Acara) Pengadilan Tata Usaha Negara

gts/shi/2010 45
VIII. Penafsiran, Penggolongan dan Klasifikasi Hukum
 Sedangkan penggolongan yang didasarkan pada terkodifikasinya bidang-bidang
hukum tersebut, yaitu:
1. Hukum Perdata
2. Hukum Dagang
3. Hukum Pidana
4. Hukum Acara Pidana
5. Hukum Acara Perdata
6. Hukum Tata Usaha Negara
Perkembangan di awal abad 19 memunculkan lapangan-lapangan hukum baru
yang belum dikodifikasikan, di antaranya:
1. Hukum Agraria
2. Hukum Asuransi
3. Hukum Perbankan
4. Hukum Adat
5. Hukum Internasional
6. Hukum Perburuhan (hukum ketenagakerjaan).

gts/shi/2010 46
VIII. Penafsiran, Penggolongan dan Klasifikasi Hukum
Perkembangan di awal abad 19 memunculkan lapangan-lapangan hukum
baru yang belum dikodifikasikan, di antaranya:
1. Hukum Agraria
2. Hukum Asuransi
3. Hukum Perbankan
4. Hukum Adat
5. Hukum Internasional
6. Hukum Perburuhan (hukum ketenagakerjaan).

gts/shi/2010 47
VIII. Penafsiran, Penggolongan dan Klasifikasi Hukum
 Bidang-bidang hukum baru pada abad ke 20 berefek pada
perkembangan hukum yang lebih pesat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan melahirkan bermacam-macam bidang hukum
yang makin spesifik, seperti;

1. Hukum korporasi.
2. Hukum Investasi.
3. Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual.
4. Hukum Persaingan usaha.
5. Hukum Perlindungan Konsumen.
6. Hukum Kontrak.
7. Hukum Tentang Perempuan.
8. Hukum tentang Anak.
9. Hukum tentang E-Commerce (Hukum E-Banking dan E-Business).
10. Hukum Pasar Modal.
11. Hukum Pasar Uang.
gts/shi/2010 48
IX.Unsur-unsur Bangunan Sistem Hukum di Indonesia
1. Pengertian Sistem Hukum
Sistem adalah seperangkat unsur-unsur yang mempunyai hubungan
fungsional secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas.
Ada dua sistem hukum besar, yaitu
1. sistem hukum Common Law atau Anglo Saxon
2. sistem hukum Civil Law atau Kontinental.
Sistem hukum Common Law adalah suatu sistem hukum yang
didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim
terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim
selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia,
Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada dan Amerika Serikat.
Negara Indonesia menganut sistem hukum campuran dengan sistem
hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum
adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum syariat Islam.

gts/shi/2010 49
IX.Unsur-unsur Bangunan Sistem Hukum di Indonesia
2. Sistem Hukum di Indonesia
Hukum Positif Indonesia adalah hukum yang berlaku saat ini di
Indonesia, hukum positif Indonesia menurut lapangan hukumnya adalah
sebagai berikut:
a. Sistem hukum Adat dan hukum Kebiasaan. Hukum adat adalah hukum
asli masyarakat Indonesia, yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.
b. Sistem hukum Perdata, yakni hukum perdata yang diberlakukan di
Indonesia oleh Pemerintah kolonial berdasarkan asas konkordasi.
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang
yang satu dengan orang yang lain yang menitikberatkan kepada
kepentingan perseorangan.
c. Sistem hukum Acara Perdata, yakni hukum yang mengatur tentang tata
cara bagaimana tentang mempertahankan hukum materil. Hukum
acara sering disebut juga hukum formal, hukum acara perdata berarti
mengatur tata cara bagaimana mempertahankan hukum perdata, atau
merupakan hukum proses.

gts/shi/2010 50
IX.Unsur-unsur Bangunan Sistem Hukum di Indonesia
d. Sistem hukum Pidana. Hukum pidana adalah serangkaian peraturan yang
memuat tentang kejahatan dan pelanggaran.
e. Sistem hukum acara pidana, yakni hukum acara atau hukum proses atau
hukum formal adalah bagaimana cara mempertahankan hukum pidana
materil.
f. Sistem hukum Tata Negara, adalah hukum yang menyangkut organisasi-
organisasi kenegaraan yakni yang menyangkut struktur, wewenang dan
tanggung jawab organisasi kenegaraan tersebut.
g. Sistem hukum Administrasi negara, yakni hukum yang merupakan
serangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara bagaimana
badan-badan pemerintah melaksanakan tugas pemerintah.

gts/shi/2010 51
DAFTAR PUSTAKA
 Apedoorn, Van. L. J. (1985). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya
Paramita.
 Anonim.(1997). Bahan Pokok Bagi Penyuluhan Hukum. Jakarta:
Departemen Kehakiman Indonesia.
 -----------.( 1998). Undang-Undang Peradilan Umum. Jakarta: Grafindo.
 -------------. (2003). Undang-Undang Peradilan Militer. Bandung: Citra
Samodra.
 ------------. ( 2004). Peradilan Umum. Bandung: Fokusmedia..
 http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum.
 Kusnardi. M, Ibrahim. H. (1980). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta: FHUI.
 Kansil, C.S.T. (1986.). Pengantar 11mu Hukum dan Pengantar Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

gts/shi/2010 52
DAFTAR PUSTAKA
 Melia, S. Djaja. Tarsito. (1981). Tata Hukum Indonesia Suatu Pengantar.
Bandung
 Pamadi Sarkadi, (2007) Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Universitas
Terbuka.
 Soekanto, S, dan Purbacaraka, P. (1993). Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata
Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti.
 Sudikno Mertokusumo. (1999) Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta, Liberty.
 UU No. 10 Tahun 2004.
 UUD1945 (sebelum dan sesudah amandemen)
 Wignyodipuro, Soerojo. R. (1983). Kedudukan Serta Perkembangan Hukum
Adat Setelah Kemerdekaan. Jakarta, Gunung Agung.

gts/shi/2010 53

Anda mungkin juga menyukai