Pneumonia Komunitas Referat
Pneumonia Komunitas Referat
Pneumonia Komunitas
Disusun oleh:
Pembimbing:
dr.
1
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………..3
BAB IV : PENUTUP……………………………………………………………27
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...28
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
dalam dua kelompok utama yakni, pneumonia komunitas yang didapat di
masyarakat dan pneumonia nosokomial.
Pneumonia komunitas masih menjadi suatu masalah kesehatan utama tidak
hanya di negara yang sedang berkembang, tetapi juga di seluruh dunia. PK
merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia dan merupakan
penyebab kematian terbesar ke-6 di Amerika Serikat. Di Indonesia, Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2018 mencatat kematian akibat
pneumonia dan infeksi saluran nafas sebanyak 34 per 100.000 penduduk pada
pria dan 28 per 100.000 penduduk pada wanita. Sementara itu, menurut
Riskesdas 2018, pneumonia menduduki urutan ke-9 dari 10 penyebab kematian
utama di Indonesia, yaitu sebesar 2,1%.
Pneumonia tentunya perlu mendapat perhatian dan penanganan yang tepat,
mengingat penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan utama di
Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
4
peradangan paru yang disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (PPK, 2018).
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli), dengan gejala batuk pilek yang disertai nafas sesak atau nafas cepat.
Penyakit ini mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Secara klinis pada anak
yang lebih tua selalu disertai batuk dan nafas cepat dan tarikan dinding dada
kedalam. Namun pada bayi seringkali tidak disertai batuk (PPK, 2018).
Klasifikasi pneumonia dapat berdasarkan : klinis dan epidemiologinya,
etiologinya, dan predileksi infeksi. Secara klinis dan epidemiologinya pneumonia
dapat diklasifikasikan sebagai pneumonia komuniti, pneumonia nosokomial,
pneumonia aspirasi, dan pneumonia pada penderita immunocompromised. Secara
etiologi dapat dibedakan atas pneumonia tipikal (bakteri), pneumonia atipikal,
pneumonia virus, dan pneumonia jamur. Sedangkan menurut predileksi infeksinya
diklasifikasikan sebagai pneumonia lobaris, pneumonia lobularis
(bronkopneumonia), dan pneumonia interstisial. Pembagian dibuat untuk
memudahkan dalam menentukan kemungkinan jenis mikroorganisme
penyebabnya (PPK, 2018).
2.2. Epidemiologi
Infeksi dapat dijumpai di seluruh dunia dan bersifat endemik. Prevalensi
kasus yang paling banyak dijumpai biasanya pada musim panas sampai ke awal
musim gugur yang dapat berlangsung satu sampai dua tahun. Infeksi tersebar luas
dari satu orang ke orang lain dengan percikan air liur (droplet) sewaktu batuk.
Itulah sebabnya infeksi kelihatan menyebar lebih mudah antara populasi yang
padat manusianya misalnya di sekolah, asrama, pemukiman yang padat dan camp
militer (American Thoracic Society, 2017).
WHO (2018) memperkirakan bahwa hingga 1 juta kematian disebabkan
oleh bakteri Streptococcus pneumoniae, dan lebih dari 90% dari kematian ini
terjadi di negara-negara berkembang. Kematian akibat pneumonia umumnya
menurun dengan usia sampai dewasa akhir. Lansia juga berada pada risiko
tertentu untuk pneumonia dan kematian terkait penyakit lainnya. Di Inggris,
kejadian tahunan dari pneumonia adalah sekitar 6 kasus untuk setiap 1000 orang
5
untuk kelompok usia 18-39. Bagi mereka 75 tahun lebih dari usia, ini meningkat
menjadi 75 kasus untuk setiap 1000 orang. Sekitar 20-40% individu yang
memerlukan kontrak pneumonia masuk rumah sakit yang antara 5-10% diterima
ke Unit perawatan kritis. Demikian pula, angka kematian di Inggris adalah sekitar
5-10%. Individu-individu ini juga lebih cenderung memiliki episode berulang dari
pneumonia. Orang-orang yang dirawat di rumah sakit untuk alasan apapun juga
beresiko tinggi untuk pneumonia.
2.3. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komunitas yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-
akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komunitas adalah
bakteri Gram negatif (PPK, 2018).
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan
nosokomial:
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob oral.
6
influenza, Respiratory Synctial Virus (RSV). Pada anakanak, selain pathogen pada
pasien dewasa, pathogen yang sering ditemukan sedikit berbeda yaitu adanya
kertelibatan Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia.
7
i. Pneumonia bakteri : Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza,
Staphylococcus aureus.
ii. Pneumonia atipikal : Clamydia pneumonia, Mycoplasma pneumonia,aspirasi.
iii. Pneumonia virus :Influenza virus, parainfluenza virus, Rhinovirus,Respiratory
synctial virus.
iv. Pneumonia jamur : Candida, Aspergillus, Crytococcus
8
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris, Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan
sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing
atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia, ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru.
Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
c. Pneumonia interstisial
2.6. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit (Sudoyo, 2017).
9
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme
untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan (Sudoyo, 2017) :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa.
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse) (Fauci, 2015).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia (Fauci, 2015).
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas
sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama (Fauci, 2015).
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu (PPK, 2018) :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
10
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler
dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh
dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak
ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
11
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 40C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
Bisa juga ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab
yang berhubungan dengan faktor infeksi:
Evaluasi faktor predisposisi :
PPOK : H. Influenza
Penyakit kronik : lebih dari satu kuman
kejang / tidak sadar : aspirasi Gram negatif, anaerob
Penurunan imunitas : gram negatif
Kecanduan obat bius : staphylococcus
Bedakan lokasi infeksi
PK : S. Pneumoniae, H. Influenza, M. Pneumoniae
Rumah jompo
PN : Staphylococcus aureus
Usia pasien
Bayi : virus
Muda : M. Pneumoniae
Dewasa : S. Pneumoniae
Awitan
Cepat, akut, dengan rusty coloured sputum : S. Pneumoniae
Perlahan, batuk dengan dahak sedikit : M. Pneumoniae
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
12
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis ulangan foto toraks dapat
ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4 – 12 minggu.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
13
bronkitis kronis. COPD lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat
fatal. COPD juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada
faktor yang dirurunkan.
4. Bronchitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-
paru). Penyakit bronchitis biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan
sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit menahun
(misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia lanjut,
bronchitis bisa bersifat serius.
5. Asma bronkial, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran
pernapasan, sehingga pasien yang mengalami keluhan sesak napas/kesulitan
bernapas. Tingkat keparahan asma ditentukan dengan mengukur kemampuan
paru dalam menyimpan oksigen. Makin sedikit oksigen yang tersimpan berarti
semakin buruk kondisi asma.
2.9. Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme
dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara
umum pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat
sebagai berikut :
14
Sefotaksim
Marolid baru dosis tinggi
Fluorokuinolon respirasi
b. Pneumoni Nosokomial
Pemberian terapi empirik antibiotik awal untuk pneumonia nosokomial
yang tidak disertai faktor resiko untuk patogen resisten jamak, dengan
onset dini pada semua tingkat berat sakit adalah dengan antibiotik
spektrum terbatas atau dengan menggunakan antibiotik spektrum luas.
Pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin. Jika ada
faktor resiko resistensi maka antibiotik diberikan secara kombinasi, jika
tidak ada resiko maka diberikan monoterapi.
Modifikasi antibiotik biasanya diberikan setelah didapat hasil
bakteriologik dari bahan sputum atau darah. Respon terhadap antibiotik
dievaluasi dalam 72 jam.
2.10. Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam
rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
15
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi (PPK, 2018)
Pneumonia biasanya dapat obati dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Bagaimanapun, komplikasi dapat terjadi pada beberapa pasien
terutama penderita yang termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi (faktor
risiko).
Akumulasi cairan: cairan dapat menumpuk diantara pleura dan bagian
bawah dinding dada (disebut efusi pleura) dan dapat pula terjadi empiema. Chest
tube (atau drainage secara bedah) mungkin dibutuhkan untuk mengeluarkan cairan
(PPK, 2018).
Abses: pengumpulan pus (nanah) pada area yang terinfeksi pneumonia
disebut dengan abses. Biasanya membaik dengan terapi antibiotik, namun
meskipun jarang terkadang membutuhkan tindakan bedah untuk membuangnnya.
Bakteremia: Banteremia muncul bila infeksi pneumonia menyebar dari paru
masuk ke peredaran darah. Ini merupakan komplikasi yang serius karena infeksi
dapat menyebar dengan cepat melaui peredaran darah ke organ-organ lain.
Kematian: walaupun sebagian besar penderita dapat sembuh dari
pneumonia, pada beberapa kasus dapat menjadi fatal. Kurang dari 3% penderita
yang dirawat di rumah sakit dan kurang dari 1% penderita yang dirawat di rumah
meninggal dunia oleh peneumonia atau komplikasinya.
2.11. Prognosis
Prognosis penyakit pneumonia secara umum baik, tergantung dari kuman
penyebab dan penggunaan antibiotika yang tepat serta adekuat. Perawatan yang
baik serta intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang
dirawat.
1. Pneumonia Komunitas
Kejadian PK di USA adalah 3.4-4 juta kasus pertahun, dan 20% di
antaranya perlu dirawat di RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh
pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang tua
dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di USA merupakan
penyebab kematian no. 6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada
lanjut usia yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien pneumonia komunitas yang
16
dirawat di ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan
dengan faktor perubah yang ada pada pasien.
2. Pneumonia nasokomial
Angka mortalitas pneumonia nosokomial dapat mencapai 33-50%, yang
bisa mencapai 70% bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang
dideritanya. Penyebab kematian biasanya adalah akibat bakteremia terutama
oleh Ps. Aeruginosa atau Acinobacter spp.
BAB III
PNEUMONIA KOMUNITAS
3.2. Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komunitas banyak disebabkan
bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari
beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari
pemeriksaan dahak penderita pneumonia komunitas adalah bakteri Gram negatif.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia
(Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan
bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil
pemeriksaan sputum sebagai berikut :
Klebsiella pneumoniae 45,18%
Streptococcus pneumoniae 14,04%
Streptococcus viridans 9,21%
Staphylococcus aureus 9%
Pseudomonas aeruginosa 8,56%
17
Steptococcus hemolyticus 7,89%
Enterobacter 5,26%
Pseudomonas spp 0,9%
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih'
kriteria di bawah ini .
18
a. Kriteria minor:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
19
kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral,
dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain
bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.
3.6. Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di
rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya factor modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme pathogen yang spesifik
misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor
modifikasis adalah:
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
Umur lebih dari 65 tahun
Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
Pecandu alcohol
20
Penyakit gangguan kekebalan
Penyakit penyerta yang multiple
Bakteri enterik Gram negative
Penghuni rumah jompo
Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
Mempunyai kelainan penyakit yang multiple
Riwayat pengobatan antibiotic
b. Penatalaksanaan pneumionia komunitas dibagi menjadi:
a. Penderita rawat jalan
• Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
• Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
d. Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
• Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
• Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat
biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat
Intensif.
21
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk
maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.
c. Pengobatan pneumonia atipik:
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia
termasuk atipik. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh
M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan :
Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
Fluorokuinolon respiness
Doksisiklin
d. Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan
obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi
biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral
harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan
antibiotik oral yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti antibiotik iv
yang telah digunakan.
22
Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama),
switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda,
potensi lebih rendah).
• Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
• Contoh switch over: seftasidin iv ke siprofloksasin oral
• Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim
oral. Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari,
kemudian pada hari ke 4 diganti obat oral dan penderita dapat berobat
jalan. (2)
e. Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia
komunitas:
• Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
• Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
• Penderita sudah tidak panas ± 8 jam
• Gejala klinik membaik (mis: frekuensi pernapasan, batuk)
• Leukosit menuju normal/normal
23
3.8. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,
bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan
yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita
yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komunitas kurang dari 5%
pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit
menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka
kematian pneumonia komunitas pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I
0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2%
dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian
penderita pneumonia komunitas dengan peningkatan risiko kelas. Di RS
Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%,
tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20
-35%.
3.9. Pencegahan
• Pola hidup sebut termasuk tidak merokok
• Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini masih
perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut
diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik ,
diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang
24
direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi
antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe
3.
BAB IV
25
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut yang mengenai parenkim
paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil
disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Organisasi Kesehatan Dunia
memperkirakan bahwa satu dari tiga kematian bayi baru lahir disebabkan
pneumonia. Lebih dari dua juta anak di bawah lima tahun meninggal setiap tahun
di seluruh dunia. WHO juga memperkirakan bahwa hingga 1 juta ini (vaksin
dicegah) kematian disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae, dan lebih
dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-negara berkembang.
Etiologi pneumonia antara lain:
1. Bakteri: Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus hemolyticus,
Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus Friedlander.
2. Virus: Respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus,
cytomegalovirus.
3. Jamur: Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidioides immitis,
Aspergillus, Candida albicans.
4. Aspirasi: Makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion, benda
asing.
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta dibantu dengan pemeriksaan penunjang, antara lain: pemeriksaan
radiologis, laboratorium, dan bakteriologis.
DAFTAR PUSTAKA
26
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med; 163: 1730-
54.
2. Panduan Praktik Klinis. 2018. Pneumonia Komuniti-Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksaan Di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
3. Fauci, et al,. 2015. Harrison’s Manual Of Medicine. 17 th Edition. By The Mc
Graw-Hill Companies In North America.
4. Sudoyo, 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK
UI.
5. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Badan Litbang Depkes RI, Jakarta
2018.
6. Laporan tahunan bagian Pulmonologi FKUI, Jakarta tahun 2017.
7. Kurniawan, dkk. 2017. Pneumonia Pada Dewasa. FK Universitas Riau.
Pekanbaru.
8. Depkes RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2018.
Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI; 2018.
27