Anda di halaman 1dari 131

My Sweet Enemy

Oleh :
Ainun Aqsa

Tring...Tring...Tring....
Perlahan aku membuka mata dan merasakan dinginnya suhu di area kamarku. Aku
mematikan jam alarm yang berbunyi tadi. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00 AM, yang
menandakan aku harus segera siap-siap untuk ke sekolah. Akupun bergegas ke kamar mandi
untuk membersihkan diri dan menyiapkan keperluanku untuk sekolah hari ini.
“Fafa sayang kamu udah siap?” suara Mama memanggilku dari dapur.
Akupun menjawab, “Iya Mama sebentar lagi!”
Itulah aku Fafa, nama lengkapku Zulfani Putri Widyawan, gadis sederhana dan selalu
pesimis terhadap hal-hal yang sepele terutama terhadap nilai-nilai di sekolah. Orang
terdekatku biasa memanggilku dengan sebutan Fafa, tapi di sekolah aku dipanggil dengan
nama Zulfa.
“Fafa, hari ini kan kamu sudah mulai SMA? Gak terasa yah, anak Mama ini sudah
besar sekarang” ujar Mama dengan senyum manis di wajah yang sudah agak keriput itu.
“Fafa udah lama gede kali Ma hehehe. Iya Ma. Fafa gak sabar deh memasuki masa-
masa sekolah SMA. Kata temen aku sih kalau masa-masa SMA adalah masa-masa yang
menyenangkan dan sulit untuk dilupain kalau kita udah lulus nanti!” seruku antusias.
Mama menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Emang bener apa kata temen
kamu itu, Mama sendiri buktinya masih mengingat dengan baik masa-masa SMA Mama.
Mama sendiri juga masih mau kembali ke masa-masa sekolah, tapi sayang Mama udah terlalu
tua” canda Mama.
“Mama nggak tua kok, malahan Mama masih terlihat muda banget tau” kataku sambil
menaikkan kedua alisku.
“Muda darimana orang Mama udah punya anak satu, udah SMA lagi” ujar Mamaku.
“Ya udah Ma, Fafa berangkat sekolah dulu, soalnya takut telat MOS di hari pertama
sekolah” kataku.
“Iya sayang, hati-hati di jalan yah” kata Mama.
***
MOS atau yang sering disebut Masa Orientasi Siwa yang berjalan selama 3 hari yang
benar-benar membuat aku hampir gila dan menderita berhasil kulalui dengan lancar, aku
mendapat teman yang bernama Keira dan Dito. Mereka merupakan teman-temanku yang baru
dan sangat baik kepadaku. Dito adalah orang yang cukup pandai, terbukti setelah 1 minggu
bersekolah. Dia adalah orang yang paling cepat mendapat nilai plus dari seorang guru yang
terkenal dengan pelitnya dalam memberikan nilai terhadap siswa.
Dito membisikkan sesuatu kepadaku, “Kamu semangat dong Fafa, masa untuk
naklukin guru gitu aja kamu nggak sanggup sih!”
“Kamu panggil aku apa? Fafa?”
Dito pun mengangguk dan berkata, “Iya, aku panggil kamu Fafa”
“Kok kamu panggil aku itu sih? Kita kan nggak terlalu deket!”
“Yah belum sekarang sih, tapi nanti. Tunggu aja tanggal mainnya”
Akupun menaikkan bahuku dan berkata “Apaan sih gak jelas deh perasaan tadi kita
bahas naklukin guru deh kok malah ke arah situ sih”
“Yeh yang mulai duluan emang siapa hah!” katanya sambil menggodaku.
Aku bergumam pelan, “Ya udah sih, nggak usah diperpanjang. Oh iyalah susah, kamu
sih enak kan pinter. Lah bagaimana dengan aku yang otaknya cuma pas-pasan”

1
Samar-samar ku dengar Dito tertawa. Akupun berkata, “Emang gampang apa
naklukin guru seperti itu? Kamu pake pelet apa sih? Kok bisa banyak guru yang deket banget
sih sama kamu?”
“Hah? Pelet? Emang aku ini ikan apa?” kata Dito dengan candaanya.
Yah begitulah Dito, orang yang humoris, asik diajak ngobrol dan tentunya pandai.
Sedangkan Keira agak tertutup dan pendiam. Aku tak bisa menebak apa yang sedang ada
dalam pikirannya saat ini karena dia hanya diam dan duduk sambil mendengarkan lagu
dengan earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi.
***
Inilah kehidupanku yang baru, sudah berhasil kulalui selama setengah tahun lebih.
Ya...terkadang aku merasa lelah dan jenuh. Karena begitu banyak beban yang harusku
hadapi, tugas, ulangan mendadak, praktikum, ditambah dengan banyaknya laporan yang
harus dikerjakan setelah melaksanakan praktikum. Hal itulah yang selalu menghantui
hidupku akhir-akhir ini selama sekolah 6 bulan pertama. Belum lagi siksaan dari dalam diriku
sendiri saat melihat nilaiku yang sangat-sangat tidak membuat aku merasa puas. Terkadang
aku mendapat nilai 70, 75, 78 bahkan pernah aku mendapat nilai 65. Sebatas itukah
kemampuanku? Sementara Dito? Dia selalu mendapat nilai 90 dan beberapa nilai 95 dan
nyaris sempurna. Aku merasa dia adalah saingan terberatku dan aku harus mengalahkannya.
Ya, aku harus berusaha dan optimis bahwa aku pasti bisa!
“Zulfa...” tegur Keira yang duduk di sampingku. Akupun tersentak dari lamunanku
akan bagaimana nasib nilaiku kedepannya.
“Eh ada apa Kei?” kataku.
“Ke kantin yuk? Aku laper nih” kata Keira sambil memegang perutnya.
“Ya udah ayok” ujarku dengan tidak bersemangat.
“Kok kamu melamun sih Fa dari di kelas sampai di kantin? Sampai-sampai makanan
pesanan kamu udah dingin tuh” kata Keira mengagetkanku untuk yang kedua kalinya.
“Aku nggak Papa kok, cuman banyak pikiran aja” jawabku.
“Oh ya udah sih, ceritain aja ke aku siapa tau aku bisa bantu?” kata Keira lagi.
“Ini bukan masalah besar kok, aku bisa atasin semuanya sendiri. Tenang aja aku kuat
kok hehehe” jawabku dengan pelan.
“Ya udah kalau gitu kita kembali ke kelas yuk” ajak Keira kepadaku.
“Iya aku juga nggak mood makan nih” kataku.
“Kok kamu melamun lagi sih Fa?” tanya Keira kepadaku.
“Mikirin aku ya, Fa?” ucap Dito dengan begitu pedenya.
“Apa Dit? Mikirin kamu? Wuekkk!! Yang ada aku mikirin nilai-nilaiku dan nilai
kamu Dit. Aku pesimis deh bisa rangking di kelas, ditambah lagi punya saingan kayak kamu
yang pintarnya selangit. Aku ngerasa capek deh ngadapin ini semua” jawabku.
“Jangan pesimis gitu dong Fafa sayangku” ujarnya dengan semangat.
“Apaan sih panggil-panggil sayang. Jijik tau” ujarku sambil membunag muka.
“Bercanda kali Fa, tapi kalau mau serius. Aku siap kok” jawabnya dengan pede
tingkat dewanya.
“Ih dasar Dito gak jelas”
“Hush kalian berdua nggak usah berantem deh. Bingung deh aku kalau kalian setiap
bertemu pasti berantem” ujar Keira di tengah-tengah perdebatanku dengan Dito.
“Tuh dengerin makanya nggak usah bawel Fafa sayang” kata Dito.
“Ih stop panggil aku dengan sayang” jawabku tegas.
“Iya nih kamu juga Dito dari tadi kamu cari gara-gara terus yah sama Fafa” ujar
Keira.
“Iya deh, maafin aku Fafa” jawab Dito dengan muka memelasnya. “Iya aku maafin,
jagan diulangin lagi yah” jawabku dengan tersenyum ke arahnya.

2
“Iya janji” kata Dito.
Drtttt...Drttt...Drttt....
Handphone Keira berbunyi sehingga memecah suasana hari ini.
“Eh aku pamit yah, soalnya aku disuruh pulang sama Ibu” pamit Keira kepadaku dan
juga Dito.
“Ya udah hati-hati di jalan yah” kataku kepada Keira.
“Kamu jangan pesimis banget jadi orang. Kamu pasti bisa, Fa! Jangan lemah kayak
gitu dong! Aku pasti selalu ada buat kamu, kalau kamu butuh bantuan aku, Fa. Percaya deh!
Aku juga siap kok jadi tempat curhat kamu, asal kamu gak nyerah dan putus asa begini” kata
Dito sambil menyemangati aku.
“Makasih ya Dito. Tapi tumben deh kamu baik banget sama aku pakai kata-kata bijak
segala lagi” sindirku.
“Yah aku mau bantu kamu aja, dan berubah menjadi yang terbaik buat kamu”
jawabnya dengan semangat.
“Iyain aja deh biar cepet” jawabku sambil tertawa.
“Nah gitu dong, semangat” kata Dito.
“Iya kamu janjikan mau bantuin aku?” ujarku.
“Iya aku janji, demi kamu aku korbankan semua semampuku” jawabnya dengan
tampang pedenya.
“Apasih dasar lebay” jawabku setengah tertawa.
Janji yang tidak pernah diingkarinya, dia benar-benar membantuku, menjadi tempat
aku bersandar dan menjadi tempat aku mengeluarkan semua keresahanku, serta semua
keganjalan yang ada dalam hatiku. Saat itulah aku mulai menyadari bahwa aku mulai ada
perasaan terhadap Dito.
***
Pagi hari yang cerah, mentari yang sejuk dan kicauan-kicauan burung yang aku
dengar hari ini menambah indah hari-hariku. Aku berjalan dengan pelan tapi pasti menuju
sekolah. Setibaku di sekolah aku berPapasan dengan Dito dan dia mengajakku ke kelas
bareng.
“Pagi Zulfa” sapa Keira dengan semangat.
“Pagi Kai” balasku.
“Aku nggak disapa nih?” tanya Dito dengan wajah dIbuat kesal.
“Pagi juga Dito” ujar Keira sambil tersipu malu.
“Kok pipi kamu merah gitu sih Kei” tanyaku kepada Keira.
“Ah nggak sih Fa, biasa aja kok” jawabnya sambil memegang kedua pipinya.
“Jangan-jangan kamu suka aku yah Kei” ujar Dito dengan percaya diri.
“Apasih dasar cowok gak jelas” jawab Keira sambil senyum-senyum.
Dalam hati aku berkata “Sepertinya memang benar Keira suka deh sama Dito”
***
Sepulang sekolah aku langsung ke kamar dan membersihkan diri lalu mengerjakan
tugas yang sempat tertunda di sekolah tadi.
Ting...Ting...Ting....
“Fafa bukain pintu sayang” ujar Mamaku dari arah belakang rumah.
“Iya sebentar” jawabku pada tamu itu.
“Eh kamu Kei, masuk sini” ujarku setelah melihat tamu tersebut. Kemudian mengajak
Keira untuk masuk ke rumah.
“Maaf yah Fa, aku ke rumah kamu tanpa beri tahu kamu terlebih dahulu” ujar Keira
setelah duduk di sofa ruang tamu.
“Nggak Papa kok, emang ada masalah apa Kei? Tumben kamu ke rumah aku tanpa
janjian terlebih dahulu?” tanyaku lagi.

3
“Aku to the point aja yah, Fa! Kayaknya aku suka sama Dito deh” suara Keira
mengagetkan aku.
“Yah itu bagus dong, aku pasti bantu kamu kok untuk lebih dekat dengan Dito!”
jawabku dengan tenang, walaupun aku sangat berat untuk mengatakan hal itu.
“Makasih ya Zulfa, kamu memang sahabat terbaik aku” ujarnya lagi sambil
memelukku.
“Iya sama-sama” jawabku sambil membalas pelukannya juga.
Dalam hati aku berkata, “Aku rela mengikhlaskan seseorang yang aku sayangi demi
melihat sahabatku sendiri bahagia. Meski aku tersakiti dengan itu semua. Tapi aku akan
berusaha mengikhlaskannya” berusaha menenangkan diriku.
***
Drttt...Drttt...Drttt....
“Halo Dito?” sapaku.
“Iya Fa, kamu sIbuk nggak?” tanyanya kepadaku.
“Nggak sih, emangnya ada apa?” tanyaku lagi.
“Boleh aku ajak kamu keluar jalan-jalan nggak?” ujarnya.
“Boleh sih, tapi kemana?” jawabku.
“Ke mall aja deh sambil kita nonton film yang baru tayang di bioskop, gimana?”
tawarnya kepadaku.
“Oke, aku siap-siap dulu yah” ujarku. Lalu, mematikan sambungan telepon dengan
sepihak.
***
Awalnya aku tidak menginginkan perasaanku terhadap Dito tumbuh. Tapi, apa boleh
buat nasi telah menjadi bubur. Dito mengajakku untuk mejadi pacarnya dan akupun
menjawabnya dengan iya. Seakan aku lupa akan janji dengan sahabatku sendiri bahwa aku
akan membantunya untuk dekat dengan Dito yang tak lain adalah pacarku sendiri. Akhirnya,
aku memutuskan untuk merahasiakan hubunganku dengannya. Sehingga 1 tahun belakangan
ini semuanya berjalan sesuai harapan kita berdua agar tidak ada seorangpun yang
mengetahuinya. Kami mejalani pacar secara rahasia atau biasa disebut dengan backstreet.
Akupun juga tidak mau berbohong pada Keira, sehingga aku menepati janji itu. Aku
selalu membantunya untuk dekat dengan Dito. Aku selalu mempengaruhi Dito agar ia mau
mendekati Keira walaupun ia selalu menolak.
“Kenapa sih Fa? Kamu selalu nyuruh aku buat deket sama Keira, kamu juga selalu
jodoh-jodohin aku sama dia. Kamu nggak ngerti apa aku sukanya sama kamu! Aku
sayangnya sama kamu!” kata-kata itu menggetarkan hatiku dan membuatku terpaku diam.
“Tapi aku mau Keira bahagia. Aku rela ngorbanin semuanya demi Keira, dia sahabat
aku Dit!” ujarku dengan tegas.
“Kalau kamu mengorbankan ini, kamu sama aja nyakitin perasaan 3 orang sekaligus,
yang pertama aku. Yang kedua, Keira, gak mungkin dia menerima kasih sayang kepalsuan
dari aku. Dan yang ketiga, itu kamu sendiri. Kapan sih kamu mikirin kebahagiaan kamu
sendiri, Fa! Kamu selalu ngorbanin semuanya sama orang-orang sekitar kamu! Aku nggak
mau tahu, aku pengen kamu bahagia, aku suka sama kamu, Zulfa! Kamu jangan bohongin
diri kamu sendiri, biar aku yang jelasin semuanya sama Keira” kata Dito tak terbantahkan.
“Nggak perlu kok Dit, aku udah denger semuanya dengan jelas. Dan untuk kamu
Zulfa makasih atas semua kebohongan yang selama ini kamu berikan untukku” ujar Keira
yang tiba-tiba muncul sambil menangis.
“Aku nggak bermaksud begitu Kei, dengerin penjelasan aku dulu” kataku sambil
memegang tangan Keira.
“Jelasin apa lagi sih Fa? Kamu tega ya. Kenapa kamu bohongin aku? Kenapa kamu
mau bantu aku tapi taunya kamu juga suka sama dia? Kenapa kamu mau aja ngebiarin aku

4
terjebak dalam kebohongan kamu? Saat aku nanya Dito udah punya pacar atau belum, kamu
selalu jawab nggak tau, padahal kamu tau. Kenapa kamu selalu mau denger aku curhat?
Selalu dukung aku? Hah? Kamu tega ya!” bentaknya terhadapku.
Segala jenis permintaan maafku tidak diterima olehnya, tetapi Dito selalu
mendukungku, tetap menjagaku dan menemaniku. Ia tidak pernah meninggalkanku, ia
adalah sumber semangatku, selalu memberiku semangat saat menghadapi masalah Keira dan
masalah sekolah.
“Ini semua gara-gara aku Fa. Aku janji gak akan pernah ninggalin kamu sampai kapan
pun! Aku pasti sealu ada buat kamu, kamu gak sendiri ngadapin semua in!” jawabnya dengan
tulus.
“Iya, aku percaya kok sama kamu. Makasih yah Dito selama ini kamu selalu nemenin
aku dikala duka maupun senang” kataku.
“Iya sama-sama Fafa” jawabnya.
***
Semua berlalu begitu cepat, hari di mana aku, Dito dan Keira lulus. Aku mendapat
nilai yang sangat memuaskan, namun hatiku masih terasa sangat berat untuk meninggalkan
sekolah ini jika masalahku dengan Keira belum juga selesai.
“Keira selamat ya, kamu lulus. Aku minta maaf sama kamu, aku sayang kamu! Aku
mau persahabatan kita nggak hancur seperti ini cuman gara-gara satu cowok. Aku bakalan
putusin Dito kok asalkan kamu mau jadi sahabatku lagi” aku mencoba meminta maaf lagi
padanya.
“Zulfa maafin aku juga ya, aku sadar, aku yang salah di sini. Aku terlalu egois, aku
terlalu memaksa apa yang aku hendaki agar bisa menjadi kenyataan tanpa aku memikirkan
perasaan kalian berdua. Maafkan aku Zulfa, Dito” sahabat lama yang sempat meninggalkan
aku memelukku dengan erat. Air mata kebahagiaan membasahi pipiku dan Keira yang sudah
lama berpisah.
***
Tepat setelah 10 tahun sudah kami berpacaran, hingga akhirnya kami memutuskan
untuk melanjutkan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius. Keira adalah salah satu orang
yang membantuku untuk mempersiapkan hari istimewa ini.
“Fa selamat ya, akhirnya hari ini kamu nggak akan sendirian lagi” ujarnya kepadaku.
“Makasih ya Kei, kamu juga harus cepet nyusul ya hehehe...” jawabku sambil
tersenyum ke arahnya.
Dan Mama orang yang sangat berarti bagi hidupku “Selamat ya anak Mama yang
paling cantik, ternyata Mama nggak nyangka kamu secepat ini mendapatkan jodoh kamu nak.
Mama berharap hidup kamu selalu bahagia dan ingatlah ini semua awal dari kehidupan kamu
yang baru. Mama akan selalu dukung kamu” nasihat dari Mamaku.
Hari ini adalah hari yang sangat istimewa bagiku. Hari yang membuat aku merasa
beruntung, hari ini kita sama-sama berjalan ke masjid, sama-sama mengucapkan janji kita
dihadapan Allah SWT dan semua orang yang hadir pada saat itu, dan menyematkan cincin di
jari kita masing-masing. Hari itu cincin adalah saksi bisu kisah cinta kita. Aku tak akan
pernah menyangka kau adalah jodohku, orang yang pernahku anggap sebagai saingan
terbesarku, malah menjadi orang yang selalu mendukungku, menjadi sandaran saat aku lemah
dan orang yang selalu menjadi alasan untuk aku tetap semangat. Aku berharap aku dapat
memberi yang terbaik bagimu, aku berjanji akan selalu setia bersamamu hingga maut
memisahkan kita. Aku menyayangimu Dito Bima Anugraha.
~END~

5
Biodata Penulis

Nama : Ainun Aqsah


TTL : Barru, 23 Juni 2001
Alamat : Jl. Zakarian, Buttue
Cita-Cita : Apoteker
Hobi : Membaca
Asal Sekolah : SMA Negeri 1 Barru
Riwayat Pendidikan :
1. TK Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA, Sangata Utara)
2. SD Negeri 06 Buttue
3. SMP Negeri 1 Barru
Ig : Ainunaqsaa23
Motto : Cintai dirimu, syukuri hidupmu dan banggakan orangtuamu.

6
Cinta Dalam Diam
Oleh :
Annisa Nursafitri

Hanya sebuah kehidupan yang bermajas paradoks, di mana akulah pemeran utama
dari naskah drama yang telah Tuhan tuliskan, yang akhirnya hanya ada dua pilihan,
menyedihkan atau menyenangkan. Dan terima kasih pada Tuhan karena telah memberikan
akhir yang menyedihkan padaku sehingga aku tahu sekuat apapun aku bangkit dari
keterpurukan maka akan semakin dalam aku jatuh di dalamnya.
Hari-hari yang aku jalani sungguh menyenangkan seperti yang gadis-gadis seusiaku
pada umumnya. Terlahir dari keluarga kaya cukup menguntungkanku dalam hidup ini. Aku
bisa membeli apapun yang aku inginkan tanpa merengek, aku punya apa yang gadis lain
inginkan. Aku bisa dengan sesuka hatiku membuang uang yang aku miliki, tidak bermaksud
sombang, aku hanya mengatakan fakta yang ada. Hidup di lingkungan seolah di mana kau
menjadi pusat peradaban tidaklah mudah dan itu termasuk juga dengan orang yang aku cinta.
Simpel, Aku sudah beranjak dewasa, usiaku sudah 23 tahun, dan sebuah kewajaran
bagiku untuk merasakan yang mereka sebut jatuh cinta. Ah...tak seperti dalam dongeng aku
bertemu dengannya tidak semenyenangkan Cinderella dengan pangerannya dan tidak pula
semenyedihkan kisah si Putri Duyung yang menjadi buih. Hanya pertemuan biasa, antara aku
si gadis kaya yang manja dan si lelaki buta dengan tongkatnya. Hey, memangnya apa yang
bisa aku banggakan dari seorang yang buta?
Jawabanya satu. Aku jatuh cinta padanya. Hanya itu.
Jatuh cinta tak menjadikan aku dan dirinya atau kita panggil saja Shawn, menjalin
hubungan atau di sebut pacaran. Tidak. Yang aku lakukan hanya memandanginya di setiap
sore hari, biasanya dia akan duduk di bawah pohon dan berdiam di sana selama dua hingga
tiga jam. Dan aku sudah memperhatikannya sejak seminggu ini.
Tapi di hari selanjutnya aku penasaran akan suaranya. Hahaha...lucu saja jika
mengingatnya. Jadi dengan modal penasaran aku mendekatinya dan duduk di sampingnya
“Hey...” sapaku.
Kuliat ia agak terkejut dan bergerak mencari di mana posisiku.
“Aku ada di samping” ia menoleh ke samping kiri dan terkekeh.
“Lebih tepatnya di samping kanan” sontak kepalanya menoleh ke arahku dan
tersenyum.
“Maaf, apa aku terlihat seperti orang bodoh?” tanyanya.
Dia punya pembawaan yang menyenangkan ternyata. Dan yang utamanya adalah
suaranya, entah mengapa itu terdengar baik di telingaku. Rasa penasaranku terpuaskan.
“Tidak, aku sering melihatmu, setidaknya selama beberapa hari ini, apa kau datang
kemari sendiri?” tanyaku.
“Ya…di sini menyenangkan, rasanya sangat teduh dan nyaman. Dan tentang datang
kamari, ya aku datang sendiri” jawabnya.
“Ah...memangnya kau tinggal di mana?” okey…rasanya aku sedang mewawancarai
dia saja.
“Tak, jauh dari sini”
Hening menguasai sejenak hingga ia memutuskan untuk bersuara, “Apa kau tak
merasa malu duduk dan bicara dengan orang buta sepertiku?”
“Tak ada yang salah dengan itu, setiap orang punya hak untuk melakukan apapun
termasuk itu, duduk dan bicara pada seorang lelaki buta” ucapku itu mungkin sedikit
sarkasme namun yang aku dapatkan darinya malah dia tersenyum. So? Aku simpulkan dia
tidak termakan emosi dengan candaanku tadi.

7
Dan begitulah aku habiskan soreku selama beberapa hari, duduk dan melakukan
pembicaraan ringan dengannya, awalnya aku seolah tak percaya bagaimana dia bisa berbicara
dengan lugas dan kata-katanyapun sangat keren menurutku, disaat ia tak pernah mengenyam
yang namanya sekolah karena telah buta sejak lahir. Dan aku sangat ingat katanya padaku
waktu itu.
“Bagiamanpun kerasnya aku berusaha untuk bangkit dari keterpurukan maka akan
semakin dalam aku jatuh di dalamnya. Tapi dari sudut hatiku, aku tahu bahwa Tuhan tidak
pernah buta untuk melihat luKaku, makanya dia sedang mencari waktu yang tepat untuk
menyembuhkannya” senyum dan kekehan lembut dari bibirnya mengakhir kalimat itu.
Itu adalah kata-kata terakhirnya dan sejak saat itu aku tak pernah lagi melihatnya di
bawah pohon, awalnya aku kira dia sedang ada kepentingan lain dan di hari berikutnya masih
saja seperti itu sampai tahun-tahun berikutnya.
Kini aku sudah sepenuhnya menjadi seorang wanita yang dewasa bukan lagi remaja
yang beranjak dewasa, masih dengan perasaan yang sama aku menunggu waktu di mana
Tuhan memberikan aku kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.
Aku juga menjadi lebih sering mengunjungi pohon itu, utamanya saat waktuku sedang
luang. Seperti ucapannya kala itu, di sini memang sangat teduh dan nyaman. Ah…pantas saja
dia betah berlama-lama di sini.
Hari hampir gelap saat aku meninggalkan tempat itu.
“Apa kau yang bernama Raina?” ah…fokusku buyar saat seorang lelaki bertubuh
tinggi menghampiriku.
“Ya, itu aku” jawabku seadanya.
“Apa kita bisa berbicang sebentar?”
Awalnya aku enggan, lagi pula aku tidak begitu suka untuk berbicara dengan
seseorang yang tak kukenal sembelumnya, apalagi ini juga sudah agak sore, aku hanya takut
hal buruk terjadi.
“Aku pikir Shawn bohong padaku saat dia berkata bertemu dengan seorang wanita
cantik”
Tubuh menengang, apa dia menyebutkan nama Shawn tadi?
“Kamu mungkin bertanya-tanya kenapa aku tiba-tiba datang padamu dan langsung
membahas hal ini. Aku Mike, saudara Shawn lebih tepatnya aku Kakaknya, kami tinggal
bersama setidaknya sampai tiga tahun yang lalu” mulainya dengan senyum yang sangat mirip
dengan milik Shawn.
“Apa kalian sekarang tidak tinggal bersama lagi?” tanyaku. Aku merasa agak senang
karena sepertinya aku akan bertemu dengannya lagi.
“Ya…sekarang dia tinggal di tempat yang sangat jauh”
“Apa aku bisa menemuinya?” semoga saja bisa. Namun pria di hadapanku ini
menggeleng.
“Shawn sudah meninggal, ah…saudaraku yang malang”
“Apa maksudmu?! Terakhir aku bertemu dengannya dia baik-baik saja!”
“Tapi tidak dengan setelahnya. Jika Shawn bilang padamu jika ia buta sejak lahir
maka dia bohong. Shawn buta karenaku, saat itu kami mengalami kecelakaan dan mataku
rusak, Ayahku marah besar saat itu, dia menuduh Shawn adalah pembawa sial, lalu ia berkata
padaku ‘kau bisa ambil mataku dan melihatlah untukku’. Awalnya aku tak mengerti sampai
suatu saat aku bangun dan aku sudah bisa melihat dan dia yang harus buta untuk selamanya,
sebenarnya ia bisa saja sembuh tapi aku tidak pernah tahu jika setelah melakukan tranplantasi
mata itu, Shawn sangat menderita” Mike memutus tatapanya padaku, aku tahu dia ingin
menangis namun ia tak mau itu terlihat olehku sepertinya.
“Menderita?” beoku, tanpa sadar.

8
“Yah...Ayahku tak menyukai Shawn bahkan ketika dia telah memberikan matanya
padaku. Ayah selalu memukulinya apabila Ayah kesal, Ayah bahkan mengurung Shawn di
kamar selama seminggu dan tidak diberi makan. Lalu suatu hari ia datang padaku dan berkata
bahwa ia bertemu seorang wanita yang cantik dan katanya harinya jauh menjadi lebih hangat
dan berwarna. Adikku yang malang itu bilang bahwa wanita itu bernama Raina”
“Dia berkata seperti itu? Dia bahkan tidak pernah melihat wajahku” aku tertawa
padahal aku sedang menangis, hey…aku kenapa?
“Dia bilang wanita yang cantik punya suara yang indah” Mike tersenyum saat
mengatakan itu, mungkin dia mengingat bagaimana ekspresi Shwan kala itu, entahlah. Mike
menjeda dan kembali bersuara, “Dia sangat ingin bersamamu hingga akhir, hingga suatu hari
Ayah pulang dalam keadaan mabuk dan memukuli Shawn, saat itu aku tidak di rumah. Ayah
sangat kesal pada saat itu sampai ia memukuli kepala Shawn dengan vas bunga lalu
mendorong hingga jatuh dari tangga. Aku pulang larut saat itu dan menemukannya tengah
terbatuk mengerang menahan sakit”
Air mataku menetes, tak pernah aku sangka seseorang yang aku cintai dalam diam
semalam ini, seseorang yang punya senyum sehangat itu bisa punya kehidupan sesakit itu?
Ke mana Tuhan? Apa ini yang namanya adil? Kenapa ada cobaan yang seberat itu?
“Lalu dia bilang padaku ‘aku ingin bersama wanita cantik itu Kak, tapi sepertinya
Tuhan sudah ingin bertemu padaku. Bagaimana ini? Sekarang kepalaku sangat berat dan
aku sangat mengantuk Kak…katakan padanya bahwa aku mencintaimu” Mike tak bisa
menahan airmanya dan menatapku.
“Dia ingin mengatakan itu padamu, tapi tampaknya aku yang mendapat amanah untuk
menyampaikannya padamu, kau harus tahu senyumnya merekah di setiap saat, ketika ia habis
bertemu denganmu. Katanya rasa ini sangat menyenangkan hingga sakit yang tertimbun di
hatiku perlahan sirna”
Air mataku terus saja mengalir, aku sudah menghapusnya dan berusaha untuk tidak
menangis lagi tapi tetap saja seperti itu, aku tidak tahu kenapa rasanya sampai seperih ini?
Seketika aku teringat kata-katanya dulu,
“Bagiamanpun kerasnya aku berusaha untuk bangkit dari keterpurukan maka akan
semakin dalam aku jatuh di dalamnya. Tapi dari sudut hatiku, aku tahu bahwa Tuhan tidak
pernah buta untuk melihat luKaku, makanya dia sedang mencari waktu yang tepat untuk
menyembuhkannya”
“Ya…sepertinya Tuhan telah menyembuhkan lukamu, hingga Diri-Nya memutuskan
untuk bertemu dengamu secepat ini”
~END~

9
Biodata Penulis
Nama : Annisa Nursafitri
TTL : Pare-Pare, 19 Februari 2001
Alamat : Takkalasi
Cita-Cita : Dokter
Hobi : Menari
Asal Sekolah : SMA Negeri 1 Barru
Riwayat Pendidikan :
1. Tk Dharma Wanita Kartini, MAdello
2. SD Negeri Takkalasi
3. SMP Negeri 1 Balusu
Ig : annisatsam
Motto : Tidak ada orang yang sukses tanpa kerja keras dan doa.

10
Klise
Oleh :
Arisman Saputra

Hari seperti biasa di ruang kantor baruku, maklum kantorku baru pindah tempat dari
ruko yang kecil nan sumpek. Hari ini adalah hari pertama untuk kedua staf baruku di divisi
keuangan. Salah satunya yaitu Yuli, dia orang yang aktif dan mudah bergaul.
Satu minggu setelah hari pertamanya ia langsung mengajak aku dan 2 orang temanku
untuk berkaraoke bersama. Akhirnya kami pun berangkat karaoke berempat yaitu aku, Yuli,
Antoni dan wanita yang aku sayangi Afifa. Selesai kami karaoke, aku dan Afifa tidak
langsung pulang, kami berdua mencari tempat makan yang dekat dengan tempat karaoke
tersebut, karena Anton dan Yuli sudah harus pulang ke rumah terlebih dahulu.
Semenjak kejadian malam itu aku dan Afifa sering BBM-an (Blackberry Messenger)
bahkan di ruang kantor yang hanya berjarak 2 meter denganku, kami sering BBM-an.
Semakin hari perasaanku semakin kuat dan yakin kalau aku benar-benar sayang pada Afifa.
Tapi perlu aku perjelas bahwa Afifa baru saja bercerai dari suaminya dan ia sedang mengurus
surat-surat perceraiannya. Satu lagi, ia sudah memiliki anak berumur 2 tahun bernama Rara.
Umurku yang terpaut jauh darinya membuatku merasa bahwa ia tak mungkin melirikku untuk
berhubungan serius dengannya.
Semenjak kejadian di karaoke itu pula kadang aku dan Afifa sering pergi berdua
selesai jam kerja atau saat jam istirahat, tak ada orang kantor yang curiga melihat kami pergi
berdua karena memang umurku yang 20 tahun sedangkan dia 37 tahun terlihat seperti Kakak
dan adik, tapi perasaanku berkata lain, Afifa adalah wanita yang memancarkan kenyamanan
untukku.
Hari ulang tahunku semakin dekat, akupun berencana mengajak Afifa untuk
merayakan ulang tahunku dengan menonton di bioskop dan dia menyetujui ajakanku.
Informasi tambahan, bahwa aku bekerja sambil kuliah malam. Saat hari ulang tahunku,
akupun ternyata ada ujian di malam hari. Maka saat siang hari sebelum ujian aku
memberitahu Afifa bahwa aku bisa pergi dengannya di malam hari setelah ujianku selesai,
ternyata dia tidak bisa karena jika sudah pulang ke rumah, anaknya tidak mau lepas darinya.
Akupun terpaksa mengatakan batal dan menundanya sampai 3 hari setelah semua ujianku
selesai.
Akhirnya usai jam kantor akupun bergegas menuju kampus untuk ujian. Seusai ujian
akupun duduk di lingkaran kampus bersama teman-temanku sambil beberapa temanku
mengucapkan selamat ulang tahun, tiba-tiba hpku berdering dan ternyata Afifa
menghubungiku.
“Jul, kamu di mana? Aku lagi di p*ri nih, aku tunggu kamu di XXI ya?”
Tanpa basa-basi aku langsung menjawab, “Kamu mau tungguin aku? Aku bisa sedikit
lama, kampus akukan jauh dari p*ri”
“Gak apa-apa, aku tunggu kamu di XXI aja”
Seperti dapat berlian rasanya, bahagia banget ternyata dia mau menungguku dari jam
pulang kantor sampai ujianku selesai di hari ulang tahunku ini.
Akupun bergegas beranjak ke tempat dia menungguku. Sesampainya di sana, ternyata
dia sedang menungguku sambil menyeruput minuman yang segar sekali kelihatannya. Aku
pun duduk dan bertanya
“Kok kamu bisa di sini?”
Diapun menjelaskan panjang lebar kepadaku bahwa seusai jam kantor tadi, dia
menghubungi temannya untuk menemani dia jalan-jalan di mall alasan ke temannya yaitu
karena dia sedang bosan, padahal sebetulnya dia menungguku selesai ujian. Karena kalau dia

11
menungguku di rumah dan menjemputnya untuk keluar lagi pasti tidak akan bisa, karena
anaknya tidak mau di tinggal. Dalam hati akupun berteriak kegirangan karena dia mau
menungguku hampir 3 jam seusai jam kantor hanya untuk merayakan ulang tahunku tepat di
hari ulang tahunku bukan di hari lain karena tertunda.
Akhirnya kamipun jalan-jalan di mall dan berakhir di kedai kopi yang aku suka. Dia
menunjukan foto suaminya yang sudah menikah lagi, padahal surat percerainnya pun belum
selesai. Aku melihat sedikit kesedihan terpancar dari matanya, aku ingin memeluknya
sebagai teman, tapi aku takut dia bernaggapan lain dan memarahiku “dasar pria beregs*k”
pikirku.
Kamipun sering berjalan-jalan seusai jam kantor, kadang mencari DVD, makan sore
dan pernah setelah mencari DVD kami makan soto di pingiran jalan dan kami kehujanan saat
dalam perjalanan pulang, saat itu juga dia memelukku erat perasaanku bercampur antara
senang dan kebingungan. Akhirnya aku katakan lewat BBM bahwa aku menyanyanginya
lebih dari sekedar teman, tapi dia menjawab
“Kamu gak salah ngomong? Aku kaget dengernya, perjalanan kamu masih panjang,
jangan jatuh di orang yang salah”
Jegeeerr bagaikan disambar petir 70.000 volt, seketika itu aku galau. Semenjak
kejadian itu aku takut dia berubah tapi dia selalu mengatakan bahwa ia berjanji tidak akan
berubah asal aku tidak ada perasaan apa-apa lagi.
Sekitar 2 minggu kami layaknya benar-benar teman kantor, jarang bertegur sapa,
berbicara seperlunya. Tidak tahan dengan keadaan seperti ini aku pun mulai berani membuka
pembicaran dengan menawarkan diri lagi untuk menjemputnya saat berangkat ke kantor.
Akupun mulai dekat lagi dengannya, kadang aku bingung, dia menyuruhku seakan akan
untuk melupakan perasaan itu tetapi perlakuan dia saat kami dekat lagi, itu lebih dari sekedar
teman, akupun hanya bisa menerima semua itu karena perlakuan dia itupun membuatku
nyaman.
Hari ini kami berencana untuk menonton bioskop bersama-sama, masih seperti dulu
yaitu aku, Afifa, Anton dan Yuli, karena dari sekian banyak staff, hanya kami yang suka
jalan-jalan. Saat memasuki bioskop akupun memegang tangannya agar dia tidak jatuh saat di
geser-geser oleh orang lain ketika memasuki gedung bioskop. Selama film berlangsung
tangannya selalu memegang pergelangan tanganku. Tuhan, kenapa kalau dia gak sayang, kok
tangannya selalu memegang tanganku.
Selesai nonton bioskop akupun memegang tangannya kembali saat keluar dari gedung
bioskop. Akupun mengantarkannya sampai depan pintu apartemennya, karena tadi kami
menonton film horor jadi dia sedikit takut untuk naik lift dan melewati lorong sendirian.
Sampai hari ini kadang kami suka bertengkar karena aku cemburu saat dia diantar pulang
oleh staf-nya, kadang kami masih sering BBM-an walaupun aku tahu saatnya nanti akan
datang, yaitu saat dia memiliki suami dan Ayah baru untuk anaknya, karena dia tidak
mungkin memilih aku untuk menjadi suaminya di umurku yang masih 20 tahun ini.
“Aku dan dia tidak mungkin bersama selamanya tapi aku rela patah hati hanya untuk
bisa bersama nya sedikit lebih lama”
Aku masih dekat dengan dia sampai saat aku menulis cerita ini, entah apa yang akan
aku rasakan jika nanti ia mendapatkan laki-laki yang ia pilih untuk menjadi suaminya. Seperti
judul cerpenku, “Aku dan dia tidak mungkin bersama selamanya tapi aku rela patah hati
hanya untuk bisa BERSAMANYA SEDIKIT LEBIH LAMA”.
~END~

12
Biodata Penulis
Nama : Arisman Saputra
TTL : Soppeng, 10 Oktober 2000
Alamat : Jl. H. M. Sewang
Cita-Cita : Dokter
Hobi : Main Game
Asal Sekolah : SMA Negeri 1 Barru
Riwayat Pendidikan :
1. TK Aisyah
2. SDI Soppeng
3. SMP Negeri 1 Barru
Ig : Arismansaputraa
Motto : No game no life.

13
Kenangan Dalam Setiap Langkah
Oleh :
Asrianti Ridwan

Jhona Airi Sanjaya biasa dipanggil Airi, dianugerahi paras yang cantik. Dia memiliki
sepasang mata yang bulat, bulu mata yang lentik dan bibir yang merona ditambah dengan
tubuhnya yang ideal.
Setiap sore sepulang sekolah dia akan ke tempat di mana sekarang ia berdiri, halte.
Bukan tanpa alasan dia ke tempat itu setiap hari, halte itu berseberangan dengan lapangan
basket. Airi akan sangat senang melihat bola basket yang memantul dan terjun dengan bebas
dari ring, di sana juga tempat dia menunggu angkutan umum yang lewat saat pulang sekolah
dan terutama dia bisa melihat orang yang sangat dia cintai dari dulu sampai saat ini walaupun
dia tahu orang itu tidak akan pernah melihat dirinya.
Sedari tadi Airi dan temannya menunggu angkot di halte itu tapi tidak ada satu pun
yang lewat. Kalaupun ada, angkot-angkot itu sudah terisi penuh. Mungkin doa Ninda salah
satu teman Airi yang sedari tadi berdoa supaya angkot lewat dikabulkan, akhirnya mobil
berwarna biru dengan kursi panjang di dalamnya berhenti di depan halte. Airi dan teman-
temannya pun masuk dan bernapas lega. Tapi ada sedikit rasa tidak rela meninggalkan halte
di hati Airi. Bagaimana tidak, selama di halte tadi dia hanya terfokus pada seseorang yang
memainkan bola basket dengan lincah, sebelum angkot melaju pun Airi melambaikan tangan
ke arah orang tersebut dari dalam mobil, teman Airi hanya menggeleng-gelengkan kepala
melihat kelakuan Airi.
***
Hari ini tidak ada siswa ataupun siswi yang mengenakan seragam sekolah seperti
biasanya karena hari ini adalah hari pekan olahraga dan seni di SMA harapan. Kelas XI IPA
5 termasuk Airi, asyik menonton pertandingan bola basket dan wasitnya adalah cowok itu
yang selalu ia perhatikan setiap hari. Alden Ramatha.
Dari awal pertandingan sampai sekarang fokus Airi hanya tertuju pada Alden. Dia
memerhatikan semua gerak-gerik Alden selama dilapangan. Tapi seketika fokusnya
terganggu karena samar-samar ia mendengar teman-temannya menyebut nama Alden.
“Eh kalian tau nggak kalau Kak Alden itu udah punya pacar” seketika hati Airi seperti
teriris pisau mendengar itu dan ada tanda tanya besar dikepalanya.
“Hah? Kamu serius Wan?” tanya Airi dengan suara bergetar menahan tangisnya.
“Iya serius udah lama, cocok kan mereka”
“Emang pacarnya yang mana?” kali ini Ninda yang bertanya karena Ninda tahu
perasaan Airi saat ini hancur, tak mampu berkata apa-apa lagi.
“Itu yang sedang megang bola basket, deket Kak Alden” ucap Wanda sambil
menunjuk cewek yang mengenakan kaos merah lengan panjang senada dengan baju Alden.
Airi pun ikut melihat orang yang Wanda maksud.
“Ohh itu, biasa aja sih, cantikan Airi ke mana-mana” gumam Ninda sambil melihat
Airi yang diam mematung.
Belum selesai melihat pertandingan, Airi melangkahkan Kakinya menuju keluar
gerbang sekolah. Ia ingin sendiri, menumpahkan air matanya yang dari tadi ia tahan, Airi
menuju halte. Untung saja tempat itu sepi tak ada seorang pun, Airi lalu menekuk kedua
lulutnya meneggelamkan wajahnya di lipatan tangannya dan bersandar di dinding besi halte.
“Kenapa? Kenapa? Kenapa aku enggak bisa milikin dia? Kenapa adik kelas yang
baru masuk saja bisa menjadi kekasihnya? Apa yang kurang dari aku? Kenapa aku harus
merasakan semua ini? Aku yang dulu mencintainya. Aku yang lebih dulu tahu tentangnya.
Kenapa harus seperti ini lagi Tuhan? Aku tak menyalahkan siapapun, aku menyesal dan

14
meruntuki diriku sendiri, aku cuma bisa memendam semuanya tanpa mengatakan sepatah
katapun kepada orang yang aku cinta, yang pada akhirnya menjadi milik orang lain, aku
mencintainya tapi kenapa aku tidak bisa memilikinya. Apakah salah bila aku mencintai milik
orang lain sekarang? Karena aku tidak mungkin merelakan dia begitu saja. Aku harus
bagaimana?”
Hampir satu jam gadis itu menangis dan tiba-tiba datang seseorang menjulurkan
tangannya di depan wajah Airi. Sontak Airi mengangkat wajahnya, mengelap air mata yang
tergenang di pelupuk mata yang membuat pandangannya kurang jelas, setelah itu dia terkejut
bukan main mengetahui orang itu, dia Kak Alden. Airi bingung harus bagaimana, dia seperti
pencuri yang tertangkap basah. Airi menatap uluran tangan Alden yang masih setia
menunggu untuk Airi genggam. Tanpa buang waktu Airi menerima uluran tangan itu dan
berdiri tegap di hadapan tubuh Alden yang tinggi sedangkan dia hanya sebahu Alden saja.
“Makasih Kak, tapi kenapa Kakak bisa ada di sini?” tanya Airi dengan hati-hati dan
suara yang serak, yang ditanya hanya mengeryit heran setelah itu sedikit tersenyum.
“Sama-sama, aku bosan di sekolah mau pulang, kebetulan rumah aku dekat dari sini”
satu hal yang baru Airi tahu ternyata rumah Alden dekat dari halte dan lapangan basket,
pantas saja Alden sering terlihat di sekitar daerah ini. Alden berdehem dan Airi menatap
orang di depannya itu masih dengan mata sembabnya.
“Hmm…kamu ngapain di sini terus nangis lagi, aku kirain tadi kuntilanak berhijab di
siang bolong hehe” Airi tertawa kecil, rasa sedihnya sedikit berkurang karena lelucon dari
orang yang sedari tadi ia tangisi.
“Lagi nunggu angkot tapi nggak ada yang lewat jadinya nangis” bohong, itu cuma
alasan Airi agar dirinya tidak ketahuan menangis gara-gara cowok aja, apalagi cowoknya itu
Alden sendiri.
“Oh gitu cengeng banget, yaudah aku temenin nunggu di sini boleh kan?”
“Ihh biarin, boleh kok Kak, tapi Kakak bukannya jadi wasit basket di sekolah, masa
ditinggalin gitu aja” ucap Airi sambil mengelap air matanya yang mulai mengering.
“Tadi aku udah suruh Devan ganti jadi wasit” ucap Alden dengan santai
menyandarkan tubuhnya ke dinding besi halte. Dengan ragu-ragu Airi bertanya lagi.
“Terus pacar Kakak si Adel gimana?” Alden menatap jalan di depannya dan
menghembuskan napas berulang kali.
“Dia masih mau di sekolah katanya” Airi hanya ber-‘oh’ ria.
“Kamu kelas berapa? Aku nggak pernah liat kamu di sekolah tuh” Airi menatap
Alden yang duduk di sebelahnya.
‘Gimana mau liat, orang aku selalu menghindar kalau lihat Kak Alden’ batin Airi.
“Aku kelas XI IPA 5 Kak, aku emang jarang keluar kelas” jawab Airi. Alden dan Airi
kemudian berbincang dan bercanda di halte itu, keduanya menikmati suasana pertemuan
pertama mereka. Apakah ini pertemuan pertama atau terakhir mereka?
***
Setelah pertemuan Alden dan Airi waktu itu membuat mereka menjadi lebih dekat,
Airi tidak lagi bersembunyi saat melihat Alden. Malahan Airi sering kali menegur dengan
sopan Kakak kelasnya itu. Keduanya semakin hari semakin dekat. Airi tidak lagi berdiri di
halte yang dipagari dengan pagar besi hanya untuk melihat Alden dan kawan-kawannya
bermain basket, bahkan sesekali Alden juga mengajari Airi bermain basket. Alden dan Airi
sering kali duduk dan sekedar mengobrol di rootroof sekolah serta saling melontarkan
candaan.
‘Ya Tuhan biarkan tetap seperti ini, untuk menjadi kenangan terindah di hidupku
sebelum hari itu tiba’ batin Airi miris.
Hari ini, Alden dan Airi berada di lapangan basket dekat halte. Airi mengenakan kaos
abu-abu lengan panjang dengan bawahan training hitam dan jilbab hitam menutupi

15
rambutnya. Lain halnya dengan Alden yang menggunakan kaos merah maroon dan training
hitam pendek, sederhana tapi selalu tampan di mata Airi.
Alden memantulkan bola yang ada di tangannya dan memainkannya, Airi tersenyum
melihat itu. Hal sederhana bersama orang yang dia cintai sudah cukup membuatnya bahagia.
Airi dan Alden, keduanya asyik bermain basket, bahkan bertanding satu lawan satu untuk
memasukkan bola ke keranjang, tentu saja pemenangnya Alden. Dia bertubuh tinggi dengan
badan yang ideal, sedangkan Airi tingginya cuma sampai bahu Alden saja. Airi yang sudah
lelah kemudian beristirahat di trIbun yang ada di pinggir lapangan, ia megelap keringat yang
bercucuran dikeningnya dan tiba-tiba saja Airi merasakan ada sebuah cairan merah kental
mengalir dari hidungnya. Ia lalu menyeka hidungnya dengan tangan dan melihat benar ada
darah, dia mimisan. Airi cepat-cepat membersihkan darah itu dari hidungnya dengan handuk
kecil sebelum Alden melihatnya.
Haripun mulai senja, keduanya meninggalkan lapangan dan pulang. Airi pulang
diantar oleh Alden menggunakan mobil. Alden mengendarai mobil dengan kecepatan
sedang, dia menoleh kearah Airi dan melihat cewek itu sedang tertidur pulas. Namun, handuk
kecil yang dibawa Airi tadi masih erat digenggaman gadis itu. Alden melihat ada darah di
handuk itu, ia ingin bertanya kepada Airi tapi tidak tega membangunkan gadis di sebelahnya
itu. Mobil Alden berhenti di sebuah rumah yang didominasi warna putih, itu rumah Airi.
Kemudian Alden pun membangunkan Airi dan mengatakan bahwa mereka sudah sampai.
“Eh sudah sampai, maaf ya aku ketiduran” ucap Airi sambil memperbaiki posisinya.
“Iya gaPapa kok, kamu cantik kalau lagi tidur, kayak princess” kalimat itu mampu
membuat pipi Aira memerah seperti kepiting rebus.
“Apaan sih, bercanda aja. Ayo masuk dulu sekalian kamu ketemu Bunda” ajak Airi
karena selama ini memang Alden belum pernah bertemu Ibu Airi. Alden pun mengikuti
langkah Airi masuk ke dalam rumah yang cukup luas. Dari balik pintu ada seorang wanita
paruh baya yang masih kelihatan muda dan cantik. Wanita itu adalah Bunda Airi. Wanita itu
mempersilahkan masuk keduanya menuju ruang tamu. Sedangkan Airi pamit ke kamarnya
untuk ganti baju. Alden kembali teringat tentang bekas darah tadi, ia harus menanyakan itu
kepada Bunda Airi.
“Tante saya Alden temannya Airi” ucap Alden sesopan mungkin.
“Iya Nak, tante tau kok, Airi sudah cerita banyak soal kamu”
“Tadi saya lihat darah di handuk kecil Airi Tan. Tante tau itu darah apa atau Airi
punya penyakit?” tanya Alden dengan hati-hati. Bunda Airi tampak terkejut
“Pasti dia mimisan lagi, Airi itu tidak boleh kecapean, dia punya penyakit kanker
darah dan itu sudah mencapai stadium akhir” ucap Bunda Airi menjelaskan semuanya dengan
suara yang bergetar. “Dia bilang dia sangat mencintai seseorang yang bernama Alden, dia
berusaha kuat agar bisa sama-sama Nak Alden terus” Bunda Airi menitikkan air mata tak
kuasa bercerita “Kamu jangan bilang sama Airi kalo Tante ceritain ini sama kamu, apalagi
soal penyakitnya. Airi nggak mau orang lain mengetahui itu, dia tidak ingin dikasihani dan
membebani hidup orang lain karena penyakitnya itu” mohon Bunda Airi,
“Iya tante saya nggak bakal cerita apa-apa sama Airi” mendengar itu semua membuat
Alden begitu syok, sosok yang selama ini periang dan semangat punya penyakit yang begitu
berbahaya. Alden berjanji pada dirinya untuk menjaga Airi sampai kapanpun.
***
“Alden kok kamu kayak menjauh dari aku?” tanya Adel to the point, belakangan ini
Adel memang curiga dengan sifat Alden yang berbeda seperti biasanya.
“Menjauh gimana, perasaan sama aja” ucap Alden sambil mengeryit.
“Ya kamu tuh menjauh dari aku, dari cara bicara kamu aja udah beda semenjak kamu
kenal sama anak kelas sebelas itu!” suara Adel sedikit lebih keras.
“Maksud kamu Airi? Dia itu cuma teman aku, kamu cemburu?” tanya Alden.

16
“Iya aku cemburu! Cewek mana yang bisa santai aja liat cowoknya jalan sama cewek
lain!” mata Adel mulai berkaca-kaca
“Aku lakuin semua itu karena aku kasihan aja sama dia” wajah Alden mulai terlihat
lelah dengan semua ini.
“Kasihan kamu bilang! Terus kamu nggak kasihan sama aku? Cewek kamu sendiri
Alden” kini air mata Adel mulai menetes membasahi pipinya.
“Kamu tuh nggak ngerti Del, Airi punya penyakit, dia sakit” Alden berterus terang
akan semuanya. “Dia harus periksa kesehatannya setiap minggu, dia butuh teman Del dan itu
aku!” suara Alden mulai meninggi membuat Adel sedikit takut.
“Tapi kenapa harus kamu, banyak yang lain kan?” Adel menatap Alden.
“Karena kasihan sama dia jadi aku mencoba untuk deket dengan dia dan selalu ada di
samping dia sebelum hari itu datang” suara Alden mulai serak raut wajahnya mulai lesu.
Tanpa diketahuioleh keduanya, Airi mendengar semua itu sejak awal, Airi tadinya
ingin ke rooftoop sekolah tapi Airi mendengar samar-samar suara orang sedang berdebat.
Ternyata itu adalah Alden dan Adel, jadi Airi bersembunyi mendengarkan mereka. Namun,
tak sempat ia mendengarkan semuanya Airi terlanjur kecewa dan berbalik menuruni anak
tangga menuju taman belakang sekolah.
“Tapi itu awalnya aku kasihan, lama-kelamaan jujur rasa kasihan aku berubah jadi
sayang tulus sama dia. Airi selalu ada di sampingku sedangkan kamu hanya memikirkan
dirimu sendiri Del, kamu sIbuk berfoya-foya dengan teman-temanmu itu!” jujur Alden.
Selama dia dekat dengan gadis itu, dia merasa lebih bahagia dengan Airi dibanding
Adel, karena Adel tidak pernah punya waktu untuk dirinya, hanya sekedar menemaninya
bermain basket saja tidak. Adel selalu sIbuk dengan perawatannya, kumpul sama teman-
tamen dia, shopping sana-sini.
“Alden kamu sadar nggak apa yang sudah kamu bilang! Kamu bandingin aku sama
dia!”
“Iya! Karena dia memang lebih baik, dia selalu ada waktu buat aku!” tegas Alden.
“Aku capek, kita putus aja” putus Alden dan berlalu meninggalkan Adel yang sudah
berderai air mata.
Di satu tempat, Airi menangis sejadi-jadinya. Ternyata semua ini palsu, semua
perlakuan Alden itu cuma pura-pura. Airi duduk bersandar di tembok belakang sekolah
sambil menekuk lututnya, air matanya terus saja mengalir mengingat kejadian tadi.
“Aku benci ini, aku benci semuanya, hidup aku dan semua orang yang berpura-pura
baik denganku, aku tidak butuh dikasihani aku cuma butuh ketulusan!” seru Airi pada dirinya
sendiri, ia merasa dirinya tidak berguna karena hidup dengan dikasihani apalagi oleh orang
yang dia cintai. Airi berada di tempat itu sampai bel pulang berbunyi, matanya sembab
kemerahan dan pipi yang basah, keadaanya sungguh kacau. Airi melangkahkan Kakinya ke
kelas mengambil tas dan segera pulang. Namun di gerbang sekolah, Airi merasakan
kepalanya sangat sakit, ia sangat lemas dan akhirnya kegelapan menelannya.
***
Alden masih setia menunggu Airi ditangani oleh dokter. Tak berhenti dia
mengucapakan doa untuk Airi, tadi dia sudah menelepon Bunda Airi bahwa Airi masuk
rumah sakit dan itu membuat Bunda Airi terkejut, putri kesayangannya masuk rumah sakit.
“Alden mana Airi, mana putriku?” tanya Bunda Airi dengan air mata yang mengalir
sejak ia mendapat telepon dari Alden, ia tak berhenti memikirkan putri satu-satunya itu.
“Airi masih ditangani dokter Tan, tenang ya kita sama-sama berdoa yang terbaik
untuk Airi” Alden mencoba menenangkan Bunda sahabatnya walau ia sendiri panik setengah
mati. Bunda Airi pun mulai tenang dan setelah beberapa lama mereka menunggu, pria dengan
jas putih keluar dari ruangan di mana Airi ditangani.
“Dokter yang tangani anak saya kan? Bagaimana kondisinya dok?”

17
“Ibunya Airi?” Bunda Airi menggangukkan kepalanya menunggu apa yang akan
dikatakan dokter.
“Begini Bu, kondisi Airi sangat lemah bahkan sekarang Airi sedang koma, berdoa
saja yang terbaik untuk dia, penyakitnya sudah tidak bisa diobati lagi, kita hanya bisa
menunggu keajaiban dari Tuhan, saya permisi dulu” dokter pun berlalu meninggalkan Bunda
Airi dan Alden.
Bunda Airi membuka pintu dan menemukan putrinya terbaring tak berdaya serta
selang yang melekat pada tubuhnya. Melihat itu Bunda Airi tak kuasa menahan tangis begitu
pula Alden yang melihat kondisi gadis yang ia cintai terkulai lemah mempertaruhkan
nyawanya antara hidup dan mati, ia sangat ingin mengatakan perasaannyanya kepada Airi
saat Airi sadar nanti.
“Airi sayang bangun, ada Bunda di sini, udah dong tidurnya, jangan buat Bunda takut
kayak gini, kalau Airi bangun Bunda akan turuin semua apa yang putri kesayangan Bunda ini
minta, bangun sayang Bunda mohon, Bunda sayang Airi, jangan tinggalin Bunda sayang”
isak Bunda Airi sambil menggenggam tangan putrinya yang sangat dingin. Karena tak kuasa
menahan tangisnya Bunda Airi keluar dari ruangan itu, tidak sanggup melihat kondisi
putrinya.
Alden mengambil posisi duduk di sebelah Airi dan mengenggam tangan Airi, dia
dapat merasakan tangan mungil gadisnya sangat dingin.
“Airi bangun, tuan putrinya pangeran Alden bangun dong, kamu harus kuat, Airi yang
aku kenal itu cewek kuat dan bawel, bukan diam dan lemas kaya gini” ucap Alden pada Airi,
matanya mulai berkaca-kaca.
“Airi aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu dari awal kita ketemu di halte itu,
kamu ingatkan? Ayo bangun kamu harus nepatin janji kamu untuk temani aku main basket
tiap hari dan beberapa minggu lagi aku akan tanding kamu janji akan liat aku kan“ sambung
Alden yang kini menitikkan air mata mengingat semua kenangannya bersama Airi yang
begitu singkat namun berkesan disetiap langkah. Alden terus saja menggenggam tangan Airi
dan mengecupnya berulang kali.
***
“Jhona Airi Sanjaya, sayang sini, jangan tinggalin Bunda, ayo kembali sama Bunda
Nak” Bunda Airi terisak melihat putri kesayangannya menjauh darinya.
“Bunda tempat Airi bukan di sini lagi, Airi mau pergi ke tempat di mana Airi tidak
merasakan sakit lagi” Airi tersenyum menggenggam tangan Bundanya.
“Lalu bagaimana dengan Bunda apa kamu tega niggalin Bunda sendiri tanpa
kamu”air mata Bunda Airi semakin mengucur deras.
“Airi akan jagain Bunda dari atas, Bunda harus di sini jagain Ayah dan adek, aku
pergi yah Bunda, aku sayang sama Bunda” ujar Airi dengan senyumnya seraya melepas
genggamannya dan meninggalkan Bundanya ke tempat yang sangat indah, tempat di mana
dia tidak merasakan sakit lagi.
Tiba-tiba monitor di layar terlihat membentuk garis lurus dan berbunyi yang artinya
denyut jantung Airi berhenti. Alden panik dan langsung berteriak memanggil dokter dan
Bunda Airi.
“Semuanya bisa keluar sebentar pasien akan ditangani dokter” Alden dan Bunda Airi
menuggu di luar ruangan, Bunda Airi hanya bisa menangis dan takut akan kehilangan Airi
untuk selamanya. Dan Alden hanya bisa melihat pintu ruangan Airi, dia begitu frustasi dia
tidak mau kehilangan Airi, dia menyesal kenapa dia tidak mengungkapkan perasaannya dari
dulu, dia sangat berharap ada keajaiban dari Tuhan.
Di dalam ruangan dokter berusaha semampunya mengembalikan denyut jantung Airi
namun nihil, Tuhan berkehendak lain, Tuhan lebih mencintai Airi.
~END~

18
Biodata Penulis
Nama : Asrianti Ridwan
TTL : Pekka Pao, 04 Agustus 2001
Alamat : Pekka Pao
Cita-Cita : Dosen Bahasa Inggris
Hobi : Menyanyi
Asal Sekolah : SMA Negeri 1 Barru
Riwayat Pendidikan :
1. TK PGRI Lipukasi
2. SDI 24 Lipukasi
3. SMP 3 Tanete Rilau
Ig : @antiridww
Fb : Asrianti Ridwan
Motto : Sebesar apa usahamu menentukan kesuksesanmu.

19
Love Scenario
Oleh :
Atiqah Putri Nandasari

Pagi hari yang cukup cerah aku dan Kakakku telah tiba di sekolah yang tak begitu
jauh dari rumah kami. Oh ya, namaku Jeanne Agatha dan Kakakku Aljeno Sayanda. Aku dan
Kakakku hanya beda satu tahun, dia berada di kelas 12 dan aku di kelas 11.
“Kak, kalau liat Kak Abyan sampein kalau aku sayang dia” ucapku dengan sedikit
guyonan dan hanya dibalas pukulan kecil di kepalaku.
“Jeanne!!!” teriak seseorang di belakang kami, karena kaget aku reflek memukul Kak
Jeno.
“Anne! Kalau kaget jangan mukul Kakak dong! Sakit ini” ujar Kak Jeno sambil
mengusap bagian tubuhnya yang tidak sengaja ku pukul.
“Hehehe, maaf atuh Kak reflek ini. Lagian siapa sih teriak pagi-pagi! Heran aku tuh”
jawab ku sambil melihat ke arah belakang
“Heh! Kenapa sih? Masih pagi loh ini” tanyaku seraya memutar kedua bola mataku
setelah tau siapa yang berteriak memanggil namaku.
“Eh, ada kKk Jeno?” tanya Alin saat ia sudah sampai di sebelahku. Kak Jeno? Dia
langsung noyor kepala Alin.
Baru saja ingin mengomel tiba-tiba bel masuk sudah berbunyi akhirnya aku dan Alin,
pamit untuk pergi ke kelas kami yang berada di lantai 2 sedangkan Kak Jeno kelasnya berada
di lantai dasar.
“An, gue mau nanya deh” ucap Alin saat kami sudah sampai di kelas.
“Tinggal nanya aja loh Lin, biasanya juga lo nyerocos gak berhenti-henti” jawabku.
“Gimana hubungan lo sama Kak Abyan?” tanyanya dengan nada yang cukup pelan.
Abyan Aharon, Kakak kelasku dan Alin yang juga menjadi pacarku selama 2 tahun
belakangan. Aku dan Kak Abyan bertemu saat PLS di sekolah. Kebetulan Kak Abyan dan
Kak Jeno juga satu kelas serta mereka anggota OSIS. Awalnya aku ragu buat nerima Kak
Abyan, pertama aku takut diserbu sama fans-fans Kak Abyan, kedua aku dan Kak Abyan
beda agama, aku Kristiani dan Kak Abyan Islam. Yah, pasti siapapun yang dengar beda
agama pasti berpikir, ngapain coba pacaran sama yang beda agama? Sia-sia banget, jujur aku
juga orang yang berpikir demikian, namun Kak Jeno dan Alin berkata mengapa tidak dijalani
dulu? Dan yah akhirnya aku menjalaninya sampai sekarang.
“Ya gak kenapa-napa, biasa-biasa aja sih walaupun ada masalah kecil” jawabku
santai.
“Nyokap lo? Udah tau?” tanyanya yang kubalas dengan anggukan kecil dan tidak
lama guru yang mengajar di kelasku telah datang.
***
Jeno POV
“Jeno, lo bareng Anne?” tanya Abyan saat gue baru sampai di kelas.
“Yaiyalah, masa iya gue sama Nenek lo” jawab gue.
“Santailah nyet!” ucap Abyan sambil menoyor kepala gue
“Oh ya Jen, lusa ada tanding basket datang gak lo?” tanya Abyan lagi.
“Liat nanti lah” jawabku.
“Lo nanya lagi gue gampar ya Yan!” lanjut gue yang dibalas dengan cengiran
bodohnya.
***
Anne POV

20
Tring...Tring…
Bel isirahat pertama berbunyi aku dan Alin segera merapikan buku dan bergegas
menuju kantin.
“Anne! Alin! Sini buruan” teriak seseorang dari dalam kantin, yang ternyata Kak
Jeno.
“Penuh banget, gerah gue” ujar Alin saat kami sudah sampai di meja yang di tempati
Kak Jeno dan temannya yang lain, termasuk Kak Abyan.
“An, sini di sebelah Kakak aja ntar kamu digodain sama terong” ucap Kak Abyan
seraya menepuk kursi kosong di sebelahnya.
“Belum pernah aja si Abyan gue ketekin, yakali gue yang ganteng gini dipanggil
terong” sahut teman Kak Jeno dan Kak Abyan yang namanya Kak Adam.
“Lah, kok lo yang ngegas emang lo ngerasa jadi terong?” jawab Kak Abyan.
“Berantem mulu sih, makan Kak ntar kalau sakit repot” ucapku menengahi
perkelahian kecil Kak Abyan dan Kak Adam.
“Perhatian banget sih calon Ibu dari anak-anakku ini” ucap Kak Abyan sambil
mencubit kedua pipiku.
“Heh! Lepasin! Sakit itu pipi adek gue, Abyan” sewot Kak Jeno. Baru saja aku ingin
memukul lengan Kak Abyan hpku berbunyi dan tertera nama Bunda di layar hpku.
“Bentar ya Kak, Bunda nelpon” ucapku pada Kak Abyan yang dibalas anggukan.
“Halo Bun”
“Halo sayang, kamu lagi istirahat kan?”
“Iya Bun, kenapa?”
“Bunda cuman pengen ngabarin nanti kalau udah jam pulang langsung pulang ya
sayang, kasih tau sama Kakak. Soalnya Oma mau dateng”
“Oh iya Bun, nanti aku bilangin ke Kak Jeno”
“Okedeh sayang, maaf Bunda ganggu istirahat kamu, love you”
“Love you too Bun”
Telepon pun terputus, aku segera kembali ke meja.
“Kak, Bunda tadi nelpon katanya kalau pulang disuruh cepet ada Oma mau datang ke
rumah” ucapku dan yang dibalas ancungan jempol Kak Jeno.
“Oma kamu tau kalau kita pacaran?” tanya Kak Abyan tiba-tiba.
“Tau Kak, jujur aku takut sama Oma. Soalnya Oma kan gak setuju sama hubungan
kita” jawabku pelan.
Selama 2 tahun hubunganku dengan Kak Abyan hanya Oma yang tidak setuju,
padahal Bunda fine-fine.
“Ikut Kakak yuk, ke taman belakang” ajak Kak Abyan sambil menarik pelan tangan
ku.
“Heh Jeno, gue bawa ratu lo bentar, ke taman belakang doang” teriak Kak Abyan dari
depan kantin
***
Di taman.
“Duduk dulu yuk” ucap Kak Abyan.
“Dengerin Kakak baik-baik oke?” tanyanya yang kubalas anggukan.
“Gini, wajar kalau Oma kamu gak setuju sama hubungan kita, walaupun Bunda kamu
gak permasalahin hubungan kita ini. Oma kamu pasti berpikir diantara kita gak ada yang mau
ngalah apalagi soal keyakinan kan? Kita sama-sama egois dalam keyakinan kita masing-
masing. Walaupun nanti kita gak bersatu kita bisa jadi keluarga, gak ada yang tau masa depan
sayang. Kakak tau kalau Kakak yang paling egois di sini, Kakak yang mulai semua ini
padahal Kakak tau sampai kapan pun kita gak bisa bareng. Tuhan kita beda, cara ibadah kita
gak sama, kiblat dan kitab kita juga berbeda, terlalu banyak perbedaan kita. Jadi, sekarang

21
kita jalani aja tapi kalau kamu gak kuat bilang ya, pelan-pelan kita mundur” ucap Kak Abyan
panjang lebar sambil memegang erat kedua tanganku.
“Kak, udahin aja yuk, makin lama pasti kita makin sakit. Kita gak ditakdirkan untuk
sama-sama” ucapku pelan sambil menahan air mata.
“Kalau itu mau kamu, Kakak bisa apa? Gak ada alesan Kakak untuk nahan kamu
lebih lama. Kamu harus tau, Kakak sangat bersyukur dan bahagia bisa memiliki kamu walau
hanya sesaat, makasih udah tulus dan nerima Kakak apa adanya. Sukses terus ya! Kita masih
bisa jadi keluarga kan!” ucap Kak Abyan yang kubalas kekehan kecil.
Tanpa di sadari ternyata Jeno, dan yang lainnya menguping pembicaraan dua insan
yang berbeda itu dengan perasaan yang campur aduk
“Gue jadi pengen nonjok Abyan” ucap Jeno pelan.
“Jujur gue suka ngeliat mereka sama-sama, tapi…ah udahlah mungkin mereka terlalu
sempurna untuk berdampingan, kalau jodoh pasti balik lah” ucap Adam.
“Balik Kak jangan nguping mulu, udah boleh pulang, guru mau rapat” sahut Alin.
***
Sesampainya di rumah, aku dan Kak Jeno menuju ke kamar masing-masing untuk
mandi.
“Eh kok kalian pulang cepet?” tanya Bunda saat melihat aku dan Kak Jeno di ruang
keluarga.
“Guru-guru lagi rapat Bun, jadi dipulangin” jawab Kak Jeno.
“Oma mana Bun?” tanyaku.
“Masih di jalan. Sayang, dengerin Bunda ya, apapun yang Oma bilang jangan diambil
hati ya sayang, ambil baiknya aja oke?” ucap Bunda sambil mengelus pelan kepalaku dan
hanya kubalas dengan anggukan.
Tak lama ada suara mobil yang masuk ke garasi. ‘Mungkin itu Oma’ pikirku. Kak
Jeno menepuk pelan pundakku sambil tersenyum seakan-akan berkata ‘Hadapi, jangan takut’
yang kubalas dengan anggukan dan senyuman kecil.
“Eh cucunya Oma udah pulang?” tanyanya setelah duduk di sebelahku.
“Hehehe iya Oma, gurunya lagi rapat buat tanding basket antar sekolah, jadi di
pulangin” jawab Kak Jeno.
“Loh OSIS gak ikut rapat Kak?” tanya Bunda yang dibalas gelengan oleh Kak Jeno.
“Adek, kok diem aja?” tanya Oma saat melihatku.
“Gak Papa Oma, lagi gak mood ngomong” jawabku sambil tersenyum kecil.
“Gimana hubungan kamu sama Abyan?” tanya Oma lagi.
“Gak ada hubungan lagi Oma” jawabku, mendengar jawabanku Bunda terkejut.
“Loh, kok bisa putus?” tanya Bunda.
“Perbedaan kita terlalu banyak untuk ditutupi Bun, daripada tambah sakit mending di
akhiri” jawabku.
“Gak usah sedih, Oma punya kenalan loh, siapa tau cocok sama kamu, seagama kok”
ucap Oma santai. Mendengar ucapan Oma, Kak Jeno hanya mengelus pelan punggungku
seakan menguatkanku dari belakang.
“Namanya siapa Oma?” tanya Kak Jeno.
“Adam Megantara, dipangggil Adam” jawab Oma.
“Sekolah di Tunas Bangsa? Kelas 12?” tanya Kak Jeno kaget.
“Iya, seangkatan kamu Jen, kenapa?” tanya Oma lagi.
“Adam sahabat Jeno Oma, sahabat Abyan juga” jawab Kak Jeno pelan.
“Hah? Masa sih? Dunia sempit banget ya” ucap Oma. “Kamu sama Adam aja Dek
seagama, baik juga, kamu kenal kan sama Adam?” tanya Oma lagi dan kubalas anggukan
kecil.
***

22
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, kalau kalian
bertanya, bagaimana hubunganku dengan Kak Abyan? Jawabannya baik-baik aja, cuman gak
sedeket dulu, sekarang Kak Abyan sama Alin dan aku sama Kak Adam, malah sekarang aku
dan Kak adam sudah tunangan. Rumit? Iya, kalau udah takdir mau gimana lagi.
“Sayang, mikirin apa?” tanya Kak Adam sambil mengelus pipiku lembut.
“Mikirin skripsi Kak, pusing loh aku gak selesai-selesai” keluhku.
“Jangan ngeluh atuh sayang, sini Kakak bantuin, oke?” tanyanya.
“Oke Kak!” ujar ku dengan semangat.
“Jeanne, gue sama Kak Abyan gabung yah” ucap seseorang yang ternyata Alin.
“Gabung aja, bebas gue mah” jawabku
“Double date kuy” usul Kak Adam
“Yakali gak kuy” ucap Alin bersama dengan Kak Abyan.
Aku yang pada awalnya berharap adanya keajaiban dalam hubunganku dan Kak
Abyan namun tidak lagi, sekarang aku berharap hubunganku dengan Kak Adam akan
bertahan lama sampai kapanpun. Nyaman? Itu yang kurasa saat bersama dengan Kak Adam.
Kak Adam yang humoris kadang kalau cemburu suka gak jelas, possesivelah, dan gak tau
malu. Tapi, itu yang membuatku jatuh cinta sama dia.
***
“Jodoh itu unik, orang yang kamu anggap hanya teman biasa malah menjadi teman
hidupmu dan orang yang tak pernah dipikirkan, akan selalu menjadi pikiran” – Jeanne
Agatha
“Orang yang dulunya sudah kuanggap adik sendiri kini berubah menjadi sebagai
teman hidupku” – Adam Megantara
“Karena aku telah mengenalmu, aku pernah menjadi bagian dari hidupmu , menjadi
peluk yang pernah menghangatkanmu, menjadi sesuatu yang kau sebut bahagia. Masalah
jodoh itu sudah ada yang mengatur, dari awal mungkin aku hanya ditakdirkan untuk
menjagamu dan mencintaimu bukan melawan takdir untuk memilikimu. Tetaplah tersenyum,
walau akhirnya nanti bukan aku yang membuatmu tersenyum” - Abyan Aharon
~END~

23
Biodata Penulis
Nama : Atiqah Putri Nandasari
TTL : BalikPapan, 16 Februari 2001
Alamat : Jl. H. A. Iskandar Unru, BTN Mattone
Instagram : @Nndaapxx
Motto : Kurangi wacana perbanyak aksi.

24
Bersama Dengan Rindu
Oleh :
Ayu Lestarin Kamal

Dia adalah pria yang kutatap. Yang dulu membuatku biasa saja padanya tapi entah
hari ini dia sangat berarti bagiku. Seolah memberi tanda bahwa aku jatuh cinta untuk kedua
kalinya.
Perkenalkan namaku Adelia Graha Putri. Semua orang memanggilku dengan sebutan
Adel. Sekarang aku duduk dibangku SMA kelas 3 di sekolah Tunas Bangsa. Aku anak dari
pasangan Kamila Kai Graha dan Antoni Jon Graha. Aku juga punya saudara yang super
ganteng namanya Ken Graha Putra yang sekarang dia sedang berada di negeri orang lain
melanjutkan pendidikannya. Banyak orang yang mengira kalau aku ini hebat dalam urusan
cinta jika dilihat dari paras wajahku, tetapi sebenarnya aku ini bodoh sebab aku pernah
menyia-nyiakan orang yang tulus padaku hingga akhirnya aku yang terluka.
***
Pagi ini kuawali hariku dengan melihatnya di sana berdiri sambil melemparkan bola
pada teman di sampingnya, kutau dia seorang pria yang di idamkan oleh banyak kaum
wanita. Kenapa tidak? Dia adalah cowok multitalent, pria yang mengharumkan nama sekolah
karena kehebatannya dalam permainan basket. Kulangkahkan kakiku mendekati dirinya
hingga akhirnya kusadar bahwa aku bukan lagi siapa-siapanya. Kuputarkan badanku
menjauhi tempat itu dan berlalu meninggalkannya.
Dua tahun yang lalu adalah kesalahan terbesarku yang telah membuat dia menjauh
dariku hari ini. Egois mengahancurkan segalanya, andai saja waktu itu aku menghargainya
pasti hari ini aku masih bersamanya. Kenangan indah memanglah manis tapi jika diingat
terus rasanya sakit.
Hari ini aku sadar dia sangat berarti bagiku. Dulu ketika dia bersamaku rasanya tidak
sehebat ketika dia meninggalkanku. Kurebahkan tubuhku di kasur empukku itu sambil
berpikir apakah aku harus melihat dia bahagia dengan wanita lain selain diriku?
Tapi kebahagiaannya lebih penting dari bahagiaku. Kutitip doa pada Tuhan agar dia
saja yang bahagia, bahagiaku di belakang saja, biar aku yang mengurusnya. Kuambil bantal
di dekatku dan kututupi wajahku agar aku bisa tidur sejenak melupakan Dia.
***
Sinar matahari yang menyilaukan seluruh ruang kamarku membuatku terbangun dari
mimpi indahku, dengan cepat kulihat jam di dekatku sudah menunjukkan pukul 07.10 pagi,
ini berarti aku sudah telat berangkat ke sekolah mengikuti upacara bendera hari senin. segera
kutinggalkan tempat tidurku dan segera bersiap ke sekolah.
“Ma, Pa, Adel berangkat dulu yah” kataku kepada Mama yang sIbuk merapikan
tumpukan berkas laporan Papa.
Akhirnya aku sampai di sekolah disambut dengan guru BK yang berdiri di hadapanku
sambil memegang sapu. Kutahu hal ini pasti terjadi, aku harus rela membersihkan halaman
sekolah karena keterlambatanku mengikuti upacara.
Setelah 30 menit menghabiskan waktuku untuk membersihkan halaman akhirnya aku
bisa beristirahat merasakan sedikit kenyamanan di kantin sekolah sambil melihat para siswa
sekolah ini sIbuk dengan makanan dan minuman dihadapan mereka, hingga sosok sepasang
mata menghentikan titik fokus pandanganku. Di sudut ruang itu kulihat Karel dan Clara
duduk tidak jauh dari tempatku. Akupun tersenyum melihat keakraban mereka meskipun
membuatku sangat cemburu tapi juga membuatku tenang karena Karel sudah menemukan
kebahagiannya setelah kubuat dia terluka begitu dalam.

25
Malam ini hujan turun cukup deras menyelimuti suasana malam kota Bandung yang
dingin. Kutahu malam ini dia sangat senang sebab dia menyukai hujan di mana hanya suara
rintikan saja yang terdengar, malam itu bagaikan alunan melodi yang mengantar tidurnya.
Kupikir hanya Kenlah seorang lelaki yang selalu menjadi alasanku untuk rindu di setiap
malam sunyi ini tetapi dengan ketidakhadiran Karel di dekatku membuatku sadar bahwa dia
juga alasanku untuk rindu. Kulihat jam menunjukkan pukul 23.00 segera kutarik selimutku
dan kupejamkan mataku bersama dengan hujan yang menemaniku tidur dan berharap
kumimpikan dia di tidur nyeyakku.
“Selamat ulang tahun kami ucapkan, selamat panjang umur kita kan doakan, selamat
sejahtera sehat sentosa, selamat panjang umur dan bahagia” terdengar suara Mama yang
bernyanyi di dekat telingaku membuatku bangun dan melihat Papa sedang memegang kue
yang sangat besar di hiasi dengan warna-warna yang indah. Aku sangat senang hingga ingin
meneteskan air mata sebab disela kesIbukannya yang padat mereka masih mengingat hari
istimewa dalam hidupku. Ini adalah kado terindah dalam hidupku. Terima kasih Tuhan di
hari istimewa ini aku sangat bahagia.
Terimah kasih yah Ma, Pa, hari ini Adel bahagia” hanya itu yang dapat kukatakan
pada mereka sebab kebahagian ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi.
“Iya sayang. Oh iya Kakak kamu sudah kasih kamu ucapan nggak?” tanya Papa
padaku sembari memelukku.
“Belum Pa. Mungkin Kak Ken lagi sIbuk” ucapku tersenyum dan melepas pelukan
Papa kemudian memeluk Mama yang berada di dekatku sambil tersenyum.
Satu demi satu pesan ucapan masuk meramaikan handphoneku, mulai dari keluargaku
hingga teman-temanku. Ini membuatku terharu karena dihari spesialku ini ternyata masih
banyak orang yang peduli dan sayang kepadaku. Hingga satu pesan yang masuk, Itu pesan
dari Karel.
“Selamat ulang tahun Del. Tetap jadi Adel yang aku kenal. Oh iya jangan lupa
traktiran. Haha” sedikit singkat tapi bisa membuatku kehilangan kendali. Ucapan dari
mantan di hari spesial ini membuatku ingin terus ulang tahun.
Hari ini perayaan ulang tahunku dilaksanakan dengan megah meriah. Semua orang
terdekatku datang ikut meriahkan pesta ini dengan kebahagian. Hanya saja Kak Ken, Karel
dan Clara yang tidak hadir. Akupun tak tahu apa alasan dari Karel dan Clara sehingga tidak
menghadiri pestaku, yang kutahu hari ini aku sangat lelah.
***
Hari ulang tahunku telah usai, sekarang aku ingin menghabiskan waktuku untuk
berbelanja di mall. Seperti biasa aku selalu sendiri untuk berpergian setelah Kak Ken kuliah
di Amerika dan Karel pergi dan mungkin takkan kembali. Kutelusuri setiap tempat yang
membuatku senang mulai dari tempat pakaian, Gramedia, wahana permaianan hingga
terakhir aku harus berhenti di tempat makan. Akupun memesan makanan kepada pelayan.
Dari belakang terdengar suara gadis juga memanggil pelayan untuk mendekat ke
arahnya, aku mengetahui suara itu. Kumiringkan sedikit posisi duduk melihat sumber suara
itu, ternyata Clara dan Karel. Untuk kesekian kalinya aku selalu bertemu dengan mereka,
menjadi saksi dari kedekatan mereka. Tapi kenapa setiap kuliaht mereka rasa ini selalu
muncul? Rasa sakit yang kurasa ketika kulihat Clara adalah alasan Karel bisa melupakanku.
“Eh Del, kamu di sini juga? Yaudah sekalian aja gabung sama kita” ajak Clara yang
tiba tiba membuatku kaget. Ternyata dia melihatku.
“Ehh makasih. Tapi aku lebih suka sendiri” jawabku sedikit gugup, Karel paham
dengan omonganku barusan bahwa aku tidak ingin mengganggu mereka.
Rasanya aku ingin memeluknya sekarang. Jujur aku rindu dengannya, rindu dengan
kehadirannya yang setiap saat di sampingku. Rasanya ingin kuungkapkan keluh kesahku
padanya bahwa aku ingin semuanya kembali tetapi mustahil jika masa itu diulang kembali.

26
Sekarang ini aku hanya bisa memendam rasa ini dan tangis ini yang hampir tak terbendung
lagi.
Setelah makanan yang kupesan tadi habis, segera kulangkahkan kakiku keluar dari
ruangan itu karena untuk tinggal lama di dekat mereka membuat suasana hatiku panas saja,
mungkin aku sedang cemburu.
***
Senin, hari ini aku bangun lebih awal agar tidak melakukan kesalahan lagi seperti hari
kemarin. Malas jika harus berurusan lagi dengan guru BK yang sempat menghukumku,
bukan karena malas bertemu orangnya tapi hukumannya.
Setelah upacara selesai, aku berniat untuk ke kamar kecil sebentar tapi ketika aku
hendak melewati lapangan aku melihat Karel sedang duduk di bawah pohon, entah apa yang
dia lakukan tapi yang kulihat Clara tidak ada di sana. Dengan pelan aku berjalan mendekati
dirinya dengan bercampur rasa takut, gemetar dan ragu. Ketika aku telah berada tepat di
hadapannya rasa itu hilang seketika.
“Del, kamu ngapain ke sini” tanya Karel bingung dan menaikkan alisnya sebelah.
“Yah karena lagi rindu kamu jadi ke sini deh” jawabku spontan pada Karel. Ini adalah
hal bodoh yang pertama kali aku ucapkan.
“Hahaha apaan sih, kamu bukan ratu gombal, jadi jangan sok godaain aku” ucap
Karel padaku sambil tertawa. Untung saja Karel menganggap ini hanya lelucon saja, jika
tidak hampir saja aku mati karena malu yang sangat besar.
“Tumben sendiri? Clara mana?” tanyaku pada Karel mengalihkan pembicaraanku
barusan.
“Nggak sendiri sih, kan ada kamu. Jadi berdua” sekarang giliran Karel yang benar-
benar sedang menggodaku.
Nyaman rasanya ketika bisa berada di dekat Karel seperti dulu, hingga aku lupa kalau
Pak Bambang sudah masuk kelas sejam yang lalu. Moment ini akan kukenang dalam hidupku
di mana aku bisa bersamanya walau kutahu ini hanya sesaat.
“eh...kalian?” tanya Clara yang sontak membuatku terkejut dengan kehadirannya.
“Daritadi aku nyariin kamu Rel, ternyata kamu di sini sama Adel?” tanya kembali
Clara, sekarang wajah cemburu Clara terlihat dari sudut pandangku. Melihat reaksi Clara aku
sadar aku harus pergi dari hadapan mereka.
Belum jauh aku melangkah, aku dapat mendengar kata putus yang dikeluarkan dari
mulut Clara, terlihat Karel menjelaskan semuanya pada Clara yang tampak sedang marah.
Wajar saja dia marah, mungkin dia merasa dengan kehadiranku, Karel akan menjauh darinya.
Pulang sekolah nanti aku harus menemui Clara dan menjelaskan semuanya.
Setelah menunggu 2 jam lamanya akhirnya aku mendengar bel pulang berbunyi,
segera aku berlali keluar dari kelasku menuju parkiran belakang agar aku dapat berbicara
dengan dia, hingga aku melihatya berjalan di depanku membuatku sedikit lega akhirnya aku
menemukannya.
“Clara!” teriakku pada dia yang sedang berjalan di hadapanku.
“Ada apa? Sorry, aku sedang buru-buru?” jawab Clara yang sedang ingin
menghindariku.
“Clara, please. Soal yang tadi aku minta maaf. Aku nggak maksud buat rebut Karel
dari kamu” ucapku meyakinkan Clara.
“Kalau kalia ingin kembali bersama, aku mundur karena aku sadar aku hanya orang
yang baru saja ia kenal sedangkan kamu orang yang pernah ada di bagian hidupnya” ucap
Clara yang sedikit sinis padaku. Mendengar ucapannya tadi aku sudah tahu arah
pembicaraannya bahwa dia sedang kesal padaku.
“Clara aku hanya sedikit rindu pada dia, tapi tidak aku tidak bermaksud untuk
merebut Karel dari genggamanmu karena kutahu kamu itu orang spesial bagi Karel. Kamu

27
adalah orang yang sudah membangkitkan semangat hidupnya ketika aku menjatuhkannya.
Jadi aku mohon jangan buat dia menderita lagi seperti yang pernah aku lakukan padanya”
kataku pada Clara sambil memegang tangannya, dia harus tahu bahwa sekarang ini Karel
sedang membutuhkannya bukan aku.
“Oh iya, besok aku mau pergi jauh jadi, aku harap kamu bisa buat Karel tersenyum
terus karena kamu adalah wanita terbaik yang aku temui” lanjutku lagi pada Clara sebelum
aku benar-benar pergi dari hadapannya. Dilihat dari raut wajah Clara, ada serIbu pertanyaan
yang ingin dia tanyakan padaku, tapi aku langsung begitu saja pergi dari hadapannya
sehingga dia hanya bisa diam terpaku menyaksikan kepergianku.
***
Dua hari setelah kejadian kemarin, aku tidak lagi bertatap muka dengannya, bukan
karena takut atau menghindar darinya. Hanya saja sekarang kita dibatasi oleh jarak yang
sangat jauh. Di mana aku berada di Amerika karena kerinduanku yang sangat kepada Kak
Ken dan berencana ikut sekolah di sini.
Mengenai kabar Clara dan Karel yang kembali bersatu, aku sudah mengetahuinya
sehari sebelum aku berangkat ke Amerika, Karel juga sempat mengirimkanku sebuah pesan
singkat bahwa ‘Aku tidak boleh lagi menyia-nyiakan seseorang yang tulus padaku jika tidak
ingin menyesal kedua kalinya’ pesan itu akan selalu aku ingat.
~END~

28
Biodata Penulis
Nama : Ayu Lestarin Kamal
TTL : Barru, 2 november 2001
Alamat : Jl. Johan Dg Mangun
Nama Orangtua
a. Ayah : H. Kamal Aras (Alm)
b. Ibu : Hj. Syamsuriani, S. Pd
Ig : @ayulestarikamal
Motto : Bermimpilah semaumu dan kejarlah mimpi itu.

29
Rindu Seorang Anak Kepada Ayah
Oleh :
Diftania Dondi

Matahari mulai terbit, di pagi hari yang cerah ini, aku sudah mempersiapkan diri
untuk pergi ke sekolah. Oh ya! Namaku Rika Oktaviani, tapi aku sering dipanggil Rika oleh
teman-temanku. Pagi ini, aku sudah memulai hariku untuk pergi ke sekolah. Aku sangat suka
sekali, karena di sekolah aku mendapatkan ilmu yang bermanfaat sekali untukku dan di sana
juga aku mendapatkan teman. Setelah pulang sekolah, aku menonton TV dan bermain
bersama teman-temanku.
Aku menjalani kehidupanku dengan penuh gembira, senang dan ceria. Tapi di balik
itu semua, ada yang kurang yaitu menjalani hidup tanpa Ayah. Aku sedih sekali. Aku jarang
sekali bertemu Ayah. Sedangkan aku hanya bisa mendengar suaranya saja dari telepon. Aku
bepikir, apakah Ayah sudah tidak sayang aku lagi? Lalu, aku bertanya kepada Ibu.
“Bu! Kenapa Ayah nggak pernah pulang? Apa Ayah sudah nggak sayang kita lagi?”
tanyaku pada Ibu.
“Nggak Rika, Ayah masih sayang kita kok” jawab Ibu.
“Tapi, kenapa Ayah nggak pulang-pulang?” tanyaku lagi.
“Ayah nggak pulang karena ia sIbuk mencari uang untuk menafkahi kita. Supaya,
kehidupan kita terpenuhi”
“Oh! Begitu ya Bu. Tapi kan nggak seharusnya Ayah jarang pulang” ucapku berkali-
kali menanyakan hal itu.
“Sudah-sudah, tidur saja kamu” suruh Ibu.
“Tapi Bu!”
“Cepat tidur!”
“I-iya Bu” ucapku.
Lalu aku tidur sambil memikirkan, apa kata Ibu tadi benar ya? Tapi kan Ayah juga
bisa pulang pada waktu Idul Fitri atau Tahun Baru, sementara sebentar lagi tahun baru. Kira-
kira Ayah pulang apa tidak ya? Dan keesokan harinya, aku pergi ke sekolah. Setelah sampai
di sekolah, aku mendengar berita bahwa besok sudah mulai lIbur sekolah karena sebentar lagi
tahun baru. Tak lama kemudian, bel pertanda pelajaran akan segera dimulai sudah berbunyi.
Bu Guru pun datang dan ternyata berita tadi benar. Lalu, Bu Guru menyampaikannya.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb.”
“Wa’alaikumusalam Wr. Wb.”
“Anak-anak, Ibu ingin menyampaikan satu pengunguman bahwa mulai besok, kalian
sudah mulai lIbur selama dua minggu” itulah isi pengunguman dari Bu Guru.
“Horeee!!!” kami sekelas berteriak kegirangan, karena lIbur adalah hal yang paling
kami sukai.
“Tapi kalian di rumah harus belajar ya!” pesan Bu Guru.
“Iya Bu”
Kemudian, teman-temanku semua berbicara tentang rencana mereka yang akan
lIburan tahun baru bersama keluarga mereka termasuk Ayah dan Ibu mereka.
“Oh iya, kamu lIburan ke mana?” tanya Rina.
“Kalau aku mau lIburan ke Candi Borobudur sama Ayah dan Ibuku. Kalau kamu?”
jawab Lia lalu bertanya kembali.
“Kalau aku diajak Ayahku ke Malang sama Ibu dan Adikku. Kalau kamu Rika,
lIburan ke mana?” tanya Rina kepadaku. Namun aku hanya melamun dan membayangkan
sesuatu hal.
“Rik! Rika! Rikaaa!” Seru Lia.

30
“Hah? A-a-apa?” tanyaku kepada mereka.
“Kamu mau lIburan ke mana? Kalau aku lIburan ke Candi Borobudur sama Ayah dan
Ibuku, kalau Rina diajak Ayahnya ke Malang sama Ibu dan Adiknya” jawab Lia.
“Entah, aku mau lIburan ke mana. Mungkin aku di rumah saja” jawabku.
“Oh, kenapa?”
“Nggak kenapa-kenapa, aku males pergi kemana-mana”
“Oh iya, Ayah kamu pulang nggak sih Ka? Apa mungkin kamu yang pergi ke sana?”
Salah satu dari mereka bertanya kepadaku.
“Entah, aku juga nggak tahu” jawabku.
Tak lama kemudian, bel panjang pun berbunyi tandanya pelajaran pada hari ini sudah
berakhir. Aku pun pulang. Setelah sampai rumah, aku bertanya kepada Ibuku.
“Ibu, Ibu, aku besok sudah mulai lIbur. Kira-kira tahun baru ini, Ayah pulang nggak
Bu?” tanyaku.
“Ibu, aku coba telpon Ayah ya Bu?” lanjutku.
Lalu, aku menelpon Ayah. Tak lama kemudian, Ayah mengangkat panggilan dariku
dan aku pun sudah tersambung dengan Ayah.
“Hallo Ayah”
“Hallo! Ada apa?” tanya Ayah.
“Ayah pulang kapan?” tanyaku.
“Emm, kira-kira satu minggu lagi” jawab Ayah.
“Oh, tapi Ayah janji kan kalau lIburan tahun ini Ayah akan pulang”
“Iya! Ayah janji”
“Horeee! Soalnya aku sudah kangen banget sama Ayah” ucapku kegirangan.
“Iya, Ayah juga kangen sama Rika”
“Udah dulu ya Yah. Aku sayang Ayah” ucapku mengakhiri panggilan ini.
“Iya, Ayah juga sayang Rika”
Satu minggu sudah berlalu, tetapi Ayah belum datang juga. Aku pun menelpon Ayah
lagi.
“Hallo Ayah?”
“Hallo, O iya Rika. Maaf ya Ka, Ayah nggak bisa pulang. Soalnya Ayah masih sIbuk”
itulah alasan dari Ayahku.
“Ya udah, nggak apa-apa Yah”
“Tapi, maafin Ayah ya. Kamu nggak apa-apa kan tahun baru sama Ibu?” tanya Ayah.
“Iya Yah” jawabku lesu.
“Semangat!!! Anak Ayah nggak boleh seperti itu, anak Ayah harus semangat terus”
ucap Ayah dengan penuh semangat.
“Iya Ayah” jawabku juga dengan penuh semangat.
“Nah! Seperti itu dong anak Ayah. Ya udah, udah dulu ya. Daah, Ayah sayang Rika”
pamit Ayah.
“Rika juga sayang Ayah”
Setelah aku menelpon Ayah, aku menemui Ibuku dan bertanya lagi.
“Ibu, kenapa Ayah nggak jadi pulang?” tanyaku.
“Ayah itu sebenarnya sangat sayang sekali sama kita. Dan dia bekerja keras demi
menafkahi kita. Dan dia juga berkorban, sampai-sampai dia rela nggak pernah pulang” jawab
Ibu.
“Iya Bu”
“Coba deh kamu lihat film yang ada di TV itu. Film itu bercerita tentang bagaimana
seorang Ayah bekerja keras demi keluarganya. Dan dia juga berkorban meskipun cuaca
sangat panas, tetapi tidak dia hiraukan agar kebutuhan keluarganya bisa terpenuhi” ucap Ibu.

31
Setelah aku dinasihati oleh Ibu. Aku baru sadar kalau Ayah itu bekerja demi
memenuhi kebutuhanku. Selama ini, aku berpendapat salah tentang Ayah. Ternyata Ayah
tidak pulang karena Ayah bekerja demi aku.
“Ayah! Aku kangen sama Ayah. Semoga ada waktu untuk Ayah agar Ayah bisa
pulang ke rumah. Meskipun Ayah jauh di sana, tetapi Ayah akan selalu ada di hatiku. I Love
You Dad. Aku sayang Ayah”
~END~

32
Biodata Penulis
Nama : Diftania dondi
TTL : Makassar, 13 Oktober 2001
Alamat : BTN Graha Prima Coppo
Hobby : Baca Novel
Cita-Cita : Dokter
Nama Orangtua
a. Ayah : Rudi Salam
b. Ibu : Esra S,Pd.
Ig : @diftania_dondi
Motto : Orang yang cerdas adalah orang yang bisa berilmu dan dapat
mengendalikan emosinya.

33
Kepergian
Oleh :
Elma Tahira Husnun

Hari demi hari aku lewati tanpa ada rasa bosan sedikitpun yang aku rasakan saat
menjalin hubungan dengannya. Menatap wajahnya membuat hatiku tenang dari segala
kemungkinan yang ada. Leon menatapku tanpa henti-hentinya dan kata-kata manis pun mulai
terdengar dari mulutnya yang membuatku yakin atas pilihanku selama ini untuk tetap
menjalin hubungan bersamanya. Senyumannya yang manis seolah-olah hanya ia tujukan
kepadaku seorang.
Perkenalkan namaku Diandra Larasati biasa dipanggil Dara. Aku berasal dari
kalangan keluarga yang sederhana. Aku mempunyai keluarga yang lengkap oleh karenanya
aku merasa Tuhan masih menyayangiku.Walaupun aku berasal dari keluarga yang sederhana
tetapi aku tidak pernah merasa malu akan status sosial keluargaku. Aku merupakan seseorang
yang terbilang pendiam di kelas dan pintar.
Aku telah menjalin hubungan selama lima tahun bersama Lenathan Georgio Adinata
yang biasa di panggil dengan sebutan Leon. Leon merupakan siswa yang famous di sekolah
karena jabatanya sebagai wakil ketua OSIS, serta parasnya yang tampan dan mempesona
membuatnya banyak disukai oleh para siswi. Leon bersal dari kalangan orang kaya. Tetapi
Leon merasa hidupnya kurang lengkap karena keluarganya tidak seperti keluargaku yang
terbilang bahagia. Orangtuanya terlalu sIbuk dengan urusan pekerjaannya sehingga membuat
Leon merasakan kurang kasih sayang dari kedua orangtuanya.
Tak terasa waktu terus berlalu hingga saat ini kami telah menjalin hubungan itu cukup
lama, dimulai dari awal berteman hingga merasa memiliki kecocokan dan memutuskan untuk
menjalani hubungan tersebut. Walaupun usia kami terbilang masih terlalu belia yaitu SMP,
tetapi buktinya kami mampu menjalaninya selama bertahun-tahun hingga saat ini kami telah
memasuki SMA.
Aku masih kelas XI dan Leon kelas XII. Banyak orang yang memandang
pasangannya hanya dari segi mata dan bukan hati. Tetapi semuanya itu berbeda dengan
hubunganku, Leon seorang laki-laki yang menjadi idaman para siswi menatapku seorang
gadis yang sederhana dengan menggunakan perasaan.
Aku sangat bersyukur karena telah memiliki dia sebagai pasanganku. Hanya saja aku
merasa risih karena statusnya yang terbilang famous sedangkan aku tidak. Aku tau jika
teman-teman dan para siswi tidak menyukai hubungan yang aku jalani dengan Leon.
Untungnya kedua sahabatku yaitu Sandra dan Luna banyak memberiku nasihat tentang
hubunganku. Salah satu nasihatnya yang paling aku ingat yaitu jalani hubunganmu dengan
apa adanya dan jangan menghiraukan mereka yang ingin menghancurkan hubunganmu,
mereka hanyalah rIbuan dan jutaan dari seseorang yang iri terhadap apa yang saat ini kamu
miliki. Kata-kata itulah yang memotivasi agar bangkit dari rasa risihku ini.
***
“Dara bangun, sudah pagi Nak” teriak Mama yang berusaha membangunkanku setiap
harinya untuk memulai aktivitas di pagi hari.
“Iya Ma, bentar lagi” sahutku dari dalam kamar.
“Memangnya kamu nggak telat nanti” jawab Mama yang sedang mengetuk pintu
kamarku.
Tiba-tiba aku mendengar suara motor yang baru saja memasuki halaman rumahku.
Dengan sedikit penasaran aku pun menengoknya dari jendela kamar dan melihat Leon telah
menjemputku. Dengan gelagapan aku pun bergegas menuju kamar mandi yang berada di luar
kamar.

34
“Tuh kan Mama bilang apa” sahut Mama dari dapur.
“Iya Ma, aku salah” jawabku singkat ketika melewati dapur.
***
Di perjalan menuju sekolahan Leon memberhentikan motornya.
“Dara, aku lupa ambil dokumen penting buat rapat OSIS nanti” ucapnya seraya
melepas helm.
“Terus gimana nih?” jawabku kaget.
“Ya udah kamu pergi aja duluan naik taksi, dari pada kamu entar ikut-ikut sama aku
terlambat dan dihukum” balas Leon.
“Terus kamu gak Papa aku tinggalin?” sahutku dengan wajah khawatir.
“Iya gak Papa kok” jawab Leon dengan wajah tersenyum.
“Ya udah, aku duluan ya” balasku dengan keraguan.
“Iya, hati-hati di jalan sayang” sahut Leon yang perlahan pergi meninggalkanku
dengan menggunakan motornya.
***
Jam istirahat pun tiba, di mana biasanya Leon mengajakku ke kantin bersamanya kini
tak terlihat. Aku menunggunya hampir sepuluh menit. Dan aku pun memutuskan untuk
menuju kelasnya yang tidak terlalu jauh dari posisi kelasku. Ketika aku berada di depan
kelasnya aku pun memutuskan untuk bertanya dengan teman akrabnya. walaupun aku tidak
terlalu kenal dengan teman akrab Leon, tetapi aku mengenal nama dan orangnya.
“Kak Rayn, lihat Kak Leon gak?” tanyaku secara tiba-tiba.
“Oh Leon, dari pagi dia gak masuk tuh” jawab Rayn singkat.
“Memangnya Kakak gak tahu Kak Leon ke mana?”balasku lagi dengan wajah gugup.
“Katanya sih pengen ke bandara jemput seseorang, kamu kan pacarnya Leon. Masa
gak tau sih pacarnya ke mana” jawab Rayn dengan ketus.
Hatiku rasanya remuk setelah tahu bahwa Leon telah membohongiku. Aku pikir dia
gak sama seperti laki-laki lain. Semenjak lima tahun aku menjalin hubungan dengannya, aku
gak pernah sedikit pun Leon bohongi. Tetapi sekarang apa? Dia rela meninggalkanku di
pinggir jalan hanya demi menjemput seseorang di bandara. Aku mencoba untuk
menghubunginya untuk meminta penjelasan, namun tak satu pun panggilan dariku Leon
angkat.
Ketika sampai di rumah aku pun mencoba menghubunginya lagi, tetapi hasilnya nihil.
Lagi-lagi panggilan dariku tak dia jawab. Aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah Leon
dan menemuinya.
***
Aku melihat dari pagar yang menjulang tinggi di depan rumah Leon untuk
memastikan bahwa Leon saat ini sedang berada di rumah.
“Ada apa ya Mba mengintip-intip rumah ini?” tanya seorang Satpam dari dalam
pagar.
“Oh anu Pak, apa Leonnya ada di dalam?” sahutku gugup.
“Oh Den Leon, iya dia berada di dalam bersama dengan tamu yang datang dari luar
negeri” jawab Satpam to the point.
“Ya sudah, sampaikan sama Leon bahwa Dara tadi sedang mencarinya” balasku
dengan cepat.
“Baik nanti saya sampaikan pesannya” sahut Satpam itu.
Dengan perasaan sedih aku pun pergi meninggalkan rumah Leon. Di perjalananku
pulang ke rumah, aku memikirkan hal yang seharusnya tidak boleh aku pikirkan. Karena rasa
curigaku kepada Leon yang terlalu berlebihan membuatku marah terhadapnya.

35
Apakah aku salah jika aku mempertanyakan bahwa mengapa dia mengabaikan
panggilan telpon ku, dia lebih mementingkan tamunya yang datang dari luar negeri sampai-
sampai melupakanku.
‘Sebegitu pentingnya kah dia?’ pikirku dalam hati.
Astaga mengapa perasaanku jadi gak karuan kayak gini. Seharusnya aku percaya
sama pasanganku bukannya memikirkan hal yang aneh-aneh.
‘Mungkin saja itu Mama atau Papa Leon yang datang dari luar negeri’ hatiku pun
membatin berusaha berpikir positif.
***
Pagi ini pun aku menunggu jemputan seperti biasannya dari Leon, tetapi hampir jam
masuk sekolah Leon pun belum menjemputku. Ke mana gerangan dia berada, sampai-sampai
dia melupakanku. Sambil menangis akupun berjalan menuju ke sekolah hanya seorang diri.
Ketika aku baru memasuki gerbang sekolah, langkahku pun terhenti. Ketika aku melihat
orang yang selama ini menjalin hubungan denganku, berjalan bersama dengan seorang
perempuan yang baru kulihat.
Tuhan mengapa selama ini kepercayaan yang kau berikan kepadaku, kau patahkan
begitu saja. Sampai saatnya tiba kau buat hatiku menjadi hancur dan kau hilangkan
kepercayaanku terhadapnya. Badanku pun mulai bergetar dan wajahku pucat pasi setelah
mataku dan mata Leon kau pertemukan. Aku berusaha untuk berlari sejauh mungkin dari
hadapan Leon dan seorang siswi yang belum aku kenal. Aku kira Leon akan mengejarku
tetapi nyatanya tidak, dia tidak melihat betapa rapuhnya perasaanku saat ini. Hati yang
selama ini aku bangun hanya untuk bersama Leon kini hancur berkeping-keping. Dengan
mudahnya dia melupakanku dan lebih memilih pergi bersama orang lain yang bukan
tambatan hatinya.
Saat aku memasuki kelas aku mendengar siswa dan siswi membicarakan murid baru
yang berasal dari luar negeri.
“Dar! Dara!” panggil Sandra dari belakang tempat dudukku.
“Iya, ada apa San?” tanyaku.
“Kamu liat Leon gak, dia datang bareng murid baru yang katanya dari luar negeri
itu?” sela Luna dari samping Sandra.
“Shttt, kamu ini” jawab Sandra yang menegur Luna.
Isak tangisku pun menjadi-jadi, mengingat kejadian yang barusan aku alami.
Hancurlah sudah semua harapan yang Leon berikan kepadaku. Dengan janji-janji manis yang
ia berikan kepadaku dulu kini telah pudar. Katanya Leon ingin setia denganku. Katanya
hatinya hanya untukku seorang diri. Katanya dia gak bakalan ninggalin aku sendiri. Tapi
nyatanya apa? Semua janji yang Leon ucapkan lima tahun yang lalu hanya kebohongan
semata.
***
Bel pulang sekolah pun berbunyi, tapi kali ini Leon tidak ke kelas menjumputku
untuk pulang bersama dan menjelaskan semua kejadian yang aku lihat tadi, tapi saat ini dia
lebih memilih untuk pulang bersama Neola Carissa yang aku tahu namanya dari anak-anak di
kelas yang sedang membicakan kedekatan siswi baru itu dengan Leon.
Ketika aku melewati parkiran, Leon tiba-tiba memegang salah satu tanganku dari
belakang.
“Aku ingin bicara denganmu?” sahut Leon dari belakang sambil memegang salah satu
tanganku.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” jawabku dengan meneteskan air mata.
“Aku ingin kita putus” sahut Leon sambil menatapku.
“Apa aku mempunyai salah terhadapmu? Mengapa kamu tega meninggalkanku demi
Neola?” tanyaku dengan isakkan tangis yang menjadi-jadi.

36
“Aku tuh cuma jadiin kamu sebagai pelampiasan aku aja! Dulu Neola pergi ninggalin
aku tanpa sebab. Dan kini dia kembali untuk bersamaku. Kita udah di jodohin sama orangtua
kita, jadi aku harap kamu pergi jauh-jauh dari kehidupanku dan lupakan aku” balas Leon
tanpa perasaan.
“Terus kamu anggap aku apa selama ini? Katanya kamu ingin setia denganku dan gak
bakalan ninggalin aku. Terus lima tahun kita lewati hari-hari bersama tanpa ada satu masalah
pun kamu anggap apa? Memangnya hatiku cuma untuk pelarianmu saja?” ucapku yang
menangis sambil pergi meninggalkan Leon.
Leon hanya menatap kepergianku tanpa rasa bersalah dan kembali bersama Neola.
Murid-murid yang melihat kejadian tadi tidak menyangka akan tindakan dan sikap
Leon yang seperti itu. Banyak murid-murid yang merasa senang akan kandasnya hubungan
Leon bersamaku dan ada pula yang merasa sedih karena melihat sikap Leon kepadaku.
Sebegitu rapuhnya perasaanku sampai-sampai aku belum mempercayai kejadian tadi,
di mana Leon memintaku untuk putus hubungan dengannya. Di tambah lagi perceraian kedua
orangtuaku, yang memutuskan untuk pisah dikarenakan Papa yang ketahuan selingkuh
dengan sahabat Mama. Kini dua masalah yang harus aku hadapi secara bersamaan, tetapi aku
belum sanggup menghadapi kenyataan yang harus aku terima.
Tuhan, mengapa kau berikan aku cobaan yang sulit untuk aku hadapi. Di saat aku
kehilangan seseorang yang aku anggap teman hidup, kini kau renggut juga kebahagian
keluargaku. Aku benci akan hal itu, aku tidak sanggup menjalani semuannya seorang diri.
Aku merasa kasihan kepada Mamaku, karena kebahagiaan yang Mama punya kini telah kau
renggut Tuhan. Harapan dan doa-doa yang selalu aku panjatkan, kini tak kau dengar. Jangan
kau berikan aku kebahagiaan jika kau ingin renggut kebahagiaan itu dariku. Kini hanya luka
dan rasa kepedihan yang kau sisakan kepadaku. Semua kebahagiaan yang dulu kau berikan
kini telah menghilang.
Rasa penasaranku pun terjawab, kini aku tau semuanya bahwa Neola dan Leon sudah
menjalin hubungan selama 1 tahun sebelum Leon berpacaran denganku. Rasa sayang di
antara keduannya terpisahkan karena jarak dan tempat tinggal. Aku harus mengikhlaskan
kebahagiaan Papaku dan Leon yang telah pergi meninggalkan untuk meniti hidup yang jauh
lebih baik bersama orang lain.
“Keutuhan suatu hubungan bukan hanya dilandasi oleh rasa bahagia, tetapi
keutuhan suatu hubungan itu harus dilandasi oleh rasa di mana kita harus memiliki
keterbukaan, percaya satu sama lain, mencintai dengan sepenuh hati, dan tulus menjalani
hubungan itu tanpa ada rasa beban. Cinta juga tidak memandang status sosial, paras dan
masa lalu seseorang tersebut, cinta hanyalah sebuah perasaan yang tumbuh dari dalam hati
yang tak tau kapan ujungnya” - Diandra Larasati
~END~

37
Biodata Penulis

Nama : Elma Tahira Husnun


TTL : Banjarmasin, 17 Oktober 2001
Alamat : Pekka Pao
Hobi : Membaca
Cita-Cita : Menteri Perhubungan
Nama Orangtua
a. Ayah : Marsuki
b. Ibu : Lailawati
IG : @elmaa1710_
Motto : Kesuksesan dapat kita raih bukan melalui seseorang, tetapi
melalui diri kita sendiri.

38
Predestinasi
Oleh :
Fadlya

Siang itu selepas pulang sekolah tiba-tiba Tasya mendapat sebuah chat dari seorang
lelaki melalui via BBM.
“ Hi.... Selamat siang. Apa benar ini Tasya?” kata lelaki itu.
Lalu Tasya membalas, “Iya. Benar. Ada apa?”
“Kamu itu orang yang sering aku perhatiin pada saat kamu duduk dengan teman
kelasku” balas lelaki itu.
“ Ohh iya. Kamu dapat Pin BBM aku dari mana?” balasan Tasya cuek.
“Teman sekelas kamu yang memberikanny” jawab lelaki itu.
Lelaki itu bernama Bara, dia adalah cowok dari jurusan IPS. Bara sekelas dengan
teman SMP Tasya. Tasya memiliki beberapa orang teman yang sekelas dengan Bara.
Berhubung karena Tasya lolos di jurusan IPA dan karena Tasya belum akrab dengan teman
sekelasnya, jadi Tasya selalu bergabung dengan teman-temannya yang berada di jurusan IPS.
Hampir setiap hari Tasya ke kelas temannya itu. Dan pada saat itulah Bara mulai jatuh cinta
terhadap Tasya. Setelah beberapa hari pendekatan. Bara pun mengungkapkan perasaannya
terhadap Tasya, akan tetapi Tasya tidak semudah itu menerimannya. Tasya meminta waktu
untuk menjawabnya. Dan sekitar 2 minggu kemudian barulah Tasya menjawab perasaan
Bara. Dan akhirnya mereka pun berpacaran.
Karena kelas mereka tidak berdekatan jadi Bara memanfaatkan hal tersebut. Bara
masih sering duduk dan berbincang-bincang bersama dengan temannya dan ternyata itu
bukan temannya akan tetapi seorang cewek yang ternyata mantan Bara. Dan itu membuat
Tasya cemburu. Bara juga terkadang membuat Tasya cemburu apabila dia mengantar teman
ceweknya tanpa sepengetahuan Tasya. Hari pun berlalu, saat itu Bara cuek terhadap Tasya
dan sering membuat Tasya cemburu. Dan pada saat itu ada seorang senior Tasya yang
mendekati Tasya dan seniornya bernama Fandy. Fandy selalu perhatian terhadap Tasya dan
pernah suatu ketika Tasya bermain hujan-hujan akan tetapi Bara hanya membiarkan Tasya
kedinginan dan setelah sampai di parkiran Fandy melihat Tasya sudah sudah mulai pucat
akibat kedinginan memberikan jaket kepada Tasya. Dan Tasya pun memakai jaket tersebut
dan segera pulang ke rumah.
Tanpa sepengetahuan Bara, ternyata Fandy menyukai Tasya dan setelah hampir satu
bulan pendekatan akhirnya Fandy menyatakan perasaannya terhadap Tasya. Tasya menerima
Fandy karena Fandy memiliki sosok yang penyayang beda dengan Bara yang hanya
mementingkan dirinya sendiri. Dan setelah hampir 1 bulan hubungan Fandy dan Tasya putus.
Sebab, Tasya mulai cuek terhadap Fandy. Dan setelah itu Tasya hanya fokus terhadap Bara.
Pada saat kelas XI, kelas Bara berdekatan dengan kelas Tasya dan pada saat itulah
apabila Tasya pulang sekolah Bara selalu menunggu Tasya. Pada saat PORSENI Bara pun
mengajak Tasya untuk makan di luar dan ini yang membuat Tasya perlahan-lahan mulai cinta
terhadap Bara. Bara juga mulai berubah, dia tidak seperti waktu kelas X. Dan pada setiap
hubungan tidak pernah ada yang berjalan mulus pasti ada krikil-krikil yang harus dilewati.
Begitulah dalam hubungan Bara dan Tasya, masalah sering muncul sebab Bara sering
berbohong terhadap Tasya dan itu membuat Tasya marah. Hari pun berlalu sangat cepat.
Bara pun mulai berubah dia selalu menuduh Tasya mulai bosan. Sehingga
menimbulkan perdebatan di antara mereka berdua. Dan pada saat di mana setelah ulangan
penaikan kelas selesai Bara mulai merasa bosan dengan hubungunnya bersama Tasya. Dan
pada saat itulah mereka menyudahi hubungan mereka. Dan setelah beberapa hari kemudian

39
Tasya mengetahui kenapa Bara bosan dengannya, itu di sebabkan karena adanya wanita yang
baru Bara kenal dan namanya yaitu Vanessa. Bara mengenal Vanessa melalui aplikasi ‘Ome
TV’ Vanessa ini non muslim. Dan entah apa yang membuat Bara memilih Vanessa daripada
Tasya, hanya Bara yang tahu. Tasya pernah mendapati Bara sedang melakukan video siaran
langsung di instagram. Dan begitu Bara melihat kalau Tasya bergabung dalam siaran
langsungnya tersebut Bara pun tiba-tiba menghentikannya.
Dan beberapa hari kemudian Tasya membuat status di Whatsapp dan orang yang
pertama kali melihatnya yaitu Bara, lalu Bara membalasnya “Ikuti kata hatimu”. Karena
Tasya tidak mengerti apa yang Bara maksud, di saat itulah mereka kembali saling
berkomunikasi. Bara mulai menceritakan segala hal yang dia lalui tanpa adanya Tasya dan
Bara juga mengatakan bahwa dia tidak bisa hidup tanpa Tasya dan pada dasarnya Tasya
hanya menyimak kata-kata tersebut karena Tasya terbilang cewek yang paling cuek. Setelah
beberapa hari Bara menghubungi Tasya, Bara pun meminta Tasya untuk menerimanya
kembali, akan tetapi Tasya tidak semudah itu menerima seseorang yang sudah menyakitinya.
“Tasya tolong terima aku kembali” kata Bara
Akan tetapi Tasya tidak menjawab pesan dari Bara tersebut.
Lalu Bara mengatakan, “Aku akan melakukan semua yang kamu mau, tapi tolong
terima aku kembali”.
Tasya hanya menjawab, “Buktikan semua apa yang sudah kamu ucapkan. Karena aku
butuh bukti bukan omongan”
“Baiklah aku akan membuktikan semuanya” jawab Bara.
Dan keesokan harinya Bara pun mulai menunggu Tasya di depan kelasnya untuk
mengantarnya ke parkiran, Bara selalu menanyakan kepada Tasya “Apakah kamu mau
menerimaku kembali?” tapi Tasya tidak menjawab apa-apa.
Pada waktu itu ada acara pameran di Alun-Alun Kota, Bara menghubungi Tasya
memberitahu apakah Tasya ingin datang ke acara tersebut. Dan Tasya mengatakan bahwa
dia akan datang karena dia sudah janji dengan teman-temanya.
Dan Bara pun mengatakan, “Apa aku boleh bergabung Aku ingin ikut bersama kamu
Tasya”
Tasya lalu mengatakan, “Kamu sama temanmu saja”
Akan tetapi Bara tetap ngotot ingin ikut bersama dengan Tasya.
Tasya pun mengatakan, “ Terserah kamu”
***
Di Alun-Alun
Sesampainya di Alun-Alun, Bara menchat Tasya melalui Whatsapp.
“Tasya kamu di mana?” kata Bara.
“Aki masih di jalan. Memangnnya kenapa? Kalau kamu mau gabung sama teman
kamu, silahkan” Jjawab Tasya.
“Aku sudah sampai di Alun-Alun, aku mau menunggu kamu. Aku tidak mau gabung
sama teman-temanku dan aku bakalan nungguin kamu” balas Bara.
“Kalau mau nunggu, nunggu aja” balas Tasya.
Sesampai di Alun-Alun Tasya lalu menghubungi temannya yang bernama Valen dan
Siska.
“Valen kamu di mana? Aku sudah sampai” kata Tasya.
“Aku berada di dekat taman bermain anak-anak” jawab Valen.
“Baiklah, jangan meningalkan tempat itu, aku segera ke sana” jawab Tasya.
Dan Tasya pun menemukan teman-temannya yang tengah duduk di dekat taman
bermain. Di samping itu Bara pun menchat Tasya terus dan Tasya menjawab,
“Aku sudah sampai, kalau kamu mau gabung sama teman kamu. Gabung saja”.
Bara pun mengatakan, “Kamu di mana ? Aku akan menyusulmu”

40
Tasya sudah melihat Bara tak jauh dari tempatnya dan dia sedang sendirian akan
tetapi Tasya menjawab, “Aku di tengah Alun-Alun dan banyak orang, mendingan kamu
gabung saja dengan teman-temanmu”
Akan tetapi Bara tetap ngotot ingin bertemu dengan Tasya. Lalu Tasya mengatakan,
“Aku mau keliling. Kalau kamu ketemu, gabung saja”
Dan Bara pun mulai jalan mencari Tasya sendiri. Dan di pertengahan jalan Siska
melihat Bara tengah berdiri sendiri dan matanya tertuju pada handphone. Siska menegur Bara
“Hei Bara, kamu lagi ngapain di sini?”
Bara cuman diam dan melihat Tasya. Dan Tasya pun hanya cuek melihat Bara.
Setelah itu Bara bergabung dengan Tasya dan teman-temannya dan mereka pun jalan. Di
perjalanan Tasya jalan di depan dan Bara berjalan paling belakang.
Siska memberitahu kepada Tasya “Kamu harusnya menemani Bara”
Dan Tasya pun hanya senyum-senyum. Karena merasa sudah cukup capek. Akhirnya
mereka pun kembali ke posisi pertama kali dia duduk. Dan Bara duduk di dekat Tasya.
mereka pun duduk sampai jam 11 malam. Tasya mengajak teman-temannya untuk membeli
makanan. Dan mereka pun meninggalkan tempat duduknya dan segera mencari tempat yang
kosong. Pada saat mendapatkan tempat yang kosong. Mereka pun makan dan setelah itu
duduk kembali untuk menunggu Adik Tasya. Setelah Adik Tasya datang mereka pun kembali
dan Bara pun kembali. Setelah sampai di rumahnya Bara pun menghubungi Tasya.
“Tasya apakah kamu sudah sampai?”
Tasya menjawab, “Iya, aku sudah sampai”
Setelah itu Tasya pun tertidur. Dan keesokan harinya Tasya menjawab bahwa dia
ingin menerima Bara kembali. Dan Bara pun sangat senang mendengar hal tersebut. Dan
mereka pun memulai hubungannya kembali dengan Bara yang sudah berubah dan sangat
pengertian terhadap Tasya.
~END~

41
Biodata Penulis
Nama : Fadlya
TTL : Barru, 05 Juni 2001
Alamat : Jl. Tinumbu, Padongko
Hobi : Membaca, Main game
Cita-Cita : Front Office
Nama Orangtua
a. Ayah : Muh. Saleh
b. Ibu : Rosaeni
Ig : @Fdlya56
Motto : Jika kau tak suka sesuatu, ubahlah! Jika tidak bisa, maka
ubahlah cara pandanganmu tentangnya.

42
Love The Game
Oleh :
Inayatul Izzah

Jam menunjukkan pukul 03.00 AM.


“A****r arah 125 south di sana 1 squad” berteriak karena terbawa suasana game.
“Ina back up gua” dari voice chat game.
“Okok siap, lu maju duluan ntar gua di belakang back up lu”
Tak terasa jam sudah mau menunjukkan pukul 04.00 AM.
Dor...Dor….
Terdengar suara pintu kamar di ketuk dengan sangat kencang.
“Ina lu belum tidur, ini udah jam berapa?” teriak Kak Jo dari luar kamar.
“Tunggu Kak ini lagi nanggung bentar lagi, booyah ni”
“Kalau lu nggak tidur sekarang Kakak bakal sita hp lu”
“Ahhhh ya udah deh Ina tidur nih” dengan suara yang marah.
Setelah satu match gua pun langsung tidur.
Sebelum cerita gua di mulai perkenalkan nama gua Inaiz Al Faizi, gua anak umur 17
tahun yang kecanduan game online, yang teriak tadi itu Kakak gua namanya Joshua Al Faizi
dia juga seorang youtuber gamers yang lumayan sukses dan di gemari kaum hawa. Gua
sekolah di SMA 1 BARRU kelas XII, kalau mau tau keseharian gua kayak gimana jangan
berhenti ngikutin kisah gua.
Dor...Dor....
“Ina bangun udah jam berapa nih nanti kamu telat ke sekolah” teriak Mama dari luar.
“Iya Nyonya Maya, nih udah bangun kok” dengan malas gua terpaksa bangun dari
mimpi indah gua dan terus ke WC untuk menyegarkan diri yang udah lelah karena main
game, setelah mandi gua langsung menuju ke ruang makan.
“Kamu nih yah selalu banget kesiangan bangun” kata Papa dengan nada suara marah.
“Ya elahh Pa, gimana nggak telat kalau di tuh anak mainnya sampai jam 3 gimana
nggak telat bangun” celetuk Kak Jo.
“N****r lu Kak ngadu mulu sama Papa”
“Nggak usah berantem, Papa antar kamu ke sekolah”
Mentari pagi menyinari jalanan kota.Sesampainya gua di kelas.
“Woi Na main yuk, mabar bareng, kita push rank” teriak Rendi dari pojokan kelas.
“Okok siap Boss”
Kami pun bermain game bareng sampai tidak lupa waktu dan tidak terasa ternyata bel
masuk pun berbunyi.
Guru pun masuk ke dalam kelas serta membawa seseorang murid baru.
“Anak-anak perkenalkan ini teman baru kalian, silahkan perkenalkan diri kamu”
“Iya Bu, nama gua Muhammad Hafid Idang, gua pindahan dari SMA 3 Makassar”
“Hafid silahkan kamu duduk di samping Inaiz”
“Enak aja Bi, ini tempatnya Intan”
“Kan Intan bisa duduk di sebelah Dela nanti”
“Yaelah Bu, dia aja yang duduk deket Dela”
“Ina kamu mau Ibu hukum lagi atau hp kamu Ibu sita?”
“Ihh Ibu mahh, ya udah dehhh”
Anak baru itu pun duduk di sebelah gua.
Jam pulang pun berbunyi.
“Guys gua mau ke rumah Intan dulu yah”
“Ina gua ikut” kata Aan

43
“Mau ngapain lu ke sana?”
“Iya nih Aan ikut-kutan aja urusan cewek lu” gertak Mila.
“Udah-udah ngapain sih berantem kayak anak kecil aja” kata Rachica
Mereka pun berangkat menuju ke rumah Intan untuk nongkrong, sementara di
perjalanan, sebuah motor melaju dengan pelan dan berhenti tepat di samping kami.
“Siapa lu?” sentak gua.
“Ina naik” kata pemuda di motor tersebut.
“Enak aja lu, ngajak temen gua pergi udah nggak kenal lagi” semprot Aan
Lelaki di motor itupun langsung membuka kaca helemnya. Dan kami pun langsung
tersentak kaget ternyata anak baru yang ada di kelas gua.
“Kenapa lo?” kataku.
“Gua mau ngajak lu mabar bareng gua”
Gua pun langsung mengadap ke dia dengan melipat kedua tangan di depan dada
sambil menyombongkan diri.
“Kenapa lu mau ngajak gua mabar? Kekurangan pemain lu?” dengan nada suara
sombong.
“Gua denger lu pemain pro yang ada di sekolah dan gua mau nantang lu buat main
sama gua”
“Ok, tapi apa taruhannya?”
“Kalau lu menang gua bakal jadi babu lu, tapi kalau gua menang lu harus jadi pacar
gua”
“What?” kaget.
“Kenapa? Nggak berani” katanya dengan suara yang menantang.
“Siapa yang takut gua berani kok”
“Okk gua tunggu lo di sekolah besok”
Motor itu pun kangsung melau dengan kencang memecah jalanan kota. Dengan
perasaan yang nggak karuan, gua langsung terus berjalan tanpa pikir panjang lagi.
“Wahhh sialan tuh anak ngajakin gua brantem kali yah belum tau siapa gua”
“Kampret lu na ngagetin aja”
Merekapun sampai di rumah Intan dengan raut wajah yang marah, gua langsung
duduk di sofa ruang tamu Intan.
“Kenapa tuh muka?”
“Tadi ada yang ngajakin Ina mabar besok di sekolah” kata Rachica dengan suara
cemprengnya yang khas.
“Seriusan lu? Wah baruni ada yang berani nantangin Ina di sekolahan”
***
Keesokan harinya di sekolah. Merekapun berkumpul di pojokan kelas untuk
melakukan pertandinigan duel antara Ina dan Hafid.
“Ok gua buat peraturannya” kata Aan sebagai wasit. “SSiapa yang banyak ngekill, dia
yang jadi pemenangnya”
“Ok” kata gue dan hafid secara bersamaan.
Beberapa menit kami berada di pertandingan dan gua kalah kill.
“Ok hari ini pemenangnya adalah hafid” kata Aan sambil berteriak.
“Lu harus jadi pacar gua”
“Ok gua bakal jadi pacar lu”
“Dan lu harus ngebuat gua jatuh cinta sama lu dalam kurung waktu 1 minggu kalau
nggak, lu bakal gua jadiin babu gua sampai lulus”
“Enak aja lu” gua langsung berdiri sambil berkacak pinggang. “Weeh lu kira gua
cewek apaan yang bisa ngebuat lu jatuh cinta sama gua”
“Pulang sekolah lu gua antar”

44
“Tap…” kata gua.
“Nggak ada tapi-tapian, lu harus ikut apa mau gua, tunggu gua di pintu gerbang
sekolah”
Sepulang sekolah gua pun langsung menunggu Hafid di depan pintu gerbang dan
OMG asal kalian tau gua udah nunggu dia setengah jam dan dia belum nongol juga. Untung
gua orang sabar tapikan kalian tau aja ini badan pegel banget tau nggak udah bau keringat
lagi, udah mau tidur mata berat banget kalian tau kan rasanya seperti itu serasa pengen
murka.
“Sorry gua lama”
“Ehh Hafid enak aja lu bilang sorry kayak gitu, lu kira lu tuh tuan putri untuk di
tunggu berjam-jam kayak gini, gua pegel tau gua pengen tidur” dengan nada suara marah.
“Udah sekarang lu mau ngomong apa? Gua mau pulang mandi dan langsung tidur”
“Gua ambil motor gua dulu”
“astaga heee kambeng gua mau pulang udah gerah ni, ihhh iuuu banget”
Hafid pun berlalu ninggalin gua menuju tempat parkir motornya.
“Naik”
“Mau ke mana?”
“Udah naik aja” menarik tangan gua untuk nik ke atas motornya.
Gua pun terpaksa naik ke motornya dan asal kalian tau aja, nih anak mungkin mantan
pembalab lorong yah, dia tuh bawa motornya ngebut banget sampai di belakang serasa gua
mau terbang gitu.
“Ehh kambeng bawa motornya woles aja kali” memukul helm hafid.
“Woiii jangan mukul helm gua”
“Lu sih bawa motornya ugal”
Udah satu minggu gua bersama dengan Hafid dan lama-kelamaan rasa itupun tumbuh.
Tapi aku tidak tau apakah dia memiliki perasaan yang sama terhadap gua. Tuhan jawablah
pertanyaan yang ada di hati gua ini.
Tak lama gua berjalan di koridor sekolah, alhasil gua ngeliat sesuatu yang mungkin
sebagian orang akan menangis melihatnya, tapi gua sadar diri aja gua hanyalah sementara dan
mungkin dia tak memiliki perasaan lebih terhadap gua.
~END~

45
Biodata Penulis

Nama : Inayatul Izzah


TTL : Pare-Pare, 01 Mei 2001
Alamat : Jl. Hj. Lanakka
Hobi : Nonton, Main game
Cita-Cita : Dokter
Asal Sekolah : SMA Negeri 1 Barru
Riwayat Pendidikan :
1. TK Al-Qur’an
2. SDI Barru 1
3. MTS PI DDI AD Mangkoso
Ig : Inayaizzah
Fb : Inayatul Izzah
Motto : Jangan sia-siakan setiap kesempatan yang telah kamu
dapatkan.

46
Reason
Oleh :
Izzah Ramadhani

Kirana Paradita gadis cantik, pintar, ramah dan lemah lembut itu tidak menyangka
alasan dari pria yang dicintainya pergi meninggalannya. Hari berganti minggu, minggu
berganti bulan, bulan berganti tahun, namun pria yang bernama Malvin Alvito cinta
pertamanya yang sudah menjadi kekasihnya selama 1 tahun itu belum datang dan mengabari
dirinya tentang status hubungannya saat ini. Menunggu, hal itu yang dilakukan Kirana.
Malvin pergi tanpa kabar bagai di telan bumi. Namun hati seorang Kirana goyah saat
mendapatkan perhatian dari Aidan Abraham, laki-laki tampan dan troublemaker di
sekolahnya yang selalu menemani Kirana seolah-olah menggantikan posisi Malvin. Kirana
bingung mengapa Aidan tiba-tiba datang di kehidupannya, dia tidak tahu apakah ada alasan
laki-laki itu muncul mewarnai harinya. Apakah hati Kirana masih bisa mennggu Malvin atau
justru membuka hatinya untuk Aidan.
***
Saat ini Kirana berada di depan halte sekolah menunggu supirnya menjemputnya.
Namun, perasaan Kirana tidak tenang ketika melihat seorang preman menuju kearahnya.
Ingin rasanya dia pergi dari tempat itu, namun preman itu langsung mencekal tangannya.
“Mau ke mana cantik?” tanya preman itu sambil mengangkat alisnya sebelah.
“Kamu mau apa? Lepasin saya!” kata Kirana sambil meronta-ronta.
Bugh!
Satu pukulan keras mengenai sudut bibir preman itu dan membuatnya tersungkur di
tanah sambil memegangi bibirnya yang berdarah.
“Lo mau jadi pahlawan kesiangan?” kata preman itu sambil berdiri mencoba
membalas pukulan Aidan.
Laki-laki yang menolong Kirana adalah Aidan. Namun sayangnya pukulan preman itu
meleset, Aidan langsung melintir tangan preman itu dan meninju kembali wajahnya. Karena
tidak dapat membalas pukulan Aidan, preman itu langsung lari meninggalakan Aidan dan
Kirana. Kirana, gadis itu masih menundukkan kepalanya sambil mencengkram erat rok
sekolahnya, dia masih syok akan kejadian yang menimpanya. Aidan menghapiri Kirana dan
berucap.
“Lo nggak apa-apa kan? Jangan takut premannya sudah pergi”
Kirana mendongakkan kepalanya menatap orang yang telah menolongnya.
“Iya aku nggak apa-apa kok, makasih sudah nolongin aku” jawab Kirana.
“Gue anterin lo pulang ya?” tanya Aidan yang kemudian langsung menarik tangan
Kirana dan menggenggamnya tanpa menunggu jawaban dari gadis itu.
Deg!
Jantung Kirana berdegup dengan kencang saat Aidan menggenggam tanganya, dia
hanya menurut ketika Aidan menggadengnya untuk mengantarnya pulang.
***
“Aidan jangan lari! Cepat ke sini?!” teriak Pak Bambang memenuhi isi koridor
sekolah. Kegiatan rutin yang selalu dilakukan Pak Bambang setiap hari untuk menegur Aidan
yang tidak mematuhi aturan sekolah.
“Kamu yah nggak bosan-bosan buat masalah?” tanya Pak Bambang sambil menjewer
telinga Aidan setelah berhasil menangkapnya.
“Aduh…ampun Pak salah saya apa sih?”

47
“Pake tanya lagi! Kamu engga sadar! Itu kenapa dasi ngga dipake, terus sepatu warna
putih!” belum sempat Aidan menjawab Pak Bambang langsung menariknya ke lapangan
basket.
“Sekarang kamu lari keliling lapangan 50 putaran, Bapak bakal awasin kamu”Aidan
pun menurut dan melaksanakan hukuman dari Pak Bambang.
Di sisi lain Kelas 12 MIA 1 sedang berolahraga. Kirana, gadis itu dan teman-
temannya sedang bermain bola basket, namun dia tiba-tiba berhenti bermain dan malah
memperhatikan seorang laki-laki yang sedang berlari.
“Itukan laki-laki yang nolongin aku kemarin” batinnya dalam hati.
Kirana yang masih berdiri memperhatikan Aidan berlari tidak menyadari ada bola
yang mengarah ke arahnya dan mengenai kepalanya. Gadis itupun terjatuh dan memegang
kepalanya karena pusing. Teman-teman yang melihatnya langsung menghampiri Kirana.
Aidan yang juga melihat Kirana terjatuh langsung berlari menghampiri Kirana tanpa
memperdulikan Pak Bambang yanag mengawasinya dengan mata yang hampir keluar karena
melotot. Sejak tadi Aidan memperhatikan Kirana mulai dari perempuan itu masuk ke
lapangan sampai bermain.
“Gue bantu ke UKS” kata Aidan ketika sudah berada di depan Kirana. Gadis itu
hanya menganggukkan kepalanya tanpa melihat siapa orang yang ingin membantunya.
Teman-teman Kirana hanya memperhatikan Aidan yang membawa Kirana menuju UKS.
***
“Sekali lagi makasih udah bantuiin aku. Btw boleh kenalan, soalnya kita belum
kenalan?” kata Kirana ketika sudah berada di UKS dan mengetahui orang yang sama sudah
membantunya kemarin.
“Oh iya, kenalin gue Aidan anak 12 IIS 3” sambil mengulurkan tangannya ke arah
Kirana.
“Aku Kirana anak 12 MIA 1” Kirana pun membalas uluran tangan Aidan.
Dua insan itu saling bertatapan, jantung Kirana berdegup dengan kencang saat
merasakan tangan Aidan. Hangat. Itu yang dirasakannya sampai-sampai membuat pipinya
merona dan enggan melepaskan tangan Aidan. Aidan yang melihat pipi Kirana merona
langsung berucap dan menunjuk pipi Kirana saat tangannya sudah terlepas dari gadis itu.
“Elo cantik kalau blushing”
Kirana yang mendengarkan perkataan Aidan langsung memalingkan wajahnya karena
malu. Kedua insan itu akhirnya larut dalam obrolan dengan Aidan yang selalu
mengombalinya. Meski baru dua kali bertemu namun kedua orang itu sangat cepat akrab dan
Kirana merasa nyaman dengan kehadiran Aidan. Itulah awal kedekatan mereka yang akan
terus berlanjut.
***
Kirana berjalan di koridor sekolah menuju lapangan sambil tersenyum dan membalas
sapaan orang yang menyapanya. Namun senyumnya seketika luntur saat dia menyadari kalau
hari ini dia lupa membawa topi untuk mengikuti upacara bendera. Semua siswa sudah
berbaris rapi mengikuti upacara. Dengan terpaksa akhirnya Kirana berbaris di barisan
pelanggaran, gadis itu berbaris di barisan depan menghadap matahari, keringat mulai
bercucuran di wajahnya. Kirana terkejut saat seseorang mengelap keringatnya menggunakan
tisyu. Ia pun menoleh ke samping untuk melihat orang itu.
“Aidan” gumamnya.
Aidan hanya tersenyum manis ke arah Kirana saat gadis itu menyebut namanya.
Sesudah mengelap keringat Kirana, Aidan kemudian menutupi sinar matahari yang mengenai
wajah Kirana menggunakan kedua tangannya. Kirana yang mendapatkan perlakun yang
sangat manis dari Aidan kemudian mengeluarkan suaranya untuk menutupi salah tingkahnya.
“Kenapa kamu baik sama aku?”

48
“Hmm…mungkin karena gue suka sama lo” jawab Aidan dengan santainya. Kirana
yang mendengar jawaban Aidan terkejut dan membulatkan matanya.
“Haha…gue cuma bercanda, muka lo biasa aja, gue harap lo nggak bakal nyimpan
rasa yang lebih sama gue” kata Aidan ketika sudah berhenti tertawa.
Kirana yang masih bingung akan perkataan Aidan hanya diam membisu, tapi
sayangnya tanpa dia sadari dia mulai menyimpan rasa yang lebih terhadap laki-laki itu.
***
Seorang laki-laki dan perempuan saling berjalan berdampingan dengan senyum yang
mengembang. Aidan laki-laki itu tidak hentinya menatap Kirana perempuan yang berada di
sampingnya. Kirana, gadis itu sangat terliht cantik malam ini menggunakan dress pink yang
kontras dengan warna kulitnya, bibir mungil yanag merah, lesung pipi di kedua wajah yang
membuatnya sangat manis ketika tersenyum serta rambut panjang yang dia gerai. Kirana
yang malu Karena Aidan memperhatikannya sejak daritadi menghentikan langkahnya.
“Kok kamu daritadi liatin aku terus sih?” tanya Kirana kepada Aidan.
“Habisnya lo cantik banget, gue kira lo bidadari yang turun dari khayangan” jawab
Aidan sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Apaan sih nggak usah gombal, ayo cepat jalannya aku mau naik komedi putar” kata
Kirana.
Saat ini dia dan Aidan berada di pasar malam, keduanya seperti anak kecil yang tanpa
malu mencoba bermain di wahana mandi bola setelah menaiki komedi putar.
“Lo nggak mau coba masuk rumah hantu?” tanya Aidan kepada Kirana saat mereka
berdua sudah berada di depan rumah hantu setelah bermain mandi bola.
“Nggak ah, aku takut” jawab Kirana yang mencoba menarik Aidan menjauh dari
rumah hantu.
“Nggak usah takut, kan ada gue yang bakal jagain elo”
“Tapi aku tetap nggak mau” ucap Kirana titik.
“Ya udah kalau gitu gue nggak bakal maksa, lo nggak mau tau hal yang gue takutin?”
tanya Aidan ketika mereka sudah berjalan kembali.
“Emangnya cowok yang suka buat masalah bisa takut juga?” jawab Kirana dengan
nada bercanda.
“Iya-iyalah, gue kan juga manusia pasti punya hal yang gue takutin. Contohnya gue
takut kalau gue jatuh cinta sama lo dan berharap hubungan kita lebih dari sekedar teman, tapi
paling yang gue takutin adalah saat lo menjauh dari gue dan membenci gue” kata Aidan
kemudian berhenti berjalan dan menarik bahu Kirana untuk menghadapnya. Kirana terkejut
sangat-sangat terkejut dengan perkataan Aidan. Mengapa Aidan selalu berhasil
mengejutkannya dengan kata-kata yang sulit dia mengerti maksud dari Aidan?
“Nggak usah dipikirin kata-kata gue, ayo kita jalan lagi” kata Aidan yang mengelus
pucuk kepala Kirana dan menggandeng tanganya untuk berjalan.
***
Aidan terus memperhatikan Kirana yang tersenyum di hadapanya. Kedua orang itu
sedang berada di kantin sekolah. Aidan dan Kirana sama-sama memesan pop ice rasa coklat.
“Lo suka minum yang manis-manis yah?” tanya Aidan setelah meminum pop icenya.
“Iya aku suka minuman atau makanan yang berbau manis, emangnya kenapa?” tanya
Kirana.
“Pantes” jawab Aidan yang membuat Kirana bingung akan jawaban Aidan. Aidan pun
menyuruh Kirana duduk di sampingnya. Kirana pun menurut dan pindah ke samping Aidan.
“Maksud kamu?” tanya Kirana bingung dan mencoba maminta jawaban dari
perkataan Aidan saat sudah duduk di samping Aidan.
Aidan pun menghadap ke samping Kirana ingin menjawab kebingungan dari gadis
itu. Dia pun mendekatkan wajahnya di samping telinga Kirana dan berbisik.

49
“Lo makin manis tiap hari” Kirana yang mendengarkan perkataan Aidan tidak dapat
menahan seyum di wajahnya yang membuatnya terlihat lebih manis. Kirana perfikir apakah
Aidan dilahirkan untuk pandai menggombali perempuan.
***
“Ini minuman buat kamu” kata Kirana yang memberikan sebotol air mineral kepada
Aidan. Kirana sejak tadi memperhatikan Aidan yang dihukum hormat di depan tiang upacara
oleh Pak bambang karena terlambat ke sekolah.
“Makasih” kata Aidan dan mengajak Kirana duduk di pinggir lapangan.
Kirana hanya tersenyum menanggapi perkataan Aidan.
“Berasa punya pacar deh kalau lo perhatian sama gue” kata Aidan sambil tersenyum.
“Apaan sih, emangnya aku mau jadi pacar kamu? Nembak aja belum gimana mau jadi
pacar kamu?” ucap Kirana dengan nada bercanda untuk menutupi salah tingkahnya.
“Lo ngode biar gue tembak? Tapi sayangnya gue nggak mau nembak lo, karena lo
harus tau nembak itu buat orang yang siap untuk ditolak” ucap Aidan dengan entengnya.
Kirana yang tidak mengerti ucapan Aidan mengerutkan dahinya dan bertanya, “Jadi?”
“Dan gue orang yang nggak nerima penolakan, kita nggak perlu jadian untuk saling
mengikat cukup saling sayang aja” ucap Aidan yang mengelus pucuk kepala Kirana.
Dari kejauhan ada sesorang yang menahan amarahnya memeperhatikan kedekatan
Kirana dan Aidan. Dia akan menghampri Aidan saat pulang sekolah nanti dan memberinya
pelajaran.
***
Bugh!
Satu pukulan mengenai wajah seorang laki-laki. Malvin, laki-laki itu memukul Aidan.
Hari ini dia sudah kembali ke Indonesia dan langsung menuju ke sekolah sahabatnya. Niatnya
untuk memberi kejutan kepada Aidan sahabatnya dan Kirana perempuan yang masih ada di
hatinya, berubah menjadi amarah melihat kelakuan antara Aidan dan Kirana saat di sekolah
tadi.
“Lo mau jadi sahabat yang nikung sahabatnya sendiri?!” teriak Malvin di depan wajah
Aidan.
Aidan yang mendapatkan pukulan dari Malvin tidak membalasanya, dia masih
terkejut akan kehadiran Malvin di sekolahnya.
Setelah mengumpulkan kesadarannya, Aidan pun berucap, “Maksud lo apa?!”
tanyanya dengan emosi juga. Bagaimana dia tidak emosi, Malvin datang dan secara tiba-tiba
memukulnya tanpa tahu apa kesalahan yang dia perbuat.
“Alahh…lo nggak usah pura-pura, lo pikir gue bego, gue tau lo pasti suka sama
Kirana kan? Gue nyuruh lo dekatin Kirana dan jagain dia saat gue pergi. Tapi, gue nggak
pernah nyuruh lo buat suka sama dia!” kata Malvin degan emosinya.
“Lo nggak bisa seenaknya nyalahin gue, gue udah bantuin lo buat gantin posisi lo saat
lo pergi ke Jerman buat berobat untuk nyembuhin kanker lo. Tapi apa? Saat lo udah sembuh
dan balik lagi ke Indonesia lo langsung marah-marah sama gue!” teriak Aidan yang tidak
dapat menahan amarahnya terhadap sahabatnya sendiri.
Tanpa kedua orang itu sadari, sudah sejak tadi ada seseorang yang mendengar
perkataan keduannya. Seseorang itu menangis karena mengetahui fakta bahwa seorang yang
dia tunggu selama ini pergi meninggalkannya dengan alasan untuk berobat. Namun kenapa
laki-laki itu tidak memberi tahunya.
“Dan sekarang gue udah kembali, gue mohon lo jauhin Kirana karena dia punya gue”
“Kalau itu mau lo, gue nggak peduli lagi, lo boleh ambil Kirana gue udah capek buat
pura-pura baik sama dia” ucap Aidan.
“Jadi ini alasan kamu Aidan, yang selama ini deketin aku karena Malvin yang minta
sama kamu, selama ini apa yang kamu lakukan sama aku nggak tulus?” kata Kirana yang

50
sudah berdiri di belakang kedua pria itu. Hati Kirana benar-benar sakit saat mengetahui
alasan dari Aidan mendekatinya karena keterpaksaan.
Aidan dan Malvin yang mendengar suara Kirana membalikkan badannya, keduannya
sangat terkejut akan kehadiran Kirana. Kirana, gadis itu sejak tadi mengikuti Aidan dan
seorang laki-laki. Dia merasa penasaran dengan seseorang yang bersama Aidan, betapa
terkejutnya dia saat mengetahui laki-laki itu adalah Malvin. Sampai akhirnya Malvin yang
menarik Aidan ke arah gudang sekolah dan memukul wajah Aidan. Kirana pun mengeluarkan
suaranya lagi saat kedua laki-laki itu menghadapnya.
“Malvin kamu tau betapa senangnya aku saat tau kamu udah kembali. Namun, di sisi
lain kamu buat aku kecewa dengan kamu yang nggak bilang alasan kamu ninggalin aku
karena kamu sakit dan kamu juga udah nyuruh Aidan buat gantiin posisi kamu. Tapi kamu
tau, aku bukan barang yang seenaknyaa kamu titipin sama orang lain. Makasih, sekarang aku
mau kita putus” ucap Kirana kepada Malvin saat Malvin menatapnya.
“Dan untuk kamu Aidan aku mau bilang terima kasih, karena kamu udah berhasil
gantiin posisi Malvin dan buat aku merasa nyaman di sisi kamu karena keterpaksaan kamu”
ucap Kirana kepada Aidan. Tanpa memberi kesempatan kepada kedua laki-laki itu untuk
berbicara, Kirana pun berlari keluar meinggalkan dua pria itu. Gadis itu bersandar di tembok,
tubuhnya lemas dan hatinya hancur saat itulah air matanya lolos di wajah cantiknya.
***
Seminggu sudah setelah kejadian di mana Kirana mengetahui alasan Malvin
meninggalkannya dan Aidan yang mendekatinya. Kirana sudah bisa memaafkan Malvin,
namun gadis itu belum dapat memaafkan Aidan dengan sepenuhnya, dia masih sangat
kecewa dengan Aidan.
Di sisi lain seorang laki-laki masih betah berdiri di depan rumah seorang gadis.
Berharap gadis itu dapat keluar dan mendengar permintaan maafnya. Laki-laki itu adalah
Aidan. Sudah satu jam Aidan menunggu Kirana keluar untuk menemuinya, belasan pesan
sudah dia kirim kepada Kirana. Namun, gadis itu hanya membacanya tanpa membalasnya.
Jujur saja Aidan merasa bersalah kepada Kirana dan sebenarnya Aidan mendekati Kirana
awalnya hanya keterpaksaan karena Malvin yang memintanya. Tapi lambat laun perasaannya
terhadap gadis itu berubah menjadi rasa suka. Semua perlakuan dan perkataan yang
dilakukannya tulus dari hatinya. Aidan terpaksa berkata seperti itu saat di gudang sekolah,
karena dia masih menghargai perasaan sahabatnya.
Rintik-rintik hujan turun membasahi bumi dan lambat laun berubah menjadi hujan
deras. Namun, Aidan masih betah di posisinya menunggu sampai Kirana menemuinya.
Kirana yang melihat Aidan dari jendela kamarnya merasa khawatir melihat Aidan yang sudah
basah kuyub. Jujur saja Kirana ingin menemui Aidan, namun egonya masih menguasainya.
Sudah 30 menit laki-laki itu berdiri di rumahnya ditemani dengan hujan yang membasahi
tubuhnya. Otak dan hati Kirana saling bertentangan, otaknya menyuruh untuk tidak peduli
dengan Aidan, namun hatinya mengatakan sebaliknya. Tanpa perfikir lagi akhirnya Kirana
langsung berlari dari kamarnya menuju ke luar rumah menenemui Aidan. Saking terburu-
burunya turun, dia hampir terjatuh ketika menuruni tangga. Aidan yang melihat Kirana
berlarih ke arahnya menampilkan senyumnya. Betapa terkejutnya dia saat Kirana
memeluknya dengana erat, dia pun membalas pelukan Kirana tak kalah eratnya.
“Maaf…jangan nagis” kata Aidan saat mendengar Kirana yang menangis di
pelukannya, dia langsung menghapus air mata Kirana. Gadis itu hanya diam menatap Aidan.
“Sekali lagi maaf, aku nggak bermaksud buat nyakitin hati kamu dengan perkataan
aku, jujur saja aku dekatin kamu karena terpaksa, namun lama-kelamaan aku mulai suka
sama kamu, aku nggak bisa bohongi perasaan aku lagi kalau aku udah suka sama kamu” kata
Aidan yang memegang kedua tangan Kirana.

51
Kirana, gadis itu semakin menangis mendengar perkataan Aidan. Dia tidak
menyangka ternyata Aidan juga menyukainya dan laki-laki itu berbicara lembut dengannya
menggunakan aku-kamu. Aidan yang bingung dengan Kirana yang menangis makin kencang
langsung menarik gadis itu kepelukannya, mengelus rambut panjang Kirana dengan dagunya
yang dia letakkan di atas kepala Kirana. Untunglah hujan sudah berhenti sebelum Kirana
turun menghampiri Aidan. Kirana pun mengeluarkan suaranya setelah berhasil berhenti
menangis dan membalas ucapan Aidan.
“Tapi kamu terlambat, karena aku yang lebih dulu suka sama kamu” Aidan pun
melebarkan senyumnya mendengar perkataan Kirana. Dia mencubit pipi Kirana dengan
gemas.
“Jadi kamu udah maafin aku?” tanya Aidan.
Kirana hanya menganggukkan kepalanya, karena Kirana tidak bisa membohongi
hatinya kalau dia juga menyukai Aidan.
“Berarti sekarang kita udah pacaran?” tanya Kirana. Aidan yang mendengar perkataan
Kirana, dengan cepat menggelengkan kepalanya.
“Katanya kamu suka sama aku, tapi kenapa kita nggak pacaran aja sih?” kata Kirana
dengan ekspresi marah dan mengerucutkan bibirnya. Aidan yang gemas dengan tingkah
Kirana, kemudian menarik bibir Kirana.
“Kita nggak usah pacaran, tunggu aku besar dan sukses baru aku seriusin kamu” kata
Aidan dengan senyum manisnya.
Kirana yang mendengar perkataan Aidan tidak dapat menahan senyumnya, wajahnya
merona dan membuatnya salah tingkah. Aidan pun kembali menarik Kirana ke dalam
pelukannya. Kedua insan itu berpelukan ditemani dengan sinar rembulan yang begitu terang
setelah hujan turun.
Kirana, gadis itu hanya bersyukur kepada Tuhan, karena telah mengirim Aidan di
kehidupannya mengantikan posisi Malvin. Dia hanya perlu memberi maaf kepada Aidan dan
Malvin atas kesalahan kedua orang itu. Kirana yakin pasti setiap manusia mempunyai
kesalahannya masing-masing, tergantung dari kita saja yang memberi maaf kepada orang itu
untuk memperbaiki kesalahnnya dan Kirana dapat berfikir bahwa belum tentu orang yang
kita kenal sejak dulu dan menjadi orang yang kita sayangi akan menjadi masa depan kita,
sebaliknya orang yang baru kita kenal dan menjadi orang baru dikehidupan kita ternyata
akan menjadi masa depan kita. Dan yakinlah setiap kejadiaan yang kita alami pasti
mempunyai alasannya.
~END~

52
Biodata Penulis
Nama : Izzah Ramadhani
TTL : Barru, 19 Desember 2000
Alamat : Pekka Pao
Hobi : Membaca
Nama Orangtua
a. Ayah : Muh. Saing
b. Ibu : Muliati
Motto : Usaha dan doa adalah kunci kesuksesan.

53
Sahabat Akhiratku
Oleh :
Jabal Nur

Perkenalkan namaku Dodi, aku bersekolah di SMPN 1 Jakarta. Aku tinggal bersama
Ayahku di rumah yang sederhana, Ibuku meninggal saat melahirkanku. Aku merupakan anak
tunggal. Dari dulu sampai sekarang, aku selalu berdua dengan Ayah. Setiap hari aku merasa
kesepian, rasanya aku kurang kasih sayang. Ayahku bekerja sebagai tukang ojek di kampung,
jadi setiap pulang sekolah, aku selalu sendiri.
Aku mempunyai teman yang bernama Bintang, dia merupakan temanku sejak kecil
dari TK sampai sekarang. Dia merupakan anak orang kaya, setiap aku ke rumahnya, aku
selalu di usir oleh Ayah dan Ibunya. Namun dia merupakan sahabatku. Hanya dia orang yang
ingin bermain bersamaku. Di sekolah aku selalu dIbully oleh temanku, aku sering menangis
saat pulang sekolah karena aku tidak punya teman. Bintang selalu datang ke rumahku
sepulangnya dari sekolah, ia bersekolah di SMPN Unggulan 2 Jakarta. Dia adalah anak yang
baik, selalu menemaniku saat sendiri. Namun waktunya tidak lama, karena ia hanya
bersepeda ke rumah dan jaraknya cukup jauh.
Aku merupakan anak miskin yang makan seadanya dan mempunyai baju sekolah
yang lusuh. Aku selalu ditertawakan oleh temanku di sekolah, mereka sering berkata, “Dasar
miskin, kamu itu tidak cocok sekolah di sini, kamu itu cocoknya jadi pemulung huuu”
sahutnya sambil tertawa.
Di sekolah aku tidak memiliki teman. Setiap istirahat aku hanya tinggal di dalam
kelas menyendiri. Ayahku tidak tahu bahwa aku sering dIbully di sekolah karena aku takut
nanti Ayah marah pada teman kelasku.
Aku pernah berkata kepada Ayah, “Yah, mengapa hidup kita seperti ini? Kita miskin
dan hidup pas-pasan”
Ayah berkata, “Sabar Nak, mungkin Allah menunggu kamu sukses untuk mengubah
nasib kita” Akupun tersenyum dan memeluk Ayah.
Hari berganti, hari ini merupakan hari minggu, setiap hari minggu aku menyempatkan
diri ke makam Ibuku yang tak jauh dari rumah, di sana aku selalu curhat dan menceritakan
apa yang telah terjadi padaku dan Ayah.
“Ibu aku merindukanmu, aku tak pernah melihat mu sedari aku lahir, andai saja waktu
bisa terulang biar aku saja yang mati Ibu, jangan Ibu. Aku kasihan melihat Ayah yang
banting tulang untuk menafkahiku” sahutku.
Sesampainya aku dari makam Ibu. Akupun pulan, namun perutku terasa lapar, aku
mencoba mencari makanan di lemari namun tidak ada. Akupun memutuskan untuk
mengamen di pinggir jalan sendirian. Aku mencoba bernyanyi di pinggir jalan dan
Alhamdulillah aku bisa mendapat uang Rp. 10,000. Saat pulang bertepatan maghrib, aku
mendapati Ayah sedang tertidur di kursi, akupun mendekatinya dan Ayah pun terbangun
“Kau dari mana Nak?” sahut Ayahku.
“Aku tadi dari kerja kelompok dan aku diberi roti oleh temanku, Ayah mau? Makan
saja Yah aku sudah kenyang”
Ayah pun berkata, “Kau saja Nak yang makan, kau pasti masih lapar kan? Maafkan
Ayah, kali ini Ayah belum mendapat pelanggan ojek”
“Nggak papa kok Yah, aku tadi sudah makan di rumah temanku, ini Ayah rotinya
makan saja”

54
Akupun meletakkan roti itu di dekatnya dan masuk ke kamar, di kamar itu aku
berpikir bahwa mungkin dengan mengamen aku bisa membantu Ayah. Lebih baik aku
membantu Ayah dulu. Aku besok tidak usah ke sekolah.
Hari berganti dan akupun memakai seragam sekolah dan salam kepada Ayahku dan
di tengah perjalanan aku membuka baju sekolahku dan pergi mengamen, aku mengamen dari
jam 8 pagi sampai jam 2 siang dan aku mendapatkan uang sebesar Rp. 20.000. Aku langsung
pergi ke warung untuk membeli 2 bungkus makanan untuk aku dan Ayah di rumah.
Sesampainya di rumah aku melihat Ayah menungguku.
Akupun berlari dan berkata, “Ayah menungguku?”
“Ya” jawab Ayah dengan singkat, “Kamu dari mana saja, Ayah tadi pergi ke
sekolahmu untuk menjemputmu, namun kau tidak ke sekolah. Kau dari mana seharian ini!”
sahut Ayah keras.
Aku menjawab, “Aku darii…” jawabku dengan gugup.
“Dari mana dan apa yang kau pegang itu? Dari mana kau dapat uang itu? Kau
mencuri?”
“Tidak Yah, aku dari mengamen, maafkan aku ya Ayah, aku terpaksa karena aku
kasihan pada Ayah” jawabku jujur pada akhirnya.
Ayah pun memelukku dan berkata, “Terima kasih Nak, maafkan Ayah tidak bisa
membahagaiakanmu Nak”
“Iya Yah, aku sudah bahagia kok walaupun begini”
Tak lama kemudian. Setelah itu, aku melihat Bintang datang bersama Ibunya, aku pun
langsung tersenyum dan berlari memeluknya.
Ia pun berkata, “Maaf Dodi mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu, aku harus
pergi ke Makassar karena Ayahku ditugaskan di sana dan ini aku memberikan seragam
sekolah dan sepatuku padamu, semoga kau tetap rajin belajar yah”
Akupun menangis bahagia dan memeluk Bintang.
“Hati-hati di sana semoga kau tak melupakanku, terima kasih telah mau menjadi
sahabatku”
Keesokan harinya aku mendengar Ayah berteriak dengan keras dan memanggil
namaku, dengan terburu-buru akupun bangun dan mendekati Ayah di depan TV dan ternyata
pesawat dengan tujuan Jakarta-Makassar hilang kontak dan menabrak gunung. Semua korban
tewas akupun kaget dan menangis karena Bintang dan keluarganya ada di pesawat itu.
Akupun berkata, “Yah, Bintang adalah sahabatku satu-satunya, tanpa dia aku sudah
tidak punya teman lagi di dunia ini”
Ayah berkata “Nak, walaupun bintang sudah meninggal di dunia, namun ia akan tetap
kekal di akhirat dan semua manusia akan dikembalikan pada Allah Swt. Semoga saja Bintang
akan menjadi sahabat akhiratmu Nak”
Aku pun percaya bahwa Bintang adalah sahabat akhirat ku kelak.
~END~

55
Biodata Penulis
Nama : Jabal Nur
TTL : Lapao, 09 Maret 2000
Alamat : Lapao
Hobi : Sepak bola dan Basket
Cita-Cita : Akmil
Nama Orangtua
a. Ayah : Suharto
b. Ibu : Wahida
Ig : @muhjabal_9
Motto : Enjoy for life.

56
Gue Mimpi Aneh
Oleh :
Mahfudaz Al Dani Darwis

Gue punya satu cerita yang satu-satunya bikin gue merinding dari cerita-cerita horror
lainnya. Ini cerita beda banget sama cerita-cerita horror yang lainnya. Cerita ini emang nggak
nyata, tapi ini seperti nyata tapi di dalam mimpi. Yup! Ini cuma mimpi. Dan mimpi ini lebih
mengerikan dari pada mimpi-mimpi yang lain. Hiii….
Gue setengah tidur, setengah bangun, alias setengah sadar dan setengah nggak sadar.
Samar-samar gue dengar percakapan Papa sama Mama gue. Gini nih kalau cerita yang gue
dengar waktu itu.
“Kita ziarah yuk!” seru Papa.
“Nanti, Pa! Mama lagi bersih-bersih bareng Adek” bales Mama, adek yang dimaksud
adeknya nyokap gue.
“Oke! Nanti siang, ya?” tanya Papa.
“Iya, Pa!” jawab Mama.
Nah, dibilang mau ziarah, gue baru inget kalau gue baru aja udah belajar tutorial hijab
baru. Pengeeennn banget gue ikut!
“Pa, Aku ikut, ya?” pinta gue. Tapi Mama maupun Papa gue nggak ada yang
ngejawab. Akhirnya, gue tidur, terus bangun dan tidur lagi.
Bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi, tidur lagi. Banguuun! Tidur lagiii!
Nah, dari bangun-tidur-bangun-tidur lagi, di sinilah cerita mimpi kayak nyata itu
datang.
Gue bangun. Masih merasa kayak di dalam mimpi. Kepala gue agak pusing. Tapi gue
bergegas nyari baju buat pergi ziarah kubur. Karena waktunya kepepet banget, akhirnya
Mama gue turun tangan ngebantuin gue sambil ngomel-ngomel karena gue lambat bangun
dan bentar lagi Papa gue bakalan pergi. Jadi, tanpa perlu mandi, gue udah pake baju.
Entahlah, gue juga nggak ingat. Tiba-tiba aja gue udah pake baju yang dipilihin Mama gue
barusan.
Setelah selesai pake baju, padahal udah kepake dengan ajaibnya, ternyata Papa gue
nggak jadi ingin pergi ziarah. Jadi, sebagai gantinya, gue dititipin sama Tante gue yang
kebetulan mau ziarahan juga. Untung aja gue ada temen. Inaya dan Fauzan.
Gue pun keluar dari rumah dan lari-lari nemuin Inaya dan Fauzan. Padahal, gue males
banget lari-lari kayak gitu. Takutnya kehausan, karena lagi puasa. Tapi lebih baik lari dari
pada ditinggalin.
Ini yang bikin gue kesel! HA-RUS JA-LAN KA-KI!!! Huuuhhh … Udah capek,
Tante gue dan Fauzan lagi semangat dan Inaya yang jalannya … duuuhhh … nggak kebayang
gimana cepatnya! Lebih cocok dibilang lari dari pada jalan. Dan dari semua yang pergi
ziarah, cuma gue! Gue seorang yang paaaling lemes!
Tinnn Tiiinnn!!!
Terdengar suara klakson sepeda motor dari arah belakang. Gue berbalik dan gue
temuin Kakak gue yang lagi make sepeda motor.
“Ngapain, Kak?” tanya gue basa-basi.
“Tadi, disuruh Papa nganterin kamu biar kamu nggak kecapean!” jawabnya.
Karena jawaban dari Kakak gue, gue jadi seneeeng banget! Karena akhirnya gue
nggak perlu lagi capek-capek ngikutin Tante gue yang jalan kaki. Gue pikir, kenapa nggak
manggil taksi biar nggak kecapean? Tapi biarlah, itu urusan Tante sama yang lainnya.

Tapi, baru setengah jalan, eeeh, Kakak gue malah nyetop deket jembatan.

57
“Kenapa setop, Kak?” tanya gue.
“Jembatannya diperbaikin orang!” ujar Kakak gue.
Gue bingung. Perasaan, jembatan yang diperbaikin itu jembatannya masih jauh dari
sini. Pas gue lihat, ternyata bener! Jembatannya diperbaiki! Tapi tunggu, katanya dibaikin,
kok, orang yang lagi baikinnya nggak ada, ya? Terus, kenapa nggak dibikin jembatan
darurat? Biar mudah lewatnya.
“Kita naik getek aja!” usul Kakak gue.
Sebelum lanjut, kalian tahu nggak getek itu apaan? Apa? Getek itu semacam perahu
yang ditarik menggunakan tali dari satu pulau ke pulau lain.
“Oke!” jawab gue seneng. Gue seneng karena jarang-jarang gue bisa naik getek.
Nggak kayak temen sekolah lainnya yang terpaksa naik getek karena jembatannya yang
sedang diperbaiki.

Kakak gue kelihatan celingak-celinguk lihat ke sungai. Gue pikir, ngapain celingak-
celinguk? Geteknya aja udah kelihatan dari sini. Setelah celingak-celinguk, Kakak gue naik
sepeda motor. Gue ikut naik tanpa mengatakan kalimat apapun. Sepeda motor pun pergi
beberapa meter, lalu setop lagi. Dan lagi-lagi Kakak gue celingak-celinguk lihat ke sungai.
Gue bingung lagi. Udah tahu geteknya di sini adanya cuma satu.
“Eh, nggak jadi deh, naik geteknya” kata Kakak gue lemes. Lemeees banget!
“Kenapa?” tanya gue. Kakak gue diem dan sekejap, gue baru ingat sesuatu.
“Oh iya! Kakak takut naik getek, kan?” tanya gue yang baru aja ingat Kakak gue
pernah bilang kalau dia takut naik getek. Duuuh, udah gede masiiih aja takut naik beginian.
Dari sini gue mulai bingung. Kakak gue tiba-tiba aja ngilang entah ke mana. Gue
merasa kembali lagi menjadi anak kecil walaupun dari segi fisik nggak sedikit pun berubah
menjadi anak kecil. Gue berpaling ke arah belakang dan gue temuin Inaya, Fauzan dan Tante
gue. Tapi mereka nggak bertiga aja. Ada lima cewek lain. Sepertinya mereka bukan berasal
dari Indonesia, tapi Korea! Jika dilihat, penampilan mereka terlihat seperti sebuah girlband
dari pada warga biasa.
Salah satu dari orang Korea yang berambut biru. Ya, rambutnya biru hasil dari
nyemir, manggil gue supaya mendekat ke sana. Entah mengapa kaki gue serasa ada yang
ngegerakin. Padahal niat gue ke sana buat nemuin Inaya, Fauzan, sama Tante gue. Tapi
arahnya berpindah pada cewek-cewek Korea itu. Yang berambut biru tadi langsung meluk
gue. Iiih! Sebenernya gue ogah dipeluk-peluk kayak gituan. Tapi gimana lagi? Badan gue
serasa lemah, nggak ada kekuatan. Lalu cewek itu ngegelitikin gue. Gue mau ketawa kencang
dan meminta tolong, tapi rasanya suara gue udah hilang dan yang bisa gue perbuat hanyalah
ketawa-ketawa tanpa suara.
“Gue mau ini! Gue mau ini! Gue mau ngebeliin cowok gue ini!”
Hah?! Sepintas terpikir oleh gue, kok, cewek Korea bisa ngomong bahasa Indonesia?
Dan… ngapain dia pegang-pegang kaos gue?
“Gue mau ngebeliin cowok gue ini! Ini jeans yang diidam-idamkan cowok gue!”
sambungnya.
Hah?! Jeans?! Panca indranya ke mana, sih? Rok dibilang jeans! Udah tahu gue
nggak pake jeans!
“Cowok lo pasti seneng tuh, kalau lo beliin jeans kayak gituan!” ujar temennya yang
berambut pirang.
Dengan paksaan, gue melepaskan diri dari pelukan cewek gila itu. Dan sekarang
terjadi kejadian yang aneh lagi. Tiba-tiba aja di depan gue ada tiga anak cewek yang gue
kenal dan masih di bawah umur gue lagi tidur-tiduran di teriknya panas matahari. Mereka
adalah Nausara, Vynna dan Liza. Yang anehnya lagi, mereka bertiga tidur-tidurannya pake
bantal! Itu tidur atau bener-bener tinggal di pinggir jalan?

58
“Eh, Kak! Ayo, Kak istirahat dulu di sini!” ujar Vynna sambil nepuk-nepuk bantal
kapuk yang tel*njang. Tel*njang ya maksudnya nggak pake sarung.
Entahlah semua kejadian ini terasa ada yang mengendalikan. Seperti seorang Script
Writer yang sedang menuliskan kejadian gila ini. Mungkin sekarang dia sedang menuliskan
‘Aku pun ikut beristirahat bersama tiga anak perempuan itu’
Pantas aja gue tiba-tiba aja mau ikut sama mereka di bulan puasa ini berjemur di
teriknya panas matahari tanpa ada rasa haus.
Gue melirik ke arah lima cewek Korea yang gila tadi. Gue kaget! Kenapa? Gimana
nggak kaget? Di sini cahaya mataharinya terik banget! Dan di sana terlihat mendung dan
sejuk. Di tambah lagi ada Kakaknya Fiona yang lagi ngobrol-ngobrol sama lima cewek Korea
gila dengan gaya “Chibi-Chibi” gitu.
“Kak, Kak, Kak!” ujar Vynna menyolek bahu gue. Gue berbalik arah pada Vynna.
“Kak Abel lihat cewek yang berambut biru itu, kan?” tanyanya. Gue mengangguk.
“Dia itu bekerja di kantor Ayahku, Kantor RisaRira” ujarnya.
Kantor RisaRira. Baru kali ini gue dengar ada kantor namanya RisaRira. Gue lirik lagi
cewek berambut biru yang meluk-meluk gue tadi. Wajahnya mirip banget sama Guru Lea Ju,
dokter hewan yang ada di film My Girlfriend is Gumiho. Miriiip bangeeet! Cuma rambutnya
aja yang berbeda. Dia kurang tersenyum. Dari raut wajahnya, dia lebih sering melamun.
Sama seperti halnya Guru Lea Ju.
Suasananya seperti fast motion. Cepat banget berlalu. Matahari telah tenggelam. Dan
dengan rasa lemas, gue berjalan menuju rumah sendirian.
Malam hari di rumah, gue mandi dan saat sedang make baju, ada kejanggalan yang
bikin gue bingung. Seperti ada yang memata-matai gue. Gue lirik ke arah jendela dan gue
lihat ada sebuah bola aneh berwarna biru. Benda itu gue ambil dan gue perhatikan dengan
detail. Bola itu mempunyai satu mata yang besar dengan tiga tanda segitiga di atas matanya.
Karena gue takut, gue banting tuh bola aneh. Dan saat dibanting, keluar lendir berwarna biru
seperti putih telur mentah.
Tiba-tiba aja, ada bola aneh itu lagi. Tapi kali ini ada tiga! Dua buah berwarna biru
dan satu berwarna merah. Dan ciri-cirinya sama dengan bola yang pertama. Mata besar dan
tiga buah tanda segitiga di atas mata mereka. Karena gue takut bakalan semakin parah,
akhirnya gue keluar kamar dan memutuskan untuk keluar rumah aja sekalian. Dan…what
happened?
Di sini lebih parah dari pada saat gue berada di dalam kamar. Di sini banyak sekali
bola-bola aneh tadi. Dan bukan hanya itu! Di sini juga banyak benda aneh seperti selang yang
ujungnya mempunyai mata, seperti Tali Penegak Keadilan milik Doraemon yang tugasnya
mengikat orang-orang yang berbohong atau nakal. Warnanya pun beragam. Ada kuning,
hijau, merah dan biru. Benda-benda aneh ini membuat teras rumah gue berantakan. Ini aneh!
Aneh sekali! Gue nggak pernah ngalamin hal seperti ini. Gue pengin teriak minta tolong.
Tapi entahlah, suara gue serasa tercekat di tenggorokan.
Gue lirik ke sekitar dan gue ketemu pelakunya! Pelakunya tiada lain dan tiada bukan
adalah lima cewek Korea gila tadi siang! Tapi kali ini mereka berdua saja, yang bertiga lagi
gue nggak tahu di mana. Cewek yang mirip Guru Lea Ju itu kali ini nggak lagi serba biru.
Kali ini dia berubah menjadi serba kuning. Malah temennya yang mirip Cha Dae Woong,
seperti di film yang sama, My Girlfriend is Gumiho, itu yang serba biru. Cewek yang mirip
Guru Lea Ju itu melempar bola aneh berwarna biru dan cewek yang mirip Cha Dae Woong
itu melempar bola aneh berwarna merah ke arah gue.
Kali ini gue bangun. Bangun beneran namun masih merasa di alam bawah sadar gue.
Dan akhirnya gue tidur lagi.
Gue ambil salah satu bola aneh warna merah. Gue berencana untuk menanyakan pada
Vynna tentang hal ini. Gue lari menuju rumah Vynna yang nggak jauh dari rumah gue. Tapi

59
gue tak bisa berlari lagi karena gue dikepung oleh lima cewek Korea gila itu. Dua di depan
gue sambil membawa 2 ekor kucing putih bertutul merah dan biru dan tiga di belakang gue
sedang membawa bola-bola aneh berwarna merah, biru dan kuning.
Waktu itu, gue sebaaal banget! Gue genggam kuat-kuat bola yang ada di tangan gue
dan yang terjadi bukannya pecah, malah terbelah menjadi empat bagian dengan ukuran yang
lebih kecil dari sebelumnya yang berukuran seperti bola voli.
Dua cewek yang lagi megang kucing itu langsung melempar dua kucing yang
dipegangnya ke arah gue. Karena gue takut, gue tendang tuh kucing sehingga tak bisa
bersama lagi, walaupun sebenarnya gue ini pecinta kucing. Gue tahu, pasti salah satu kucing
itu betina dan satunya lagi jantan. Jika sel sperma kucing jantan memasuki sel telur sang
betina, maka akan terjadi pembuahan yang pastinya akan mengeluarkan bola aneh barusan.
Entah apa yang mereka perbuat pada dua ekor kucing yang cantik itu, yang pasti kucing hasil
kloning itu akan mengeluarkan telur, bukannya anak.
Semua terjadi dengan saaangat cepat! Gue tak ingat lagi apa yang terjadi setelah gue
menendang dua kucing cantik itu. Yang pasti, gue bangun dengan suhu yang panas. Gue
ngebayangin lagi tuh mimpi kayak gimana.
“Kenapa nggak ada yang nolongin gue?” kata gue.
“Mungkin waktu di dalam mimpi nggak ada orang lain di sekitar. Hanya gue dan lima
cewek Korea gila itu”
Itu semua terjadi entah karena gangguan Syaitan atau karena teguran dari Tuhan.
Tapi, jika gue pikir lebih lanjut, sepertinya ini bukan karena gangguan Syaitan, namun karena
teguran Tuhan. Kenapa gue bisa yakin dengan itu? Karena gue ngedapetin mimpi yang Super
Duper aneh itu di bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan, pintu Neraka dikunci dan para Jin,
Iblis dan Syaitan dipenjara di dalam Neraka. Itu berarti mimpi aneh ini adalah teguran dari
Tuhan. Tuhan menyuruh gue untuk bangun dan nggak molor-molor melulu di atas tempat
tidur. Karena sebelum gue molor kelamaan, gue lupa baca doa.
Astaghfirullahal ‘azhiiim…
~END~

60
Biodata Penulis

Nama : Mahfudaz Al Dani Darwis


TTL : Barru, 12 Januari 2001
Alamat : Jl. H. Lanakka
Hobi : Bulu Tangkis
Nama Orangtua
a. Ayah : Ir. Darwis Arham
b. Ibu : Muharni, S.Sos
IG : @mahfudz_aldani
Motto : Hidup sejahtera, selamat dunia akhirat (No Music No Life)

61
Friendzone
Oleh :
Megawati

Namaku Nesya, aku seorang pelajar yang masih duduk di bangku sekolah SMA kelas
XII. Pada waktu SMP aku memiliki teman yang bernama Akbar, Rian dan Michel sampai
saat ini aku masih berteman baik dengan mereka. Pada saat hari Raya Idul Fitri, aku
memanggil mereka untuk datang ke rumahku. Namun, Akbar juga mengajak temannya yang
bernama Andre dan Rey. Mereka datang di waktu malam disebabkan pada waktu siang tidak
ada kesempatan.
“Assalamu’alaikum” ucap mereka.
“Walaikum’salam. Oh iya silahkan masuk” jawabku sambil mempersilahkannya
masuk ke rumah.
Merekapun masuk dan duduk di kursi sambil menungguku, karena aku mengambil
makanan dan minuman. Tidak membutuhkann waktu lama akupun membawakan makanan
dan minuman kepada mereka.
“Hey...nih makanannya, silahkan di makan yah, nggak usah malu anggap aja rumah
sendiri” kataku sambil tersenyum.
“Haha makasih yah” jawab Akbar sambil mengambil makanan.
Setelah selesai makan kami pun saling bercanda dan sibuk masing-masing karena
keasikan main game dan akupun berbincang kepada Akbar mengenai masa-masa waktu di
sekolah saat masih duduk di bangku SMP dan dia berkata sesuatu kepadaku yang menurutku
kayaknya tidak masuk akal deh.
“Nesya ngomong-ngomong kamu masih sendiri yah?” kata Akbar, maksudnya sendiri
itu nggak punya pacar.
“Iya, emang dari dulu selalu sendiri” jawabku sambil tersenyum kepadanya.
“Selama putus dari yang satu itu nggak ada yang lain lagi nih? Move on dong dari
dia” kata Akbar dengan menyinggungku secara halus.
“Hahaha, untuk saat ini aku kepengen sendiri aja, lagian masih sekolah juga nanti
nggak fokus belajar, malah fokusnya ke anak orang terus” jawabku sambil tertawa garing.
“Nggak usah dipikirin terus, udah sikat aja, cari pacar atau istilah jaman sekaran cari
‘doi’ yang bisa jadi penyemangat” kata si Akbar.
“Apa sih! Nggak jelas banget deh” kataku.
“Tuhh ada cowok baru 2 yang aku bawakan, pilih aja di antara mereka” kata Akbar
sambil memberikanku kode.
“Hahaha, kau nih sembarang saja yang kau bilang” jawabku bercanda, padahal di
dalam hati aku tertarik di salah satu diantaranya.
“Udah bilang aja, nggak usah malu, nanti aku kenalin aja langsung di antaranya” kata
Akbar.
“Kan aku udah kenal jadi buat apa lagi dikenalin” jawabku tersenyum.
“Oh iya yah, aku lupa” jawab Akbar sambil tertawa.
Tidak lama mereka pun saling berbincang karena ingin pulang, mereka pun bersiap
untuk pulang sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin kepadaku.
***
Keesokan harinya, tanpa aku duga Andre me-WhatsAppku kalau dia minta nomornya
disave dan akupun mensave nomornya. Setelah aku save, Rey pun demikian nomornya ingin
disave, jadi keduanya aku save. Entah aku berfikir mungkin nomorku diambil dari Akbar.
Namun chat dengan Andre pun berlangsung terus-menerus dari awal meminta save back
sampe panjang lebar deh pokoknya.

62
Awal pertama aku melihatnya ketika dia datang ke rumahku, aku pun langsung
tertarik dengannya dan aku lebih senang ketika dia me-WhatsAppku dan sampe saat ini
komunikasiku dengannya masih berjalan lancar. Suatu hari dia mengajakku untuk keluar
bersamanya, namun aku ragu bahkan masih malu-malu untuk bertemu dengannya. Tapi, aku
berusaha agar bisa bertemu dengannya. Waktu itu aku berada di rumah temanku, jadi dia
menjemputku di rumah temanku dan kami pun keluar bersama.
“Maunya ke mana?” katanya.
“Yahh aku mah terserah aja, kan aku bukan supir” jawabku sambil tersenyum.
“Kan ada namanya ajakan atau sempat mau jalan ke mana gitu” katanya lagi.
“Terserah aja deh” jawabku.
Aku dan diapun keliling bersama tanpa tujuan. Sehingga beberapa lama dia pun ingin
mengantarku pulang karena sudah kesorean sekali. Namun, dia mengantarku ke rumah
temanku disebabkan kendaraanku tertinggal di rumah temanku.
“Kalau aku udah diantar pulang, kamu langsung pulang juga yah” kataku.
“Baik aku langsung pulang kok” jawabnya.
“Take care yah” kataku sambil melambaikan tangan.
Dari lubuk dalam hati aku merasa senang sekali, karena baru sekarang aku bertemu
laki-laki yang baik sekali apalagi sudah ketemuan. Kayaknya aku jatuh cinta deh, sambil
tersenyum sendiri. Tanpa disadari, temanku memperhatikanku diapun langsung berkata,
“Ciee…ciee…yang bahagia sudah ketemuan” kata temanku.
“Apaan sin deh kamu” jawabku tersenyum kepadanya.
“Hatinya sudah berbunga-bunga yah” kata temanku sambil meledekku.
“Nggak kok biasa aja. Yaudah aku mau pulang dulu karena mau magrib nih”
jawabku.
“Take care yah” kata temanku.
Disaat perjalanan pulang, entah mengapa aku selalu mau tersenyum, mungkin aku
kepikiran dia terus. Kayaknya aku udah kelewatan deh mikirin dia.
Setiap hari aku chattingan sama dia saling memberikan kabar layaknya orang yang
berpacaran. Tapi aku dan dia nggak pacaran, masih sebatas pertemanan. Untuk saat ini aku
nggak mau berpacaran dulu, aku pengen fokus sekolah. Aku takut nanti dia ingin lebih
sebatas teman tapi aku tidak bisa, aku juga tidak mau menyakiti hati seseorang karena sakit
hati itu nggak ada obatnya.
Hari demi hari aku dan Andre selalu chattingan sampai dia ingin berpacaran
denganku, tapi aku tidak sanggup maka itu aku akan menjelaskan semua alasanku mengapa
aku nggak mau berpacaran dulu. Hingga saatnya dia akan menerima semua alasan yang telah
aku jelaskan padanya. Tapi katanya dia terlanjur udah sayang dan ingin memperjuangkanku,
dia tidak akan mundur walaupun aku tidak mau berpacaran, karena sayang nggak harus
mempunyai suatu hubungan yang terikat. Temenan pun bisa sayang-sayangan juga.
***
Suatu hari Akbar mengira aku dan Andre berpacaran padahal aku tidak berpacaran
hanya pertemanan yang ada rasa sayang-sayangnya. Tapi entah mengapa aku berfikir kalau
Akbar kayaknya merasa cemburu, aku nggak GR sih. Akbar dari dulu udah suka sama aku
tapi aku kekeh nggak mau pacaran kalau belum tamat sekolah. Sehingga pertemanan aku dan
Akbar pun nggak baik lagi dan aku juga tidak tau mengapa, karena nggak ada kejelasan.
“Semenjak kamu kenal dengan Andre, kamu udah berubah, kamu bukan yang aku
kenal lagi” kata Akbar.
“Aku nggak pernah berubah, cuman kamu yang berfikir salah mengira aku berubah”
jawabku.
“Udah selama beberapa hari kamu fokus dengan Andre terus dan kamu seperti lupa
dengan aku” kata Akbar yang mulai marah.

63
“Aku dan Andre hanya berteman, seperti aku dan kamu hanya berteman jadi nggak
usah marah” jawabku.
Akbar mendiamkanku, entah mengapa? Karena aku nggak salah, semuanya hanya
berteman baik. Selama itu pertemanan aku dan Akbar udah nggak baik lagi, aku selalu
mencoba meminta maaf tapi dia tidak merespon. Jadi aku juga sudah nggak bisa jika tidak
direspon karena semua orang butuh jawaban dan penjelasan.
Pertemanan aku dan Akbar udah nggak baik lagi, tapi pertemananku dengan Andre
tetap baik. Andre selalu menanyakan bagaimana Akbar. Apakah sudah baikan denganku atau
tidak? Tapi aku selalu bilang, Akbar sudah cuek dan aku juga tidak bisa jika selalu tidak
direspon. Andre juga tidak enak hati karena Akbarlah aku dan dia kenalan hingga saat ini.
Tapi yah udahlah mungkin memang begini.
Sampai pada akhirnya Andre selalu bilang kalau dia sayang ke aku. Jujur sebenarnya
aku juga sayang dengannya, tapi aku tidak mau jika kita berpacaran dulu. Aku hanya mau
jika kita berdua tetap jadi teman yang selalu memiliki rasa sayang. Mungkin ada waktunya
aku dan Andre bisa berpacaran tapi untuk saat ini masih belum bisa.
Sebenarnya aku dan Andre sudah jujur bahwa kami ada perasaan saling saying, tapi
aku masih nggak bisa berpacaran. Jadi aku dan Andre saat ini masih berteman tapi teman
berasa pacaran, karena nggak semuanya harus terikat hubungan. Setiap rasa sayang belum
tentu harus berpacaran jadi nggak usah menunggu berpacaran dulu baru bisa merasakan kasih
sayang dari orang yang disukai.
“Awalnya memang tidak ada rasa,
Namun akhirnya ada rasa yang perlahan-lahan mulai timbul
Dari dalam hati yaitu rasa yang istimewa,
Tapi salah satu diantaranya hanya masih ingin tetap menjadi teman”
***
Pada hari Raya Idul Adha, Andre mengajakku keluar jalan tapi waktu itu aku berada
di rumah temanku karena aku dan temanku sudah janjian untuk bertamu di rumahnya. Tapi
aku berusaha untuk keluar jalan bersama Andre, setelah aku sudah kumpul bersama temanku
akupun keluar jalan dengan Andre. Andre datang menjemputku lalu pergi bersama, kami pun
pada waktu itu pergi ke taman. Setelah beberapa lama di taman, kami pun pulang dan Andre
mengantarku ke rumah temanku karena temanku menungguku untuk melanjutkan bertamu di
rumah teman yang lain.
Pada waktu sore hari aku meminta tolong kepada Andre untuk mengantarku bersama
kedua orang tuaku untuk pergi ke pemakaman karena pada waktu itu Kakakku tidak ada di
rumah. Kemudian Andre pun mengantarku ke pemakaman bersama kedua orangtuaku, waktu
itu Rey juga ada karena mereka berdua dari bersilaturahmi di rumah temannya. Dan setelah
sampai di pemakaman mereka menungguku di mobil karena aku dan orangtuaku hanya
sebentar di pemakaman. Setelah itu dia kembali mengantarkanku pulang ke rumah, aku
memanggilnya mampir di rumah tapi mereka nggak bias, jadi mereka ingin langsung pulang.
***
Hari demi hari aku lalui bersama Andre walaupun terkadang bertengkar, tapi kami
menyelesaikannya dengan baik. Karena bagaimana pun masalahnya setiap permasalahan
pasti memiliki solusi ataupun jalan keluar yang baik. Untuk saat ini aku dan Andre memang
masih berteman baik, tapi kami berharap semoga ke depannya pertemanan kami berdua bisa
disatukan dengan satu hubungan yang terikat. Karena semuanya di mulai dengan pertemanan
hingga bisa mencapai titik perjodohan.
“Jika dengan pertemanan menciptakan kebahagiaan
Maka jagalah pertemanan itu, jangan sampai
Pertemanan putus karena hanya kesalah pahaman”
~END~

64
Biodata Penulis
Nama : Megawati
TTL : Barru, 11 Maret 2001
Alamat : Jl. Tinumbu Padongko
Hobi : Membaca
Nama Orangtua
a. Ayah : Abd. Gani
b. Ibu : Masniah
IG : @Megawati11_
Motto : Selama ada keyakinan, semua akan menjadi mungkin.

65
Intuisi
Catatan Harian Ery
Oleh :
Meiske Fransina Manuhutu

Ery POV
Jika berbicara tentang cinta awalnya aku tak pernah memiliki niat untuk
mengenalnya, karena aku tahu dari pengalaman teman-teman di sekitarku bahwa cinta itu
pada akhirnya berujung kekecewaan atau biasa dinamakan dengan kata patah hati. Namun,
ketika aku bertemu dengan seseorang yang sangat aku benci dia merubah duniaku dalam
sekejap. Seseorang itu mampu membuatku jatuh dan sekaligus merubah pribadiku yang
tadinya penuh dengan keegoisan anak muda menjadi seorang yang lembut dan penyayang.
Cinta ini berhasil aku temukan pada kisah cinta masa remajaku dahulu, tepatnya saat aku
duduk di bangku kelas tiga SMA.
Perkenalkan namaku Eryanto Darmawan. Aku mengenyam pendidikan di SMA
Harapan Bangsa yang merupakan sekolah orangtuaku. Karena orangtuaku adalah salah satu
pemilik yayasan sekolah ini. Sebenarnya, aku tak ingin bersekolah di sini karena pastinya aku
akan dipandang sebelah mata sebagai anak dari pemilik sekolah tapi jangan melihat dari
luarnya saja. Aku adalah anak yang memiliki IQ tinggi dan tak terlalu ingin
membicarakannya, itulah sebabnya aku jarang berbicara dengan orang lain. Aku hanya
memiliki satu sahabat yang bernama Hans, dia adalah sahabatku. Sedari kecil kami berdua
memiliki banyak persamaan. Kita sama-sama tampan dan mempunyai hobi yang membuat
kami merasa luar biasa ketika kami bersama yaitu, bermain musik dan bernyanyi.
“Hey, kuy...”
Ya ampun anak ini mengagetkan lamunanku saja.
“Iya” jawabku singkat.
“Lo udah ngerjain PR Matematika belum? Oh iya nanti kita ada ulangan. Pinjem buku
catatan lo ya!” nyolot Hans sambil membuka tas dan mengambil bukuku sampai isi tasku
semua jatuh berantakan.
“Thanks bro...nanti kita ketemu di aula. Sorry itu sampai jadi berantakan. Gua gak
bisa bantuin soalnya lagi buru-buru pengen ketemu pacar” pamit Hans membuatku makin
naik darah melihatnya sudah hilang di tengah keramaian.
Meski kami memiliki sepersekian persamaan, tetapi satu-satunya perbedaan kami
adalah Hans itu orangnya sangat sembrawut dan cerewet. Aku rasanya ingin menonjoknya,
untungnya dia adalah satu-satunya sahabatku jadi aku membereskan sendiri buku-buku yang
ia jatuhkan.
Tiba-tiba...
“Aduh! Kalau jalan pake mata dong!!!”
Aku sudah tak bisa membendung emosi karena baru saja membereskan buku-bukuku
akibat ulah Hans, kemudian jatuh lagi ke lantai. Arrrggh!
“Mm..ma.. maaf” ucap gadis itu terbata-bata dan memperbaiki kacamata minusnya.
“Ah…nggak ada maaf bagi lo…” ketusku padanya.
Entah angin apa yang menimpa, kedua bola matanya membuatku terpaku seperti ada
cahaya keajaiban di dalamnya dan tak bisa melanjutkan omonganku lagi. Tatapan kami
terkunci seperti yang ada di FTV. Satu detik…. Dua detik…. Tiga detik. Kemudian, dering
bel sekolah pertanda masuk jam pelajaran pertama berbunyi. Aku segera pergi
mendahuluinya yang menatapku masih dengan penuh perasaan bersalah.

66
“Dia siapa ya? Kok gua udah dua tahun sekolah di sini belum pernah ngeliat dia? Ya
bodo amat ngapain juga gua mau peduli” gumamku dalam hati dan kedua kakiku segera
mempercepat langkahnya ke kelas XII IPA 1.
***
Intan POV
“Bodoh sekali diriku, baru hari pertama masuk sekolah sudah mempunyai masalah
dengan anak lelaki yang sok itu. Memang dasar orang kota, aku sudah meminta maaf malah
ditolak, mungkin dia tak diajarkan oleh orangtuanya bertata krama. Aku tak sanggup jika
harus bertemu lagi dengan orang yang ngeselin kayak dia”
Aku pun memulai langkah untuk mencari kelas baruku dan sambil menyesali
perbuatan yang tadi. Tetapi, rasanya aku menginjak sesuatu. Yang benar saja, aku
membungkukkan badan untuk mengambil diary kecil yang bersampul rapi berwarna hitam
dipadukan dengan sedikit warna cokelat.
“Ini punya siapa? Masa sih punya si cowok songong tadi?” tanyaku dalam hati.
Aku memberanikan diri membuka halaman per halaman. Isi diary tersebut berupa
not-not angka, lumayan aku bisa membacanya karena Ibuku dulu selalu menulis musik yang
indah. Aku sangat terkesima dengan semua nada ini. Tidak salah lagi, ini adalah buku lagu
ciptaan cowok yang tak sengaja aku tabrak tadi.
Aku bertemu dengan Pak Ruben yang merupakan Kepala Sekolah Harapan. Orangnya
sangat ramah dan beliau mengantarkanku ke kelas sekalian memperkenalkan diriku yang
hanya siswi titipan karena sekolahku di Palu telah diratakan oleh tanah.
“Baiklah, Nak silakan memperkenalkan dirimu kepada teman-teman” kata Pak Ruben
dengan senyuman ramahnya.
“Iya, Pak. Selamat pagi semuanya perkenalkan nama saya Intan Nathalie, kalian bisa
memanggil Intan saja”
Semua murid di kelas ini memandangku dari ujung kaki sampai ujung kepala, postur
badanku standar dengan cewek lainnya sekitar 165 cm. Dan mereka serentak merespon
dengan baik.
“Haiiii Intan…”
“Seperti yang kalian dengarkan tadi, saya adalah siswa titipan dari Palu. Semoga
kalian bisa berteman baik dengan saya” ucapku sebagai kalimat penutup kemudian mencari
bangku kosong.
***
Author POV
“Hai Intan. Kenalin nama gue Mila. Kita bisa jadi teman baik selama lo masih di sini”
tawar Mila selaku teman sebangku Intan.
“Iya, Mila. Makasih ya” Intan merespon dengan baik tawaran teman pertamanya di
hari pertama sekolah.
Lima belas menit sebelum jam pelajaran terakhir, banyak teman sekelas Intan yang
menanyakan keadaannya ketika terkena tsunami di Palu. Puji Tuhan, Intan tidak terkena
tsunami karena dia tidak tinggal di sekitar wilayah pantai. Dan kedua orangtuanya juga masih
hidup, dia dititip di sekolah ini dengan alasan di kampung halamannya sekolah tenda itu
belajarnya tidak maksimal sebab harus menunggu beberapa shifts.
Intan tak lupa bercerita hari pertama dia mengalami goncangan yang sangat dahsyat
sampai ia harus tidur di lapangan. Ketika gempa sebesar 7,7 Skala Richter mengguncang isi
bumi, kebetulan orangtuanya lagi di luar kota dan dia sendirian berlarian ke luar rumah untuk
menyelamatkan diri. Di depan mata kepala dia menyaksikan anak kecil yang menangis
melihat Ibunya dilahap oleh tanah kemudian tanah itu tertutup kembali. Kemudian, ia berlari
melompati jalanan yang telah retak-retak alias rusak parah. Lalu, ia menoleh ke belakang,

67
melihat Omnya yang terluka parah karena tertusuk pagar pembatas rumah. Intan bercerita
sambil menangis, katanya ia hanya bisa menyelamatkan dirinya sendiri.
***
Ery POV
Aku merasa kasihan padanya telah berbicara ketus tadi. Kalau dicermati Intan itu imut
juga walau ia memakai kacamata persegi empat dan sepatu balet yang menunjukkan
kefeminimannya.
Waktu pun seakan berlari marathon, bel istirahat telah berbunyi. Dan aku mempunyai
janji untuk bertemu dengan Sir Yoseph, pembina paduan suara. Isi perutku sudah melakukan
demonstrasi sebaiknya aku mengurusnya terlebih dahulu pasti Sir akan mengerti karena tadi
pagi aku tak sempat mengganjal perut.
Glek!
Aku menelan ludah melihat angka di jam tangan yang melingkar di pergelangan
tangan kiriku menunjukkan kegelisahan yang sangat parah. Aku menghabiskan dengan cepat
makanan yang tersisa. Lalu, menuju ke aula untuk melatih anak paduan suara. Aku kaget
melihat anak-anak sudah memulai latihan tanpa komandoku. Bahkan, yang menjadi
pemimpinnya adalah Intan Nathalie. Apa-apaan ini!
Gubrraaak!
Secara spontan aku menendang bangku yang ada di sampingku kemudian menyuruh
Intan untuk minggat dari posisiku yang sebagai ketua padus di sekolah ini.
“Minggir lo…”
***
Author POV
“Minggir lo…”
“Duh…” Intan terjatuh akibat dorongan Ery.
Melgy langsung keluar dari barisan untuk membantu Intan berdiri, “Lo gapapa, kan?
Sini gue bantu”
“Iya, gaapa hehehe…” jawab Intan.
“Semuanya harap perhatian kalian semua ke depan sini…” kata Ery melanjutkan
kalimatnya, “Gua adalah pemimpin perdana kalian, ngerti? Orang kampung tuh mana ngerti
musik”
Intan yang mendengarnya langsung keluar dari ruangan tersebut dengan mata
berkaca-kaca. Keluarnya Intan diikuti oleh Melgy dan Mila. Ia menuju ke lantai paling atas
gedung ini yaitu di atap sekolah untuk mengunyah apa yang dikatakan oleh orang sombong
tadi.
Tiba-tiba Sir Yoseph memecahkan kegaduhan anak walinya, “Ada apa ini heh?”
Ery menjelaskan semua unek-uneknya dan Sir Yoseph membuatnya paham bahwa
posisi Intan hanya sementara karena lomba yang akan diikutinya sudah dekat dan sangat
membutuhkan latihan ekstra. Seharusnya Ery berterima kasih kepada Intan. Ery pun baru
menyadari itu dan disuruh Sir untuk meminta maaf kepada Intan yang malang karena telah
berperilaku kasar.
Cukup lama Intan meratapi nasib berada di atap sekolah. Ia menatap gedung-gedung
yang menjulang tinggi sehingga matahari rasanya tidak terlihat lagi.
“Hey, lo…” sapa Ery seolah tidak merasa bersalah, “Cengeng banget sih. Nih hapus
air mata lo” kata Ery dengan memberikan sapu tangannya.
“Gak, makasih” tolak Intan.
“Ya udah…” balas Ery jutek.
***
Ery POV
“Ya udah…” balasku jutek.

68
Aneh sekali aku baru saja mengenalnya tapi terasa ada getaran dan aku nyaman sekali
berada di sampingnya. Dia seperti menyatukan puing-puing yang selama ini telah lama hilang
dalam diriku. Jika seperti ini biasanya aku menulis sebuah lirik lagu. Aku pun membuka isi
tas dan Intan melihat ekspresi wajahku sangat panik.
“Kamu cari ini?” kata Intan memperlihatkan barang kecil berharga yang aku cari.
“Lo ambil di mana? Sini!” sentakku langsung mengambil diaryku dari tangannya.
Aku malu ia telah membaca semuanya. Dan bergegas pulang.
“Dasar. Kebiasaan banget. Bukannya berterima kasih” kata Intan dengan nada rendah
tetapi angin membawanya sehingga aku masih bisa mendengarnya.
Sesampainya di rumah aku langsung memasuki kamar mandi untuk membersihkan
diri sekaligus keramas untuk menenangkan pikiran atas semua kejadian hari ini. Mungkin aku
terlalu temperamental dan kasar terhadap Intan. Tiga hari lagi lomba padus tingkat nasional
akan segera kami ikuti dan aku gelisah dalam waktu tiga hari latihan apakah sudah bisa
maksimal? Halah…entahlah yang penting be the best and do the best.
Ngomong-ngomong Intan itu lumayan juga, dia bisa melatih pake lagu daerah apalagi
lagu Toraja yang gak mudah. Lain kali aku menyiapkan rencana untuk meminta maaf
padanya dan juga berhutang budi karena ia telah menemukan diary yang sangat berharga
bagiku.
Tiga hari telah berlalu. Hari ini adalah hari di mana kita akan berangkat ke Makassar
untuk mengikuti lomba padus tingkat Nasional dan aku tidak melihat Intan masuk sejak tadi
pagi. Dia ke mana? Mana mungkin dia bolos. Ya ampun dia ke mana? Sekolah ini sangat
luas, aku lelah mencarinya di seluruh penjuru ruangan.
Lebih baik aku bertanya pada kawannya, “Mil, teman lo ke mana? Dia lari dari
kenyataan?”
Mila menatapku dengan wajah sedih, “Dia udah balik tadi pagi…”
Aku spontan terkaget, “Hah? Maksud lo? Jadi dia gak ikut kita lomba gitu?”
“Maksud gue, dia kan hanya siswa titipan di sekolah ini. Mana mungkin dia bisa ikut
lomba dan dia udah dibalikin ke asalnya. Kenapa lo tumben tanyain emangnya dia ada
utang?” kata Mila sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
***
Intan POV
Bandara Soekarno-Hatta
11.11 AM
“Dalam waktu tiga hari, aku belajar banyak di kota mega metropolitan ini. Salah
satunya yaitu pada keseruan di Hope School. Aku bertemu dengan cowok sombong yang aku
yakini hatinya itu sangat lembut. Dengan bertemu dengannya aku dapat mengerti bahwa
tidak semua orang memiliki sikap yang seperti kita inginkan karena tiap pribadi memiliki
karakter yang berbeda. Kalau kita tidak suka dengan sikap seseorang terhadap kita berarti
kita tidak menginginkan kedamaian di dunia ini” aku berbicara sendiri dalam hati sambil
senyum-senyum dengan melihat selembar kertas yang ada di tanganku. Aku sempat merobek
halaman pertama buku diary Ery. Maafkan aku Ery, aku terlalu cepat jatuh cinta pada
jiwamu.
Penumpang Lion Air JT-10 diharap untuk segera memasuki gerbang karena pesawat
sudah siap lepas landas.
Dengan takdir yang tak dapat terelakkan dan bencana besar yang telah kualami
kemarin, ternyata umurku telah ditentukan oleh semesta. Semoga aku bisa tenang bersama
selembar catatan harian Ery.
~END~

69
Biodata Penulis
Nama : Meiske Fransina Manuhutu
TTL : Barru, 04 Mei 2001
Alamat : Jl. Melati
Hobi : Menyanyi
Cita-Cita : Komposer
Nama Orangtua
a. Ayah : Julianus D. Manuhutu
b. Ibu : Margaretha
Ig : meiske_mnhtu
Motto : Hidup bukan tentang menunggu badai berlalu, namun untuk
belajar menari di bawah hujan.

70
My The Perfect Badboy
Oleh :
Muh. Al Anzari Azlan

Seperti biasa Seno, Dwi, Gafur, Agil dan Sul berkumpul di meja kantin saat istirahat.
Seperti biasa pula selalu ada hal baru yang dipertaruhkan. Geng beranggotakan cowok-cowok
tampan di sekolah ini memang menganggap taruhan sebagai camilan. Kalau tidak taruhan,
tidak asyik!
“Nah kalo gitu gue punya taruhan baru” Kata Seno setelah mengantongi uangnya.
“Apa lagi nih Sen?” sergah Agil bersemangat.
Mereka berlima saling membungkuk dan mendengar penuturan Seno dengan penuh
perhatian.
“Kalian tahu Dilla kan?”
“Oh anak XII IPA 1 itu?” sahut Gafur.
“Oh si Miss Perfect itu ye?” kali ini Agil dengan bibir mencibir.
“Iye…si jutek dari bulan itu kan?” sahut Sul. Yang lainnya seraya menatapnya heran.
“Kenapa pada liatin gue?”
“Si jutek dari bulan maksudnya?” tanya Seno.
“Do’i kan cantik banget euy…masa belaga gak tau sih lo pada” jawab Dwi kesal.
Sul, Agil dan Gafur menutup mulut menahan tawa. Hanya Seno yang stay cool, tetap
focus pada misi yang sudah ia pikirkan satu ini.
“Udah…udah…kalian pada mau dengerin gue gak sih?”
“Oke…oke kita dengerin”
“Jadi taruhannya adalah…” Seno diam, Agil, Gafur, Sul dan Dwi menunggu.
“Siapa yang bisa jadian ama Dilla dalam waktu satu bulan dan bikin dia klepek-klepek
di pelukan, bakal di kerjain LKS Matematikanya ampe tuntas dan yang kalah teraktir bakso
seminggu dan musti ngerjain LKS yang menang, setuju?” Seno mengakhiri kalimatnya dan
memandang wajah temannya satu persatu.
Dwi tentu saja mengangguk, begitu juga Gafur dan Agil. Hanya Sul yang terlihat
mikir-mikir.
“Elo Sul?”
“Tapi LKS Matematika gue udah gue kerjain ampe penuh” jawab Sul kecewa.
Seno, Gafur, Dwi dan Agil menepuk jidat bersamaan. Mereka lupa kalau Sul adalah
jelmaan Socrates. Alias matematika oriented.
“Mmm…khusus lo seni budaya deh” Seno membuat pengecualian.
“Maksud lo?” tanya Agil.
“Iya tugas seni budaya Sul, kalo Sul yang menang kita yang kerjain.”
“Sumpah lo?”
“Suer samber geledek!” Seno mengacungkan kedua jarinya.
Jadi konferensi ditutup dengan menghirup es teh hingga tetes terakhir dan sendawa
keras penuh kepuasan. Semua setuju, misi dilaksanakan mulai hari senin besok.
***
Ini sudah hari ke enam Seno mengamati Dilla. Kebiasaannya saat istirahat, saat
pulang sekolah, bahkan saat Dilla ke toilet. Jadi Seno sekarang menunggu Dilla di depan
sekolah. Dengan ekspresi ‘dewa’nya ia bersandar di gerbang sekolah dengan tangan di saku
dan kaki menyilang.
Beberapa siswi melemparkan senyum menggoda pada Seno. Tapi Seno bahkan tidak
membalas. Ia tetap stay cool as always dan dengan wapada menunggu kalau Dilla lewat.

71
Sesosok tubuh anggun dengan tas ransel warna biru muda di punggungnya melangkah
tegas ke arah gerbang. Dengan penuh pesona Seno mencegatnya.
“Hai kamu Dilla kan?” sapa Seno dengan senyum yang ramah.
“Iya, kamu sapa?”
‘Apa? Dia gak kenal gue? Cowok paling tampan di sekolah!’ kaget Seno dalam hati.
“Kenalin aku Seno XII IPA 5” Seno menyodorkan tangannya.
“Oya ada apa?” Dilla tidak menggubris tangan Seno sama sekali. Baginya bersalaman
dengan lelaki bukan hal penting.
“Mmm…gini aku kan ada ulangan fisika hari sabtu…” Seno melayangkan tangannya
ke kepala dan membuat ekspresi malu-malu. “Boleh nggak kalo aku minta ajarin sama
kamu?”
“Bisa”
“Gimana kalo kita belajar di rumah kamu?” tawar Seno dengan semangat yang tidak
kentara.
“Bisa juga”
“Kalo gitu kap…”
“Besok sepulang sekolah, jangan telat ato gak jadi” tukas Dilla lugas dan segera
melangkah keluar gerbang.
“Dilla…”
“Apa lagi?”
“Boleh aku anter pulang? Sekalian tau rumah kamu, aku kan belum tau rumah kamu.”
kata Seno penuh harap.
“Aku dijemput sopir, kamu ngikutin aja dari belakang” jawab Dilla lalu segera
berlalu.
Seno sedikit kecewa, tapi ia meninju udara. Setidaknya ia bisa langsung masuk rumah
Dilla!
***
Siang hari sepulang sekoah. Seperti janjinya, Seno datang ke rumah Dilla.
Rumah Dilla bertingkat dua namun sederhana. Ada taman kecil yang tertata rapi di
halamannya. Seno disuruh menunggu di ruang tamu yang sejuk dan sofa yang empuk.
“Siapa Dil?” terdengar suara perempuan dari dalam.
“Temen Dilla Bun. Minta ajarin fisika”
“Temen sekelas? Kok belum pernah lihat Bunda?”
“Bukan beda kelas, eh Dilla ganti baju dulu ya Bun” Dilla pun menghilang di
kamarnya.
Dilla kembali menemui Bundanya dengan pakaian santai, kemeja dan celana panjang
training.
“Makan dulu Dil, ajak juga deh temennya!”
Dilla berjalan ke ruang tamu dengan anggun.
“Sen, aku mau makan siang dulu. Kamu makan sekalian ayo!” ajak Dilla sambil
menyisir rambut dengan tangannya.
Seno terdiam, mengagumi rambut lurus Dilla yang jatuh kembali dengan lembut ke
dahinya. Poninya berombak di pelipis kiri dan kanan, membingkai wajah Dilla yang cantik
‘See, she’s gorgeous!!’ batin Seno.
“Sen…kamu mau ikut makan nggak?” Dilla bertanya dengan suara lebih jelas.
“Oh…eh iya kalau nggak ngerepotin” Seno tersipu malu ketahuan menatap Dilla
seperti itu.
“Oh nggak papa kok sama sekali nggak ngerepotin, ayo sini!” seru Bunda dari dalam.

72
Seno akhirnya ikut makan siang di meja makan, bersama Bunda dan Dilla. Seno
melihat Dilla bercanda dengan Bundanya dan sesekali mereka bertiga tertawa bersama. Ini
baru pertama kalinya Seno ke rumah Dilla, tapi ia sudah terkesan sedemikian rupa.
Setelah itu seperti tujuan semula Dilla mengajari Seno fisika. Seno terkejut, Dilla
mengajar dengan jelas dan sabar.
“Yang ini aku bingung….” tunjuk Seno pada soal nomor tiga.
“Ah yang itu gampang, tapi agak ribet. Kamu hitung dulu ini, trus baru dikali dua”
terang Dilla. Seno pun menghitung seperti yang dianjurkan Dilla.
“ Iya Day, jadi gampang bang…”
“Day?” Dilla melotot.
“Iya maksud aku kalo manggilnya Dill kan aneh, jadi…gue panggil Day aja. Gak
papa kan?” Seno menjelaskan dengan malu-malu.
“It’s oke…” Dilla kembali menekuri soal berikutnya.
Seno hanya menatapnya penuh kekaguman. Dilla begitu anggun, tegas, pintar dan
mempesona secara bersamaan.
‘Gimana mungkin gue baru kenal dia sekarang…dalam keadaan taruhan…’ Seno
merintih tanpa sadar.
“Kamu kenapa…udah bosen?” Dilla menatap Seno.
“Iya…dikit, aku pulang dulu deh ya” Seno menampilkan ekspresi meminta maaf.
“Ya udah” Dilla membereskan buku-buku di meja.
Seno pamit pada Bunda dan pulang ke rumah dengan hati galau.
***
Dua minggu kemudian di meja kantin yang sama.
“Gimana bro…ada kemajuan?” tanya Seno pada teman-temannya.
“Kalo gue sih kemunduran adanya” jawab Sul lesu.
“Gue juga, si Dilla bahkan gak noleh waktu gue sapa”
“Fiuuhhh…mendingan lo pada, lha dia nampar gue di hari ke dua kita ngobrol” curhat
Dwi sambil mengusap pipi kirinya. Kontan Seno, Gafur, Sull dan Agil tertawa.
“Kok bisa, lo apain dia?” tanya Seno penasaran.
“Jurus gue yang biasa, peluk pinggangnya trus gue bilang ‘Hey Dilla manisku’” Yang
lainnya kembali tertawa.
“Pantesan aja, Dilla lo gituin” sahut Gafur sambil terus tertawa.
“Ada yang mau denger cerita gue?” Seru Seno. Yang lain terdiam seketika.
“Gue berhasil main ke rumah Dilla…” Keempat temannya ber-wow serempak.
“Bahkan gue akrab ama Bundanya, gue juga sering makan siang bareng…” dengan
bangganya Seno menceritakan keakrabannya dengan Dilla.
“Gawat bias-bisa lo lagi yang menang” ujar Gafur setelah Seno selesai bercerita.
“Wah…bisa botak gue ngerjain LKS Matematika anak IPA 5” sahut Agil yang anak
IPS.
“Tenang kan ada Sul, dia yang bakal bantuin kita” seru Gafur sambil melirik si jago
matematika.
“Eits jangan lupa kewajiban mentraktir yang menang” kata Seno.
“Aaaahhh…kalo inget yang itu mules gue”
“Iya gue juga, mana bokek lagi…”
“No komen…” Seno berlaga seolah menutup resleting mulutnya.
Siangnya sepulang sekolah Seno kembali main ke rumah Dilla. Seno selalu senang
melihat Dilla dengan pakaian kasual. Hari ini celana panjang warna abu-abu dengan banyak
kantong dan kaos lengan panjang hijau lumut.
“Bunda mana Dill?” tanya Seno sambil melongok ke ruang tengah. Tidak ada siapa-
siapa disana. Dilla anak tunggal, jadi terasa sekali kalo tidak ada Bunda.

73
“Nganter Ayah ke dokter” jawab Dilla sambil menaruh toples berisi camilan di meja.
“Ayah lo sakit?” Seno terkejut. “Kenapa kamu gak pernah cerita?”
“Hah? Kenapa harus cerita sama kamu?” canda Dilla.
“We’re friends, aren’t we?” ujar Seno terluka. “ Kamu kan bisa cerita apa aja ke aku”
“Kita teman lah, tapi kenapa harus berbagi sesuatu yang menyedihkan sama teman,
kalo bahkan gue sedikit bisa berbagi kebahagiaan?” jawab Dilla filosofis, dalam, menohok
ulu hati Seno. Seno ingat taruhannya dengan teman-temannya. Hatinya sakit sekarang.
‘Ini bahkan bukan pertemanan yang tulus Dill…’ batin Seni pedih.
“Kamu, kamu baik banget Dill…” ucap Seno sambil tersenyum kikuk.
‘Gue harus terus terang sama Dilla!’ batin Seno.
“Biasa aja. Anyway kamu juga baik kok” ujar Dilla tulus.
‘Gue harus terus terang! Betapa jahatnya gue!!’ batin Seno lagi.
“Dill…aku mau…” Seno mencoba bicara.
“Hmm…?” Dilla menatap Seno menunggu.
“Aku…mau…terus terang…” Seno mulai berkeringat.
“Terus terang soal apa?” tanya Dilla dengan suara tegasnya yang biasa.
“Kalo…kalo sebe…nernya…” Seno merasa tidak sanggup.
‘Bilang! Bilang Sen, gentleman dong!!’ rutuk Seno dalam hati.
“Kamu mau bilang sebenernya kamu deketin aku karena taruhan?” nada suara Dilla
biasa, datar tanpa emosi. Seno terkejut setengah mati. Tidak menyangka Dilla sudah tahu dan
bahkan masih mau berteman dengannya.
“Kamu tahu?”
“Kamu nggak berpikir aku idiot kan, ampe nggak tahu siapa kamu dan gerombolan
kamu?” ujar Dilla tiba-tiba sinis.
“Tapi awal kita ketemu?” Seno bingung.
“Saat itu aku emang gak kenal kamu siapa, tapi pas kamu bilang nama dan kelasmu.
Aku tahu aku berhadapan dengan siapa” ekspresi Dilla mengeras. Suasana tiba-tiba keruh.
“Sorry Dil, aku tahu ini ga bener. Makanya aku mau terus terang”
“Nggak usah…buat apa. Toh aku juga nggak berhasil klepek-klepek di pelukan kamu”
Dilla tersenyum sinis.
“Dilla…I’m really sorry” ucap Seno tulus.
‘Stop!! I’m hurt if you hurt Dilla’ batin Seno miris.
“I did. Aku udah maafin kamu dari dulu. Aku pikir kalo kamu gak taruhan, kita
mungkin gak akan pernah jadi teman” ujar Dilla tulus. Wajahnya melembut.
“Gimana kalo akhirnya berbeda?” suara Seno tiba-tiba meninggi. “Gimana kalo
akhirnya aku jatuh cinta…sama kamu?” Seno terkejut mengatakannya. Dilla lebih terkejut
seribu kali.
“Tapi aku nggak bisa” jawab Dilla lirih.
“Kenapa, karena kamu pikir ini taruhan?” tanya Seno. Hatinya berDillah sekarang.
“Bukan…”
“Lalu kenapa?” desak Seno.
“Aku sakit Seno…” Dilla mulai terisak.
“Sakit?” Seno tidak mengerti.
“Iya…”
“Sakit apa?” Seno berdiri mendekati Dilla.
“Sakit yang tidak bisa….disembuhkan.” Dilla menarik napas.
‘Sakit yang tidak bisa disembuhkan?’ batin Seno bertanya-tanya.
“Aku ODHA Seno…aku ODHA!!” Air mata mengucur deras di pipi Dilla. Seno
seperti tersambar petir, hatinya begitu sakit sampai sulit bernapas.
“Maaf…maafin aku…aku…” Seno menyentuh dadanya.

74
“Kenapa, kamu minta maaf, karena kamu gak jadi jatuh cinta sama aku kan?” Dilla
mundur menjauhi Seno. “Kamu pasti sekarang takut deketin aku?”
“Nggak…Dill, bukan…”
‘Bukan itu Dilla dear…hatiku terlalu sakit memikirkan aku bakal kehilangan kamu…’
batin Seno sedih.
“Aku tahu Seno…aku tahu yang kamu pikirkan”
“Kamu nggak tahu!!” jerit Seno frustasi.
Lalu tanpa diduga Seno memeluk tubuh Dilla. Seno meraih wajah Dilla dan
menciumnya. Dilla terkesiap, tidak menyangka Seno selancang itu. Mau tidak mau Dilla
blushing.
“Seno…maaf…” Dilla melepaskan diri.
“Bukan, aku yang maaf, aku gak bisa lihat kamu menangis aku…” Seno menyesal
telah begitu lancang dan kurang ajar.
“Jangan…”
“Apa?”
“Jangan dekati aku lagi…jangan pernah datang kesini lagi!.” ujar Dilla tajam.
“Maafkan aku…”
“Cukup!” Dilla menghentikan tangisnya. “Silahkan pulang, kamu belum makan kan”
“Oke aku pulang, forgive me, I love you” Seno menyerah dan berjalan keluar menuju
sepeda motornya.
“I love you too, Seno…” Dilla berkata lirih.
Dwi, Agil, Sul dan Gafur terkejut Seno menghentikan taruhan. Ini luar biasa. Selama
ini Senolah yang paling antusias saat bertaruh, ia bahkan rela mempertaruhkan apapun.
“Lo kenapa Sen?”
“Lo diomelin bokap lo?”
“Uang saku lo dicabut?”
Tidak ada jawaban, Seno pergi begitu saja. Baginya semuanya sudah selesai, Dilla
tidak pernah mau menemuinya lagi. Tidak di gerbang sekolah, kantin, bahkan di rumah.
***
Ini sudah akhir bulan, hari di mana seharusnya Seno mengakhiri taruhannya. Dengan
penuh semangat Seno datang ke rumah Dilla sepulang sekolah. Ia sudah bertekad, akan tetap
mencintai Dilla. Ini Seno pertama kali jatuh cinta, ia tidak rela cintanya berakhir begitu saja.
‘I’m falling in love with you. Jadi aku akan tetap cinta sama kamu, aku nggak peduli
ini awalnya taruhan, atau cinlok atau bahkan kamu ODHA sekalipun’ batin Seno semangat.
Seno sudah sampai di rumah Dilla. Tidak ada yang berubah dari rumah Dilla, tetap
asri dan nyaman seperti biasa.
Seno mengetuk pintu. Bunda terlihat berjalan dan membuka pintu.
“Helo Bunda, Dilla ada?” Seno mencoba menahan debar di dadanya.
‘Kali ini aku akan sopan Ra…’ batin Seno.
“Dilla nggak ada Sen” Bunda tersenyum, tapi ada yang aneh. Seperti ada yang janggal
di matanya.
“Ke mana ya Bun?” Seno merasa tidak sabar.
Bunda memandang langit, lalu air matanya menetes perlahan.
Sesuatu berdentang di kepala Seno. Dilla itu ODHA!
Sepertinya Seno juga tahu jawabannya. Karena air matanya juga menetes perlahan.
Tanpa berlama-lama Seno segera pergi setelah berterimakasih pada Bunda.
‘Selamat tinggal Dilla…. Terima kasih sudah menjalin pertemanan yang indah
denganku, meski sangat singkat’ batin Seno pedih.

75
Seno menyetir perlahan, matanya kabur oleh air mata. Hatinya hancur tanpa sisa.
Cinta pertamanya telah membawa separuh hatinya pergi selamanya. Hatinya tidak akan
pernah utuh lagi. Tidak pernah.
Seno juga tahu ia harus bersyukur. Karena Tuhan telah menegurnya dengan begitu
manis sekaligus begitu pedih. Seperti yang Dilla pernah bilang, kalau Seno tidak pernah
taruhan, ia tidak akan pernah kenal dengan Dilla.
There’s no happy ending love, because true love is never ending.
~END~

76
Biodata Penulis
Nama : Muh. Al Anzari Azlan
TTL : Barru, 12 April 2001
Alamat : Jl. Merdeka Padongko
Hobi : Bermain Futsal
Cita-Cita : Polisi
Nama Orangtua
a. Ayah : Nahrullah
b. Ibu : Darmawati. Dj
IG : @muhalansarii
Motto : Jika titik sebuah kenikmatan kopi ada pada rasa pahitnya,
maka apa yang kamu takutkan dari manisnya cinta.

77
Kebahagiaan Sederhana
Oleh :
Muh. Arsyi Izzulhaq

Malam begitu hangat bersama mereka. Angin malam yang begitu menggigilkan
seluruh tulang. Lima gadis yang dengan anggun melangkahkan kaki menuju gereja di
pangkalan AU. Setelah sepuluh menit di perjalanan mereka pun tiba di tempat. Saat itu
suasana kelihatan ramai dan tak sesepi biasanya ketika mereka pergi ke gereja. Di keramaian
terlihat beberapa muda-mudi gereja sedang latihan tari untuk persiapan “Asian Youth Day”
yang akan diselenggarakan pada tanggal dua sampai enam Agustus.
Awalnya keraguan menghantui kami dan hendak menggagalkan niat kami. Tapi, saat
itu salah satu gadis dari kelima orang tersebut pergi menemui salah satu Kakak yang ikut
latihan menari tersebut. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tak lama kemudian Lisbeth berkata, “Guys, mereka nggak mau keluar. Gimana
dong?”
Dengan bersamaan kami berempat menjawab “Iya nggak masalah, terus gimana?”
Kemudian Dek Nohva yang mulai melanjutkan pembicaraan dengan bertanya, “Terus
gimana, kita pulang gitu? Udah gantung dong”
Rencana kami semakin banyak dan membuat bingung dengan ketidakpastian.
Langkah kaki dari dalam gereja seakan mendekat ke arah tempat kami duduk.
Ternyata benar langkah kaki itu menuju kami dan berkata, “Silahkan Mbak, masuk
aja kalau mau doa, teman-teman saya udah pada keluar kok Mbak. Berapa lama mbak kira-
kira doanya Mbak?”
Berbarengan kami menjawab, “Sepuluh menit saja kok Mas” usai sudah perbincangan
kita dengan Mas-Mas yang tidak kami tahu siapa namanya.
Dengan cepat satu persatu kami langkahkan kaki kami memasuki gereja dan mulai
menuju di depan Bunda Maria. Di depan Bunda Maria kami merebahkan bantal doa dan
mulai mengambil posisi berlutut dan mulai menyiapkan hati kami, sebelum kami
memanjatkan permohonan kepada yang Maha Esa. Setelah itu, kami mulai memanjatkan
permohonan kami pada Tuhan.
Keheningan dan kekhusukan saat itu memberikan kehangatan yang luar biasa. Rasa
khawatirku saat itu hilang dan mulai bersemangat bahwa malam ini adalah sebuah skenario
dari Tuhan yang luar biasa. Kenapa aku berkata begitu. Sebab, aku percaya bahwa
permohonan yang pernah aku panjatkan pada Tuhan sebelumnya Tuhan mendengarkan
permohonanku. Sebelumnya aku memiliki kerinduan untuk kami berempat agar kami
berempat bisa bersama memanjatkan doa-doa dan menyerahkan segala pergumulan kami
pada Tuhan di waktu yang tepat untuk dapat bersama berlutut menghadap Tuhan.
Malam itu hati ini berbunga penuh sukacita yang hebat. Tuhan tidak hanya memberikan kami
berempat untuk bersama saat bahagia itu. Namun, Tuhan telah membuat kami berlima ke
Rumah-Nya. Tiada yang dapat membuatku untuk tidak mengucapkan syukurku pada Tuhan.
Sepuluh menit telah berakhir, perlahan kami melangkahkan kaki menuju pintu keluar
dari gereja dan mengucapkan terima kasih pada Mas yang telah membantu kami untuk dapat
berdoa dengan khusuk dan syahdunya dengan ketenangan yang luar biasa.
Terlukis indah senyum di raut wajah kami saat itu, dan kami melanjutkan langkah
kami untuk kembali ke kost dengan menaiki taksi. Namun, kami nggak jadi pulang dengan
taksi karena kami ingin menikmati suasana malam yang sepi, dingin dan hanya ada kami
berlima yang memberi keramaian di sepanjang jalan yang kami lalui.
Terhentak kaget karena kami memilih jalan untuk belok ke kiri dengan tujuan agar
kami tibanya tepat di depan indomaret yang dekat dengan kost kami. Entah apa yang kami

78
lakukan ketika itu, hanya ada rasa takut dan khawatir bakalan nyasar ke mana. Soalnya kan
tak ada yang pernah tahu jalan itu, kami seakan sedang mengasa insting kami untuk
mengingat jalan yang pernah kami lalui saat diesnatalis kampus.
“Hahahahaha…” tawa kami yang terbahak-bahak seakan tidak akan ada orang yang
terganggu dengan tawa itu.
Kami tidak salah jalan, tapi kami justru tiba di belakang RS dan aku berusaha untuk
mengajak mereka agar tetap melanjutkan langkah kami. Namun, adikku Lisbeth, Nova dan
Diana tidak berani untuk melanjutkannya. Karena, yang di tahu mereka bahwa biasanya di
belakang Rumah Sakit itu adalah ruang jenazah. Maka dari itu mereka mengajak kami untuk
ngambil jalan lain dan memilih jalan yang mentok aja. Langkah demi langkah kami lajukan
hingga kami tiba di perempatan jalan yang membuat kami bingung lagi hedak memilih jalan
yang mana, sampai akhirnya kami lebih berjalan mentok terus. Setelah kami tiba di ujung
jalan tersebut, ternyata jalan itu adalah jalan yang biasa kami lalui setiap kali kami mau
ibadah setiap minggunya.
Kami kembali tertawa terbahak-bahak hingga memberikan rasa pegal pada perut
kami.
“Hahahaha” kami kembali tertawa lagi, lagi dan lagi.
Lisbeth dan Nohva berkata, “Kalau gini kian dari tadi kita udah sampai kian di
indomaretnya” dengan nada kesal.
Bukan hanya itu hingga sampai di depan masjid AU adik kami Lisbetbeth selalu
berkata, “Mau ngasah insting gimana lagi Kak Ra?”
Aku hanya berbalik dan tersenyum melihat tingkah dan langkah kakinya yang mulai
lunglai seakan tak berdaya untuk melanjutkan langkah kakinya. Meskipun begitu, di
kegelapan malam kami merasakan canda tawa yang begitu memberikan kami kebahagiaan
yang cukup sederhana namun sangat bermakna untuk dikenang.
Di kala itu, terlihat tawa yang sangat lepas dan ikhlas dari setiap mimik kelima gadis
tersebut, sampai akhirnya mereka tiba di kost dan menyinggahkan langkah mereka di
indomaret dengan berbelanja seadanya hanya sekedar untuk menambahi lauk kami yang
kurang untuk makan berlima.
Betapa sederhananya kebahagiaan saat itu, dan saat-saat seperti itu tidak akan terulang
untuk beberapa kali. Kami sadar bahwa Kak Heldy akan pergi ke Tangerang untuk magang di
GMF selama tiga bulan. Entah apa yang akan terjadi selama tiga bulan nanti antara kami, tapi
walaupun berat untuk ditinggal dan berpisah darinya. Kami akan ikhlaskan Kak Heldy
melanjutkan langkahnya untuk mengejar mimpi dan karirnya. Karena, dia hanya tinggal
menunggu wisuda saja bulan Oktober yang akan datang.
Malam itu, rasa sedih telah menghampiri kami. Namun, kami masih bisa menahan
dan menyembunyikannya dari hadapan Kak Heldy. Sebab, dia masih ada di sisi kami hingga
sabtu siang sebelum keberangkatannya yang telah terjadwal Sabtu, 8 Juli 2017 pukul 18.30
WIB.
~END~

79
Biodata Penulis
Nama : Muh. Arsyi Izzulhaq
TTL : Pare-Pare, 14 Juni 2001
Alamat : Jl. Johan Dg. Mangun
Hobi : Travel dan Kuliner
Nama Orangtua
a. Ayah : Jayanto Sabir
b. Ibu : Minarni Abdullah
Ig : @_muharsyizzulhaq
Motto : Strength will courage (Kekuatan akan keberanian)

80
Coklat Terakhir Untuk Ayah
Oleh :
Muh. Yasin

Perkenalkan namaku Ardi, aku duduk dibangku SMA Negeri yang ada di Bandung.
Aku merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Ayahku merupakan seorang pengusaha yang
jadwalnya super sibuk dan Ibuku merupakan seorang dosen di salah satu universitas negeri
yang ada di Bandung. Aku tinggal di Bandung dengan keadaan yang bisa dibilang rukun.
Aku memiliki seorang teman perempuan yang bernama Nadine. Ia merupakan orang yang
selalu menemaniku. Setiap ada masalah aku selalu meminta solusi kepadanya.
Setiap pagi aku berangkat sekolah bersama adik lelakiku yang masih duduk di bangku
SMP. Dan pulang pun harus bersamaan dengannya. Aku memiliki Adik yang bisa dibilang
cukup manja. Setiap weekend Ayah selalu mengajaknya berlibur bersama Ibu dan tidak
pernah sekalipun mengajakku.
Jika Ayah pergi bersama Ibu dan adik, aku selalu keluar di malam hari bersama
Nadine, biasanya aku menghabiskan malamku di sana ketika bosan dan aku biasanya pulang
ketika subuh. Saat pagi tiba aku terbangun, aku mencari semua orang namun ternyata mereka
belum pulang.
Aku sempat berfikir bahwa, ‘Mengapa Ayah selalu mengajak Adik keluar? Apakah
ada yang mereka sembunyikan?’
Namun, akupun tidak memperdulikannya dan kembali melanjutkan tidurku di kamar
dan saat sore di saat aku bangun, aku melihat Ayah dan Ibu telah sampai di rumah namun aku
tak melihat Adik.
Aku bertanya kepada Ayah, “Ke mana Adik Ayah? Mengapa aku tidak melihatnya?”
Ayahku berkata, “Ia baru saja pergi, katanya ia ada tugas tambahan dan diharuskan
bermalam di sekolah”
“Baiklah” sahutku santai dan kemudian keluar untuk menemui Nadine di rumahnya
dan mengajaknya makan malam di luar.
Hari berganti dan di pagi-pagi itu aku telah bertemu Adikku yang tersayang.
“Halooo Dik, apa kabarmu?”
Adik menjawab, “Seperti biasa Kak” sahutnya, aku mengajaknya untuk pergi ke
sekolah bersama namun ia berkata sedang tidak enak badan, jadi aku pun pergi ke sekolah
menaiki mobilku sendirian. Setelah pulang dari sekolah aku menggunakan waktu luangku
untuk makan bersama Nadine di restaurant dan akupun sampai di rumah saat malam tiba.
Saat aku membuka pintu terlihat semua orang terlihat telah bersiap untuk makan malam dan
aku beranjak mencuci tangan dan ikut bergabung untuk makan malam. Setelah selesai makan
malam, Adik selalu memberikan Ayah sebuah coklat. Aku biasa heran dan bertanya kepada
Adik.
“Mengapa kau selalu memberikan Ayah sebuah coklat?”
Adik berkata, “Karena aku sangat sayang Ayah dan dia adalah Supermanku”
Akupun tertawa lepas mendengar jawabannya dan kembali ke kamarku untuk tidur.
Hari ini merupakan hari libur nasional. Otomatis ini adalah waktu yang paling baik
untuk menghabiskan waktu bersama keluargaku. Namun Setelah beranjak keluar kamar aku
melihat Ayah, Ibu dan Adik telah menaiki mobil dan keluar rumah.
“Yahhh, aku ditinggal lagi” kataku dengan emosi aku masuk kamar dan merusak
barang yang ada di kamarku.
Aku sering berfikir mengapa akhir-akhir ini Ayah dan Ibu selalu mementingkan Adik
daripada aku? Tetapi aku selalu berusaha untuk tetap berfikir positif karena aku sangat
menyayangi Adikku.

81
Aku keluar dari kamar kemudian beranjak pergi untuk menghibur diri.
Malam tiba, aku mengajak Nadine dan teman-temanku ke bar, disitu aku selalu
memikirkan Adikku. Aku terdiam dan mulai iri pada Adikku dan akhirnya aku memutuskan
untuk menghabiskan waktu di sini semalaman. Setelah pulang di pagi hari aku belum
mendapati Ayah, Ibu dan Adik, kemarahanku meledak
“Aku membenci kalian semua! Mengapa kalian pergi dan tidak kembali sampai
sekarang? Aku juga butuh kasih sayang kalian! Aku juga bosan di sini sendiri terus! Aku
bagaikan anak yatim piatu yang tak kalian anggap!!” raungku. Aku masuk kamar dan
mengunci kamarku, di kamar aku menangis sampai akhirnya aku tertidur pulas.
Waktu menunjukkan pukul 9:00 AM. Aku mendengar ketukan pintu di kamarku,
namun aku mengabaikannya dan kembali melanjutkan tidurku.
Tidak terasa di malam hari Ayahku mengetuk pintu dengan keras dan berkata, “Ardi
keluar Nak, ini sudah malam dan kau tak pernah keluar kamar”
Aku membuka pintu dan berjalan ke meja makan. Aku terdiam di kursi dan mencoba
makan malam bersama mereka semua. Setelah makan malam selesai aku bertanya dengan
penuh amarah.
“Ke mana saja kalian semalaman, kemarin aku ditinggal sendiri terus, terus dan terus.
Aku juga membutuhkan kalian semua, namun kalian hanya mengajak Adik, Adik dan Adik.
Apakah aku bukan anakmu?”
Ayah menjawab, “Bukan begitu Nak, tapi kamu tidak tahu apa yang telah terjadi
kepada Adikmu”
“Kenapa dengan Adik? Dia sakit? Mengapa Ayah sangat perhatian pada Adik,
bukannya Adik selalu ikut kepada Ayah hampir di manapun Ayah dan Ibu berada?
Sedangkan aku? Apa? Aku hanya ditinggal sendiri oleh kalian yang tidak punya hati. Ayah
bayangkan saja aku sendiri di kamar bercerita sendiri, aku tidak butuh uang Ayah aku hanya
butuh kasih sayang seorang Ayah dan Ibu. Hanya Nadine yang mengerti aku, kalian tidak!”
Akupun beranjak pergi meninggalkan meja makan dan pergi ke kamar. Esoknya ,
tanpa mengajak Adik aku langsung berangkat ke sekolah dan aku mendengar Adik berteriak,
“Kak tunggu aku” sahutnya dengan suara lantang.
Tapi aku tak memperdulikannya dan berangkat sekolah sendiri.
Sepulang sekolah aku melihat Ayah berdiri di depan teras seperti menunggu sesuatu.
Aku memarkirkan mobilku dan berkata,
“Ayah, mengapa Ayah di sini?”
Ayah terlihat kesal dan langsung menamparku, dengan emosi aku pun berkata, “Apa
salahku? Ayah menamparku? Aku tak pernah melakukan kesalahan kepada Ayah!”
Ayah berkata, “Mengapa kau meninggalkan Adikmu tadi pagi?”
Aku berkata, “Mengapa? Ayah marah? Tampar, tampar lagi Ayah! Apakah aku salah
jika melakukan itu? Ayah saja yang mengantar anak kesayangan Ayah itu!”
“Kamu memang anak yang tak berguna, pergi kau dari sini” sahut Ayah tajam.
Aku menangis dan berkata, “Baik aku akan pergi dari sini, semoga Ayah bahagia
dengan anakmu yang tersayang itu”
Aku langsung berjalan keluar dari pagar dan meninggalkan rumah, terlihat Ayah
sedang menangis sambil menutup pintu. Di jalan, pikiranku mulai kacau, aku memutuskan
untuk pergi ke rumah Nadine dan menceritakan apa yang telah terjadi.
“Mengapa kau melakukan itu pada Ayah dan Adikmu?” sahut Nadine.
“Mengapa? Kau marah juga? Silahkan! Aku akan pergi”
Nadine memegang tanganku, namun aku melepas tangannya dan keluar dari rumah
Nadine. Di jalan aku sangat marah dan tak tau harus ke mana dan saat tengah malam tiba aku
memutuskan ke bar. Mungkin ini bisa menghilangkan stresku. Setelah sampai di sana aku
meminum minuman keras sampai mabuk dan pusing. Setelah jam menunjukkan pukul 02:00,

82
aku keluar dari bar dan di jalan aku pusing dan aku melihat Adik sedikit menabrakku. Aku
memukulnya dan menendangnya dan aku pingsan. Saat sadar aku sedang berada di dalam
rumah, saat aku terbangun aku melihat Ayah dan Ibu namun aku tak melihat Adik.
Aku bertanya, “Mengapa Ayah membawaku ke rumah kembali? Bukannya aku anak
yang tak berguna?”
“Ya kamu memang tak berguna!” sahut Ayah. “Namun jika bukan karena Adikmu
mungkin kau sudah mati dijalan”
“Tapi Adik yang ingin menabrakku di jalan!”
”Bukan!” sahut Ayah dengan nada keras, “Adikmu hanya menolongmu karena ia
mencarimu dari sore hingga malam”
“Untuk apa? Bukannya dia sudah bahagia bersama Ayah dan Ibu?”
Tak lama kemudian terdengar bunyi dering HP Ibu berbunyi dan mengangkatnya.
“Ya, assalamu’alaikum” tak terlalu jelas apa yang sedang dibicarakan, Ibu menangis
ditelepon terseduh-seduh dan mengakhiri telepon.
Ibu berkata, “Adik pingsan lagi Yah, dan harus di operasi lagi...”
Aku terdiam dan berkata, “Sebenarnya apa yang telah terjadi pada Adik, mengapa aku
tidak mengetahui apapun? Ayah? Ibu? Adik kenapa?” sahutku dengan pelan.
Ayah dan Ibu hanya terdiam dan mengajakku pergi ke RS untuk menemui Adik.
Tak lama kemudian kami sampai di rumah sakit, Ibu langsung berlari ke ruang IGD
untuk mencari Adik. Setelah sampai Ibu membuka pintu dan masuk menemui Adik disusul
Ayah dan aku dibelakangnya. Aku menangis melihat keadaan Adikku yang terbaring lemah.
Aku bertanya pada Ibu, “Apa yang terjadi Ibu? Ayah? Mengapa bisa terjadi seperti ini
pada Adik?”
Ayah berkata, “Adikmu terkena leukemia stadium akhir dan setiap minggu harus cuci
darah, itulah mengapa kami sering keluar bersama akhir-akhir ini”
Aku menangis dan berkata, “Tapi mengapa Ayah dan Ibu tidak memberitahuku dari
dulu?”
“Itu karena Adikmu yang meminta, ia tak ingin jika kau khawatir. Itulah sebabnya
Ayah dan Ibu selalu menjaga Adikmu di manapun berada”
Aku menangis dan memeluk Adikku yang kian lemah dan tepat pada pukul 07:00 PM
waktu makan malam tiba, kami makan bersama di IGD, namun Adik hanya tersenyum
melihat wajah Ayah dan berkata,
“Aku sangat sayang Ayah, aku sayang Ibu dan aku sayang Kakak”
Makan malam selesai dan Adik memberi Ayah sebuah coklat yang diambil dari
tasnya dia berkata,
“Ayah mungkin ini coklat terakhir yang kuberikan untukmu”
Ayah menangis dan memeluk Adik, Ibu menangis dan aku juga menangis. Aku
meminta maaf kepada Adik karena aku telah salah paham.
“Aku telah iri padamu Dik, maafkan Kakak” sahutku.
Aku memeluk Adikku yang terbaring lemah, tak lama kemudian adik berkata, “Ayah
Ibu, Kakak, aku akan pergi”
Adik melihat kearah Ayah dan melihat keatas kemudian menutup matanya. Ia telah
pergi. Aku sangat menyesali segala yang telah aku lakukan pada Adik, namun aku beruntung
masih bisa meminta maaf dan memeluknya. Aku juga meminta maaf kepada Ayah dan Ibuku
tercinta dan tak lupa pada Nadine.
Aancoklat tersebut menjadi coklat terakhir yang diberikan adik pada Ayah dan setiap
melihat coklat Ayah pasti menangis.
~END~

83
Biodata Penulis
Nama : Muh Yasin
TTL : Barru, 08 Juli 2001
Alamat : Latimpa
Cita-Cita : Pengusaha
Hobi : Membaca
Asal Sekolah : SMA Negeri 1 Barru
Riwayat Pendidikan :
1. TK Kartini MAdello
2. SDN No.9 Madello
3. SMP Negeri 1 Barru
Ig : muhyasinn
Motto : Mulailah darimana kita berada, gunakan apa yang kita miliki
dan lakukan apa yang kita bisa.

84
Senja dan Kenangan
Oleh :
Nur Apni

Jam dinding terus berdetak, waktu terus berlalu, saat Siska menatap senja yang
berwarna kemerahan, kehadirannya mampu menenangkan hati dan matahari yang mulai
menenggelamkan diri seakan mengingatkan Siska pada seseorang yang membuat hati Siska
seketika tenang saat berada didekatnya yaitu Andri, sosok lelaki yang dia kagumi yang selalu
menerangi fikiran Siska dengan senyuman manis di bibir kecilnya itu.
Namanya Siska, dia bersekolah di SMA Bakti Jaya, dia orang yang ceria dan selalu
tersenyum, dia siswa baru yang masuk ke sekolah SMA Bakti Jaya. Pertama kali masuk ke
sekolah, dia belum mengenal siapapun. Ketika masuk ke kelas barunya tersebut dia fokus
keseseorang yang berada di pojok ruangan kelas. Seseorang laki-laki yang senyum kepadanya
dengan senyuman manis kecil di bibirnya. Siska kembali membalas senyuman manis itu,
entah kenapa senyuman itu tidak pernah hilang difikirannya.
Tidak lama gurunya datang dan menyuruh semua siswa baru untuk memperkenalkan
namanya masing-masing, yang pertama naik yang ditunjuk oleh gurunya yaitu lelaki yang
senyum kecil kepada Siska.
Setelah beberapa hari mereka saling mengenal satu sama lain dan Siska sebangku
bersama Andri. Siska sangat senang karena setiap hari dia bisa melihat senyuman yang manis
itu. Siska saat belajar tidak bisa fokus gara-gara senyuman itu.
Bel pun berbunyi itu artinya istirahat, Andri mengajak Siska untuk makan di kantin,
Siska pun langsung menerima tawaran Andri untuk makan bersama di kantin. Tiba di kantin
Siska memeriksa kantung bajunya yang biasa dia tempati untuk menaruh uang jajan tetapi
hari itu dia lupa membawa uang jajan, Andri pun bertanya,
Andri : “Ada apa Siska kenapa kamu termenung?”
Siska : “Aku lupa untuk membawa uang jajan”
Andri : “Tenang saja kita makan 1 piring saja tapi berdua”
Siska : “Enggak deh aku takut merepotkan”
Andri : “Tidak apa-apa, eh itu pesanannya sudah datang, coba Siska buka mulut
kamu”
Siska : “Buat apa?”
Andri : “Buka saja, jangan banyak tanya cepat”
Ternyata Andri menyuap Siska, dan Siska pun tersipul malu dengan itu.
Setelah itu bel pun berbunyi dan itu tandanya masuk dan belajar, setelah belajar
mereka pun pulang, Siska menunggu jemputannya di halte depan sekolah. Sudah lama dia
menunggu di sana tapi jemputannya belum juga tiba. Tak lama kemudian seseorang datang
dari arah parkiran menggunakan motor dan singgah tepat di depan Siska, dia terkejut melihat
motor itu tiba-tiba singgah di hadapannya dan ternyata itu Andri.
Andri : “Siska kok belum pulang sih”
Siska : “Lagi nunggu jemputan Andri”
Andri : “Ayo naik, biar aku antar kamu pulang”
Siska : “Nggak usah Andri, nanti juga jemputanku datang”
Andri : “Nggak baik kalau perempuan sendiri duduk di halte, kan kasihan apa lagi
perempuan yang manis kaya kamu nanti diganggu preman”
Siska : “Apaan sih, kamu tuh selalu aja buat aku bisa bekata mau saat kamu ngajak
aku ke manapun dasar gombal kamu”
Andri : “Kamukan perempuan yang selalu ada buat aku, jadinya aku haruslah jagain
kamu, ayolah naik kemotor”

85
Siska : “Okelah kalau kamu maksa hahaha”
Setelah mereka menempu jalan, akhirnya Siska sampai ke rumah dan turun dari motor
tersebut. Siska mengucapkan terima kasih kepada Andri untuk hari ini.
Tidak lama kemudian Siska ganti baju dan tidur di atas kasur entah kenapa
difikirannya selalu terbayang-bayang senyuman Andri, dan Siska pun berfiir apakah ini
cinta? Mengapa saat dirinya memejamkan mata kenapa selalu terbayang wajah lelaki itu.
Siska tidak bisa berdiam diri karena difikiranya ada wajah Andri terus.
Saat sore telah tiba Siska ada janji untuk makan bersama Andri karena Andri ingin
memberitahukan sesuatu yang penting kepada Siska, Siska jadi deg-degan. Dia berdandan
dengan cantik di sore itu karena itu pertama kali Siska diajak makan berduaan oleh Andri.
Setelah berdandan tidak lama kemudian suara motor terdengar. Siska pun melihat ke jendela
ternyata yang datang Andri. Siska semakin deg-degan, lalu Siska langsung berlari ke arah
pintu untuk membuka pintu untuk Andri dan berakhir Andri menggoda Siska.
Andri : “Apakah Tuan Putri sudah siap?”
Siska : “Iya Pangeran, Tuan Putri sudah siap!”
Andri : “Baiklah, Tuan Putri silahkan naik ke motor hati-hati yah entar jatuh”
Siska : “Jatuh ke mana?”
Andri : “Jatuh ke hati aku wkwkwkwkwkwk”
Siska : “Receh banget”
Siska begitu senang dengan pujian Andri, dia sangat berharap bahwa Andri juga
menaruh hati kepadanya tapi Siska takut dengan harapannya tersebut dapat membuatnya
patah hati. Setelah menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai di restoran lalu mereka
memesan makanan sambil melihat senja yang membuat Siska begitu terpanah melihat
keindahannya.
Siska memecahkan suasana dengan berbicara kepada Andri.
Siska : “Andri kamu tahu, kenapa senja itu indah dan menyenangkan?”
Andri : “Kenapa?”
Siska : “Kadang ia merah merekah bahagia, kadang ia hitam gelap berduka tetapi
langit selalu menerima senja apa adanya”
Andri : “Iya senja memang indah, tapi tak seindah wajah manis seseorang gadis yang
mampu membuat hatiku luluh”
Siska : “Siapa gadis yang kau maksud?”
Di dalam hati Siska berkata, ‘Aku harap itu adalah aku’
Andri : “Siapa lagi kalau bukan Rani tetangga kelas kita. Akhir-akhir ini aku sering
jalan dengan dia, aku merasa nyaman saat bersama dia. Bagaimana
menurutmu Siska apakah aku cocok dengan dia? Kamukan sudah aku
anggap sebagai sahabatku, aku butuh pendapatmu”
Mendengar akan hal itu, Siska merasakan hatinya sakit dan hancur seperti serpihan
kaca yang sudah mengenai hatinya.
Andri : “Siska jawab, aku bingung nih, Siska...Siska...”
Siska : “Eh iya Andri? Tadi kamu bilang apa?”
Andri : “Kamu kenapa? Dari tadi aku memanggilmu, tapi kamu tidak mendengarnya,
apa kamu sakit?
Siska : “Tidak, aku tidak sakit”
Andri : “Terus kamu kenapa?”
Siska : “Aku tidak apa-apa”
Andri : “Tadi aku bertanya, menurutmu Rani itu cocok atau tidak sama aku?”
Siska : “Iya kamu cocok sekali dengan Rani, dia itu cantik, baik, pintar, dia gadis
yang sempurna untukmu”

86
Di dalam hati Siska berkata, ‘Aku tak seperti Rani, cantik, baik, pintar. Aku
mempunyai banyak kekurangan tapi satu kelebihanku yaitu mencintaimu dengan tulus. hanya
itu kelebihanku’
Di dalam hati Siska merasakan sakit yang begitu mendalam, meskipun begitu dia
tetap sabar dan demi cintanya kepada Andri dia rela melihat Andri bahagia bersama yang lain
karena kebahagiaan Siska itu saat seseorang yang dia cintai bahagia dan Siska rela
melepaskan cintanya bersama dengan orang lain, bukan karena dia berhenti mencintai Andri
tetapi melihat orang yang dicintai bahagia itulah cinta yang sebenarnya. Setelah Siska dan
Andri berbincang-bincang pesanan makanannya pun datang, dengan bercakap panjang Andri
lupa untuk memesan minuman.
Andri : “Siska aku lupa memesan minuman, kamu mau minum apa?”
Siska : “Aku mau memesan kopi tanpa gula”
Andri : “Kok tanpa gula, nggak manis dong?”
Siska : “Iya nggak manis”
Di dalam hati Siska berkata, ‘Aku suka kopi yang pahit karena sejatinya tidak semua
yang manis bisa kumiliki dan salah satunya adalah kamu’
Setelah itu minuman pesanan mereka datang dan setelah menghabiskan minuman
mereka pulang lalu setelah Siska sampai di rumah dia langsung ke kamar dan merenungkan
semua kejadian tadi. Siska berenung bahwa betapa dalamnya rasa yang dia simpan kepada
Andri, saat dia melakukan yang terbaik untuk Andri, namun yang dia dapatkan malah
diperlakukan sebaliknya, yang dia dapatkan hanya sedih, dia terlalu nyaman sampai lupa
bahwa dia hanyalah pengganti di saat tokoh utama tidak ada.
Tidak lama kemudian hp Siska bordering, dia dengan cepat mengangkat telepon itu.
Lalu ada seseorang yang meneleponnya bahwa Andri kecelakaan, Siska sangat kaget dan
langsung menuju ke rumah sakit yang di tempati oleh Andri.
Setelah sampai ke rumah sakit keadaan Andri memburuk dia koma, kata dokter di
sana bahwa Andri membutuhkan pendonor ginjal karena benturan yang keras pada saat dia
kecelakaan, Siska sangat sedih atas kejadian yang menimpah Andri.
Tidak lama kemudian ada pendonor ginjal untuk Andri dan entah siapa, orang itu
tidak mau memberikan identitasnya, lalu setelah Andri mendapatkan donor ginjal dia
dioperasi. Hari demi hari berlalu setelah Andri dioperasi keadaan Andri semakin membaik.
Andri dinyatakan bisa pulang ke rumah dan bisa bersekolah lagi, setelah masuk ke
sekolah dia bertemu dengan Siska dan rencana Andri untuk menembak Rani tetangga
kelasnya, setelah pendekatannya dengan Rani beberapa hari mereka resmi pacaran dan hati
Siska sangat sakit dengan itu, dia lalu menjauh dengan Andri karena takut pacar Andri
cemburu.
Setiap minggu Andri selalu ke rumah sakit untuk mengecek kesehatannya, lalu tidak
sengaja dia bertemu dengan Siska di rumah sakit.
Andri : “Siska kamu ngapain di rumah sakit ini? Kamu ngikutin aku yah?”
Siska : “Geer banget sih kamu”
Andri : “Terus kamu ke sini mau ngapain?”
Dengan kata yang terbata-bata dia berkata, bahwa ada keluarganya yang sakit.
Andri : “Kok kamu tegang gitu? Ada yang kamu sembunyiin yah dari aku”
Siska : “Enggak kok, aku ke sini karena Tanteku sakit”
Setelah mereka bercakap-cakap, 1 bulan kemudian ada kabar bahwa Siska masuk
rumah sakit karena kondisi tubuhnya yang lemah entah penyakit apa yang dideritanya,
mendengar kabar itu Andri tidak berdiam diri, Andri langsung ke rumah sakit di mana siska
dirawat, Andri sangat khawatir penyakit apa yang diderita oleh Siska, kemudian Andri
bertanya ke dokter.
Andri : “Dok Siska sakit apa?”

87
Dokter : “Siska lemah karena ginjal yang ada di dalam tubuhnya tinggal 1, sehingga
tubuhnya tidak bertahan lama dengan 1 ginjal itu, mungkin Siska sudah
mendonorkan ginjalnya.
Andri : “Apa? Tidak mungkin! Tidak mungkin!”
Di dalam pikiran Andri teringat siapa seseorang yang mendonorkan ginjal kepadanya,
jangan-jangan Siska.
Setelah itu Andri mencari dokter yang pernah menangani penyakitnya pas sakit dulu,
dia bertanya kepada dokter, siapa yang telah mendonorkan ginjal untuk dirinya tapi dokter
tidak mau karena dokter telah berjanji tidak akan memberitahu kepada orang lain.
Sekian lama Andri memaksa dokter itu untuk memberitahunya, akhirnya dokter itu
mau angkat bicara siapa sebenarnya yang mendonorkan ginjal untuk Andri.
Andri : “Dok siapa yang mendonorkan ginjal untuk saya?”
Dokter : “Dia adalah seseorang yang setiap hari menunggu kamu sadar dari komamu,
dia adalah Siska, dia menitipkan video untukmu, ini silahkan kamu putar
sendiri”
Andri pun memutar video tersebut dan di dalam video itu terdapat Siska yang angkat
bicara.
“Andri aku tau kamu akan sangat marah kepada aku karena aku melarang dokter
untuk memberitahumu siapa yang mendonorkan ginjal untukmu. Aku yakin suatu saat nanti
kamu akan melihat video ini meskipun aku telah menyembunyikannya, aku hanya berpesan
bila suatu saat nanti aku pergi meninggalkamu, aku sudah tidak ada di dunia ini jangan
bersedih. Aku ada di dalam tubuhmu meskipun aku sudah tidak ada di dunia ini.
Aku juga ingin memberitahumu sebenarnya aku mencintaimu, tapi aku takut untuk
mengatakannya kepadamu lebih baik aku pendam dalam hati saja, karena kamu mencintai
yang lain, kamu harus menjaga perempuan itu karena bahagiaku ketika kamu juga bahagia.
Kau tau Andri setiap malam aku selalu memikirkanmu. Cinta yang memang dipendam di
dalam hati memang sakit. Waktu itu senja mulai kelihatan bersama kenanganmu, iya senja
dan kenangan saat itu tidak akan aku lupakan saat kita makan berdua aku sangat senang.
Semoga kamu bahagia Andri”
Andri mengeluarkan air mata yang sangat banyak kemudian menuju ke ruangan di
mana Siska dirawat lalu setelah dia sampai Siska sekarat dan kemudian meninggal. Andri
mendengar itu terpukul, dia menyesal pernah menyia-nyiakan seseorang yang begitu
mencintainya tapi memang penyesalan datang di akhir.
Ada yang tak tenggelam ketika senja datang kala itu yakni kenangan bersamanya.
~END~

88
Biodata Penulis

Nama : Nur Apni


Alamat : Jl. Sunu,Sumpang Binangae
Cita-Cita : Dokter
Hobi : Bernyanyi
Riwayat Pendidikan :
1. TK Idhata
2. SDN No 3 S. Binagae
3. SMP Negeri 1 Barru
Motto : Kesempatan hidup bukanlah hal yang kebetulan, kita harus
menciptakannya agar hidup lebih bermakna.

89
Titipan Rindu
Oleh :
Nur Azmi

Matahari pagi yang terbit memberikan cahayanya yang terang. Libur penerimaan
rapor semester 2 di kelas XI telah berakhir. Hari ini adalah hari pertama SMA Pelita Jakarta
Barat memulai aktivitas bersekolah. Pintu gerbang sekolah telah terbuka dengan lebarnya.
Gadis manis dengan tas ransel di punggungnya dan beberapa buku paket yang di peluk di
depan dadanya yang kini tampak memasuki area sekolah. Dengan senyuman manisnya yang
membuat suasana pagi ini tampak bahagia. Di sekolah, ia di kenal sebagai siswi berprestasi
dan ramah. Gadis ini bernama Jihan Ayudya Anjani yang biasa di panggil Jihan. Jihan datang
bersama dengan kembarannya yaitu Jehan Ayudya Anjani. Dia adalah Kakaknya Jihan.
mereka selalu kompak dalam setiap hal apapun. Mulai dari sepatu, tas, pakaian dan juga
wajah mereka sangat mirip. Yang membedakan hanyalah bentuk wajah Jihan lebih oval
dibanding Jehan yang bulat. Tetapi untuk orang yang baru pertama kali melihat mereka
mungkin akan kebingungan.
Pagi ini, seluruh siswa SMA Pelita melaksanakan upacara bendera pada hari senin.
Seluruh siswa datang lebih pagi, karena hari ini merupakan hari pertama mereka
bersekolah di tahun ajaran yang baru.
“Di sampaikan kepada seluruh siswa-siswi SMA Pelita agar segera berkumpul di
lapangan upacara sekarang juga” kata Arnan yang merupakan ketua OSIS di sekolah.
Siswa-siswi pun berlari menuju lapangan.
Setelah upacara pagi ini, seluruh siswa berbondong-bondong menuju kantin karena
mereka kehausan dan ada juga yang kelaparan karena tak sempat sarapan.
Ketika Jihan dan Jehan memasuki kelas, segerombolan siswi berbicara heboh
mengenai seseorang. Tapi siapa? Penasaran juga sih! Akhirnya mereka mendekati
segerombolan murid perempuan tersebut.
“Omegaat gaes ternyata kelas XII MIA 5 kedatangan murid baru loh, dia itu ganteng
banget” ujar Meli teman kelas dengan semangat.
Mendengar hal itu, Jihan dan Jehan pun mulai menjauhi wanita-wanita biang gosip
tersebut.
“Emangnya seganteng apasih murid baru itu, sampai-sampai cewe-cewe pada
terkagum-kagum gituu” kata Jehan sedikit meremehkan.
“Jihaaaan” teriak Ayla.
“Aduhh apa sihhh? Bisa nggak sih nggak teriak, brisiikkkk tau nggak”ujar Jehan
sedikit kesel.
“Hehe sorry. Ehh Jihan, kamu di panggil sama Bu Aisyah ke ruang wakasek
sekarang” kata Ayla sambil tersenyum.
“Bu Aisyah? Ada apa Ay?” kata Jihan bertanya-tanya.
“Yaudah sih pergi aja dulu mungkin ada yang penting” kata Jehan
Pada saat menuju ruang wakasek tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menabrak Jihan.
“Aduh” kata Jihan kesakitan.
“Punya mata nggak sih?” kata lelaki itu.
“Maaf aku buru-buru, nggak sengaja” kata Jihan meminta maaf dan kembali berjalan
menuju ke ruang wakasek.
“Gila tu cewe, gue yang salah dia yang minta maaf. Haha siapa sih dia?” kata lelaki
tersebut.
“Dia Jihan. Kelas XII MIA 1. Siswi berprestasi di sekolah ini. Dia itu baik banget dan
nggak suka cari masalah” kata teman lelaki tersebut.

90
“Jihan. Nama yang indah” kata lelaki tersebut sambil tersenyum.
Di ruang wakasek, Ibu Aisyah memberitahukan kepada Jihan untuk mengikuti bimbel
selama 2 pekan ke depan. Karena akan ada olimpiade matematika di Bandung. Jihan pun
mengiyakan tentang olimpiade tersebut.
“Ohyaa Jihan kamu akan mengikuti olimpiade ini bersama dengan murid baru sekolah
kita. Dia baru saja pindah karena kenakalannya. Tetapi dia itu orang yang berprestasi.
Sebentar lagi dia akan datang”
Seseorang membuka pintu ruang wakasek. Mungkin itu orang yang di tunggu oleh Bu
Aisyah.
“Marcel. Silahkan duduk” sahut Bu Aisyah
Marcel pun duduk di samping Jihan. saat Jihan mendongak dan melihat lelaki
tersebut, alangkah kagetnya saat mengethui orang yang tadi ia tabrak.
“Nah Jihan perkenalkan ini Marcel, dia yang akan belajar bareng kamu untuk
mengikuti olimpiade” sahut Bu aisyah.
Jihan hanya menganggukan kepalanya dan tau harus berbicara apa ketika mengetahui
hal tersebut.
“Baiklah, sebelum kalian keluar, Marcel kamu sudah taukan jadwal kamu? Jadi saya
harap kamu bisa berinteraksi dengan Jihan, soalnya dia juga sama seperti kamu yang
berprestasi” ujar Bu Aisyah dengan senyum.
“Baik Bu” kata Marcel.
***
Bel istrahat berbunyi. Semua manusia kelaparan memasuki area kantin.
“Duduk di sana aja yuk” kata Jehan menunjuk meja kosong di sudut kanan kantin.
Saat duduk di meja tersebut, ternyata Marcel dan temannya juga ada di kantin ini. Dan
mereka duduk di depan meja yang sekarang Jihan duduki. Melihat hal tersebut, entah
mengapa Jihan tampak gugup jika berhadapan dengan Marcel. Tetapi sekarang, sepertinya
Marcel menatap Jihan dan itu membuat Jihan menundukkan kepalanya karena merasa risih
jika di tatap seperti itu, apalagi dengan seorang lelaki.
Melihat reaksi Jihan yang hanya menunduk, membuat Marcel berdiri dan
meninggalkan teman-temannya. Ia menuju ke meja Jihan.
“Ekmm boleh gabung?” kata Marcel.
“Di sana masih banyak meja kosong” sahut Jehan dengan juteknya.
Marcel pun langsung duduk di dekat Jihan. Dan itu membuat Jihan semakin risih.
Melihat ketidaknyaman adiknya, Jehan pun mulai emosi.
“Lo tuli? Lo nggak liat adik gue tuh risih di deket lo” kata Jehan dengan kesal.
“Nerves kali duduk di samping orang ganteng” kata Marcel dengan soknya.
“Kamu murid pindahan kan?” tanya Ayla.
“Yes” jawab Marcel dengan santai.
“Ooh jadi ini yang di cerita sama nenek-nenek sihir tadi” sahut Jehan.
“Sudah Kak, nggak usah di bahas” kata Jihan menengahi.
“Kalian kembar tapi beda sifat” ujar Marcel
“Sumpah yaa, kok bisa sih sekolah nerima berandalan kayak lo” sahut Jehan dengan
kesal.
“Berandalan gini tapi gue punya hati, dan satu lagi gue lebih berprestasi dari lo” sahut
Marcel.
“Idihh sombong banget loo kupret” kata Jehan.
Pesanan makanan mereka datang, dan akhirnya itu bisa membuat mereka tak berdebat
lagi.
***

91
Pada saat pulang sekolah, Jihan dan Jehan menunggu sopir pribainya di depan
gerbang sekolah. Tiba-tiba saja ada mobil yang melintasi genangan air dan mengenai
seragam sekolah Jehan. Pada saat itu Jehan tidak terima atas perlakuan si pengendara mobil
itu. Jehan pun mengambil batu kemudian melemparnya ke mobil itu
“Woiiiii pengecutt tanggung jawab lo” teriak Jehan sangat kesal.
Si pengendara mobil itupun keluar karena tak terima mobilnya di lempari oleh batu.
“Eehhh lohh sadar nggakk, lo itu udah ngerusakin mobil gue” kata Marcel.
“Woiiii loh itu yang nggak sadar, lo tau nggak? Gara-gara lo seragam gue jadi
kotor,lo liat nihhh..” kata Jehan.
“Salah lo sendiri ngapain lo berdiri di dekat jalanan” kata Marcel.
“Dasaarr lohh cowo nggak tau malu” sahut Jehan sangat kesal.
“Sudah Je. Nanti kita cuci ya seragam kamu” kata Jihan menengahi.
Marcel pun langsung pergi meninggalkan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
***
Malam hari setelah makan malam, dua kembar ini memasuki kamarnya untuk belajar.
Handphone Jihan dan membuat Jihan terpaksa melihat handphonenya dulu. Melihat nomor
yang tak di kenal menghubunginya, akhirnya Jihan hanya mengabaikan panggilan tersebut.
Kedua kalinya nomor tersebut menghubungi Jihan, dengan terpaksa Jihan pun menjawabnya.
“Halo? Siapa?” tanya Jihan.
“Kok nggak di angkat?” kata Marcel.
“Marcel? Kamu tau dari mana nomorku?” tanya Jihan.
“Jelas tau lah, hehe. Ohiya besok kamu jadi tinggal kan untuk bimbel?” tanya Marcel.
“Ohiyaaa aku lupa, jadi kok” jawab Jihan.
“Kalau gitu besok kamu nggak usah minta sopir kamu jemput, biar aku yang
mengantarmu pulang” kata Marcel.
Mengatakan hal tersebut, Jihan langsung mematikan teleponnya. Dia merasa gugup
tiba-tiba Marcel ingin mengantarnya pulang.
“Ji ada apa? Kok gugup?” tanya Jehan.
“Oh nggak kok” kata Jihan menyembunyikannya.
Saat tengah malam, si kembar ini belum tertidur. Jihan pun ingin meminta saran
kepada Kakaknya tersebut.
“Je, besok Marcel ngajakin aku pulang bareng selepas bimbel” kata Jihan dengan
hati-hati.
“Haa? Jadi Marcel yang menelpon kamu tadi? Nggak ah aku nggak akan memberikan
kamu izin pulang bareng sama berandalan itu, nanti kamu ikut nakal” kata Jehan.
“Nggak kok Kak, Marcel itu orangnya baik, yaa cuma dia marah karena udah
ngerusakin mobilnya” kata Jihan.
“Kamu suka sama Marcel?” tanya Jehan mengintrogasi adiknya tersebut.
“Nggak kok, kan emang kenyataannya seperti itu” kata Jihan dengan gugup.
“Widihhh Adek aku udah jatuh cinta nihhh” goda Jehan.
“Apaan sih, udah deh mau tidur” ujar Jihan.
“Yaudah deh Kakak izinin kamu, tapi awas aja kalau dia macem-macem sama kamu”
kata Jehan.
“Beneran? Makasih Kakakkuuuu” sahut Jihan dan memeluk Kakaknya.
***
Pulang sekolah, Jihan dan Marcel bimbel di sekolah. Kali ini Jihan benar-benar
merasakan gugup belajar di dekat Marcel.
“Nanti pulang sama aku kan?” tanya Marcel.
“Iya, aku sudah izin kok sama Jehan” ujar Jihan.
Setelah selesai bimbel, Marcel pun mengantar Jihan untuk pulang ke rumahnya.

92
“Jihan, kok kembaran kamu tuh galak banget sihh?” tanya Marcel.
“Nggak kok, Jehan itu baik” kata Jihan.
“Baik apanyaa” kata Marcel meremehkan.
“Aslinya baik kok, cuma dia itu trauma kalau terlalu baik dengan lelaki. Soalnya dulu
dia sakit hati sama mantan pacarnya” ujar Jihan.
***
Saat di sekolah, Marcel sudah menunggu kedatangan Jehan. Dia ingin meminta maaf
atas perlakuannya yang kasar kemarin.
“Jehann” kata Marcel melambaikan tangannya.
“Ngapain lo manggil-manggil gue” ketus Jehan.
“Galak amat sih, gue mau minta maaf nih soal yang kemarin” kata Marcel dengan
gugup.
“Gak salah denger nih gue?” ucap Jehan.
“Yaa iyaa, gue minta maaf yaa plisss” kata Marcel memohon.
“Iya iyaa gue maafin, tapi sekali lagi lo kayak gitu gue banting lo dengan mobil lo
sekalian” kata Jehan dengan geram.
“Gilaa lo. Emm btw gue mau mintol nihh, bantuin gue deketin Jihan dongg” kata
Marcel.
“Udah gue dugaa, lo ngajak jalan adek gue terus lo minta maaf ke gue. Yaa dasar
kupret lo” kata Jehan.
“Ayo dongg gue janji deh gak akan sia-siain Jihan. Pliss gue nggak pernah sejatuh ini
sama cewe” kata Marcel dengan serius.
“Ok lahh tapi ingat kalau lo buat adek gue nangis, gue bakar hidup-hidup lo” kata
Jehan.
“Iya dehhh gue serius nih” kata Marcel.
Melihat Jihan yang berjalan di lorong sekolah, akhirnya Jehan memanggil Jihan
“Jihann” panggil Jehan.
“Ada apa?” tanya Jihan.
“Katanya Marcel mau bicara, gue tinggal dulu ya” sahut Jehan dan meninggalkan
keduanya.
“Ada apa Marcel?” tanya Jihan.
“Sebenarnya aku…” kata Marcel dengan gugup.
“Yaaa?” tanya Jihan yang kebingungan.
“Sejak pertama kita bertemu dan sampai sekarang ini, sepertinya ada hal yang
berbeda yang aku rasain selama di dekat kamu” sahut Marcel.
“Apa sih Marcel? Nggak ngerti tau” tanya Jihan dengan senyumnya yang gugup.
“Ok sebenarnya aku suka sama kamu” kata Marcel dengan spontan.
Jihan gugup dan tak tau ingin berkata apa. Meskipun perasaan yang Marcel rasakan
juga di rasakan oleh Jihan.
“Jihann, kamu mau nggak kalau hubungan kita ini lebih dari teman?” tanya Marcel.
“Marcel, sebenarnyaa perasaan yang aku rasakan juga sama seperti kamu, tapi aku tak
bisa jika kita harus menjalin hubungan pacaran. Aku cuma mau kita sekedar teman dekat
tanpa pacaran” kata Jihan.
“Ok kalau itu mau kamu, tapi kita tetap menjadi teman kan?” tanya Marcel.
“Kita ini teman, dan kita tak tau bagaimana ke depannya. Bisa saja kamu akan
bersama dengan orang yang sudah di takdirkan, dan bisa saja Allah menakdirkan kita untuk
bersama” kata Jihan.
“Kamu memang dewasa Jihan, beruntung sekali orang yang akan mendapatkanmu
kelak” kata Marcel.

93
“Kita tak pernah tau takdir ke depannya. Be positif aja lah” kata Jihan dengan
senyuman.
“Semoga aja aku adalah orang yang beruntung itu” kata Marcel dengan penuh harap.
Hubungan antara Jihan dan Marcel adalah hubungan yang baik. Sebatas teman dekat.
~END~

94
Biodata Penulis
Nama : Nur Azmi
TTL : Barru, 03 Juni 2001
Alamat : Jl. Pahlawan Kajuara
Nama Orangtua
a. Ayah : Jasmin
b. Ibu : Adnawati
Ig : @nurazmii._
Motto : Tetap berusaha dan pantang menyerah

95
Face Blindness
Oleh :
Nur Hidayat Ahmad

Aku benci menerima kenyataan kalau aku adalah salah satu dari penganut sifat itu.
Sulit beradaptasi, selektif dalam berteman, terlalu banyak berpikir, gila dengan ketenangan,
dan hampir menjadi bisu karenanya. Untuk beberapa waktu, aku benci. Tapi sekalipun begitu,
aku tidak pernah berniat untuk mengubah diri dan meninggalkan sifat kesayanganku itu.
Sensasi hening yang menenangkan saat sendiri menjadi candu ekslusif bagiku, rasanya sudah
seperti darah yang harus mengalir jika aku ingin tetap bernapas. Namun, seperti yang aku
bilang tadi, kadang aku benci.
Aku adalah murid baru. Dan aku belum memiliki satu teman pun yang lolos seleksi
untuk kupercaya sebagai seorang yang nantinya akan menyaksikan segala tabiat asliku yang
memalukan. Teman sekelasku yang baru rata-rata berisik, susah diatur, hobinya mengumbar
aib dengan kepribadian manja yang kemana-mana harus bersama. Dan karena contoh itu, aku
berkesimpulan kalau setengah dari semua masyarakat di sekolah baruku itu sama, jadilah aku
sekarang. Demi menjauh dari keramaian tidak jelas, aku rela bertahan di kelas selama dua
puluh menit lebih hanya untuk pulang dalam ketenangan.
Hal seperti itu yang aku benci, aku jadi ribet dan rugi sendiri. Kalau saja mereka tidak
selalu bergerombol dan tidak berisik, aku tidak harus menunggu di kelas hanya untuk
membiarkan halte menjadi sepi, kan? Beruntungnya, setelah dua puluh menit itu aku tidak
merasa sia-sia karena halte benar-benar sepi sekarang. Aku mengambil duduk di kursi halte,
menunggu bus datang dengan kaki yang dibiarkan terjulur ke depan. Sesekali aku menghela
napas sambil menengadahkan kepala, mencoba mengusir rasa lelah seharian penuh selama di
sekolah.
Untuk lima menit pertama, aku masih sendirian. Menit keenam pun sama, aku masih
sendiri. Hingga menit ketujuh, seseorang mengambil duduk di samping kananku. Dan menit
selanjutnya, aku terusik karena orang itu menjatuhkan pandangannya padaku.
“Apa sih? Ganggu”
Dan alih-alih sadar diri ketika ku sodorkan raut terganggu, orang yang tepatnya laki-
laki itu malah tersenyum ramah padaku.Sialnya, senyuman manis. Aku sampai tidak bisa
beralih dan membiarkan rasa terusik tadi menguap ke udara dengan sendirinya. Mungkin,
laki-laki ini hanya mencoba ramah pada orang asing, ya? Dan karena aku masih mau
dianggap manusia ramah di mata orang lain, aku membalas senyumnya juga. Tidak lama kok,
kurang dari sedetik senyumku itu langsung musnah dari wajahku. Jangan akrab-akrab dong
sama orang asing! Pikirku. Tapi, tiba-tiba saja lelaki itu angkat suara.
“Kamu murid baru, ya?”
Eh bagaimana dia bisa tau? Aku buru-buru mengedip, anak rambut yang menjutai di
sisi kiri wajahku ku selipkan ke telinga.Oh pasti karena seragam baruku yang masih
cemerlang ini yang membuatnya bisa menebak seperti tadi, kan? Batinku.
“Iya” jawabku sigkat. Laki-laki itu tersenyum lagi, “Aku tahu karena jepit ungumu.”
“Hah?” rahangku kontan terjatuh, jepit di sisi kiri kepalaku ku sentuh tanpa sadar.
Rasanya, kok orang di sampingku ini semakin tidak jelas ya? Apa dia sedang
meramalku lewat jepit ungu yang sekarang aku pakai?
Aku baru saja ingin bertanya apa maksud pertanyaannya tadi, tapi segera ku urungkan
ketika salah satu sifatku mengatakan kalau itu tidak penting untuk dibahas. Terserah deh mau
tau dari mana. Tanpa memerdulikan lelaki itu yang sekarang tengah sibuk sendiri dengan
buku catatannya, aku kembali fokus pada jalanan. Menunggu bus. Iya, abaikan saja peramal
tidak jelas ini. Pokoknya abaikannn! Harussssssssssss!

96
***
Hari kedua, aku masih belum mendapatkan teman. Mungkin ini karena kesalahanku
sendiri yang memang sulit bergaul dan punya ketentuan khusus dalam mencari teman. Aku
bukannya sombong, hanya saja aku benar-benar ingin mengetahui karakter seseorang terlebih
dahulu sebelum benar-benar menjalin hubungan bergelar ‘akrab’ itu.
Aku baru keluar dari kelas setelah dua puluh menit bel selesai berdering. Sama seperti
kemarin, aku melakukannya untuk menghindari keramaian yang dipenuhi kasak-kusuk tidak
jelas. Bus yang mengarah ke rumahku datang tepat saat kakiku baru memijak konblok halte.
Dengan terburu-buru aku mendekati pintu bus di mana kondekturnya barusan turun untuk
memersilahkan untuk masuk.
Namun, belum sampai kakiku memijak dasar bus, tiba- tiba saja tanganku ditarik
mundur sampai aku hampir terjungkal seandainya tidak sigap menjaga keseimbangan.
“Apa, si…”
“Your pencil case!” Orang itu tiba-tiba menyela. Tangan dari wajah yang belum ku
lihat itu menyodorkan tempat pensil bertuliskan I AM A3 berwarna ungu seperti
kepunyaanku. Ah, memang punyaku maksudnya. “Jatuh. Risleting tasmu terbuka” lanjutnya
sambil memutar tubuhku ke depan lalu menarik risleting tasku dengan santai. Menyimpan
pencil case tadi ke dalam tas lalu menutup celah di sana sampai tak bersisa.
Aku terkesiap, napasku tertahan sebentar dan tubuhku menegang. Sejak kapan ada
orang ketiga di antara aku dan pak kondektur di sini? Perasaan, tadi sepi-sepi saja deh.
Tubuhku segera berbalik lagi dan mengucapkan terima kasih setelah orang itu mengatakan
sudah untuk pekerjaannya. Ketika kepalaku mendongak dan mendapati manik hitam orang
yang tingginya lebih dari dua jengkal dariku itu, aku membeku. Ingatanku berbisik Peramal
dan Jepit UnguHuh, kenapa harus ketemu, sih?
Pikiranku masih berhenti pada titik yang entah apa topiknya, dengan mata yang
sepenuhnya ku sadari masih memaku pada milik si peramal yang sedari tadi terus mengulas
senyum dan aku sialnya karena aku tidak segera berpaling. Bagitu aku mengedip sadar, tepat
saat itu juga bus yang akan ku masuki itu melenggang lebih dulu. Kondekturnya sempat
mencebik kesal karena kami berdua tidak kunjung masuk ataupun menyahut panggilannya.
Napasku terhembus kecewa. Bus pergi artinya menunggu lagi. Dan menunggu akan
selalu jadi pekerjaan yang berada di urutan teratas dalam hal-hal yang dibenci manusia. Aku
ini kan manusia juga. Berbeda denganku, si peramal itu justru tenang-tenang saja. Ku lirik
dia berjalan menuju kursi tunggu halte yang kemudian duduk di sana dengan goodie bag
hitamnya yang dibiarkan terduduk di konblok halte. Dengan malu-malu, aku mengikutinya.
Aku kan juga tidak mau menambah kejenuhan serta lelah karena harus menunggu sambil
berdiri di bawah terik matahari jam tiga sore.
Untuk beberapa menit, keheningan menjadi satu-satunya pengisi suara di antara kami.
Beberapa transportasi yang melaju di depan kami jadi pemandangan tersendiri selama menit-
menit mebosankan ini. Seharusnya, aku merasa tenang dengan ketenangan seperti ini. Sebuah
sensasi yang selalu susah payah ku cari-cari di antara rusuhnya dunia. Tapi alih-alih begitu,
kali ini aku justru terusik. Mataku kualihkan ke kanan, menatap dalam diam si peramal di
sampingku itu yang sedang berkutat dengan buku catatan dan penanya. Untuk pertama
kalinya-dari beberapa fase yang telah ku lupakan, aku ingin mencampuri urusan orang lain.
Aku begitu penasaran.
“Kamu menulis apa?”
Sampai akhirnya aku benar-benar mengutarakan rasa penasaran itu. Dia menoleh,
kedua alisnya terangkat kompak sebelum akhirnya suara dehaman tanda berpikir itu
merespon pertanyaanku.
“Hanya poin untuk melukis”

97
“Poin untuk melukis?” Aku bertanya lagi. Sumpah demi apapun, aku merutuki diriku
yang terlalu ingin tahu ini, “Kenapa harus di buat poin?” Senyum simpulnya terulas, “Karena
aku tidak bisa mengingatnya terlalu lama”
Aku ber ‘ah’ ria, kurasakan kepalaku ikut naik beberapa centimeter tanpa sadar. Lalu
pertanyaan penasaran lainnya terlontar lagi tanpa izin.
“Kenapa tidak difoto?” Dia termenung beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk
mengiyakan.
Aku berpaling menuju jalanan di depanku lagi setelah itu, rasanya lega sekali telah
mengungkapkan rasa penasaranku-yang baru ku sadari sangat penting. Namun, sekali lagi
aku dibuat terkejut ketika tiba-tiba lelaki itu sudah berada di depanku dengan tangan
kanannya yang terjulur kepadaku.
“Aku Aca” katanya. “Boleh tidak aku minta fotomu? Aku harus mengingatmu, kan?”
Deg!
Jantungku terasa berhenti berdetak. Namun, setelah debaran keras merasuki seluruh
isi dadaku. Menciptakan sensasi aneh yang melilit perut dan kerongkonganku sampai
tercekat. Aku sangat sadar kalau aku membeku dengan mata yang telah membulat sempurna
dan mulut yang agak terbuka. Kepalaku mendongak padanya dengan wajah yang ku tebak
telah pucat pasi. Maksudku, ini aneh dan agak sedikit mengerikan. Ada seorang lelaki yang
kemarin berlagak meramalku lewat jepit ungu yang kupakai, lalu hari ini lelaki itu
menyebutkan namanya sambil meminta fotoku dengan santainya.
Sungguh, aku ingin tertawa sekaligus menangis kebingungan. Dengan susah payah
aku menelan air ludahku sendiri, tanganku bergerak mengusap wajahku lalu menarik
beberapa helai rambutku ke belakang mengikuti jalur jepit ungu yang hari ini kupakai lagi.
Dan semuanya menjadi lebih aneh ketika aku menerima jabatan tangannya sambil
mengangguk.
“Yugi”
Lalu, dia tersenyum, ponselnya dikeluarkan dari saku sampai akhirnya suara ‘klik’
menyadarkanku kalau semuanya telah berubah.
***
Aku tahu ini aneh, atau mungkin sudah masuk ke dalam kategori gila. Sejak kemarin
saat Aca menjabat tanganku dan mengabdikan wajahku lewat kamera ponselnya, lalu dia
yang sempat mangatakan akan melukis wajahku itu, telah berhasil membuat senyumku tak
juga luntur sepanjang hari ini.
Bagaimanapun juga, aku tidak bisa berkilah kalau aku merasa tersanjung akan dilukis
oleh seseorang. Belum lagi, Aca sempat menunjukkan beberapa lukisannya yang sangat
keren yang dia simpan di dalam goodie bag-nya kemarin itu. Rasanya seperti, aku baru saja
menjadi model. Haha menggelikan.
Aku melangkah dengan cukup riang menuju halte. Rambutku yang hari ini
dikuncirkarena ada pelajaran olahraga terasa bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti gerak
kepalaku. Sekali lagi, aku baru saja keluar dari kelas setelah dua puluh menit bel pulang
berbunyi. Aku masih ingin menghindari keramaian bersama kasak-kusuknya, tapi itu juga ku
lakukan dengan harapan dapat bertemu dengan Aca dan menanyakan lukisan wajahku
padanya.
Tidak lama sejak kakiku memijak konblok halte seraya menunggu bus, sosok Aca
kutangkap tengah menyeberang sambil menggenggam goodie bag-nya lagi. Senyumku
mengembang tanpa sadar. Melihat Aca datang, seperti melihat lembaran-lembaran uang yang
dihamburkan dari langit. Sangat menyenangkan.
Dia sudah sampai di hadapan ku ketika aku memutuskan untuk menyapanya terlebih
dahulu. Namun, sedikit mengejutkan ketika respon yang aku dapat adalah wajah datar dari
Aca. Dia memandangku seakan aku tidak pernah bertemu dengannya, kerutan dahinya

98
menyiratkan kalau dia bingung dengan kehadiranku. Padahal seharusnya aku yang bingung,
mengingat dia selalu hadir di halte dekat sekolahku tapi dia tidak sekolah di sini ataupun
terlihat sebagai pelajar yang bersekolah.
“Kamu siapa? Apa kita saling kenal?” Rahangku otomatis terjatuh. “Hah? Aku Yugi.
Yang kemarin ka…“
“Maaf, tapi aku tidak mengenalmu. Aku harus pulang!” potongnya yang kemudian
masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti di depan kami. Mataku nyaris tidak berkedip
melihat tingkah Aca barusan, kepalaku bergerak mengikuti pergerakan bus yang dimasuki
Aca tadi menjauh di telan jalanan.
Rasanya seperti ditampar, tapi tidak sakit. Perlakuan Aca tadi jelas membuatku
bingung sekaligus tersinggung. Hari itu, dia sok meramalku. Hari berikutnya, dia mengajakku
berkenalan, lalu meminta fotoku, dan hari ini dia pura-pura tidak mengenalku. Sungguh, aku
akan buat perhitungan dengannya.
***
Mataku menatap sinis pada laki-laki yang tengah berdiri di jarak dua meter di
samping kananku, yang sangat menyebalkan karena berkali-kali terus melirik ke arahku. Atau
memang aku, karena hanya tinggal kami berdua di sini.
Seperti biasa Anak rambutku yang tidak sampai terapit oleh jepit unguku menjuntai
ke depan wajah, bergerak – gerak setiap angin sore meniupnya dengan lembut. Aku
meniupnya dengan sebal, lalu mengaitkannya ke belakang telinga setiap kali juntaian rambut
itu justru jatuh ke depan mataku.
Ini bentuk perhitunganku karena kemarin Aca sangat menyebalkan dengan bilang
kepadaku bahwa dia tidak mengenaliku. Jadi, biarkan saja dia merasakan kejutekanku kali
ini. Aku akan membalas dengan pura-pura tidak mengenalinya—juga. Mana bisa dia seperti
itu, setelah memotretku ia dengan mudahnya berkata dia tidak mengenalku. Biar saja, aku
sumpahi dia cepat-cepat pikun sekalian.
Omong-omong, aku tidak mengerti kenapa jadi terlalu peduli pada sikap orang seperti
ini. Yang bahkan, Aca masih bisa ku sebut sebagai orang asing. Harusnya ku abaikan saja
ya?Kakiku ku hentakkan cukup keras karena sejak tadi bus yang kutunggu tidak juga datang,
sedangkan aku cukup gengsi untuk duduk setelah sejak tadi memilih berdiri dan Aca juga
sepertinya begitu.
Dengan terpaksa aku menoleh ke kiri, memastikan dapat menemukan bus tujuanku di
ujung jalan sana. Sudut mataku menangkap sekilas kalau Aca masih memerhatikanku,
sesekali laki-laki itu melirik isi goodie bag-nya yang entah tujuannya apa. Dan menit
setelahnya, mataku menangkap kalau kaki laki-laki itu bergerak menuju tempatku. Kakiku
otomatis mundur melihat pergerakannya yang tiba-tiba itu, dan aku tidak bisa bergerak lagi
ketika dia benar-benar berhenti di depanku dengan ekspresi yang tak terbaca.
“Kamu Yugi?” tanyanya. Aku mengerjap sadar, lalu mendecih jengkel. “Kenapa?
Kamu sudah meng…”
“Jepit ungu. Iya, kamu pasti Yugi.” Potongnya tiba-tiba, bersamaan dengan tangannya
yang menyentuh jepit ungu di sisi kepalaku. Sikapnya itu lagi-lagi membuatku berhasil
menahan napas karena risih.
“Apa sih?” aku protes, tubuhku ku tarik mundur menjauhinya. Dia tidak memedulikan
bahasa tubuhku yang menjauhinya itu, Aca justru sibuk mengeluarkan sesuatu dari goodie
bag-nya. Dan saat sesuatu itu sudah berada di genggamannya, aku menebak itu adalah
kanvas berukuran kecil.
“Kemarin kita bertemu tidak?”
Aku mengernyit. Sepertinya Aca punya gangguan otak, atau sumpah serapahku telah
dikabulkan Allah SWT dan membuatnya pikun. Jelas-jelas kemarin kita bertemu dan dia

99
berkata kalau dia tidak mengingatku, masa dia tidak ingat. Apa dia mau lari dari kesalahan,
ya?
“Iya, dan kamu bilang tidak ingat aku” jawabku dingin.
Wajah Aca tiba-tiba berubah sendu, dia diam sebentar. Lalu kalimat itu meluncur
dengan intonasi rendah yang nyaris membuatku tak sadar kalau barusan dia berbicara.
“Maaf” katanya.
Aku tercenung. Perubahan garis muka dan nada bicaranya itu membuatku jadi tidak
tega untuk memertahankan niatan balas dendamku ini. “Tidak apa-apa, aku juga tidak…“
“Prosopagnasia” tiba-tiba Aca memotong, melontarkan kata aneh yang tak bisa ku
pahami. Apa tadi, katanya? Indonesia? Baru saja aku ingin bertanya, tapi Aca sudah lebih
dulu menyahut. Menjelaskan kalimat anehnya barusan yang dalam satu detik berhasil
membuat otakku rasanya berhenti bekerja.
“Aku tidak bisa mengenali wajah orang lain atau bahkan diriku sendiri, kecuali
dengan ciri tertentu”
“Hah?”
“Tapi aku mengenalimu, jepit ungumu tepatnya”
Aku bergeming. Mataku juga rasanya belum berkedip, bahkan ketika Aca tiba-tiba
menyerahkan kanvas ukuran kecil padaku “Di buku catatanku tertulis, jika aku bertemu
dengan gadis yang memakai jepit ungu, itu adalah murid baru, namanya Yugi. Dan aku sudah
berjanji akan melukis wajahnya, juga dengan jepit ungunya”
***
Ibuku selalu memakai bandana berwarna merah, di rumah ataupun di luar rumah,
pakaiannya sederhana dan lebih sering berwarna pastel, suaranya lembut, aku sudah hafal di
luar kepala bahkan saat menutup mata. Ayah memiliki bekas luka di keningnya, tidak pernah
bisa hilang karena katanya tergores terlalu dalam. Pakaiannya, rata-rata kemeja dan berwarna
cokelat atau hitam. Suaranya berat dan serak akan ketegasan. Kakak perempuanku sedikit
tomboi, snapback hitam dengan bordiran ‘WEIRDOS’ selalu menghiasi kepalanya yang
berambut hitam pendek itu. Dan meski tomboi, suaranya akan tetap nyaring kemanapun.
Guru homeschoolingku, seorang wanita muda berambut pirang dengan kaca mata
berbingkai hitam bergaris putih di sepanjang batangnya. Suaranya, lebih tinggi dibandingkan
ibu tetapi tak pernah mengalahkan kakakku. Lalu, guru lukisku adalah seorang pria berumur
tiga puluh tahun yang tak pernah melepas flatcap dari kepala dan cardigan maroon
kebanggaannya saat mengajar. Nada suaranya selalu santai, selalu seperti kakak
perempuanku.
Aku sendiri, hanya remaja laki-laki dengan rambut berpotongan rapi berwarna cokelat
gelap. Hidungku mancung, wajahku tirus dengan rahang yang keras, manik mataku berwarna
hitam legam dengan bentuk yang ku syukuri sangat sempurna. Dan semua itu, cermin yang
berkata. Bukan aku. Ada note kecil di cermin setinggi 180 cm dalam kamarku, dengan tulisan
‘Itu dirimu Aca’ Dan aku selalu tersenyum getir setiap membacanya-tentu sambil bercermin.
Lalu bergumam sendiri “Ah, aku lupa”
Untuk diriku sendiri dan semua orang terdekatku itu sudah melekat erat dalam
kepalaku. Suaranya, pakaiannya, dan warna rambutnya. Namun tidak untuk wajahnya. Risiko
dari seorang pengidap Face Blindness. Prosopagnosia.
~END~

100
Biodata Penulis
Nama : Nur Hidayat Ahmad
TTL : Pare-Pare, 24 April 2001
Alamat : Jl. A. P. Pettarani
Hobi : Bulu Tangkis
Cita-Cita : Polisi
Nama Orangtua
a. Ayah : Dra. Hj. Maswahida
b. Ibu : Drs. Ahmad Abdillah. MM
Instagram : @nrhdytahmd_
Motto : Sukses ngga harus pintar

101
Maybe, I Love You
Oleh :
Nur Husbayana Febriana Husain

Gemercik air hujan membasahi jendela kamarku, embusan angin yang sangat dingin
menyambut pagiku yang begitu indah yang membuatku bangun dari tidurku dan menyuruhku
untuk pergi ke sekolah. Namaku Alena Alveria, biasanya teman-temanku panggil aku Lena,
kini aku telah duduk di bangku SMA walaupun usia ku pada saat masuk SMA masih 14
tahun, tapi nggak berarti aku nggak bisa bersaing dengan teman-temanku yang lebih tua
daripada aku.
“Lena sayang bangun udah siang nanti kamu telat!” teriak Mama.
“Iya Ma bentar lagi” jawabku malas.
Saat aku belum sepenuhnya sadar dari tidurku, aku nggak sengaja liat jam di samping
tempat tidurku ternyata sudah pukul 06:30.
“Waaa… Mama kenapa nggak bangunin Lena?!” teriakku dari kamarku dan langsung
ke kamar mandi dan siap-siap pergi ke sekolah.
“Kamu nggak sarapan Len?” tanya Mama.
“Enggak deh Ma, aku buru-buru bentar lagi masuk” jawabku ke Mama.
“Ma pergi dulu yah” ucapku sambil mencium tangan Mama.
“Iya sayang kamu hati-hati yah” ucap Mama.
***
Sesampainya aku di sekolah, aku nggak sengaja nabrak seseorang tapi aku nggak tau
dia siapa.
“Aduh…lo tuh gimana sih? Kalau jalan itu pake mata!” kataku.
“Gue yang seharusnya bilang gitu ke lo” kata cowok itu yang super judes.
“Lo tuh kalau jalan pake mata nggak sih” kata cowok itu lagi dan pergi gitu aja
ninggalin aku tanpa minta maaf ataupun bantuin aku berdiri.
“Dasar cowok nyebelin” kataku sambil berdiri.
Akhirnya aku lari dan masuk barisan yang lainnya.Ya, hari ini hari pertama aku
masuk sekolah dan juga upacara pertama aku setelah libur kenaikan kelas di SMA Garuda.
“Lo dari mana aja? Tumben lo telat?” tanya Eca.
“Telat bangun Ca” jawabku singkat, karena upacara sebentar lagi akan dimulai yang
akan di pimpin oleh anggota OSIS dan Dilanjutkan oleh sambutan singkat dari kepala
sekolah dan ketua OSIS baru SMA 6 Garuda.
Sesudah sambutan yang di lakukan oleh kepala sekolah saatnya sambutan dari ketua
OSIS SMA Garuda.
“Assalamu’alaikum wr.wb.”
‘Haa…ternyata cowok nyebelin itu ketua OSIS sekolah ini’ ucapku dalam hati.
“Ca, emang ketua OSIS kita sekarang dia?” tanyaku.
“Iya” jawabnya.
“Kok aku baru liat dia?” tanyaku.
“Ya iyalah, diakan murid pindahan dari Bandung dan lo nggak sempet liat dia, karena
lo udah libur duluan sebelum waktunya” jawabnya.
“ohh” jawabku.
“Kenalkan nama saya Arkhan Adinata panggil saja Arkhan. Saya berdiri di sini
sebagai ketua OSIS baru di sekolah ini. Saya berterima kasih kepada kalian semua karena
sudah memilih saya sebagai ketua OSIS sekolah ini dan saya akan menjalankan tugas saya
dengan baik. Sekian dan terima kasih”

102
Saat ia mau balik badan, mataku nggak sengaja bertemu dengan matanya dan aku
nggak ngerti maksud dari tatapannya itu.
“Aduh gimana nih? Tapi biarlah gue kan juga nggak sengaja nabrak dia” ucapku.
“Len lo kenapa?” tanya Eca.
“Ah nggak pa-pa kok?” jawabku bohong.
Setelah upacara selesai aku langsung cari kelasku dan ninggalin Eca dan aku nggak
sengaja liat Mika.
“Mika!” teriakku.
“Lena apa kabar?” tanya Mika balik.
“Baik, ke mana aja lo?” tanyaku.
“Gue dari Yogya, gue baru pulang kemarin” kata Mika.
“Lo udah tau kelas lo di mana?” tanyaku.
“Gue belum tau sih” jawabnya.
“Semoga kita sekelas ya Mik”ucapku.
Mika adalah sahabatku dari SMP, biarpun kami nggak sekelas tapi kita sering
ngumpul bareng. Namun Mika belum kenal sama kedua sahabatku, aku bicara panjang lebar
pada Mika soal dia tiba-tiba ke Yogya dan nggak beri tauku dan masih banyak lagi yang aku
ceritain ke dia. Akhirnya aku sama Mika memutuskan ke kantin karena perutku udah dari tadi
pengen makan.
Sesampainya aku dan Mika di kantin, aku langsung duduk dan mesen makanan dan
aku liat Eca dan Dila yang sedang jalan menuju bangku kami.
“Woii kok lo pada nggak ngajak kita sih?” tanya Eca.
“Hehe abisnya lo lama banget di lapangan sih, maapin ya” jawabku.
“iya iya” jawab Eca dan langsung duduk di samping Mika dan Dila di sampingku.
“Eh kenalin ini Mika temen lamaku dan sahabatku dari SMP, yang pernah aku
ceritain ” ucapku pada mereka yang lagi pada bingung.
“Hai Mika” ucap Eca dan Dila bersamaan.
“Hai semoga kita bisa jadi sahabat ya” jawab Mika.
“Tentu” ucap mereka berdua dengan senang hati.
Hening beberapa saat….
“Oh ya Len, nanti sore gue ke rumah lo ya“ ucap Eca.
“Iya, tapi lo bawa makanan sendiri ya” ucapku.
“Dasar pelit” jawab Eca.
“Biarin” kataku.
“Gue ikut” ucap Dila.
“Ok, nanti gue jemput lo ya Dil” ucap Eca.
“Mik lo mau ikut nggak, kalau lo mau kita ketemu di halte deket sekolah, nanti kita
jemput lo di situ” ucap Eca.
“Hmm boleh deh” jawab Mika.
Hening kembali. Saat aku udah selesai makan, aku nggak sengaja ngeliat ketua OSIS
yang nyebelin itu masuk ke kantin. Aduh mampus nih semoga aku nggak diliat sama tuh
orang.
“Len lo liatin siapa sih?” tanya Mika.
“Itu loh ketua OSIS baru kita yang super nyebelin” jawabku.
“Ah Kak Arkhan? Orang Kak Arkhan ganteng banget” ucap Eca.
Arkhan Adinata mempunyai wajah tampan dan disukai banayak cewek. Arkhan selalu
di bicarakan oleh siswi-siswi SMA Garuda karena ketampanannya dan juga berprestasinya
dan kalian tahulah kalau Arkhan juga ketua OSIS yang super nyebelin dan dingin. Walaupun
orangnya judes dan dingin tapi ia akan lemah pada orang yang dicintainya dan hal itu
membuat banyak siswi yang suka dengannya tapi gue biasa aja tuh.

103
“Kak Arkhan nyebelin kenapa?” tanya Mika.
“Itu loh, tadi pagi gue hampir telat gara-gara dia” jawabku.
“Emang kenapa?” tanya Eca.
“Tadi pagi gue nggak sengaja nabrak orang saat gue mau baris tadi” jawabku malas.
“Dan orang yang aku tabrak itu dia” jawabku lagi.
“Serius” ucap Eca.
“Iya, dia itu nyebelin banget, bukan bantuin gue berdiri tapi dia malah ninggalin gue.
Jadinya kan gue kesel sama tuh orang” jawabku panjang lebar.
“Hahahahaha” mereka bertiga malah ketawain aku kenceng banget, untung nggak
banyak orang.
“Kok lo pada malah ngetawain sih, emang ada yang lucu apa?!” ucapku kesel.
“Iya iya nggak bakal ketawa lagi” ucap Dila.
“Kasian banget sih sahabat gue yang satu ini” ucap Eca sambil nepuk pundakku.
“Apa sih Ca?” tanyaku yang mulai kesel.
“Udah nggak pa-pa kok, lo juga kalau jalan liat ke depan jangan ke belakang” ucap
Dila.
“Ish kalian temen gue apa bukan sih?! Kok kalian malah ngebelain dia sih!” ucapku.
“Gue nggak ngebelain siapa-siapa Len” jawab Dila.
“Tau ah, gue mau cari kelas dulu” ucapku dan langsung keluar dari kantin. Akhirnya
aku nemuin kelasku dan ternyata aku sekelas dengan mereka bertiga bahagianya hidupku.
***
Beberapa hari kemudian….
Aku nggak sengaja berpa-pasan dengan Kak Arkhan gimana nih?
“Eh lo kan yang namanya Alena?” tanya Arkhan.
“Iya Kak, ada apa ya Kak?” tanyaku.
“Lo nggak ada yang mau lo bicarain ke gue?” tanya Arkhan lagi dengan tatapan yang
aku nggak ngerti.
“Nggak ada kok Kak” jawabku gugup.
“Ok, kalau gitu pulang sekolah lo harus temuin gue di ruang OSIS, nggak ada kata
penolakan, kalau enggak…” ucap Arkhan yang langsung ninggalin aku gitu aja.
“Kalau nggak kenapa Kak?” tanyaku tapi dia tidak menghiraukan pertanyaanku.
Sesampainya aku di kelas aku langsung duduk di samping Eca.
“Ca gue mau cerita nih?” ucapku.
“Tadi gue nggak sengaja ketemu sama Kak Arkhan dan dia ngajak gue ketemuan Ca”
jawabku.
“Serius lo” jawab Eca. “Kok lo bisa diajak ketemuan sih Len?” tanya Eca.
“Mana gue tau Ca” jawabku lagi.
“Yaudah lo temuin aja” ucap Mika dari belakang dan akhirnya aku memutuskan
untuk nemuin Kak Arkhan di ruang OSIS.
Bel pulang sekolah, aku deg-degan banget dan langsung ke ruang OSIS cari Kak
Arkhan yang super nyebelin itu. Sesampainya aku di ruang OSIS aku disuruh duduk sama
Kak Arkhan.
“Duduk” ucapnya.
“Maaf Kak, ada apa yah nyuruh gue ke sini?” tanyaku.
“Handphone lo mana?” tanya Kak Arkhan to the point.
“Emang kenapa dengan handphone gue Kak?” jawabku.
“Gue nggak mau ambil handphone lo, sini handphone lo” ucapnya lagi dan akhirnya
aku kasih handphone aku dan aku nggak tau dia ngapain handphoneku.
“Nih nomor gue dan Id Line gue” ucapnya. “Itu doing, sekarang lo boleh pulang”
ucapnya lagi dan aku nurut aja apa yang dia bilang.

104
Sesampainya di rumah aku ngambil hpku yang berbunyi dari tadi tanda ada telepon
masuk dan siapa lagi kalau bukan Eca.
“Ada apa Ca?” tanyaku.
“Kita udah di depan rumah lo, bukain pintunya Len. Gue dari tadi teriak tapi nggak
ada yang bukain pintu” jawab Eca dari seberang telepon.
“Iya iya” jawabku dan matiin telepon dan turun ke bawah.
“Lo kemana aja sih Len?” tanya Mika.
“Maap gue nggak denger” jawabku dan mereka langsung masuk kerumahku dan
sampai malam hari mereka juga belum pulang dari rumahku.
Aku yang udah bosen banget ngeliat mereka yang sibuk dengan film korea yang ada
di laptopku sampai-sampai aku disuruh-suruh sama mereka kan kesel. Hpku bunyi ada
notifikasi masuk ternyata Line dan aku buka Lineku, aku kaget ternyata yang Line aku itu
Kak Arkhan tapi aku bingung mau balas atau tidak dan akhirnya aku balas chatnya dan sibuk
sendiri dengan kegiatanku sampai mereka bertiga mau pulang.
***
Beberapa bulan kemudian aku udah mulai deket sama Kak Arkhan, aku juga udah
minta maaf ke dia soal aku yang nggak sengaja nabrak dia dan Kak Arkhan udah maafin aku.
Aku nggak tau tapi kayaknya dia udah nggak nyebelin lagi dan nggak dingin lagi saat aku
ketemu sama dia. Kayaknya dia udah berubah, tapi kayak ada yang aneh dengan dia. Tapi
aku nggak ambil pusing dengan itu.
“Ca temenein gue ke toilet dong” ucapku.
“Yaudah yuk” jawab Eca.
“Len lo duluan aja ke kelas ya, gue mau ke perpus dulu mau ambil buku” ucap Eca.
“Yaudah gue duluan Ca” jawabku dan pergi ninggalin Eca.
Jam istirahat telah tiba semua murid berhamburan keluar kelas untuk mengisi perut
mereka tapi aku nggak, aku masih tinggal diam di kelas dan aku berinisiatif untuk ke taman
belakang sekolah. Saat aku lagi jalan sendirian di koridor sekolah ada segerombolan Kakak
kelas yang halangi jalanku.
“Permisi Kak saya mau lewat” ucapku sambil jalan melewati mereka tapi belum
beberapa langkah ada tangan yang menarik lenganku, ternyata Kak Audy yang banyak
dibicarakan sama siswi-siswi di sekolah ini dan Mika juga sering cerita soal dia ke aku.
Sepintas terlintas apa pernah diucap Mika soal Kak Audy.
“Len lo harus hati-hati sama Kak Audy” ucap Mika.
“Emang kenapa? Gue nggak ngelakuin apa-apa Mik” jawabku
“Gue tau lo deket sama Kak Arkhan, tapi Kak Audy pasti nggak ngebiarin lo deket
sama dia” ucap Mika yang khawatir sama aku. Mika emang tau kalau aku deket sama Kak
Arkhan begitupun dengan Eca dan Dila mereka semua tau itu.
“Len Kak Audy itu pernah pacaran sama Kak Arkhan” ucap Mika.
“Terus apa urusannya sama gue Mik?” tanyaku.
“Urusannya karna lo deket sama Kak Arkhan, maka dari itu lo harus hati-hati sama
Kak Audy, takutnya lo diapa-apain sama dia” ucap Mika.
“Tapikan Mik aku nggak pernah ngapa-ngapain dia” ucapku.
“Len, Kak Audy itu nggak terima diputusin sama Kak Arkhan, makanya kalau ada
siswi yang lagi deket sama Kak Arkhan, dia tidak akan tinggal diam” ucap Mika
“Tapi apa hak dia ngelarang Kak Arkhan deket sama cewe Mik?” tanyaku.
“Karena dia masih suka sama Kak Arkhan Len, jadi lo harus hati-hati sama dia,
apalagi lo sekarang lagi deket sama Kak Arkhan” ucap Mika.
“Eh? Lo yang namanya Lena kan?” tanyanya.
“Iya Kak saya, ada apa ya Kak?” jawabku gugup.
“Jadi lo yang deket sama pacar gue?” tanyanya.

105
“Maaf Kak, tapi saya nggak pernah dekat sama pacar Kakak” jawabku.
“Lo jangan munafik deh, lo tuh masih adik kelas tapi lo udah berani rebut pacar
Kakak kelas lo sendiri” ucap Kak Audy. “Lo mau tau siapa pacar gue, pacar gue itu
ARKHAN ADINATA” ucapnya yang menekan nama Arkhan Adinata.
“Maaf Kak, tapi yang saya tau, Kakak itu udah putus sama Kak Arkhan” jawabku.
“Berani ya lo ngejawab gue” ucapnya.
“Maaf Kak, tapi saya sama Kak Arkhan cuman sebatas teman nggak lebih Kak”
jawabku.
“Kalau lo mau nggak terjadi sesuatu sama lo, lo harus jauhin Arkhan ngerti” ucapnya
dan pergi ninggalin aku gitu aja. Aku nggak bisa berpikir jernih karena ancamannya yang
begitu menakutkan dan aku nggak tau mau ngapain sekarang.
‘Apa aku harus ngejuhin Kak Arkhan?’ batinku.
***
Beberapa hari kemudian….
Semenjak kejadian itu aku cuman diam dan nggak pernah keluar dari kelas sampai bel
pulang sekolah pun aku tetap diam dan diajak bicarapun sama Eca, Mika dan Dila, aku
cuman jawab apa adanya.
“Len ada yang memanggil lo” ucap Dila.
“Siapa?” tanyaku.
“Kak Arkhan” jawab Dila.
“Gue nggak pengen ketemu sama dia Dil, lo bilang kalau gue udah pulang” ucapku.
“Len kamu kenapa?” tanya Arkhan yang tiba-tiba ada di depanku. Gaya bicaraku
dengan Kak Arkhan memang sudah berubah.
“Nggak pa-pa Kak” jawabku singkat.
“Kamu kenapa Len?” tanyanya lagi.
“Aku nggak pa-pa Kak, udah ya Kak saya mau pulang” jawabku dan pergi ninggalin
Kak Arkhan gitu aja.
‘Maaf Kak, saat ini aku nggak bisa ketemu sama Kakak karena aku takut ancaman
dari Kak Audy’ batinku.
***
Esok harinya Kak Arkhan ngajak aku ke taman belakang dan aku hanya mengiyakan
ajakan dia dan saat aku hampir sampai ke taman belakang, aku nggak sengaja ngeliat Kak
Audy yang merhatiin aku dari jauh. Aku nggak tau kenapa aku merasa kalau Kak Audy
sering banget ngikutin aku dan merhatiin aku, tapi aku nggak peduli soal itu.
“Ada apa Kak?” tanyaku to the point setelah aku sampai di taman.
“Len sebenarnya kamu kenapa sih? Kok kamu kayak ngehindarin aku?” tanyanya,
aku cuman diam dan tidak menjawab pertanyaannya.
“Len kamu kenapa? Jawab aku Len. Kalau aku ada salah sama kamu aku minta maaf
Len” ucapnya.
“Maaf Kak” jawabku.
“Kamu nggak perlu minta maaf Len, aku mohon kamu bilang ke aku kamu kenapa
dan kenapa kamu ngehindarin aku Len?” tanyanya lagi.
“Maafin aku Kak, seharusnya kita nggak pernah deket, seharusnya kita nggak pernah
ketemu Kak” jawabku dengan mata yang mulai berair.
“Aku mungkin belum tau Kakak seutuhnya, tapi aku mohon Kak tolong jauhin aku
Kak aku takut Kak” ucapku.
“Aku cuman mau belajar di sekolah ini Kak dan aku tidak mau cari masalah Kak, jadi
aku mohon sama Kakak tolong jauhin aku Kak” ucapku dan sekarang aku udah nggak bisa
nahan air mataku lagi dan mengalir gitu aja di pipiku.

106
“Udah Len jangan nangis, aku nggak bisa liat kamu nangis” ucapnya sambil ngelap
bekas air mataku dengan tangannya.
“Tapi kenapa aku harus ngejauhin kamu Len?” tanyanya yang mulai tampak gusar.
“Maaf Kak, saat ini aku nggak bisa ceritain ke Kakak kenapa aku ngehindar dari
Kakak” jawabku dan langsung pergi ninggalin dia.
***
Di rumah lagi ada Eca, Mika dan juga Dila, yah kalian tahulah kalau malam
mingguan gini kita lagi ngumpul mau ngapain lagi kalau bukan nonton drakor alias drama
korea hehehe…. Saat aku lagi asyik-asyiknya nonton, hp aku getar mulu tapi aku biarin aja
paling orang nggak penting atau iseng.
“Len ambil tuh hp lo, ribut tau gangguin kita lagi nonton” ucap Dila dan akhirnya aku
liat siapa yang nelpon, ternyata Kak Arkhan, tiba-tiba moodku jadi jelek saat aku liat nama
yang tertera di layar hpku.
“Siapa Len?” tanya Eca.
“Bayu” jawabku bohong.
“Tumben tuh anak nelpon lo” ucapnya.
“Mana gue tau, yaudah ya gue mau angkat telepon dulu” ucapku dan ninggalin
mereka.
“Ada apa Kak?” tanyaku.
“Len, kamu ada waktu nggak sekarang?” tanyanya dari seberang telepon.
“Emang kenapa Kak?” tanyaku.
“Aku pengen ketemu sama kamu boleh” jawabnya.
“Boleh, tapi cuman sebentar ya Kak, karna aku lagi sibuk” jawabku.
“Nggak pa-pa, di taman deket rumah kamu ya Len” ucapnya.
“Iya” jawabku dan langsung matiin hpku.
“Lo mau kemana Len?” tanya Eca yang ngeliat aku siap-siap.
“Gue mau ke supermarket bentar” jawabku bohong.
“Lo mau titip sesuatu nggak Ca?” tanyaku.
“Ice cream ya Len” jawab Eca.
“Kalau kalian berdua?” tanyaku lagi.
“Samain aja” jawab Mika dan Dila bersamaan.
***
Sesampainya aku di taman, aku udah lihat Kak Arkhan udah ada di sana duluan.
“Maaf Kak, nunggu lama” ucapku.
“Nggak pa-pa, aku juga baru sampai” ucapnya.
“Ada apa ya Kak?” tanyaku.
“Sebenarnya aku udah lama mau bilang ini ke kamu” jawabnya.
“Emang Kakak mau bilang apa?” tanyaku lagi yang mulai penasaran apa yang akan
dia katakan selanjutnya.
“Jadi saat terakhir kali kita ketemuan di taman saat kamu bilang kamu takut ketemu
sama aku, awalnya aku belum paham tapi saat aku mau ke kelas, aku melihat Audy yang lagi
bicarain ancaman apa yang akan diberikan padamu kalau dia ngeliat kamu deket sama aku
dan saat itu aku ngerti kamu ngejauhin aku gara-gara dia” jawabnya sambil ngeliat aku, aku
cuma nundukin kepala.
“Maaf Kak, aku nggak tau harus buat apa, aku takut dengan ancaman Kak Audy, aku
cuma mau hidup tenang Kak, itu doang” ucapku.
“Aku tau, tapi kamu nggak perlu takut, ada aku yang akan lindungin kamu, aku nggak
akan biarin siapapun yang nyakitin orang yang aku suka” ucapnya.
“Maksud Kakak apa?” tanyaku dengan polosnya.
“Bukan apa-apa, nanti kamu akan ngerti sendirinya” jawabnya.

107
“Tapi kalau aku deket sama Kakak, takutnya aku diapa-apain sama Kak Audy”
ucapku lirih.
“Nggak akan terjadi sesuatu sama kamu Len, selama aku hidup, aku janji aku akan
ngelindungin kamu” ucapnya sambil megang tanganku.
“Makasih Kak, aku ngerasa aman dan nyaman berada di dekat Kakak” ucapku dan
langsung meluk dia.
“Maaf Kak, nggak sengaja” ucapku malu.
“Kalau gitu aku anterin kamu pulang ya?” ucapnya sambil megang tanganku dan aku
hanya membalasnya dengan anggukan.
“Tapi kita ke supermarket bentar ya Kak” ucapku.
“Iya, kemanapun kamu mau pergi, aku pasti nganterin kamu” ucapnya sambil megang
tanganku dan langsung pergi dari taman.
‘Nggak tau kenapa, aku merasakan sebahagia ini deket sama dia, aku nggak mau
kehilangan dia, apa mungkin aku mulai mencintainya?’ batinku.
Terima kasih telah tidak memandang buruknya aku di masa lalu, menerima segala
kekuranganku, berusaha terus menjadi pelengkapku, menjagaku, melindungiku dan berusaha
membuatku bahagia. Walaupun awalnya aku membencimu tapi saat aku mengenalmu lebih
jauh aku merasa kamu udah beda, kamu udah nggak dingin lagi dan kamu juga nggak
nyebelin lagi. Aku bersyukur atas hal itu dan itu yang mungkin membuat aku mempunyai
perasaan yang lebih terhadapmu.
~END~

108
Biodata Penulis
Nama : Nur Husbayana Febriana Husain
TTL : Garessi, 08 Februari 2002
Alamat : Garessi
Hobi : Membaca dan jalan-jalan
Nama Orangtua
a. Ayah : H. Muhammad Husain (Alm)
b. Ibu : Dra. Hj. St. Rahmatiah
Motto : Lebih baik merasakan pendidikan sekarang daripada rasa
pahitnya kebodohan kelak.

109
Tempat Teduh
Oleh :
Nur Husbayana Febriana Husain

Aku terbangun dari tidur karena mendengar teriakan Mamaku. Aku langsung bangun
dari tidurku dan aku segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap
untuk ke sekolah. Kenalin namaku Shafira Hendranansyah, aku mempunyai saudari kembar
yang bernama Shafana Hendranansyah. Aku masih duduk dibangku SMA, aku sekolah di
SMAN 01 Trimurti, sedangkan saudari kembarku sekolah ditempat yang berbeda denganku.
Aku merasa kesepian ketika ia tidak ada, sekarang Shafana tinggal bersama dengan Nenek
karena sekolahnya tidak jauh dari rumahnya.
***
Ting…Ting…Ting…
Bel istirahat sudah berbunyi 5 menit yang lalu dan aku masih duduk di kelas
membaca buku favoritku.
“Fir ada yang nyariin kamu tuh” ucap Gia di depan pintu kelas.
“Siapa?” tanyaku ke Gia tanpa melihatnya. Gia adalah teman sekelasku.
“Azka” jawab Gia lagi dan aku langsung melihatnya yang sedang tersenyum.
“Yaudah suruh masuk aja” ucapku sambil melanjutkan aktivitas membacaku yang
sempat tertuda.
“Fir kamu udah makan?” tanya Azka saat sudah di hadapanku.
Aku dan Azka adalah sepasang kekasih, aku sudah berpacaran dengannya selama 2
tahun lamanya. Suka dan duka sudah kami lalui bersama sama-sama. Teman-temanku dan
keluargaku sudah mengetahui hubunganku dengannya.
“Kamu harus makan, nanti kamu sakit” ujarnya sambil menyodorkan kotak ke arahku,
aku yang bingung langsung melihatnya.
“Apa ini?” tanyaku sambil melihatnya dengan tatapan bertanya.
“Aku buatin kamu makan siang” jawab Azka dan aku mengambil kotak bekal itu.
“Makasih, tapi harusnya aku yang buatin kamu bekal bukan sebaliknya” ujarku
sambil menunduk dan melihat kotak bekal yang sudah ada di tanganku.
“Udah nggak pa-pa, kamu kan bisa buatin aku bekal lain kali” jawabnya dengan
kekehan kecil sambil mengusap lembut rambutku.
“Kamu udah makan?” tanyaku dan Azka hanya menjawab dengan gelengan.
“Yaudah kalau gitu kita makan bareng aja” ucapku sambil menepuk kursi yang ada di
sebelahku agar ia bisa duduk.
Setelah selesai makan Azka segera kembali ke kelasnya karena bel masuk baru saja
berbunyi. Aku dan Azka memang berbeda kelas, aku yang mengambil jurusan IPA
sedangkan Azka mengambil jurusan IPS.
“Nanti pulang sekolah bareng aku ya!” teriak Azka yang sudah ada di depan kelas dan
aku hanya membalas ucapannya itu dengan anggukan.
***
Aku baru saja sampai diparkiran dan aku sudah melihat Azka yang sedang menunggu
di samping motornya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Maaf kamu lama nunggu ya, tadi aku ada tambahan pelajaran” ucapku saat sudah
sampai di hadapannya.
“Iya nggak pa-pa, yaudah ayo pulang” ujarnya sambil tersenyum dan memakaikanku
helm.
Beberapa menit kemudian aku dan Azka sudah sampai di halaman rumahku, karena
rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah.

110
“Makasih udah mau ngaterin” ujarku saat sudah hendak dari motornya dan
melepaskan helm dari kepalaku dan merapikan rambutku, aku tersenyum melihat perlakuan
Azka terhadapku.
“Makasih” tambahku.
“Iya sama-sama, kamu kan pacar aku” ucapnya sambil mengusap pelan rambutku.
“Kamu mau mampir dulu” tanyaku sambil melihatnya.
“Nggak usah, salamin aja sama Mama kamu” ucapnya sambil tersenyum.
“Yaudah hati-hati dijalan ya” ujarku saat hendak masuk ke rumah. Dan diapun
kembali menaiki motornya dan segera pergi dari halaman rumahku.
Aku sudah masuk ke dalam rumah, tapi aku hanya melihat Mamaku yang tengah
asyik menonton TV. Biasanya Ayahku sudah pulang saat sore hari tapi hari ini sudah pukul
16.30 aku belum melihat Ayahku berada di rumah. Aku segera menemui Mamaku yang
sedang menonton TV sambil memakan makanan ringan.
“Assalamu’alaikum” ucapku saat memasuki rumah dan mencium punggung tangan
Mamaku.
“Waalaikum salam” jawab Mamaku sambil tersenyum.
“Ma, Ayah belum pulang?” tanyaku saat sudah duduk di samping Mamaku.
“Belum, katanya dia ada kerjaan di luar kota, mungkin Ayahmu akan pulang agak
sorean” jawab Mamaku sambil mengganti siaran TV.
“Oh, yaudah aku masuk kamar dulu ya Ma” ujarku sambil berdiri dan meninggalkan
Mamaku yang masih asyik menonton TV.
***
1 bulan kemudian…
Beberapa hari ini aku selalu berangkat bersama dengan Azka, aku menjalani hari-
hariku dengan menyenangkan. Hari ini adalah hari lMamar, sepanjang hari aku hanya berada
di rumah, aku nggak tau apa yang harus aku lakukan. Tiba-tiba ponselku berdering, aku
lansung mengambilnya dari atas nakas dan melihat siapa yang menelponku, tidak butuh
waktu lama aku segera mengangkat telponnya.
“Halo” ucapku saat sudah menjawab telponnya.
“Halo Fir” ujarnya di seberang sana.
“Ya ada apa?” tanyaku ke Azka.
“Hari ini kamu sMamak nggak?” tanyanya yang belum menjawab pertanyaanku.
“Nggak kok, kenapa?”tanyaku lagi.
“Jalan yuk” ucapnya dan aku hanya diam mendengar ucapannya.
“Fir kamu nggak mau yah” ujarnya lagi dan aku tersenyum mendengar suaranya yang
terdengar sedih.
“Iya aku mau” balasku sambil tersenyum.
Aku dan Azka sangat berbeda dengan pasangan kekasih lainnya yang selalu
menghabiskan waktunya setiap saat. Aku dan Azka hanya akan bertemu jika tidak ada
kesMamakan dengan sekolah. Aku dan Azka hanya bertukar kabar melalui pesan singkat jika
kami sedang sMamak dengan tugas-tugas yang sudah menumpuk.
“10 menit lagi aku jemput yah” ucapnya dan langsung memantikan sambungan
telponnya dengan sepihak.
Aku tertawa kecil melihat perilaku Azka yang tidak berubah selama 2 tahun ini. Aku
langsung bersiap-siap karena tidak lama lagi Azka akan menjeputku.
Aku mendengar suara Mamaku yang memanggil-manggil namaku dari luar kamar dan
aku langsung membuka pintu kamarku yang menampak wajah Mamaku.
“Ada apa Ma?” tanyaku saat sudah melihat Mamaku.
“Azka udah datang tuh” ucap Mamaku.

111
Sebelum aku bersiap-siap aku sempat memberi tahu orangtuaku bahwa aku dan Azka
akan pergi bersama dan Mama dan Ayahku memberikan aku izin untuk pergi bersamanya.
“Cepet banget, sekarang dianya mana Ma?” ujarku sambil melihat-lihat ruang tamu
tapi aku tidak menemukannya.
“Dia lagi ada di teras, lagi ngobrol sama Ayah kamu tuh” ucap Mamaku dan aku
hanya menatap Mamaku dengan tatapan bingung.
“Kayaknya Azka udah cocok buat jadi menantu Mama deh” goda Mamaku.
“Apaan sih Ma”ucapku malu dan masuk ke dalam kamar lagi untuk kembali bersiap.
***
Azka POV
Beberapa menit yang lalu...
Aku baru saja sampai di halaman rumah Shafira. Aku segera turun dan langsung
mengetuk pintu rumah Shafira.
Tok...Tok...Tok…
“Assalamu’alaikum” ucapku saat mengetuk pintu rumah Shafira dan tidak butuh
waktu lama pintu rumahnya terbuka dan menampakkan seorang pria paruh baya, dia adalah
Ayah Shafira.
“Waalaikum salam” balas Om Hendra.
“Nak Azka, mau jemput Fira yah” tanya Om Hedra dan aku hanya menganggukkan
kepalaku.
“Yaudah duduk dulu, Om mau ngomong sebentar sama kamu” ucap Om Hendra
dengan bingung.
“Mau ngomong apa Om?” tanyaku yang penasaran dengan apa yang akan dibicarakan
oleh Om Hendra.
“Om mau minta tolong kamu jagain Shafira yah, kamu jangan sakitin dia apalagi
mainin dia” jawab Om Hendra dan aku langsung mengaggukkan kepalaku.
“Pasti Om, saya janji akan menjaga Shafira dan tidak akan menyakitinya apalagi
sampai mainin dia” ucapku dan itu membuat Om Hendra tersenyum mendengar jawabanku.
Belum sempat membalas ucapanku tiba-tiba terdengar suara Shafira dari dalam rumah dan
segera menemuiku dan Om Hendra dan disusul dengan Mama Shafira.
“Ayah, Ma aku dan Azka pergi dulu ya” ucapnya sambil mencium punggung tangan
Ayah dan Mamanya begitupu denganku.
“Iya hati-hati di jalan, pulangnya jangan kemalaman ya” ujar Mamanya sambil
tersenyum dan kami hanya menjawabnya dengan anggukan. Aku dan Shafira pun segera
pergi.
Azka POV End.
***
Pukul 18.00 aku sudah berada di rumah, aku melihat Ayahku yang ingin keluar rumah
dan aku pun segera menemuinya.
“Ayah mau ke mana?” tanyaku ke Ayah saat hendak keluar rumah dengan pakaian
santainya.
“Ayah mau ke rumah Tante kamu bentar” jawab Ayah dan melihatku dengan
tersenyum.
“Oh yaudah kalau gitu” ujarku dan Ayah segera meninggalkan rumah.
Aku segera masuk ke kamarku untuk mengerjakan beberapa tugas. Setelah
mengerjakan tugas aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 21.30 aku segera keluar
dari kamar untuk menemui Ayahku dan juga Mamaku yang sedang ada di ruang keluarga.
“Ma, Ayah mana?” tanyaku saat sudah sampai di kamar Mama.
“Ayahmu lagi di kamar mandi, kenapa?” tanya Mama.

112
“Nggak pa-pa kok Ma, aku mau ngobrol doang soalnya tadi ngobrolnya cuma bentar”
jawabku sambil masuk ke kamar Mama.
“Yaudah, ngobrolnya besok aja, sekarang kamu tidur gih ini udah malam besok kamu
sekolah” ujar Mama lagi.
“Kalau gitu aku balik ke kamar ya Ma” jawabku ke Mama dan segera kembali ke
kamar lagi.
Aku langsung kembali ke kamar dan melempar tubuhku ke atas kasur dan tertidur.
Hari ini aku berfikir jarang sekali mengobrol dengan Ayahku, aku hanya mengobrol
dengannya sebentar saja dan itu pun hanya menanyakan ia akan ke mana. Aku terbangun dan
melihat jam yang masih pukul 01.35 dini hari karena merasa seseorang sedang
membangunkanku, aku langsung terbangun dan melihat siapa yang telah membangunkanku,
ternyata itu Tante Nia, adik Ayahku dan Shafana. Aku langsung memperbaiki posisi tidurku.
Aku tidak tahu mengapa Tanteku dan Shafana ada di rumah.
“Ada apa Tan? Tante sama Shafana kapan datangnya? Nenek mana?” tanyaku saat
sudah sadar dari tidurku dan melihatnya begitu khawatir.
“Tante baru aja sampai dan Nenek ada di luar” jawab Tante Nia.
“Ada apa sih Tan?” tanyaku panik saat melihat Fana menangis.
“Fir, Ayah sakit, sekarang ada di rumah sakit” ujar Fana yang sudah menangis.
Aku terdiam mendengar ucapan Fana soalnya saat aku pulang tadi Ayah baik-baik
aja.
“Hah? Kok bisa? Ayah sakit apa?” tanyaku panik saat sadar dari lamunanku.
“Tante juga nggak tau, Mamamu tadi menelpon Tante tentang Ayahmu yang sedang
sakit dan Tante segera ke sini dengan Shafana, Nenek dan Tante Dina. Tapi Tante Dina
sedang menemani Mamamu ke rumah sakit” ujarnya panjang lebar.
“Kamu segera bersiap-siap, kamu dan Fana harus ke rumah sakit” ujarnya lagi.
Dan aku langsung kekamar mandi untuk membersihkan wajahku dan segera bersiap
untuk ke rumah sakit.
Saat aku dan Shafan ingin berangkat ke rumah sakit, Tante Nia mendapat telpon dari
Tante Dina bahwa Ayah telah meninggal, aku dan Fana langsung terdiam saat mendengar
kabar yang disampaikan oleh Tante Dina, aku tidak percaya bahwa Ayah telah
meninggalkanku dan Fana. Aku langsung terduduk dan menangis sejadi-jadinya begitupun
dengan Fana. Aku tidak tahu jika obrolan yang begitu singkat hari ini adalah obrolan
terakhirku dengannya, seandainya aku tahu bahwa obrolan itu adalah obrolan terakhirku
dengan Ayah maka aku akan mengobrol lama dengannya.
Tante Dina dan Mamaku baru saja sampai bersama dengan Ayahku yang sudah tak
bernyawa lagi, aku dan Fana langsung menemui Mamaku dan memeluknya menuangkan rasa
sedihku, aku nggak sanggup melihat Mamaku saat ini. Ia sangat terpukul ditinggal dengan
Ayah begitupun Fana. Sekarang pukul 07.00 aku masih terduduk di samping jenazah Ayahku
dan melihat wajah Ayahku yang sudah pucat dengan tubuhnya yang begitu dingin. Tanteku
telah menghubungi pihak sekolah bahwa aku tidak akan masuk untuk beberapa hari. Aku
kembali ke kamar untuk mengambil ponselku dan menghubungi Azka karena aku tidak akan
masuk beberapa hari ke depan, aku belum memberitahunya tentang apa yang terjadi hari ini.
“Halo Fir, kamu udah siap? Bentar lagi aku jemput ke rumah kamu” ucapnya di
seberang sana. Aku hanya diam menanggapi ucapannya.
“Fir, kok kamu diam sih, kamu kenapa?” tanyanya lagi dan aku mulai meneteskan air
mataku saat mengingat Ayahku. Aku belum menceritakan kepadanya tentang apa yang terjadi
pada keluargaku saat ini.
“Ka…Ayahku meninggal, aku nggak akan masuk sekolah beberapa hari” jawabku
yang sudah terisak. Azka hanya diam mendengar ucapanku barusan.

113
“Aku ke sana sekarang” ujarnya dan memutuskan sambungan telponnya secara
sepihak. Aku hanya bisa menangis.
Di luar sana sudah banyak orang yang berdatangan dan bahkan mereka tidak percaya
tentang kematian Ayahku. Aku mendengar ketukan dari luar pintu kamarku tapi aku hanya
diam tak menjawab ataupun membukakan pintu untuknya.
“Fir” panggilnya dengan suara yang sedikit bergetar. Aku langsung melihat siapa
orang tersebut dan ternyata Azka. Dia menghapiriku dan duduk di sampingku untuk
menenangkanku.
“Fir, kamu yang sabar dengan apa yang telah terjadi, aku tau kamu kuat kok” ujarnya
dan aku masih menangis.
“Kamu harus kuat demi Mamamu dan juga Fana, Ayahmu bahkan tidak ingin melihat
kamu sedih seperti ini” tambahnya lagi.
“Tapi kenapa Ayah pergi jika dia tidak mau melihatku sesedih ini?” jawabku sambil
melihatnya dengan mata yang bengkak.
“Itu semua sudah takdir Fir mungkin Tuhan lebih sayang dengan Ayahmu” ujarnya
sambil menghapus air mataku.
“Udah jangan nangis lagi. Kamu harus menenangkan Mamamu karena dialah yang
paling terpukul di sini. Kamu nggak usah khawatir aku akan selalu ada di sisi kamu jika
kamu membutuhkan aku” ucapnya lagi. Aku hanya menganggukkan kepalaku mendengar
ucapannya itu.
Aku tidak tahu bagaimana perasaan Mamaku yang telah ditinggalkan oleh orang yang
paling disayangi dan menjadi pasangan hidupnya selama 16 tahun lamanya. Aku tidak
mampu melihat keadaan Mamaku, ia sangat terpukul dan aku yang melihatnya sangat sedih
melihat keadaannya saat ini.
“Hmm terima kasih karena kamu udah mau datang di kehidupanku” ujarku dan
menghapus air mataku yang masih menetes dengan tanganku.
“Iya, yaudah ayo kita keluar, kamu harus selalu ada di sisi Ayahmu sebelum dia
pergi” ucapnya dan itu membuatku menunduk.
Seolah mengerti dengan apa yang aku lakukan dia langsung menggemkan tanganku
erat, aku hanya melihatnya dengan tatapan sedihku tapi aku harus apa, itu semua pasti akan
terjadi, aku tidak akan pernah melihat Ayahku selamanya sungguh sangat sedih rasanya
membayangkan semua itu di kemudian hari.
***
Ayah, terima kasih karena kau sudah merawatku dari kecil sampai sebesar ini. Aku
belajar banyak hal saat bersamamu. Kau memberikan semangat saat aku sedang terpuruk.
Kau selalu mendengar keluh kesahku. Kau dan Mama merupakan orang yang paling
berharga bagiku. Tapi setelah kejadian hari itu, aku menjalani kehidupanku tanpa sosok
seorang Ayah lagi di sisiku, aku hanya mampu mendoakanmu, semoga Ayah bisa tenang di
alam sana dan mendapat tempat terbaik disisinya. Selamat jalan Ayah. Aku sangat
mencintaimu Ayah dan sangat merindukanmu Ayah. Semoga kita semua bisa bertemu lagi di
kehidupan selanjutnya. Aamiin…
~END~

114
Biodata Penulis
Nama : Nur husbayani Febriani Husain
TTL : Garessi, 08 Februari 2002
Alamat : Garessi
Nama Orangtua
a. Ayah : H. Muhammad Husain (Alm)
b. Ibu : Dra. Hj. St. Rahmatiah
Ig : @febrianiihusain
Motto : Belajar dari masa lalu, hidup untuk sekarang dan berencana
untuk hari esok.

115
Takdir
Oleh :
Nurul Hikmah

“Bercinta memang mudah, untuk dicintai juga memang mudah. Tapi untuk dicintai
oleh orang yang kita cintai itulah yang sukar diperoleh”
Dia bernama Dania, Dania berumur 16 tahun, Dania siswi dari SMA Harapan Bangsa
dan dia duduk kelas XI. Dania dari kecil sampai sekarang, dia sama sekali tidak pernah
pacaran dan tidak mengetahui apa itu cinta? Tapi, mulai duduk di bangku SMA dia mulai
perlahan-lahan mengetahui apa itu cinta.
Pertemuan yang tidak disengaja, dalam perjalanan ke sekolah Dania berlari dan
terlihat tergesa-gesa karena upacara akan dimulai, dalam perjalan Dania bertemu dengan
cowok yang bernama Ferry, dan Ferry melihat Dania dengan senyuman yang manis.
***
Waktu terus berjalan, Dania memikirkan cowok yang ditemuinya tadi, Dania mengira
bahwa cowok yang ditemuinya adalah orang yang satu sekolah dengannya.
“Siapakah dia? Mengapa aku susah melupakan kejadian tadi” ucap Dania sambil
memikirkan Ferry.
Pada jam istirahat, Dania dan teman-temannya berbicara sambil tertawa dan
bertingkah yang konyol. Dania terlihat gelisah, kemudian salah satu temannya atau teman
dekatnya bertanya kepada Dania.
“Dania, kamu kenapa?” sahut Lisa.
Dania hanya tinggal melamun, dan tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Lisa.
“Dania…Kamu kenapa sih?” sahut Lisa dengan wajah yang bingung.
“Hah? Kamu memanggil aku?” ucap Dania dengan terkejut.
“Kamu kenapa sih, aku perhatikan dari tadi kamu hanya melamun saja, kamu lagi
jatuh cinta yah?” kata Lisa sambil tertawa melihat Dania.
“Ahh… Apa sih?” jawab Dania sambil tersenyum.
“Dania, kamu jujur deh, kamu sedang jatuh cinta kan? Siapa sih, cerita dong” tanya
lisa.
“Begini, dalam perjalanan ke sekolah aku bertemu dengan seorang cowok, dia
menatap aku sambil tersenyum” jawab Dania dengan serius kepada Lisa.
“Namanya siapa? Dia sekolah di mana?” tanya lisa dengan cerewet.
“Aku tidak mengenal dia, namanya pun aku tidak tahu, dia sekolah di mana juga aku
tidak tahu. Tapi…kenapa yah aku kepikiran dia terus” ucap Dania sambil menatap Lisa.
“Ekhmm mungkin kamu sedang jatuh cinta Dan, baru kali ini loh aku mendengar
kamu sedang memikirkan cowok, kan biasanya kamu hanya memikirkan aku” jawab Lisa
dengan bercanda kepada Dania.
“Kita ke kantin yuk” ucap Dania mengalihkan pembicaraan kepada Lisa.
***
Bel pulang telah berbunyi, Dania dengan tergesa-gesa memasukkan buku yang ada di
mejanya ke dalam tasnya. Dalam perjalanan pulang ke sekolah, Dania berjalan sambil
mencari cowok yang ditemuinya tadi pagi.
“Dia ke mana sih? Kok nggak ada, apa mungkin dia sudah pulang yah?” kata Dania
sambil mencari cowok yang ditemuinya tadi.
Ditengah perjalanan, sambil menunggu Lisa, Dania istirahat dan duduk sejenak di
tempat yang berteduh.
“Huh…capek juga yah menunggu” kata Dania dengan muka lelah.

116
Cukup lama Dania menunggu Lisa, tiba-tiba ada orang yang menghampiri Dania,
ternyata dia adalah Ferry.
“Hai…kok kamu sendiri?” sahut Ferry dengan tersenyum kepada Dania.
Dania hanya tersenyum kecil kepada Ferry dan tidak berkata apa-apa.
“Kok nggak dijawab sih” tanya Ferry sambil menatap Dania.
Ferry hanya terus menatap Dania, kemudian Lisa datang menghampiri Dania, dan
Lisa melihat Dania dengan Ferry.
“Dania…ternyata kamu di sini yah, aku capek mencari kamu” kata Lisa sambil
kelelahan.
Ketika Lisa melihat Ferry, ternyata Ferry adalah teman lisa ketika masih duduk di
Sekolah Dasar.
“Ehh…kamu Ferry kan?” tanya Lisa sambil melihat Ferry.
“Kamu…Lisa yah?” Ferry kembali bertanya dengan Lisa sambil tertawa.
“Kamu sudah berubah yah Fer, dulu kan kamu pendek, kurus dan penampilan kamu
kayak preman” ucap Lisa sambil tertawa.
“Kamu tambah ngeselin yah, dan dari dulu kamu gitu-gitu aja, malah kamu tambah
cerewet” kata Ferry sambil tertawa sambil melihat Dania yang sedang bingung.
“Lis…itu teman kamu yah?” tanya Ferry sambil melihat Dania.
“Iya, Dania sahabat aku. Emangnya kenapa? Kamu naksir yah?” jawab Lisa sambil
melihat Dania.
“Nama dia Dania yah? Hai Dania kenalin nama aku Ferry” sahut Ferry sambil
tersenyum kepada Dania.
“Hai…” jawab Dania sambil tersenyum.
“Ekhm…kamu naksir yah kepada Dania?” tanya Lisa kepada Ferry.
“Kok tau sih” jawab Ferry sambil menatap muka Dania yang tersenyum.
“Tenang aja Fer, Dania juga naksir kok sama kam…” ucap Lisa dan perkataannya
dipotong oleh Dania.
“Lisa kita pulang yuk” ucap Dania kepada Lisa sambil menarik tangan Lisa.
“Ferry, aku duluan yah!” teriak Lisa.
“Oke Lisa. Hati-hati yah, jagain Dania” ucap Ferry sambil tertawa dan melihat Dania
dengan muka yang jengkel.
***
Ketika Dania sudah sampai di rumah, dia kembali memikirkan Ferry.
“Apakah aku jatuh cinta yah? Kok aku memikirkan dia terus” ucap Dania sambil
melamun dan senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba handphone Dania bergetar, ternyata yang
menelponnya adalah Ferry. Tetapi Dania tidak mengetahui yang menelpon adalah Ferry
karena Dania tidak mengetahui nomor Ferry.
“Halo…Assalamu’alaikum Dania” ucap Ferry.
“Waalaikum salam, dengan siapa yah?” jawab Dania.
“Salam kenal yah, ini aku Ferry” kata Ferry sambil tertawa.
“Oh Ferry, iya salam kenal juga” jawab Dania sambil tersenyum.
“Kamu di mana Dan?” tanya Ferry.
“Aku di rumah aja, oh ya kok kamu tau sih nomor telepon aku?” tanya Dania
“Aku mengambilnya dari Lisa, nggak pa-pa kan?” jawab Ferry
“Nggak pa-pa kok” sahut Dania.
Cukup lama Dania dan Ferry menelpon, perasaan Dania sangat senang, Karena dia
baru mengenal cowok sebaik Ferry. Menurut Dania Ferry adalah cowok yang humoris karena
selalu membuat Dania tertawa.
***

117
Waktu terus berjalan, hari telah berlalu, sudah dua bulan Dania berkenalan dengan
Ferry. Dan Dania menyimpan perasaan kepada Ferry. Dan tanpa Dania ketahui ternyata Ferry
sudah memiliki pacar yang bernama Sarah dan Sarah senior Dania yang bersekolah di SMA
Harapan.
Saat di sekolah, pada jam istirahat Dania berbicara dengan Lisa di depan kelas mereka
mengenai ulang tahun Ferry.
“Dan...kamu jadi kan ke acara ulang tahun Ferry?” tanya Lisa.
“Iya dong, kita berangkat bareng yah” jawab Dania.
“Oke, nanti malam aku jemput kamu di rumahmu” ucap Lisa.
***
Malam pun tiba, Dania sudah siap-siap untuk kerumah Ferry, sambil menunggu Lisa,
Dania memikirkan Ferry, Dania berkata, “Apakah Ferry adalah seorang cowok yang
dititipkan Tuhan padaku? Mengapa setiap aku dekat dengannya aku selalu tersenyum dan
bahagia”
Tiba-tiba Lisa datang, Lisa terkejut melihat Dania, karena Dania terlihat begitu cantik
dengan gaun yang berwarna biru itu.
“Wah…Dania kamu cantik banget” kata Lisa sambil menatap Dania dengan begitu
terpukau. Dania hanya tertawa kecil atas pujian Lisa kepadanya.
Waktu telah menunjukkan jam 20.00 WIB, mereka berangkat ke rumah Ferry. Tidak
lama kemudian, mereka sudah sampai di rumah Ferry. Ketika Dania dan Lisa masuk ke
rumah Ferry, Dania terkejut melihat Ferry, karena Ferry sedang bermesraan dengan cewek
yang bernama Sarah, pacar Ferry sendiri.
“Lis…cewek yang bersama Ferry itu siapa?” tanya Dania kepada Lisa dengan wajah
kebingungan.
“Aku juga tidak tahu” jawab Lisa sambil menatap Ferry dengan Sarah.
Tidak lama kemudian, Ferry melihat Dania dan Lisa yang sedang berdiri di ambang
pintu. Ferry terkejut, kemudian Ferry melepaskan genggaman tangan bersama Sarah. Ferry
menghampiri Sarah dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Dania kenalin ini Sarah pacar aku” kata Ferry sambil memperkenalkan Sarah.
Dania merasa terkejut mendengar ucapan Ferry, dan Sarah menjulurkan tangannya
untuk berkenalan dengan Dania.
“Kenalin nama aku Sarah” kata Sarah sambil tersenyum.
“Hai, nama aku Dania” jawab Dania dengan senyum yang kaku.
Beberapa menit kemudian, pesta dimulai. Hati Dania merasa sesak melihat Ferry
menyuapkan kue potongan pertama kepada Sarah. Dania sudah tidak mampu menahan
melihat kemesraan Ferry dan Sarah. Tanpa berpikir panjang Dania langsung meninggalkan
pesta Ferry.
***
Sesampainya di rumah, Dania menangis sejadi-jadinya. Setelah berpikir panjang,
akhirnya Dania memutuskan untuk menjauhi dan berhenti menyukai Ferry.
‘Jika Ferry bahagia bersama Sarah, aku akan mencoba melupakan Ferry’ kata Dania
dalam hati.
Dania duduk di Cafe sambil menunggu pesanannya, kemudian ada seseorang yang
memukul pundaknya dari belakang.
“Mengapa tadi malam kamu meninggalkan pesta Ferry tanpa memberitahuku?” tanya
Lisa kepada Dania.
“Aku capek, jadi aku pulang tanpa memberitahu kamu, maaf “ jawab Dania.
Tiba-tiba pintu Cafe terbuka, Dania melihat Ferry dan Sarah berjalan masuk menuju
bangku yang di dekatnya, dia duduk bersebelahan dengan bangku yang ditempati Dania.

118
Ferry tersenyum kepada Dania, namun Dania tidak menanggapinya, Dania lebih memilih
untuk membuang muka agar tidak melihat wajah Ferry.
“Lisa, ayo kita pulang, aku sudah tidak mood lagi untuk makan” sahut Dania.
“Tapi kita kan belum makan, aku lapar tau” jawab Lisa.
Tanpa mendengar perkataan Lisa, Dania langsung menarik tangan Lisa untuk keluar
dari Cafe.
‘Apakah Dania marah kepadaku? Mengapa dia tidak menanggapiku’ tanya Ferry
dalam hatinya.
“Fer, kok kamu melamun? Tanya Sarah sambil menggoyangkan tangan Ferry.
“Nggak kok, aku tidak melamun, ayo makan cepat”
Mereka berdua pun menyantap makanannya tanpa percakapan apapun.
Ketika Ferry mengantar Sarah pulang, di tengah perjalanan dalam mobil Ferry melihat
Dania duduk di depan halte, dia melihat Dania duduk bersama seorang laki-laki yang sedang
merangkulnya, dan tidak jarang laki-laki itu mengelus kepala Dania. Tanpa disadari Ferry
mengepalkan tangannya dan berkata kasar.
“Arghh” kata Ferry sambil memukul stir mobilnya.
Sarah terkejut melihat Ferry yang tiba-tiba marah, Sarah bingung apa yang terjadi
pada Ferry, kemudian Sarah melihat tatapan kebencian Ferry melihat dua orang yang sedang
duduk di depan halte.
‘Itukan Dania dan Ryan, sepupu Dania. Apakah itu yang menyebabkan Ferry tiba-
tiba marah? Apakah dia cemburu melihat Dania jalan bersama laki-laki lain?’ kata Sarah
bertanya dalam hatinya.
“Fer, kamu kenapa? Apa kamu cemburu melihat Dania bersama laki-laki lain? Kamu
suka yah sama Dania?” tanya Sarah kepada Ferry.
“Nggak kok, masa aku cemburu dan suka sama Dania, dia kan cuma teman aku”
jawab Ferry kepada Lisa.
Ferry berjalan masuk ke toko buku, dia ingin membeli buku. Pada saat ingin
mengambil buku yang ada di rak buku, Tiba-tiba secara tidak sengaja dia memegang tangan
seorang perempuan yang ingin mengambil buku itu juga.
“Dania…” kata Ferry setelah melihat perempuan itu.
“Ehh maaf, kamu mau buku ini? Kalau kamu mau, kamu ambil saja” kata Dania
sambil berjalan untuk pergi.
Ketika Dania ingin membalikkan tubuhnya, Ferry dengan cepat mencengkram tangan
Dania.
“Kamu marah yah sama aku? Kenapa kamu mencoba untuk menghindariku?” tanya
Ferry kepada Dania.
“Nggak kok, aku tidak marah, aku pergi dulu yah” kata Dania kepada Ferry dan
mencoba melepaskan cengkraman tangan Ferry.
Ferry tidak dapat berbuat apa-apa, dan membiarkan Dania pergi. Setelah Dania
meninggalkan Ferry sendirian, Ferry pun bergegas untuk pulang dan meninggalkan toko buku
tersebut.
Ketika Ferry telah sampai di rumahnya, Ferry memikirkan Dania, mengapa sifat
Dania begitu dingin kepadanya, setiap kali bertemu Dania selalu cuek kepadanya.
“Dania kenapa yah? Kok cuek banget, nggak biasanya Dania begitu kepadaku” kata
Ferry berkata dengan dirinya sendiri.
***
Ketika di sekolah, Dania dan Sarah bertemu. Sarah mengajak Dania untuk makan di
kantin. Sambil menunggu pesanan, Sarah bertanya kepada Dania.
“Dania aku ingin bertanya kepada kamu” kata Sarah sambil menatap dua bola mata
Dania yang sedang menatap Sarah.

119
“Iya Kak, Kak Sarah mau tanya apa?” tanya Dania kepada Sarah.
“Jujur yah, kamu suka kan sama Ferry?” tanya Sarah.
“Nggak kok, aku sama Ferry cuma teman aja” jawab Dania.
“Nggak usah bohong Dan, dari tingkah laku kamu Kakak sudah dapat lihat bahwa
kamu suka sama Ferry, tidak mungkin antara persahabatan cowok dan cewek tidak memiliki
rasa saling suka, pasti di antara salah satunya ada yang saling menyimpan rasa” kata Sarah
kepada Dania.
“Iya Kak, sebenarnya sejak aku bersahabat dengan Ferry, aku sudah lama
menyukainya, tapi kalau Ferry bahagia bersama Kak Sarah aku rela melihat Kak Sarah dan
Ferry bersama” kata Dania.
“Nanti sore kamu bisa nggak datang ke taman” tanya Sarah.
“Untuk apa Kak Sarah mengajak aku ke taman?” jawab Dania.
“Datang saja, jangan lupa dandan yang cantik yah” kata Sarah sambil tertawa kecil.
“Oke Kak” jawab Dania.
Dania sudah menunggu Sandra di taman, dia duduk di bangku taman di bawah pohon
yang besar. Sesampainya di taman, Ferry mencoba mencari Sarah, namun penglihatan Ferry
tertuju kepada seorang gadis yang duduk di bangku taman sendiri menggunakan dress
berwarna pink dan rambut terurai. Ferry pun langsung menghampiri gadis tersebut.
“Hai…kenapa kamu di sini?” tanya Ferry kepada Dania.
“Eh Ferry, aku sedang menunggu Kak Sarah, dia meminta aku untuk datang ke sini.
Kalau kamu kenapa ada di sini?” jawab Dania.
“Sama, aku juga diminta Sarah ke sini, mungkin dia sengaja untuk mempertemukan
kita berdua” kata Ferry.
Tiba-tiba Sarah datang dan menghampiri Ferry dan Dania.
“Maaf, aku sengaja mengajak kalian berdua ke sini, aku tahu sebenarnya kalian
berdua saling suka kan? Aku tahu aku cuma penghalang kalian untuk bisa bersama” kata
Sarah sambil menyatukan tangan Ferry dan Dania.
“Maksud kamu apa?” tanya Ferry kepada Sarah.
“Aku sadar kok Fer, sebenarnya kamu menyukai Dania dan kamu cemburu ketika
melihat Dania bersama laki-laki lain, sebaiknya hubungan kita sudah berakhir di sini, aku
bahagia jika kamu bahagia bersama Dania” kata Sarah sambil tersenyum.
“Terima kasih Sarah, kamu telah membiarkan aku bersama Dania. Aku yakin kamu
bisa mendapatkan laki-laki lain yang lebih baik dari pada aku, karena kamu perempuan yang
baik hati” kata Ferry sambil memeluk Sarah.
“Yah, Aku pergi dulu, semoga kalian berdua bahagia” kata Sarah sambil bergegas
untuk meninggalkan Ferry dan Dania.
Setelah Sarah pergi, Ferry pun membalikkan badannya menghadap ke Dania.
“Sebenarnya, aku suka sama kamu Dania dan kamu mau nggak menjadi pacar aku?”
tanya Ferry sambil menggenggam tangan Dania.
“Sejak kapan kamu menyukaiku?” kata Dania.
“Aku tidak tahu mengapa perasaan suka itu muncul, saat pertama kali aku melihatmu,
apakah kamu ingin menjadi pacar aku?” tanya Ferry untuk kedua kalinya.
“Iya, aku mau” Kata Dania sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum.
Ferry tidak dapat menahan rasa senangnya, Ferry pun langsung memeluk Dania
dengan erat.
~END~

120
Biodata Penulis
Nama : Nurul Hikmah
TTL : Barru, 08 Juli 2001
Alamat : Jl. Lasawedi
Asal Sekolah : SMA Negeri 1 Barru
Ig : Nrllhikmahh_
Motto : Semua impian bisa terwujud, jika kita memiliki keberanian
untuk mengejarnya.

121
Cinta dan Jarak
Oleh :
Ratna S.

Kisah ini berawal ketika seorang gadis yang duduk di bangku kelas XI SMA asal
Jakarta, mengikuti olimpiade di salah satu sekolah ternama di Bandung. Azkia Adira, yah itu
adalah nama gadis tersebut. Selain pintar, ia juga mempunyai paras yang sangat cantik
sehingga banyak laki-laki yang mengaguminya. Ia mewakili sekolahnya untuk mengikuti
olimpiade matematika di SMA Kartika Bandung. Dan di situlah ia bertemu dengan laki-laki
yang sangat tampan bernama Agam Pratama yang menjadi kekasihnya.
***
“Hei, apa kamu yang bernama Azkia Adira?” tanya laki-laki tersebut.
Kemudian Adira hanya diam sambil memerhatikan laki-laki yang sangat tampan itu.
“Hei?” panggil laki-laki itu.
“Iya, saya Azkia Adira. Ada apa?” ucap Adira.
“Kamu benar peserta olimpiade dari SMA Bina Bangsa di Jakarta?” tanya Agam
“Ya, benar” jawab Adira sambil memperhatikan Agam.
“Sudahlah jangan melihatku sampai seperti itu, tadi guru pedampingmu menyuruhku
untuk mencari kamu di sekitar ruangan peserta olimpiade, katanya ia menunggumu di
parkiran” jelas Agam.
Tentu Adira sangatlah malu karena ketahuan memperhatikan Agam, sehingga ia
langsung lari menuju ke parkiran sesuai yang diberitahukannya tadi tanpa berkata apapun
kepadanya.
Dari situlah Adira pertama kali bertemu dengan laki-laki yang bernama Agam
Pratama.
***
Pagi ini, hari minggu, Adira berencana ingin berjalan-jalan ke mall karena sudah
beberapa minggu ini ia jarang sekali keluar rumah hanya sekedar jalan-jalan dikarenakan
sibuk belajar untuk persiapan olimpiade kemarin. Rencananya ia akan mengajak dua
sahabatnya yaitu Kanaya dan Anggi. Adira pun menelpon Kanaya.
“Halo Kanaya, Lo di mana?” tanya Adira.
“Lagi di rumah Tante gue nih, ada arisan keluarga gitu, emang kenapa Ra?”
mendengar jawaban Kanaya sudah pasti ia tidak bisa diajak jalan.
“Nggak kok Nay, nanya doang hehe” jawab Adira.
“Gue kira lo kenapa. Udah dulu yah di sini ramai banget nih. Bye Ra”
“Bye Nay” lalu Adira menutup teleponnya.
Kemudian menelpon sahabatnya yang satu lagi yaitu Anggi. Namun setelah beberapa
kali ditelepon, Anggi tak kunjung mengangkatnya. Adira pun memutuskan untuk keluar
sendirian, karena jika bukan dengan sahabatnya, siapa lagi yang ingin ia ajak? Adira
merupakan anak tunggal, sedangkan Ayah dan Bundanya selalu saja sibuk dengan urusan
pekerjaan. Adira pun pergi ke salah satu mall terkenal yang ada di Jakarta. Rencananya ia
akan ke bioskop untuk nonton. Sambil mengantri untuk membeli tiket nonton, ia terkejut
ketika menoleh ke samping dan melihat sosok Agam yang begitu tampan berada di dekatnya
yang juga mengantri untuk membeli tiket. Setelah pertemuanya pertama kali dengan Agam
saat olimpiade, Adira memang diam-diam sering memikirkan laki-laki itu. Begitupun dengan
Agam.
“Hai, Adira kan?” tanya Agam sambil tersenyum. Adira pun membalas senyumannya.
“Hai juga. Iya aku Adira” jawab Adira.

122
“Nonton bareng yuk, mau nggak?” mendengar ajakan dari Agam ingin rasanya Adira
lompat-lompat sangking senangnya.
“Nggak deh, mau sendiri aja” jawab Adira meskipun ia sangat ingin nonton bareng
Agam tetapi ia harus jual mahal dong masa langsung bilang iya aja.
“Ayolah, aku ngikut deh kamu mau nonton apa” kata Agam.
“Hm gimana yah?” Adira sok berpikir.
“Mau yah?” Agam lagi.
“Ya udah, tapi aku yang nentuin filmnya” jawab Adira.
“Iya Adira” kata Agam.
Setelah selesai nonton, Agam terlebih dahulu mengajak Adira untuk makan lalu
mengantarnya pulang. Pada saat perjalanan pulang mereka sempat bercerita banyak. Ternyata
Agam sekolah di tempat olimpiade Adira kemarin di Bandung dan sekarang ia sudah kelas 3
SMA. Katanya, ia ke sini di ajak Ayah dan Ibunya untuk menghadiri acara teman kantor
Ayahnya, tetapi karena Agam tidak ingin ke sana terpaksa ia pun ke mall sendirian.
Dari pertemuan kedua itu mereka pun semakin akrab, mereka juga sempat bertukaran
nomor telepon.
***
Sudah 2 bulan ini Agam dan Adira semakin dekat, setiap hari pasti Agam selalu
mengirimkan pesan ke Adira meskipun hanya sekedar bertanya ia lagi ngapaian atau lagi
dimana. Setiap malam pun, sebelum Adira tidur pasti mereka berdua teleponan atau biasa
juga video call-an dulu, yang dibahas sih apa aja. Mereka berdua pun semakin dekat dan
sama-sama mempunyai perasaan saling suka, meskipun salah satu dari mereka belum ada
yang berani mengungkapkan perasaannya. Agam juga sering memberikan Adira perhatian
yang lebih sehingga membuat Adira sering salah tingkah. Nggak ketemu aja udah bahagia
gini, apa lagi udah ketemu.
Hingga saat Adira berada di Bandung karena sedang menemani Bundanya, Adira dan
Agam pun menyempatkan untuk bertemu dan di situlah Agam menyatakan cintanya kepada
gadis cantik itu. Dan mereka berdua pun menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih.
Saat berpacaran, mereka memang sangat jarang bertemu, karena Adira yang sekolah
di Jakarta, sedangkan Agam yang saat itu sedang sibuk-sibuknya karena sudah duduk
dibangku kelas 3 SMA di Bandung.
Hingga Agam lulus SMA dan memilih untuk melanjutkan kuliahnya di Surabaya.
Tentu dengan kesepakatan mereka berdua, mereka mencoba menjalani hubungan jarak jauh
ini. Meskipun itu adalah pilihan yang sangat sulit.
Saat Agam berada di Surabaya mereka berdua tidak pernah sama sekali bertemu
karena jarak antara Jakarta dan Surabaya yang cukup jauh. Tapi hal itu tidak membuat
mereka untuk mengakhiri hubungannya. Mereka mencoba untuk menjalani semua ini.
***
“Kamu baik-baik yah di sana, jangan genit-genit sama cowok” kata Agam lewat
telepon.
“Nggak lah, kamu tuh, jangan suka cari perhatian sama cewek-cewek di kampus” ujar
Adira.
“Nggak akan sayang” jawab Agam.
“Hm iya” kata Adira.
“Ya udah, aku ke kampus dulu yah soalnya udah telat nih. Bye sayang” ucap Agam
lalu mematikan teleponnya.
Seiring berjalannya waktu memang semuanya baik-baik saja. Tetapi tidak ketika
Adira merasa Agam mulai berubah. Agam sudah jarang lagi menelpon Adira, bahkan untuk
sekedar memberi kabar pun kelihatannya sangatlah sulit. Yah sebulan terakhir ini memang
Agam sudah jarang menghubungi kekasihnya itu, wajar saja jika Adira mencurigainya.

123
***
“Halo sayang. Maaf ya akhir-akhir ini lagi sibuk banget soalnya di kampus lagi
banyak kegiatan” kata Agam yang tiba-tiba menelpon.
“Aku mau putus Gam” ucap Adira.
“Kok putus? Emangnya aku salah apa sih?” jawab Agam panic.
“Kamu tuh sekarang udah jarang banget hubungin aku, kerjaannya cuma hilang-
hilang doang. Dan sekarang aku udah nggak bisa Gam, aku mau kita putus aja” ujar Adira
lalu memutuskan teleponnya.
Agam pun mencoba untuk menelpon Adira lagi, tetapi tak kunjung diangkat. Tentu
saja Agam tidak menerima keputusan Adira yang secara sepihak itu. Akhir-akhir ini Agam
memang sangat sibuk, dengan jadwal kuliahnya sangat padat, belum lagi kegiatan
organisasinya di kampus yang membuat Agam untuk sekedar mengecek handphone sangat
sulit.
Setelah mencoba untuk menghubungi Adira kembali. Akhirnya Adira mau
mengangkatnya. Agam pun menjelaskan semuanya, ia menceritakan kegiatan apa saja yang
dilakukannya agar kekasihnya mau mempercayainya dan tidak ingin putus.
***
“Halo sayang, aku baru pulang kampus nih” kata Agam lewat telepon.
“Iya, aku juga baru sampai rumah” jawab Adira.
“Emangnya kamu dari mana? Kok sore baru sampai rumah” kata Agam.
“Dari rumah temen, belajar bareng di sana” ujar Adira.
Agam juga tahu bahwa saat itu Adira sudah duduk di bangku kelas 3 SMA dan tentu
saja banyak yang Adira harus persiapkan untuk jenjang berikutnya.
Sejak kejadian minta putusnya Adira. Pacarnya itu menjadi sangat sensitif, sedikit-
sedikit ia akan marah hanya karena masalah sepeleh. Bahkan ia mencurigai Agam
berselingkuh di sana. Karena memang Adira yang jauh dan tidak bisa mengetahui apa saja
yang dilakukan Agam di sana, bersama dengan siapa Agam di sana.
Namun Agam mengerti perasaan kekasihnya itu. Ketika Adira sedang marah-marah
tidak jelas tentu saja yang bisa ia lakukan adalah hanya membujuknya.
***
Meskipun Agam selalu menyakinkan Adira bahwa ia tidak akan selingkuh tetapi tetap
saja ia selalu curiga, ia takut jika kekasihnya itu akan mencari perempuan lain di sana, yang
bisa Agam temui setiap saat, yang bisa berada di dekat Agam. Beda dengan Adira yang
sekedar bertemu saja sangat sulit apalagi berada di dekatnya.
Agam memang sangat menyayangi Adira meskipun mereka jarang bertemu. Walau
jarak memisahkan mereka berdua namun mereka tetap saling menjaga hati.
Meskipun begitu banyak masalah yang dihadapi, Agam percaya bahwa itu adalah
ujian untuk mereka berdua. Ujian kesetiaan.
~END~

124
Biodata Penulis
Nama : Ratns S.
TTL : Barru, 20 April 2002
Alamat : Jl. Jend. Ahmad Yani
Nama Orangtua
a. Ayah : Sulle M.
b. Ibu : Hj. ST. Ramlah
Motto : Jika orang lain bisa, maka aku juga bisa.

125
Ana Uhibbuka Fillah
Oleh :
Wanda Thalib

Alifa Tania Grow, cewek yang kini usiahnya telah menginjak 17 tahun adalah anak
dari pengusaha kaya yang ada di Indonesia. Jangan tanyakan tentang segala fasilitas yang
didapatkan dari orang tuanya bahkan di saat dia baru memasuki Sekolah Menengah Pertama
dia telah difasilitasi mobil mewah oleh Papanya, jika dibandingkan dengan teman sebayanya
yang hanya diantar oleh orang tuanya ke sekolah.
Awalnya Alifa bersekolah di sebuah yayasan milik orangtuanya tetapi di pindahkan di
sebuah Pesantren. Di sekolahnya terdahulu Alifa bertingkah seenaknya dan para guru juga
enggan untuk menghukumnya hingga Papa dan Mamanya sepakat untuk memindahkannya di
sebuah Pesantren di desa, letaknya di Kota Bandung.
Adzan subuh berkumandang semua santri dan santriwati telah berada di Mesjid
Pesantren, tapi tidak dengan satu santri yang masih betah berada di tempat tidurnya. Semalam
gadis cantik itu tidak bisa tidur karena merasakan panas dan kasur yang sangat kera, tidak
seperti kasur yang ada di rumahnya begitu empuk bahkan dia sempat memarahi teman satu
kamarnya Anisa dan Akira. Anisa dan Akira tetap sabar melihat teman barunya itu, mereka
juga mencoba membangunkan Alifa untuk shalat berjamaah di Mesjid, tapi Alifa tetaplah
Alifa jika telah tidur seperti orang yang tidak sadarkan diri.
Krekkkkk…(Bunyi pintu)
“Assaamu’alaikum” seorang wanita masuk di kamar Alifa.
Tidak ada jawaban dari kamar tersebut.
Wanita yang kira-kira berumur 40 lebih itu masuk di dalam kamar Alifa. Wanita yang
diketahui adalah istri dari pemilik Pesantren Nurul Husna itu melihat masih ada satu santri
yang betah dikasurnya, siapa lagi kalau bukan Alifa. Hampir setiap subuh wanita itu
membangunkan Alifa dengan lembut hingga Alifa terbangun. Alifa sangat sopan jika
bersama Umi, karena Umi sangat baik kepadanya dan tidak pernah marah sedikitpun pada
Alifa, jika Alifa berbuat salah pasti Umi akan membicarakannya secara baik-baik.
“Ahh ada Umi” kata Alifa.
“Iya nak ini Umi, ayo bersiap ke Mesjid sudah adzan”
“Iya Umi”
Alifa dengan malas berdiri dan mengambil air wudhu untuk bergegas ke Mesjid yang
ditunggu di depan pintu oleh Umi.
Sudah sekitar satu bulan Alifa di Pesantren ini dan setidaknya ada perubahan
meskipun masih sedikit. Yang biasanya jika Alifa keluar tidak pernah memakai hijab
sekarang dia telah memakainya, walaupun kadang-kadang dia suka membukanya karena
kepanasan, yang dulu bicara semaunya sekarang jauh lebih sopan.
“Ayo Umi kita berangkat” seru Alifa keluar dari kamar.
“Ayo Nak” balas Umi.
Di jalan segala nasehat dikatakan Umi kepada Alifa agar dia bisa menjadi lebih baik
kedepannya.
Jam menunjukkan 07.30 tandanya bel masuk telah berbunyi sedangkan tiga santriwati
masih berada di dalam kamarnya.
“Waduhhhhh udah bel masuk lagi, Anisa, Akira mending kalian duluan aja deh ke
kelas ngga usah tungguin aku” sahut Alifa.
“Nggak pa-pa kok, kita nungguin kamu” sahut Anisa.
“Iya bener kita ke kelasnya bareng aja” lanjut Akira.

126
“Yaelahh kalian berdua nggak usah tungguin, aku masih lama belum juga pake
jilbab”
“Yaudah deh kita duluan kalau gitu yah Alifa” kompak Anisa dan Akira.
“Oke”
Seorang santriwati berlari sambil melihat jam tangannya siapa agi kalau bukan Alifa.
“Mampus gue, udah jam delapan lagi”
Sampai di depan pintu kelasnya Alifa mengambil nafas kemudian mengetuk sambil
memberi salam.
“Assalamu’alaikum” sahut Alifa.
“Waalaikum salam wr. wb.” sahut dari dalam kelas dengan dingin.
“Apakah kamu tau sekarang jam berapa Ukhti?” tanya guru muda yang mengajar di
kelas Alifa dengan keras.
“Naam. Jam delapan” sambil menunduk takut karena Alifa semenjak kecil tidak
pernah dimarahi oleh orangtuanya meskipun dia berbuat salah sekalipun.
Laki-laki tersebut merasa kasihan melihat Alifa yang menunduk takut, mungkin dia
terlalu keras memarahi Alifa akhirnya dia memperbolehkan Alifa untuk duduk. Ini baru
pertama kalinya Ustadz Halim memperbolehkan siswa yang bersalah untuk mengikuti
kelasnya entah apa yang dipikirkannya hingga dia bisa kasihan melihat Alifa.
Ustadz Halim sendiri adalah anak dari pemilik Pesantren Nurul Husna yang baru
sekitar dua minggu semenjak kedatangannya dari Kairo Mesir untuk menuntut ilmu.
Alifa duduk berdampingan dengan Anisa dan Akira berada di samping Anisa.
“Kenapa kamu bisa seterlambat ini?” tanya Anisa yang diikuti oleh anggukan dari
Akira.
“Iya, tadi aku hAbis ke WC dulu. Eh ngomong-ngomong itu yang ngajar kita siapa?”
tanya Alifa.
“Oh, itu anaknya Pak Ustadz namanya Ustadz Halim, baru dua minggu di sini” jawab
Anisa.
“Wowww anaknya Umi dong” sahut Alifa kaget.
“Yaiyalah” balas Anisa.
“Ganteng yah. Manis lagi” sahut Alifa lagi.
“Husttt ingat zina mata Alifa” komentar Anisa.
“Iya yah. Astagafirullah”
“Kalian bertiga di belakang sedang diskusi apa? Saya tidak suka, apAbila saya
mengajar sementara santri malah tidak memperhatikan saya” tegas Ustadz Halim.
“Tidak kok Pak Ustadz, kami tidak berdiskusi tentang apapun” jawab Akira dengan
hati-hati.
“Kamu yang tadi terlambat, nanti keruangan saya” lanjut Ustadz Halim.
“Naam Ustadz” jawab Alifa.
Pelajaran kembali dilanjutkan dan tanpa disadari Ustadz Halim, Alifa terus saja
memperhatikannya. Hingga bel waktu selesainya pembelajaran berbunyi.
“Baiklah, sekian untuk hari ini. Assalamu’alaikum wr. wb.” tutup Ustadz Halim
sebelum keluar.
“Waalaikum salam wr. wb.” jawab serempak santriwati di kelas itu.
Semua orang bergegas keluar ruangan, berniat pulang ke asrama untuk beristirahat
tapi tidak dengan Alifa, dia harus keruangan Ustadz Halim terlebih dahulu.
“Assalamu’alaikum” sahut Alifa sambil mengetuk pintu.
“Waalaikum salam wr. wb., silahkan masuk”
“Ada apa Ustadz menyuruh saya untuk keruangan Ustadz?” tanya Alifa to the point.
“Kamu tidak ingat kesalahan kamu? Kalau saya tidak salah, kamu Alifa Tania Grow
kan yang baru sekitar satu bulan di Pesantren ini”

127
“Yaa Pak Ustadz benar, dari mana Ustadz tahu tentang saya?” tanya Alifa.
“Silahkan duduk, ada yang ingin saya bicarakan”
Alifa berjalan untuk duduk di depan Ustadz Halim yang dibatasi meja kerja, dia
berjalan sambil melihat ke belakang.
“Tenang, pintu akan tetap terbuka jadi tidak ada fitnah nantinya” Alifa kaget Ustadz
Halim bisa membaca pikirannya.
“Oke mari kita kembali ke topik. Saya memanggil kamu ke sini Alifa untuk berbicara
tentang hal yang penting tentang kita”
“Tentang Ustadz dan saya?”
“Apakah Papa dan Mamamu belum menceritakan tentang kita?”
“Menceritakan tentang apa? Bertemu dengan kedua orangtuaku saja terakhir bulan
lalu”
“Kalau Umi atau Abi apa pernah bercerita tentang saya ke kamu?”
“Umi tidak pernah menceritakan apapun kepada saya, bahkan saya baru tau kalau
ternyata Umi punya anak laki-laki”
“Kalau saya boleh tau, umur kamu berapa?” tanya Ustadz Halim kepada Alifa.
“Umur saya sudah 17 tahun Ustadz”
“Baiklah saya akan menceritakan hal yang sangat penting untuk kita berdua”
“Aduhhh dari tadi Pak Ustadz ngomongnya cuma muter-muter, mending Pak Ustadz
ngomong deh cepetan soalnya udah mau balik ke asrama nih” balas Alifa dengan kesal.
“Oke jadi begini Papa kamu dan Abi itu berencana menikahkan kita diwaktu dekat
ini”
“Apa?! Are you crezy? Yang benar saja pak Ustadz, umur saya baru 17 tahun loh
masa udah disuruh nikah aja” sahut Alifa dengan panas.
Dengan santainya Halim menjawab, “Harusnya kamu bersyukur karena akan menikah
dengan saya bukannya malah marah-marah seperti ini”
Tanpa disadari air mata Alifa jatuh ke pipinya.
“Mama sama Papa kok tega sih mau nikahin aku semuda ini” sambil menghapus air
matanya.
Ustadz Halim pun dibuat kaget karena Alifa menangis entah karena apa, dia ingin
memeluk Alifa tapi Alifa bukan muhrimnya hingga dia keluar dan menyuruh salah satu santri
untuk memanggil Uminya di rumah, yahh memang rumahnya itu tidak jauh dari Pesantren.
Umi pun datang dan terkejut melihat Alifa menangis tanpa suara.
Diapun memeluk dan mencium puncak kepala Alifa mencoba menenangkan
perempuan yang sejak pertama dilihatnya dia telah menyukai perempuan itu. Dengan lembut
Umi memeluk dan mengelus kepala Alifa dan menceritakan semuanya bahwa Alifa memang
telah lama dijodohkan dengan Halim bahkan semenjak mereka lahir karena Abinya Halim
teman baik dengan Papa Alifa. Itu sebabnya juga Halim pulang selain karena kuliahnya telah
selesai dia juga ingin segera menikahi Alifa, dia tidak ingin terlalu lama memilih dan juga dia
takut akan fitnah yang bisa terus saja datang kepadanya. Hingga disuatu hari sebelum dia
kembali ke Indonesia Umi menceritakan segalanya kepadanya dan dia menerima permintaan
dari sang Abi dan Uminya.
Alifa pun mengangguk tanda mengerti.
“Ya sudah, kalau begitu Alifa kembali ke asrama dan istirahat yah sayang” seru Umi
dengan hangat. Alifa mengangguk dan segera bergegas kembali.
Setelah kepergian Alifa, Halim dan Umi berbicara empat mata tentang keseriusan
Halim.
“Umi dan Abi tidak akan pernah memaksamu, semuanya kami serahkan kepadamu
Nak” sahut Umi sambil mengelus punggung Halim.

128
“Iya Umi, Halim yakin dengan Alifa. Sejak bertemu tadi seperti ada yang berbeda
yang Halim rasakan”
“Baiklah kalau begitu, nanti Umi sampaikan kepada Abi”
“Syukron Umi”
Umi pun keluar dari ruangan Halim dan pulang kembali ke rumah dan menceritakan
kemantapan hati Halim kepada Abi.
Tak disangka setelah satu bulan semenjak Alifa mengetahui bahwa dia telah
dijodohkan dengan Halim, tepatnya hari senin, Alifa dan Halim ini melangsungkan
pernikahan setelah melewati masa ta’aruf. Di mana di masa itu Halim dan Alifa mencoba
untuk mengenal satu sama lain. Tapi tidak dengan berdua-duaan seperti yang dilakukan
banyak kalangan muda seperti sekarang. Mereka tetap menjaga kehormatan satu sama lain
karena mereka berdua tau bahwa berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya itu dosa.
Pintu kamar di buka oleh Mama Alifa.
“Sayang kamu cantik sekali”
“Makasih Ma”
“Maafkan Mama dan Papa yang tidak bisa memberikanmu kasih sayang selama ini
Nak” ungkap Mama Alifa sambil menangis.
“Hustt… Mama nggak boleh ngomong kayak gitu. Mama sama Papa udah jadi orang
tua terbaik kok buat Alifa dan sekarang Aifa minta doa restu Mama dan Papa semoga kelak
keluarga Alifa bisa sakinah mawaddah warahma”
“Amin. Pasti Mama doain Nak” sambil memeluk Alifa.
Di kamar Alifa mendengar lantunan surah Ar-Rahman yang dihapalkan oleh
suaminya yang menjadi mahar untuknya. Alifa menangis terharu mendengar suara yang
sangat indah itu mengalun dengan merdu dan dihapalkan secara ikhlas tanpa beban.
Hingga akhirnya suaminya diperbolehkan untuk melihat Alifa di kamarnya.
“Assalamu’alaikum” sahut Halim mengetuk pintu.
“Waalaikum salam wr. wb.” sahut Alifa membelakangi suaminya.
Halim berjalan mendekati istrinya memanggil dengan lembut sang istri agar berbalik
berhadapan dengannya. Dibacakan doa untuk istrinya dan mencium puncak kepala sang istri.
Membisikkan satu kalimat di telinga istrinya
“Ana uhibbuka fillah”
Alifa yang mendengarnya tak mampu menahan tangis harunya.
“Ehhh salim dulu dong sama suami” kata Halim sambil memajukan tangannya ke
arah Alifa.
Dengan gemetar Alifa memegang tangan Halim karena jujur Alifa telah lama tidak
bersentuhan dengan lawan jenisnya. Alifa menunduk mencium tangan suaminya, Halim pun
kembali membacakan doa untuk istrinya.
“Ya sudah, ayo kita keluar, orang-orang sudah menunggu kita” sahut Halim sambil
menggandeng tangan Alifa keluar.
Adzan magrib berkumandang, Halim membangunkan istrinya sebelum dia ke Mesjid.
“Alifa ayo bangun sayang sudah magrib, tidurnya dilanjutin nanti” dengan hati-hati
megelus pipi istrinya dan membangunkannya.
Alifa bangun dengan menguap tampak seperti anak kecil, Halim saja yang melihatnya
sudah gemas setengah mati melihat istrinya seperti anak kecil.
“Kakak mau ke Mesjid?” tanya Alifa kepada Halim. Ya dia memang memanggil
Halim dengan sebutan Kakak.
“Iya Kakak mau ke Mesjid. Yasudah kamu cuci muka sana terus wudhu, kamu mau
ikut shalat di Mesjid?” tanyanya.
“Ngga mau” Alifa menjawab seperti anak kecil. “Alifa mau shalat di rumah aja”

129
“Ya sudah kalau gitu, Kakak pergi dulu” sambil berjalan kearah Alifa yang ingin ke
WC dan mencium kening Alifa sebelum pergi.
Alifa di buat terbang olehnya.
“Yaudah dadahhhhh” sahut Alifa seperti anak-anak.
Satu fakta lagi yang diketahui Halim tentang Alifa ternyata perempuan itu sangat
manja dengan orang terdekatnya dia tidak mau jika ditinggal sendirian.
Halim tinggal di Mesjid hingga shalat isya, setelah shalat isya dia pulang dan melihat
istrinya berbaring memainkan handphone miliknya, diapun duduk di sisi istrinya.
“Sudah shalat?” tanyanya.
“Udah dong” dijawab Alifa.
Ternyata di luar hujan begitu deras dan juga diikuti dengan suara petir. Alifa
melompat kaget mendekat ke suaminya karena suara petir.
“Takut petir?” tanya Halim.
Dijawab gelengan oleh Alifa.
“Yaudah terus kenapa deket-deket? Sana dong jauh-jauh”
Alifa pun menjauh, belum selesai bergerak petir lagi-lagi datang sontak Alifa kaget
dan langsung memeluk suaminya.
“Katanya tadi ngga takut, kok malah nempel-nempel sih” serunya sambil merayu
istrinya.
“Ihhhh Kakak jahat” sambil melepas pelukannya dengan suaminya, matanya pun
sudah berkaca-kaca.
“Ehh kok malah mau nangis sihh. Nggak kok Kakak cuman becanda”
“Nggak mau bicara sama Kakak”
Lagi-lagi petir bergemuruh, Alifa lagi-lagi melomat dan memeluk suaminya sambil
menangis. Halim pun juga memeluk istrinya dan menenangkannya
“Husttt…udah jangan nangis ada Kakak di sini kok, udah tidur gihh” mencoba
menenangkan istrinya.
“Temenin”
“Iya ini ditemenin sayang, masa ditinggal”
Akhirnya Halim menidurkan Alifa, Halim menatap istrinya yang sedang tertidur
dengan tangan Alifa menggenggam tangan Halim seakan takut kehilangan Halim. Sebelum
tidur Halim membisikkan kalimat di telinga Alifa “Ana uhibbukka fillah” dan tanpa disadari
Alifa tersenyum sambil tertidur dan memeluk suaminya.
~END~

130
Biodata Penulis
Nama : Wanda Thalib
TTL : Barru, 15 Oktober 2001
Alamat : Lapao
Cita-Cita : TNI
Hobi : Menari dan Olahraga Basket
Nama Orangtua
a. Ayah : Abdul Thalib
b. Ibu : Nur Layang
Ig : @wandathalib10
Fb : Wanda Thalib
Motto : No Couple Before Akad.

131

Anda mungkin juga menyukai