Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Mindi (Meylia azedarach Linn)

Mindi diperkirakan dari India dan Birma. Di Jawa dikenal dengan nama

Geringging atau mindi, di Karo dikenal dengan nama Renceh. Jenis tumbuhan ini

termasuk jenis duku-dukuan (Budiyono, 2005). Pohon mindi atau geringging

(Meylia azedarach) merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan selalu hijau di

daerah tropis dan menggugurkan daun selama musim dingin, suka cahaya, agak

tahan kekeringan, toleran terhadap salinitas tanah dan subur dibawah titik beku.

Pada umur 10 tahun dapat mencapai tinggi bebas cabang 8 meter dan diameter

sekitar 40 cm (Djamin, 1991)

Tinggi pohon mencapai 45 m, tinggi bebas cabang 8 - 20 m, diameter

sampai 60 cm. Tajuk menyerupai payung, percabangan melebar, kadang

menggugurkan daun. Batang silindris, tegak, tidak berbanir, kulit batang

(papagan) abu-abu coklat, beralur membentuk garis-garis dan bersisik. Pada

pohon yang masih muda memiliki kulit licin dan berlentisel; kayu gubal putih

pucat; kayu teras coklat kemerahan. Daun majemuk ganda menyirip ganjil, anak

daun bundar telur atau lonjong, pinggir helai daun bergirigi. Bunga majemuk

malai, pada ketiak daun, panjang malai 10-22 cm, warna keunguan, berkelamin

dua (biseksual) atau bunga jantan dan bungan betina pada pohon yang sama. Buah

bulat atau jorong, tidak membuka, ukuran 2-4 cm x 1-2 cm, kulit luar tipis, licin,

berkulit kering keriput kulit dalam keras, buah muda hijau, buah masak kuning,

dalam satu buah umumnya terdapat 4-5 biji. Biji kecil 3,5 x 1,6 mm, lonjong,

licin, warna coklat, biji kering warna hitam (Gionar, 1976).

4
Universitas Sumatera Utara
Tanaman mindi tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi,

ketinggian 0 - 1200 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata per

tahun 600 - 2000 mm, dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Tumbuh subur

pada tanah berdrainase baik, tanah yang dalam, tanah liat berpasir, toleran

terhadap tanah dangkal, tanah asin dan basa (Sastrodiharjo, 1990).

Kayu teras berwarna merah coklat muda semu-semu ungu, gubal berwarna

putih kemerah-merahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Serat

lurus atau agak berpadu, berat jenis rata-rata 0,53. Penyusutan dari keadaan basah

sampai kering tanur 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial). Kayu mindi tergolong

kelas kuat III-II, setara dengan mahoni, sungkai, meranti merah dan kelas awet

IV-V. Pengeringan alami, pada papan tebal 2,5 cm dari kadar air 37% sampai

15% memerlukan waktu 47 hari, dengan kecenderungan pecah ujung dan

melengkung. Pengeringan dalam dapur pengering dengan bagan pengeringan


o
yang dianjurkan adalah suhu 60-80 C dengan kelembaban nisbi 40-80%

(Sastrodiharjo, 1990).

Daunnya majemuk, menyirip ganda, tumbuh berseling dengan panjang 20-

80 cm. Anak daun bentuknya bulat telur sampai lanset, tepi bergerigi, ujung

runcing, pangkal membulat atau tumpul, permukaan atas daun berwarna hijau tua,

bagian bawah hijau muda, panjang 3-7 cm, lebar 1,5-3 cm. Bunga majemuk dalam

malai yang panjangnya 10-20 cm, keluar dari ketiak daun. Daun mahkota

berjumlah 5, panjangnya sekitar 1 cm, warnanya ungu pucat, dan berbau harum.

Buahnya buah batu, bulat, diameter sekitar 1,5 cm. Jika masak warnanya cokelat

kekuningan, dan berbiji satu. Perbanyakan dengan biji. Biji sangat beracun dan

biasa digunakan untuk meracuni ikan atau serangga. Daun dan biji mindi telah

Universitas Sumatera Utara


dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Misalnya daun yang

dikeringkan di dalam buku bisa menolak serangga atau kutu (Kartasapoetra,

1987).

Mindi termasuk tanaman tahunan tergolong kedalam famili Meliaceae,

berwarna hitam, baunya tidak sedap serta rasanya pahit sekali. Biji dan daun

mindi mengandung senyawa glokosida flavonoid dengan aglikon quersetin yang

bersifat sebagai insektisida botanis (Nandini, 1989 dalam Sastrodihardjo, 1990).

Pada umumnya bahan aktif yang terkandung pada tumbuhan mindi

berfungsi sebagai antifeedan terhadap serangga dan menghambat perkembangan

serangga. Penelitian secara ilmiah mengenai potensi tumbuhan Meliaceae sudah

dimulai sejak tahun 1973, ketika Volkansky melakukan penelitian dengan

menggunakan ekstrak tumbuhan Melia azedarach (mindi) sebagai penolak

belalang (Schistocerta gregoria) (Gionar, 1990).

Menurut Fogoone dan Lauge (1981). Kematian larva oleh ekstrak daun

dan biji mindi ditandai tidak sempurnanya proses ekdisis yaitu terdapat larva yang

gagal melepas kutikula lamanya, terutama pada bagian kapsul kepalanya. Larva

ini kemudian mati karena gerakannya terhambat.

Tanaman mindi (Meylia azedarach) ini diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Ordo : Rutales
Family : Meliaceae
Genus : Azadirachta
Spesies : Meylia azedarach Linn

Universitas Sumatera Utara


Kulit kayu Mindi

Pada (Sutisna, 1998) kulit kayu dan kulit akar mindi mengandung

toosendanin dan komponen yang larut. Selain itu, juga terdapat alkaloid azaridine

(margosina), kaempferol, resin, tanin, n-triacontane, ß-sitosterol, dan triterpene

kulinone. Kulit akar kurang toksik dibanding kulit kayu. Biji mengandung resin

yang sangat beracun, 60% minyak lemak terdiri dari asam stearat, palmitat, oleat,

linoleat, laurat, valerianat, butirat, dan sejumlah kecil minyak esensial sulfur.

Buah mengandung sterol, katekol, asam vanilat, dan asam bakayanat. Daun

mengandung alkaloid paraisina, flavonoid rutin, zat pahit, saponin, tanin, steroida,

dan kaemferol.

Menurut Sastrodihardjo (1990), kandungan kimia yang terdapat dalam

kulit kayu mindi antara lain Alkaloid margosina, nieldenim, nimbin, nimbinin,

sendanin, okhinin, okhininal, sikloeukalenol, sendanolakton, melianodiol, minyak

atsiri, dan zat samak yang dapat menghambat pertumbuhan organisme perusak

tanaman. Daun dan biji mindi telah dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida

nabati. Kandungan bahan aktif mindi sama dengan nimba (Azadirachta indica)

yaitu azadirachtin, selanin dan meliantriol. Namun kandungan bahan aktifnya

lebih rendah dibandingkan dengan mimba sehingga efektivitasnya lebih rendah

pula.

Biologi Spodoptera litura F

Ulat Spodoptera litura merupakan hama yag bersifat polifag, dengan

tanaman inang antara lain kangkung, bayam, tembakau, genjer dan beberapa jenis

gulma (Kalshoven, 1981). Nama umum dan yang lebih dikenal ulat ini adalah ulat

Universitas Sumatera Utara


grayak atau ulat tentara. Dahulu nama ilmiahnya adalah Prodenia litura dan telah

digantikan dengan nama ilmiah yang sering kita kenal yaitu Spodoptera litura.

Dalam beberapa tahun belakangan ini sering dilakukan pengendalian terhadap ulat

grayak Spodoptera litura.

Gambar 1. Ulat Grayak

Menurut Erwin (2000) hama ini diklasifikasikan sebagai berikut :

Phylum : Atrhropoda

Klass : Insekta

Ordo : Lepidoptera

Family : Noctudae

Genus : Spodoptera

Spesies : Spodoptera litura Fab

Telur Spodoptera litura berwarna putih merata dan berbentuk bulat

dengan diameter 0,5 mm. Telur berkelompok dan seperti diselimuti kain woll

(Harjono, 1996). Imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 2000 butir.

Telur diletakkan secara berkelompok sebanyak 30-400 butir/ kelompok pada

permukaan bawah daun. Telur berbentuk bulat dan berwarna merah kecoklatan.

Stadium telur berlangsung 2-4 hari (Sumadi, 1997).

Universitas Sumatera Utara


Telur hama Spodoptera litura diletakkan dalam kelompok yang bentuknya

bermacam-macam ada yang berbentuk bulat, persegi, memanjang dan lain-lain.

Seekor imago betina mampu meletakkan telur sebanyak 200-300 butir/kelompok.

Telur menetas setelah 3-5 hari (Sudarmo, 1997).

Larva yang baru keluar dari telur berwarna kehijau-hijauan dengan sisi

samping berwarna coklat hitam (Sudarmo, 1997). Kepala larva yang baru keluar

dari telur berwarna kemerahan, tubuhnya putih transparan, tetapi ruas abdomen

pertama dan kedelapan berwarna kehitaman. Larva yang keluar dari telur akan

memakan epidermis daun bagian bawah sehingga daun kering (Adisarwanto,

2000).

Pada siang hari larva brsembunyi dekat permukaan atau didalam tanah dan

ditempat-tempat yang lembab, lalu kering pada malam hari. Stadium larva

berlangsung sekitar 13-16 hari. Larva yang lebih tua berwarna keabu-abuan, pada

tiap ruas abdomennya terdapat bentuk seperti bulan sabit. Pada abdomen ruas

pertama bentuk tersebut besar dan kadang-kadang bersatu. Panjang larva instar

terakhir dapat mencapai 50 mm (Sumadi, 1997).

Pupa berwarna coklat kemerahan berukuran 1,8-2 cm. Pupa terbentuk di

dalam tanah atau pasir dengan lama stadium 9-10 hari. Larva dewasa menjelang

pupa berada di dalam tanah atau lapisan bahan organik tanah dan menuju lubang

kemudian berubah menjadi pupa (Sudarmo, 1997).

Pada abdomen pupa jantan, segmen terakhir dijumpai dua titik yang agak

berjauhan. Titik yang ada disebelah atas adalah calon alat kelamin jantan

sedangkan titik dibawahnya calon anus. Pupa betina mempunyai dua titik yang

saling berdekatan (Sudarmo, 1997).

Universitas Sumatera Utara


Panjang tubuh imago betina kurang lebih 17 mm, sedangkan imago

jantannya kira-kira 14 mm. Warna imago abu-abu dengan tanda bintik-bintik pada

bagian sayapnya (Natawigena, 1990).

Imago dewasa adalah nocturnal. Pada siang hari tinggal di tempat-tempat

yang terlindung dan umumnya diam ditempat gelap. Imago hidup sekitar 5-10 hari

dan populasi terjadi segera setelah menjadi imago. Imago betina mulai

meletakkan telur 2-3 hari setelah menjadi imago (Natawigena, 1990).

Gejala Serangan

Sesaat setelah telur menetas ulat hidup bergerombol disekitar kelompok

telur sampai pada instar ketiga dan fase ini ulat memakan daun dengan gejala

transparan. Pada instar keempat ulat mulai menyebar kebagian tanaman atau

tanaman disekitarnya. Biasanya serangan ini muncul 20-30 hari setelah tanam

(Subandrijo, 1992).

Ulat tua memakan habis daun muda, sedangkan daun tua bila diserang

akan terpisah tulang daunnya. Tanaman muda yang terserang akan terhambat

pertumbuhannya dan pada serangan yang berat menyebabkan kematian pada

tanaman. Gejala serangan ulat adalah timbulnya lubang-lubang tidak beraturan

dan berwarna putih pada bekas gigitan. Serangan yang parah dapat menyebabkan

daun-daun tinggal tulang daunnya saja (Adisarwanto, 1999).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2. Kondisi Daun Tembakau Akibat Serangan Ulat Grayak

Pada penelitian ini digunakan tanaman tembakau yang mana tanaman

tembakau ini merupakan salah satu tanaman inang Spodoptera litura. Tanaman

tembakau deli yang digunakan pada saat ini masih menjadi primadona tembakau

cerutu, kegunaanya lebih diutamakan untuk pembungkus cerutu, bahkan daun

tembakau deli lebih terkenal sebagai pembungkus cerutu nomor satu di dunia,

sehingga tetap dibutuhkan oleh pabrik penghasil cerutu berkualitas tinggi (Erwin,

2000).

Permasalahan yang sangat dirasakan pada beberapa tahun terakhir adalah

rendahnya produktivitas tembakau deli, meskipun berbagai upaya telah dilakukan,

volume produksi untuk lelang masih belum tercapai sesuai dengan permintaan

konsumen yang berkisar 8000-10000 bal per tahunnya. Penyebab tidak

terpenuhinya kebutuhan pasar tersebut cukup kompleks, antara lain akibat

serangan hama dan penyakit, disamping faktor lingkungan seperti iklim, terutama

curah hujan dan faktor tanah (Erwin, 2000).

Wajar jika harga jual tembakau deli cukup tinggi, namun harga yang tinggi

ini tidak ada artinya bila biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan tembakau

yang berkualitas baik juga cukup mahal, diantaranya biaya untuk pengendalian

Universitas Sumatera Utara


hama dan penyakit. Pemeliharaan dan perawatan tanaman tembakau yang paling

penting adalah pencegahan kerusakan tanaman dari serangan hama sejak dari

pembibitan sampai pada saat tanaman di lapangan, karena akibat serangan hama

ini akan menjadikan daun-daun tembakau tidak utuh lagi, berlubang-lubang,

pecah dan bahkan daun dapat rusak keseluruhannya (Erwin, 2000).

Metode ekstraksi dan isolasi

Idealnya, jaringan tumbuhan segar, beberapa menit setelah dikumpulkan,

bahan tumbuhan itu harus dicemplungkan ke dalam alkohol mendidih. Kadang-

kadang, tumbuhan yang diteliti tidak tersedia dan bahan mungkin harus

disediakan oleh seorang pengumpul yang tinggal didaerah lain. Dalam hal ini,

jaringan yang diambil segar harus disimpan kering didalam plastik, dan biasanya

akan tetap dalam keadan baik untuk dianalisis setelah beberapa hari dalam

perjalanan dengan pos udara (Harbone, 1987).

Cara lain, tumbuhan dapat dikeringkan sebelum diekstraksi. Bila ini

dilakukan, pengeringan tersebut harus dilakukan dalam keadaan terawasi untuk

mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak. Bahan harus

dikeringkan secepat mungkin, tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih baik dengan

aliran udara yang baik. Setelah betul-betul kering, tumbuhan dapat disimpan

untuk jangka waktu lama sebelum digunakan untuk analisis. Analisis flavonoid,

alkaloid, kuinon, dan terpenoid, telah dilakukan dengan berhasil pada herbarium

yang telah disimpan bertahun-tahun (Harbone, 1987).

Pada analisis fitokimia, identitas botani tumbuhan harus dibuktikan

keaslian pada tahap tertentu dalam pemeriksaan, dan ini harus dilakukan oleh ahli

Universitas Sumatera Utara


yang diakui. Begitu banyak kesalahan identitas telah terjadi pada waktu lampau

sehingga penentuan identitas bahan merupakan hal yang penting bila kita

melaporkan senyawa baru dari suatu tumbuhan, atau senyawa yang sudah dikenal

tetapi dari sumber tumbuhan baru. Identitas bahan harus tidak dapat diragukan

lagi.

Uji fitokimia

Ekstraksi

Ragam ekstraksi yang tepat sudah tentu bergantung pada tekstur dan

kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang

diisolasi. Umumnya kita perlu membunuh jaringan tumbuhan untuk mencegah

terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis. Mencemplungkan jaringan daun segar

atau bunga, bila perlu dipotong-potong, kedalam etanol mendidih adalah suatu

cara yang baik untuk mencapai tujuan ini. Alkohol, adalah pelarut serba guna yang

baik untuk ekstraksi pendahuluan.

Selanjutnya bahan dapat dimaserasi dalam suatu pelumat, lalu disaring.

Bila mengisolasi senyawa dari jaringan hijau, keberhasilan ekstraksi dengan

alkohol berkaitan langsung dengan seberapa jauh klorofil tertarik oleh pelarut.

Bila ampas jaringan, pada ekstraksi ulang, sama sekali tak berwarna hijau lagi,

dapat dianggap semua senyawa berbobot molekul rendah telah terekstraksi.

Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan

tumbuhan keringan (galih, biji kering, akar, daun) ialah dengan mengekstraksi-

sinambung serbuk bahan dengan alat Soxhlet dengan menggunakan sederetan

Universitas Sumatera Utara


pelarut secara berganti-ganti, mulai dengan eter, lalu eter minyak bumi, dan

klroform (untuk memisahkan lipid dan terpenoid).

Flavonoid

Menurut Harbone (1987) semua flavonoid, menurut strukturnya,

merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada

tumbuhan Primula, dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama.

Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat

diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini

dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu

warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi senyawa tersebut mudah

terdeteksi pada kromatogram atau dalam larutan.

Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonyugasi dan karena itu

menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak,

flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida

dan aglikon flavonoid yang manapun mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan

dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida. Karena alasan itu maka dalam

menganalisis flavonoid biasanya lebih baik bila kita memeriksa aglikon yang

terdapat dalam ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis sebelum memperhatikan

kerumitan glikosida yang mungkin terdapat dalam ekstrak asal. Flavonoid

terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh tetapi beberapa kelas lebih tersebar

daripada yang lainnya, flavon dan flavonol terdapat semesta, sedangkan isoflavon

dan biflavonol hanya terdapat pada beberapa suku tumbuhan.

Cara yang populer untuk menelaah pola flavonoid dalam jaringan

tumbuhan secara rutin ialah kromatografi kertas dua arah dari ekstrak etanol pekat

Universitas Sumatera Utara


dengan menggunakan asam asetat 5%. Untuk ekstraksi, serbuk kering jaringan

tumbuhan dapat diekstraksi dengan sedikit etanol 70% pada suhu kamar selama 8-

24 jam, dan biasanya ekstrak ini dapat ditotolkan langsung pada pekat atau kertas

kromatografi.

Alkoloid

Tumbuhan yang mengandung alkoloida tersebar sangat luas, umumnya

terdapat melimpah pada tumbuhan dikotil (berkeping dua), alkoloida dalam

tanaman hampir selalu terdapat dalam bentuk garam-garam ialah terikat kepada

asam-asam sebagai asam oksalat, asam laktat, asam asetat, asam malat, asam

tartarat dan asam sitrat.

Gambar 3. Rumus Bangun Alkoloid

Alkoloida merupakan zat padat berbentuk kristal yang tak berwarna dan tidak

mudah menguap, sebagai basa bebas senyawa alkoloida sukar larut dalam air

tetapi mudah larut dalam pelarut organik seperti etanol, kloroform. Dapat

menimbulkan efek fisiologis pada hewan dan manusia, karena itu sering

digunakan sebagai obat-obat tradisional.

Triterpenoida

Senyawa triterpenoida yang dijumpai di alam yaitu yang terdapat pada

tumbuh-tumbuhan maupun hewan pada dasarnya dibedakan pada bentuk kerangka

dasar yang membangun senyawa tersebut yaitu dalam bentu asiklik dan siklik,

Universitas Sumatera Utara


senyawa tersebut juga dibedakan pada keadaan bebas dan terikat dengan senyawa

tersebut membentuk senyawa yang lebih kompleks.

Gambar 4. Rumus Bangun Triterpenoid

Senyawa triterpenoida merupakan salah satu dari golongan senyawa

triterpenoida. Didalam senyawa triterpenoida ini terdapat dalam bentuk asiklik

dan yang berbentuk siklik.

Saponin

Pembentukan busa yang baik sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau

waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya

saponin. Bila dalam tumbuhan terdapat banyak saponin, sukar untuk memekatkan

ekstrak alkohol air dengan baik, walaupun digunakan penguap putar. Karena itu,

uji saponin yang sederhana ialah mengocok ekstrak alkohol-air dari tumbuhan

dalam tabung reaksi dan diperhatikan apakah ada terbentuk busa dengan baik,

walaupun digunakan penguap putar. Karena itu, uji tumbuhan dalam tabung reaksi

dan diperhatikan apakah ada terbentuk busa tahan lama pada permukaan cairan.

Saponin dapat juga diperiksa dalam ekstrak kasar berdasarkan kemampuannya

menghemolisis sel darah.

Pengendalian Hama Secara Alami

Rendahnya pemahaman pengelolaan hama terpadu (PHT) sebagai faktor

utama penyabab belum optimalnya peran musuh alami sebagai faktor mortalitas

pada tanaman. Penyemprotan insektisida hingga saat ini dianggap sebagai sebuah

keharusan dan jaminan terhadap keberhasilan budidaya tanaman, tanpa

Universitas Sumatera Utara


mempertimbangkan populasi serangga hama dan peran musuh alaminya.

Meskipun masih dengan mempertahankan pemahaman pentingnya penyemprotan

insektisida botani ekstrak kulit mindi dan daun mindi dapat menjadi solusi cara

pengendalian serangga hama yang dapat mengkonservasi musuh alami, sehingga

musuh alami mendapat kesempatan berperan sebagai faktor mortalitas dalam

pengendalian serangga. Insektisida botani mindi efektif dalam menekan populasi

hama, aman terhadap musuh alami, dan dapat dibuat dengan tehnik ekstraksi

sederhana sampai dengan teknologi tinggi.

Sementara itu, telah diketahui bahwa kandungan zat ekstraktif dalam kayu

merupakan penyebab utama keawetan alami kayu yang digunakan. Konsep ini

pertama kali dikemukakan oleh Hawley dalam Scheffer dan Cawling (1966), yang

telah membuktikan bahwa :

a. Ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun terhadap organisme

pengganggu tanaman dibandingkan dengan ekstrak dari kayu gubal,

b. Keawetan alami kayu teras mengalami penurunan yang sangat cepat

setelah kayu tersebut diekstraksi dengan air panas maupun dengan pelarut

netral lainnya.

Menurut (Martono, 1997) usaha penggunaan bahan nabati dapat dimulai

dengan bahan-bahan ramuan obat atau empon-empon, bahan-bahan yang

menimbulkan rasa gatal, pahit, langu dan tidak disukai serangga serta bahan-

bahan yang memiliki racun juga bahan-bahan yang pernah dicoba ternyata mampu

mengendalikan hama atau penyakit. Bahan pengendali alami yang digunakan

sebaiknya mudah diperoleh dan tersedia banyak, mudah disiapkan dan

Universitas Sumatera Utara


diaplikasikan atau digunakan, tidak memiliki racun yang tinggi terhadap jasad-

jasad yang bukan sebagai hama dan tidak membahayakan si pengguna.

Lebih dari 2400 jenis tanaman yang masuk dalam 235 familia telah

dilaporkan mengandung bahan pestisida. Penggunaan pestisida bahan alam

sebagai alternatif/pengganti pestisida kimiawi, tetapi bila menggunakan berbagai

teknik-teknik pengendalian termasuk menggunakan pestisida bahan alami tidak

dapat mengendalikan hama maka menggunakan senjata akhir yaitu pestisida

kimiawi. Bahan alami dapat berperan sebagai insektisida, pemikat, rodentisida,

moluskisida, penghambat pertumbuhan, penolak dan sifat lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai